Anda di halaman 1dari 18

BAB II

INTISARI BUKU
BAB 1
HAKIKAT MANUSIA DAN PENGEMBANGANNYA
1.1 Pendahuluan
Objek pendidikan adalah manusia. Tujuan pendidikan adalah untuk membantu peserta didik
mengembangkan potensi kemanusiaannya. Potensi manusia adalah benih dari kemungkinan
menjadi manusia. Ibarat biji mangga, tapi sepertinya jika ditanam dengan benar pasti akan
tumbuh menjadi pohon mangga, bukan pohon jambu.
Tugas pendidikan dapat dilaksanakan dengan benar dan dengan tujuan yang tepat hanya bila
para pendidik mempunyai gambaran yang jelas tentang siapa sebenarnya seseorang itu.
Manusia memiliki karakteristik yang berbeda terutama dari hewan. Ciri-ciri manusia yang
membedakannya dengan binatang terdiri dari apa yang disebut hakikat manusia secara ke-
seluruhan. Disebut sifat manusia karena sifat ini pada hakekatnya hanya ada pada manusia dan
tidak terdapat pada hewan. pemahaman guru tentang sifat manusia membentuk peta
karakteristik manusia. Peta ini menjadi dasar dan memberikan referensi dalam perilaku, dalam
pengembangan strategi, metode dan teknik, serta dalam pemilihan pendekatan dan tren dalam
desain dan implementasi komunikasi transaksional dalam komunikasi pendidikan. Dengan kata
lain, dengan menggunakan peta sebagai referensi, guru tidak mudah terjebak dalam bentuk
transaksi siswa yang patologis dan berbahaya.
Alasan lain mengapa pendidik harus memiliki gambaran yang benar dan jelas tentang manusia
adalah perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang sangat pesat saat ini, terutama di
masa depan. Memang, itu bisa sangat bermanfaat dalam kehidupan manusia. Namun di sisi
lain, tidak dapat dihindarkan munculnya efek negatif yang terkadang tanpa disadari sangat
merugikan bahkan dapat mengancam keutuhan eksistensi manusia, seperti penemuan bom
kimia dan bakteri, rekayasa genetika dan lain-lain yang digunakan. tidak bertanggung jawab
Oleh karena itu, sangat strategis pembahasan tentang hakikat manusia ditempatkan paling
depan dalam semua kajian pendidikan dengan harapan dapat menjadi titik tolak penjelasan
lebih lanjut.
1.2 Sifat Hakikat Manusia
Sifat hakikat manusia merupakan bidang kajian dalam filsafat, khususnya filsafat antropologi.
Hal ini diperlukan karena pelatihan bukan sekedar latihan, tetapi latihan yang beralasan dan
memiliki tujuan. Memang benar bahwa dasar dan tujuan pendidikan itu sendiri bersifat
normatif-filosofis.
Sifatnya bersifat filosofis, karena untuk memperoleh dasar yang kuat diperlukan suatu studi
mendasar, sistematis dan universal tentang sifat-sifat esensial manusia. Normatif karena
pendidikan mempunyai tugas mengembangkan karakter fitrah manusia sebagai nilai luhur dan
itu perlu. Uraian berikut berkaitan dengan konsep hakikat manusia. Uraiannya yang jelas dan
tepat memberi guru arah yang tepat untuk membawa siswanya.
1.2.1 Pengertian Sifat Hakikat Manusia
Sifat hakikat manusia didefinisikan sebagai kualitas yang secara fundamental membedakan
manusia dari hewan. Meskipun ada banyak kesamaan antara manusia dan hewan, terutama dari
segi biologi.
Wujud (seperti orangutan) memiliki tulang punggung mirip manusia, berjalan tegak dengan
kedua kaki, melahirkan dan mengasuh anak, makan apa saja, dan memiliki metabolisme yang
sama dengan manusia. Bahkan beberapa filosof seperti Socrates menyebut orang Zoo Politico
(binatang sosial), Max Schelier menggambarkan manusia sebagai Das Kranke Tier (binatang
sakit) (Drijarkara, 1962: 138) yang selalu gelisah.
Fakta dan pernyataan ini dapat memberikan kesan yang salah jika kita menganggap bahwa
hewan dan manusia berbeda satu sama lain hanya secara bertahap, yaitu. perbedaan yang dapat
dibawa ke keadaan yang sama dengan teknologi, misalnya air berubah menjadi es akibat suhu.
Seolah-olah pendidikan orang hutan bisa dimanusiakan dengan keterampilan teknik.
Ditemukan dalam upaya manusia untuk memperoleh pengetahuan bahwa hewan tidak identik
dengan manusia. Charles Darwin (dengan teori evolusinya) mencoba menetapkan bahwa
manusia adalah keturunan primata atau kera besar, namun gagal. Ada sebuah misteri yang
dianggap sebagai jembatan dalam proses transformasi primata menjadi manusia yang tidak
dapat dijelaskan dan disebut dengan missing link, yaitu mata rantai yang terputus. Ada proses
perantara yang tidak bisa dijelaskan. Tampaknya tidak ada bukti bahwa manusia berevolusi
sebagai primata atau kera yang dimodifikasi melalui proses evolusi bertahap.
1.2.2 Wujud Sifat Hakikat Manusia
Pada bagian ini akan dipaparkan wujud sifat hakikat manusia (yang tidak dimiliki oleh hewan)
yang dikemukakan paham oleh eksistensialisme, dengan maksud menjadi masukan dalam
membenahi konsep pendidikan, yaitu:
a. Kemampuan menyadari diri
Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia, maka manusia
menyadari bahwa dirinya memiliki ciri khasa atau karakteristik diri. Hal ini menyebabkan
manusia dapat membedakan dirinya dengan orang lain dan dengan lingkungan fisik di
sekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan, lebih dari itu manusia dapat membuat jarak
(distansi) dengan lingkungan nya, baik yang berupa pribadi (orsng lain) maupun nonpribadi
(benda seperti pohon,batu,cuaca dan sebagainya).
b. Kemampuan bereksistensi
Manusia dapat menembus dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan
menembus ini bukan hanya berkaitan dengan ruang, melainkan juga dengan waktu.
Kemampuan menempatkan diri dan menembus inilah yang disebut kemampuan bereksistensi.
Karena kemampuan inilah manusia memiliki unsur kebebasan.
Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar belajar
dari pengalamannya, belajar mengantisipasi sesuatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat
prospek masa depan dari sesuatu, serta mengembangkan daya imajinasi kreatif sejak dari masa
kanak-kanak.
c. Pemilikan kata hati (conscience of Man)
Sering disebut dengan istilah hati Nurani, suara hati dan sebagainya. Kemampuan ini adalah
kemampuan untuk membuat suatu keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah
bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitan dengan moral, kata hati merupakan “petunjuk
bagi moral”. Usaha untuk mengubah kata hati yang tumpul menjadi kata hati yang tajam
disebut pendidikan kata hati. Realisasinya dapat ditempuh dengan akal kecerdasan dan
kepekaan emosi. Tujuannya agar orang memiliki keberanian untuk berbuat yang didasari oleh
kata hati yang tajam.
d. Moral
Moral adalah perbuatan yang direalisasi dari kata hati. Tetapi masih ada jarak antara kata hati
dengan moral, karenanya kita perlu menjembatani jarak keduanya dengan kemauan. Sese-
orang dikatakan bermoral tinggi karena ia menyatukan diri dengan nilai-nilai yang tinggi, serta
segenap perbuatannya merupakan peragaan dari nilai-nilai yang tinggi tersebut.
e. Kemampuan bertanggung jawab
Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab, merupakan
pertanda dari sifat orang yang bertanggung jawab. Wujud bertanggung jawab bermacam-
macam. Tanggung jawab kepada diri sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya
dalam bentuk muhasabah diri. Tanggung jawab kepada masyaratakat berarti menanggung
tuntutan nirma-norma sosial. Bentuk tuntutannya berupa sanksi-sanksi sosial seperti cemoohan
masyarakat, hukuman masyarakat, dan lain-lain. Bertanggung jawab kepada Tuhan berarti
menanggung tuntutan norma-norma agama, misalnya perasaan berdosa.
Manusia memiliki keberanian untuk mnentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengan
tuntutan kodrat manusia, dan bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan, sehingga
sanksi apa pun yang dituntutkan (oleh kata hati, masyarakat dan norma-norma agaman),
diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan.
f. Rasa kebebasan (kemerdekaan)
Merdeka adalah rasa bebas (tidak terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan tuntutan kodrat
manusia. Kemerdekaan dalam arti sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan.
Artinya, bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia. Merdeka
tidak sama dengan berbuat bebas tanpa ikatan. Perbuatan bebas membabi buta tanpa
memperhatikan petunjuk hati, sebenarnya hanya merupakan kebebasan semu. Sebab hanya
kelihatannya bebas, tetapi sebenarnya justru tidak bebas, karena perbuatan seperti itu segera
disusul dengan sanksi-sanksinya.
Kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan moral. Seseorang mengalami rasa merdeka
apabila segenap perbuatannya (moralnya) sesuai denga napa yang dikatakan oleh kata hatinya
(sesuai tuntutan kodrat manusia) karena perbuatan seperti itu tidak sulit atau siap sedia untuk
dipertanggungjawabkan dan tidak akan sedikitpun menimbulkan kekhawatiran (rasa ketidak-
bebasan).
g. Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak
Kewajiban dan hak merupakan dua jenis gejala yang muncul sebagai manifestasi manusia
sebagai makhluk sosial. Yang satu ada hanya karena yang lain. Tidak ada hak tanpa ke-
wajiban. Jika seseorang memiliki hak untuk menuntut sesuatu, maka tentu ada pihak lain yang
berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut (yang pada saat itu belum terpenuhi). Sebaliknya,
kewajiban ada karena ada pihak lain yang haknya harus dipenuhi. Hak pada dasarnya adalah
sesuatu yang masih kosong. Artinya, meskipun ada hak atas sesuatu, tidak ada jaminan bahwa
seseorang akan mengetahuinya. Dan kalaupun diketahui, belum tentu orang mau
menggunakannya (misalnya hak cuti berbayar). Namun terlepas dari apakah hak itu diketahui
atau tidak, digunakan atau tidak, tetap saja ada pihak-pihak di baliknya yang harus siap
melaksanakannya.
Kenyataannya, hidup adalah sesuatu yang menyenangkan, sedangkan tanggung jawab di-
pandang sebagai beban. Benarkah tanggung jawab menjadi beban bagi seseorang? Ternyata ini
bukan beban, tapi kebutuhan (Drijarkara, 1979. 24-27). Selama seseorang menyebut diri- nya
manusia dan ingin dilihat sebagai manusia, tugas ini menjadi penting baginya. Karena
menghindarinya berarti mengingkari kemanusiaan (yaitu realitas makhluk sosial). Karena siapa
yang semakin mengikat kewajiban dan nilai, maka semakin tinggi martabat kemanusia- annya
di mata masyarakat. Dengan kata lain, melakukan "tugas" adalah kemuliaan. Betapa mulianya
seorang guru yang menunaikan tugas mengajarnya dengan sebaik-baiknya (tanpa pamrih).
Mulianya pemenuhan kewajiban ini menjadi lebih nyata bila dibandingkan dengan keadaan
sebaliknya, yaitu ingkar janji, melalaikan kewajiban, perampasan hak orang lain, dsb.
Tentu saja penerapan hak dan kewajiban dalam praktek bersifat relatif, disesuaikan dengan
situasi dan keadaan. Pemenuhan hak dan pemenuhan kewajiban erat kaitannya dengan ke-
adilan. Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa keadilan dapat terwujud manakala hak-hak
selaras dengan kewajiban. Karena realisasi hak dan pemenuhan kewajiban dibatasi oleh
keadaan.
h. Kemampuan menghayati kebahagiaan
Kebahagiaan adalah konsep yang lahir dari kehidupan manusia. Pengalaman hidup yang
disebut "bahagia" ini tidak mudah untuk digambarkan, tetapi juga tidak sulit untuk di-rasakan.
Bisa dibilang hampir semua orang pernah mengalami perasaan bahagia. Kebahagiaan bisa
lebih dipupuk. Ada dua hal yang dapat dikembangkan, yaitu: kemampuan mencoba dan
kemampuan menilai hasil usaha dalam hubungannya dengan takdir. Dengan demikian,
pendidikan memegang peranan penting sebagai sarana kebahagiaan, yaitu sebagai wahana
untuk mengantar peserta didik dengan jalan membantu mereka meningkatkan kualitas
hubungan dengan dirinya, lingkungannya dan Tuhannya.
Kebahagiaan hanya dapat dicapai apabila manusia meningkatkan kualitas hubungannya sebagai
makhluk yang memiliki kondisi serba terhubung dan dengan memahami kelebihan dan
kekurangan-kekurangan dir sendiri. Kelebihannya ditingkatkan dan memperbaiki kekurangan.
Sedangkan dengan lingkungan alam manusia daopat memanfaatkannya sembari peduli
terhadap pelestarian dan pengembangannya. Terhadap tuhan manusia harus memamhami
ajaran-Nya serta mengamalkannya.

1.3 Dimensi-dimensi Hakikat Manusia serta Potensi, Keunikan, dan Dinamikanya


Dimensi-dimensi terbagi dari 4 macam, yaitu:
1.3.1 Dimensi Keindividualan
Lysen mengartikan individu sebagai "orang-seorang", sesuatu yang merupakan suatu keutuhan
yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi. (lysen,
individu dan Masyarakat: 4.) Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi
untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau menjadi (seperti) dirinya sendiri. Tidak ada diri
individu yang identik di muka bumi. Demikian kata M.J. Lange veld (seorang pakar
pendidikan yang tersohor di Negeri Belanda) yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki
individualitas (M.J. Langeveld, 1955: 54). Bahkan dua anak kembar yang berasal satu telur
pun, yang lazim dikatakan seperti pinang dibelah dua, serupa dan sulit dibedakan satu dari
yang lain, hanya serupa tetapi tidak sama, apalagi identik. Hal ini berlaku baik pada sifat-sifat
fisiknya maupun hidup kejiwaannya (kerohaniannya). Dikatakan bahwa setiap individu bersifat
unik (tidak ada tara dan bandingannya). Secara fisik mungkin bentuk muka sama tetapi
terdapat perbedaan mengenai matanya. Secara kerohanian mungkin kapasitas intelegensinya
sama, tetapi kecenderungan dan perhatiannya terhadap sesuatu berbeda. Karena adanya
individualitas itu setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan,
semangat, dan daya tahan yang berbeda. Dalam hidup sehari-hari dua orang murid sekelas yang
mempunyai nama sama tidak pernah bersedia untuk disamakan satu sama lain. Pendek kata,
masing-masing ingin mempertahankan kekhasannya sendiri. Gambaran tersebut telah
dikemukakan oleh Francis Galton seorang ahli biologi dan matematika Inggris, dari hasil
penelitiannya terhadap banyak pasangan kembar satu telur. Ternyata tidak sepasang pun yang
identik.
Kecenderungan akan perbedaan ini sudah mulai bertumbuh sejak seorang anak menolak ajakan
ibunya pada masa kanak-kanan. Perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa setiap orang
memiliki sikap dan pilihan Sendiri yang dipertanggungjawabkan sendiri, tanpa mengnarapkan
bantuan orang lain untuk ikut mempertanggungjawabkan.
Kesanggupan untuk memikul tanggung jawab sendiri merupakan Ciri yang sangat esensial dari
adanya individualitas pada diri manusia M.J. Langeveld menyatakan bahwa setiap anak
memiliki dorongan untuk mandiri yang sangat kuat, meskipun di sisi lain pada anak terdapat
rasa tidak berdaya, sehingga memerlukan pihak lain (pendidik) yang dapat dijadikan tempat
bergantung untuk memberi perlindungan dan bimbingan. Sifat-sifat sebagaimana digambarkan
di atas yang secara potensial telah dimiliki sejak lahir perlu ditumbuhkembangkan melalui
pendidikan agar bisa menjadi kenyataan. Sebab tanpa dibina melalui pendidikan, benih-benih
individualitas yang sangat berharga itu yang memungkinkan terbentuknya suatu kepribadian
unik akan tetap tinggal laten. Dengan kata lain kepribadian seseorang tidak akan terbentuk
dengan semestinya sehingga seseorang tidak memiliki warna kepribadian yang khas sebagai
miliknya. Jika terjadi hal yang demikian, seseorang tidak memiliki kepribadian yang otonom
dan orang seperti ini tidak akan memiliki pendirian serta mudah dibawa oleh arus masa.
Padahal fungsi utama pendidikan adalah membantu peserta didik untuk membentuk
kepribadiannya, atau menemukan kediriannya sendiri. Pola pendidikan yang bersifat
demokratis dipandang cocok untuk mendorong bertumbuh dan berkembangnya potensi
individualitas sebagaimana dimaksud. Pola pendidikan yang menghambat perkembangan
individualitas (misalnya yang bersifat otoriter) dalam hubungan ini disebut pendidikan yang
patologis. Dalam pengembangan individualitas melalui pendidikan tidak dibenarkan jika
pendidik memaksakan keinginannya kepada subjek didik. Tugas pendidik hanya menunjukkan
jalan dan mendorong subjek didik bagaimana cara memperoleh sesuatu dalam
mengembangkan diri dengan berpedoman pada prinsip ing ngarso sungtulodo, ing madya
mangun karso, tur wuri handayani.
1.3.2 Dimensi Kesosialan
Setiap anak dikaruniai benih kemungkinan untuk bersosialisasi. Artinya, setiap orang dapat
saling berkomunikasi yang pada hakikatnya di dalamnya terkandung unsur saling memberi dan
menerima. Bahkan menurut Langeveld, adanya kesediaan untuk saling memberi dan menirima
itu dipandang sebagai kunci sukses pergaulan.
Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak leih jelas pada dorongan untuk bergaul.
Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu sesamanya. Immanuel
Kant seorang filosof tersohor bangsa jerman menyatakan “manusia hanya menjadi manusia jika
berada di antara manusia. Kiranya tidak usah dipersoalkan bahwa tidak ada seorang manusia
pun yang dapat hidup seorang diri lengkap dengan sifat hakikat kemanusiannya di tempat
terasing dan terisolir. Itu dikarenakan seseorang hanya dapat mengembangkan
individualitasnya di dalam pergaulan sosial. Seseorang dapat mengembangkan kegemarannya,
sikapnya, cita-citanya di dalam interaksi dengan sesamanya. Seseorang berkesempatan untuk
belajar dari orang lain, mengidentifikasi sifat-sifat yang dikagumi dari orang lain untuk
dimilikinya, serta menolak sifat-sifat yang tidak dicocokinya. Hanya di dalam berinteraksi
dengan sesamanya, dalam saling menerima dan memberi, seseorang menyadari dan
menghayati kemasusiaannya.
1.3.3 Dimensi Kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi, di
dalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang panta, karenanya
pengertian Susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih.
Dalam Bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah, yaitu etiket (persoalan kepantasan
dan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Kedua hal tersebut biasanya berkaitan dengan
hak dan kewajiban.
Orang yang berbuat jahat berarti melanggar hak orang lain dan dikatakan tidak beretika atau
tidak bermoral. Sedangkan tidak sopan diartikan sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar
ada orang lain yang merasa dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan
ketidaksenangan orang lain.
Sehubungan dengan hal tersebut ada dua pendapat, yaitu:
 Golongan yang menganggap bahwa kesusilaan mencakup kedua-duanya. Etiket tidak
usah dibedakan dari etika karena sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan. Kedua-
duanya bertalian erat.
 Golongan yang memandang bahwa etiket perlu dibedakan dari etika, karena masing-
masing mengandung kondisi yang tidak selamanya selalu sejalan. Orang yang sopan
belum tentu baik, dalam arti tidak merugikan orang lain. Sebaliknya orang yang baik
belum tentu halus dalam hal kesopanan. Kesopanan menjadi minyak pelincir dalam
pergaulan hidup, sedang etika merupakan isinya. Kesopanan dan kebaikan masing-
masing diperlukan demi keberhasilan hidup dalam bermasyarakat.
Di, dalam uraian ini kesusilaan diartikan mencakup etika dan etiket. Persoalan kesusilaan
selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan
untuk mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu
adalah makhluk susila. Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki
nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan. (Drijarkara,
1978: 36-39.) Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena
mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan dan sebagainya, sehingga dapat diyakini
dan dijadikan pedoman dalam hidup. Dilihat asalnya dari mana nilai-nilai itu diproduk
dibedakan atas tiga macam, yaitu: Nilai otonom yang bersifat individual (kebaikan menurut
pendapat seseorang), nilai heteronom yang bersifat kolektif (kebaikan menurut kelompok), dan
nilai keagamaan yang berasal dari Tuhan. Meskipun nilai otonom heteronom itu diperlukan,
karena orang atau masyarakat hidup lekat dengan lingkungan tertentu yang memiliki sikon
berbeda-beda, namun keduanya harus bertumpu pada nilai theonom.
 Pemahaman dan pelaksanaan nilai
Dalam kenyataan hidup ada dua hal yang muncul dari persoalan nilai, yaitu kesdaran dan
pemahaman tentang nilai dan kesanggupan melaksanakan nilai. Pendidikan kesusilaan
meliputi rentangan yang luas penggarapannya mulai dari ranah kognitif yaitu dari
mengetahui sampai kepada menginternalisasi nilai sampai kepada ranah afektif dari
menyakini meniati sampai kepada siap sedia untuk melakukan. Meskipun demikian,
tekanannya seharusnya diletakkan dalam Ranah afektif. Konsekuensinya adalah sering
memakan waktu panjang dalam pemrosesannya, berkesinambungan, dan memerlukan
kesabaran serta ketekunan dari pihak pendidik.
1.3.4 Dimensi Keberagaman
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius. Sejak dahulu kala, sebelum manusia
mengenal agama mereka telah percaya bahwa di luar alam yang dapat dijangkau dengan
perantaraan alat indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup
alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut
diciptakanlah mitos-mitos.
Kemudian setelah ada agama maka manusia mulai menganutnya. Beragama merupakan
kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat
bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa
agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui proses
pendidikan agama. Ph. Kohnstamm berpendapat bahwa pendidikan agama seyogianya menjadi
tugas orang tua dalam lingkungan keluarga, karena pendidikan agama adalah persoalan afektif
dan kata hati. Pesan-pesan agama harus tersalur dari hati ke hati. Terpancar dari ketulusan serta
kesungguhan hati orang tua dan menembus ke anak. Dalam hal ini orang tualah yang paling
cocok sebagai pendidik karena ada hubungan darah dengan anak. Pendapat Kohnstamm ini
mengandung kebenaran dilihat dari segi kualitas hubungan antara pendidik dengan peserta
didik. Di samping itu, juga penanaman sikap dan kebiasaan dalam beragama dimulai sedini
mungkin meskipun masih terbatas pada latihan kebiasaan (habit formation). Tetapi untuk
pengembangan pengkajian lebih lanjut tentunya tidak dapat diserahkan hanya kepada orang
tua. Untuk itu pengkajian agama secara massal dapat dimanfaatkan misalnya pendidikan
agama di sekolah. Di samping itu mengembangkan kerukunan hidup di antara sesame umat
beragama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa perlu tidak cukup jika
pendidikan agama hanya ditempuh melalui pendidikan formal. Kegiatan di dalam pendidikan
non-formal dan informal dapat dimanfaatkan untuk keperluan tersebut.

1.4 Pengembangan Dimensi Hakikat Manusia


sasaran pendidikan adalah manusia sehingga dengan sendirinya pengembangan dimensi
hakikat manusia menjadi tugas pendidikan. Manusia lahir telah dikaruniai dimensi hakikat
manusia tetapi masih dalam wujud potensi, belum teraktualisasi menjadi wujud kenyataan atau
"aktualisasi". Dari kondisi "potensi" menjadi wujud aktualisasi terdapat rentangan proses yang
mengundang pendidikan untuk berperan dalam memberikan jasanya. Seseorang yang
dilahirkan dengan bakat seni misalnya, memerlukan pendidikan untuk diproses menjadi
seniman terkenal. Setiap manusia lahir dikaruniai "'naluri" yaitu dorongan-dorongan yang
alami (dorongan makan, seks, mempertahankan diri, dan lain-lain). Jika seandainya manusia
dapat hidup hanya dengan naluri maka tidak bedanya ia dengan hewan. Hanya melalui
pendidikan status hewani itu dapat diubah ke arah status manusiawi. Meskipun pendidikan itu
pada dasarnya baik tetapi dalam pelaksanaannya mungkin saja bisa terjadi kesalahan-kesalahan
yang lazimnya disebut salah didik. Hal demikian bisa terjadi karena pendidik itu adalah
manusia biasa, yang tidak luput dari kelemahan-kelemahan. Sehubungan dengan itu ada dua
kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu:
1. Pengembangan yang utuh
Tingkat keutuhan perkembangan dimensi hakikat manusia di tentukan oleh dua faktor, yaitu
kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kualitas pendidikan yang
disediakan untuk memberikan pelayanan atas perkembangannya. Meskipun ada tendensi
pandangan modern yang lebih cenderung memberikan tekanan lebih pada pengaruh faktor
lingkungan. Optimisme ini timbul berkat pengaruh perkembangan iptek yang sang pesat yang
memberikan dampak kepada peningkatan perekayasaan pendidikan melalui teknologi
pendidikan. Namun, kualitas hasil akhir pendidikan tergantung kepada peserta didik itu sendiri
sebagai subjek pendidikan.
Pengembanganyang utuh dapat dilihat dari berbagai segi:
a) Dari wujud dimensinya
Keutuhan terjadi antara aspek jasmani dan rohani, antara dimensi keindividualan, kesosialan,
kesusilaan, dan keberagamaan, antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Pengembangan
aspek jasmaniah dan rohaniah dikatakan utuh jika keduanya mendapat pelayanan secara
seimbang. Meskipun diakui bahwa nilai manusia akhirnya ditentukan oleh kualitas
berkembangnya aspek rohaniahnya seperti pandai, berwawasan luas, berpendirian teguh,
bertenggang rasa, dinamis, kreatif, terlalu memandang bagaimana kondisi fisiknya, namun
demi keutuhan pengembangan, aspek fisik tidak boleh diabaikan. Karena gangguan fisik dapat
berdampak pada kesempurnaan perkembangan rohaniah. Pengembangan dimensi
keindividualan, kesosialan, kesusilaan, dan keberagamaan dikatakan utuh jika semua dimensi
tersebut mendapat layanan dengan baik, tidak terjadi pengabaian terhadap salah satunya.
Pengembangan domain kognitif, afektif., dan psikomotor dikatakan utuh ketiga-tiganya
mendapat pelayanan yang berimbang. Pengutamaan domain kognitif dengan mengabaikan
pengembangan domain afektif.
b) Dari arah pengembangan
Keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia dapat di arahkan kepada pengembangan
empat dimensi yang sudah disebutkan di awal. Keempat dimensi tersebut tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Jika dianalisis satu persatu gambarannya sebagai berikut:
Pengembangan yang sehat terhadap dimensi keindividualan memberi peluang pada seseorang
untuk mengadakan eksplorasi terhadap potensi-potensi yang ada pada dirinya, baik
kelebihannya maupun kekurangannya. Segi positif yang ada ditingkatkan dan yang negative
dihambat. Pengembangan yang berarah konsentris ini bermakna memperbaiki diri atau
meningkatkan martabat aku yang sekaligus juga membuka jalan ke arah bertemunya suatu
pribadi dengan pribadi yang lain secara selaras tanpa mengganggu otonomi masing-masing.
Pengembangan yang sehat terhadap dimensi kesosialan yang lazim disebut pengembangan
horizontal membuka peluang erhadap ditingkatkannya hubungan sosial di antara sesama
manusia dan antara manusia dengan Tingkungan fisik yang berarti memelihara kelestarian
lingkungan di samping mengeksploitasinya. Pengembangan dimensi keindividualan serempak
dengan kesosialan berarti membangun terwujudnya hakikat manusia sebagai makhluk
monodualis.
Pengembangan yang sehat dari dimensi kesusilaan akan menopang pengembangan dan
pertemuan dimensi keindividualan dan kesosialan. Hal ini menjadi jelas jika terjadi keadaan
yang sebaliknya. Bukankah tidak adanya kesusilaan akan memisahkan hubungan antar
manusia? Pengembangan yang sehat terhadap dimensi keberagamaan akan memberikan
landasan dari arah pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan, dan kesusilaan
Pengembangan domain kognitif, afektif, dan psikomotor di samping keselarasannya
(perimbangan antara ketiganya) juga perlu diperhatikan arahnya. Yang dimaksud adalah arah
pengembangan dari jenjang yang rendah ke jenjang yang lebih tinggi. Pengembangan ini
disebut pengembangan vertikal. Sebagai contoh pengembangan domain kognitif dari ke-
mampuan mengetahui, memahami, dan seterusnya sampai kepada kemampuan mengevaluasi.
Pengembangan yang berarah vertikal ini penting, demi ketinggian martabat manusia sebagai
makhluk.
Dapat disimpulkan bahwa pengembangan dimensi hakikat manusia yang utuh diartikan sebagai
pembinaan terpadu terhadap dimensi hakikat manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang
secara selaras. Perkembangan dimaksųd mencakup yang bersifat horizontal (yang menciptakan
keseimbangan) dan yang bersifat vertikal (yang menciptakan ketinggian martabat manusia).
Dengan demikian secara totalitas membentuk manusia yang utuh.
2. Pengembangan yang tidak utuh
Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi di dalam proses
pengemba jika ada unsur dimensi yang terabaikan untuk dltangani, misalnya dimensi
kesosialan didominasi oleh pengembangan dimensi keindividualan ataupun domain afektif
didominasi oleh pengembangan domain kognitif. Demikian pula secara vertical ada domain
tingkah laku yang terabaikan penanganannva
Pengembangan yang tidak utuh berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan tidak
mantap. Pengembangan semacam ini merupakan pengembangan yang patologis.

1.5 Sosok Manusia Indonesia Seutuhnya


Sosok manusia Indonesia seutuhnya telah dirumuskan di dalam GBHN mengenai arah
pembangunan jangka panjang. Dinyatakan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan di
dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh
masyarakat Indonesia. Hal ini berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar kemajuan
lahiriah, seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan, ataupun kepuasan batiniah seperti
pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung Jawab, atau rasa
keadilan, melainkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara keduanya sekaligus
batiniah. Selanjutnya juga diartikan bahwa pembangunan itu merata di seluruh tanah air, bukan
hanya untuk golongan atau sebagian dari masyarakat. Selanjutnya juga diartikan sebagai
keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, antara sesama manusia, antara
manusia dengan lingkungan alam sekitarnya, keserasian hubungan antara bangsa-bangsa, dan
juga keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dengan kebahagiaan di akhirat.
1.6 Rangkuman
Dapat disimpulkan bahwa sifat hakikat manusia dan segenap dimensinya hanya dimiliki oleh
manusia dan tidak terdapat pada hewan. Ciri-ciri khas tersebut membedakan secara prinsipiil
dunia hewan dari dunia manusia. Adanya sifat hakikat tersebut memberikan tempat kedudukan
pada manusia sedemikian rupa sehingga derajatnya lebih tinggi daripada hewan.
Semua sifat hakikat manusia dapat dan harus ditumbuhkembangkan melalui pendidikan.
Berkat pendidikan maka sifat hakikat manusia dapat ditumbuhkembangkan secara selaras dan
berimbang sehimgga menjadi manusia yang utuh.

BAB II
PENGERTIAN DAN UNSUR-UNSUR PENDIDIKAN
2.1 Pengertian Pendidikan
Seorang calon pendidik hanya dapat melakukan pekerjaannya dengan baik jika dia
menerima jawaban yang jelas dan benar tentang apa arti pendidikan yang sebenarnya. Jawaban
yang tepat tentang pendidikan berasal dari pemahaman unsur-unsurnya, konsep-konsep dasar
yang melatarbelakanginya, dan bagaimana pendidikan diselenggarakan sebagai suatu sistem.

2.1.1 Batasan tentang Pendidikan


Pendidikan, seperti sifat sasarannya, manusia, memiliki banyak segi dan sangat kompleks.
Karena sifatnya yang kompleks, bahkan tidak ada batasan yang cukup untuk menjelaskan arti
pendidikan secara utuh. Batasan pelatihan yang dipimpin pakar bervariasi dan kontennya
bervariasi. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh fokus, konsep dasar yang digunakan,
aspek yang ditekankan, atau filosofi yang melatarbelakanginya. Di bawah ini adalah berbagai
batasan pelatihan berdasarkan misi mereka.
a. Pendidikan sebagai Proses Transformasi Budaya
Sebagai proses perubahan budaya, pendidikan diartikan sebagai transmisi warisan budaya
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Seperti bayi yang sudah lahir di lingkungan budaya
tertentu. Dalam lingkungan masyarakat tempat bayi dilahirkan, terdapat adat-istiadat tertentu,
larangan dan anjuran serta ajakan tertentu sesuai dengan keinginan masyarakat. Mereka
mempengaruhi banyak hal, seperti bahasa, menerima tamu, makanan, istirahat, pekerjaan,
pernikahan, pertanian, dll.
Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses perubahan dari generasi tua ke generasi
muda. Ada 3 bentuk perubahan yaitu nilai-nilai yang relevan untuk ditransfer misalnya
kejujuran, tanggung jawab dan nilai-nilai lain yang tidak bisa diperbaiki, misalnya pendidikan
seks yang sebelumnya dianggap tabu diganti dengan pendidikan seks. digantikan oleh
pendidikan formal.
Di sini proses pewarisan budaya tampaknya tidak hanya merupakan kelanjutan budaya
secara tidak langsung. Tugas pendidikan sebenarnya adalah mempersiapkan anak didik untuk
hari esok. Era pendidikan yang menuntut banyak tuntutan baru yang belum pernah diramalkan
sebelumnya dan nyatanya sebagian besar masih menjadi misteri. Memahami bahwa sistem
pendidikan merupakan subsistem dari sistem pembangunan nasional, maka peran pendidikan
sebagai kebudayaan harus diubah sejalan dengan beberapa pernyataan GBHN yang
menekankan pada upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan, sebagai berikut (BP. 7.
Ya, 1990:109-110).
1) Kebudayaan nasional yang berlandaskan pancasila merupakan perwujudan dari cipta,
rasa dan karsa bangsa Indonesia.
2) Kebudayaan nasional yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa harus senantiasa
dipupuk dan dikembangkan, agar di masa mendatang menjadi kekuatan pendukung
untuk mewujudkan cita-cita bangsa.
3) Perlu dikembangkan kemampuan masyarakat untuk memajukan nilai-nilai luhur
sosial budaya di daerah dan mengadopsi nilai-nilai eksternal positif yang diperlukan
untuk reformasi dalam proses pembangunan.
4) Perlu terus diciptakan suasana yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya sikap
kebudayaan yang mampu menjawab tantangan disiplin dan pembangunan bangsa
melalui pengembangan pranata sosial yang mendukung pemantapan kebudayaan
nasional.
5) Upaya pembenahan bangsa harus terus dilakukan di segala bidang kehidupan,
ekonomi dan sosial budaya.

b. Pendidikan sebagai Proses Pembentukan Pribadi


Sebagai proses pembentukan kepribadian, pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang
sistematis dan teratur yang bertujuan untuk membentuk kepribadian peserta didik. Sistematis,
karena proses pendidikan berlangsung dalam langkah-langkah (proses) yang
berkesinambungan, dan sistematik, karena berlangsung dalam segala kondisi, dalam segala
lingkungan yang saling melengkapi (lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat).
Proses pembentukan kepribadian mencakup dua tujuan yaitu pembentukan kepribadian
bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa, dan bagi mereka yang
dewasa atas usaha sendiri. Yang terakhir ini disebut pendidikan mandiri. Keduanya alami dan
wajib. Kepribadian bayi yang baru lahir belum terbentuk, belum memiliki warna dan
kepribadian tertentu. Dia hanya seorang individu, belum menjadi manusia. Menjadi manusia
membutuhkan bimbingan, pendidikan dan pengalaman dalam hubungannya dengan
lingkungan, khususnya lingkungan pendidikan.
Orang dewasa juga harus berkembang agar kualitas kepribadiannya meningkat seiring
dengan meningkatnya tantangan hidup yang selalu berubah. Dalam konteks ini, dikenal apa
yang disebut pembelajaran sepanjang hayat. Pembentukan kepribadian meliputi pembentukan
daya cipta, rasa dan karsa (kognitif, afektif dan psikomotorik) sesuai dengan perkembangan
jasmani. Dalam kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhubung, pembentukan
kepribadian melibatkan perkembangan adaptasi terhadap lingkungan. kepada diri sendiri dan
kepada Tuhan.
c. Pendidikan sebagai Proses Penyiapan Warga Negara
Pendidikan sebagai pendidikan kewarganegaraan diartikan sebagai kegiatan terencana yang
menjamin peserta didik menjadi warga negara yang baik. Tentu saja istilah “baik” itu relatif,
tergantung dari tujuan nasional masing-masing bangsa, karena setiap bangsa memiliki falsafah
hidup yang berbeda. Warga negara yang baik adalah orang yang mengetahui hak dan
kewajiban warga negara. Hal ini tertuang dalam Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menaati hukum dan pemerintahan itu. tidak ada pengecualian.
d. Pendidikan sebagai Penyiapan Tenaga Kerja
Pendidikan untuk tenaga kerja didefinisikan sebagai suatu kegiatan di mana para siswa
dididik agar mereka memiliki persyaratan dasar untuk bekerja. Pelatihan dasar berupa sikap,
pengetahuan dan keterampilan kerja untuk produksi yang akan datang. Ini adalah tugas
pendidikan yang penting, karena pekerjaan adalah kebutuhan dasar manusia. Pekerjaan
menjadi andalan hidup dan keluarga agar tidak bergantung dan menyusahkan orang lain.
Melalui kerja, seseorang mendapatkan kepuasan bukan hanya karena menerima imbalan, tetapi
juga karena orang lain dapat memberikan sesuatu (jasa atau barang), bersosialisasi, berkreasi
dan menjaga dirinya sendiri. Kebenaran menjadi jelas ketika kita melihat sebaliknya, yaitu
pengangguran adalah musuh kehidupan.
Pasal 27 (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak. dalam butir 23 dinyatakan; Meningkatkan pemerataan pekerja- an
dan kesempatan kerja serta memberikan perhatian khusus kepada pekerja muda. Butir 10
tentang tenaga kerja berisi pernyataan sebagai berikut: 1) Memperoleh pekerjaan, penyediaan
kesempatan kerja. 2) perencanaan terpadu 3) peningkatan pasokan tenaga kerja, pemasaran dan
sistem informasi kesehatan dan keselamatan.
e. Definisi Pendidikan Menurut GBHN
GBHN 1988 (BP 7 Pusat, 1990: 105) memberikan batasan tentang pendidikan nasional
sebagai berikut; Berakar pada budaya bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan
dan nilai kebangsaan, memahami manusia Indonesia serta beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, manusia yang cakap dan mandiri. sehingga ia dapat mengembangkan dirinya
dan masyarakat di sekitarnya serta mampu memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan
bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Definisi ini menggambarkan perkembangan manusia sempurna sebagai tujuan pendidikan.
Dalam pendidikan, perhatian diberikan pada kesatuan aspek fisik dan mental, aspek diri
(individualitas) dan sosial, aspek kognitif, afektif dan psikomotor serta semua aspek hubungan
seseorang dengan dirinya sendiri (konsentris), dengan lingkungan sosial dan alamnya
(horizontal) dan dengan tuhannya (vertikal).
2.1.2 Tujuan dan Proses Pendidikan
a. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan meliputi gambaran tentang nilai-nilai kehidupan yang baik, mulia,
pantas, benar dan indah. Oleh karena itu, tujuan pendidikan mempunyai dua fungsi, yaitu
mengarahkan seluruh kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang harus dicapai melalui
semua kegiatan pendidikan.
Sebagai bagian dari pendidikan, tujuan pendidikan memegang peranan penting bersama
dengan komponen pendidikan lainnya. Dapat dikatakan bahwa semua bagian dari semua
kegiatan pendidikan hanya untuk mencapai atau mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu,
kegiatan yang tidak berkaitan dengan tujuan tersebut dipandang menyimpang, disfungsional
bahkan salah, sehingga realisasinya harus dicegah. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan
pendidikan bersifat normatif, yaitu, mengandung unsur normatif yang bersifat memaksa tetapi
tidak bertentangan dengan hakikat perkembangan siswa dan dapat diterima oleh masyarakat
sebagai nilai yang baik bagi kehidupan.
Tujuan pendidikan bersifat abstrak karena mengandung nilai-nilai abstrak. Tujuan
tersebut bersifat umum, ideal dan mengandung muatan yang sangat luas, yang membuat
implementasinya sangat sulit dalam praktik, tetapi pendidikan harus menjadi kegiatan yang
ditujukan kepada siswa dalam kondisi, tempat dan waktu tertentu, dengan menggunakan alat
khusus. Implementasinya hanya mungkin jika tujuan utamanya jelas (eksplisit), spesifik dan
memadai dalam hal konten, dengan kata lain tujuan umum harus ditentukan dan tujuan terbatas
agar mudah diimplementasikan dalam praktek.
Coba bandingkan 3 macam tujuan di bawah ini:
1) Membimbing peserta didik agar menjadi manusia berjiwa Pancasila (sangat abstrak,
umum, luas, dan sulit direalisasikan).
2) Menumbuhkan jiwa demokratis pada diri peserta didik (masih bersifat umum, belum
mudah direalisasi).
3) Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengajukan pendapat (lingkupnya
terbatas dan mudah dilaksanakan).
Dalam praktik pendidikan, khususnya dalam sistem persekolahan, terdapat beberapa tujuan
antara yang berkisar antara tujuan umum dan tujuan sangat khusus. Tujuan menengah
menggabungkan pencapaian tujuan umum dari beberapa tujuan terperinci yang spesifik. Secara
umum, ada 4 jenjang tujuan; tujuan umum, tujuan institusional, tujuan kurikuler dan tujuan
instruksional.
1) Tujuan umum pendidikan nasional Indonesia ialah manusia Pancasila.
2) Tujuan institusional yaitu tujuan yang menjadi tugas dari lembaga pendidikan tertentu
untuk mencapainya. Misalnya tujuan pendidikan tingkat SD berbeda dari tujuan
pendidikan tingkat menengah, dan seterusnya.
3) Tujuan kurikuler, yaitu tujuan bidang studi atau tujuan mata pelajaran. Misalnya tujuan
IPA, IPS atau Matematika. Setiap lembaga pendidikan untuk mencapai tujuan
institusionalnya menggunakan kurikulum. Kurikulum mempunyai tujuan yang disebut
tujuan kurikuler.
4) Tujuan instruksional materi kurikulum berupa Bahan ajar yang terdiri dari mata
pelajaran dan subbagian kurikulum. Tujuan mata pelajaran dan subtopik bahasan
disebut tujuan pengajaran, yaitu penguasaan mata pelajaran. Tujuan pokok disebut
sebagai tujuan instruksional umum (TIU) dan tujuan sub-pokok sebagai tujuan
instruksional khusus (TIK). TIK merupakan tujuan pada tingkatan paling bawah dan
paling terbatas ruang lingkupnya, bersifat operasional dan terkerjakan.
Secara keseluruhan macam-macam tujuan tersebut merupakan suatu kebulatan. Tujuan
umum memberikan arahan untuk semua tujuan yang lebih rinci dan jenjangnya lebih rendah.
Di sisi lain, tujuan khusus mendukung pencapaian tujuan yang lebih luas dan mencapai tingkat
yang lebih tinggi untuk mencapai tujuan umum.

b. Proses Pendidikan
Proses pendidikan merupakan kegiatan yang ditujukan untuk mencapai tujuan pendidikan,
dimana pendidik menggerakkan seluruh komponen pendidikan. Bagaimana proses pelatihan
dilaksanakan sangat menentukan kualitas hasil untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kualitas proses pendidikan dicirikan oleh dua aspek, yaitu kualitas komponen dan kualitas
pengelolaan, yang saling bergantung satu sama lain. Padahal komponennya cukup bagus.
seperti tersedianya sarana dan prasarana serta biaya yang memadai, maka pencapaian tujuan
tidak akan tercapai secara optimal jika tidak didukung oleh manajemen yang handal. Demikian
juga, manajemen yang baik tetapi buruk mengarah pada hasil yang kurang optimal.
Pengelolaan proses pelatihan meliputi makro, meso dan mikro.
Pengelolaan proses dalam lingkup makro berupa kebijakan-kebijakan pemerintah yang
lazimnya dituangkan dalam bentuk UU Pendidikan, Peraturan Pemerintah, serta dokumen-
dokumen pemerintah tentang pendidikan tingkat nasional yang lain.
Pengelolaan dalam ruang lingkup meso merupakan implikasi kebijakan-kebijakan nasional
ke dalam kebijakan operasional dalam ruang lingkup wilayah di bawah tanggung jawab
Kakanwil Depdikbud.
Pengelolaan dalam ruang lingkup mikro merupakan aplikasi kebijakan-kebijakan
pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan sekolah ataupun kelas, sanggar-sanggar
belajar, dan satuan-satuan pendidikan lainnya dalam masyarakat. Dalam ruang lingkup ini
kepala sekolah, guru, tutor, dan tenaga-tenaga pendidikan lainnya memegang peranan penting
di dalam pengelolaan pendidikan untuk menciptakan kualitas proses dan pencapaian hasil
pendidikan.
Yang menjadi tujuan utama pengelolaan proses pendidikan yaitu terjadinya proses belajar
dan pengalaman belajar yang optimal. Sebab berkembangnya tingkah laku peserta didik
sebagai tujuan belajar hanya dimungkinkan oleh adanya pengalaman belajar yang optimal itu.
Di sini jelas bahwa pendayagunaan teknologi pendidikan memegang peranan penting
Pengelolaan proses pendidikan harus memperhitungkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Karena itu setiap guru wajib mengikuti dengan saksama inovasi-inovasi pendidikan
terutama yang diseminasikan secara meluas oleh pemerintah seperti PPSI, belajar tuntas
(mastery learning), pendekatan CBSA dan keterampilan proses. muatan lokal dalam
kurikulum, dan lain-lainnya agar dapat mengambil manfaatnya.

2.1.3 Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat (PSH)


Pada zaman Nabi Muhammad saw. 14 abad yang lalu, ide dan konsep itu telah
disiarkannya dalam bentuk suatu imbauan; Tuntutlah ilmu mulai sejak di buaian hingga ke
liang lahat. Dalam kenyataan hidup sehari-hari dari dahulu sudah dapat dilihat bahwa pada
hakikatnya orang belajar sepanjang hidup, meskipun dengan cara yang berbeda dan melalui
proses yang tidak sama. Pendeknya tidak ada batas usia yang menunjukkan tidak mungkinnya
dan tidak dapatnya orang belajar.
Dorongan belajar sepanjang hayat itu terjadi karena dirasakan sebagai kebutuhan. Setiap
orang merasa butuh untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya dalam menghadapi
dorongan-dorongan dari dalam dan tantangan alam sekitar, yang selalu berubah. Sepanjang
hidupnya manusia memang tidak pernah berada di dalam suatu vakum. Mereka dituntut untuk
mampu menyesuaikan diri secara aktif, dinamis, kreatif, dan inovatif terhadap diri dan
kemajuan zaman.
Pendidikan itu merupakan bagian integral dari hidup itu sendiri. Prinsip pendidikan seperti
itu mengandung makna bahwa pendidikan itu lekat dengan diri manusia, karena dengan itu
manusia dapat terus menerus meningkatkan kemandiriannya sebagai pribadi dan sebagai
anggota masyarakat, meningkatkan self fullfilment (rasa kepenuhmaknaan) dan terarah kepada
aktualisasi diri. Dalam hubungan dengan lingkungan, mereka dapat menyesuaikan diri secara
adaptatif dan kreatif terhadap tantangan zaman.
PSH bertumpu pada keyakinan bahwa pendidikan itu tidak identik dengan persekolahan,
PSH merupakan sesuatu proses bersinambungan yang berlangsung sepanjang hidup. Ide
tentang PSH yang hampir tenggelam, yang dicetuskan 14 abad yang lalu, kemudian
dibangkitkan kembali oleh Comenius 3 abad yang lalu, ia mendefinisikan PSH sebagai tujuan
atau ide formal untuk pengorganisasian dan penstrukturan pengalaman pendidikan.
Pengorganisasiannya dan penstrukturan ini diperluas mengikuti seluruh rentangan usia, dari
usia yang paling muda sampai paling tua. (Cropley: 67)
PSH bukan suatu sistem pendidikan yang berstruktur, melainkan suatu prinsip yang
menjadi dasar yang menjiwai seluruh organisasi sistem pendidikan yang ada. Dengan kata lain
PSH menembus batas-batas kelembagaan, pengelolaan, dan program yang telah berabad-abad
mendesakkan diri pada sistem pendidikan.
Melemahnya posisi penting keluarga sebagai lembaga pendidikan, perubahan peran
pemuda dan orang dewasa, hubungan sosial pekerja dan manajer, tumbuhnya emansipasi
perempuan dan perubahan persepsi laki-laki sebagai pencari nafkah mempengaruhi kebutuhan
penyesuaian pada keduanya. sisi sebelum kemajuan. Oleh karena itu diperlukan suatu model
pelayanan yang baru, dimana semua yang terlibat selalu dapat bergerak untuk menguasai
tantangan zaman. Model layanan yang relevan adalah pembelajaran sepanjang hayat.

2.1.4 Kemandirian dalam Belajar


a. Arti dan Prinsip yang Melandasi
Kemandirian dalam belajar diartikan sebagai belajar yang lebih merupakan kehendak,
pilihan dan tanggung jawab siswa itu sendiri. Konsep kemandirian belajar didasarkan pada
prinsip bahwa siswa dapat memperoleh hasil belajar berdasarkan keterampilan,
mengembangkan penalaran dan mengembangkan sikap introspeksi diri ketika mereka
mengalami sendiri dalam proses pencapaian hasil belajar tersebut.
b. Alasan yang Menopang
Bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terdapat beberapa alasan
yang memperkuat konsep kemandirian dalam belajar. Conny Semiawan dan kawan-kawan
(Conny S., 1988:14-16) mengemukakan alasan sebagai berikut:
1) Perkembangan IPTEK berlangsung semakin pesat sehingga tidak mungkin lagi para
pendidik (khususnya guru) mengajarkan semua konsep dan fakta kepada peserta didik.
Di samping tidak mungkin, mungkin juga tidak perlu karena kemampuan manusia yang
terbatas untuk menampung ilmu. Jalan keluarnya ialah peserta didik dari dini
dibiasakan bersikap selektif terhadap segala informasi yang membanjirinya. Mereka
harus belajar memiliki sikap mandiri.
2) Penemuan IPTEK tidak mutlak benar 100%, sifatnya relatif. Semua teori mungkin
tertolak dan gugur setelah ditemukan data baru yang sanggup membuktikan kekeliruan
teori tersebut.
3) Para ahli psikologi umumnya sependapat, bahwa peserta didik mudah memahami
konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh konkret dan wajar
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.
4) Dalam pendidikan dan pembelajaran, pengembangan konsep tidak lepas dari
pengembangan sikap dan penanaman nilai pada siswa. Konsep di satu sisi dan sikap
serta nilai di sisi lain harus terintegrasi, agar konsep ilmiah tidak mengarah pada
intelektualisme yang “gersang” tanpa diwarnai sifat manusia. Kemandirian dalam
belajar membuka kemungkinan munculnya manusia-manusia pemikir yang berpadu
menjadi pribadi yang harmonis dan seimbang.
Konsep dasar kemandirian belajar seperti yang disampaikan mempengaruhi konsep belajar,
peran pendidik, khususnya guru, dan peserta didik.
Belajar didefinisikan sebagai pengembangan diri melalui pengalaman berdasarkan
kemampuan belajar mandiri yang dibimbing pengajar.
Mengajar didefinisikan sebagai kegiatan pendidikan yang menawarkan kesempatan untuk
menemukan (bukan memberi) berdasarkan kemampuan peserta didik.

2.2 Unsur-Unsur Pendidikan


Proses Pendidikan melibatkan banyak hal, yaitu:
2.2.1 Peserta Didik
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebut
demikian karen peserta didik merupakan subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui
keberadaannya. Sebagai pribadi yang memiliki ciri khas dan otonomi, ia ingin
mengembangkan diri decara terus-menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup yang
dijumpai sepanjang hidupnya.
Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah:
1) Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan
yang unik
2) Individu yang sedang berkembang
3) Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi
4) Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri

2.2.2 Pendidik
Pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan
sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan, yaitu
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu yang bertanggung jawab
terhadap pendidikan ialah orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, Latihan dan
masyarakat/organisasi.
Hal terpenting yang harus dimiliki seorang pendidik ialah kewibawaan dan menghindari
penggunaan kekuasaan yang berwewenang dengan unsur jabatan. Kewibawaan merupakan
sesuatu pancaran batin yang dapat menimbulkan pada pihak lain sikap untuk mengakui,
menerima dan menuruti dengan penuh pengertian atas kekuasaan tersebut.
Kewibawaan mendidik hanya dimiliki oleh mereka yang sudah dewasa, dewasa disini
ialah kedewasaan rohani yang ditopang kedewasaan jasmani. Kedewasaan rohani tercapai bila
individu telah memiliki cita-cita hidup dan pandangan hidup, sedangkan kedewasaan jasmani
tercapai bila individu telah mencapai puncak perkembangan jasmani yang optimal. Orang
dewasa adalah orang yang mampu mempertanggungjawabkan segenap aktivitas yang bertalian
dengan statusnya. Pendidik adalah pendukung norma-norma, ia memiliki tugas untuk
mentransformasikan norma-norma atau kewibawaan itu kepada peserta didik.

2.2.3 Interaksi Edukatif antara Peserta Didik dengan Pendidik


Interkasi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antar peserta didi dengan
pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal
ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan memanipulasi isi, metode serta alat-
alat pendidikan.
2.2.4 Materi/Isi Pendidikan
Dalam sistem pendidikan persekolahan, materi telah diramu dalam kurikulum yang akan
disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Materi ini meliputi materi inti maupun muatan
lokal. Materi inti bersifat nasional yang mengandung misi pengendalian dan persatuan bangsa.
Sedangkan muatan lokal misinya adalah mengembangkan kebhinnekaan kekayaan budaya
sesuai dengan kondisi lingkungan. Dengan demikian jiwa dan semangat Bhinneka Tunggal Ika
dapat ditumbuhkembangkan.
2.2.5 Konteks yang Mempengaruhi Pendidikan
a. Alat dan Metode
Alat dan metode pendidikan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Alat melihat jenisnya
sedangkan metode melihat efisiensi dan efektivitasnya. Alat dan metode diartikan sebagai
segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan
pendidikan. Alat pendidikan dibedakan atas yang preventif (pencegahan agar sesutau tidak
terjadi) dan yang kuratif (memperbaiki suatu hal).
Salah satu alat pendidikan yang sangat istimewa dan bersifat khusus ialah "hukuman".
Sebabnya karena hukuman mesti menimbulkan penderitaan, sehingga penggunaan hukuman
harus dipertimbangkan dengan saksama, baru boleh digunakan manakala sudah tidak ada alat
lain yang berkhasiat. Itu pun harus diperhitungkan sedemikian rupa sehingga hukuman dapat
menimbulkan nestapa sesuai dengan kemampuan si salah untuk memikulnya. Inilah yang
dimaksud dengan hukuman yang pedagogis. Hanya hukuman yang demikian ini bersifat
memperbaiki yaitu menjadikan si salah menyadari kesalahannya, menyesali perbuatannya, dan
memperbaiki dirinya.
b. Tempat Peristiwa Bimbingan Berlangsung (Lingkungan Pendidikan)
Lingkungan pendidikan biasa disebut tri pusat pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

2.3 Pendidikan sebagai Sistem


Sistem merupakan himpunan komponen yang saling berkaitan yang bersama-sama ber-
fungsi untuk mencapai suatu tujuan. (Tatang Amirin,1992:10)

ciri umum dari sistem. yaitu yang mencakup hal-hal sebagai berikut:

1) Sistem merupakan suatu kesatuan yang berstruktur.


2) Kesatuan tersebut terdiri dari sejumlah komponen yang saling berpengaruh.
3) Masing-masing komponen mempunyai fungsi tertentu dan secara bersama-sama
melaksanakan fungsi struktur, yaitu mencapai tujuan sistem

Dengan demikian sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan integral dari sejumlah
komponen. Komponen-komponen tersebut satu sama lain saling berpengaruh dengan fungsinya
masing-masing, tetapi secara fungsi komponen-komponen itu terarah pada pencapaian satu
tujuan (yaitu tujuan dari sistem).
Pendidikan sebagai sebuah sistem terdiri dari sejumlah komeponen:
1) Sistem baru merupakan masukan mentah (raw input) yang akan diproses menjadi
tamatan (output)
2) Guru dan tenaga kerja, administrasi sekolah, kurikulum, anggaran pendidikan,
prasarana dan sarana merupakan masukan instrumental (instrumental input) yang
memungkinkan dilaksanakannya pemprosesan masukan mentah menjadi tamatan
3) Corak budaya dan kondisi ekonomi masyarakat sekitar, kependudukan, politik dan
keamanan negara merupakan factor lingkungan (environmental input) yang secara
langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap berperannya masukan instrumental
dalam pemprosesan masukan mentah.
Penggunaan analisis sistem dalam pendidikan dimaksudkan untuk memaksimalkan
pencapaian tujuan pendidikan dengan cara yang efisien dan efektif. Prinsip utama dari
penggunaan analisis sistem ialah: Bahwa kita dipersyaratkan untuk berpikir secara
sistematik,artinya kita harus mem- perhitungkan segenap komponen yang terlibat dalam
masalah pendidikan yang akan dipecahkan. Cara demikian memungkinkan kita untuk tidak
terburu-buru mengambil keputusan setelah melihat suatu alternatif sebagai satu-satunya yang
dapat digunakan.
Komponen-komponen yang baik menunjang terbentuknya suatu sistem yang baik. Tetapi
komponen yang baik saja belum menjamin tercapainya tujuan sistem secara optimal, manakala
komponen tersebut tidak berhubungan secara fungsional dengan komponen yang lain.
Hubungan fungsional antarkomponen ini berupa hubungan yang bersifat dinamis
antarkomponen-komponen dan gerak fungsi dari seluruh komponen terarah
kepada tujuan sistem.
Tujuan dari sistem pendidikan haruslah memuat nialai-nilai sebagai kaidah hidup yang
mulia, dapat dikatakan tujuan bersifat normatif (mengandung norma-norma yang harus dicapai
dan mengikay komponen-komponen yang lain).
2.3.1 Keterkaitan Antara Pengajaran dan Pendidikan
Pengajaran (Instruction)
 Lebih menekankan pada penguasaan wawasan dan pengetahuan tentang bidang
program tertentu seperti pertanian, kesehatan, dan lain-lain.
 Makan waktu relatif pendek.
 Metode lebih bersifat rasional.
Pendidikan (Education)
 Lebih menekankan pada pembentukan manusianya (penanaman sikap dan nilai-nilai)
 Makan waktu relatif panjang
 Metode lebih bersifat psikologis dan teknis praktis.
2.3.2 Pendidikan Formal, Non-Formal, dan Informal sebagai Sebuah Sistem
Pendidikan formal (PF) yang sering disebut pendidikan persekolahan, berupa rangkaian
jenjang pendidikan yang telah baku. Mulai dari jenjang sekolah dasar (SD) sampai dengan
perguruan tinggi (PT). Sementara itu pendidikan taman kanak-kanak masih dipandang sebagai
pengelompokan belajar yang menjembatani anak dalam suasana hidup dalam keluarga dan di
sekolah dasar. Biasa juga disebut pendidikan prasekolah dasar (Pra-Elementary School).
Menurut UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan setiap
warga negara diwajibkan mengikuti pendidikan formal minimal sampai tamat SMP.
Bagi warga negara yang tidak sempat mengikuti ataupun menyelesaikan pendidikan
pada jenjang tertentu dalam pendidikan formal (putus sekolah) disediakan pendidikan
nonformal, untuk memperoleh bekal guna terjun ke masyarakat. Pendidikan nonformal (PNF)
sebagai mitra pendidikan formal (PF) semakin hari semakin berkembang sejalan dengan
perkembangan masyarakat dan ketenagakerjaan. Dilihat dari segi wujud atau bentuk
penyelenggaraan semakin beraneka ragam mulai dari paguyuban, sarasehan. kursus-kursus,
kejar paket A dan B sampai kepada gerakan-gerakan seperti PKK dengan aneka ragam
programnya. Di samping ragamnya yang bertambah, juga kualitasnya mengalami peningkatan.
Pendidikan formal, nonformal dan informal ketiganya hanya dapat dibedakan tetapi
sulit dipisahkan karena keberhasilan pendidikan dalam arti terwujudnya keluaran pendidikan
yang berupa sumber daya manusia sangat tergantung kepada sejauh mana ketiga sub-sistem
tersebut berperanan.

Anda mungkin juga menyukai