Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia
sebagai makhluk sosial. Tak ada hak tanpa kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk
menuntut sesuatu maka tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut.
Sebaliknya kewajiban ada oleh karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya. Dalam realita
hidup sehari hari, umumnya hak diasosiasikan dengan suatu yang menyengkan, sedangkan
kewajiban dipandang sebagai suatu beban. Dilihat dari segi ini, wajib bukanlah ikatan melainkan
suatu keniscayaan. Artinya, selama seseorang menyebut dirinya seseorang dan mau dipandang
sebagai manusia, maka kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya.sebab jika mengelakkannya
maka ia berarti mengingkari kemanusiannya ( yaitu sebagai kenyataan makhluk sosisal).
Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan .dalam hubungan ini
mungkin dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak sejalan dengan kewajiban.kemampuan
menghayati kewajiban sebagai keniscayaan tidaklah hadir dengan sendirinya ,tetapi bertumbuh
melalui sebuah ptoses .usaha menumbuhkembangkan rasa wajib sehingga dihayati sebagai suatu
keniscayaan dapat ditempuh melalui pendidikan disiplin.disiplin diri menurut Selo Soemardjan
meliputi empat aspek,yaitu:
kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia penghayatan hidup yang
disebut kebahagiaan ini meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi tidak sulit untuk dirasakan.
Sebagian orang mungkin menganggap bahwa seseorang yang sedang mengalami rasa senang atau
gembira itulah sedang mengalami kebahagiaan. Sebagian lagi menganggap bahwa rasa senang
hanya merupakan aspek dari kebahagiaan, sebab kebahagiaan sifatnya lebih permanen dari pada
perasaan senang yang sifatnya lebih temporer. Kebahagiaan tidak cukup digambarkan hanya
sebagai himpunan dari pengalaman pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebih dari itu, yaitu
merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan, kepuasan dan sejenisnya dengan
pengalaman pengalaman pahit dan penderitaan. Proses integrasi dari semua itu menghasilkan suatu
bentuk penghayatan hidup yang disebut bahagia.
Pada saat orang mnghayati kebahagiaan aspek rasa lebih berperan dari pada aspek nalar.
Orang yang sedang terganggu pikiran atau tidak beres kesadarannya tidak akan sanggup menghayati
kebahagiaan. Rangkaian kejadian yang didalamnya tercermin kebahagiaan, misalnya seorang yang
telah lulus dan mendapatkan gelar sarjana dengan predikat kelulusan yang baik
(kebahagiaan).setelah itu dengan masa menunggu sekitar satu tahun (penderitaan) dapat diterima
pada sebuah perusahaan dengan gaji yang sanagt menggembirakan. Setelah dua tahun dinas ia
mendapat kecelakaan dan menjadikan mukanya rusak (penderitaan).
Sebuah kesimpulan yang dapat ditarik dari apa yang telah dipaparkan tentang kebahagiaan
ialah bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaannya sendiri secara faktual ataupun
pada rangkaian prosesnya maupun pada perasaan yang diakibatkannya tetapi terletak pada
kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukan hal hal tersebut
didalam rangkain atau ikatan tiga hal yaitu: usaha, norma norma dan takdir.
Yang dimaksud dengan usaha adalah perjuangan yang terus menerus untuk mengatasi
masalah hidup. Hidup dengan menghadapi masalah itulah realitas hidup. Selanjutnya usaha tersebut
harus bertumpu pada norma norma atau kaidah kaidah. Kebahagiaan adalah hidup yang tentram,
tanpa tekanan itulah hidup merdeka. Seseorang akan hanya merasa merdeka dalam arti yang
sebenarnya bila tidak merasakan adanya paksaan paksaan dari norma norma kehidupan. Jadi
kebahagiaan dicapai dengan penyatuan diri dengan norma norma ( kaidah kaidah hidup). Kemudian
takdir merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dalam proses terjadinya kebahagiaan. Istilah
takdir baru boleh disebut sesudah orang melaksanakan nusaha sampai batas kemampuan kemudian
hasilnya sepadat atau tidak dengan yang diinginkan diterima dengan pasrah serta penuh kesyukuran.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu dapat diusahakan peningkatannya. Dengan
demikian pendidikan mempunyai peranan penting sebagai wahana untuk mencapai kebahagiaan,
utamanya pendidikan keagamaan.
1. dimensi keindividualan
2. Dimensi kesosialan
Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas. Adanya dimensi kesosialan
pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk bergaul artinya setiap orang dapat
berkomunikasi yang pada hakikatnya didalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima.
Adanya kesediaan untuk saling memberi dan menerima itu dipandang sebagai kunci sukses
pergaulan. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya.
Dengan adanya pergaulan tingkat sosial kita meningkat dengan diikiti banyak orang yang kita
kenal. Manusia hanya menjadi manusia jika berada diantara manusia. Kiranya tidak usah
dipersoalkan bahwa tidak ada seorang manusia pun yang dapat hidup seorang diri lengkap dengan
sifat hakikat kemanusiaannya ditempat terasing. Sebabnya orang hanya dapat mengembangkan
imndividualitasnya didalam pergaulan sosial.
3. Dimensi kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Tetapi
didalam masyarakat pengertian susila berkembang sehingga memiliki arti kebaikan yang lebih.
Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu
etiket ( persoalan kepantasan dan kesopanan) dan etika ( persoalan kebaikan ). Orang yang berbuat
jahat berarti melanggar hak orang lain dan dikatakan tidak beretika atau tidak bermoral. Sedangkan
tidak sopan diartikan sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar ada orang lain yang merasa
dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan ketidak senangan orang lain.
Persoalan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai nilai pada hakikatnya
manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga
dikatakan manusia itu adalah makhluk susila. Pendidikan kesusilaan berarti menanakan kesadaran
dan kesediaan melakukan kewajiban disamping menerima hak.
4. Dimensi keberagaman
Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi
didalam proses pengembangan jika ada unsur dimensi hakikat manusia yang terabaikan untuk
ditangani, misalnya dimensi kesosialan didominasi oleh pengembangan dimensi keindividualan atau
domain afektiv didominasi oleh pengembangan domain kognitif. Pengembangan yang tidak utuh
berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan tidak mantap.