Disusun oleh:
Pemahaman pendidikan terhadap sifat hakekat manusia akan membentuk peta tentang
karakteristik manusia dalam bersikap, menyusun startegi, metode dan tekhnik serta memilih
pendekatan dan orientasi dalam merancang dan melaksanakan komunikasi dalam interaksi
edukatif.
Sebagai pendidik bangsa Indonesia, kita wajib memiliki kejelasan mengenai hakekat
manusia Indonesia seutuhnya. Sehingga dapat dengan tepat menyusun rancangan dan pelaksaaan
usaha kependidikannya. Selain itu, seorang pendidik juga harus mampu mengembangkan tiap
dimensi hakikat manusia, sebagai pelaksanaan tugas kependidikanya menjadi lebih profesional.
Sifat Hakikat Manusia menjadi bidang kajian filsafat, khususnya filsafat antropologi. Hal
ini menjadi keharusan oleh karena pendidikan bukanlah sekadar soal praktik melainkan praktik
yang berlandas dan bertujuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya
normatif. Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kukuh diperlukan adanya
kajian yang bersifat mendasar, sistematis, dan universal tentang ciri hakiki manusia. Bersifat
normatif karena pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuh kembangkan sifat hakikat
manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan.
Filosofis berarti berdasarkan pengetahuan dan penyelidian dengan akal budi mengenai
hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hokum, termasuk termasuk teori yang mendasari
alam pikiran atau suatu kegiatan (berintikan logika, estetika, metafisika, epistemology dan
falsafah) Untuk mendapatkan landasan pendidikan yang kukuh diperlukan adanya kajian
yang bersifat mendasar, sistematis dan Universal tentang ciri hakiki manusia.
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri ciri yang secara prinsipil membedakan
manusia dengan hewan meskipun antara manusia dan hewan banyak kesamaan terutama jika
dilihat dari segi biologinya. Kesamaan secara biologi ini misalnya adanya kesamaan bentuk
(misalnya kera), bertulang belakang seperti manusia, berjalan tegak dengan menggunakan
kedua kakinya, melahirkan dan menyusui anak, pemakan segalanya, dan adanya persamaan
metabolisme dengan manusia. Bahkan beberapa filosof seperti Socrates menamakan manusia
itu zoon politicon (hewan yang bermasyarakat), Max Scheller menggambarkan manusia
sebagai das kranke tieri (hewan yang sakit) (Drijakara, 1962:138).
Kenyataan dalam pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira
bahwa manusia dan hewan hanya berbeda secara bertahap, yaitu suatu perbedaan yang
melalui rekayasa dapat tercipta menjadi sama keadaannya, misalnya udara karena perubahan
suhu lalu menjadi es batu. Seolah-olah dengan kemahiran rekayasa pendidikan, orang hutan,
misalnya, dapat dijadikan manusia.
Upaya manusia untuk mendapatkan keterangan bahwa hewan tidak identik dengan
manusia telah ditemukan. Charles Darwin dengan teori evolusinya telah berjuang untuk
menemukan bahwa manusia berasal dari kera, tetapi temuannya ini ternyata gagal. Ada
misteri yang dianggap menjembatani proses perubahan dari kera ke manusia yang tidak dapat
diungkapkan yang disebut missing link, yaitu suatu mata rantai yang putus. Ada suatu proses
antara yang tak dapat dijelaskan. Jelasnya tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan
bahwa manusia muncul sebagai bentuk perubahan dari primata atau kera melalui proses
evolusi yang bersifat bertahap.
Pada bagian ini akan dipaparkan wujud sifat hakikat manusia (yang tidak dimiliki oleh
hewan) yang dikemukakan oleh paham eksistensialisme, dengan maksud menjadi masukan
dalam membenahi konsep pendidikan yaitu :
Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara aku dengan
dirinyasebagai objek, lalu melihat objek itu sebagai sesuatu, berarti manusia itu dapat
menembus atau menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya.
Kemampuan menerobos ini bukan saja soal ruang, melainkan juga dengan waktu.
Kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan
bereksistensi.
Kata hati atau conscieice of Man juga sering disebut dengan istilah hati nurani,
lubuk hati, pelita hati, dan sebagainya. Manusia memiliki pengertian yang menyertai
tentang apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya. Bahkan mengerti juga
akibatnya baik atau buruk bagi manusia sebagai manusia.
d). Moral
Jika kata hati dikatakan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka
yang dimaksud dengan moral adlah perbuatan itu sendiri. Di sini masih tampak bahwa
masih ada jarak antar kata hati dengan moral. Artinya seseorang yang telah memiliki
kata hati yang tajam belum otomatis perbuatannya merupakan realisasi dari kata
hatinya itu. Untuk menjembatanijarak yang mengantarai keduanya masih ada aspek
yang diperlukan yaitu kemauan.
Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab,
merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggung jawab. Wujud bertanggung
jawab ada bermacam-macam, ada bertanggung jawab pada diri sendiri, masyarakat,
dan kepada Tuhan.
Merdeka adalah rasa bebas tidak merasa terikat oleh sesuatu tetapi sesuai denagn
tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini ada dua hal yang kelihatannya saling
bertentangan yaitu “rasa bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia” yang
berarti ada ikatan.
Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Ambillah
missal tentang sebutan senang, gembira, baahagia, dan sejumlah istilah lain yang mirip
dengan itu. Sebagian orang mungkin menganggap bahwa seseorang yang
sedangmengalami rasa senang atau gembira itulah sedang mengalami kebahagiaan.
Maka kita bisa menyimpulkan bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada
keadaannya sendiri secara faktual atuapun pada rangkaian prosesnya tetapi terletak
pada kesanggupannya menghayati semua itu dengan keheningan jiwa, dan
menundukan suatu hal di dalam rangkaian atau ikatan tiga hal yaitu : usah, norma-
norma dan takdir. Usaha adalah perjuangan yang terus menerus untuk mengatasi
masalah hidup. Selanjutnya usaha tersebut harus bertumpu ada norma-norma dan
kaidah-kaidah. Kemudian takdir merupakan rangkaian yang terpisah dalam proses
terjadinya kebahagiaan. Komponen takdir ini erat bertalian dengan komponen usaha.
1. Dimensi Keindividualan
2. Dimensi Kesosialan
Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampat lebih jelas pada dorongan
untuk bergaul. Dengan adanya dorogan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan
sesamanya. Seseorang dapat mengembangkan kegemarannya, sikapnya, cita-citanya di
dalam interaksi dengan sesamanya. Seorang berkesempatan untuk belajar dari orang lain,
mengidentifikasi sifat-sifat yang di kagumi dari orang lain untuk dimilikinya, serta
menolak sifat yang tidak di cocokinya. Hanya di dalam berinteraksi dengan sesamanya,
dalam saling menerima dan memberi, seseorang menyadari dan menghayati
kemanusiaanya.
3. Dimensi Kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi.
Akan tetapi, di dalam kehidupan bermasyarakat, orang tidak cukup hanya dengan berbuat
yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu terkandung kejahatan terselubung.
Oleh karena itu, pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi
kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan sering digunakan istilah
yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kesopanan) dan etika
(persoalan kebaikan). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa orang yang berbuat jahat
berarti melanggar hak orang lain dan dikatakan tidak beretika dan tidak bermoral,
sedangkan tidak sopan diartikan sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar ada orang
lain yang merasa dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan
ketidaksenangan orang lain.
Susila sebenarnya mencakup etika dan etiket. Persoalan kesusilaan selalu berhubungan
erat dengan nilai-nilai. Nilai yang dimaksud dapat berupa nilai otonom, nilai heteronom,
nilai keagamaan. Dalam kenyataan hidup, ada dua hal yang muncul dari persoalan nilai,
yaitu kesadaran dan pemahaman terhadap nilai dan kesanggupan melaksanakan nilai.
Dalam pelaksnaannya, keduanya harus dulaksanakan secara sinkron.
4. Dimensi Keberagaman
Manusia sangat jelas berbeda dengan hewan. Hal ini dapat dilihat melalui wujud sifat hakikat
manusia, yaitu kemampuan menyadari diri, kemampuan bereksistensi, kepemilikan kata hati,
moral, tanggung jawab, rasa kebebasan, kewajiban dan hak, kemampuan menghayati
kebahagiaan. Ditilik dari segi lain, manusia ternyata memiliki dimensi-dimensi yang meliputi
dimensi individual, sosial, susila, dan agama. Tujuan kita mempelajari tentang materi diatas tentu
saja agar kita lebih tahu mengenai hakikat manusia dan agar kita lebih tahu bahwa kita adalah
makhluk ciptaa Tuhan yang pada hakikatnya berbeda dengan makhluk yang lain sehingga akan
terlahir manusia Indonesia seutuhnya seperti yang diinginkan masyarakat, bangsa, dan agama