Anda di halaman 1dari 6

C.

Akibat Kesenjangan di Bidang Pendidikan


Bidang pendidikan Masih adanya paham atau jalan yang berbeda dari kalangan keluarga
mampu dan tidak mampu. Dampak tersebut antara lain:
1. Lingkungan dan Fasilitas Sekolah yang Kurang Memadai
Sarana dan prasarana adalah salah satu sumber daya yang menjadi tolak ukur
mutu sekolah dan perlu peningkatan terus menerus seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih.Sarana dan prasarana sangat perlu
dilaksanakan untuk menunjang keterampilan peserta didik agar siap bersaing
terhadap pesatnya teknologi.
Sarana dan prasarana merupakan bagian penting yang perlu disiapkan secara
cermat dan berkesinambungan sehingga akan terjamin proses belajar mengajar yang
lancar. Akan tetapi kenyataanya sarana dan prasarana pendidikan di sekolah-sekolah
di Indonesia khususnya untuk daerah-daerah terpencil masih belum terlaksana secara
optimal. Banyak daerah-daerah di Indonesia yang belum mendapatkan sarana dan
prasarana yang memadai yaitu sekolah di perdesaan.Hal ini jauh berbeda dengan
daerah perkotaan yang sarana dan prasarana lebih baik daripada daerah perdesaan.
Banyaknya perbedaan sarana dan prasarana antara perkotaan dan perdesaan
mengakibatkan pendidikan di perdesaan masih sangat minim jika dibandingkan
dengan pendidikan yang ada di perkotaan.Sedangkan teknologi berbasis komputer
sangat penting untuk pendidikan masa kini. Banyak pembelajaran yang
menggunakan teknologi berbasis komputer.
Dalam hal ini sarana dan prasarana sangat mempengaruhi dalam proses belajar
mengajar. Sedangkan saat ini sarana dan prasarana untuk pendidikan memang kurang
memadai, bahkan banyak sarana dan prasarana yang tidak layak untuk proses belajar
mengajar. Seperti halnya sarana dan prasarana yang tidak memadai yaitu gedung
kelas bocor, bangku sekolah rusak maupun tidak mencukupi, lapangan yang
tergenang air, ketidak lengkapnya buku diperpustakaan, tidak memadainya
penggunaan teknologi dan informasi dan lainnya. 
Ketika sarana dan prasarana sekolah tidak memadai maka akan mempengaruhi
proses belajar mengajar yang dilaksanakan. yaitu akan menghambat proses
mengajar.Guru akan kesulitan dalam memberikan serta menjelaskan materi yang
akan disampaikan kepada peserta didik. Begitu juga dengan peserta didik akan
kesulitan untuk memahami apa yang dijelaskan oleh guru. Oleh sebab itu, proses
belajar mengajar tidak akan berjalan secara efektif dan efisien. 
Masalah sarana dan prasarana pendidikan yang kurang memadai juga dapat
disebabkan oleh ketidakpedulian sekolah terhadap perawatan fasilitas yang ada yang
akan menjadikan buruknya sarana dan prasarana. Sikap acuh tak acuh dan tidak
adanya pengawasan dari pemerintah banyak fasilitas di sekolah yangterbengkalai.Hal
ini akan menimbulkan ketidaknyamanan dalam menggunakan fasilitas yang ada
karena keadaan sarana dan prasarana yang kurang memadai dan fasilitas yang rusak.
Dengan adanya ketidaknyamanan ini akan mengakibatkan peserta didik enggan
melaksanakan proses pembelajaran dengan baik. Maka dari itu diperlukan kesadaran
untuk menjaga sarana dan prasarana yang ada agar dapat tetap digunakan untuk
menunjang pendidikan. Pemerintah juga perlu memberikan bantuan terhadap daerah
terpencil tersebut agar pendidikan dapat berkembang dan tercapai pula tujuan
pendidikan tersebut, dan kurangnya alokasi dana yang terhambat yaitu dalam hal
banyak penyalahgunaan dana administrasi sekolah dan adanya oknum-oknum yang
tidak bertanggung jawab dalam hal pendanaan sehingga adanya penyalahgunaan
dana dan menghambat proses pendidikan.Dalam hal ini pemerintah kurang tegas
dalam menangani oknum-oknum yang melakukan penyelewengan dana. Seharusnya
pendidikan yang ada di Indonesia ini upaya yang dilakukan adalah pendidikan harus
berjalan efektif.
Dalam peningkatan pembelajaran seperti halnya pengajaran yang baik sehingga
mutu peserta didik lebih berkualias dan perlunya kejujuran serta rencana yang
strategis terhadap manajemen keuangan pendidikan, agar pendidikan saat ini
teroptimalkan dan dapat meningkatkan sarana dan prasarana. Pemerintah juga  perlu
meningkatkan sarana dan prasarana yang ada di sekolah, sehingga peserta didik dapat
belajar dengan nyaman atas adanya sarana dan prasarana yang memadai tersebut. 
Akan tetapi sarana dan prasarana yang baik juga harus disertai dengan Sumber
Daya Manusia yang baik pula, karena sarana dan prasarana yang lengkap dan
memadai tidak akan bermanfaat apabila tidak adanya guru yang berkualitas. Seorang
guru harus memiliki sifat yang professional, berkompeten serta dapat mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini guru harus dapat
mengoperasikan komputer, melaksanakan proses mengajar dengan berbasis
komputer, dan lainnya. 
Setiap pendidikan wajib memiliki sarana seperti perabot, peralatan pendidikan,
media pendidikan, buku dan sumber belajar agar dapat menunjang proses
pembelajaran yang teratur dan teroktimal. Apabila kelengkapan fasilitas di atas
memadai dan dikelola dengan baik maka sarana dan prasarana berjalan dengan
optimal sebaik mungkin serta bakat dan minat peserta didik dapat lebih
dikembangkan lagi,sehingga akan menciptakan lulusan peserta didik yang baik.

2. Kemerosotan Moral
Lingkungan sekolah dianggap berperan penting dalam pembentukan moral siswa.
Sekolah merupakan lingkungan pendidikan sekunder, yang secara secara sistematis
melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan dalam rangka membantu siswa
supaya mampu mengembangkan potensinya, baik berkenaan dengan aspek moral,
spiritual, intelektual, emosional, maupun sosial. Maka dari itu peran sekolah
terbilang cukup besar ditambah lagi hampir sepertiga waktu siswa dihabiskan di
sekolah.
Kebanyakan orang tua juga menganggap dunia pendidikan sudah cukup
memberikan muatan-muatan moral pada anak-anaknya. Namun kondisi dunia
Pendidikan saat ini dirasa belum mampu sepenuhnya untuk membentuk moral
siswanya. Kebanyakan para pendidik dalam mengajar hanya gugur kewajiban saja
dalam mengajar. Para siswa lebih ditonjolkan dalam hal intlektual saja dan
mngesampingkan pendidikan moral.
Contoh kasus yang sering terjadi adalah Ketika ujian nasional (UN) mata
pelajaran yang diujikan hanya mata pelajaran umum saja, mata pelajaran yang
menyangkut aspek moral/akhlak diabaikan. Sehingga para siswa beranggapan bahwa
intlektualitas/kepintaran siswa jauh lebih penting dibandingkan moral siswa tersebut.
Hal tersebutnya harusnya dikaji ulang oleh para pemangku kebijakan. kemerosotan
atau penurunan dari suatu hal sedangkan moral adalah akhlak atau budi pekerti
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jika kita interpretasikan keduanya maka degradasi moral merupakan suatu
fenomena adanya kemerosotan atas budi pekerti seseorang maupun sekelompok
orang. Menurut Lickona (2013) ada 10 indikasi gejala penurunan moral yang perlu
mendapatkan perhatian agar berubah ke arah yang lebih baik; 1) Kekerasan dan
tindakan anarki, 2) Pencurian, 3) Tindakan Curang, 4) Pengabaian terhadap aturan
yang berlaku, 5) Tawuran antar siswa, 6) Ketidaktoleran, 7) Penggunaan bahasa yang
tidak baik, 8) Kematangan seksual yang terlalu dini dan penyimpangannya, 9) Sikap
perusakan diri, 10) Penyalahgunaan Narkoba.

3. Keterbatasan Jumlah Guru Terampil


Masalah pendidikan di Indonesia adanya keterbatasan jumlah guru yang terampil.
Umumnya, guru-guru terampil dan berkualitas tersebar di kawasan kota atau daerah
yang notabenenya mudah di akses. Sedangkan daerah-daerah terpinggir dan
terpencil, sulit sekali mendapatkan guru. Memang ada banyak faktor hal ini terjadi.
Dari banyak alasan, salah satunya masalah minat dari guru itu sendiri. lebih banyak
guru yang memilih lokasi yang mudah diakses dari segi transformasi dan akses untuk
mendapatkan kebutuhan pokok mudah didapatkan.
Sedangkan daerah terpencil, lagi-lagi tidak dilirik sama sekali. Mungkin ada saja
guru yang terpanggil hati untuk bertugas di daerah pelosok yang minim akses,
sayangnya hanya 1:10 saja. Jumlahnya pun sangat kecil sekali. Sehingga wajar saja
jika terjadi kesenjagan tenaga guru terampil di pelosok dan di kota. 
Sehingga terdapat pula kesenjangan kualitas lulusan peserta didik. Tidak heran jika
regenerasi yang tinggal di pelosok, nyari tidak terekspose atau muncul ke
permukaan. Itu sebabnya, ini menjadi tugas bagi pemerintah dalam upaya
pemerataan tenaga pendidik terampil di pelosok, agar terjadi pemerataan.

4. Minim Bahan Pembelajaran


Tidak dapat dipungkiri masalah pendidikan di Indonesia juga terbentur pada
keterbatasan bahan ajar. Kurangnya keterbatasan bahan wajar menurut kami hal yang
wajar, karena memang dari kesadaran akan literasi di Indonesia termasuk di urutan
akhir.
Dari sudut perspektif lain, menurut kami bisa jadi bukan karena masalah
minimnya bahan pembelajaran, tetapi masalah kurangnya kesadaran untuk membuat
inisiatif mencari modul pembelajaran.  Mungkin banyak yang menyebutkan bahwa
keterbatasan bahan pembelajaran tidak memadai. Padahal, sebenarnya kita bisa
mencari sendiri. Tidak harus mengandalkan huluran bahan aja dari pemerintah, tetapi
inisiatif untuk mencari. Jika memang tidak ada bahan pembelajaran tidak tersedia,
bagi seorang pendidik bisa saja belajar dari buku luar. Kemudian dari pesan buku
tersebut di transformasikan ke peserta didik. Atau bisa membuat atau menciptakan
bahan pembelajaran jika memang tidak ada.
Dengan cara-cara seperti ini lebih solutif daripada menyalahkan ataupun
menuding. Setidaknya dengan cara ini menjadi upaya memberikan jalan keluar untuk
kebutuhan diri sendiri dan memberikan ruang jalan bagi orang lain. sampai kapan
kita menunggu pemerintah pendidikan. Menunggu belum tentu bertemu, tetapi
dengan kita bergerak, meskipun hasilnya bukan gerakan besar, minimal memberi
sedikit perubahan.

5. Mahalnya Dana Pendidikan 


Masalah pendidikan di Indonesia yang paling mendasar terletak pada masalah
biaya pendidikan. Meskipun sudah digadang-gadang gratis, tetap saja ada bagian
yang membayar. Ironisnya, banyak masyarakat miskin yang hanya membayar tidak
seberapa bagi orang borju tetap menyulitkan. 
Lagi-lagi di sini saya memiliki perspektif lain tentang masalah dana pendidikan.
Masyarakat umum di tempat kita sudah terstereotipkan dan terdewakan dengan kata
‘lulusan dari mana?’ ‘lulus peringkat berapa?’ dan apapun itu yang menjadikan
pendidikan itu adalah raja. 
Tidak dapat dipungkiri, memang lewat pintu pendidikan mampu mengantarkan
seseorang ke masa depan yang lebih baik. Bahkan cukup bermodal peringkat terbaik
dan dari sekolah terbaik bisa menentukan nasib seseorang. Secara lahir memang
pendidikan adalah modal dasar dan segala. Tetapi di lihat dari ilmu hakikat atau
urgensi atau sejatinya keberhasilan seseorang tidak selalu di tentukan dari tingkat
pendidikan. 
Stereotip masyarakat yang terlanjur beredar dan terlanjur terpatri memang sulit
diubah. Nyatanya, banyak orang-orang hebat yang justru putus sekolah. Orang-orang
yang awalnya dianggap bodoh dan tidak berkesempatan sekolah, nyatanya memiliki
garis hidup yang berbeda. Secara hakikat pula, nilai, lulusan terbaik juga tidak akan
menjadi jaminan bisa masuk.
Dari ulasan di atas seolah lembaga pendidikan menjadi tidak penting, hanya
karena label dan stigma masyarakat. Padahal menuntut ilmu adalah kewajiban bagi
seluruh umat manusia. Masalahnya lagi, banyak orang yang mengartikan menuntut
ilmu selalu dalam bentuk pendidikan, padahal ada jalur non pendidikan. 

6. Mutu Pendidikan Rendah 


Salah satu masalah pendidikan di Indonesia juga terletak pada mutu pendidikan
yang rendah. Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan bisa saja disebabkan
oleh perspektif masyarakat secara umum. Dimana menuntut ilmu bukan sebagai
kewajiban atau kesadaran diri yang merupakan bentuk kewajiban terhadap diri
sendiri. 
Belajar adalah kewajiban setiap masing-masing individu sebagai bekal hidup dan
bekal untuk bertahan hidup dari rasa lapar. Sayangnya, belajar sebagai kewajiban
kini bergeser mencari pangkat, gengsi dan mendapatkan gelar. Disinilah awal mula
mutu pendidikan rendah. Tujuan yang dicapai menjadi berambigu. Banyak yang
berbondong-bondong mengejar pengakuan. Tidak mengejar esensi dari pembelajaran
itu sendiri.

7. Minoritas Bagi Kelompok Difabel 


Masalah pendidikan di Indonesia tidak banyak dijadikan sorotan adalah masalah
pendidikan bagi kelompok difabel. Ternyata masih banyak kelompok difabel yang
kesulitan dalam mencari sekolah inklusi. Itu berarti masih sedikit sekolah-sekolah
inklusi bagi mereka. Satu sisi, sekolah inklusi secara tidak langsung juga mengkotak-
kotakan dan semakin tereksklusi dari realitas sosial. 
Kendala yang sering dihadapi bagi difabel ketika memutuskan sekolah umum,
mereka terkendala dari pembangunan sekolah yang tidak ramah untuk di fable.
Misalnya tidak ada jalan khusus difabel yang menggunakan sepatu roda atau pintu
kurang representative bagi difabel. Belum lagi masalah buku-buku pelajaran yang
dikemas dalam huruf braille. Kelompok difabel yang memilih sekolah ditempat
umum. Ternyata mereka harus belajar lebih keras daripada orang pada
umumnya.Sepulang sekolah, anak-anak lain bisa saja hanya bermain dan bersenang-
senang, tetapi mereka tidak ada waktu bermain, karena mereka mengejar
ketertinggalan.
Karena keterbatasan mereka, mengharuskan mereka belajar lebih giat.  Dari sini,
sebenarnya dibutuhkan keseimbangan dalam proses belajar bagi kelompok
difabel. Belum lagi masalah tentang akses jalan, sarana kamar mandi di sekolah yang
juga belum ramah dengan difabel. Padahal, segala sesuatunya harus dibangun sesuai
standar difabel. Bukan karena mereka minoritas, bukan berarti mengambil hak
mereka menikmati fasilitas umum. Setidaknya jika pembangunan dilakukan ramah
difabel, orang umum pun bisa juga mengaksesnya. 
Jika standar pembangunan di standarkan orang pada umumnya, maka difabel akan
kesulitan mengakses. Sehingga mereka terkesan dikesampingkan. Padahal mereka
sama-sama generasi penerus yang memiliki hak yang sama, memiliki peluang sukses
yang sama dan memiliki hak yang sama.
Bukan karena minoritas, lantas semakin dipandang berbeda. Sebenarnya mereka
kuat bahkan bisa saya sebut mereka lebih kuat. Mereka memang special, bukan
special dalam konotasi negative, tetapi benar-benar special dalam arti sebenarnya,
karena sebenarnya memiliki kegigihan lebih besar. 

Anda mungkin juga menyukai