Anda di halaman 1dari 17

TUGAS ARTIKEL PRA-UAS

Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag

Disusun oleh:
Jahrotul muniroh
11200240000034

PROGRAM STUDI TARJAMAH


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021/2022

Islamisasi dan Integrasi Ilmu Studi Kasus UIN Jakarta


A. Islamisasi dan Integrasi Ilmu: sebuah perdebatan Wacana

Realitas ilmu di Barat pada masa moderennya mengalami dikhotomi, dalam arti pembagian

atas dua kategori/tipologi yang saling berlawanan da terpisah, yaitu ilmu modern yang

empiris/rasional dan ilmu agama. Bahkan dalam ilmu modern di Barat juga terdapat ilmu

hiraki, dimana ilmu yang dianggap paling bisa diandalkan adalah ilmu yang berbasis

empirisisme. Karena keunggula ilmu empiris yang melahirkan teknologi yang kini oleh

sebagian oarng dianggap sebagai mesiah. Meski begitu, kini (belakangan) di Barat terjadi

koeksitensi tiga ilmu yang ada:ilmu empiris, ilmu rasional, dan ilmu illumitatif, meski yang

terakhir hanya diterima sebagian kecil ahli saja. Dalam trealitas ilmu sepanjang sejarah islam

klasik dan pertengahannya, Islam tidak mendikhotomikan kerja di atas, dimana ketiganya

berjalan seiring tidak meminggirkan Tuhan dan agama. Di negara-negara muslim pun

berkembang gagasan Islamisasi sains sebagai upaya untuk mengintegrasikan sains Barat

modern dengan islam, sebuah usaha menolak sisi sekularisme dalam sains modern Bara.

Generasi muda Muslim pum pada masa modern tumbuh menjadi kepribadian yang terpecah

(terbelah), tidak utuh, yaitu kepribadiannya sebagai Muslim yang agamis di satu sis, dan

sebagai seseorang modern yang berbasis ilmu pengetahuan modern yang sekular di sisi lain.

Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan juga muncul syed naquib Al-Attas, ia pun bersama al-

Faruqi disebut banyak ahli sebagai penggagas ‘proyek’ Islamisasi ilmu. Al-Attas bergerak

dengan dukungan kelembagaan International Institute of Islamic Thought and Civilization

(ISTAC) yang di dirikannya di Malaysia. Namun ada perbedaan diantara dua tokoh itu, dalam

islamisasi ilmu, menurut al-attas harus dilakukan dengan dua langkah:

mengasingkan/mengeluarkan (dalam bahasa tasawuf takhalil [melepaskan]) unsur-

unsur/konsep-konsep utama Barat yang tidak sejalan dengan islam dan

memasukan/memperkaya (dalam bahasa tasawuf tahalil [menghias]) ilmu modern itu dengan

unsur-unsur dan konsep-konsep islam yang utama). Dalam khazanah pemikiran modern islam,
pandangan al-Attas dan al-Faruq itu di tolak oleh sebagian ahli muslim diantaranya Abdus

Salam, ilmuan Muskim pertama yang mendapatkan hadiah Nobel. Dia adalah ahli nuklir yang

menganut universitas sains. Yang diperlukan umat islam bukanlah islamisasi sains, melainkan

saintifikasi umat islam, sisi kekurangannya. Baginya, sains modern Barat adalah warisan Griko

Islami (ilmu irang-orang yunani yang dikembangkan umat islam pada masa klasik dan

pertengahannya. Untuk itu, pembentukan lembaga dana islam untuk beasiswa menjadi tak

terelakan. Hal yang hamper sama disampaikan Sayid Ahmad Khan, tokoh muslim dari india.

Khan berpendapat bahwa tujuan sejati agama adalah meningkatkan moralitas, bukan pada

kesesuainnya sains. Karenanya, ajak Ahmad Khan, marilah kita mencapai kebenaran sains

dengan observasi-observasi dan eksperimentasi ilmiah. Bahkan sebagian para ahli sains alam

yang empiris dari perguruan tingi ternama di Indonesia tidak juga mau disebut sains empiris

sebagai sains sekula, karena kata itu mengandung makna pajoratif sebagai anti agama. Pedahal,

yang dimaksud adalah makna kamus, sains yang di buka hasil dari elaborasi ayat-at=yat suci

al-Qur’an atau kitab suci lainnya, tetapi bersumber dari pengujian atas realitas alam dan soal

yang bersifat duniawi berdasarkan pertimbangan dunia, yaitu empiris dan rasional atau tidak.

Maka, teorientasi radikal ilmu pengetahuan hingga ke wilayah epistemologi dam penciptaan

world view-nya yang sesuai dengan nilai-nilai islam mendesak untuk dilakukan. Di Indonesia

yang belakangan menghangatkan perbedaan isu islamisasi sains adalah Mulyadhi Kartanegara

dengan argumentasi yang kuat dan meyakinkan. Ia menyebut bahwa dirinya merasa terpanggil

untuk menulis tema Islamisasi sains dalam buku berjudul: Menyibak Tirai Kejahila, pengantar

Epistiomologi Islam. Buku ini diterbitkan Mizan juni 2003. Alasannya, karena paparnya lebih

lanjut, di satu sisi telah terjadi sekularisasi sains dan di sisi lain sains yang memiliki dimensi

sekular yang memusuhi agama saat ini begitu menggelobal. Karenanya, tingkat ancamannya

terhadap agama islam akan lebih mantap. Islamisasi sains menurutnya, merupakan natularisasi

sains untuk meminimalkan dampak negatif sains sekuler terhadap system kepercayaan agama
dan dengan begitu agama menjadi terlindungi. Ketika sains melibatkan penjelasan, sains tidak

lagi netral atau objektif, dalam arti yang sebenar-benarnya. Sains dibentuk berdasarkan nilai-

nilai budaya, idiologis, dan agama yang dianut oleh pemikir dan saintisnya, sebagaimana juga

disampaikan al-Faruq dan al-Attas, penjelasan berbasis strukturalisme genetic tampak dalam

pemikiran Islamisasi sainsnya, seseorang ilmuan sama dengan sastrawan. Secara umum

konsepsi Islamisasi ilmu atau lebih tepatnya integrasi ilmu secara umum ada dua pola:

idealistik seperti kecenderungan dari Sardar dan Mulyadhi Kartanegara, dan pola pragmatis.

Pola ini tan tangannya sangat tinggi (sulit), karena pelakunya harus memiliki dua penguasaa

ilmu agama dan modern yang rasional dan empiri secara seimbang, tidak berat sebelah.

B. Integrasi Islam dan Ilmu: study Khusus di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1. Integrasi Islam dan Ilmu di UIN Jakarta: Telaah Konseptusi dan

Praktikal

Mengintegrasikan sains modern Barat dengan ilmu keislaman telah diupayakan di antaranya

oleh Dr. Satimah Wirjosandjojo saat Indonesia di bawah kolonial hindia Belanda. Dalam

konteks UIN Jakarta, berdasarkan perdebatan dan dokumen yang bisa ditemukan, salah satu

filosofi penting dibalik perubahan status IAIN menjadi UIN Jakarta pada tahun 2002 adalah,

sebagaimana tujuan awal didirikannya dulu, untuk mencairkan dikotomi antara ilmu-ilmu

empiris/rasional modern dengan ilmu-ilmu agama yang basis utamanya wahyu. Dalam upaya

integrasi dua jenis ilmu di UIN Jakarta, paradigm yang dibangun adalah tuhanlah yang menjadi

sebab alam, dimana sisi ini hialng di tangan Newton yang menekankan sebab terdekat

sebagaimana telah diungkap di atas. Para tokoh melakukan upaya perubahan IAIN mejadi UIN

tidak khawatir dengan akan terjadinya marginalisasi ilmu keislaman yang ada sebelumnya,

seperti kritik yang dilontarkan pada tahun sekitar 2002-an. Alasannya, marginalisasi akan lahir,

jika semua fakultas agama yang ada digabung seperti yang terjadi di universitas lain. Sementara
di UIN Jakarta, fakultas tradisional tidak dilikuidasi, melainkan di perkaya ilmu modern baru

dengan ditambah prodi-prodi (program studi)-nya. Nama fakultasnya pun aka ditambah

nomenklatur tertentu. Misalnya fakultas ‘fakultas Syariah dan Hukum’. Nama fakultas Adab

nomenklaturnya ditambah menjadi fakultas Adab dan Humaniora. Dalam bahasa prof.

Komaruddin Hidayat, dengan menjadi uin, peta keilmuan dan keislaman di UIN Jakarta

dimaksudkan biar lebih sempurna. Alumni UIN Jakarta diharapkan kelak memiliki penguasaan

ilmju pengetahuan modern, sekaligus tetap mempertahankan nilai-nilai etika islam dan juga

sebaliknya. Dengan diberikannya mata kuliah Ilmu sosial dasar dan ilmu alamiah dasar yang

empiris, diharapkan seluruh mahasiswa IAN yang belajar Ilmu keagamaan kala itu harus

mampu mengkontekstualisasi islam yang dipelajarinya dengan konteks ilmu sosial modern dan

konteks ilmu alam. Mahasiswa IAIN pada tahun 1990-an dan juga 1980 diajarkan juga mata

kuliah bahasa Inggris I dan II dan Bahasa Indonesia. Dengan diberikannya mata kuliah ini

diharapkan seluruh mahasiswa IAIN yang belajar ilmu keagamaan kala itu mampu minimal

membaca literatur keislaman yang ditulis oleh sarjaan Barat yang unggul secara metedologi,

terutama empirisisme dan rasionalisme. Mereka juga diharapkan mampu menyampaikan

gagasan keislaman secara baik dalam bahasa Indonesia, bahkan juga dalam abahsa Arab dan

Inggris, baik secara tulis maupun lisan. Selain integrasi ilmu yang dilakukan dengan

pembetulan kurikulum dan penulis buku/riset, integrasi ilmu kemoderanan dengan Islam juga

dilakukan oleh akademis UIN Jakarta lewat penerjemahan buku yang menjadi rujukan umum

dan perkuliahan. Mahasiswa di UIN Jakarta hingga saat ini diajak untuk menjadi bagian dari

intelektual/akademis dunia, dimana karya tulis dari mulai skripsi, tesis, hingga disetasi yang

dibuat mahasiswa UIN Jakarta harus memberi kontribusi bagi dunia akademik dan global.

Selain yang telah dijelaskan di atas integrasi ilmu dan Islam juga bisa di lihat dari moto UIN

saat ini, yaitu: knowledge, piety, integrity. Moto ini menjadi moto UIN Jakarta sejak lembaga

ini dipimpin oleh Prof. Komaruddin Hidayat (2006-2014). Moto itu sejalan dengan pernyataan
Einstein di aats dan sebuah perubaha pradigma yang awalnya UIN Jakarta lebih sebagai

lembaga ilmiah yang lebih menampakkan sebagai institut dakwah, penjaga gawang keimanan,

kini UIN Jakarta juga sebagai institut ilmiah yang komitmennya juga pada ilmu, tetapi dengan

tetap dibimbing wahyu. Di pasca sarjana UIN Jakarta kini dibangun di atas pendekatan intra

dari interdisipliner, bahkan multidispiner, yang itu bisa dilihat dari kurikulum, terutama nama

dan substansi matakuliah yang menampakkan integrasi ilmu, kebijakan komponen riset dalam

kurikulum seperti adanya (Work in Progres) minimal tiga kali, aturan penulisan thesis/disertasi,

terutama body-nya yang pada bab II dan bab inti yang harus memperdebatkan teori/ kajian

akademik maan yang ditolak dan didukung dalam tema yang sama.

2. Integrasi Ilmu Setengah Hati

integrasi ilmu dalam batas-batas tertentu telah dilakukan sejak masa pra UIN. Salah satu

penyebabnya adalah model penerimaan mahasiswa yang diserahkan pada pasar. Kala itu, tidak

ada kebijakan konfirmasi untuk terus mendukung keterampilan ilmu keislaman secara konstan

oelh peminat, bahkan kalau dimungkinkan bisa berkembang. Saat diserahkan pada pasar, maka

pasar akan dating. Dan itu berati yang akan memperoleh mahasiswa terbesar adalah prodi

ilmu0ilmu kemodernnan non keagamaan, terutama ilmu semisal ekonomi, sastra inggris,

komunikasi, kedokteran, dan hubungan internasional sebagai prodi dengan peminat yang

membeludak. Sebab itu, mulai tahun ajaran 20212, UIN Jakarta menhgeluarkan kebijakan

memberikan banyak beasiswa untuk ilmu sepi peminat.

Islam, Ilmu bahasa, dan Sastra Modern

Dalam konteks keislaman, sebagaimana nanti akan di uraikan, agaknya ilmu modern, bahkan

juga ilmu sastra modern, merupakan ilmu modern yang tidak ditemukan (tidak banyak

ditemukan) sisi perbedaanya dengan ilmu dalam islam. Dalam sub islam da ilmu bahasa dalam
bab ini hanya akan fokus membahas islam relasinya dengan teori (kerangka gagasan mengenai

bahasa).

A. Sekilas Linguistik Islam dan Barat Modern

Linguistik atau ilmu bahasa adalah ilmu yang membahas bahasa, baik intriksikalitasnya

maupun ekstrinskalitasnya. Intriksikalitasnya bahasa adalah sisi internal bahasa sebagai entitas

yang berdiri sendiri (dakliyyah al-lughah). Sedangkan ekstrinsikalitas bahasa adalah sisi

eksternal bahasa (khariyyah al-lughah).

Ilmu bahasa merupakan ilmu yang paling cepat mapan bersama ilmu fiqih (hukum islam),

karena liuas wilayah kekuasaan umat islam yang tidak ada preseden sebelumnya. Yaitu sejak

abad ke-7 dari Pakistan di Timur hingga Maroko di Barat, dan Syria dan belangka Asia tengah

di utara hingga Yaman di Selatan. Untuk memudahkan pembelajaran atas bahasa Arab agar

komunikasi bisa bisa berjalan baik bahkan juga untukkepentingan ilmiah, maka ilmu bahasa

menjadi diperlukan yang bersifat mendesak. Penggunaan hukum dan bahasa untuk mengatur

luasnya wilayah itu sebagaimana telah diterapkan dinasti-dinasti sebelum islam sejak masa

peradaban Babilonia

(lihat buku-buku sejarah dunia).

Sedangkan kajian bahasa dalam struktur kalimat banyak dibahas dalam ilmu nahwu (sintaksis

Arab). Ilmu yang membahas sampainya maksud hati (fikiran) yang ingin diungkapkan kepada

lawan dialog, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa yang benar, jelas, berpengarus

terhadap rasa atau fikiran audiens lewat diksinya yang tepat, dan juga cocok dengan situasi dan

kondisi audiens. Sedangkan wacana (bangunan/keseluruhan teks beserta konteks teks dan

konteks sosial budaya /politik yang mengitarinya). Dalam linguistic Arab (ilmu-ilmu islam)

dibahas dalam ilmu tafsir, ilmu hadis, dan juga ushul fiqh (metedologi penetapan hukum islam).
Dalam perspektif ilmu-ilmu ini, suatu ayat atau teks Al-Qur’an tidak dilihat sebagai ayat atau

teks yang berdiri sendiri. Ia tidak bermakna hanya karena dirinya sendiri saja. Semua teks Al-

Qur’an sebagai sebuah teks yang koherens, sebagai satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan.

Karenanya, penafsiran terhadap ayat atau suatu teks Al-Qur’an yang benar harus dilakukan

dengan menafsirkannya dengan ayat lainnya. Dengan begitu Al-Qur’an dibiarkan bicara sendiri

mengenai suatu tema yang dicari. Dalam ilmu bahasa modern, teori yang melihat teks sebagai

satu kesatuan yang dicari. Dalam ilmu bahasa modern, teori yang melihat teks sebagai satu

kesatuan yang koherens dikenal dengan teori strukturalisme, sebagaimana nanti akan di

jelaskan. Ushul fiqh dikenal juga kaidah mengenai kemungkinan berubahnya hukum yang

terdapat dalam teks wahyukarena perubahan situasi/kondisi ruang dan waktu (konteks sosial

budaya /politik). Kasus Umar bin Khattab yang tidak menerapkan hukum poting tangan saat

pecelik diatas bisa menjadi bukti. Tentu saja kaidah itu bisa dipahami karena dalam islam

kemasalahatan menjadi pertimbangan utama, maka kedaruratan disepakati bisa membolehkan

hal yang dilarang oleh teks wahyu sekalipun. Soal ini telah diungkap sebagaian di ba islam dan

ilmu Komunikasi Modern dan juga bab hukum islam.

B. Islam da teori linguistik modern

1. Teori Linguistik Modern Barat

Ada banyak teori bahasa yang dikenal dalam ilmu bahasa/linguistic modern.

1. Bahasa tidak harus dilihat dalam hubungannya dengan fungis tujuan

atau tujuan-tujuan lain di luar dirinya. Kajian bahasa dari lingkungan

ilmu-ilmu lain seperti psikologi, sejarah, filsafat, atau ilmu kebudayaan

lain. Teori historistisas bahasa yang mengkaji perubahan bahasa

sepanjang masa, baik fonologi, morfologi, sintaksis, dan system

sintaktikalnya. Bahasa karenanya tidak bisa berdiri sendiri sebagaisat


bangunan yang independen atau koherens sendiri. Seputar pengetahuan

dengan penggunaanya dengan memahami bentuk-bentuk kalimat yang

lahir karena danya kompetensi dan performance. Kompotensi adalah

kemampuan seseorang dalam mengungkapkan perasaan dan fikiran

kepada lawan biacra/audiensnya. Dimana lawan bicara/audiensnya bisa

memahami. Kompetensi kebahasaa seseorang ini terkait juga dengan

intuisi, yang tampak antara lain dalam bahasa dan sastra. Kompetensi

ini merupakan struktur dalam bahasa, meski kadang tidak

mencerminkan seluruh ide/gagasan. Sedangkan performance adalah

penggunaan real atau perwujudan bebahasa dalam berragam situasi,

yang disebutnya juga sebagai struktur bahasa yang tampak kasat kesat

mata. Antar keduanya bisa ada kesenjangan, dimana performance

berbahasa seseorang bisa lebih buruk ketimbang kompotensinya.

Bentuk-bentuk bahasa/kalimat yang maknanya tidak bernas/jernih

bagian dari bukti kesenjangan antar kompotensi dan performance.

Semantic sintaktikal menekankan bahwa makna leksikal ditentukan

kata dan atau kalimat sebelum dan sesudahnya. Teori ini menyarankan

pengkajian bahasa dengna melihat konteks kata dan kalimat di

sekitarnya. Makna suatu kata ditentukan oleh susunan kata yang dikaji

dengan kata lainnya dalam sebuah susunan kalimat, bahkan hubungan

antar kalimat. Secara konteks bahasa, makna sebuah bahasa harus

dilihat dari sisi konteks leksikal, termasuk di dalamnya makna cita rasa

(konotasinya), makna hubungan antar kata yang membuat kalimat dan

hubungan antar paragraf. Dalam studi semantik studi atas makna sebuah

kata atau leksem disebut dengan jenis semantic leksikal. Studi ini
melahirka banyak kajian makna, dari mulai perbedaan makna dengna

informasi dan maksdu, teori penanaman dan pendefinisian, jenis-jenis

makna (leksikal, dan gramatkal denotatif dan konotatif, makna kata dan

istilah, makna konsep dan asosiatif, makna ideomatikal, dan makna

kias), relasi makna ( sinonimi, antonimi, homonimi, hiponimi, dan

polisimi), medan makna, perunahan makna sebuah kata karena

penambahan imbuhan/perubahan bentuk disebut dengan jenis semantik

morfologikal. Studi atas hubungan makna antar kata yang membuat

kalimat dan hubungan antar kalimat, terutama dalam kalimat majemuk

disebut jenis semantik sintaktikal. Dan studi hubungan antara paragraf

yang melahirkan wacana (tentang apa yang dikatakana teks [bukam apa

yang dikatakan tkes]) disebut jenis semantik wacana. Sedangkan studi

makna atas penggunaan teks bahasa ujuran sesuai dengan konteks

situasi saat bahasa itu diujarkan disebut jenis semantik

pragramatik/maksud. Teori kontekstual sosial budaya, dibahas terutama

dalam kajian sosiologi bahasa (sosiolinguistik), antara lain lewat teori

tindakan dari Max Weber (1864-1920). Menurutnya, struktur sosial

adalah produk tindakan, produk dari pilihan yang dimotivasi.

Bagaimanapun tindakan manusia sebagai masyarakat, termasuk di

dalamnya tindakan bahasanya, merupakan tindakan mental. Bagi umat

protestan, berdasarkan teks-teks agamanya, tuhan hanya memberi

peluang kepada hamba-Nya yang mau bekerja keras. Bekerja dalam

protestanisme sebagai mentalistik seperti yang tertera dalam teks

keagamaannya merupakan sebuah tugas suci. Bekerja karenanya

sebagai panggilan tuhan yang berada di belakang tindakan bekerja.


Bekerja juga merupakan persyaratan untuk mencapai keselamatan.

Oarng yang tidak mau bekerja dianggap sebagai orang yang melanggar

aturan/teks agama. Mangingkarinya, dan melanggar peruntah tuhan.

Dalam teks-teks agama ini Karena seseorang tidak mengetahui

takdirnya,maka tugas manusia mecari takdir yang terbaik untuk dirinya.

Selain itu, teks-teks keagamaan Calvisnime yang dibawa John Calvin

(1509-1564) yang berada di balik kapitalisme juga mengibarkan

semangat belajar. Juga mengizinkan pengambilan bunga uang. Sesuatu

yang dikutuk oleh moralitas katolik sebelumnya. Bunga yang

dihalalkan dalam reinterpretasi teks keagamaan Calvinisme inilah salah

satu factor penting di balik berkembangnya kapitalisme di Barat.

Berdasarkan penjelasan atas kapitalisme itu, tindakan bahasa seseorang

atau kelompok sosial tertentu harus diteliti/dibaca sebagaimana tindak

kapitalisme. Dengan metode vesthen. Dengan cara ini, di belakangnya

aka nada banyak mentalisme seperti mentalisme agama protestan di

balik kapitalisme yang berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara

sebagai negara-negara maju. Salah satu teori bahasa yang juga bisa

dikemukakan di sub ini adalah teori bahasa bandingan. Meminjam teori

banding Eropa, kajian bahasa banding adalah kajian keterpengaruhan

suatu bahasa oleh bahasa nasional tertentu. Meski begitu, definisi kajian

bahasa banding yang dikenal adalah kajian bahasa yang masuk dalam

satu geneologi atau rumpuan/keluarga bahasa tertentu. Misalnya kajian

bahasa arab dengan rumpuan bahasa semintik lainnya seperti ibrani dan

suryani. Atau kajian bahasa yang yang masuk kategori

rumpuan/keluarga bahasa eropa seperti bahasa latin dengan yunani da


romawi. Atau kajian eropa-indo antara bahasa india, iran, dan bahasa

eropa sebagaimana yang dilakukan William Jones pada tahun 1786.

Menurutnya bahasa sanskerta ada kemiripan dengan bahasa yunani dan

latin dan keserupaan itu tidak mungkin sebagai suatu keberulan belaka.

Kajiannya bisa saja di tingkat kata (leksem), morfologi, maupun

sintaksis.

2.Teori linguistik modern dalam Perspektif Islam

Sebagai perbandingan dalam tradisi arab/islam, kajian bahasa yang mainstrim adalah kajian

struktualis sebagaimana disarankan De Sauusure yang berbasis interanguistik yang mandiri

dari ilmu lain. Di pesantren-pesantren di Indonesia sekalipun. Bahasapun dalam tradisi

kelembagaan ilmiah/pendidikan Arab/Islam lebih dipandang sebagai kajian mandiri dan

koherens. Bahasa yang runut da logis, menunjukan penutur atau penulisnya mempunyai fikiran

yang baik. Demikian sebaliknya. Kemampuan berbahasa yang buruk, meski tidak selalu,

menunjukan kemampuan piker yang tidak baik. Kebudayaan dalam arti sempit yaitu pola fikir

dan pola rasa seseorang atau kelompok sosial tertentu, karenanya, bisa juga dilihat dari ucapan

atau tulisannya juga. Demikian juga kesebandingan teori bahasa dalam islam dengan

hermeneuetik da semmiotika, sebagaimana telah diungkap di bab islam dan ilmu komunikasi

sebelum bab ini. Terakhir tradisi bahasa banding dalam ilmu bahasa modern juga sudah

dilakukan ilmuan Muslim lebih awal, yaitu oleh Ibn Hazm (w 406 H) sekitar abad ke-11 M. ia

telah mengkaji hubungan bahasa arab dengan suryani da ibrani. Sebelumnya ada Abu Ubaid

al-Qasim bin Salam (w 224 H) yang mengkaji keterpengaruhan bahasa Arab oleh bahasa

Suryani.

2. Kesesuaian Islam da Sastra: Analisis Konseptual


Dalam pengertian di atas, secara umum,dalam khazanah pemikiran islam terdapat dua kalangan

yang melihat islam dan sastra: kalangan yang memnadang bahwa islam menolak sastra dan

kalangan yang memandang sebaliknya, Islam dan sastra berkesesuaian. Di Indonesia ulama

pertama yang menoloka sastra tampaknya adalah Syeikh Nuruddin ar-Raniri (w 1069H/1658

M), seorang ulama fiqih india yang diangkat menjadi ulama Istana (mufti) Kerajaan aceh darus

salam pada abad ke-17, tepatnya pada masa sultan Iskandar II (1636-1641 M). ia melihat karya

sastra seperti sri ram (sastra terjemahan Ramayana ) dan hikayat indra putra (bentuk sastra

yang telah diadaptaasi ke dalam lingkungan islam) sebagai karya yang tidak berguna. Sejak

itu, di tanah air, seperti yang diakui Hamka dan Bachrum Rangkuti pada tahun abad ke-20,

kecenderungan melihat sastra dari sudut pandang fiqih yang formalistik menjadi dominan dan

merekapun menyesalkannya.

3. Sastra Islam: Jenis-Jenis dan Karakter lainnya

a. Jenis dan peristilahan Sastra Islam

sastra islam itu adalah: sastra yang mempromosikan system kepercayaan dan ajaran islam

seperti persoalan tauhid, etika, dan tasawuf (Sufisme islam [ilmu tradisional islam yang

membahas agar bisa dekat sedekat mungkin dengan Tuhan]). Jenis sastra didominasi oelh apa

yang di kenal sastra sufistik yang mengungkap ajaran tasawuf dalam islam. Salah satu puisi

sufistik belakangan adalah puisi dari Jalauddin Rumi yang menggelorakan sikap penerimaan

atas perbedaan agama dan melihat sisi dalam/batin dari agama. Baginya, semakin agama dilihat

sisi luarnya, maka agama satu dengan yang lainnya semakin berbeda. Berkembangnya

corak/jenis sastra ini tentu saja sangat wajar, karena para sastrawan Muslim agaknya

mencontoh al-Qur’an sebagai kitab suci mereka. Salah satu yang tampak, bahkan paling

dominan sejak dari al-fatihah surat pertama yang menjadi inti al-Qur’an adalah kisah para Nabi.

Karena dalam islam, keimanan kepada para Nabi Allah tidak hanya terbatas kepada Nabi
Muhammad saja melainkan juga kepada nabi-nabi yang membawa agama sebelum Nabi

Muhammad,maka al-Qur’an mengisahkan terutama Nabi ulul azmi dalam bagian besarnya,

bahkan menjadi bagian terbesarnya. Dalam sastra Arab yang juga masuk kategori sastra islam

jenis/kategori ketiga ini adalah novel al-hatif min Andalus. Novel ini membahas kerajaan islam

kardova yang kini berada di provinsi Andalusia. Spanyol yang dulu saat dibawah islam menjadi

rumah bagi tiga agama (islam,Kristiani, dan nasrani). Sebagaimana dinasti Umayyah di

Spanyol dinasti abbasiyah juga menekankan penghormatan atas keragaman, karena antara lain

memiliki banyak perdana mentri dari kaum barmak yang beragam Budha atau para mentri yang

beragam Kristiani. Sastra islam dikategorikan pada lima jenis sastra Islam di atas lebih luas

daripada definisi dan jenis sastra islam yang dimunculkan Goenawan Mohamd. Ia

mendefinidsikan sastra keagamaan sebagai karya sastra yang menitikberatkan kehidupan

beragama sebagai pemecah masalah, termasuk pemecah masalah (solusi) untuk terbentuknya

keragaman sosial. Dalam bahasa lain, sastra sufistik ini merupakan sastra yang

mengekspresikan pengalaman estetik transcendental yang berhubungan erat dengan tauhid,

yakni tuhan sajalah yang Ada dan yang lain-Nya secara hakiki tidak ada. Selain disebut sastra

sufistik, sastra suluk dan sastra transendental, di Indonesia, sastra islam juga dikenal dengan

istilah sastra profektif. Sastra profektif adalah sastra yang dibentuk berdasarkan atau untuk

tujuan mengungkapkan prinsip-prinsip (ajaran) kenabian atau wahyu, sebagai ilmu illuminasi

(limpahan) dari Tuhan, seperti juga ilmu yang didapat dari jalan sufistik (ma’rifah). Secara isi,

sebutan sastra profektif itu lebih tepat, jika pengertian sastra islam secara sebagaimana lima

jenis yang telah disebutkan di atas. Sebagai sastra islam tentu saja bisa didekati lewat

pendekatan formasilsme, sebuah pendekatan yang indah sebagai media. Sastra silam dalam hal

ini adalah tindak bahasa atau kata yang ukurannya adalah seberapa indah bahasa/kata yang

digunakan. Kenyatan ini tentu saja bisa dipahami, karena al-Qur’an adalah kitab suci yang
kekuatan bahasanya terdapat dalam ayat-ayatnya yang menggunakan bentuk bahasa yang

indah.

b. Imaginasi dan Pencitraan dalam Sastra Islam

Sebagai sastra imaginative/kreatif/fiksi, sastra islam juga bukanlah sastra dokumenter sebagai

mimesis (tiruan) murni aats realitas, meskipuan dalam sastra realisnya, sebagaimana umumnya

sastra realis, mendekati sastra dokumenter juga, tapi sebagai sastra bukan karya dokumenter.

Karena itu sastra islam penuh dengan cerita imaginative yang dalam memahaminya akan

menjadi problem, jika lewat pemahaman terhadap makna pertama (denotatif)-nya semata

bukan lewat makna kedua (konotatif). Inilah yang dialami syeikh Nuruddin ar-raniri (w.

1069H/1658 M) di atas, terutama atas pandangan Hamzah Fansuri dalam karya sastra-

sastranya. Di antara alas an sastra islam juga penuh dengan cerita imaginatif (khayalan) adalah,

karena sebagaimana pendapat Muhammad Khalafullah (1916- 1977 M) dan A. Hanif al-Qur’an

sebagai rujukan sastra islam saja memuat bukan hanya kisah historis yang real seperti kisah

nabi-nabi sebelum islam. Namun juga memuat prosa fiksi perumpamaan danmitos sebagai

cerita simbolik. Paling tidak (tepatnya)dalam pengertian, tidak semua cerita al-Qur’an bisa di

temukan faktanya oleh manusia. Dan, dan bagi kedua tokoh tersebut, itu memang tidak perlu

dicari faktanya. Baik prosa fiksi perumpamaan maupun mitos, memiliki makna ganda dan

harus dipahami dengan makna konotatifnya lewat proses takwil (hermeneutika). Cerita fiksi

al-Qur’an itu hanyalah untuk memenuhi kebutuhan manusia, agar mudah menangkap

pesan0pesan al-Qur’an. Yang di pentingkan bukan pada ceritanya itu sendiri, melainkan

pelajaran di baliknya, karena al-Qur’an adalah kitab petunjuk (dakwah). Sebagaimana yang

dikatakan az-Zamkhsyari bahwa meski al-Qur’an firman Allah, al-Qur’an di turunkan kepada

manusia dengan dan atas dasar kebiasaan da cara-cara manusia berbicara (berkomunikasi).

Karena manusia bisa menyampaikan pikirannya berdasarkan realitas yang dialami dan kisah

perumpamaaan yang tidak terjadi, maka al-Qur’an pun menggunakannya. Sebagai sastra
imaginatif/fiksi, sastra islam juga bukanlah sastra sastra yang anti terhadap kisah percintaan,

sebagaimana pandangan sebagian ulama saat menolak tindakan Hamka (H Abdul Malik Karim

Amrullah [lahir 1908] ketika menerbitkan novel-novelnya di asia. Argument bahsa sastra islam

tidak menganggap buruk kisah percintaan adalah karena dalam al-Qur’an sendiri terdapat kisah

percintaan yusuf dalam satu surat pwnuh, yaitu QS. 12 yang jumlah ayatnya sebanyak 111,

yang sudah di jelaskan di atas. Secara kebahasaan, sastra islam juga bukan hanya sastra Arab

saja, karena islam melewati batas-batas kebahasaan. Sastra islam, karenanya bukan saja sastra

Timur seperti Arab, Persia, Turki, Urdu, Indonesia (melayu), melainkan juga sastra Barat.

Sastra Islam bukan berati lawan dari sastra Barat, Karena dalam sastra Barat juga terdapat

sastra islam. Misalnya sebagain karya Goethe (lahir 1749) yang menjelaskan kepercayaannya

pada keesaan Tuhan, keagungan al-Qur’an dan kenabian Muhammad. Lagi pula yang di tolak

dari Barat adalah sisi-sisi tertentu seperti atheism dan materialism sebagai bentuk paganisme

baru yang ditolak pengusung sastra islam antara lain adalah berhentinya realisme Barat pada

realitas buruk yang disampaikan apa adanya, dengan tidak melakukan pemihak sama sekali.

Pada sebagaina sastra islam bahkan terdapat kecenderungan untuk memilih realitas buruk

seperti pelacuran. Tujuannya agar pembaca tidak dipengaruhi realitas buruk yang diungkapkan.

Tentu saja catatannya adalah konsep sastra islam yang disebut terakhir itu bisa dianggap

problem, karena itu bukan realisme yang sesungguhnya. Model sastra itu juga bisa membuat

para tokoh dalam sastra menjadi kehilangan “kelamin”. Akibatnya, realitas yang disampaikan

menjadi benar-benar telah banyak teredukasi. Lagipula konsepsi sastra islam seperti itu

bertentangan dengan model sastra islam dalam surat yusuf di atas. Yang penting keburukan

yang disampaikan tidak bersifat vulgar yang di teriakkan. Seperlunya saja untuk kepentingan

logika cerita. Ini sebagaimana penceritaaan mengenai seksualitas yang harus tidak di teriakkan,

meskipun sekualitas sendiri dalam Islam adalah sesuatu yang di halalkan, jika dilakukan oleh

suami dan istri yang sah secara agama, sebagaimana telah di ungkap di atas. Dilihat dari
perspektif genre, sastra islam bukan sebuah genre tersendiri, karena para sastrawan islam

menulis dalam sebuah genre. Dari modal pusisi qashidah tradisional (satu baitnya terdiri dari

dua baris yang sejajar) ruba’i (empat baris yang tersusun kebawah), gabungan keduanya

(muwasyasyahat) novel, cerpen, dan juga drama (teks film). Wawllah a’lam bis-shawab.

Anda mungkin juga menyukai