Anda di halaman 1dari 10

Nama AISYATUL AFIYAH

NIM 17010034078
Kelas 2017 B
Mata Kuliah Dasar-Dasar Manajemen Pendidikan

Permasalahan planning dalam lembaga pendidikan di tinjau dari segi

A. Peserta didik
1. Filosofi tujuan pendidikan masih semu
Filososfi pendidikan yang ada pada tujuan pendidikan nasional dalam
UU Sisdiknas terkonsentrasi pada aktivitas guru, dosen atau pendidik. Filosofi
yang demikian akan menelikung kemapuan kreativitas peserta didik dan
pedagoginya cenderung bersifat naratif dan indokrinatif.
Filosofi tujuan pendidikan nasional seharusnya mendampingi dan mengantar
peserta didik kepada kemandirian, kedewasaan, kecerdasan agar menjadi
manusia profesional (artinya memiliki ketrampilan /skil, komitmen pada nilai-
nilai dan semangat dasar pengabdiann/ pengorbanan) yang beriman dan
bertanggung jawab akan kesejahteraan dan kemakmuran warga masyarakt,
nusa dan bangsa indonesia.

2. Paradigma peserta didik yang sertificate oriented


Paradigma ini masih melekat dalam benak kebanyakan peserta didik,
mereka masih berfikir bahwa sekolah ini hanya untuk mendapatkan pekerjaan
yang bersifat formal semata. Masalah lebih serius lagi ketika mereka
beranggapan bahwa pekerjaan itu bisa mudah dengan selembar ijazah,
implikasinya adalah mereka enganggap bahwa ijazah kelulusan adalah segal-
galanya,konsekwensinya adalah mereka tidak belajar serius selama proses
pendidikannya dan tidak memiliki kualitas,apalagi untuk belajar seumur
hidup. Sehingga mereka berfikir bagaimana supaya lulus ujian bukan
bagaimana supaya memiliki kompetensi dan skill.

3. Permasalahan aktivitas tambahan sekolah.


Tugas sekolah bukan hanya sekedar memberi pengetahuan dan
ketrampilan saja, tetapi sekolah harus mendidik anak menjadi manusia
seutuhnya. Namun bukan dengan penambahan jam sekolah yang
menyebabkan orang tua khawatir yang mana seringkali menjadi alsan
penyalah gunanan tambahan jam sekolah oleh anak-anak.

4. Pergaulan sekolah
Terjadi kecenderungan mnurunnya akhlak dan moral yang
menyebabkan lunturnya tanggung jawab dan kesetiakawaan sosial, sepert
terjadinya tawuran pelajar dak kenakala remaja.

5. Rendahnya prestasi siswa


Siswa adalah generasi penerus bangsa, artinya siswa yang didik
disekolah diharapkan kedepannya mampu menjadi generasi yang memajukan
negara. Dengan perkembangan zaman menuju proses globalisasi, siswa
indonesia harus mampu bersaing dengan lulsan luar negeri. Anak-anak
indonesia ternyata hanya mamu menguasai 30% dari materi bacaan dan
ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang
memrlukan penalaran.

B. Guru dan tenaga pendidik


1. Pola fikir pendidik dan tenaga kependidikan cenderung financial
oriented
Anggaran pendidikna 20% beluum tentu menjamin kualitas pendidikan
ini lebih baik, selama pendidik dan tenaga kependidikan bekerja untuk
mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Yang terjadi sekarang dengan
melimpahnya materi untuk jabatan pendidika terkesan justru meniabobokan
mereka. Mereka berfikir bagaimna supaya gaji besar dan jarang berfikir
bagaimana memperbaiki kualitasnya sebagai bentuk feedback dari semua
fasilitasnya sebagai pendidik. Adanya sertifkikasi guru belum tentu menjamin
guru itu terpanggil untuk memperbaiki kualitasnya.

2. Implementasi manajemen pendidikan dalam simbolisme verbal dan


tekstual
Ini berkaitan dengan masalah kultur dimana pendidikan dan tenaga
kependidikan menganggap bahwa ia hanyalah melakukan tugas nya secara
formal dan rutinitas dan berkaitan pula denga masalah SDM nya yang kurang
berkualitas. Jangankan dalam melaksanakan inovasi pendidikan, dalam
mengimplementasikan manajemen yang ada pun mereka berprinsip asal
melaksanakan. Sehingga ia mengimplementasikannya itu hanya sebatas
simboisme verbal dan tekstual semata yang penting melaksanakan tuntutan
aturan yang ada namun bekerja seperti biasa saja seadanya.

3. Rendahnya kualitas Pendidik dan tenaga kependidikan


Dizaman yang akses informasi dsn teknologi yang berkembang pesat
saat ini guru dituntut untuk mengikuti perkembangan dan tren pendidikan,
sekarang sumber informasi tidak hanya bisa didapat dari buku, atau berita, tapi
sumber lain seperti internet dan media sosial mempunyai pengaruh besar
dalam menyebarkan informasi dan berita baru tentang pendidikan sehingga
sering terjadi seorang siswa lebih pintar daropada gurunya. Hal ini dapat
diselesaikan dengan memberikan pengenalan, pelatihan untuk dapat
menggunakan media-media informasi dan teknologi yang sedang berkembang
sekarang.

4. Tidak bertanggung jawab dalm menjalankan tugas atau tidak mampu


mennjukan prestasi kerjanya.
Seringkali tugas dan peran guru disekolah tidak tercapai secara efektif
dan efesien. Pada kenyataannya mash banyak guru yang melalikan tugas
mengajar dan melakukan korupsi waktu atau idak sesuai jadwal yang telah
ditentukan di awal pembelahjaran. Solusinya harus ada tindakan tegas dari
pihak sekolah khususnya kepala sekolah atau pihak kedisplinan sekolah untuk
menegur, selanjutnya apabila guru tersebut masih melakukan pelanggaran
kepala seklah berwenang melaporkan guru tersebut kedinas pendidikan untuk
menindaklanjui.

5. Pendidik dan tenaga pendidik kurang inovatif


Ketika pendidik dan tenaga kependidikan masih berpolafikir bahwa
tugasnya adalah mengajar, bekerja hanya melaksanakan tugas dan rutinitas
semata, maka akan sulit lingkungan pendidika itu berubah menjadi lebih baik.
Maka justru tidak merasa berkewajiban untuk melaksanakan inovasi
manajemen pendidikan supaya hasil pendidikannya jauh lebih baik.

C. Prasarana dan sarana


1. Rendahnya pemerataan pendidikan
Bagi warga yang hidup jauh dari pusat kemajuan seperti dipedalaman,
masih sedikit fasilitas dan tenaga pengajar sehingga pemerataan pendidikan
tidak bisa maksimal. Untuk mengatasi adalah menambah anggaran bidang
pendidikan sehingga dapat memangun fasilitas pendidikan dan mengirimkan
guru kedaerah yang masih sedikit atau bahkan terjangkau fasilitas pendidikan.

2. Rendahnya sarana fisika


Masih banyak sekolah yang memiliki bangunan yang tidak layak pakai
ataupuun meminjam bagunan dari ihak lain. Sekolah dengan akses jan yang
sulit terjangkau menyebabkan banyak masyarakat yang enggan untuk sekolah.
Masalah saran prasarana ini menyebabkan kendala tersendiri dalam
perencanaan pendidikan. Makan perencnaan pendidikan harus dengan matang
mempertimbangkan aspek ini, jangan sampa embuat suatu sistem pendidikan
yang mempergunakan sarana prasarana yang hanya dimiliki oleh sekolah-
sekolah dengan fasilitas bagus. Contohnya saja sekolah berbasis internet,
bagaimana dengan anak-anak di daerah yang belum ada fasilitas internet. Oleh
karena itu perencanaan pendidikan akan terhambat jika ada faktor yang kurang
mendukung.

3. Rendahnya efisiensi internal pendidikan


Rendahnya efisiensi internal karena lamnya masa studi melampui
waktu standart yang sudah ditentukan. Pendidikan sekarang ini masih kurang
efisien karena pendidikan yang efisien sebenarnya adalah tenaga dan dana
yang terbatas dapat dihasilkan sejumlah lulusan yang berkualitas tinggi.
Namun indonesia masih banyak anak yang droup aout, banyak anak yang
tinggal kelaas, dan kurang dapat pelayanan yang semestinya bagi anak-anak
yang lemah maupun yang luar biasa cerdas dan genius.
4. Kualitas infrastruktur
Dari dulu ingga sekarang masalah infrastruktur pendidikan masih
menjadi hantu bagi pendidikan di ndonesia. Hal ini dikarenakan masih
banyakya sekolah-sekolah yang belum menerima banuan untuk perbaikan
sedangkan proses perbaikan dan pembangunan seolah yang rusak atau tidak
layak dilakukan secara sporadis.

5. Rendahnya komunikasi pendidikan pada transportasi


Kurangnya menyediakan informasi tentang kepindahan pelajar dari asal
ketujuan,seperti berapa banyak, kapan dan bagaimana. Kurangnya
menyediakan informasi entang volume lalu lintas yang dibutuhkan, frekuensi
ayanan dan intensitas. Kurangnya menginformasi tentang rute yang tersedia,
kapasitas rute yang direncanakan, dan rute0rute lingkungan yang berkualitas.

D. Anggaran biaya
1. Mahalnya biaya pendidikan
Adanya stratifikasi dalam pendidikan, menyebabkan masyarakat
dengan ekonomi kebawah akan kesulitan mendapat fasilitas pendidikan yang
layak. Sekarang ini banyak sekolah dengan pendidikan yang berkualitas
dengan biaya yang mahal selangit. Sedangkan pendidikan gratis yang
disediakan pemerintah cenderung seadanya. Maka stratifikasi ini
menyebabkan adanya pula kesenjagan kualitas pendidikan antara anak yang
berekonomi berkecukupan dengan ekonomi rendah. Hal ini secara global
dapat menghambat proses perencanaan sistem pendidikan di indonesia.

2. Rendahnya kesejahteraan guru


Berdasarkan survei FGII (federasi guru independen indonesia) pada
pertengahan 2005, idealnya seorang menerima gaji bulanan sebesar rp.3 juta ,
sekarang pendapatan rata-rata guru PNS perbulan sebesar rp.1,5 juta, guru
bantu 460rb dan guru honorer disekolah swasta rata-rata rp 10.000 perjam.
Dengan endapatan seperti itu, maka banyak guru yang melakukan kerja
sampingan, sehingga tidak optima dalm mendidik anak disekolah.
3. Pungli Berkedok Sumbangan Pendidikan Marak di DIY
Pungutan liar berkedok sumbangan pendidikan masih marak dilakukan
oleh sekolah-sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sepanjang tahun
2017. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY mencatat, dari
46 pelanggaran dalam dunia pendidikan yang ditemukan ORI DIY sepanjang
tahun 2017, mayoritas adalah kasus pungutan biaya pendidikan. “Sepanjang
tahun 2017 ada 46 laporan pelanggaran yang ada di sekolah hingga Perguruan
Tinggi. Paling banyak adalah kasus PPDB dan pungutan biaya,” terang
Asisten Kepala ORI DIY, Nugroho.

Nugroho menerangkan, kauangpungutan yang terjadi dibungkus dalam bentuk


sumbangan. Setiap awal tahun ajaran baru, sekolah melalui komite sekolah
mengundang orangtua siswa untuk menyodorkan kebutuhan anggaran

4. Tidak disetujuinya proposal pengadaan atau pembangunan sarana


pendidikan oleh dinas pendidikan.
5. Pembekakan biaya pendidikan akibat bencana alam yang tak terduga
akibat kurangnya penguatan pada perencanaan jangka panjang.

E. Dukungan masyarakat
1. Paradigma tujuan pendidikan di masyarakat masih banyak yang salah
Masyarakat terutama di pedesaan berparadigma bahwa pertama, tujuan
pendidikan adalah untuk mendapatkan pekerjaan semata bukan untuk
mendewasakan peserta didik, kedua, masih banyak masyarakat yang
berpandangan bahwa ukuran kesuksesan dari pendidikan adalah menjadi PNS,
jadi meskipun ia berhasil dalam bidang materi namun tidak menjadi PNS/
berseragam dinas mereka menganggap bahwa pendidikannya telah gagal.
Paradigma tujuan pendidikan yang masih memprihatinkan meskipun terkesan
sepele namun cukup fatal karena akan membentuk pola fikir anak didik yang
salah pula.

2. Belum optimalnya partisipasi/ dukungan stakeholders


Wadah partisipasi stakeholders sudah ada yaitu komite sekolah, namun
dukungan riil dari masyarakat, baik intelektual, moral, financial, dan material,
masih beragam. Solusinya pelu dilakukan advokasi melalui pertemuan-
pertemuan, perlu mengingatkan partisipasi stakeholders dalam berbagai
kegiatan sekolah, perlu publikasi melalui media tertulis/elektronik, dan perlu
peningkatan relaisasi dengan stakeholders melalui events.

3. Kurangnya komunikasii antara warga sekolah dan warga masyarakat


Dalam hal ini sehingga tercipta komunikasi satu arah antara sekolah
warga masyarakat/ wali murid yang pada saat itu hanya terlibat pada aspek
pembiayaan saja. Karena masyarakat hanya tahu dengan bantuan yang
dimintakan sekolah dalam bentuk keuangan sehingga sering kali masyarakt
marah.
4. Pelanggaran di Sektor Pendidikan jarang Dintindak

Kepala Ombudsman RI (ORI) Perwakilan DI.Yogyakarta, Budhi


Masturi menerangkan, selama ini, pelanggaran pelayanan publik pada sektor
pendidikan termasuk yang minim penindakan, baik secara hukum maupun
administratif. Pada sektor ini, laporan yang terus berulang misalnya pungutan
uang gedung/pengembangan institusi, uang seragam sekolah, uang buku, dan
lain-lain. Dikatakan, selain sektor pendidikan, pekanggaran juga banyak
terjadi di sektor pariwisata. Untuk DIY sebelumnya sudah terbentuk pelajar
sahabat Ombudsman RI, dan tahun 2017 kembali terbentuk perempuan
Sahabat Ombudsman se-DIY, yang diwadahi dalam Komunitas Perempuan
Peduli Pelayanan Publik (KP4), terdiri dari para perempuan penggiat sosial
kemasyarakatan dari berbagai kabupaten/kota.

5. Pendidikan Karakter Butuh Peran Berbagai Pihak

Psikolog Prof. Irwanto, mengatakan, pendidikan karakter tidak


mungkin dapat berhasil tanpa peran serta berbagai pihak. Tidak hanya guru,
orang tua dan masyarakat juga berperan penting dalam pendidikan karakter
siswa. “Pendidikan karakter bukan hanya sistem yang satu kali jadi, tapi
banyak pipa yang harus dihadirkan di sekolah. Bagaimana mungkin anak bisa
kita didik dengan baik, kalau di rumah diajarkan yang kurang baik oleh orang
tua,” ungkapnya dalam jumpa pers di Olifant School Yogyakarta. Sekolah,
katanya, harus mulai meninggalkan anggapan lama yang menempatkan guru
sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Anak justru harus diberikan
kesempatan untuk belajar mencari kebenaran dari sumber lain.

F. Proses pembelajaran
1. Tidak berbasis kompetensi yang sebenarnya
Hal ini sangat terlihat jika melihat kasus-kasus seperti, jangankan
lulusan SMK/ SMA orang sarjana pun bingung sebenarnya dia bisa apa,
punnya kompetensi apa, apakah kompeten dalam bidangnya atau tidak,
ditambah lag ketika mereka melanjutkan ke perguruan tinggi tanpa
mempertimbangkan potensi diri dan kompetensi yang sudah ia miliki. Satu
refleksi kegagalan pendidikan yang sangat fatal, dimana pendidikan
sebenarnya tidak berbasis kompetensi yang sebenanya.

2. Sistem kurikulum yang gemuk dan tidak berbasis potensi


Masalah yang tidak kalah pelik dalam sistem pendidikan kita adalah
kurikulum bersifat gemuk dan tidak berbasis potensi peserta didik, manajemen
kita memaksakan anak untuk menguasai seluruh materi yang dikurikulumkan,
tidak pernah mempertimbangkan apakah materi tersebut sesuai dengan
potensinya atau tidak. Sehingga yang terjadi adalh peserta didik hanya
menjadikan objek penderita yang seperti robot. Konsekuensinya adalah
peserta didik berkembang bukan berdasarkan potensinya namun seolah-olah
karena keterpaksaan

3. Proses pendidikan tidak berbasis cita-cita peserta didik


Masalah yang paling fatal dalam pendidikan kita adlah sampai saat ini
pendidikan kita sama sekali tidak sesungguhnya ingin mencerdaskan dan ingin
mendidik supaya generasi muda mendapatkan masa depan yang jelas.
Manajemen pendidikan kita belum memperhatikan dan belum menganggap
penting untuk mengembangkan anak sesuai dengan ptensinya. Harus diakui
bahwa peserta didik kita mayoritas sama sekali tidak memilii cita-cita untuk
menjadi apa kelak, meskipun ada yang punya mungkin itu bersifat semu dan
ngambang dan tidak memiliki arah yang jelas yang penting berangkat sekolah.
Satu hal lagi yang lebh penting adalah manajemen pendidikan kita tidak
mengarahkan anak untuk mewujudkan cita-citanya namun bagaimana anak
supaya bisa mengahapal semua materi pelajaran.

4. Proses pembelajaran berbasis hafalan


Di idnonesia pndidikan identik dengan hafalan berbasis ‘KUNCI
JAWABAN’, bukan pada pengertian. Ujian nasional, tes masuk perguruan
inggi, ddl. Semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa di
haruskan hafal rumus-rumus. Karena berbasis hafalan, murid disekolah dijejali
sebanyak mungkin pelajaran. Mereka didik menjadi “jack of all trades, but
mastr of none” (tahu sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun).

5. Sistem pendidikan top-down (dari atas kebawah)


Sistem ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik di
anggap manusia-manusia yang tidak tau apa-aa. Guru sebagai pemberi
pengarahan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi
pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi.
Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari
guru ditransfer kedala otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan,
pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja
yang disampaikan guru.

G. Lulusan
1. Sistem seleksi CPNS tidak berbasis kompetensi bidang studi
Disinalah mungkin awal keterpurukan dunia pendidikan kita, seleksi
CPNS keguruan sampai saat ini tidak berbasis kompetensi bidang study,
namun sistem generalisasi, semua disamakan. Akibatnya peluang CPNS
keguruan yang lolos bukan berdasarkan kompetensinya sangat terbuka.

2. Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan


Adanya tidak kesesuaian antar kualitas lulusan dengan kebutuhan
tenaga kerja menyebabkan masih tingginya tingkat pengangguran. Karena
ketidakserasian antara hasil dan kebutuhan dubia kerja ini disebakan oleh
kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap ketramilan yang
dibutuhkan ketika eserta didik memasuki dunia kerja.
3. Rendahnya efisiensi ekternal sistem pendidikan
Secara empiris kecenderungan meningkatnya pengangguran tnaga terdidik
disebabkan oleh perkembangan dunia usaha yang masih didominasi oleh
pengusaha besar yang jumlahnya sangta terbatas dan sangat menutamakan
efisiensi (padar modal dan padat teknologi). Dengan demikian pertambahan
kebutuhan akan tenagakerja jauh lebih kecil dibandinkan pertambahan jumlah
lulusan lembaga pendidikan.

4. Permasalahan globalisasi
Sejumlah SMK dan SMA dibeberapa kota diindonesia sudah
menerapkan sistem manajemen mutu (quality management sistem) yang
berlaku secara internasional dalam pengelolaan manajemen sekolah mereka,
dan banyak diantaranya ang sudah menerima sertifikat ISO.oleh karena itu,
dewasa ini glonalisasi sudah mulai menjadi permasalahan actual pendidikan.
Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut
output pendidikan.seperti diketahui, diera globalisasi dewasa ini terjadi
pergseran paradigma tentang keunggulan suatu negara, dari keunggulan
komperatif kepda keunggulan kompetitif.

5. Akreditasi sekolah yang masih rendah. Dan tidak ada perencanaan untuk
meningkatkan mutu taraf akreditasi sekolah.

Anda mungkin juga menyukai