Anda di halaman 1dari 25

Nama : Yuli Primitasari

Nim : 16.1302 196

1. Sifat Hakikat Manusia


Dalam pengantar ilmu pendidikan, hal yang paling mendasar untuk dipelajari
adalah tentang sifat hakikat manusia. Sebab, dengan mengetahui sifat hakikat
manusia tersebut dapat memberikan arti dan makna kita sebagai manusia dalam
dunia pendidikan ke depannya karena dengan pendidikan dapat membantu manusia
untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaan yang ada pada diri
manusia itu sendiri.
Manusia adalah makhluk yang lemah, tidak dapat berdiri sendiri, dengan kata
lain manusia adalah makhluk sosial yang saling berhubungan antara yang satu
dengan yang lain, pun bukan hanya sesama manusia saja, melainkan dalam artian
luas, hubungan dengan lingkungan, alam, dan Tuhan.
Adapun sifat hakikat manusia, pada dasarnya terbagi menjadi 8 (delapan) yaitu
sebagai berikut:
a. Kemampuan menyadari diri sendiri
Manusia harus mampu menyadari dirinya sendiri. Bisa dikatakan bahwa
manusia itu harus dapat menjadi dirinya sendiri atau dalam istilah lain, be your
self. Dalam artian yang lebih luas, manusia harus mampu dan mengembangkan
apa yang ada dalam dirinya demi kemanusiaannya. Mampu mengembangkan
aspek sosialitasnya dan mampu juga mengembangkan aspek individualitasnya
sehingga jika manusia dapat menyeimbangkan kedua aspek tersebut maka
dengan begitu manusia mampu mengekplorasi potensi-potensi yang ada serta
membuat jarak dengan yang lainnya.

b. Kemampuan bereksistensi
Bereksistensi menyatakan bahwa manusia itu ada dan mengetahui apa
yang ada di luar dirinya. Kemampuan bereksistensi berarti manusia mampu
membuat jarak antara "aku" atau egonya dengan "dirinya" sebagai obyektif.
Oleh sebab itu, di mana pun dan dalam kondisi apa pun manusia harus mampu
menyatakan keeksistensiannya agar tidak terpengaruh dengan yang lainnya.
Dengan kemampuan bereksistensi, manusia pun mampu melihat obyek
sebagai "sesuatu". Sesuatu di sini adalah dapat merubah obyek yang
diamatinya menjadi sesuatu yang berguna dengan akal pikirannya. Selain itu,
manusia juga dapat menerobos ruang dan waktu tanpa harus merubah segala
hal yang ada pada dirinya.
c. Pemilikan kata hati (qalbu)
Manusia berbeda dengan binatang dan makhluk lainnya karena manusia
memiliki kata hati atau qalbu yang dapat memberikan penerangan tentang baik
dan buruknya perbuatan sebagai manusia. Jika ada sesuatu yang salah maka
kata hati akan berbicara, begitu pun sebaliknya.
Dengan memiliki kata hati, manusia dapat memberikan bentuk pengertian
yang menyertai perbuatan atau membenarkan apa yang dilakukannya tanpa
harus terpengaruh oleh hal-hal lain di luar dirinya, namun harus dalam konteks
kebenaran umum atau nilai-nilai positif dalam kehidupan.
d. Moral (etika)
Secara garis besar, moral (etika) adalah nilai-nilai yang mengatur
manusia. Nilai-nilai itu sendiri mencakup dua hal, yaitu nilai dasar yang bersifat
universal (nilai-nilai kemanusiaan secara umum) dan nilai instrumental yang
bersifat bahagian dari nilai-nilai dasar tersebut. Nilai instrumental lebih
menekankan kepada cara atau hal yang nampak dalam keumuman nilai dasar.
Dengan memiliki moral (etika), manusia mampu membuat jarak antara
kata hati dengan moral. Jadi, moral manusia itu sendiri terjadi karena adanya
dorongan dari kata hati. Jika kata hati berkata baik maka moral manusia itu pun
dapat menghadirkan nilai-nilai yang baik. Dengan begitu, dengan pendidikan
berarti manusia dapat menumbuhkembangkan etiket (sopan santun) dan etika
(nilai-nilai kehidupan).
e. Tanggung jawab
Tanggung jawab manusia di dunia ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu
tanggung jawab kepada diri sendiri, tanggung jawab kepada masyarakat, dan
tanggung jawab kepada Tuhan. Namun demikian, tanggung jawab itu bermuara
kepada Tuhan sebab manusia diciptakan adalah sebagai bukti pengabdian
manusia kepada Tuhannya untuk menjaga atau sebagai khalifah di muka bumi.
Tanggung jawab itu sendiri berasal dari moral manusia yang dihadirkan oleh
kata hatinya.
f. Rasa kebebasan
Rasa kebebasan di sini memiliki arti "merdeka". Kebebasan itu sendiri
bukan berarti manusia harus bebas dari segala tuntutan dalam kehidupan,
melakukan semua hal sesuai dengan keinginan dirinya sendiri, namun bebas di
sini adalah bebas yang dibatasi oleh rasa.
Rasa kebebasan itu pun harus sesuai dengan tuntutan kodrat manusia,
mampu merubah ikatan luar yang membelenggu menjadi ikatan dalam yang
menggerakkan hatinya. Jadi, semua tuntutan yang ada dalam kehidupan harus
mampu menyatu dengan dirinya sendiri sehingga manusia dapat bebas menurut
kodratnya.
Oleh sebab itu, dalam rasa kebebasan (kemerdekaan) manusia dapat
mengendalikan kata hatinya agar dapat menciptakan moral yang baik sehingga
dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan rasa kebebasan
tersebut.
g. Kewajiban dan Hak
Manusia dilahirkan Tuhan ke dunia karena memiliki hak hidup sejak
manusia itu masih berada di dalam rahim. Namun, hak itu harus dibarengi oleh
kewajiban yang merupakan keniscayaan bagi dirinya sebab jika kewajiban tidak
ada maka hak adalah sesuatu yang kosong.
Kita tak perlu menuntut hak lebih awal jika kewajiban yang dituntut belum
dijalankan. Hak itu ada karena kewajiban ada.
h. Menghayati kebahagiaan
Puncak dari sifat hakikat manusia adalah menghayati kebahagiaan.
Menghayati kebahagiaan berarti memadukan antara pengalaman yang
menyenangkan dengan yang pahit melalui sebuah proses, di mana hasil yang
didapat adalah kesediaan menerima apa adanya. Jadi, kebahagiaan itu muncul
ketika kejadian atau pun pengalaman sudah dipadukan di dalam hati dan kita
mampu menerimanya dengan apa adanya tanpa harus menuntut sedikit pun.
2. Dimensi-dimensi Manusia
Manusia mempunyai 4 dimensi, diantaranya yaitu :
a. Dimensi keindividuan
Manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi yang berbeda-beda dari
yang lainnya atau menjadi seperti dirinya sendiri. Tidak ada individu yang identik
dimuka bumi ini, bahkan dua anak yang kembar pasti mempunyai perbedaan,
hanya serupa namun tidak sama apalagi identik.
Dimensi keindividuan yaitu kepribadian seseorang yang utuh yang terdiri
dari kesatuan pisik dan psikis. Keberadaan manusia sebagai individu bersifat
unik karena berbeda antara satu dengan lainnya. Setiap manusia sama
mempunyai tangan,kaki,telinga, dan anggota tubuh lainnya. Namun, tidak persis
bentuknya karena setiap orang kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas
sikap dan prilakunya.
Sebagai contoh, dua orang yang kembar yang mempunyai tangan dan
kaki yang sama. Tetapi, kembar pertama menggunakan tangan dan kakinya
untuk melakukan kejahatan dan kembar kedua menggunakan tangan dan
kakinya dalam kebaikan. Secara tidak langsung kembar kedua tidak mau
disamakan dengan kembar pertama karena prilaku kembar pertama tidak baik.
Maka dari contoh diatas dapat disimpulakn bahwa setiap manusia serupa namun
tidak sama.
b. Dimensi kesosialan
Seseorang akan menemukan jati dirinya manakala berada diantara orang
banyak artinya manusia tidak mengenali dirinya dan dapat mewujudkan
potensinya sebelum dia berinteraksi dengan manusia lainnya. Manusia adalah
makhluk social sekaligus juga makhluk individu. Dimaksudkan disini manusia
berbeda dengan lainnya, namun manusia sangat membutuhkan manusia lain
karena manusia tidak akan bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Manusia hidup
dalam suasana interdependensi (saling ketergantungan) dalam antar hubungan
dan antaraksi.
Sebagai contoh, posisi keluarga atau orang tua dalam menentukan
disiplin anak. Bahwasanya anak itu juga manusia yang tidak bisa hidup sendiri
dan membutuhkan orang disekitarnya untuk mendidik sang anak.
c. Dimensi kesusilaan
Manusia dengan kemampuan akalnya menetukan manakah yang baik
dan manakah yang buruk dengan pertimbangan nilai-nilai budaya yang
dijunjungnya, memungkinkan manusia berbuat dan bertindak secara susila.
Susila berasal dari kata su yang artinya baik dan sila yang artinya dasar.
Jadi kesusilaan adalah ukuran baik dan buruk. Diryakara memandang bahwa
manusia susila adalah manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati dan
melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatannya. Nilai-nilai mengandung
makna keluhuran, kebaikan dan kemuliaan.
Agar manusia dapat melakukan apa yang semestinya akan dilakukan
maka manusia harus mengetahui dan memahami nilai-nilai tersebut kemudian
kesadaran manusia akan menjalankan nilai-nilai tersebut.
Contohnya, menjaga kebersihan diri, rumah, dan lingkungan, ikut
bergotong-royong, menjaga keamanan dan ketertiban, serta bergaya hidup
dengan sederhana tidak pamer harta kekayaan.
d. Dimensi keagamaan
Beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah
makhluk lemah sehingga memerlukan tempat bertopang atau tempang
mengadu. manusia memerlukan agama demi keselamatan dan ketentraman
hidupnya.
Manusia adalah makhluk yang religius yang dianugrahi ajaran-ajaran yang
dipercayainya. Ajaran tersebut akan ada apabila didapatkan melalaui bimbingan
nabi. Manusia juga akan mendapatkan pelajaran agama dari orang tua,guru
agama, dan orang yang mengerti agama. Karena kita diwajibkan memiliki agama
untuk keselamatan hidup dan ketentraman hati.

3. Jiwa Manusia
Sifat Kejiwaan Pada Manusia
Hakikat kejiwaan manusia terwujud dengan adanya kekuatan-kekuatan serta
aktivitas-aktivitas kejiwaan dalam diri manusia, yang semua itu menghasilkan
tingkah laku yang lebih sempurna dari pada makhluk-makhluk lain.
Menurut John Amos Comenius, manusia mempunyai tiga komponen jiwa yang
menggerakkan aktifitas jiwa-raga. Tiga komponen jiwa tersebut meliputi: syaraf
pertumbuhan, perasaan dan intelektual. Oleh karena itu dikatakan, bahwa manusia
mempunyai tiga sifat dasar.yaitu:
a. Sifat biologis (tumbuh-tumbuhan): sifat ini telah membuat manusia tumbuh
secara alami dengan prinsip-prinsip biologis dengan menggunakan
lingkungannya.
b. Sifat hewani; dengan adanya perasaan-perasaan hakiki, manusia mengalami
desakan-desakan internal untuk mencari keseimbangan hidup. Melalui peralatan
inderanya, manusia menjadi sadar dan menuruti keinginan-keinginan dan
seleranya.
c. Sifat intelektual; dengan sifat ini, manusia mampu menemukan benar atau
salahnya sesuatu, dapat membedakan baik dan buruknya obyek, serta dapat
mengarahkan keinginan dan emosinya. Sifat intelektual manusia inilah yang
membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Dengan adanya sifat
intelektual ini, manusia dilebihkan derajatnya dari makhluk-makhluk lain.
Hakikat kejiwaan manusia terwujud dengan adanya kekuatan-kekuatan serta
aktivitas-aktivitas kejiwaan dalam diri manusia, yang semua itu menghasilkan
tingkah laku yang lebih sempurna dari pada makhluk-makhluk lain.

4. Personality (Kepribadian)
Kepribadian adalah keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan berinteraksi
dengan individu lain paling sering dideskripsikan dalam istilah sifat yang bisa diukur
yang ditunjukkan oleh seseorang.
Definisi kepribadian menurut psikologi
Berdasarkan psikologi, Gordon Allport menyatakan bahwa kepribadian sebagai
suatu organisasi (berbagai aspek psikis dan fisik) yang merupakan suatu struktur dan
sekaligus proses. Jadi, kepribadian merupakan sesuatu yang dapat berubah. Secara
eksplisit Allport menyebutkan, kepribadian secara teratur tumbuh dan mengalami
perubahan.
Ciri-ciri kepribadian
Para ahli tampaknya masih sangat beragam dalam memberikan rumusan
tentang kepribadian. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon
W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi
tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya,
akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih
lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri
individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian
adalah penyesuaian diri. Scheneider (1964) mengartikan penyesuaian diri sebagai
suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam
upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi
dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut
dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas
sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya
itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik,
tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan
berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang
bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori
kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya : teori Psikoanalisa dari Sigmund
Freud, teori Analitik dari Carl Gustav Jung, teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm,
Horney dan Sullivan, teori Personologi dari Murray, teori Medan dari Kurt Lewin, teori
Psikologi Individual dari Allport, teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson,
teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu, Abin Syamsuddin
(2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang di dalamnya mencakup

Karakter yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten


tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
Temperamen yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi
terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
Stabilitas emosi yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari
lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, marah, sedih, atau putus asa
Responsibilitas (tanggung jawab) adalah kesiapan untuk menerima risiko dari
tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima risiko secara
wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari risiko yang dihadapi.
Sosiabilitas yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal.
Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi
dengan orang lain.
Setiap individu memiliki ciri-ciri kepribadian tersendiri, mulai dari yang
menunjukkan kepribadian yang sehat atau justru yang tidak sehat. Dalam hal ini,
Elizabeth (Syamsu Yusuf, 2003) mengemukakan ciri-ciri kepribadian yang sehat dan
tidak sehat, sebagai berikut :
Kepribadian yang sehat

Mampu menilai diri sendiri secara realisitik; mampu menilai diri apa adanya tentang
kelebihan dan kekurangannya, secara fisik, pengetahuan, keterampilan dan
sebagainya.
Mampu menilai situasi secara realistik; dapat menghadapi situasi atau kondisi
kehidupan yang dialaminya secara realistik dan mau menerima secara wajar, tidak
mengharapkan kondisi kehidupan itu sebagai sesuatu yang sempurna.
Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik; dapat menilai keberhasilan
yang diperolehnya dan meraksinya secara rasional, tidak menjadi sombong,
angkuh atau mengalami superiority complex, apabila memperoleh prestasi yang
tinggi atau kesuksesan hidup. Jika mengalami kegagalan, dia tidak mereaksinya
dengan frustrasi, tetapi dengan sikap optimistik.
Menerima tanggung jawab; dia mempunyai keyakinan terhadap kemampuannya
untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya.
Kemandirian; memiliki sifat mandiri dalam cara berfikir, dan bertindak, mampu
mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta
menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
Dapat mengontrol emosi; merasa nyaman dengan emosinya, dapat menghadapi
situasi frustrasi, depresi, atau stress secara positif atau konstruktif , tidak destruktif
(merusak)
Berorientasi tujuan; dapat merumuskan tujuan-tujuan dalam setiap aktivitas dan
kehidupannya berdasarkan pertimbangan secara matang (rasional), tidak atas
dasar paksaan dari luar, dan berupaya mencapai tujuan dengan cara
mengembangkan kepribadian (wawasan), pengetahuan dan keterampilan.
Berorientasi keluar (ekstrovert); bersifat respek, empati terhadap orang lain,
memiliki kepedulian terhadap situasi atau masalah-masalah lingkungannya dan
bersifat fleksibel dalam berfikir, menghargai dan menilai orang lain seperti dirinya,
merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain, tidak membiarkan dirinya
dimanfaatkan untuk menjadi korban orang lain dan mengorbankan orang lain,
karena kekecewaan dirinya.
Penerimaan sosial; mau berpartsipasi aktif dalam kegiatan sosial dan memiliki
sikap bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain.
Memiliki filsafat hidup; mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup yang
berakar dari keyakinan agama yang dianutnya.
Berbahagia; situasi kehidupannya diwarnai kebahagiaan, yang didukung oleh
faktor-faktor achievement (prestasi), acceptance (penerimaan), dan affection (kasih
sayang).

Kepribadian yang tidak sehat

Mudah marah (tersinggung)


Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan
Sering merasa tertekan (stress atau depresi)
Bersikap kejam atau senang mengganggu orang lain yang usianya lebih muda
atau terhadap binatang
Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang meskipun sudah
diperingati atau dihukum
Kebiasaan berbohong
Hiperaktif
Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas
Senang mengkritik/mencemooh orang lain
Sulit tidur
Kurang memiliki rasa tanggung jawab
Sering mengalami pusing kepala (meskipun penyebabnya bukan faktor yang
bersifat organis)
Kurang memiliki kesadaran untuk mentaati ajaran agama
Pesimis dalam menghadapi kehidupan
Kurang bergairah (bermuram durja) dalam menjalani kehidupan

Faktor-faktor penentu kepribadian

Faktor keturunan

Keturunan merujuk pada faktor genetika seorang individu. Tinggi fisik, bentuk wajah,
gender, temperamen, komposisi otot dan refleks, tingkat energi dan irama biologis
adalah karakteristik yang pada umumnya dianggap, entah sepenuhnya atau secara
substansial, dipengaruhi oleh siapa orang tua dari individu tersebut, yaitu komposisi
biologis, psikologis, dan psikologis bawaan dari individu.

Terdapat tiga dasar penelitian yang berbeda yang memberikan sejumlah kredibilitas
terhadap argumen bahwa faktor keturunan memiliki peran penting dalam menentukan
kepribadian seseorang. Dasar pertama berfokus pada penyokong genetis dari perilaku
dan temperamen anak-anak. Dasar kedua berfokus pada anak-anak kembar yang
dipisahkan sejak lahir. Dasar ketiga meneliti konsistensi kepuasan kerja dari waktu ke
waktu dan dalam berbagai situasi.

Penelitian terhadap anak-anak memberikan dukungan yang kuat terhadap pengaruh


dari faktor keturunan. Bukti menunjukkan bahwa sifat-sifat seperti perasaan malu, rasa
takut, dan agresif dapat dikaitkan dengan karakteristik genetis bawaan. Temuan ini
mengemukakan bahwa beberapa sifat kepribadian mungkin dihasilkan dari kode
genetis sama yang memperanguhi faktor-faktor seperti tinggi badan dan warna rambut.

Para peneliti telah mempelajari lebih dari 100 pasangan kembar identik yang dipisahkan
sejak lahir dan dibesarkan secara terpisah. Ternyata peneliti menemukan kesamaan
untuk hampir setiap ciri perilaku, ini menandakan bahwa bagian variasi yang signifikan
di antara anak-anak kembar ternyata terkait dengan faktor genetis. Penelitian ini juga
memberi kesan bahwa lingkungan pengasuhan tidak begitu memengaruhi
perkembangan kepribadian atau dengan kata lain, kepribadian dari seorang kembar
identik yang dibesarkan di keluarga yang berbeda ternyata lebih mirip dengan
pasangan kembarnya dibandingkan kepribadian seorang kembar identik dengan
saudara-saudara kandungnya yang dibesarkan bersama-sama.

Faktor lingkungan

Faktor lain yang memberi pengaruh cukup besar terhadap pembentukan karakter
adalah lingkungan di mana seseorang tumbuh dan dibesarkan; norma dalam keluarga,
teman, dan kelompok sosial; dan pengaruh-pengaruh lain yang seorang manusia dapat
alami. Faktor lingkungan ini memiliki peran dalam membentuk kepribadian seseorang.
Sebagai contoh, budaya membentuk norma, sikap, dan nilai yang diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya dan menghasilkan konsistensi seiring berjalannya
waktu sehingga ideologi yang secara intens berakar di suatu kultur mungkin hanya
memiliki sedikit pengaruh pada kultur yang lain. Misalnya, orang-orang Amerika Utara
memiliki semangat ketekunan, keberhasilan, kompetisi, kebebasan, dan etika kerja
Protestan yang terus tertanam dalam diri mereka melalui buku, sistem sekolah,
keluarga, dan teman, sehingga orang-orang tersebut cenderung ambisius dan agresif
bila dibandingkan dengan individu yang dibesarkan dalam budaya yang menekankan
hidup bersama individu lain, kerja sama, serta memprioritaskan keluarga daripada
pekerjaan dan karier.

Sifat-sifat kepribadian

Berbagai penelitian awal mengenai struktur kepribadian berkisar di seputar upaya untuk
mengidentifikasikan dan menamai karakteristik permanen yang menjelaskan perilaku
individu seseorang. Karakteristik yang umumnya melekat dalam diri seorang individu
adalah malu, agresif, patuh, malas, ambisius, setia, dan takut. Karakteristik-karakteristik
tersebut jika ditunjukkan dalam berbagai situasi, disebut sifat-sifat kepribadian. Sifat
kepribadian menjadi suatu hal yang mendapat perhatian cukup besar karena para
peneliti telah lama meyakini bahwa sifat-sifat kepribadian dapat membantu proses
seleksi karyawan, menyesuaikan bidang pekerjaan dengan individu, dan memandu
keputusan pengembangan karier.

Cara identifikasi kepribadian

Terdapat sejumlah upaya awal untuk mengidentifikasi sifat-sifat utama yang mengatur
perilaku. Seringnya, upaya ini sekadar menghasilkan daftar panjang sifat yang sulit
untuk digeneralisasikan dan hanya memberikan sedikit bimbingan praktis bagi para
pembuat keputusan organisasional. Dua pengecualian adalah Myers-Briggs Type
Indicator dan Model Lima Besar. Selama 20 tahun hingga saat ini, dua pendekatan ini
telah menjadi kerangka kerja yang dominan untuk mengidentifikasi dan
mengklasifikasikan sifat-sifat seseorang.

Myers-Briggs Type Indicator

Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) adalah tes kepribadian menggunakan empat


karakteristik dan mengklasifikasikan individu ke dalam salah satu dari 16 tipe
kepribadian. Berdasarkan jawaban yang diberikan dalam tes tersebut, individu
diklasifikasikan ke dalam karakteristik ekstraver atau introver, [sensitif]] atau intuitif,
pemikir atau perasa, dan memahami atau menilai. Instrumen ini adalah instrumen
penilai kepribadian yang paling sering digunakan. MBTI telah dipraktikkan secara luas
di perusahaan-perusahaan global seperti Apple Computers, AT&T, Citgroup, GE, 3M
Co., dan berbagai rumah sakit, institusi pendidikan, dan angkatan bersenjata AS.

Model Lima Besar

Myers-Briggs Type Indicator kurang memiliki bukti pendukung yang valid, tetapi hal
tersebut tidak berlaku pada model lima faktor kepribadian -yang biasanya disebut Model
Lima Besar. Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah besar penelitian mendukung
bahwa lima dimensi dasar saling mendasari dan mencakup sebagian besar variasi yang
signifikan dalam kepribadian manusia. Faktor-faktor lima besar mencakup ekstraversi,
mudah akur dan bersepakat, sifat berhati-hati, stabilitas emosi, dan terbuka terhadap
hal-hal baru.

Menilai kepribadian

Alasan paling penting mengapa manajer perlu mengetahui cara menilai kepribadian
adalah karena penelitian menunjukkan bahwa tes-tes kepribadian sangat berguna
dalam membuat keputusan perekrutan. Nilai dalam tes kepribadian membantu manajer
meramalkan calon terbaik untuk suatu pekerjaan.

Terdapat tiga cara utama untuk menilai kepribadian :

Survei mandiri
Survei peringkat oleh pengamat
Ukuran proyeksi (Rorschach Inkblot test dan Thematic Apperception Test)

Sifat kepribadian utama yang memengaruhi perilaku organisasi

Evaluasi inti diri

Evaluasi inti diri adalah tingkat di mana individu menyukai atau tidak menyukai diri
mereka sendiri, apakah mereka menganggap diri mereka cakap dan efektif, dan apakah
mereka merasa memegang kendali atau tidak berdaya atas lingkungan mereka.
Evaluasi inti diri seorang individu ditentukan oleh dua elemen utama: harga diri dan
lokus kendali. Harga diri didefinisikan sebagai tingkat menyukai diri sendiri dan tingkat
sampai mana individu menganggap diri mereka berharga atau tidak berharga sebagai
seorang manusia.

Machiavellianisme

Machiavellianisme adalah tingkat di mana seorang individu pragmatis,


mempertahankan jarak emosional, dan yakin bahwa hasil lebih penting daripada
proses. Karakteristik kepribadian Machiavellianisme berasal dari nama Niccolo
Machiavelli, penulis pada abad keenam belas yang menulis tentang cara mendapatkan
dan menggunakan kekuasaan.

Narsisisme

Narsisisme adalah kecenderungan menjadi arogan, mempunyai rasa kepentingan diri


yang berlebihan, membutuhkan pengakuan berlebih, dan mengutamakan diri sendiri.
Sebuah penelitian mengungkap bahwa ketika individu narsisis berpikir mereka adalah
pemimpin yang lebih baik bila dibandingkan dengan rekan-rekan mereka, atasan
mereka sebenarnya menilai mereka sebagai pemimpin yang lebih buruk. Individu
narsisis seringkali ingin mendapatkan pengakuan dari individu lain dan penguatan atas
keunggulan mereka sehingga individu narsisis cenderung memandang rendah dnegan
berbicara kasar kepada individu yang mengancam mereka. Individu narsisis juga
cenderung egois dan eksploitif, dan acap kali memanfaatkan sikap yang dimiliki individu
lain untuk keuntungannya.

Pemantauan diri

Pemantauan diri adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan perilakunya


dengan faktor situasional eksternal. Individu dengan tingkat pemantauan diri yang tinggi
menunjukkan kemampuan yang sangat baik dalam menyesuaikan perilaku dengan
faktor-faktor situasional eksternal. Bukti menunjukkan bahwa individu dengan tingkat
pemantauan diri yang tinggi cenderung lebih memerhatikan perilaku individu lain dan
pandai menyesuaikan diri bila dibandingkan dengan individu yang memiliki tingkat
pemantauan diri yang rendah.

Kepribadian tipe A

Kepribadian tipe A adalah keterlibatan secara agresif dalam perjuangan terus-menerus


untuk mencapai lebih banyak dalam waktu yang lebih sedikit dan melawan upaya-
upaya yang menentang dari orang atau hal lain. Dalam kultur Amerika Utara,
karakteristik ini cenderung dihargai dan dikaitkan secara positif dengan ambisi dan
perolehan barang-barang material yang berhasil. Karakteristik tipe A adalah:
selalu bergerak, berjalan, dan makan cepat;
merasa tidak sabaran;
berusaha keras untuk melakukan atau memikirkan dua hal pada saat yang
bersamaan;
tidak dapat menikmati waktu luang;
terobsesi dengan angka-angka, mengukur keberhasilan dalam bentuk jumlah hal
yang bisa mereka peroleh.

Kepribadian proaktif

Kepribadian proaktif adalah sikap yang cenderung oportunis, berinisiatif, berani


bertindak, dan tekun hingga berhasil mencapai perubahan yang berarti. Pribadi proaktif
menciptakan perubahan positif daalam lingkungan tanpa memedulikan batasan atau
halangan.

Kecerdasan

Kecerdasan atau yang biasa dikenal dengan IQ (bahasa Inggris: intelligence quotient)
adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup
sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan
masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar.
Kecerdasan erat kaitannya dengan kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu.
Kecerdasan dapat diukur dengan menggunakan alat psikometri yang biasa disebut
sebagai tes IQ. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa IQ merupakan usia mental
yang dimiliki manusia berdasarkan perbandingan usia kronologis.

Definisi Kecerdasan

Terdapat beberapa cara untuk mendefinisikan kecerdasan. Dalam beberapa kasus,


kecerdasan bisa termasuk kreativitas, kepribadian, watak, pengetahuan, atau
kebijaksanaan. Namun, beberapa psikolog tak memasukkan hal-hal tadi dalam
kerangka definisi kecerdasan. Kecerdasan biasanya merujuk pada kemampuan atau
kapasitas mental dalam berpikir, namun belum terdapat definisi yang memuaskan
mengenai kecerdasan[1]konsumen cerdas Stenberg& Slater (1982) mendefinisikannya
sebagai tindakan atau pemikiran yang bertujuan dan adaptif.[2].

Struktur kecerdasan

Menurut L.L. Thurstone

Kecerdasan dapat dibagi dua yaitu kecerdasan umum biasa disebut sebagai faktor-g
maupun kecerdasan spesifik. Akan tetapi pada dasarnya kecerdasan dapat dipilah-
pilah. Berikut ini pembagian spesifikasi kecerdasan menurut L.L. Thurstone:

Pemahaman dan kemampuan verbal


Angka dan hitungan
Kemampuan visual
Daya ingat
Penalaran
Kecepatan perceptual

Skala Wechsler yang umum dipergunakan untuk mendapatkan taraf kecerdasan


membagi kecerdasan menjadi dua kelompok besar yaitu kemampuan kecerdasan
verbal (VIQ) dan kemampuan kecerdasan tampilan (PIQ).

Menurut Howard Gardner

Sedangkan menurut Howard Gardner, seorang psikolog terkemuka dari Universitas


Harvard, menyatakan ada delapan kecerdasan yang dimiliki oleh manusia, diantaranya
adalah:

1. Kecerdasan linguistik

Orang yang memiliki kecerdasan ini merupakan seseorang yang pandai mengolah kata-
kata saat berbicara maupun menulis. Orang tipe ini biasanya gemar mengisi TTS,
bermain scrable, membaca, dan bisa mengartikan bahasa tulisan dengan jelas. Jika
orang memiliki kecerdasan ini, maka pekerjaan yang cocok adalah jurnalis, penyair,
atau pengacara.

2. Kecerdasan matematik atau logika

Tipe kecerdasan ini adalah orang yang memiliki kecerdasan dalam hal angka dan
logika. Mereka mudah membuat klasifikasi dan kategorisasi, berpikir dalam pola sebab
akibat, menciptakan hipotesis, dan pandangan hidupnya bersifat rasional. Pekerjaan
yang cocok jika memiliki kecerdasan ini adalah ilmuwan, akuntan, atau progammer.

3. Kecerdasan spasial

Mereka yang termasuk ke dalam tipe ini memiliki kepekaan tajam untuk visual,
keseimbangan, warna, garis, bentuk, dan ruang. Selain itu, mereka juga pandai
membuat sketsa ide dengan jelas. Pekerjaan yang cocok untuk tipe kecerdasan ini
adalah arsitek, fotografer, desainer, pilot, atau insinyur.

4. Kecerdasan kinetik dan jasmani

Orang tipe ini mampu mengekspresikan gagasan dan perasaan. Mereka menyukai
olahraga dan berbagai kegiatan yang mengandalkan fisik. Pekerjaan yang cocok untuk
mereka adalah atlet, pengrajin, montir, dan penjahit.

5. Kecerdasan musikal
Mereka yang termasuk ke dalam tipe ini mampu mengembangkan, mengekspresikan,
dan menikmati bentuk musik dan suara. Ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan
musikal yaitu suka bersiul, mudah menghafal nada lagu yang baru didengar, menguasai
salah satu alat musik tertentu, peka terhadap suara sumbang, dan gemar bekerja
sambil bernyanyi. Pekerjaan yang cocok untuk mereka adalah penyanyi atau pencipta
lagu.

6. Kecerdasan interpersonal

Orang tipe ini biasanya mengerti dan peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak,
dan temperamen orang lain. Selain itu, mereka juga mampu menjalin kontak mata
dengan baik, menghadapi orang lain dengan penuh perhatian, dan mendorong orang
lain menyampaikan kisahnya. Pekerjaan yang cocok untuk orang tipe ini antara lain
networker, negosiator, atau guru.

7. Kecerdasan intrapersonal

Orang tipe ini memiliki kecerdasan pengetahuan akan diri sendiri dan mampu bertindak
secara adaptif berdasarkan pengenalan diri. Ciri-cirinya yaitu suka bekerja sendiri,
cenderung cuek, sering mengintropeksi diri, dan mengerti kekuatan dan kelemahan
yang dimilikinya. Pekerjaan yang cocok untuk mereka yaitu konselor atau teolog.

8. Kecerdasan naturalis

Orang yang memiliki kecerdasan ini mampu memahami dan menikmati alam dan
menggunakannya secara produktif serta mengembangkan pengetahuannya mengenai
alam. Ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan ini yaitu mencintai lingkungan, mampu
mengenali sifat dan tingkah laku hewan, dan senang melakukan kegiatan di luar atau
alam. Kecerdasan ini biasanya dimiliki oleh petani, nelayan, pendaki, dan pemburu.

Faktor yang memengaruhi kecerdasan

Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi kecerdasan, yaitu:

Faktor Bawaan atau Biologis

Dimana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan atau
kecakapan seseorang dalam memecahkan masalah, antara lain ditentukan oleh faktor
bawaan.

Faktor Minat dan Pembawaan yang Khas

Dimana minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan
bagi perbuatan itu.

Faktor Pembentukan atau Lingkungan


Dimana pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang
mempengaruhi perkembangan inteligensi.

Faktor Kematangan

Dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan.

Faktor Kebebasan

Hal ini berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah
yang dihadapi. Di samping kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih
masalah yang sesuai dengan kebutuhannya.

Pengukuran taraf kecerdasan

Salah satu uji kecerdasan yang diterima luas ialah berdasarkan pada uji psikometrik
atau IQ. Pengukuran kecerdasan dilakukan dengan menggunakan tes tertulis atau tes
tampilan (performance test) atau saat ini berkembang pengukuran dengan alat bantu
komputer. Alat uji kecerdasan yang biasa di pergunakan adalah :

Stanford-Binnet intelligence scale

Wechsler scales yang terbagi menjadi beberapa turunan alat uji seperti :

1. WB (untuk dewasa)
2. WAIS (untuk dewasa versi lebih baru)
3. WISC (untuk anak usia sekolah)
4. WPPSI (untuk anak pra sekolah)

IST
TIKI (alat uji kecerdasan Khas Indonesia)
FRT
PM-60, PM Advance

Kritik terhadap tes IQ

Kelemahan dari alat uji kecerdasan ini adalah terdapat bias budaya, bahasa dan
lingkungan yang memengaruhinya. Kekecewaan terhadap tes IQ konvensional
menimbulkan pengembangan sejumlah teori alternatif, yang semuanya menegaskan
bahwa kecerdasan adalah hasil dari sejumlah kemampuan independen yang
berkonstribusi secara unik terhadap tampilan manusia.

Stephen Jay Gould adalah salah satu tokoh yang mengkritik teori kecerdasan. Dalam
bukunya The Mismeasure of Man (Kesalahan Ukur Manusia), ia mengemukakan bahwa
kecerdasan sebenarnya tak bisa diukur, dan juga mempertanyakan sudut pandang
hereditarian atas kecerdasan.
Pengertian IQ, EQ dan SQ

Kecerdasan intelektual (IQ) adalah kemampuan intelektual, analisa, logika dan rasio. Ia
merupakan kecerdasan untuk menerima, menyimpan dan mengolah infomasi menjadi
fakta. Orang yang kecerdasan intelektualnya baik, baginya tidak ada informasi yang
sulit, semuanya dapat disimpan dan diolah, untuk pada waktu yang tepat dan pada saat
dibutuhkan diolah dan diinformasikan kembali. Proses menerima , menyimpan, dan
mengolah kembali informasi, (baik informasi yang didapat lewat pendengaran,
penglihatan atau penciuman) biasa disebut berfikir. Berfikir adalah media untuk
menambah perbendaharaan/khazanah otak manusia. Manusia memikirkan dirinya,
orang-orang di sekitarnya dan alam semesta. Dengan daya pikirnya, manusia berupaya
mensejahterakan diri dan kualitas kehidupannya.

Kecerdasan emosional (EQ) adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara


efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi
koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Dapat dikatakan bahwa EQ adalah
kemampuan mendengar suara hati sebagai sumber informasi. Untuk pemilik EQ yang
baik, baginya infomasi tidak hanya didapat lewat panca indra semata, tetapi ada
sumber yang lain, dari dalam dirinya sendiri yakni suara hati. Malahan sumber infomasi
yang disebut terakhir akan menyaring dan memilah informasi yang didapat dari panca
indra.

Substansi dari kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami


untuk kemudian disikapi secara manusiawi. Orang yang EQ-nya baik, dapat memahami
perasaan orang lain, dapat membaca yang tersurat dan yang tersirat, dapat menangkap
bahasa verbal dan non verbal. Semua pemahaman tersebut akan menuntunnya agar
bersikap sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungannya Dapat dimengerti
kenapa orang yang EQ-nya baik, sekaligus kehidupan sosialnya juga baik. Lain tidak
karena orang tersebut dapat merespon tuntutan lingkungannya dengan tepat .

Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau


value, yakni kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna
yang lebih luas. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang
lebih bermakna dibanding dengan yang lain. Dapat juga dikatakan bahwa kecerdasan
spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku
dan kegiatan, melalui langkah- langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah dalam upaya
menggapai kualitas hanif dan ikhlas5. SQ adalah suara hati Ilahiyah yang memotivasi
seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat.

Kecerdasan Manusia

Intellegent Qoutient (IQ).

Kecerdasan pikiran ini merupakan kecerdasan yang mampu bertumpu kemampuan


otak kita untukberpikir dalam menyelesaikan masalh. Jika kita mengikuti psikotes ada
banyak soal yang menuntut kejelian pikiran kita untuk menjawabnya, misalnya soal
mengenai delik ruang seperti bentuk kubus yang diputar-putar akan menjadi seperti
apa. Soal ini bertujuan untuk mellihat kemampuan pikiran kita dalam menyelesaikan
suatu masalah dari berbagai sisi.

Sudah bertahun-tahun dunia akademik, dunia militer (sistem rekrutmen dan promosi
personel militer) dan dunia kerja, menggunakan IQ sebagai standart yang mengukur
kecerdasan manusia, akan tetapi namanya juga temuan manusia, istilah teknis yang
diperkenalkan Alfred Binet (1857-1911) lama kelamaan mendapat sorotan dari para ahli
dan mereka mencatat setidaknya ada dua kelemahan (bukan kesalahan) yang
menuntut untuk diperbaharui, yaitu :

Pemahaman absolut terhadap skor IQ.

Steve Hallam berpandangan, pendapat yang menyatakan kecerdasan manusia itu


sudah seperti angka mati dan tidak bisa dirubah adalah tidak tepat. Penemuan modern
menunjukan pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu hanya 42% yang dibawa dari
kahir, sementara sisanya 58% merupakan hasil dari proses belajar.

Cakupan kecerdasan manusia : kecerdasan nalar, matematika dan logika Steve Hallam
sekali lagi mengatakan bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat, sebab dewasa ini
makin banyak pembuktian yang mengarah pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu
bermacam-macam. Buktinya, Michael Jordan dikatakan cerdas selama berhubungan
dengan bola basket. Mozart dikatakan cerdas selama berurusan dengan musik. Mike
Tyson dikatakan cerdas selama berhubungan dengan ring tinju.

Emotional Qoutient (EQ)

Disebut juga kecerdasn Emosi. Kecerdasan emosi ini didasarkan kepada kemampuan
manusia dalam mengelola emosi dan perasaan. Kecerdasan emosi ini dikatakan sangat
berpengaruh dalam performance dan kecakapan emosi kita dalam bekerja, dan juga
kemampuan kita dalam menghadapi suatu masalah. Seseorang yang memiliki emosi
yang buruk walaupun IQ nya besar, dia akan gagal dalam hidupnya dikarenakan tidak
mampu mengontrol diri saat menghadapi suatu masalah. Kecerdasn emosi sudah suatu
tolak ukur utama yang dicari oleh perusahaan pada pegawainya dan sering merupakan
kerakteristik penentu kesuksesan dalam bekerja dan pembedaan kinerja dan
performance suatu karyawan. Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk
mendapatkan dan menerapkan pengetahuan dari emosi diri dan emosi orang lain agar
bisa lebih berhasil dan bisa mencapai kehidupan yang lebih baik.

Spiritual Qoutient (SQ)

Kecerdasan spirituasl ini berkaitan dengan keyakinan kita kepada TUHAN YNG MAHA
ESA. Kecerdasan ini muncul apabila kita benar-benar yakin atas segala ciptaanNya dan
segala kuasanya kepada manusia (bukan atheis). Seputar kecerdasan spiritual Danah
Zohar, penggagas istilah tehnis SW (kecerdasan Spiritual) dikatakan bahwa kalau IQ
bekerja untuk melihat keluar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang ada
didalam (telinga perasaan), maka SQ (spiritual Quotient) menunjuk pada kondisi pusat
diri. Kecerdasan ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai
perangakat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna
yang ada dibalik kenyataan apa adanya. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dnegan
pencerahan jiwa, orang yang ber SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup
dengan makna positif pada setiap peristiwa, maslah, bahkan penderitaan yang
dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya
dan melakukan perbuatan dan tindakan positif.

Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT kepada manusia
dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan
makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus
mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui
proses berfikir dan belajar secara terus menerus.

Dalam pandangan psikologi, sesungguhnya hewan pun diberikan kecerdasan namun


dalam kapasitas yang sangat terbatas. Oleh karena itu untuk mempertahankan
keberlangsungan hidupnya lebih banyak dilakukan secara instingtif (naluriah).
Berdasarkan temuan dalam bidang antropologi, kita mengetahui bahwa jutaan tahun
yang lalu di muka bumi ini pernah hidup makhluk yang dinamakan Dinosaurus yaitu
sejenis hewan yang secara fisik jauh lebih besar dan kuat dibandingkan dengan
manusia. Namun saat ini mereka telah punah dan kita hanya dapat mengenali mereka
dari fosil-fosilnya yang disimpan di musium-musium tertentu. Boleh jadi, secara
langsung maupun tidak langsung, kepunahan mereka salah satunya disebabkan oleh
faktor keterbatasan kecerdasan yang dimilikinya. Dalam hal ini, sudah sepantasnya
manusia bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat
kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini manusia ternyata masih dapat
mempertahankan kelangsungan dan peradaban hidupnya.

Lantas, apa sesungguhnya kecerdasan itu ? Sebenarnya hingga saat ini para ahli pun
tampaknya masih mengalami kesulitan untuk mencari rumusan yang komprehensif
tentang kecerdasan. Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian
kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi
baru secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan
bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan
untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk
beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.

Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang
bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang
bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904)
dengan teori Two Factor-nya, atau Thurstone (1938) dengan teori Primary Mental
Abilities-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang
dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan
perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia
(chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai
dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ mula-mula
diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20.
Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang
dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga
selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet.

Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun


sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks,
ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di
kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama
apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.

Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan
manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi
terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita
mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan
bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri
dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.

Pekembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan manusia


adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan
intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih berdimensi
horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial)
dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia
sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Berangkat dari pandangan bahwa
sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan
emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan
konatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya
ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya.
Penghayatan seperti itu menurut Zakiah Darajat (1970) disebut sebagai pengalaman
keagamaan (religious experience).

Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai


kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber
nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh
karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh
kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara
individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan
sehari-hari (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).

Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang
dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan
oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak
manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang
terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh
Wolf Singer menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang
terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam
pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita
secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya
terdapat fitrah manusia yang terdalam (Ari Ginanjar, 2001). Kajian tentang God Spot
inilah pada gilirannya melahirkan konsep Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan
manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar
hidup ini lebih bermakna. Dengan istilah yang salah kaprahnya disebut

Spiritual Quotient (SQ)

Dari pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model pelatihan ESQ yang telah
memiliki hak patent tersendiri. Konsep pelatihan ESQ ala Ary Ginanjar Agustian
menekankan tentang : (1) Zero Mind Process; yakni suatu usaha untuk menjernihkan
kembali pemikiran menuju God Spot (fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang
bersifat merdeka dan bebas dari belenggu; (2) Mental Building; yaitu usaha untuk
menciptakan format berfikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri (self awareness),
serta sesuai dengan hati nurani dengan merujuk pada Rukun Iman; (3) Mission
Statement, Character Building, dan Self Controlling; yaitu usaha untuk menghasilkan
ketangguhan pribadi (personal strength) dengan merujuk pada Rukun Islam; (4)
Strategic Collaboration; usaha untuk melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain
atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial individu;
dan (5) Total Action; yaitu suatu usaha untuk membangun ketangguhan sosial (Ari
Ginanjar, 2001).

Berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan


spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan semakin lebih luas.
Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan intelektual saja.
Menurut Gardner bahwa salah besar bila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu
entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan
kertas. Hasil pemikiran cerdasnya dituangkan dalam buku Frames of Mind.. Dalam
buku tersebut secara meyakinkan menawarkan penglihatan dan cara pandang alternatif
terhadap kecerdasan manusia, yang kemudian dikenal dengan istilah Kecerdasan
Majemuk (Multiple Intelligence) (Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2002) .

Berkat kecerdasan intelektualnya, memang manusia telah mampu menjelajah ke Bulan


dan luar angkasa lainnya, menciptakan teknologi informasi dan transportasi yang
menjadikan dunia terasa lebih dekat dan semakin transparan, menciptakan bom nuklir,
serta menciptakan alat-alat teknologi lainnya yang super canggih. Namun bersamaan
itu pula kerusakan yang menuju kehancuran total sudah mulai nampak. Lingkungan
alam merasa terusik dan tidak bersahabat lagi. Lapisan ozon yang semakin menipis
telah menyebabkan terjadinya pemanasan global, banjir dan kekeringan pun terjadi di
mana-mana Gunung-gunung menggeliat dan memuntahkan awan dan lahar panasnya.
Penyakit-penyakit ragawi yang sebelumnya tidak dikenal, mulai bermunculan, seperti
Flu Burung (Avian Influenza), AIDS serta jenis-jenis penyakit mematikan lainnya.
Bahkan, tatanan sosial-ekonomi menjadi kacau balau karena sikap dan perilaku
manusia yang mengabaikan kejujuran dan amanah (perilaku koruptif dan perilaku
manipulatif).

5. Faktor Perubahan Pribadi


Secara garis besar ada dua faktor utama yang mempengaruhi perkembangan
kepribadian, yaitu faktor hereditas (genetika) dan faktor lingkungan (environment).
a. Faktor Genetika (Pembawaan)/Hereditas
Pada masa konsepsi, seluruh bawaan hereditas individu dibentuk dari 23
kromosom dari ibu, dan 23 kromosom dari ayah. Dalam 46 kromosom tersebut
terdapat beribu-ribu gen yang mengandung sifat fisik dan psikis individu atau
yang menentukan potensi-potensi hereditasnya. Dalam hal ini, tidak ada
seorang pun yang mampu menambah atau mengurangi potensi hereditas
tersebut.
Pengaruh gen terhadap kepribadian, sebenarnya tidak secara langsung, karena
yang dipengaruhi gen secara tidak secara langsung adalaH
1) Kualitas sistem syaraf
2) Keseimbangan biokoimia tubuh
3) Struktur tubuh
Lebih lanjut dapat dikemukakan, bahwa fungsi hereditas dalam kaitannya
dengan perkembangan kepribadian adalah
1) Sebagai sumber bahan mentah kepribadian seperti fisik, intelegensi, dan
temperamen
2) Membatasi perkembangan kepribadian dan mempengaruhi keunikan
kepribadian.
Dalam kaitan ini Cattel dkk., mengemukakan bahwa kemampuan belajar
dan penyesuaian diri individu dibatasi oleh sifat-sifat yang inheren dalam
organisme individu itu sendiri. Misalnya kapasitas fisik (perawakan, energy,
kekuatan, dan kemenarikannya), dan kapasitas intelegtual (cerdas, normal,
atau terbelakang). Meskipun begitu batas-batas perkembangan kepribadian,
bagaimanapun lebih besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Contohnya: seorang anak laki-laki yang tubuhnya kurus, mungkin akan
mengembangkan self concept yang tidak nyaman, jika dia berkembang
dalam kehidupan sosial yang sangat menghargai nilai-nilai keberhasilan atletik,
dan merendahkan keberhasilan dalam bidang lain yang diperolehnya. Sama
halnya dengan wanita yang wajahnya kurang, dia akan merasa rendah diri
apabila berada dalam lingkungan yang sangat menghargai wanita dari segi
kecantikan fisiknya.
Ilustrasi diatas menunjukkan, bahwa hereditas sangat mempengaruhi
konsep diri individu sebagai dasar sebagai individualitasnya, sehingga tidak
ada orang yang mempunyai pola-pola kepribadian yang sama, meskipun
kembar identik.
Menurut C.S. Hall, dimensi-dimensi temperamen : emosionalitas, aktivitas,
agresivitas, dan reaktivitasbersumber dari plasma benih (gen) demikian halnya
dengan intelegensi.
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh hereditas terhadap kepribadian,
telah banyak para ahli yang melakukan penelitian dengan menggunakan
metode-metode tertentu. Dalam kaitan ini, Pervin (1970) mengemukakan
penelitian-penelitian tersebut.
1) Metode Sejarah (Riwayat) Keluarga
Galton (1870) telah mencoba meneliti kegeniusan yang dikaitkan dengan
sejarah keluarga. Temuan penelitiannya manunjukkan bahwa kegeniusan
itu berkaitan erat dengan keluarga. Temuan ini bukti yang mendukung teori
hereditas tentang kegeniusan individu.
2) Metode Selektivitas Keturunan
Tryon (1940) menggunakan pendekatan ini dengan memilih tikus-tikus yang
pintar, cerdas bright, dengan yang bodoh dull.Ketika tikus-tikus dari
kedua kelompok tersebut dikawinkan, ternyata keturunannya mempunyai
tingkat kecerdasan yang berdistribusi normal.
3) Penelitian terhadap Anak Kembar
Newman, Freeman, dan Halzinger (1937) telah meneliti kontribusi
hereditas yang sama terhadap tinggi dan berat badan, kecerdasan dan
kepribadian. Mereka menempatkan 19 pasangan kembar identik dalam
pemeliharaan yang terpisah, 50 pasangan kembar identik dalam
pemeliharaan yang sama, dan 50 pasangan kembarfraternal dalam
pemeliharaan yang sama juga. Hasilnya menunjukkan bahwa kembar
identik yang dipelihara terpisah memiliki kesamaan satu sama lainnya dalam
tinggi dan berat badan, serta kecerdasannya. Demikian juga kembar identik
yang dipelihara bersama-sama, ternyata lebih mempunyai kesamaan dari
pada kembar faternal.
4) Keragaman Konstitusi (Postur) Tubuh
Hippocrates menyakini bahwa temperamen manusia dapat dijelaskan
bardasarkan cairan-cairan tubuhnya. Kretsvhmer telah mengklasifikasikan
postur tubuh individu pada tiga tipe utama, dan satu tipe campuran.
Pengklasifikasian ini didasarkan pada penelitiannya terhadap 260 orang
yang dirawatnya. Berikut ini adalah tipe pengklasifian tubuh menurut
Kretschmer.
a) Tipe Piknis (Stenis):pendek, gemuk, perut besar, dada dan bahunya
bulat.
b) Tipe Asthenis (Leptoshom): tinggi dan ramping, perut kecil, dan bahu
sempit.
c) Tipe Atletis: postur tubuhnya harmonis (tegap, bahu lebar, perut kuat,
otot kuat).
d) Tipe Displastis: tipe penyimpangan dari tiga bentuk di atas.
Tipe-tipe ini berkaitan dengan:
a) Gangguan mental, seperti tipe piknis berhubungan dengan manik
depresif, dan asthenis.
b) Karaktritis individu yang normal, seperti tipe piknis mempunyai sifat-sifat
bersahabat dan tenang, sedangkan asthenis bersifat serius, tenang dan
senang menyendiri (Yusuf, 2008).
c) Ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa sifat atau dimensi
kepribadian merupakan sesuatu yang diwariskan. Berikut ini adalah
beberapa teori kepribadian yang menjelaskan faktor hereditas:
Dimensi kepribadian dari Eysenck mengenai psikotisme,
neurotikisme, dan ekstraversi (yang awalnya dikembangkan oleh
Jung)
Lima faktor model kepribadian dari Costa dan McCrae, yaitu
neurotikisme, extraversi, keterbukaan terhadap pengalaman,
kepersetujuan, dan kehati-hatian.
Tiga tepramen dari Buss dan Plomin, yaitu: empsionalitas, aktivitas,
dan sosialitas.
Zuckerman menambahkan bahwa sifat mencari kesenangan
(sensasi) pada mulanya dipengaruhi oleh faktor genetik. Pendekatan
genetik berpendapat bahwa kepribadian sepenuhnya ditentukan oleh
bawaan. Meskipun dalam kenyataannya, predisposisi genetik dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan dan sosial, terutama ketika masa anak-anak
(Hidayat, 2011).
b. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi kepribadian diantaranya keluarga,
kebudayaan, dan sekolah.
1) Keluarga
Keluarga dipandang sebagai penentu utama dalam pembentukan
kepribadian anak. Alasannya adalah
a) Keluarga merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi pusat
identifikasi anak.
b) Anak banyak menghabiskan waktunya di lingkungan keluarga.
c) Para anggota keluarga merupakan significant people bagi pembentukan
kepribadian anak.
Baldwin dkk. (1945), telah melakukan penelitian tentang pengaruh pola
asuh orang tua terhadap kepribadian anak. Pola asuh orang tua itu ternyata
ada yang demokratis dan juga authoritarian. Orang tua yang demokratis
ditandai dengan prilaku menciptakan iklim kebebasan, bersikap respek
terhadap anak, objektif, dan mengambil keputusan secara rasional.
Anak yang dikembangkan dalam iklim demokratis cenderung memiliki
cirri-ciri kepribadian: labih aktif, lebih bersikap sosial, lebih memiliki harga diri,
dan lebih konstruktif dibandingkan dengan anak yang dikembangkan dalam
iklim authoritarian.
2) Kebudayaan
Kluckhohn berpendapat bahwa kebudayaan meregulasi (mengatur)
kehidupan kita dari mulai lahir sampai mati, baik disadari maupun tidak
disadari. Kebudayaan mempengaruhi kita untuk mengikuti pola-pola perilaku
tertentu yang telah dibuat orang lain untuk kita.
Sehubungan dengan pentingnya kebudayaan sebagai faktor penentu
kepribadian, muncul pertanyaan: Bagaimana tipe dasar kepribadian
masyarakat itu terjadi? Dalam hal ini Linton (1945) mengemukakan tiga
prinsip untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tiga prinsip tersebut adalah
pengalaman kehidupan dalam awal keluarga, pola asuh orang tua terhadap
anak, dan pengalaman awal kehidupan anak dalam masyarakat.

3) Sekolah
Lingkungan sekolah dapat mempengaruhi kepribadian anak. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi di antaranya sebagai berikut:
Iklim emosional kelas
Sikap dan prilaku guru.
Disiplin.
Prestasi belajar.
Penerimaan teman sebaya (Yusuf, 2008)
Menurut Alferd Adler kepribadian dipengaruhi oleh posisi kelahiran dalam
keluarga, situasi sosial dan pengasuhan sebagai fungsi dari perluasan perbedaan
usia antara saudara kandung. Dalam pandangan Adler, perbedaan lingkungan
rumah akan memberikan pengaruh kepada perbedaan kepribadian setiap individu.
Sementara Karen Horney percaya bahwa kebudayaan dan periode waktu
tertentu memberikan pengaruh terhadap kepribadian. Horney pun menyorot
perbedaan lingkungan sosial antara anak laki-laki dan perempuan. Ia berpendapat
bahwa perkembangan inferioritas perempuan disebabkan oleh perlakuan tertentu
pada anak perempuan dalam budaya yang didominasi laki-laki (patriaki). Sementara
perempuan yang dibesarkan dalam budaya matriaki akan memiliki karakteristik
kepribadian yang berbeda dan harga diri (self esteem) yang lebih tinggi.
Erich Fromm percaya bahwa pengaruh kekuatan dan kejadian dalam sejarah
memberi pengaruh yang lebih luas dalam membentuk kepribadian seseorang.
Menurut Allport, meskipun faktor genetik merupakan dasar kepribadian, tetapi
lingkungan sosial yang membentuk bahan dasar tersebut menjadi produk akhir.
Cattel berpendapat bahwa hereditas adalah faktor penting pembentuk kepribadian,
tetapi faktor lingkungan yang pada akhirnya memberikan pengaruh dalam perluasan
kepribadian.
Menurut penjelasan para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
perbedaan lingkungan dan sosial akan berpengaruh terhadap perbedaan
kepribadian antara individu satu dengan lainnya (Hidayat, 2011).
c. Faktor Belajar
Faktor belajar memiliki peranan yang sangat penting dalam setiap aspek
perilaku. Semua kekuatan lingkungan dan sosial yang membentuk kepribadian
ditentukan oleh belajar. setiap fase dalam kepribadian yang diwariskan dapat
dimodifikasi, dikacaukan, dicegah, ditumbuh-suburkan melalui proses belajar.
Menurut B.F.Skinner, berdasarkan hasil kajian Pavlov dan Watson,
penguatan positif successive approximation, perilaku turunan (superstitious),
dan berbagai variabel belajar berkontribusi pada pembentukan kepribadian,
yang oleh Skinner disebut sebagai akumulasi sederhana dari respons yang
dipelajari.
Pada dasarnya sesuatu yang dipelajari sejak kelahiran dan masa kanak-
kanak, melalui kontrol dapat merubah kehidupan di kemudian hari. Cara
pengasuhan tertentu dapat mendorong perasaan anak-anak untuk berada
dalam kontrol. Dengan demikian gagasan mengenai kontrol adalah dimensi
yang dipelajari dari kepribadian melalui perilaku pengasuhan.
d. Faktor Pengasuhan Orang Tua
Freud menekankan faktor pengasuhan sebagai faktor yang sangat
berpengaruh kepada pembentukan kepribadian anak, sedangkan Adler
memfokuskan kepada konsekuensi dari anak yang merasa tidak diinginkan atau
ditolak oleh orang tuanya. Penolakan orang tua akan memyebabkan perasaan
tidak aman, hidup penuh kemarahan terhadap orang lain, dan kurang memiliki
penghargaan terhadap diri.
Allport dan Cattel juga mengakui faktor orang tua dalam pembentukan
kepribadian. Menurutnya, perasaan aman merupakan kondisi yang sangat
penting bagi perkembangan kepribadian. Cattel melihat bahwa masa bayi
merupakan periode penting dalam pembentukan kepribadian, dan perilaku
orang tua dan saudara kandung akan membentuk karakter anak. Erikson
berpendapat bahwa hubungan antara ibu dan anak pada tahun pertama
kehidupan sangat penting, terutama dalam membangun kepercayaan terhadap
orang lain. Menurut Maslow peran orang tua sangat penting dalam memenuhi
kebutuhan fisiologis dan rasa aman pada dua tahun pertama kehidupan.
Herderlong dan Lopper menyatakan bahwa beberapa penelitian yang
berkaitan dengan pengasuhan menunjukkan bahwa orang tua dapat
meningkatkan perasaan otonomi anak, harapan dan standar yang realistis,
kompetensi dan efikasi diri, serta dapat meningkatkan motivasi instrinsik. Pola
pengasuhan yang positif memiliki efek positif terhadap anak, sementara pola
pengasuhan yang negatif akan memberikan pengaruh yang merusak.
e. Faktor Perkembangan
Freud percaya bahwa kepribadian dibentuk dan menetap pada usia 5
tahun dan akan sulit berubah sesudah usia tersebut. Beberapa ahli teori
kepribadian seperti Cattel, Allport, Erikson, dan Murray memandang pentingnya
kehidupan masa kanak-kanak meskipun mereka juga setuju bahwa kepribadian
dapat dimodifikasi pada usia selanjutnya.
Helson, Jones & Kwan (2002) melakukan penelitian selama 40 tahun
terhadap ribuan orang yang memiliki skor dominan dan independen. Mereka
menemukan bahwa kepribadian terus berubah dan berkembang setelah usia 20
tahun, dan puncaknya dicapai pada usia setengah baya.
Apa yang penting dari perubahan kepribadian pada usia dewasa?
Jawabannya terletak pada pengaruh lingkungan dan sosial, dan dalam adaptasi
terhadapnya. Kondisi-kondisi yang terjadi, seperti perubahan dalam kondisi
ekonomi, lulus kuliah, perkawinan dan menjadi orang tua, perceraian, pindah
pekerjaan atau kenaikan pangkat, dan krisis masa setengah baya akan
menyebabkan masalah yang setiap orang dewasa harus menyesuaikan dirinya.
Mc Adam (1994) berpendapat bahwa perkembangan kepribadian pada
masa dewasa dapat dijelaskan dalam tiga tingkat, yaitu: kecenderungan sifat,
perhatian personal, dan narasi hidup. Kecenderungan sifat (dispositional traits)
adalah sifat yang diturunkan. Perhatian personal merujuk kepada perasaan
sadar, rencana-rencana, dan tujuan-tujuan. Perasaan, rencana, dan tujuan
berubah sepanjang kehidupan sebagai hasil dari bermacam-macam pengaruh.
Sementara naskah hidup berdampak pada pembentukan diri (self), pencapaian
identitas, dan menemukan penyatuan tujuan dalam hidup. Naskah hidup juga
berubah sebagai respons terhadap kebutuhan lingkungan dan sosial.
f. Faktor Kesadaran
Hampir semua teori kepribadian, secara implisit dan eksplisit,
menjelaskan proses kesadaran. Allport percaya bahwa orang yang
bukan neurotic, kesadarannya akan berfungsi dengan cara yang rasional,
peduli, dan mampu mengontrol kekuatan yang memotivasinya. Rogers berpikir
bahwa orang pada dasarnya rasional, dikuasai oleh kesadaran persepsi dari
dalam dirinya dan pengalaman dunianya. Maslow juga mengakui peran
kesadaran, ia mengemukakan kebutuhan kognitif untuk mengetahui dan
memahami.
g. Faktor Ketidaksadaran
Sigmund Freud memperkenalkan kepada kita mengenai dunia tidak
sadar; gudang kesuraman dari ketakutan paling gelap, konflik-konflik, kekuatan
yang berpengaruh pada pemikiran sadar. Ketidaksadaran rasional (rational
unconscious) sering kali merujuk kepada non conscious untukmembedakan
denganunsconcius dari Freud yang sering kali disebut dengan kawah gelap dari
keinginan dan hasrat yang ditekan (Hidayat, 2011).

Anda mungkin juga menyukai