Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik


untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan
merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia. Ibarat biji mangga bagaimanapun
wujudnya jika ditanam dengan baik, pasti menjadi pohon mangga dan bukannya menjadi
pohon jambu.

Tugas mendidik hanya mungkin dilakukan dengan benar dan tepat tujuan, jika
pendidik memiliki gambaran yang jelas tentang siapa manusia itu sebenarnya. Manusia
memiliki ciri khas yang secara prinsipil berbeda dari hewan. Ciri khas manusia yang
membedakannya dari hewan terbentuk dari kumpulan terpadu (integrated) dari apa yang
disebut sifat hakikat manusia. Disebut hakikat manusia karena secara hakiki sifat tersebut
hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Pemahaman pendidik terhadap
sifat hakikat manusia akan membentuk peta tentang karakteristik manusia. Peta ini akan
menjadi landasan serta memberikan acuan baginya dalam bersikap, menyusun strategi,
metode, dan teknk, serta memilih pendekatan dan orientasi dalam merancang dan
melaksanakan komunikasi transaksional di dalam interaksi edukatif. Dengan kata lain,
dengan menggunakan peta tersebut sebagai acuan seorang pendidik tidak mudah terkecoh
ke dalam bentuk-bentuk transaksional yang patologis dan berakibat merugikan subjek
didik.

Alasan kedua mengapa gambaran yang benar dan jelas tentang manusia itu perlu
dimiliki oleh pendidik adalah perkembangan sains dan teknologi yang sangat pesat dewasa
ini, lebih-lebih pada masa mendatang. Memang banyak manfaat yang dapat diraih bagi
kehidupan manusia darinya. Namun, di sisi lain tidak dapat dielakkan akan adanya dampak
negatif yang terkadang tanpa disadari sangat merugikan bahkan mungkin mengancam
keutuhan eksistensi manusia seperti ditemukannya bom kimia dan bakteri, video, dan DBS
(Direct Broad-casting System), rekayasa genetika dan lain-lain yang digunakan secara
tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, sangat strategis jika pembahasan tentang hakikat
manusia ditempatkan pada bagian pertama dari seluruh pengkajian tentang pendidikan
dengan harapan menjadi titik tolak bagi paparan selanjutnya.

1
1.1 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sifat hakikat manusia?
2. Bagaimana dimensi-dimensi hakikat manusia?
3. Bagaimana potensi dan keunikan dinamika manusia?

1.2 Tujuan
1. Mengetahui sifat hakikat manusia
2. Mengetahui dimensi-dimensi hakikat manusia
3. Mengetahui potensi dan keunikan dinamika manusia

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sifat Hakikat Manusia
Sifat hakikat manusia menjadi bidang kajian filsafat khususnya filsafat antropologi. Hal
ini menjadi keharusan oleh karena pendidikan bukanlah sekedar soal praktek melainkan
praktek yang berlandasan dan bertujuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan itu
sendiri sifatnya filosofis normatif. Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan
yang kukuh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis, dan universal
tentang ciri hakiki manusia. Bersifat normatif karena pendidikan mempunyai tugas untuk
menumbuhkembangkan sifat hakikat manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur
dan hal itu menjadi keharusan.
1. Pengertian Sifat Hakikat Manusia

Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri yang secara prinsipil (jadi bukan hanya
gradual) membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia dengan hewan
banyak kemiripan terutama dilihat dari segi biologisnya.

Bentuknya (misalnya orang utan) bertulang belakang seperti manusia, berjalan tegak
dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan dan menyusui anaknya, pemakan segala,
dan adanya persamaan metabolisme dengan manusia. Bahkan beberapa filosof seperti
Socrates menamakan manusia itu Zoon Politicon (hewan yang bermasyarakat), Max
Scheller menggambarkan manusia sebagai Das Kranke Tier (hewan yang sakit) yang selalu
gelisah dan bermasalah (Drijarkara, 1962: 138).

Kenyataan dan pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira
bahwa hewan dan manusia itu hanya berbeda secara gradual yaitu suatu perbedaan yang
dengan melalui rekayasa dapat dibuat menjadi sama keadaannya misalnya air karena
perubahan temperatur lalu menjadi es batu. Seolah-olah dengan kemahiran rekayasa
pendidikan orang utan dapat dijadikan manusia. Upaya manusia untuk mendapatkan
keterangan bahwa hewan tidak identik dengan manusia telah ditemukan. Charles Darwin
(dengan teori evolusinya) telah berjuang untuk menemukan bahwa manusia berasal dari
primata atau kera tetapi ternyata gagal. Ada misteri yang dianggap menjembatani proses
perubahan dari primat ke manusia tidak sanggup diungkapkan yang disebut The Missing
Link yaitu suatu mata rantai yang purus. Ada suatu proses antara yang tak dapat dijelaskan.

3
Jelasnya tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai
bentuk ubah dari primat atau kera melalui proses evolusi yang bersifat gradual.

2. Wujud Sifat Hakikat Manusia

Pada bagian ini akan dipaparkan wujud sifat hakikat manusia (yang tidak dimiliki
oleh hewan) yang dikemukakan oleh paham eksistensialisme dengan maksud menjadi
masukan dalam membenahi konsep pendidikan yaitu:

a. Kemampuan menyadari diri

Kaum rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya
kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan
menyadari diri yang dimiliki oleh manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya
memiliki ciri khas atau karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan
dirinya dengan aku-aku yang lain (ia, mereka) dan dengan non-aku (lingkungan fisik) di
sekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan, lebih dari itu manusia dapat mambuat jarak
(distansi) dengan lingkungannya, baik yang berupa pribadi maupun nonpribadi atau benda.
Orang lain merupakan pribadi-pribadi di sekitar, adapun pohon, batu, cuaca dan
sebagainnya merupakan lingkungan nonpribadi. Kemampuan membuat jarak dengan
lingkungannya berarah ganda, yaitu arah keluar dan ke dalam. Dengan arah keluar, aku
memandang dan menjadikan lingkungan sebagai objek, selanjutnya aku memanipulasi ke
dalam lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya. Puncak aktivasi yang mengarah keluar
ini dapat dipandang sebagai gejala egoisme. Dengan arah ke dalam, aku memberi status
kepada lingkungan (dalam hal ini kamu, dia, mereka), sebagai subjek yang berhadapan
dengan aku sebagai objek yang isinya adalah pengabdian, pengorbanan tenggang rasa, dan
sebagainya. Dengan kata lain aku keluar dari dirinya dan menempatkan aku pada diri orang
lain. Gejala ini lazimnya dipandang oleh masyarakat sebagi sesuatu yang terpuji. Di dalam
proses pendidikan, kecenderungan dua arah tersebut perlu dikembangkan secara berimbang.
Pengembangan arah keluar merupakan pembinaan aspek sosialitas, sedangan
pengambangkan arah ke dalam berarti pembinaan aspek individualitas manusia.

b. Kemampuan bereksistensi

Dengan keluar dari dirinya dan dengan membuat jarak antar aku dengan dirinya
sebagai objek, lalu melihat objek itu sebagai sesuatu berarti manusia itu dapat menembus

4
atau menerobos dan mengatasi batas-batas yang mebelenggu dirinya. Kemampuan
menerobos ini bukan saja dalam kaitannya dengan soal ruang melainkan juga dengan waktu.
Dengan demikian manusia tidak terbelenggu oleh tempat atau ruang ini (di sini) dan waktu
ini (sekarang) tapi dapat menembus ke sana dan ke masa depan ataupun masa
lampau. Kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan
bereksistensi. Justru karena manusia mamiliki kemampuan bereksistensi inilah maka pada
manusia terdapat unsur kebebaan. Dengan kata lain, adanya manusia bukan ber-ada
seperti hewan di dalam kandang dan tumbuh-tumbuhan di dalam kebun, melainkan meng-
ada di muka bumi (Drijarkara, 1962: 61-63). Jika seandainya pada diri sendiri manusia
tidak terdapat kebebasan atau kemampuan bereksistensi maka manusia itu tidak lebih dari
hanya sekedar esensi belaka artinya ada hanya sekedar ber-ada dan tidak pernah meng-
ada atau bereksistensi. Adanya kemampuan bereksistensi inilah pula yang membedakan
manusia sebagai makhluk human dari hewan selaku makhluk infra human di mana hewan
menjadi onderdil dari lingkungan sedangkan manusia menjadi manajer terhadap
lingkungannya. Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik
diajar agar belajar dari pengalamannya, belajar mengantisipasi sesuatu keadaan dan
peristiwa, belajar melihat prospek masa depan dari sesuatu, serta mengembankan daya
imajinasi kreatif sejak dari masa kanak-kanak.

c. Pemilihan kata hati

Kemampuan membuat keputusan tentang yang baik atau benar dan yang buruk atau
salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitan dengn moral (perbuatan), kata hati
merupakan petunjuk bagi moral atau perbuatan. Usaha untuk mengubah kata hati yang
tumpul menjadi kata hati yang tajam disebut pendidikan kata hati (gewetan forming).
Realisasinya dapat ditempuh dengan melatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi.
Tujuannya agar orang memiliki keberanian moral (berbuat) yang didasari oleh kata hati
yang tajam.

d. Moral

Moral yang sinkron dengan kata hati yang tajama yaitu yang benar-benar baik bagi
manusia sebagai manusia merupakan moeal yang baik atau moral yang tinggi (luhur).
Sebaliknya perbuatan yang tidak sinkron dengan kata hati yang tajam ataupun merupakan
realisasi dari kata hati yang tumpul disebut moral yang bururk atau moral yang rendah (asor)
atau lazim dikatakan tidak bermoral. Seseorang diakatan bermoral tinggi karena ia

5
menyatukan diri dengan nilai-nilai yang tinggi serta segenap perbuatannya merupakan
peragaan dari nilai-nilai yang tinggi tersebut.

e. Kemampuan bertanggung jawab

Tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa


sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia dan bahwa hanya karena itu
perbuatan tersebut dilakukan sehingga sanksi apapun yang dituntutkan (oleh kata hati, oleh
masyarakat, oleh norma-norma agama) diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Dari
uraian ini menjadi jelas betapa pentingnya pendidikan moral bagi peserta didik baik sebagai
pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.

f. Rasa kebebasan (kemerdakaan)

Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan
tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini ada dua hal yang kelihatannya saling
bertentangan yaitu rasa bebas dan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.

Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan.


Artinya bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia. Orang
hanya mungkin merasakan adanya kebebasan batin apabila ikatan-ikatan yang ada telah
menyatu dengan dirinya dan menjiwai segenap perbuatannya. Dengan kata lain, ikatan luar
(yang membelenggu) telah berubah menjadi ikatan dalam (yang menggerakkan). Pernyataan
tersebut menunjukkan bahwa merdeka tidak sama dengan berbuat bebas tanpa ikatan.
Perbuatan bebas membabi buta tanpa memperhatikan petunjuk kata hati, sebenarnya hanya
merupakan kebebasan semu. Sebab hanya kelihatannya bebas, tetapi sebenarnya justru tidak
bebas karena perbuatan seperti itu segera disusul dengan saksi-sanksinya. Di sini terlihat
bahwa kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan moral.

g. Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak

Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari
manusia sebagai makhluk sosial. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain. Tak
ada hak tanpa kewajiban. Pada dasarnya, hak itu adalah sesuatu yang masih kosong. Artinya
meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu seseorang mengetahuinya, meskipun
sudah diketahui, belum tentu orang mau mempergunakannya, namun terlepas dari itu tetap
ada pihak yang berkewajiban untuk bersiap sedia memenuhinya. Kemampuan menghayati
kewajiban bertumbuh melalui suatu proses. Usaha menumbuhkembangkan rasa wajib

6
sehingga dihayati sebagai suatu keniscayaan dapat ditempuh melalui pendidikan disiplin.
Benih-benih kedisiplinan dan rasa tanggung jawab seharusnya sudah mulai
ditumbuhkembangkan sejak dini, bahkan sejak anak masih dalam ayunan, melalui latihan
kebiasaan khususnya mengenai hal-hal yang nantinya bersifat rutin dan dibutuhkan di dalam
kehidupan.

Disiplin menurut Selo Soemarjan (wawancara TVRI, Desember 1990) dalam


buku Teori dan Praktek Pendidikan meliputi empat aspek, yaitu:

1) Disiplin rasional, yang bila terjadi pelanggaran menimbulkan rasa salah.


2) Disiplin sosial, jika dilanggar menimbulkan rasa malu.
3) Disiplin afektif, jika dilanggar menimbulkan rasa gelisah.
4) Disiplin agama, jika terjadi pelanggaran menimbulkan rasa berdosa

h. Kemampuan menghayati kebahagiaan

Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir kehidupan manusia. Penghayatan hidup
yang disebut kebahagiaan ini meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi tidak sulit
untuk dirasakan. Kebahagiaan sering dihayati sebagai rasa: senang, gembira, bahagia, dan
sejumlah istilah lain yang mirip dengan itu. Sebagian orang mungkin menganggap segenap
kesenangan, kegembiraan, kepuasan, dan sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman pahit
dan penderitaan.

Bahagia merupakan suatu bentuk penghayatan hidup yang dihasilkan dari proses
integrasi dari pengalaman-pengalaman yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan.
Kebahagiaan bersifat irasional karena pada saat orang menghayati kebahagiaan, aspek rasa
lebih berperan daripada aspek nalar. Kebahagiaan biasanya didominasi oleh perasaan
namun tidak demikian, karena aspek-aspek kepribadian yang lain seperti akal pikiran juga
ikut berperan.

Kebahagiaan itu terletak pada keadaannya sendiri secara factual ataupun pada
rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya tetapi terletak pada
kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukan hal-hal
tersebut di dalam rangkaian atau ikatan tiga hal yaitu: usaha norma-norma, dan takdir. Usaha
adalah perjuangan yang terus menerus untuk mengatasi masalah hidup. Hidup dengan
menghadapi masalah itulah realisasi hidup, karena itu masalah hidup harus dihadapi.
Masalah hidup adalah sesuatu yang realistis, objektif, bukan sesuatu yang dibuat-buat.

7
Orang mengalami kebahagiaan bila bersedia menyerah kepada objektivitas (Drijarkara).
Kebahagiaan juga sesuatu yang realistis bukan dibuat-buat. Orang yang menderita tidak
dapat mengatakan kepada orang lain bahwa ia bahagia, atau menunjukkan sikap atau lagak
seolah-olah bahagia.

Kebahagiaan adalah hidup yang tentram. Hidup tentram terlaksana dalam hidup
tanpa ada tekanan. Itulah hidup merdeka. Kebahagiaan bersifat individual karena derajat
kebahagiaan sangat tergantung kepada orang seorang. Kebahagiaan juga mengandung sisi
sosial karena norma-norma/kaidah-kaidah hidup selalu bersifat sosial. Kemudian takdir
merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dalam proses terjadinya kebahagiaan.
Komponen takdir ini erat kaitanya dengan komponen berusaha. Akhirnya dapat disimpulkan
bahwa keabhagiaan itu dapat diusahakan peningkatannya. Ada dua hal yang dapat
dikembangkan, yaitu: kemampuan berusaha dan kemampuan menghayati usaha dalam
kaitannya dengan takdir. Dengan demikian pendidikan punya peran peting sebagai wahana
untuk mencapai kebahagiaan, utamanya pendidikan keagamaan.

Manusia adalah makhluk yang serba terhubung dengan masyarakat lingkungannya,


dirinya sendiri, dan tuhan. Dalam hubungan ini, pendidikan mempunyai peran penting
sebagai wahana untuk mengantar peserta didik mencapai kebahagiaan, yaitu dengan jalan
membantu mereka meningkatkan kualitas hubungan dengan dirinya, lingkungannya, dan
tuhannya. Manusia yang menghayati kebahagiaan adalah pribadi manusia dengan segenap
keadaan dan lingkungannya. Manusia menghayati kebahagiaan apabila jiwanya bersih dan
stabil, jujur, bertanggung jawab, mempunyai pandangan hidup dan keyakinan hidup yang
kukuh dan bertekad untuk merealisasikan dengan cara yang realistis.

2.2 Dimensi-dimensi Hakikat Manusia, Potensi dan Keunikan Dinamikanya

Pada hakikatnya, manusia ialah makhluk yang memiliki keunikan tersendiri, yakni
memiliki dimensi-dimensi yang tercakup pada diri manusia itu sendiri dan dimensi-dimensi
tersebut adalah:

1. Dimensi keindividualan
2. Dimensi kesosialan
3. Dimensi kesusiaan
4. Dimensi keberagaman

8
1. Dimensi Keindividualan

Lysen mengartikan individu sebagai orang-seorang sesuatu yang merupakan suatu


keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in device). Kemudian individu juga diartikan
pribadi. Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda
dengan yang lain, atau menjadi dirinya sendiri. Setiap orang memiliki sifat
keindividualannya masing-masing. Bahkan dua anak kembar yang berasal dari satu telurpun,
yang biasa dikatakan dengan pinang dibelah dua, serupa dan sulit dibedakan satu sama lain,
akan tetapi hanya serupa dari sisi yang satunya saja dan berbeda dari sisi yang lainnya, apalagi
identik. Hal yang berbeda ini berlaku pada sifat-sifat fisiknya ataupun kejiwaannya.
Dikatakan bahwa individu itu berbeda-beda atau bisa dibilang sangatlah unik. Secara fisik
memanglah bisa dikatakan tidak ada bedanya tetapi terdapat perbedaan dimatanya. Secara
rohani mungkin kapasitas intelegansinya sama, tetapi kecenderungan dan perhatian terhadap
sesuatunya berbeda, karena adanya individualitas itu setiap manusia memiliki kehendak,
perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang berbeda. Dalam hidup
sehari-hari misalanya dua orang yang memiliki nama yang sama, Ahmad misalnya tetapi
sesama Ahmad mereka berdua tidak mau disamakan, bisa jadi mereka marah akan hal
tersebut, ada juga yang memiliki di sekolah atau di lingkungan masyarakat terdapat anak yang
bebeda keluarga, tetapi secara fisik mereka terlihat seperti memiliki kemiripan antara satu
sama lain, akan tetapi sangatlah jelas mereka berdua menolak akan kesamaan mereka satu
sama lain, pendek kata mereka mempertahkan kekhasannya masing-masing. Gambaran
tersebut telah dikemukaan oleh Francis Galton seorang Ahli Biologi dan Matematika Inggris,
dari hasil penelitiannya terhadap banyak pasangan kembar satu ibu. Ternyata tidak ada
pasanganpun yang identik. Keindentikan akan perbedaan ini sudah mulai tumbuh sejak
seorang anak yang menolak ajakan ibunya pada masa kanak-kanak. Perkembangan lebih
lanjut menujukan bahwa setiap orang memiliki sikap dan pilihan sendiri yang dipertanggung
jawabkan sendiri tanpa mengharapkan bantuan orang lain (Tirtarahardja, 2005).

2. Dimensi Kesosialan
Setiap bayi yang lahir dikarunia potensi sosialitas. Demikian kata M.J Lavebgled.
Pernyataan tersebut diartikan bahwa setap anak dikaruniai benih kemungkinan untuk
bergaul. Arinya, setiap anak dapat saling berkomunikasi yang pada hakikatnya didalamnya
terkandung unsur saling memberi dan menerima. Bahkan menerut lavengeld, adanya

9
kesediaan untuk saling memberi dan menerima itu dipandang sebagai kunci sukses pergaulan.
Adanya dorongan untuk menerima dan memberi itu sudah menggejala mulai pada bayi.
Seorang bayi sudah dapat menyambut atau menerima belaian ibunya dengan rasa
senang.kemudian sebagai balasan ia dapat memberikan senyuman kepada lingkungannya,
khususnya pada ibunya sendiri. Kelak jika sudah dewasa dan menduduki status atau
pekerjaan tertentu, dorongan menerima dan memberi itu berubah menjadi kesadaran akan hak
yang harus diterima dan kewajiban yang harus dilaksankan untuk kepentingan pihak lain
sebagai realisasi dari memberi (Tirtarahardja, 2005).

3. Dimensi Kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan
tetapi, di dalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas jika
didalam pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung, karena itu maka
pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih.
Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah yang mempunyai konotasi berbeda
yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Orang
yang jahat berarti melanggar hak orang lain dan dikatakan tidak beretika atau tidak bermoral.
Sedangkan tidak sopan diartikan sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar ada orang lain
yang merasa dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan ketidak
senangan orang lain. Sehubungan dengan hal tersebut ada dua pendapat, yaitu:

1. Golongan yang menganggap bahwa kesusilaan mencakup kedua-duanya. Etiket


tidak usah dibedakan dari etika karena sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan.
Kedua-duanya bertalian erat.
2. Golongan yang memandang bahwa etiket perlu dibedakan dari etika, karena
masing-masing mengandung kondisi yang tidak selamanya selalu sejalan. Orang
yang sopan belum tentu baik, dalam arti tidak merugikan orang lain, sebaliknya
orang yang baik belum tentu halus dalam hal kesopanan. Kesopanan sebagai
kendaraan dalam sebuah pergaulan hidup, sedangkan etika merupakan
tehnologinya. Kesopanan dan kebaikan masing-masing diperlukan demi
keberhasilan hidup dalam bermasyarakat. Didalam urusan ini kesusilaan diartikan
mencakup etika dan etiket. Persoalan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan
nilai-nilai. Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan utuk mengambil
keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah

10
makhluk susia. Jangankan antara memahami dan melaksanakan yang rentangannya
begitu jauh, antara niat (kesediaan untuk melaksanakan) dengan perbuatan
(melaksanakan) yang rentangannya begitu dekat saja masih sering terjadi
kesenjangan. Sering niat baik yang sudah menggebu-gebu tetapi tidak sampai
berkelanjutan pada perbuatan.

Berdasarkan uraian tersebut maka pendidikan kesusilaan meliputi rentangan yang


luas penggarapanya. Mulai dari ranah kognitif yaitu dari mengetahui sampai kepada
menginternalisasi nilai sampai ranah afektif dari menyakini, meniati sampai kepada siap
sedia untuk melakukan. Meskipun demikian tekananya seharusnya diletakan pada ranah
afektif. Konsekuensinya adalah sering memakan waktu panjang dalam pemprosesannya,
berkesinambungan, dan memerlukan kesabaran serta ketekunan dari pihak pendidik.
Adanya penyeimbang yang selaras antara melaksanakan kewajiban dengan terhadap hak (to
give and to take) didalam kehidupan menggambarkan kesusilaan yang sehat. Didalam dunia
pendidikan intinya adalah pelayana, berlaku hukum saya akan memberikan lebih dari pada
yang saya terima. Implikasi pedagogisnya adalah bahwa pendidikan kesusilaan berarti
menanamkan kesadaran dan kesediaan melakukan kewajiban di samping menerima hak
pada peserta didik. Pada masyarakat kita, pemahaman terhadap hak (secara objektif
rasional) masih perlu ditanamkan tanpa mengabaikan kesadaran dan keesediaan
melaksanakan kewajiban. Hal ini penting, sebab kepincangan antara keduanya bagaimana
pun juga akan menggangu suasana hidup yang sehat (Tirtarahardja, 2005).

3. Dimensi Keberagaman
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religious. Sejak dahulu kala, sebelum
manusia mengenal agam mereka telah percaya bahwa diluar alam yang dapat dijangkau
dengan perantaraan alat indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang
menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut
diciptakanlah mitos-mitos. Misalnya untuk meminta sesuatu dari kekuatan-kekuatan
tersebut dilakukan bermacam-macam upacara, menyediakan sesajen-sesajen dan
memberikan korban-korban. Sikap dan kebiasaan yang membudaya pada nenek moyang
kita seperti tiu dipandang sebagai embrio dari kehidupan manusia dalam beragama.
Kemudian setelah ada agama manusia mulai menganutnya. Beragama adalah kebutuhan
manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat
bertopang. Ph. Kohnstamm bahwa pendidikan agama seyogianya menjadi tugas orang tua

11
dalam lingkungan keluarga, kata pendidikan agama adalah persoalan afektif dan kata
hati.Pesan-pesan agam harus tersalur dari hati ke hati.Terpancar dari ketulusan serta
kesungguhan hati orangtua dan menembus ke anak. Pendapat Kohnstamm ini mengandung
kebenaran dilihat dari segi kualitas hubungan antara pendidik dengan peserta didik.
Disamping itu juga penanaman sikap dan kebiasaan dalan beragama dimulai dari sedini
mungkinm meskipun masih terbatas pada latihan kebiasaan (habit formation). Tetapi untuk
pengembangan pengkajian lebih lanjut tentunya tidak dapat diserahkan hanya kepada
orangtua. Untuk itu pengkajian agama secara masal dapat dimamfaatkan misalnya
pedidikan agama di sekolah.
Pemerintahan dengan GBHN memasukan pendidikan agama kedalam kedalam
kurikulum disekolah baik SD sampai dengan perguruan tinggi.Namun tetap harus disadari
bahwa pendidikan agama bukan semata-mata pelajaran agama yang hanya memberikan
pengetahuan tentang agama. Jadi segi-segi afektif harus diutamakan. Disamping itu
mengembangkan kerukunan hidup diantara sesama umat beragama dan penganut
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapat perhatian (GBHN, hal.134 butir
a.1). Kiranya tidak cukup jika pendidikan agama hanya ditempuh melalui pendidikan formal.
Kegiatan didalam pendidikan non-formal dan informal dapat dimanfaatkan untuk keperluan
tersebut (Tirtarahardja, 2005).

2.3 Pengembangan Dimensi-Dimensi Hakikat Manusia


Sasaran pendidikan adalah manusia sehingga dengan sendirinya pengembangan
dimensi hakikat manusia menjadi tugas pendidikan. Mausia lahir telah dikaruniai dimensi
hakikat manusia tetapi masih dalam wujud potensi, belum teraktualisasi menjadi wujud
kenyataan atau aktualisasi. Dari kondidi potensi menjadi wujud aktualisasi terdapat
rentangan proses yang mengundang pendidikan untuk berperan dalam memberikan jasanya.
Seseorang yang dilahirkan dengan bakat seni misalnya, memerlukan pendidikan untuk
diproses menjadi seniman terkenal. Setiap manusia lahir dikaruniai naluri yaitu dorongan-
dorongan yang alami (dorongan makan,seks,mempertahankan diri dan lain-lain). Jika
seandainya manusia dapat hidup hanya dengan naluri maka tidak bedanya ia dengan hewan.
Hanya melalui pendidikan status hewani itu dapat diubah ke arah status manusiawi.
Meskipun pendidikan itu pada dasarnya baik tetapi dalam pelaksanaanya mungkin saja bisa
terjadi keslahan-kesalahan yang lazimnya disebut salah didik. Hal demikian bisa terjadi
karena pendidik itu manusia biasa, yang tidak luput dari kelemahan-kelemahan. Sehubugan
dengan itu ada dua kemungkinan yang bisa terjadi yaitu:

12
1. Pengembangan yang utuh

Tingkat keutuhan perkembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor,
yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri dan kualitas pendidikan yang disediakan
untuk memberikan pelayanan atas perkembangannya. Meskipun ada tendensi pandangan
modern yang lebih cenderung memberikan tekanan lebih pada pengaruh perkembangan iptek
yang sangat pesat yang memberikan dampak kepada peningkatan perekayasaan pendidikan
melalui teknologi pendidikan. Namun demikian kualitas dari hasil akhir pendidikan sebenarnya
harus dipulangkan kembali kepada peserta didik itu sendiri sebagai subjek sasaran pendidikan.
Pendidikan yang berhasil adalah pendidkan yang sanggup menghantar subjek didik menjadi
dirinya sendiri selaku anggota masyarakat. Selanjutnya pengembangan yang utuh dapat dilihat
dari berbagai segi yaitu: wujud dimensi dan arahnya.

a) Dari wujud dimensinya

Keutuhan terjadi antara aspek jasmani dan rohani, antara dimensi keindividualian,
sesosialan,kesusilaan dan keberagamaan, antar aspek kognitif. Afektif dan psikomotorik.
Pengembangan aspek jasmanisah dan rohaniah dikatakan utuh jika keduanya mendapat
pelayanan secara seimbang. Meskipun diakui bahwa nilai manusia akhirnya ditentukan oleh
kualitas berkembangnya aspek rohaniahnya seperti pandai,berwawasan luas,berpendirian
teguh,bertenggang rasa, dinamis,kreatif, terlalu memandang bagaimana kondisi
fisiknya,namun demi keutuhan pengembangan, aspek fisik tidak boleh diabaikan. Karena
gangguan fisik dapat berdampak pada kesempurnaan perkembangan rohaniah.

Pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan,kesusilaan dan keberagamaan


dikatakan utuh jika semua dimensi tersebut mendapatkan layanan dengan baik, tidak terjadi
pengabaian terhadap salah satunya. Dalam hal ini pengembangan dimensi keberagaman
menjadi tumpuan dari ketiga dimensi yang disebut terdahulu. Pengembangan domain kognitif,
afektif dan psikomotor dikatakan utuh jika ketiga-tiganya mendapat pelayanan yang
berimbang. Pengutamaan domain kognitif dengan mengabaikan domain afektif, misalnya
seperti yang terjadi pada kebanyakan sistem persekolahan dewasa ini hanya akan mencipatakan
orang-orang pintar yang tidak berwatak.

b) Dari arah pengembangan

13
Keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia dapat diarahkan kepada
pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan dan kebergamaan secara
terpadu. Keempat dimensi btersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika dianalisis satu
persatu gambarannya sebagai berikut : pengembangan yang sehat terhadap dimensi
keindividualan memberi peluang pada seseorang untuk mengadakan eksplorasi terhadap
potensi-potensi yang ada dalam dirinya, baik kelebihannya maupun kekurangannya. Segi
positif yang ada ditingkatkan dan yang negatif dihambat. Pengembangan yang berarah
konsentris ini bermakna memperbaiki diri atau meningkatkan martabat aku yang sekaligus juga
membuka jalan ke arah bertemunya suatu pribadi dengan pribadi yang lain secara selaras tanpa
mengganggu otonomi masing-masing.

Pengembangan yang sehat terhadap dimensi kesosialan yang lazim disebut


pengembangan horizontal membuka peluang terhadap ditingkatkannya hubungan sosial di
antara sesama manusia dan antara manusia dengan lingkungan fisik yang berarti memelihara
kelestarian lingkungan di samping mengeksploitasinya. Pengembangan dimensi
keindividualan serempak dengan kesosialan berarti membangun terwujudnya hakikat manusia
sebagai makhluk monodualis. Pengembangan yang sehat dari dimensi kesusilaan akan
menopang pengembangan dan pertemuan dimensi keindividualan dan kesosialan. Hal ini
menjadi jelas jika terjadi keadaan yang sebaliknya. Pengembangan yang sehat terhadap
dimensi keberagaman akan memberikan landasan dari arah pengembangan dimensi
keindividualan,kesosialan dan kesusilaan.

Pengembangan domain kognitif,afektif dan psikomotor disamping keselarasannya


(perimbangan antara ketiganya) juga perlu diperhatikan arahnya. Yang dimaksud adalah arah
pengembangan dari jenjang yang rendah ke jenjang yang lebih tinggi. Pengembangan ini
disebut pengembangan vertikal. Sebagai contoh pengembangan domain kognitif dari
kemampuan mengetahui, memahami dan seterusnya sampai kepada kemampuan
mengevaluasi. Pengembangan yang berarah vertikal ini penting, demi ketinggian martabat
manusia sebagai makhluk.

Dapat disimpulkan bahwa pengembangan dimensi hakikat manusi yang utuh diartikan
sebagai pembinaan terpadu terhadap dimensi hakikat manusia sehingga dapat tumbuh dan
berkembang secara selaras. Perkrmbangan di maksud mencakup yang horizontal (yang
menciptakan keseimbangan) dan yang bersifat vertical (yang menciptakan ketinggian martabat
manusia). Dengan demikian totalitas membentuk manusia yang utuh.
14
2. Pengembangan yang tidak utuh

Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi didalam
proses pengembangan jika ada unsure dimensi hakikat manusia yang terabaikan untuk
ditangani, misalnya dimensi kesosialan didominasi oleh pengembangan dimensi
keindividualan ataupun domain afektif didominasi oelh pengembangan dimensi keindividualan
atupun domain afektif didominasi oleh pengembangan domain kognitif. Demikian pula secara
vertical ada domain tingkah laku terabaikan penanganannya. Pengembangan yang tidak utuh
berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan tidak mantap. Pengambangan semacam
ini merupakan pengembangan yang patologis.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Adanya sifat hakikat manusia memberikan tempat kedudukan pada manusia
sedemikian rupa sehingga derajatnya lebih tinggi daripada hewan dan sekaligus
menguasai hewan. Salah satu sifat hakikat yang istimewa ialah adanya kemampuan
menghayati kebahagiaan pada manusia. Semua sifat hakikat manusia dapat dan harus
ditumbuhkembangkan melalui pendidikan. Berkat pendidikan maka siafat hakikat
manusia dapat ditumbuhkembangkan secara selaras dan berimbang sehingga menjadi
manusia yang utuh.

16
DAFTAR PUSTAKA
Drijarkara, F,. 1971. Percikan Filsafat. Semarang: Penerbit Kanisus.
Jalaluddin. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Supriyanto, Triyo. 2011. Epistimologi Pendidikan Ibn Qayyim al-Jawziyyah. Malang: UIN
Malik Ibrahim Malang.
Tirtarahardja, Umar dan La Sulo, S.L,. 2005. Pengantar Pendidikaan. Jakarta: Rineka Cipta.

17

Anda mungkin juga menyukai