PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi Tugas Kelompok
dalam mata kuliah Akhlak Tasawuf dengan tema “Latar Belakang Timbulnya Study
Akhlak Tasawuf “ , supaya kita mengetahui lebih detail serta dapat memahami
sejarah serta asal usul Studi Akhlak Tasawuf itu muncul
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf
Menurut Istilah:
1. Unsur Islam:
a. Al-Qur’an mengajarkan manusia untuk: mencintai Tuhan (QS. Al-
Maidah: 54), bertaubah dan mensucikan diri (QS> At-Tahrim: 8),
manusia selalu dalam pandangan Allah dimana saja (QS. Al-Baqarah:
110), Tuhan memberi cahaya kepada HambaNya (QS. An-Nur: 35),
sabar dalam bertaqarrub kepada Allah (QS. Ali Imran: 3)
b. Hadis Nabi seperti tentang rahasia penciptaan alam adalah agar manusia
mengenal penciptanya.
c. Praktek para sahabat seperti Abu Bakar Ash-shiddiq, Umar Ibn Khattab,
Usman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Talib, Abu Zar Al-Ghiffari, Hasan Basri,
dll.
3
2. Unsur Non Islam:
a. Nasrani: Cara kependetaan dalam hal latihan jiwa dan ibadah.
b. Yunani: Unsur filsafat tentang masalah ketuhanan.
c. Hindu/Budha: mujahadah, perpindahan roh dari satu badan ke badan
yang lain.
Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat
radhiyallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama
(generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Istilah ini baru muncul sesudah zaman
tiga generasi ini. Abdul Hasan Al Fusyandi mengatakan, "Pada zaman Rasulullah
saw, tasawuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah
sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya."
Ilmu tasawwuf menurut Ibn Khaldun merupakan ilmu yang lahir kemudian
dalam Islam, karena sejak masa awalnya para sahabat dan tabiin serta generasi
berikutnya telah memilih jalan hidayah (berpegang kepada ajaran Al-Quran dan
Sunnah Nabi) dalam kehidupannya, gemar beribadah, berdzikir dan aktifitas rohani
lainnya dalam hidupnya. Akan tetapi setelah banyak orang islam berkecimpung
dalam mengejar kemewahan hidup duniawi pada abad kedua dan sesudahnya, maka
orang-orang mengarahkan hidupnya kepada ibadat disebut suffiyah dan
mutasawwifin. Insan pilihan inilah kemudian yang mengembangkan dan
mengamalkan tasawwuf sehingga diadopsi pemikirannya sampai sekarang ini.
4
Pernyataan ulama dari kalangan tabi'in ini bisa menjadi acuan bagi kita.
Memang benar, tidak ada istilah tasawuf pada zaman Rasulullah saw. Namun,
realitasnya ada dalam kehidupan dan ajaran Rasulullah saw, seperti sikap Zuhud,
Wara’ , Qona'ah, Taubat, Ridho, Sabar, dll. Kumpulan dari sikap-sikap mulia
seperti ini dirangkum dalam sebuah nama yaitu Tasawuf.
Kelahiran tasawuf memiliki banyak fersi. Secara historis, yang pertama kali
menggunakan istilah tasawuf adalah seorang zahid (acsetic) yang bernama Abu
Hasyim Al-Kufi dari Irak (w.150 H). Ada anggapan bahwa lahirnya ilmu tasawwuf
bukan bersamaan dengan lahirnya Islam, tetapi lahirnya tasawuf itu merupakan
perpaduan dari bebagai ajaran agama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
menyebutkan bahwa mula-mula munculnya sufisme adalah dari Basrah di Irak. Di
Basrah terjadi sikap berlebih-lebihan dalam kezuhudan dan ibadah yang tidak
pernah ada di kalangan semua warga kota lainnya.
Ibnul Jauzi mengemukakan istilah sufi muncul sebelum tahun 200H. Ketika
pertama kali muncul banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai
ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka merupakan latihan jiwa dan
usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak
yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akhirat.
5
tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya.
Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq
6
Yamani, salah seorang sahabat Nabi yang Mulia dan terhormat. Beliaulah yang
pertama kali menyampaikan ilmu-ilmu yang kemudian hari ini kita kenal dengan
Tasawuf dan beliaulah yang membuka jalan serta teori-teori untuk tasawuf itu.
Menurut cacatan sejarah, dari sahabat Nabi Huzaifah bin al Yamani inilah pertama-
tama mendirikan Madrasah Tasawuf . tetapi pada masa itu belumlah terkenal
dengan nama Tasawuf, masih sangat sederhana sekali. Imam sufi yang pertama di
dalam sejarah Islam yaitu Al Hasan Al Basry seorang ulama besar Tabiin, adalah
murid pertama Huzaifah bin al Yamani dan adalah keluaran dari Madrasah yang
pernah didirikan oleh Huzaifah bin Al Yamani.
Selanjutnya, Tasawuf itu berkembang yang dimulai oleh Madrasah huzaifah
bin Al yamani di madinah, kemudian diteruskan Madrasah Al Hasanul basry di
basrah dan seterusnya oleh Saad bin Al Mussayib salah seorang ulama besar Tabiin,
dan masih banyak lagi tokoh-tokoh ilmu Tasawuf lainnya. Sejak itulah pelajaran
Ilmu tasawwuf telah mendapat kedudukan yang tetap dan tidak terlepas lagi dari
masyarakat ummat Islam sepanjang masa. Sedang menurut versi yang lain,
munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh
abu Hasyim al-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya.
Dalam sejarah islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul
aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II
Hijriyyah. Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal – usul zuhud.
Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh
Phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka
membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang
mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh
ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah
kotor,sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat,
pengaruh Budha dengan faham nirwananya bahwa untukmencapainya orang harus
meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran
Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkandiri
kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman13[13].
Sementara itu Abu al’ala Afifi mencatat empat pendapat para peneliti
tentang faktor atau asal –usul zuhud. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh
7
India dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani.
Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda- beda
kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam. Untuk
faktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga : Pertama,
faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-Qur’an
dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untuk hidup wara’14[14], taqwa dan
zuhud. Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap system sosial politik dan
ekonomi di kalangan Islam sendiri,yaitu ketika Islam telah tersebar ke berbagai
negara yang sudah barang tentu membawa konskuensi – konskuensi tertentu,seperti
terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak dan terjadinya
pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali
ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah,yang bermula dari al-fitnah al-kubraI yang
menimpa khalifah ketiga, Ustman ibn Affan (35 H/655 M). Dengan adanya
fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak
ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu
terhadap pergolakan yang ada,mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam
pertikaian tersebut. Ketiga, reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, sebab keduanya
tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut at-Taftazani,
pendapat Afifi yang terakhir ini perlu diteliti lebih jauh, zuhud bisa dikatakan bukan
reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan
dalamIslam, seperti ilmu fiqih dan ilmu kalam dan sebaginya muncul setelah
praktek zuhud maupun gerakan zuhud. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis
timbul setelah lahirnya mu’tazilah kalamiyyah pada permulaan abad II Hijriyyah,
lebih akhir lagi ilmu fiqih,yakni setelah tampilnya imam-imam madzhab, sementara
zuhud dan gerakannya telah lama tersebar luas didunia Islam15[15].
Menurut hemat penulis,zuhud itu meskipun ada kesamaan antara praktek
zuhud dengan berbagai ajaran filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau
tidaknya ajaran filsafat maupun agama itu, zuhud tetap ada dalam Islam. Banyak
dijumpai ayat al-Qur’an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia,
sebaliknya banyak dijumpai nash agama yangmemberi motivasi beramal demi
memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api neraka (QS.Al-
hadid :19),(QS.Adl-Dluha : 4),(QS. Al-Nazi’aat : 37 – 40).
8
D. Isi Pokok Ajaran Tasawuf
Berikut ini pokok-pokok ajaran tasawuf dalam struktur yang umum dan
global, serta singkat. Tujuan pembuatan tulisan ini adalah supaya tergambar secara
menyeluruh dan terstruktur ajaran-ajaran kaum sufi. Memang dalam beberapa
bagiannya ada ajaran-ajaran yang cukup kontroversial. Untuk itu perlu pembahasan
lebih lanjut. Insya Allah selanjutnya akan lebih dibahas secara detail tiap-tiap ajaran
tersebut.
1. Tasawuf Akhlaqi
2. Tasawuf 'Amali
Beberapa istilah praktis;
a. Syari'ah: mengikuti hukum agama.
b. Thariqah: perjalanan menuju Allah.
c. Haqiqah: aspek batiah dari syari'ah.
d. Ma'rifah: pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati.
9
c. Zuhud: sederhana dalam hal duniawi.
d. Sabar: pengendalian diri.
e. Tawakal: berserah diri sepenuhnya kepada Allah.
f. Ridla: menerima qada’ dan qadar dengan rela.
g. Mahabah: cinta kepada Allah.
h. Ma'rifah: mengenal ke Esa-an Tuhan.
i. Ahwal: kondisi mental.
j. Khauf: merasa takut kepada Allah.
k. Raja': optimis terhadap karunia Allah.
l. Syauq: rindu pada Allah.
m. Uns: keterpusatan hanya kepada Allah.
n. Yaqin: mantapnya pengetahuan tentang Allah.
3. Tasawuf Falsafi
10
Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya Spiritual), isinya mengenai dzikir, Kitab
al Tanwir Fi Ishqat al Tadhbir (Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri), yang
disebut terakhir berisi tentang metode madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai
Sufi, dan ada lagi kitab tentang guru-guru pertama tarekat Syadziliyah - Kitab
Lathaif Fi Manaqib Abil Abbas al Mursi wa Syaikhibi Abil Hasan.
2. Al Muhasibi
Nama lengkapnya Abu Abdullah Haris Ibn Asad (w. 857). Lahir di Basrah.
Nama "Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan
karya mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela
ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya dan
beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara filsafat dan teologi.
Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh intelektual yang merupakan
moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah karya "Ri'ayah Li Huquq
Allah", sebuah karya mengenai praktek kehidupan spiritual.
Beliau adalah seorang Sufi yang sangat tekenal dalam agama Islam. Ia
adalah pendiri tharikat Qadiriyyah, lahir di Desa Jilan, Persia, tetapi meninggal di
Baghdad Irak. Abdul Qadir mulai menggunakan dakwah Islam setelah berusia 50
tahun. Dia mendirikan sebuah tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul
Qadir disebut-sebut sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan
disebut sebagai Ghauts Al Azham (pemberi pertolongan terbesar), sebutan tersebut
tidak bisa diragukan karena janjinya untuk memperkenalkan prinsip-prinsip
spiritual yang penuh kegaiban. Buku karangannya yang paling populer adalah
Futuh Al Ghayb (menyingkap kegaiban). Melalui Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi
melalui bimbingan guru tharikat (mursyid). Jadi Qadiriyah adalah tharikat yang
paling pertama berdiri.
11
4. Al Hallaj
12
sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan setelahnya sampai abad
keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-
Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, al-Harowi, adalah merupakan
tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan sesuai dengan tasawuf sunni.
Kemudian pada pertengahan abad kelima hijriyah imam Ghozali membentuknya ke
dalam format atau konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh pembesar syekh
Toriqoh. Akhirnya menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal
jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali kaidah-
kaidah praktis. Tasawuf ini juga dinamakan tasawuf nazhori (teori), demikian,
karena tasawuf Islam terbagi kepada nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini tidak
berarti bahwa tasawuf nazhori ini kosong dari sisi praktis. Istilah teori ini hanya
melambangkan bahwa tasawuf belum menjadi bentuk thoreqoh (tarbiyah kolekltif)
secara terorganisir seperti toreqoh yang terjadi sekarang ini.
1. Junaid Al-Baghdadi
13
Hal ini terbukti pada kepercayaan gurunya dalam memberikan amanat kepadanya
untuk dapat tampil dimuka umum. Al-Junaid dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai
seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam
masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain
sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan Allah
adalah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini
bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan.
Di sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah
dari fana` terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskan Al-
Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan mati
dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut
fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu
akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan hidup dalam
sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian
dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya. Disamping al-Junaid
menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia juga mengemukakan
ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
2. B. Al-Qusyairi An-Naisabury
Dialah Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad
kelima hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya
adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul
Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal
tahun 376 H atau 986 M. Sedikit sekali informasi penulis dapat yang menerangkan
tentang masa kecilnya. Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya
meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab
pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa,
Al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur,
yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur
untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy merasa
terpanggil menyaksikan penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak
14
tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat
menjadi petugas penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk
perkembangan berbagai macam disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang
hidup disana. Di kota inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu bertemu
Sheikh Abu ‘Ali Hasan ibn ‘Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan
Ad-Daqqaq. Pertemuan itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada peryataan-
pernyataan Ad-Daqqaq. Perlahan, keinginannya mempelajari matermatika pun
hilang. Ia pun memilih jalan tarekat dengan belajar dari Ad-Daqqaq. Berawal dari
sinilah, Al-Qusyairy mengenal Tasawuf. Al-Daqqaq merupakan guru pertama Al-
Qusyairy dalam bidang Tasawuf. Dari ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak hal,
tidak hanya terbatas Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain. Al-
Qusyairy mampu memahami dengan baik semua pengetahuan yang diajarkan
gurunya. Dari sinilah Ad-Daqqaq menyadari kemampuan intelektual Al-Qusyairy.
Mungkin, hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq
untuk menikahkan putrinya, Fatimah dengan Al-Qusyairy.
Pernikahan ini berlangsung pada antara tahun 405 – 412 H/1014 – 1021 M.
Fatimah merupakan wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari pernikahan ini,
lahirlah enam putera dan satu puteri, yaitu; Abu Said Abdullah, Abu Said Abdul
Wahid, Abu Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath Ubaidillah,
Abu Muzaffar Abdul Mun’im dan putri Amatul Karim. Disamping berguru pada
mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para ulama lain. Diantaranya,
Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husain (325-412 H/936-1021 M), seorang
sufi, penulis dan sejarawan. Al-Qusyairy juga belajar fiqh pada Abu Bakr
Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460 H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam
dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Husain, seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga
belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan
Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta
mempelajari Fiqh Mazhab Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad
al-Ashfarayain. Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia
menguasai doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-
Asy’ary (w.935 M) dan para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau
15
Kitab Risalatul Qusyairiyah yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang
Tasawuf -dan sering disebut sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang
bercorak Sunni-, Al-Qusyairy cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam
landasan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia juga penentang keras doktrin-doktri aliran
Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, Al-
Qusyairy pernah mendekam dalam penjara selama sebulan lebih, atas perintah
Taghrul Bek, karena hasutan seorang menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu
Nasr Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri Perburuan terhadap para pemuka aliran
Asy’ariyah itu berhenti dengan wafatnya Taghrul Bek pada tahun 1063 M.
Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092 M), kemudian mengangkat Nizam al-Mulk
sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik Terhadap Para Sufi Dr. Abu al-Wafa’ al-
Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar Filsafat Islam dan Tasawuf pada Universitas
Kairo, yang juga tokoh dan Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah
al-Mishriyah) menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi
yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya Hulul
(penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat barunya, dengan
Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang selalu
mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin
dengan perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya
daripada penampilan lahiriah yang memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak
demikian. (lihat, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilaa al-
Tasawwuf al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa al-
Tauzi, Kairo,1983). Dari sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan
kesenangan dunia, selama hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat
Allah. Beliau tidak sependapat dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang
sebenarnya tidak diharamkan agama. Karena itu Al-Qusyairy menyatakan,
penulisan karya monumentalnya Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena dirinya
merasa sedih melihat persoalan yang menimpah dunia Tasawwuf. Namun dia tidak
bermaksud menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika itu. Penulisan Risalah
hanya sekadar pengobat keluhan atas persoalan yang menimpa dunia Tasawuf kala
itu Imam Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang
16
berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang
tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.
Karya-karya itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas
masalah-masalah Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil
Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi
Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul Muraadaats,
Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab
Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang merupakan kumpulan makalah beliau
tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi at-
Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini merupakan buku pertama
yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M. Menurut
Tajuddin as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan kitab
tafsir terbaik dan terjelas Menurut Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup
usia di Naisabur pada pagi Hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M,
dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor kuda yang telah
mengabdi padanya selama selama 20 tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu
sangat sedih dan tidak mau makan selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati.
Setelah Al-Qusyairy wafat, tak ada seorang pun yang berani memasuki
perpustakaan pribadinya selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk
penghormatan bagi al-Imam Radiyallah Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-
Showab.
3. C. Al-Harawi
17
Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini,
dia menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para
sufi tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya;
”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak
dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan
tidak bias tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah
dengan menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah”.
Dalam kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi
melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-
ucapannya, sebagaimana katanya. Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-
ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harwi berbicara tentang maqam ketenangan
(sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia
mengatakan: “peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat ketenangan) adalah
ketenagan yang timbul dari perasaan ridhaatas bagian yang diterimanya.
Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan aneh yang menyesatkan ; dan membuat
orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. “yang dimaksud dengan
ucapan dengan ucapan yang menyesatkan itu adalah seperti ungkapan-ungkapan
yang diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain. Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl al-
Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki ketenangan yang membuat mereka
tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang anah. Karena itu dapat dikatakan
bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari ketidak tenangan, sebab,
seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu akan membuatnya
terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan tersebut.
Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi
pada batas tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di sekali-
kali tidak melewati tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Ketenangan
tersebut, menurut al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada kalbu seorang nabi atau
wali.
18
Nusantara tasawuf berhasil memikat hati masyarakat luas. Minat tersebut boleh
serius, boleh setengah serius, atau sekadar ingin tahu. Namun yang jelas pengaruh
dan peranan tasawuf, yang menjamin keberadaan dan relevansinya, ternyata tidak
pudar sejak dulu sampai sekarang. Itu pun juga dengan sedikit mengabaikan
penyimpangan-penyimpangan, yang boleh saja terjadi, sebagaimana penyimpangan
boleh juga terjadi dalam amalan ilmu dan gerakan keagamaan nontasawuf. Dalam
Hikayat Aceh, yang ditulis atas titah Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M),
dipaparkan, betapa tua muda, kalangan menengah atas, dan bawah sama-sama
bergairah mempelajari ilmu tasawuf. Kala itu justru pada saat Kesultanan Aceh
Darussalam berada di puncak kejayaannya, dan minat tasawuf tidak menyebabkan
kegiatan ekonomi dan perdagangan mundur. Begitu juga kegiatan pendidikan dan
pengajaran ilmu-ilmu agama dan pengetahuan umum.
19
pemikiran keagamaan madzab Sunnah wal Jamaah menyusul penerimaan tasawuf
di kalangan masyarakat menengah.
1. Bukti Sejarah
20
Diponegoro (w. 1855), juga pengikut Tarekat Qadiriyah sebagaimana penentang
kolonial Belanda pendahulunya, yaitu Pangeran Trunojoyo (w. 1211). Di antara
tarekat yang berpengaruh ialah tarekat-tarekat yang muncul pada abad ke-13 M.
Misalnya Tarekat Rifa`iyah, Qadiriyah, Syadiliyah, Naqsyabandiyah, Sattariyah,
Khalwatiyah lain-lain. Tokoh-tokoh tarekat ini, khususnya Ahmad Riaf`i, Abdul
Qadir al-Jilani, Naqsyabandi dan lain-lain dipengaruhi Imam al-Ghazali.
Kitab tasawuf paling awal yang muncul di Nusantara ialah Bahar al-Lahut
(lautan Ketuhanan) karangan `Abdullah Arif (w. 1214). Isi kitab ini banyak
dipengaruhi oleh pemikiran yang wujudiyah Ibn `Arabi dan ajaran persatuan
mistikal (fana) al-Hallaj. Syekh Abdullah Arif adalah pemuka tasawuf dari Arab.
Beliau tiba di Sumatra (Perulak, Pasai) pada tahun 1177. Menurut T. Arnold dalam
The Preaching of Islam (1036), Syekch Abdullah Arif termasuk Sufi paling awal
yang menyebarkan Islam bercorak tasawuf di Sumatra. Namun, baru pada abad ke-
16 muncul kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Melayu. Sedangkan kitab-kitab yang
ada sebelumnya ditulis dalam bahasa Arab. Di antara kitab-kitab tasawuf dalam
bahasa Melayu yang berpengaruh ialah Syarab al-Asyiqin (Minuman Orang
Berahi), Asrar al-ARifin (Rahasia Ali Makrifat) dan al-Muntahi karangan Hamzah
Fansuri (wafat awal abad ke-17) dan sebagainya.
3. Relevansi Tasawuf
21
Caranya ialah dengan meningkatkan cinta dan keimanan, moral dan pengetahuan
rohani, memperbanyak ibadah dan amal saleh. Cinta yang dimaksud ialah cinta ilahi
atau gairah ketuhanan. Ia harus dihidupkan dalam diri manusia. Adapun moral yang
dimaksud ialah moral yang benar kepada Tuhan, sesama manusia, lingkungan
sekitar dan diri sendiri. Secara garis besarnya ringkas ajaran Sufi dapat diringkas
sebagai berikut.
Pertama, hakikat segala sesuatu, dari mana semua keberadaan berasal ialah
satu. Yang satu disebut Wujud Wajib, artinya ada-Nya merupakan keharusan, agar
yang banyak selain-Nya juga memperoleh keberadaan. Sebagi Wujud Wajib (al-
wajib al-wujud) Yang satu meliputi segala sesuatu dengan ilmu atau pengetahuan
dan cinta-Nya. Di sini Sufi meyakini bahwa sebagai Dzat Tunggal, Tuhan itu
bersifat transenden; sedangkan pengejawantahan pengetahuan dan cinta-Nya di
alam ciptaan merupakan sesuatu yang immanen (tasybih). Kedua, segala sesuatu
sesungguhnya dicipta karena Dia (yaitu lautan ilmu-Nya yang tak terhingga) ingin
diketahui dan diabdi. Dengan mencipta segala sesuatu, maka cinta-Nya atau
kehendak-Nya, dapat dikenal. Paham Wujudiyah misalnya mengatakan bahwa
Wujud Tuhan itu sendiri ialah Cinta. Ini tertera dalam kalimat Basmallah, berupa
al-rahman (Pengasih) dan al-rahim (Penyayang). Pengasih adalah cinta Tuhan yang
esensial, artinya diberikan kepada semua makhluknya dan semua umat manusia:
Melayu, Arab, Eropah, Cina, Persia ataupun Jawa; atau Yahudi, Buddha, Hindu,
Kristen, dan Islam. Sedang Penyayang (al-rahim) ialah cinta yang wajib, artinya
diberikan hanya kepada yang beriman, bertakwa dan banyak beramal saleh. Ketiga,
hakikat diri manusia ialah makhluk kerohanian dengan potensi kerohanian yang
luar biasa besar. Keempat, tujuan hakiki kehidupan ialah mencapai Pengetahuan
Tertinggi, yaitu mengenal keesaan Tuhan dalam arti sesungguhnya, mengenal
hakikat diri sebagai makhluk rohani dan mengenal dunia sebagai hamparan ayat-
ayat Tuhan. Kelima, jalan cinta ditempuh dengan menyucikan jiwa (nafsu) hingga
dapat dikendalikan: memurnikan pikiran, yaitu keterpukauan berlebihan pada yang
selain Tuhan; dan membeningkan kalbu hingga menjadi penglihatan rohani yang
tajam. Keenam, cinta dalam tahapan tertentu dapat disamakan dengan iman,
kepatuhan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi laranganya. Ketujuh, aspek-
22
aspek Cinta mencakup rasa rindu, karib, penuh hasrat, majenun (rindu dendam),
kepada Yang Satu. Seorang sufi ingin menyatukan kehendak, pikiran, rasa dan arah
hidup kepada Yang Satu. Cinta memberikan sifat-sifat mulia kepada seseorang;
ikhlas, tawadduk, tidak egosentris, penuh pengorbanan, bersemangat kesatria
(futuwwa) dalam hidup; dan merdeka, dalam arti merdeka dari selain Tuhan, dan
hanya tergantung kepada-Nya.
23
BAB III
PENUTUPAN
Para ahli sejarah tasawuf menilai bahwa timbulnya tasawuf tidak terlepas
dari kondisi kehidupan masyarakat-terutama di kalangan istana Bani Umayyah-
yang oleh sahabat dinilai telah menyimpang terlalu jauh dari kehidupan yang
diajarkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat besar yang saleh dan sederhana.
Tasawuf bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah walaupun dalam perkembangannya
dipengaruhi oleh unsur asing. Tasawuf telah berkembang sejak akhir abad ke dua
Hijriah walaupun pada abad pertama hijriyah telah kelihatan dalam bentuk
kehidupan asketis (zuhud) yang dipraktekkan Rasulullah dan para sahabat.
Berbagai variasi praktek yang dilakukan para sufi dalam tasawuf seperti tarekat
Naqsabandy yaitu dengan melakukan dzikir, suluk 40 hari, Rabithah dan tidak
makan daging dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
24
Perkembangan mutakhir tasawuf bermula dari pemikiran Fazlur Rahman
dengan konsep neo sufisme. Di Indonesia, Hamka telah menampilkan istilah
tasawuf modern dalam bukunya “Tasawuf Modern”. Kalau Al-Ghazali
mensyaratkan uzlah dalam penjelajahan menuju kualitas hakikat, maka Hamka
justru menghendaki agar seorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif di berbagai
aspek kehidupan masyarakat.
25