Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag
Disusun oleh:
Jahrotul muniroh
11200240000034
Realitas ilmu di Barat pada masa moderennya mengalami dikhotomi, dalam arti pembagian
atas dua kategori/tipologi yang saling berlawanan da terpisah, yaitu ilmu modern yang
empiris/rasional dan ilmu agama. Bahkan dalam ilmu modern di Barat juga terdapat ilmu
hiraki, dimana ilmu yang dianggap paling bisa diandalkan adalah ilmu yang berbasis
empirisisme. Karena keunggula ilmu empiris yang melahirkan teknologi yang kini oleh
sebagian oarng dianggap sebagai mesiah. Meski begitu, kini (belakangan) di Barat terjadi
koeksitensi tiga ilmu yang ada:ilmu empiris, ilmu rasional, dan ilmu illumitatif, meski yang
terakhir hanya diterima sebagian kecil ahli saja. Dalam trealitas ilmu sepanjang sejarah islam
klasik dan pertengahannya, Islam tidak mendikhotomikan kerja di atas, dimana ketiganya
berjalan seiring tidak meminggirkan Tuhan dan agama. Di negara-negara muslim pun
berkembang gagasan Islamisasi sains sebagai upaya untuk mengintegrasikan sains Barat
modern dengan islam, sebuah usaha menolak sisi sekularisme dalam sains modern Bara.
Generasi muda Muslim pum pada masa modern tumbuh menjadi kepribadian yang terpecah
(terbelah), tidak utuh, yaitu kepribadiannya sebagai Muslim yang agamis di satu sis, dan
sebagai seseorang modern yang berbasis ilmu pengetahuan modern yang sekular di sisi lain.
Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan juga muncul syed naquib Al-Attas, ia pun bersama al-
Faruqi disebut banyak ahli sebagai penggagas ‘proyek’ Islamisasi ilmu. Al-Attas bergerak
(ISTAC) yang di dirikannya di Malaysia. Namun ada perbedaan diantara dua tokoh itu, dalam
memasukan/memperkaya (dalam bahasa tasawuf tahalil [menghias]) ilmu modern itu dengan
unsur-unsur dan konsep-konsep islam yang utama). Dalam khazanah pemikiran modern islam,
pandangan al-Attas dan al-Faruq itu di tolak oleh sebagian ahli muslim diantaranya Abdus
Salam, ilmuan Muskim pertama yang mendapatkan hadiah Nobel. Dia adalah ahli nuklir yang
menganut universitas sains. Yang diperlukan umat islam bukanlah islamisasi sains, melainkan
saintifikasi umat islam, sisi kekurangannya. Baginya, sains modern Barat adalah warisan Griko
Islami (ilmu irang-orang yunani yang dikembangkan umat islam pada masa klasik dan
pertengahannya. Untuk itu, pembentukan lembaga dana islam untuk beasiswa menjadi tak
terelakan. Hal yang hamper sama disampaikan Sayid Ahmad Khan, tokoh muslim dari india.
Khan berpendapat bahwa tujuan sejati agama adalah meningkatkan moralitas, bukan pada
kesesuainnya sains. Karenanya, ajak Ahmad Khan, marilah kita mencapai kebenaran sains
dengan observasi-observasi dan eksperimentasi ilmiah. Bahkan sebagian para ahli sains alam
yang empiris dari perguruan tingi ternama di Indonesia tidak juga mau disebut sains empiris
sebagai sains sekula, karena kata itu mengandung makna pajoratif sebagai anti agama. Pedahal,
yang dimaksud adalah makna kamus, sains yang di buka hasil dari elaborasi ayat-at=yat suci
al-Qur’an atau kitab suci lainnya, tetapi bersumber dari pengujian atas realitas alam dan soal
yang bersifat duniawi berdasarkan pertimbangan dunia, yaitu empiris dan rasional atau tidak.
Maka, teorientasi radikal ilmu pengetahuan hingga ke wilayah epistemologi dam penciptaan
world view-nya yang sesuai dengan nilai-nilai islam mendesak untuk dilakukan. Di Indonesia
yang belakangan menghangatkan perbedaan isu islamisasi sains adalah Mulyadhi Kartanegara
dengan argumentasi yang kuat dan meyakinkan. Ia menyebut bahwa dirinya merasa terpanggil
untuk menulis tema Islamisasi sains dalam buku berjudul: Menyibak Tirai Kejahila, pengantar
Epistiomologi Islam. Buku ini diterbitkan Mizan juni 2003. Alasannya, karena paparnya lebih
lanjut, di satu sisi telah terjadi sekularisasi sains dan di sisi lain sains yang memiliki dimensi
sekular yang memusuhi agama saat ini begitu menggelobal. Karenanya, tingkat ancamannya
terhadap agama islam akan lebih mantap. Islamisasi sains menurutnya, merupakan natularisasi
sains untuk meminimalkan dampak negatif sains sekuler terhadap system kepercayaan agama
dan dengan begitu agama menjadi terlindungi. Ketika sains melibatkan penjelasan, sains tidak
lagi netral atau objektif, dalam arti yang sebenar-benarnya. Sains dibentuk berdasarkan nilai-
nilai budaya, idiologis, dan agama yang dianut oleh pemikir dan saintisnya, sebagaimana juga
disampaikan al-Faruq dan al-Attas, penjelasan berbasis strukturalisme genetic tampak dalam
pemikiran Islamisasi sainsnya, seseorang ilmuan sama dengan sastrawan. Secara umum
konsepsi Islamisasi ilmu atau lebih tepatnya integrasi ilmu secara umum ada dua pola:
idealistik seperti kecenderungan dari Sardar dan Mulyadhi Kartanegara, dan pola pragmatis.
Pola ini tan tangannya sangat tinggi (sulit), karena pelakunya harus memiliki dua penguasaa
ilmu agama dan modern yang rasional dan empiri secara seimbang, tidak berat sebelah.
B. Integrasi Islam dan Ilmu: study Khusus di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Praktikal
Mengintegrasikan sains modern Barat dengan ilmu keislaman telah diupayakan di antaranya
oleh Dr. Satimah Wirjosandjojo saat Indonesia di bawah kolonial hindia Belanda. Dalam
konteks UIN Jakarta, berdasarkan perdebatan dan dokumen yang bisa ditemukan, salah satu
filosofi penting dibalik perubahan status IAIN menjadi UIN Jakarta pada tahun 2002 adalah,
sebagaimana tujuan awal didirikannya dulu, untuk mencairkan dikotomi antara ilmu-ilmu
empiris/rasional modern dengan ilmu-ilmu agama yang basis utamanya wahyu. Dalam upaya
integrasi dua jenis ilmu di UIN Jakarta, paradigm yang dibangun adalah tuhanlah yang menjadi
sebab alam, dimana sisi ini hialng di tangan Newton yang menekankan sebab terdekat
sebagaimana telah diungkap di atas. Para tokoh melakukan upaya perubahan IAIN mejadi UIN
tidak khawatir dengan akan terjadinya marginalisasi ilmu keislaman yang ada sebelumnya,
seperti kritik yang dilontarkan pada tahun sekitar 2002-an. Alasannya, marginalisasi akan lahir,
jika semua fakultas agama yang ada digabung seperti yang terjadi di universitas lain. Sementara
di UIN Jakarta, fakultas tradisional tidak dilikuidasi, melainkan di perkaya ilmu modern baru
dengan ditambah prodi-prodi (program studi)-nya. Nama fakultasnya pun aka ditambah
nomenklatur tertentu. Misalnya fakultas ‘fakultas Syariah dan Hukum’. Nama fakultas Adab
nomenklaturnya ditambah menjadi fakultas Adab dan Humaniora. Dalam bahasa prof.
Komaruddin Hidayat, dengan menjadi uin, peta keilmuan dan keislaman di UIN Jakarta
dimaksudkan biar lebih sempurna. Alumni UIN Jakarta diharapkan kelak memiliki penguasaan
ilmju pengetahuan modern, sekaligus tetap mempertahankan nilai-nilai etika islam dan juga
sebaliknya. Dengan diberikannya mata kuliah Ilmu sosial dasar dan ilmu alamiah dasar yang
empiris, diharapkan seluruh mahasiswa IAN yang belajar Ilmu keagamaan kala itu harus
mampu mengkontekstualisasi islam yang dipelajarinya dengan konteks ilmu sosial modern dan
konteks ilmu alam. Mahasiswa IAIN pada tahun 1990-an dan juga 1980 diajarkan juga mata
kuliah bahasa Inggris I dan II dan Bahasa Indonesia. Dengan diberikannya mata kuliah ini
diharapkan seluruh mahasiswa IAIN yang belajar ilmu keagamaan kala itu mampu minimal
membaca literatur keislaman yang ditulis oleh sarjaan Barat yang unggul secara metedologi,
gagasan keislaman secara baik dalam bahasa Indonesia, bahkan juga dalam abahsa Arab dan
Inggris, baik secara tulis maupun lisan. Selain integrasi ilmu yang dilakukan dengan
pembetulan kurikulum dan penulis buku/riset, integrasi ilmu kemoderanan dengan Islam juga
dilakukan oleh akademis UIN Jakarta lewat penerjemahan buku yang menjadi rujukan umum
dan perkuliahan. Mahasiswa di UIN Jakarta hingga saat ini diajak untuk menjadi bagian dari
intelektual/akademis dunia, dimana karya tulis dari mulai skripsi, tesis, hingga disetasi yang
dibuat mahasiswa UIN Jakarta harus memberi kontribusi bagi dunia akademik dan global.
Selain yang telah dijelaskan di atas integrasi ilmu dan Islam juga bisa di lihat dari moto UIN
saat ini, yaitu: knowledge, piety, integrity. Moto ini menjadi moto UIN Jakarta sejak lembaga
ini dipimpin oleh Prof. Komaruddin Hidayat (2006-2014). Moto itu sejalan dengan pernyataan
Einstein di aats dan sebuah perubaha pradigma yang awalnya UIN Jakarta lebih sebagai
lembaga ilmiah yang lebih menampakkan sebagai institut dakwah, penjaga gawang keimanan,
kini UIN Jakarta juga sebagai institut ilmiah yang komitmennya juga pada ilmu, tetapi dengan
tetap dibimbing wahyu. Di pasca sarjana UIN Jakarta kini dibangun di atas pendekatan intra
dari interdisipliner, bahkan multidispiner, yang itu bisa dilihat dari kurikulum, terutama nama
dan substansi matakuliah yang menampakkan integrasi ilmu, kebijakan komponen riset dalam
kurikulum seperti adanya (Work in Progres) minimal tiga kali, aturan penulisan thesis/disertasi,
terutama body-nya yang pada bab II dan bab inti yang harus memperdebatkan teori/ kajian
akademik maan yang ditolak dan didukung dalam tema yang sama.
integrasi ilmu dalam batas-batas tertentu telah dilakukan sejak masa pra UIN. Salah satu
penyebabnya adalah model penerimaan mahasiswa yang diserahkan pada pasar. Kala itu, tidak
ada kebijakan konfirmasi untuk terus mendukung keterampilan ilmu keislaman secara konstan
oelh peminat, bahkan kalau dimungkinkan bisa berkembang. Saat diserahkan pada pasar, maka
pasar akan dating. Dan itu berati yang akan memperoleh mahasiswa terbesar adalah prodi
ilmu0ilmu kemodernnan non keagamaan, terutama ilmu semisal ekonomi, sastra inggris,
komunikasi, kedokteran, dan hubungan internasional sebagai prodi dengan peminat yang
membeludak. Sebab itu, mulai tahun ajaran 20212, UIN Jakarta menhgeluarkan kebijakan
Dalam konteks keislaman, sebagaimana nanti akan di uraikan, agaknya ilmu modern, bahkan
juga ilmu sastra modern, merupakan ilmu modern yang tidak ditemukan (tidak banyak
ditemukan) sisi perbedaanya dengan ilmu dalam islam. Dalam sub islam da ilmu bahasa dalam
bab ini hanya akan fokus membahas islam relasinya dengan teori (kerangka gagasan mengenai
bahasa).
Linguistik atau ilmu bahasa adalah ilmu yang membahas bahasa, baik intriksikalitasnya
maupun ekstrinskalitasnya. Intriksikalitasnya bahasa adalah sisi internal bahasa sebagai entitas
yang berdiri sendiri (dakliyyah al-lughah). Sedangkan ekstrinsikalitas bahasa adalah sisi
Ilmu bahasa merupakan ilmu yang paling cepat mapan bersama ilmu fiqih (hukum islam),
karena liuas wilayah kekuasaan umat islam yang tidak ada preseden sebelumnya. Yaitu sejak
abad ke-7 dari Pakistan di Timur hingga Maroko di Barat, dan Syria dan belangka Asia tengah
di utara hingga Yaman di Selatan. Untuk memudahkan pembelajaran atas bahasa Arab agar
komunikasi bisa bisa berjalan baik bahkan juga untukkepentingan ilmiah, maka ilmu bahasa
menjadi diperlukan yang bersifat mendesak. Penggunaan hukum dan bahasa untuk mengatur
luasnya wilayah itu sebagaimana telah diterapkan dinasti-dinasti sebelum islam sejak masa
peradaban Babilonia
Sedangkan kajian bahasa dalam struktur kalimat banyak dibahas dalam ilmu nahwu (sintaksis
Arab). Ilmu yang membahas sampainya maksud hati (fikiran) yang ingin diungkapkan kepada
lawan dialog, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa yang benar, jelas, berpengarus
terhadap rasa atau fikiran audiens lewat diksinya yang tepat, dan juga cocok dengan situasi dan
kondisi audiens. Sedangkan wacana (bangunan/keseluruhan teks beserta konteks teks dan
konteks sosial budaya /politik yang mengitarinya). Dalam linguistic Arab (ilmu-ilmu islam)
dibahas dalam ilmu tafsir, ilmu hadis, dan juga ushul fiqh (metedologi penetapan hukum islam).
Dalam perspektif ilmu-ilmu ini, suatu ayat atau teks Al-Qur’an tidak dilihat sebagai ayat atau
teks yang berdiri sendiri. Ia tidak bermakna hanya karena dirinya sendiri saja. Semua teks Al-
Qur’an sebagai sebuah teks yang koherens, sebagai satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan.
Karenanya, penafsiran terhadap ayat atau suatu teks Al-Qur’an yang benar harus dilakukan
dengan menafsirkannya dengan ayat lainnya. Dengan begitu Al-Qur’an dibiarkan bicara sendiri
mengenai suatu tema yang dicari. Dalam ilmu bahasa modern, teori yang melihat teks sebagai
satu kesatuan yang dicari. Dalam ilmu bahasa modern, teori yang melihat teks sebagai satu
kesatuan yang koherens dikenal dengan teori strukturalisme, sebagaimana nanti akan di
jelaskan. Ushul fiqh dikenal juga kaidah mengenai kemungkinan berubahnya hukum yang
terdapat dalam teks wahyukarena perubahan situasi/kondisi ruang dan waktu (konteks sosial
budaya /politik). Kasus Umar bin Khattab yang tidak menerapkan hukum poting tangan saat
pecelik diatas bisa menjadi bukti. Tentu saja kaidah itu bisa dipahami karena dalam islam
hal yang dilarang oleh teks wahyu sekalipun. Soal ini telah diungkap sebagaian di ba islam dan
Ada banyak teori bahasa yang dikenal dalam ilmu bahasa/linguistic modern.
intuisi, yang tampak antara lain dalam bahasa dan sastra. Kompetensi
yang disebutnya juga sebagai struktur bahasa yang tampak kasat kesat
kata dan atau kalimat sebelum dan sesudahnya. Teori ini menyarankan
sekitarnya. Makna suatu kata ditentukan oleh susunan kata yang dikaji
dilihat dari sisi konteks leksikal, termasuk di dalamnya makna cita rasa
hubungan antar paragraf. Dalam studi semantik studi atas makna sebuah
kata atau leksem disebut dengan jenis semantic leksikal. Studi ini
melahirka banyak kajian makna, dari mulai perbedaan makna dengna
makna (leksikal, dan gramatkal denotatif dan konotatif, makna kata dan
yang melahirkan wacana (tentang apa yang dikatakana teks [bukam apa
Oarng yang tidak mau bekerja dianggap sebagai orang yang melanggar
sebagai negara-negara maju. Salah satu teori bahasa yang juga bisa
suatu bahasa oleh bahasa nasional tertentu. Meski begitu, definisi kajian
bahasa banding yang dikenal adalah kajian bahasa yang masuk dalam
bahasa arab dengan rumpuan bahasa semintik lainnya seperti ibrani dan
latin dan keserupaan itu tidak mungkin sebagai suatu keberulan belaka.
sintaksis.
Sebagai perbandingan dalam tradisi arab/islam, kajian bahasa yang mainstrim adalah kajian
koherens. Bahasa yang runut da logis, menunjukan penutur atau penulisnya mempunyai fikiran
yang baik. Demikian sebaliknya. Kemampuan berbahasa yang buruk, meski tidak selalu,
menunjukan kemampuan piker yang tidak baik. Kebudayaan dalam arti sempit yaitu pola fikir
dan pola rasa seseorang atau kelompok sosial tertentu, karenanya, bisa juga dilihat dari ucapan
atau tulisannya juga. Demikian juga kesebandingan teori bahasa dalam islam dengan
hermeneuetik da semmiotika, sebagaimana telah diungkap di bab islam dan ilmu komunikasi
sebelum bab ini. Terakhir tradisi bahasa banding dalam ilmu bahasa modern juga sudah
dilakukan ilmuan Muslim lebih awal, yaitu oleh Ibn Hazm (w 406 H) sekitar abad ke-11 M. ia
telah mengkaji hubungan bahasa arab dengan suryani da ibrani. Sebelumnya ada Abu Ubaid
al-Qasim bin Salam (w 224 H) yang mengkaji keterpengaruhan bahasa Arab oleh bahasa
Suryani.
yang melihat islam dan sastra: kalangan yang memnadang bahwa islam menolak sastra dan
kalangan yang memandang sebaliknya, Islam dan sastra berkesesuaian. Di Indonesia ulama
pertama yang menoloka sastra tampaknya adalah Syeikh Nuruddin ar-Raniri (w 1069H/1658
M), seorang ulama fiqih india yang diangkat menjadi ulama Istana (mufti) Kerajaan aceh darus
salam pada abad ke-17, tepatnya pada masa sultan Iskandar II (1636-1641 M). ia melihat karya
sastra seperti sri ram (sastra terjemahan Ramayana ) dan hikayat indra putra (bentuk sastra
yang telah diadaptaasi ke dalam lingkungan islam) sebagai karya yang tidak berguna. Sejak
itu, di tanah air, seperti yang diakui Hamka dan Bachrum Rangkuti pada tahun abad ke-20,
kecenderungan melihat sastra dari sudut pandang fiqih yang formalistik menjadi dominan dan
merekapun menyesalkannya.
sastra islam itu adalah: sastra yang mempromosikan system kepercayaan dan ajaran islam
seperti persoalan tauhid, etika, dan tasawuf (Sufisme islam [ilmu tradisional islam yang
membahas agar bisa dekat sedekat mungkin dengan Tuhan]). Jenis sastra didominasi oelh apa
yang di kenal sastra sufistik yang mengungkap ajaran tasawuf dalam islam. Salah satu puisi
sufistik belakangan adalah puisi dari Jalauddin Rumi yang menggelorakan sikap penerimaan
atas perbedaan agama dan melihat sisi dalam/batin dari agama. Baginya, semakin agama dilihat
sisi luarnya, maka agama satu dengan yang lainnya semakin berbeda. Berkembangnya
corak/jenis sastra ini tentu saja sangat wajar, karena para sastrawan Muslim agaknya
mencontoh al-Qur’an sebagai kitab suci mereka. Salah satu yang tampak, bahkan paling
dominan sejak dari al-fatihah surat pertama yang menjadi inti al-Qur’an adalah kisah para Nabi.
Karena dalam islam, keimanan kepada para Nabi Allah tidak hanya terbatas kepada Nabi
Muhammad saja melainkan juga kepada nabi-nabi yang membawa agama sebelum Nabi
Muhammad,maka al-Qur’an mengisahkan terutama Nabi ulul azmi dalam bagian besarnya,
bahkan menjadi bagian terbesarnya. Dalam sastra Arab yang juga masuk kategori sastra islam
jenis/kategori ketiga ini adalah novel al-hatif min Andalus. Novel ini membahas kerajaan islam
kardova yang kini berada di provinsi Andalusia. Spanyol yang dulu saat dibawah islam menjadi
rumah bagi tiga agama (islam,Kristiani, dan nasrani). Sebagaimana dinasti Umayyah di
Spanyol dinasti abbasiyah juga menekankan penghormatan atas keragaman, karena antara lain
memiliki banyak perdana mentri dari kaum barmak yang beragam Budha atau para mentri yang
beragam Kristiani. Sastra islam dikategorikan pada lima jenis sastra Islam di atas lebih luas
daripada definisi dan jenis sastra islam yang dimunculkan Goenawan Mohamd. Ia
beragama sebagai pemecah masalah, termasuk pemecah masalah (solusi) untuk terbentuknya
keragaman sosial. Dalam bahasa lain, sastra sufistik ini merupakan sastra yang
yakni tuhan sajalah yang Ada dan yang lain-Nya secara hakiki tidak ada. Selain disebut sastra
sufistik, sastra suluk dan sastra transendental, di Indonesia, sastra islam juga dikenal dengan
istilah sastra profektif. Sastra profektif adalah sastra yang dibentuk berdasarkan atau untuk
tujuan mengungkapkan prinsip-prinsip (ajaran) kenabian atau wahyu, sebagai ilmu illuminasi
(limpahan) dari Tuhan, seperti juga ilmu yang didapat dari jalan sufistik (ma’rifah). Secara isi,
sebutan sastra profektif itu lebih tepat, jika pengertian sastra islam secara sebagaimana lima
jenis yang telah disebutkan di atas. Sebagai sastra islam tentu saja bisa didekati lewat
pendekatan formasilsme, sebuah pendekatan yang indah sebagai media. Sastra silam dalam hal
ini adalah tindak bahasa atau kata yang ukurannya adalah seberapa indah bahasa/kata yang
digunakan. Kenyatan ini tentu saja bisa dipahami, karena al-Qur’an adalah kitab suci yang
kekuatan bahasanya terdapat dalam ayat-ayatnya yang menggunakan bentuk bahasa yang
indah.
Sebagai sastra imaginative/kreatif/fiksi, sastra islam juga bukanlah sastra dokumenter sebagai
mimesis (tiruan) murni aats realitas, meskipuan dalam sastra realisnya, sebagaimana umumnya
sastra realis, mendekati sastra dokumenter juga, tapi sebagai sastra bukan karya dokumenter.
Karena itu sastra islam penuh dengan cerita imaginative yang dalam memahaminya akan
menjadi problem, jika lewat pemahaman terhadap makna pertama (denotatif)-nya semata
bukan lewat makna kedua (konotatif). Inilah yang dialami syeikh Nuruddin ar-raniri (w.
1069H/1658 M) di atas, terutama atas pandangan Hamzah Fansuri dalam karya sastra-
sastranya. Di antara alas an sastra islam juga penuh dengan cerita imaginatif (khayalan) adalah,
karena sebagaimana pendapat Muhammad Khalafullah (1916- 1977 M) dan A. Hanif al-Qur’an
sebagai rujukan sastra islam saja memuat bukan hanya kisah historis yang real seperti kisah
nabi-nabi sebelum islam. Namun juga memuat prosa fiksi perumpamaan danmitos sebagai
cerita simbolik. Paling tidak (tepatnya)dalam pengertian, tidak semua cerita al-Qur’an bisa di
temukan faktanya oleh manusia. Dan, dan bagi kedua tokoh tersebut, itu memang tidak perlu
dicari faktanya. Baik prosa fiksi perumpamaan maupun mitos, memiliki makna ganda dan
harus dipahami dengan makna konotatifnya lewat proses takwil (hermeneutika). Cerita fiksi
al-Qur’an itu hanyalah untuk memenuhi kebutuhan manusia, agar mudah menangkap
pesan0pesan al-Qur’an. Yang di pentingkan bukan pada ceritanya itu sendiri, melainkan
pelajaran di baliknya, karena al-Qur’an adalah kitab petunjuk (dakwah). Sebagaimana yang
dikatakan az-Zamkhsyari bahwa meski al-Qur’an firman Allah, al-Qur’an di turunkan kepada
manusia dengan dan atas dasar kebiasaan da cara-cara manusia berbicara (berkomunikasi).
Karena manusia bisa menyampaikan pikirannya berdasarkan realitas yang dialami dan kisah
perumpamaaan yang tidak terjadi, maka al-Qur’an pun menggunakannya. Sebagai sastra
imaginatif/fiksi, sastra islam juga bukanlah sastra sastra yang anti terhadap kisah percintaan,
sebagaimana pandangan sebagian ulama saat menolak tindakan Hamka (H Abdul Malik Karim
Amrullah [lahir 1908] ketika menerbitkan novel-novelnya di asia. Argument bahsa sastra islam
tidak menganggap buruk kisah percintaan adalah karena dalam al-Qur’an sendiri terdapat kisah
percintaan yusuf dalam satu surat pwnuh, yaitu QS. 12 yang jumlah ayatnya sebanyak 111,
yang sudah di jelaskan di atas. Secara kebahasaan, sastra islam juga bukan hanya sastra Arab
saja, karena islam melewati batas-batas kebahasaan. Sastra islam, karenanya bukan saja sastra
Timur seperti Arab, Persia, Turki, Urdu, Indonesia (melayu), melainkan juga sastra Barat.
Sastra Islam bukan berati lawan dari sastra Barat, Karena dalam sastra Barat juga terdapat
sastra islam. Misalnya sebagain karya Goethe (lahir 1749) yang menjelaskan kepercayaannya
pada keesaan Tuhan, keagungan al-Qur’an dan kenabian Muhammad. Lagi pula yang di tolak
dari Barat adalah sisi-sisi tertentu seperti atheism dan materialism sebagai bentuk paganisme
baru yang ditolak pengusung sastra islam antara lain adalah berhentinya realisme Barat pada
realitas buruk yang disampaikan apa adanya, dengan tidak melakukan pemihak sama sekali.
Pada sebagaina sastra islam bahkan terdapat kecenderungan untuk memilih realitas buruk
seperti pelacuran. Tujuannya agar pembaca tidak dipengaruhi realitas buruk yang diungkapkan.
Tentu saja catatannya adalah konsep sastra islam yang disebut terakhir itu bisa dianggap
problem, karena itu bukan realisme yang sesungguhnya. Model sastra itu juga bisa membuat
para tokoh dalam sastra menjadi kehilangan “kelamin”. Akibatnya, realitas yang disampaikan
menjadi benar-benar telah banyak teredukasi. Lagipula konsepsi sastra islam seperti itu
bertentangan dengan model sastra islam dalam surat yusuf di atas. Yang penting keburukan
yang disampaikan tidak bersifat vulgar yang di teriakkan. Seperlunya saja untuk kepentingan
logika cerita. Ini sebagaimana penceritaaan mengenai seksualitas yang harus tidak di teriakkan,
meskipun sekualitas sendiri dalam Islam adalah sesuatu yang di halalkan, jika dilakukan oleh
suami dan istri yang sah secara agama, sebagaimana telah di ungkap di atas. Dilihat dari
perspektif genre, sastra islam bukan sebuah genre tersendiri, karena para sastrawan islam
menulis dalam sebuah genre. Dari modal pusisi qashidah tradisional (satu baitnya terdiri dari
dua baris yang sejajar) ruba’i (empat baris yang tersusun kebawah), gabungan keduanya
(muwasyasyahat) novel, cerpen, dan juga drama (teks film). Wawllah a’lam bis-shawab.