Anda di halaman 1dari 7

PENDEKATAN INTEGRASI-INTERKONEKSI DAN APLIKASINYA DALAM

STUDI ISLAM

Oleh: Ilmam Naufal


NIM: 21205031024

A. Pendahuluan
Di masa awal pandemi COVID-19 di kalangan umat Islam terbentuk sebuah
kelompok yang memiliki semangat keagamaan tinggi, namun tanpa disertai sikap kritis
terkait validitas sumber dan materinya. Karakteristik paradigma kelompok ini ialah
meletakkan wahyu dan akal atau antara ajaran agama dan teori sains di dua lingkaran yang
berbeda. Tidak ketersinggungan antara keduanya. Sehingga tidak heran jika mereka
menentang kebijakan untuk menjalankan protokol kesehatan yang didasarkan atas penelitian
ilmiah. Mereka lebih memilih dalil agama atau salah satu dari keduanya daripada
memadukan dua bidang tersebut dalam struktur keilmuan dalam upaya menangani virus
COVID-19.

Secara lebih khusus dalam wilayah kajian keislaman, pemisahan antara science dan
agama terjadi akibat perbedaan paradigma normativitas dan historisitas Islam. Dualisme
paradigma kajian keislaman tersebut kerap kali mengalami gesekan yang tak berujung.
Pengajaran ilmu-ilmu agama Islam yang bersifat normatif-tekstual melepaskan dirinya dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ilmu-ilmu sosial, ekonomi, hukum dan
humaniora1. Bentuk yang demikian melahirkan sikap self-sufficiency keilmuan. Di mana
mereka yang mempelajari ilmu agama tidak mengetahui ilmu sosial, ilmu alam, humaniora
dan lainnya.

Dikotomi keilmuan yang memisahkan antara ilmu agama atau ilmu keislaman dan
ilmu umum merupakan problem yang mesti diuraikan. Dalam era kemajuan ilmu dan
teknologi saat ini, ditambah semakin peliknya problem kehidupan dan keagamaan maka perlu
adanya kerjasama antara ilmu agama dan ilmu umum dalam rangka menjawab berbagai
problem yang terus bertambah. Oleh karena itu, Amin Abdullah mengajukan paradigma
keilmuan integratif-interkonektif.

1
M. Amin Abdullah. 2012. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Hal. 94.
Paradigma integrasi-interkoneksi yang dibangun oleh Amin Abdullah ini
dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk menghapus atau paling tidak mengurangi tension
dikotomi dua pendekatan kajian Islam, yakni kajian normativitas dan historisitas Islam oleh
Fazlur Rahman atau antara “hard core” (ajaran inti yang solid) dan “protective belt”
(lingkar/sabuk pengaman ajaran inti) menurut istilah Lakatos. Pemisahan yang jelas dan tegas
terhadap dua hal tersebut diperlukan agar diskursus ilmu-ilmu keislaman dapat
dikembangkan dan mengalami kemajuan2.

B. Asumsi Dasar Pendekatan Integratif-Interkonektif


Diskursus dalam pengkajian Islam melalui dua pendekatan, yakni pendekatan
normatif dan historis. Pengkajian Islam normatif ialah Islam yang berupa wahyu Al-
Qur’an dan sunnah sebagai the original text (nash) yang bersifat absolut, sakral dan
universal yang kebenarannya trans-historis melewati batas ruang dan zaman 3. Melalui
dimensi ini kemudian melahirkan prinsip-prinsip, nilai-nilai pokok dan sumber norma
agama.

Namun, ketika prinsip-prinsip Al-Qur’an ditranformasikan ke dalam ranah realitas,


empirik dan historisitas manusia, maka kebenarannya menjadi profan, temporer, terikat
ruang dan waktu. Oleh karena itu, pada level ini, Islam menjadi dinamis, relatif dan
plural. Setelah nash Al-Qur’an ditarik masuk ke dalam wilayah pemikiran dan sejarah
manusia, saat itu ia menyatu dengan subjektivitas manusia4. Pada domain Islam historis
inilah atau oleh Lakatos disebut “protective belt”, yakni domain utama dari apa yang
disebut sebuah ilmu5. Maka sebagai sistem pengetahuan ia juga dapat dinilai, diuji ulang,
dikritisi, diteliti, direvisi maupun direkonstruksi dan didekonstruksi.

Heterogenitas pemahaman terhadap Islam terjadi sebagai proses dialektika antara teks
yang sakral, konteks dan rasionalitas manusia yang profan. Posisi diametral antara teks
dan konteks itulah - jika dicermati dalam sejarah pemikiran Islam - selalu memunculkan
ketegangan kreatif antara gerakan pemahaman normatif di satu sisi, dan gerakan
pemahaman historis-liberal disisi lain. Imbas kedua pendekatan ini sangat kuat dalam
pemahaman teologi, hukum, pemikiran politik serta bidang lainnya6.

2
M. Amin Abdullah. 2012. Islamic Studies…. Hal. vii.
3
Nasitotul Janah. Pendekatan Normaitvitas dan Historisitas Serta Implikasinya dalam Perkembangan Pemikiran
Islam. Jurnal Cakrawala. Vol. 13 No. 2 (2018). Hal. 104.
4
Nasitotul Janah. Pendekatan Normaitvitas dan Historisitas… Hal. 104.
5
M. Amin Abdullah. 2012. Islamic Studies…. Hal. 52.
6
Nasitotul Janah. Pendekatan Normaitvitas dan Historisitas… Hal. 105.
Pendekatan normatif berangkat dari keyakinan bahwa Islam itu agama wahyu yang
kebenarannya bersifat mutlak dan universal karenanya tidak mungkin mengambil
kesimpulan yang bertentangan dengan teks wahyu. Jadi kesimpulan yang diambil
bukanlah berdasar pendekatan fakta melainkan berdasar keyakinan teologis bahwa
kebenaran adalah sejauh mana fakta sesuai dengan wahyu. Sebaliknya pendekatan
historis, berasumsi bahwa setiap agama selalu lahir dalam konteks yang menyejarah.
Karena jika tanpa konteks yang menyejarah, maka agama menjadi absurd dan tak
memiliki makna apa-apa. Agar agama memiliki signifikansi, hal ini mensyaratkan adanya
proses dialektika dengan realitas empiris masyarakat karena dengan ini agama dipercaya
dapat mengubah realitas diluar dirinya dan pada saat yang sama realitas luar itu
berpengaruh terhadap agama. Bagi pendekatan ini, praktik agama tidak harus melalui
huruf per huruf dari firman Tuhan melainkan cukup menangkap spirit universal agama7.

Pencetusan ide intergasi-interkoneksi oleh Amin Abdullah karena gesekan yang


terjadi antara wilayah normativitas dan historisitas Islam. Asumsi pendekatan integrasi
ialah penyatuan antara wilayah normativitas-sakralitas keberagamaan Islam ke dalam
wilayah historisitas-profanitas keberagamaan Islam, atau sebaliknya hingga keduanya
melebur menjadi satu kesatuan8. Model pendekatan ini memang berhasil mengurangi
bahkan menghilangkan ketegangan dan gesekan antar dua wilayah tersebut. Akan tetapi,
Apabila seperti ini, berakibat pada hilangnya salah satu wilayah, historisitas atau
normativitas, karena salah satu dari keduanya telah menjadi satu dengan yang lain.

Pendekatan integratif memang dipandang berhasil mengurangi ketegangan yang


terjadi. Akan tetapi, jika hanya mengandalkan pendekatan integratif berarti pengamatan
yang dilakukan hanya melalui satu lensa. Sedangkan, problem yang begitu kompleks
dihadapi saat ini membutuhkan pendekatan yang kompatibel dengan tuntutan zaman.

Oleh karena itu, sebagai komplemen bagi pendekatan integrasi, Amin Abdullah
menawarkan pendekatan atau paradigma interkoneksitas. Pendekatan interkoneksitas ini
bermaksud membangun relasi bersama setiap keilmuan yang ada, baik itu keilmuan
agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman. Jalinan antar berbagai disiplin
keilmuan itu dibangun didasarkan atas prinsip kerjasama dan ketersalingan, saling tegur
sapa, saling membutuhkan, saling koreksi, dan saling keterhubungan9.

7
Nasitotul Janah. Pendekatan Normaitvitas dan Historisitas… Hal. 106.
8
M. Amin Abdullah. 2012. Islamic Studies…. Hal. vii.
9
M. Amin Abdullah. 2012. Islamic Studies…. Hal. viii.
Secara paradigmatik-filosofis, ada 3 (tiga) aspek yang hendak diintroduksi oleh
paradigma integrasi-interkoneksi. Secara epistemologis, paradigma interkoneksitas ini
muncul sebagai respon Amin Abdullah terhadap problematika keilmuan yang terjadi dan
diwariskan selama berabad-abad dalam peradaban Islam selama ini, yakni tentang adanya
dikotomi antara keilmuan umum dan keilmuan agama. Klaim self sufficiency yang
melekat pada suatu disiplin keilmuan, baik ilmu umum atau agama, cepat atau lambat
akan mengantarkannya kepada narrowmindedness untuk tidak menyebutnya fanatisme
partikulasi disiplin keilmuan yang akan membangun jurang pemisah antar disiplin ilmu.
Dalam struktural-Politik, dikotomi Epistemologis ini juga disempurnakan dengan
berdirinya Departemen Agama dan Departemen Pendidikan di awal kemerdekaan
Republik Indonesia10.

Secara aksiologi, paradigma interkoneksitas ini ingin menawarkan pandangan dunia


baru antara manusia beragama dan para ilmuwan, pandangan yang lebih luas dan terbuka
ke depan yang mampu membuka dialog dan kerjasama, transparan, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Sedangkan secara antologis, paradigma ini ingin hubungan antar
disiplin ilmu menjadi semakin terbuka dan cair, walaupun batasan-batasan wilayah antar
budaya pendukung keilmuan agama yang bersumber dari teks-teks (Hadlarah al-Nash),
dan budaya pendukung keilmuan faktual-historis-empiris yaitu ilmu ilmu sosial dan
kealaman (Hadlarah al-Ilm), serta budaya pendukung keilmuan etis-filosofis (Hadlarah
al-Falsafah) masih tetap ada. Namun, cara berfikir, sudut pandang, dan sikap para
ilmuwan yang perlu berubah.

Paradigm integrasi dan interkoneksi menekankan bahwa antar bidang ilmu yang
berbeda itu saling terkait karenanya menjadi keniscayaan untuk memanfaatkan berbagai
bidang ilmu tersebut secara bersama-sama berlandaskan paradigm teantroposentrise.
Secara konseptual ini dijabarkan dalam Teori jarring laba-laba (spider web) yang
mendeskripsikan bahwa kajian Islam horisonnya harus sangat luas karena diperlukan
untuk menopang kehidupan manusia diera saat in. dan juga guna menangani dan
menganalisisi isu-isu yang menyentuh problematika kemanusiaan plus keagamaan di era
modern dengan memanfaatkan berbagai pendekatan ilmu alam (natural science) ilmu
social (social science) dan humaniora (humanities) kontemporer.

Menurut Amin Abdullah konsep spider-web ini adalah hasil dari proses integrasi
hubungan segitiga antara metode bayani (tekstual-deduktif) yang seringnya digunakan
10
M. Amin Abdullah. 2012. Islam Studies..... Hal. vii-viii.
dalam kajian normatif; metode burhani (demosntratifempiris) dalam kajian historis; dan
tentu saja metode irfani (etis-intuitif) yang bertugas menjembatani antara metode bayani
dan burhani yang selama ini berjalan sendiri-sendiri. Dialektika segitiga ini sesungguhnya
melibatkan begitu banyak variabel. Namun jika disederhanakan, ia merupakan interaksi
antara tiga entitas; haradharah an-nash, artinya mempertimbangkan kandungan isi teks
keagamaan sebagai wujud komitmen keagamaan dan mempertahankan autenitas; hadarah
ilm: melakukan pendekatan obyektif dan profesional melalui sudut pandang keilmuan
yang cenderung induktif empiris; dan hadarah falsafah kesediaan secara tulus untuk selalu
mendialogkan dan mendialektikakan dua variabel pertama dalam perspektif moral dan
etika Islam. Inilah yang disebut sebagai pola hubungan sirkuler antara metode bayani,
burhani dan irfani11.

C. Contoh Penelitian Akademik dalam Lingkup Studi Islam Berdasarkan Pend.


Integratif-Interkonektif
Sebuah artikel berjudul Memahami Ayat-Ayat Kewarisan Dengan Pendekatan
Integrasi-Interkoneksi yang ditulis oleh Reni Nur Aniroh seorang mahasiswi Magister
Ilmu Al-Qur`an Pascasarjana UNSIQ. Fokus masalah dalam penelitian ini mengkritisi
kembali konsep radd dan ‘aul dalam kewarisan Islam, untuk kemudian mencari solusi
lain dengan mengintegrasikan dan mengkoneksikan sains modern dalam membaca ayat-
ayat kewarisan. Tujuannya ialah agar hukum kewarisan Islam tidak kehilangan
relevansinya dan agar dapat menjawab problem-problem kewarisan yang ada.

Pokok pembahasannya berasumsi bahwa hukum kewarisan Islam (fiqh kewarisan)


hasil pemahaman mufasir terdahulu merupakan wilayah profan yang setiap waktu terbuka
untuk menerima kritikan, pengembangan, perubahan, bahkan dapat ditumbangkan dengan
penemuan-penemuan baru yang lebih konteks dengan zaman yang sedang dihadapi.
Walaupun secara normatif-teologis, kebenaran Al-Qur`an mutlak, namun ketika Al-
Qur`an ditafsirkan, diinterpretasikan dan masuk dalam “disket” pemikiran manusia, maka
ia (hasil penafsirannya) akan menjadi kebenaran yang relatif-intersubyektif12.

Pendekatan integratif-interkonektif merupakan suatu pendekatan yang menggabung


kerjasama antar disiplin ilmu, antara ilmu umum dan ilmu agama. Dalam tulisannya itu,
penulis berusaha menafsirkan ayat-ayat kewarisan dengan bantuan ilmu matematika
11
M. Amin Abdullah. 2012. Islam Studies..... Hal. 220-224.
12
Reni Nur Aniroh . Memahami Ayat-Ayat Kewarisan Dengan Pendekatan Integrasi-Interkoneksi. Jurnal
Syariati. Vol. I No. 01, Mei 2015. Hal. 22.
modern. Ketika diaplikasikan selain jumlah total harta warisan yang telah dibagikan
kepada masing-masing pihak tidak akan melebihi atau pun kurang dari 100%, juga
memecahkan isu gender di dalamnya, dan kita dapat melihat bahwa ayat-ayat tersebut
hanya memberi batasan-batasan untuk membuat kaidah-kaidah hukum waris yang lebih
dinamis.

D. Implikasi atau Relevansi bagi Studi Islam


Kemajuan bidang teknologi dan informasi menuntut adanya perkembangan studi
Islam dalam menghadapi tuntutan zaman. Dengan pendekatan integratif-interkonektif
diharapkan studi Islam saat ini mampu menjawab problem-problem kekinian yang
semakin kompleks. Misalnya, dalam kasus poligami.

Implementasi paradigma integrasi–interkoneksi terhadap poligami di Indonesia,


berarti menyatukan dan menghubungkan berbagai disiplin ilmu-ilmu keagamaan ( ilmu
Tafsir, ilmu Hadits, ilmu Ushul Fiqh dan seterusnya), ilmu-ilmu sosial (sosilogi, sejarah,
filsafat, ekonomi, psikologi dan seterusnya), dan ilmu-ilmu kemanusiaan (kedokteran,
kesehatan, matematika, fisika, kimia, biologi dan seterusnya) sebagai perspektif poligami
di Indonesia. Setelah mempertimbangkan poligami dari berbagai perspektif tersebut, baru
ditentukan hukumnya. Seorang lelaki yang telah beristri satu kemudian bermaksud
menikah lagi (poligami) tidak bisa serta merta melaksanakan kemauannya tersebut.
Setidaknya perlu mempertimbangkan kemampuan fisik (kesehatan), kemampuan finansial
(ekonomi), perasaan istri dan anak-anaknya (psikologi), perhatian, dan keberlangsungan
pendidikan mereka. Juga perlu dipertimbangkan kemungkinan-kemungkinan terhadap
istri kedua dan anak-anaknya kelak mengenai finansial suami, psikologi mereka dan
seterusnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. 2012. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-


Interkonektif.
Aniroh, Reni Nur. Memahami Ayat-Ayat Kewarisan Dengan Pendekatan Integrasi-
Interkoneksi. Jurnal Syariati. Vol. I No. 01, 2015.
Janah, Nasitotul. Pendekatan Normaitvitas dan Historisitas Serta Implikasinya dalam
Perkembangan Pemikiran Islam. Jurnal Cakrawala. Vol. 13 No. 2, 2018.

Anda mungkin juga menyukai