STUDI ISLAM
A. Pendahuluan
Di masa awal pandemi COVID-19 di kalangan umat Islam terbentuk sebuah
kelompok yang memiliki semangat keagamaan tinggi, namun tanpa disertai sikap kritis
terkait validitas sumber dan materinya. Karakteristik paradigma kelompok ini ialah
meletakkan wahyu dan akal atau antara ajaran agama dan teori sains di dua lingkaran yang
berbeda. Tidak ketersinggungan antara keduanya. Sehingga tidak heran jika mereka
menentang kebijakan untuk menjalankan protokol kesehatan yang didasarkan atas penelitian
ilmiah. Mereka lebih memilih dalil agama atau salah satu dari keduanya daripada
memadukan dua bidang tersebut dalam struktur keilmuan dalam upaya menangani virus
COVID-19.
Secara lebih khusus dalam wilayah kajian keislaman, pemisahan antara science dan
agama terjadi akibat perbedaan paradigma normativitas dan historisitas Islam. Dualisme
paradigma kajian keislaman tersebut kerap kali mengalami gesekan yang tak berujung.
Pengajaran ilmu-ilmu agama Islam yang bersifat normatif-tekstual melepaskan dirinya dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ilmu-ilmu sosial, ekonomi, hukum dan
humaniora1. Bentuk yang demikian melahirkan sikap self-sufficiency keilmuan. Di mana
mereka yang mempelajari ilmu agama tidak mengetahui ilmu sosial, ilmu alam, humaniora
dan lainnya.
Dikotomi keilmuan yang memisahkan antara ilmu agama atau ilmu keislaman dan
ilmu umum merupakan problem yang mesti diuraikan. Dalam era kemajuan ilmu dan
teknologi saat ini, ditambah semakin peliknya problem kehidupan dan keagamaan maka perlu
adanya kerjasama antara ilmu agama dan ilmu umum dalam rangka menjawab berbagai
problem yang terus bertambah. Oleh karena itu, Amin Abdullah mengajukan paradigma
keilmuan integratif-interkonektif.
1
M. Amin Abdullah. 2012. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Hal. 94.
Paradigma integrasi-interkoneksi yang dibangun oleh Amin Abdullah ini
dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk menghapus atau paling tidak mengurangi tension
dikotomi dua pendekatan kajian Islam, yakni kajian normativitas dan historisitas Islam oleh
Fazlur Rahman atau antara “hard core” (ajaran inti yang solid) dan “protective belt”
(lingkar/sabuk pengaman ajaran inti) menurut istilah Lakatos. Pemisahan yang jelas dan tegas
terhadap dua hal tersebut diperlukan agar diskursus ilmu-ilmu keislaman dapat
dikembangkan dan mengalami kemajuan2.
Heterogenitas pemahaman terhadap Islam terjadi sebagai proses dialektika antara teks
yang sakral, konteks dan rasionalitas manusia yang profan. Posisi diametral antara teks
dan konteks itulah - jika dicermati dalam sejarah pemikiran Islam - selalu memunculkan
ketegangan kreatif antara gerakan pemahaman normatif di satu sisi, dan gerakan
pemahaman historis-liberal disisi lain. Imbas kedua pendekatan ini sangat kuat dalam
pemahaman teologi, hukum, pemikiran politik serta bidang lainnya6.
2
M. Amin Abdullah. 2012. Islamic Studies…. Hal. vii.
3
Nasitotul Janah. Pendekatan Normaitvitas dan Historisitas Serta Implikasinya dalam Perkembangan Pemikiran
Islam. Jurnal Cakrawala. Vol. 13 No. 2 (2018). Hal. 104.
4
Nasitotul Janah. Pendekatan Normaitvitas dan Historisitas… Hal. 104.
5
M. Amin Abdullah. 2012. Islamic Studies…. Hal. 52.
6
Nasitotul Janah. Pendekatan Normaitvitas dan Historisitas… Hal. 105.
Pendekatan normatif berangkat dari keyakinan bahwa Islam itu agama wahyu yang
kebenarannya bersifat mutlak dan universal karenanya tidak mungkin mengambil
kesimpulan yang bertentangan dengan teks wahyu. Jadi kesimpulan yang diambil
bukanlah berdasar pendekatan fakta melainkan berdasar keyakinan teologis bahwa
kebenaran adalah sejauh mana fakta sesuai dengan wahyu. Sebaliknya pendekatan
historis, berasumsi bahwa setiap agama selalu lahir dalam konteks yang menyejarah.
Karena jika tanpa konteks yang menyejarah, maka agama menjadi absurd dan tak
memiliki makna apa-apa. Agar agama memiliki signifikansi, hal ini mensyaratkan adanya
proses dialektika dengan realitas empiris masyarakat karena dengan ini agama dipercaya
dapat mengubah realitas diluar dirinya dan pada saat yang sama realitas luar itu
berpengaruh terhadap agama. Bagi pendekatan ini, praktik agama tidak harus melalui
huruf per huruf dari firman Tuhan melainkan cukup menangkap spirit universal agama7.
Oleh karena itu, sebagai komplemen bagi pendekatan integrasi, Amin Abdullah
menawarkan pendekatan atau paradigma interkoneksitas. Pendekatan interkoneksitas ini
bermaksud membangun relasi bersama setiap keilmuan yang ada, baik itu keilmuan
agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman. Jalinan antar berbagai disiplin
keilmuan itu dibangun didasarkan atas prinsip kerjasama dan ketersalingan, saling tegur
sapa, saling membutuhkan, saling koreksi, dan saling keterhubungan9.
7
Nasitotul Janah. Pendekatan Normaitvitas dan Historisitas… Hal. 106.
8
M. Amin Abdullah. 2012. Islamic Studies…. Hal. vii.
9
M. Amin Abdullah. 2012. Islamic Studies…. Hal. viii.
Secara paradigmatik-filosofis, ada 3 (tiga) aspek yang hendak diintroduksi oleh
paradigma integrasi-interkoneksi. Secara epistemologis, paradigma interkoneksitas ini
muncul sebagai respon Amin Abdullah terhadap problematika keilmuan yang terjadi dan
diwariskan selama berabad-abad dalam peradaban Islam selama ini, yakni tentang adanya
dikotomi antara keilmuan umum dan keilmuan agama. Klaim self sufficiency yang
melekat pada suatu disiplin keilmuan, baik ilmu umum atau agama, cepat atau lambat
akan mengantarkannya kepada narrowmindedness untuk tidak menyebutnya fanatisme
partikulasi disiplin keilmuan yang akan membangun jurang pemisah antar disiplin ilmu.
Dalam struktural-Politik, dikotomi Epistemologis ini juga disempurnakan dengan
berdirinya Departemen Agama dan Departemen Pendidikan di awal kemerdekaan
Republik Indonesia10.
Paradigm integrasi dan interkoneksi menekankan bahwa antar bidang ilmu yang
berbeda itu saling terkait karenanya menjadi keniscayaan untuk memanfaatkan berbagai
bidang ilmu tersebut secara bersama-sama berlandaskan paradigm teantroposentrise.
Secara konseptual ini dijabarkan dalam Teori jarring laba-laba (spider web) yang
mendeskripsikan bahwa kajian Islam horisonnya harus sangat luas karena diperlukan
untuk menopang kehidupan manusia diera saat in. dan juga guna menangani dan
menganalisisi isu-isu yang menyentuh problematika kemanusiaan plus keagamaan di era
modern dengan memanfaatkan berbagai pendekatan ilmu alam (natural science) ilmu
social (social science) dan humaniora (humanities) kontemporer.
Menurut Amin Abdullah konsep spider-web ini adalah hasil dari proses integrasi
hubungan segitiga antara metode bayani (tekstual-deduktif) yang seringnya digunakan
10
M. Amin Abdullah. 2012. Islam Studies..... Hal. vii-viii.
dalam kajian normatif; metode burhani (demosntratifempiris) dalam kajian historis; dan
tentu saja metode irfani (etis-intuitif) yang bertugas menjembatani antara metode bayani
dan burhani yang selama ini berjalan sendiri-sendiri. Dialektika segitiga ini sesungguhnya
melibatkan begitu banyak variabel. Namun jika disederhanakan, ia merupakan interaksi
antara tiga entitas; haradharah an-nash, artinya mempertimbangkan kandungan isi teks
keagamaan sebagai wujud komitmen keagamaan dan mempertahankan autenitas; hadarah
ilm: melakukan pendekatan obyektif dan profesional melalui sudut pandang keilmuan
yang cenderung induktif empiris; dan hadarah falsafah kesediaan secara tulus untuk selalu
mendialogkan dan mendialektikakan dua variabel pertama dalam perspektif moral dan
etika Islam. Inilah yang disebut sebagai pola hubungan sirkuler antara metode bayani,
burhani dan irfani11.
DAFTAR PUSTAKA