Selanjutnya dalam kaitannya dengan wajib belajar Bab VI, pasal 10 ayat 1, menyatakan :
“ Semua anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang berumur 8 tahun diwajibkan
belajar disekolah, sedikitnya 6 tahun lamanya”
Ayat 2 menyatakan :
“ Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari menteri agama dianggap
telah memnuhi kewajiban belajar “.
2. Kuantitas Pendidikan
Masalah kuantitas pendidikan merupakan masalah yang menyangkut banyak murid yang
harus ditampung di dalam system pendidikan atau sekolah. Masalah ini timbul karena calon
murid yang tidak tertampung di suatu sekolah, karena terbatasnya daya tampung.
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar.
Permasalahan ini mencuat terutama di SD pada tahun-tahun lampau. Tapi saat ini masalah itu
sudah bisa teratasi, apalagi dengan telah banyaknya didirikan SD swasta yang dengan kata
lain dapat mengatasi permasalahan kuantitas pendidikan. Sisa permasalahan ini ada pada
anak-anak yang tinggal di daerah terpencil.
Untuk mengatasi masalah kuantitas pendidikan itu perlu adanya perhatian yang lebih dari
pemerintah agar anak-anak yang tinggal di daerah terpencil ikut merasakan pendidikan.
Upaya yang dapat dilakukan pemerintah antara lain dengan membangun SD negeri di daerah-
daerah yang msih minim kuantitas pendidikannya, dan tentunya sekolah yang dibangun juga
dilengkapi sarana dan prasarana yang lengkap untuk menunjang proses belajar mengajar.
Contohnya :
Seorang anak tidak dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah menegah atas karena
keterbatasan daya tampung sekolah dan sekolah ini hanya satu-satunya di daerah tersebut.
3. Kualitas Pendidikan
Hal ini berhubungan dengan kualitas guru yang rendah, srana belajar yang kurang
memadai, dan tidak meratanya jumlah lulusan tiap jenjang pendidikan. Guru-guru tentunya
punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Banyak
orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali
guru – guru lama yang sudah mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman
mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka
ajarkan. Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan,
terutama bagi penduduk di daerah terbelakang.
Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu
terapan yang benar-benar dipakai untuk hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang
menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya
antara lain kondisi sekolah yang memprihatinkan.
Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu :
a. Faktor internal
Meliputi jajaran pendidikan seperti departemen pendidikan nasional, dinas pendidikan daerah
dan juga sekolah.
b. Faktor eksternal
Masyarakat merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu
sebagai objek dari pendidikan.
Beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan :
1. Rendahnya kualitas sarana fisik
2. Rendahnya kualitas guru
3. Rendahnya kesejahteraan guru
4. Rendahnya prestasi siswa
5. Kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan
6. Mahalnya biaya pendidikan
Upaya pemecahan masalah kualitas pendidikan dapat ditempuh dengan cara :
1. Seleksi yang ketat terhadap calon yang akan masuk sekolah lanjutan atau tempat kerja.
2. Pelatihan dan pengembangan kemampuan tenaga kependidikan melalui latihan, penataran,
seminar dan lain-lain.
3. Peyempurnaan dan pemantapan kurikulum agar tidak mudah mengalami perubahan
4. Pembangunan sarana dan prasarana yang dapat mendukung kegiatan belajar
5. Penggunaan alat peraga, buku paket dan laboratorium secara tepat gun.
6. Pemantapan peraturan dalam berbagai ujian, baik itu ujian sekolah atau ujian kenegaraan.
7. Pengawasan dan penelitian proses pendidikan oleh pemilik ke tiap sekolah.
Contohnya :
Di suatu sekolah terpencil yang masih kekurangan sarana dan prasarana sehingga proses
belajar mengajar tidak maksimal, seperti di sekolah tersebut tidak ada alat praktek seperti
mikroskop padahal dalam materi pembelajaran mereka ada. Tentu ini akan mempengaruhi
kualitas pendidikan.
4. Efesiensi Pendidikan
Pendidikan dikatakan efesiensi bila penayagunaan sumberdaya yang ada
(waktu,tenaga,biaya) tepat sasaran. Kadar efesiensi itu tergantung pada pemberdayaan
sumberdaya tersebut.
Bila yang terjadi misalnya tidak hemat (boros) waktu, biaya tenaga tidak berfungsi secara
optimal maka kadar efesinsi rendah (tidak/kurang efesien).
Analisa seperti ini dapat diarahkan pada unsur-unsur terkecil dari ketiga kriteria tersebut.
Misalnya apakah waktu yang digunakan sesuai dengan jadwal/rencana, apakah guru
mengajar atau dosen memberi kuliah minimal sama dengan jam wajib belajar setara dengan
pegawai negeri.
Jika peserta didik sebenarnya memiliki potensi yang memadai tetapi mereka tidak naik
kelas, putus sekolah, tidak lulus berarti ada masalah dalam efesiensi pendidikan. Masalah
efesiensi pendidikan juga terjadi di perguruan tinggi. Masalah tersebut dapat diketahui dari
adanya kegagalan seorang mahasiswa.
Permasalahan Efesiensi pendidikan dapat dipecahkan melalui pendekatan teknologi
pendidikan seperti :
6. Relevansi Pendidikan
Pendidikan dikatakan relevan ( sesuai ) ialah bila sistem pendidikan dapat menghasilkan
ouput ( keluaran ) yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesesuaian ( relevansi )
tersebut meliputi kuantitas ( jumlah ) ataupun kualitas ( mutu ) output tersebut.
Masalah relevansi merupakan masalah yang berhubungan dengan relevansi ( kesesuaian )
antara pemilikan pengetahuan, keterampilan dan sikap lulusan suatu sekolah dengan
kebutuhan masyarakat ( kebutuhan tenaga kerja ). Pendidikan dikatakan tidak atau kurang
relevan ialah bila tingkat kesesuaian tersebut tidak ada atau kurang.
Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang
tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan
diatasnya.
Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan
tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap
untuk bekerja. Selain itu juga dapat kita lihat dengan pertumbuhan pengangguran yang
semakin meningkat di indonesia. Kita sering menemui lulusan SLTA yang mengganggur,
bahkan tak jarang pula kita lihat sarjana – sarjana yang menganggur. Contoh lain seperti
adanya kasus perusahaan – perusahaan yang masih harus mengeluarkan dana untuk
pendidikan atau pelatihan bagi calon karyawannya, karena mereka dinilai belum memiliki
keterampilan kerja seperti yang diharapkan.
Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan
kurikulum yang kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta
didik memasuki dunia kerja.
Contohnya :
Banyaknya lulusan SMK maupun Sarjana yang masih menganggur karena tidak dapat
atau tidak mampu maupun tidak siap untuk bekerja.
Guru di daerah terpencil yang masih belum memiliki ijazah s1 dan sudah mengajar di
sekolah dasar, dan juga tenaga kependidikan yang berprofesi rangkap sebagai kepala sekolah
dan guru akuntansi.
TUGAS 2
b. Penyebaran Penduduk
Penyebaran penduduk diseluruh pelosok tanah air tidak merata. Ada daerah yang
dapat penduduk, terutama dikota-kota besar dan daerah yang padat penduduk, terutama
dikota-kota besar dan daerah yang penduduknya jarang yaitu didaerah pedalaman khususnya
didaerah terpencil yang berlokasi dipegunungan dan pulau-pulau. Sebaran penduduk seperti
digambarkan itu menimbulkan kesulitan dalam hal penyediaan dan penempatan guru.
Disamping sebaran penduduk seperti digambarkan itu dengan pols yang static (di kota padat,
di desa jarang) juga perlu diperhitungkan adanya arus perpindahan penduduk dari desa ke
kota (urbanisasi) yang terusw menerus terjadi. Peristiwa ini menimbulkan pola yang dinamis
dan labil yang lebih menyulitkan perencanaan penyediaan sarana pendidikan. Pola yang labil
ini juga merusak pola pasaran kerja yang seharunya menjadi acuan dalam pengadaan acuan
dalam pengadaan tenaga kerja.
2.1.3 Aspirasi Masyarakat
Dalam dua warsa terakhir ini, aspirasi masyarakat dalam banyak hal meningkat,
khususnya aspirasi terhadap pendidikan hidup yang sehat, aspirasi terhadap pekerjaan ,
kesemuanya ini mempengaruhi peningkatan aspirasi terhadap pendidikan. Pendidikan
dianggap memberikan jaminan bagi peningkatan taraf hidup dan pendakian ditangga social.
Sebagai akibat dari meningkatnya aspirasi terhadap pendidikan maka orang tua mendorong
anaknya untuk bersekolah, agar nantinya anak-anaknya memperoleh pekerjaan yang lebih
baik daripada orang tuanya sendiri. Apa akibat yang timbul dari perubahan social tersebut?
Gejala yang timbul ialah membanjinya pelamar pada sekolah-sekolah. Arus pelajar menjadi
meningkat. Di kota-kota, di samping pendidikan formal mulia bermunculan beraneka ragam
penidikan nonformal.
2.1.4 Keterbelakang Budaya dan Sarana Kehidupan
Keterbelakang budaya adalah suatu istilah yang diberikan oleh sekelompok masyarkat
(yang menganggap dirinya sudah maju) kepada masyarakat lain pendukung suatu budaya,
kebudayaanya dipadang sebagai sesuatu yang bernilai dan baik. Terlepas dari kenyataan
apakah kebudayaannya tersebut tradisional atau sudah ketinggalan zaman. Karena itu
penilaian dari masyarakat luar itu dianggap subjektif. Semestinya masyarakat luar bukan
harus menilainya hanya melihat bagaimana kesesuaia n kebudayaan tersebut dengan tuntutan
zaman. Dan bukankah pendidikan mempunyai misi sebagai transformasi budaya (dalam hali
ini adalah kebudayaan nasional). Sebab sebagai system pendidikan yang tangguh adalah yang
bertumpu pada initnya sehingga tidak pernah ketinggalan zaman. Jika system pendidikan
dapat menggapai masyarakat terbelakang kebudayaannya berarti melibatkan mereka untuk
berperan serta dalam pembangunan.
2.2 Permasalahan Atual Pendidikan dan Penaggulangannya