Anda di halaman 1dari 8

BAB VII

PERMASALAHAN PENDIDIKAN

A. Permasalahan Pokok Pendidikan dan Penanggulangannya


Ada empat masalah pokok pendidikan yang telah menjadi kesepakatan nasional yang
perlu diprioritaskan penanggulangannya. Masalah yang maksud yaitu:
1. Masalah pemerataan Pendidikan
Masalah pemerataan pendidikan adalah persoalan bagaimana sistem pendidikan dapat
menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk
memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber
daya manusia untuk menunjang pembangunan. Masalah pemerataan pendidikan timbul
apabila masih banyak warga negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat ditampung
di dalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang
tersedia.
Masalah pemerataan memperoleh pendidikan dipandang penting sebab jika anak-anak
usia sekolah memperoleh kesempatan belajar pada SD, maka mereka memiliki bekal dasar
berupa kemampuan membaca, menulis, dan berhitung sehingga mereka dapat mengikuti
perkembangan kemajuan melalui berbagai media massa dan sumber belajar yang tersedia
baik mereka itu nantinya berperan sebagai produsen maupun konsumen. Dengan demikian
mereka tidak terbelakang dan menjadi penghambat derap pembangunan. 19 M mshoq taignit
dagnaason Jenolan Is Oleh karena itu, dengan melihat tujuan yang terkandung di dalam upaya
pemerataan pendidikan tersebut yaitu menyiapkan masyarakat untuk dapat berpartisipasi
dalam pembangunan, maka setelah pelaksanaan upaya pemerataan pendidikan terpenuhi,
mulai diperhatikan juga upaya pemerataan mutu pendidikan.
Banyak macam pemecahan masalah yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah
untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
langkah-langkah ditempuh melalui cara konvensional:
a. Membangun gedung sekolah seperti SD Inpres dan atau ruangan belajar.
b. Menggunakan gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore).

2. Masalah mutu Pendidikan


Mutu pendidikan dipermasalahkan jika hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti
yang diharapkan. Penetapan mutu hasil pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga
penghasil sebagai produsen tenaga terhadap calon luaran, dengan sistem sertifikasi.
Selanjutnya jika luaran tersebut terjun ke lapangan kerja penilaian dilakukan oleh lembaga
pemakai sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk kerja (performance test).
Lazimnya sesudah itu masih dilakukan pelatihan/ pemagangan bagi calon untuk penyesuaian
dengan tuntutan persyaratan kerja di lapangan.
Masalah mutu pendidikan juga mencakup masalah pemerataan mutu. Di dalam Tap
MPR RI 1988 tentang GBHN dinyatakan bahwa titik berat pembangunan pendidikan
diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan, dan dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan khususnya untuk memacu penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi perlu lebih disempurnakan dan ditingkatkan pengajaran ilmu pengetahuan alam dan
matematika. (BP-7 Pusat. 1989: 68.) Umumnya kondisi mutu pendidikan. di seluruh tanah air
menunjukkan bahwa di daerah pedesaan utamanya di daerah terpencil lebih rendah daripada
di daerah perkotaan. Acuan usaha pemerataan mutu pendidikan bermaksud agar sistem
pendidikan khususnya sistem persekolahan dengan segala jenis dan jenjangnya di seluruh
pelosok tanah air (kota dan desa) mengalami peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan
situasi dan kondisinya masing-masing.
Upaya pemecahan masalah mutu pendidikan dalam garis besarnya meliputi hal-hal
yang bersifat fisik dan perangkat lunak, personalia, dan manajemen sebagai berikut:
a. Seleksi yang lebih rasional terhadap masukan mentah, khususnya untuk SLTA dan PT.
b. Pengembangan kemampuan tenaga kependidikan melalui studi lanjut, misalnya berupa
pelatihan, penataran, seminar, kegiatan-kegiatan kelompok studi seperti PKG dan lain-lain.
c. Penyempurnaan kurikulum, misalnya dengan memberi materi yang lebih esensial dan
mengandung muatan lokal, metode yang menantang dan mengairahkan belajar, dan
melaksanakan evaluasi yang beracuan PAP.
d. Pengembangan prasarana yang menciptakan lingkungan yang tenteram untuk belajar.
e. Penyempurnaan sarana belajar seperti buku paket, media pembelajaran dan peralatan
laboratorium.
f. Peningkatan administrasi manajemen khususnya yang mengenai tenaga inausaha Masa
anggaran.
g. Kegiatan pengendalian mutu yang berupa kegiatan-kegiatan:
1) Laporan penyelenggaraan pendidikan oleh semua lembaga pendidikan. hkar
2) Supervisi dan monitoring pendidikan oleh penilik dan pengawas.
3) Sistem ujian nasional/negara seperti Ebtanas, Sipenmaru/UMPTN.
4) Akreditasi terhadap lembaga pendidikan untuk menetapkan status suatu lembaga.

3. Masalah Efisiensi Pendidikan


Masalah efisiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana suatu sistem pendidikan
mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika
penggunaannya hemat dan tepat sasaran dikatakan efisiensinya tinggi. Jika terjadi yang
sebaliknya, efisiensinya berarti rendah.

Beberapa masalah efisiensi pendidikan yang penting ialah:


a. Bagaimana tenaga kependidikan difungsikan.
b. Bagaimana prasarana dan sarana pendidikan digunakan.
c. Bagaimana pendidikan diselenggarakan.
d. Masalah efisiensi dalam memfungsikan tenaga.

Masalah ini meliputi pengangkatan, penempatan, dan pengembangan tenaga.

 Masalah pengangkatan terletak pada kesenjangan antara stok tenaga yang tersedia dengan
jatah pengangkatan yang sangat terbatas. Pada masa 5 tahun terakhir ini jatah pengangkatan
setiap tahunnya hanya sekitar 20% dari kebutuhan tenaga di lapangan. Sedangkan
persediaan tenaga yang siap diangkat (untuk sebagian besar jenis bidang studi, sebab ada
bidang studi tertentu yang belum tersedia tenaganya) lebih besar daripada kebutuhan di
lapangan. Dengan demikian berarti lebih dari 80% tenaga yang tersedia tidak segera
difungsikan. Ini berarti pemubaziran terselubung, karena biaya investasi pengadaan tenaga
tidak segera terbayar kembali melalui pengabdian (belum terjadi rate of return). Sebab
tenaga kependidikan khususnya guru tidak dipersiapkan untuk berwirausaha.

 Masalah penempatan guru, khususnya guru bidang penempatan studi, sering mengalami
kepincangan, tidak disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Suatu sekolah menerima
guru baru dalam bidang studi yang sudah cukup atau bahkan sudah kelebihan, sedang guru
bidang studi yang dibutuhkan tidak diberikan karena terbatasnya jatah pengangkatan
sehingga pada sekolah-sekolah tertentu seorang guru bidang studi harus merangkap
mengajarkan bidang studi di luar kewenangannya, misalnya guru bahasa harus mengajar
IPA. Gejala tersebut membawa ketidakefisienan dalam memfungsikan tenaga guru, juga
pada SD, meskipun persediaan tenaga yang direncanakan secara makro telah mencukupi
kebutuhan, namun mengalami masalah penempatan karena terbatasnya jumlah yang dapat
diangkat dan sulitnya menjaring tenaga yang bersedia ditempatkan di daerah terpencil,
karena tidak ada insentif yang menarik, demikian pula sulitnya menempatkan guru wanita.

 Masalah pengembangan tenaga kependidikan di lapangan biasanya terlambat, khususnya


pada saat menyongsong hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaruan kurikulum menuntut
adanya penyesuaian dari para pelaksana di lapangan. Dapat dikatakan umumnya
penanganan pengembangan lenaga pelaksana di lapangan (yang berupa penyuluhan, latihan,
lokakarya, penyebaran buku panduan) sangat lambat. Padahal proses pembekalan untuk
dapat siap melaksanakan kurikulum baru memakan waktu. Akibatnya terjadi kesenjangan
antara saat dicanangkan berlakunya kurikulum dengan saat mulai dilaksanakan. Dalam
masa transisi yang relatif lama ini proses pendidikan berlangsung kurang efisien dan efektif.

4. Masalah relevansi Pendidikan


Telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa tugas pendidikan ialah menyiapkan
sumber daya manusia untuk pembangunan. Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh
mana sistem pendidikan dapat menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan
pembangunan, yaitu masalah-masalah seperti yang digambarkan dalam rumusan tujuan
pendidikan nasional.
Luaran pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang
beraneka ragam seperti sektor produksi, sektor jasa, dan lain-lain. Baik dari segi jumlah
maupun dari segi kualitas. Jika sistem pendidikan menghasilkan luaran yang dapat mengisi
semua sektor pembangunan baik yang aktual (yang tersedia) maupun yang potensial dengan
memenuhi kriteria yang dipersyaratkan oleh lapangan kerja, maka relevansi pendidikan
dianggap tinggi.
Sebenarnya kriteria relevansi seperti yang dinyatakan tersebut cukup ideal jika
dikaitkan dengan kondisi sistem pendidikan pada umumnya dan gambaran tentang kerjaan
yang ada antara lain sebagai berikut:
 Status lembaga pendidikan sendiri masih bermacam-macam kualitasnya.
 Sistem pendidikan tidak pernah menghasilkan luaran siap pakai. Yang ada ialah siap
kembang.
 Peta kebutuhan tenaga kerja dengan persyaratannya yang dapat digunakan sebagai
pedoman oleh lembaga-lembaga pendidikan untuk menyusun programnya tidak tersedia.

Bagaimana gambaran relevansi pendidikan itu dengan kebutuhan lapangan?


Umumnya luaran yang diproduksi oleh sistem pendidikan (lembaga yang menyiapkan
tenaga kerja) jumlahnya secara kumulatif lebih besar daripada yang dibutuhkan di lapangan.
Sebaliknya ada jenis-jenis tenaga kerja yang dibutuhkan di lapangan kurang diproduksi atau
bah- kan tidak diproduksi.

Dari keempat macam masalah pendidikan tersebut masing-masing dikatakan teratasi


jika pendidikan:
 Dapat menyediakan kesempatan pemerataan belajar, artinya: Semua warga negara yang
butuh pendidikan dapat ditampung dalam suatu satuan pendidikan.
 Dapat mencapai hasil yang bermutu, artinya: Perencanaan, pemrosesan pendidikan dapat
mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
 Dapat terlaksana secara efisien, artinya: Pemrosesan pendidikan sesuai dengan rancangan
dan tujuan yang ditulis dalam rancangan.
 Produknya yang bermutu tersebut relevan, artinya: Hasil pendidikan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan pembangunan.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berkembangnya Masalah Pendidikan


Masalah-masalah makro yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
berkembangnya masalah pendidikan, yaitu:
1. Perkembangan iptek dan seni.
2. Laju pertumbuhan penduduk.
3. Aspirasi masyarakat.
4. Keterbelakangan budaya dan sarana kehidupan.

1. Perkembangan iptek dan seni


Terdapat hubungan yang erat antara pendidikan dengan iptek (ilmu pengetahuan dan
teknologi). Ilmu pengetahuan merupakan hasil eksplorasi secara sistem dan terorganisasi
mengenai alam semesta, dan teknologi adalah penerapan yang direncanakan dari ilmu
pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Sebagai contoh betapa eratnya hubungan antara pendidikan dengan iptek itu, misalnya
sering suatu teknologi baru yang digunakan dalam suatu proses produksi menimbulkan
kondisi ekonomi sosial baru lantaran perubahan persyaratan kerja, dan mungkin juga
penguraian jumlah tenaga kerja atau jam kerja, kebutuhan bahan-bahan baru, sistem
pelayanan baru, sampai kepada berkembangnya gaya hidup baru, kondisi tersebut minimal
dapat mempengaruhi perubahan isi pendidikan dan metodenya, bahkan mungkin rumusan
baru tunjangan pendidikan, otomatis juga sarana penunjangnya seperti sarana laboratorium
dan ketenangan. Semua perubahan tersebut tentu membawa masalah dalam skala nasional
yang tidak sedikit memakan biaya. Hal ini disinggung dalam butir 3 masalah efisiensi
pendidikan tentang perubahan kurikulum.
Contoh di atas memberikan gambaran pengaruh tidak langsung iptek terhadap sistem
pendidikan. Di samping pengaruh tidak langsung, juga banyak pengaruh yang langsung
terhadap sistem pendidikan dalam bentuk berbagai macam inovasi atau pembaruan dengan
aksentuasi tujuan yang bermacam-macam pula. Ada yang bertujuan untuk mengatasi
kekurangan guru dan gedung sekolah seperti sistem Pamong dan SMP terbuka, pengadaan
guru relatif cepat seperti dengan program diploma, pengadaan guru dan perlindungan
terhadap profesi guru seperti program akta mengajar. Selain itu diadakan juga program
menghemat waktu belajar (RIT: Reduce Instructional Time), memperluas jangkauan peserta
didik dengan biaya relatif murah seperti sistem belajar jarak jauh (BJJ). efektifitas proses
belajar dan kualitas hasil seperti CBSA dengan pemanfaatan tenaga non-guru antara lain
konselor, teknisi sumber belajar, dan lain-lain.
Dilihat dari segi tujuan pendidikan yaitu terbentuknya manusia seutuhnya, aktivitas
kesenian mempunyai andil yang besar karena dapat mengisi pengembangan dominan afektif
khususnya emosi yang positif dan konstruktif serta keterampilan di samping domain kognitif
yang sudah digarap melalui program/bidang studi yang lain.
Dilihat dari segi lapangan kerja, dewasa ini dunia seni dengan segenap cabangnya telah
mengalami perkembangan pesat dan semakin mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat.
Dengan memperhatikan alasan-alasan di atas maka sudah seyogianya jika dunia seni
dikembangkan melalui sistem pendidikan secara terstruktur dan terprogram. Pengembangan
kualitas seni secara terprogram menuntut tersedianya sarana pendidikan tersendiri di samping
program-program yang lain dalam sistem pendidikan. Di sinilah timbulnya masalah
pendidikan kesenian yang mempunyai fungsi begitu penting tetapi di sekolah-sekolah saat ini
menduduki kelas dua. Pendidikan kesenian baru terlayani setelah program studi yang lain
terpenuhi pelayanannya. Itulah sebabnya mengapa kesenian tidak termasuk Ebtanas,di
samping juga sulit menyediakan tenaga pendidiknya. Lagi pula sarana penunjang umumnya
tidak tersedia secara memadai karena mahal.
2. Laju pertumbuhan penduduk
Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka penyediaan prasarana dan sarana
pendidikan beserta komponen penunjang. terselenggaranya pendidikan harus ditambah. Dan
ini berarti beban pembangunan nasional menjadi bertambah. Pertambahan penduduk yang
dibarengi dengan meningkatnya usia rata-rata dan penurunan angka kematian, mengakibatkan
berubahnya struktur kependudukan, yaitu proporsi penduduk usia sekolah dasar menurun,
sedangkan proporsi penduduk usia sekolah lanjutan, angkatan kerja, dan penduduk usia tua
meningkat berkat kemajuan bidang gizi dan kesehatan. Dengan demikian terjadi pergeseran
permintaan akan fasilitas pendidikan, yaitu untuk sekolah lanjutan cenderung lebih
meningkat dibanding dengan permintaan akan fasilitas sekolah dasar. Sebagai akibat lanjutan,
permintaan untuk lanjut ke perguruan tinggi juga meningkat, khusus untuk penduduk usia tua
yang jumlahnya meningkat perlu disediakan pendidikan nonformal.

3. Aspirasi Masyarakat
Dalam dua dasa warsa terakhir ini aspirasi masyarakat dalam banyak hal meningkat,
khususnya aspirasi terhadap pendidikan hidup yang sehat, aspirasi terhadap pekerjaan,
kesemuanya ini mempengaruhi peningkatan aspirasi terhadap pendidikan. Orang mulai
melihat bahwa untuk dapat hidup yang lebih layak dan sehat harus ada pekerjaan tetap yang
menopang, dan pendidikan memberi jaminan untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan
menetap itu. Pendidikan dianggap memberikan jaminan bagi peningkatan taraf hidup dan
pendakian ditangga sosial. Sebagai akibat dari meningkatnya aspirasi terhadap pendidikan
maka orang tua mendorong anaknya untuk bersekolah, agar nantinya anak- anaknya
memperoleh pekerjaan yang lebih baik daripada orang tuanya sendiri. Dorongan yang kuat
ini juga terdapat pada anak-anak sendiri. Mereka (orang tua dan anak-anak) merasa susah jika
mendapat rintangan dalam bersekolah dan melanjutkan studi. Mungkin ini dapat dipandang
sebagai indikator tentang betapa besarnya aspirasi orang tua dan anak terhadap pendidikan
itu.
Beberapa hal yang tidak dikehendaki antara lain ialah seleksi penerimaan siswa pada
berbagai jenis dan jenjang pendidikan menjadi kurang objektif, jumlah murid dan siswa
perkelas melebihi yang semestinya, jumlah kelas setiap sekolah membengkak, diadakannya
kesempatan belajar bergilir pagi dan sore dengan pengurangan jam belajar, kekurangan
sarana belajar, kekurangan guru, dan seterusnya. Dampak langsung dan tidak langsung dari
kondisi sebagaimana digambarkan itu ialah terjadinya penurunan kadar efektifitas. Dengan
kata lain, massalisasi pendidikan menghambat upaya pemecahan masalah mutu pendidikan.
Massalisasi pendidikan ibarat perusahaan konveksi pakaian yang hanya melayani tiga macam
ukuran (large, medium, dan, small). Kebutuhan individual yang khusus tidak terlayani.
Namun demikian tidaklah berarti bahwa aspirasi terhadap pendidikan harus diredam,
justru sebaliknya harus tetap dibangkitkan dan ditingkatkan, utamanya pada masyarakat yang
belum maju dan masyarakat di daerah terpencil, sebab aspirasi menjadi motor penggerak roda
kemajuan.

4. Keterbelakangan budaya dan sarana kehidupan


Keterbelakangan budaya adalah suatu istilah yang diberikan oleh sekelompok
masyarakat (yang menganggap dirinya sudah maju) kepada masyarakat lain pendukung suatu
budaya. Bagi masyarakat pendukung budaya, kebudayaannya pasti dipandang sebagai
sesuatu yang bernilai dan baik. Terlepas dari kenyataan apakah kebudayaannya tersebut
tradisional atau sudah ketinggalan zaman. Karena itu penilaian dari masyarakat luar itu
dianggap subjektif. Semestinya masyarakat luar itu bukan harus menilainya melainkan hanya
melihat bagaimana kesesuaian kebudayaan tersebut dengan tuntutan zaman. Jika sesuai
dikatakan maju dan jika tidak sesuai lalu dikatakan terbelakang.
Sesungguhnya tidak ada kebudayaan yang secara mutlak statis, apalagi mandeg, tidak
mengalami perubahan. Sekurang-kurangnya bagian unsur-unsurnya yang berubah jika tidak
seluruhnya secara utuh. Tidak ada kebudayaan yang tidak berubah. Berubahnya unsur-unsur
kebudayaan tersebut tidak selalu bersamaan satu dengan yang lain. Ada unsur yang lebih
cepat dan ada yang lambat laun berubah, namun yang jelas terjadinya perubahan tidak pernah
terhenti sepanjang masa, bahkan meskipun perubahan yang baru itu ke arah negatif. Apalagi
pada abad ke-20 ini, di mana perkembangan iptek demikian pesat dan merambah ke seluruh
bidang kehidupan.
Khususnya dengan munculnya penemuan-penemuan baru di bidang
telekomunikasi/televisi dan transportasi yang menimbulkan revolusi informasi yang
menembus batas-batas antarnegara dan bangsa dan membuat bumi menjadi terasa kecil yang
dikenal dengan era globalisasi, maka mudah terjadi pertukaran kebudayaan antarbangsa. Jika
terjadi pertautan antara unsur kebudayaan baru dari luar dengan unsur kebudayaan lama yang
lambat berubah maka terjadilah apa yang disebut kesenjangan kebudayaan (cultural lag)
Perubahan kebudayaan terjadi karena adanya penemuan baru dari luar maupun dari
dalam lingkungan masyarakat sendiri. Kebudayaan baru itu baik yang bersifat material
seperti peralatan-peralatan pertanian, rumah tangga, transportasi, telekomunikasi, dan yang
bersifat nonmaterial seperti paham atau konsep baru tentang keluarga berencana, budaya
menabung, penghargaan terhadap waktu, dan lain-lain. Keterbelakangan budaya terjadi
karena:
 Letak geografis tempat tinggal suatu masyarakat (misal terpencil).
 Penolakan masyarakat terhadap datangnya unsur budaya baru karena tidak dipahami atau
karena dikhawatirkan akan merusak sendi masyarakat.
 Ketidakmampuan masyarakat secara ekonomis menyangkut unsur kebudayaan tersebut.
Sehubungan dengan faktor penyebab terjadinya keterbelakangan budaya umumnya
dialami oleh:
 Masyarakat daerah terpencil.
 Masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis.
 Masyarakat yang kurang terdidik.
Yang menjadi masalah ialah bahwa kelompok masyarakat yang keterbelakang
kebudayaannya tidak ikut berperan serta dalam pembangunan, sebab mereka kurang memiliki
dorongan untuk maju. Jadi inti permasalahannya ialah menyadarkan mereka akan
ketertinggalannya, dan bagaimana cara menyediakan sarana kehidupan, dan bagaimana
sistem pendidikan dapat melibatkan mereka. Bukankah pendidikan mempunyai misi sebagai
transformasi budaya (dalam hal ini adalah kebudayaan nasional). Sebab sistem pendidikan
yang tangguh adalah yang bertumpu pada kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional selalu
berkembang dengan bertumpu pada intinya sehingga tidak pernah ketinggalan zaman. Jika
sistem pendidikan dapat menggapai masyarakat terkebelakang kebudayaannya berarti
melibatkan mereka untuk berperan serta dalam pembangunan.

Anda mungkin juga menyukai