Anda di halaman 1dari 64

Integrasi Ilmu: Konsep dan Metode

(Sebuah Kajian Kritis)

Oleh: Yongki Sutoyo1

Abstrak
Sampai hari ini, di dunia Islam, masih banyak kalangan yang
beranggapan bahwa agama dan ilmu pengetahuan adalah entitas yang
berbeda bahkan tidak bisa disatukan. Padahal secara konseptual ilmu
pengetahuan bagi ummat Islam bukan hal baru, melainkan bagian
paling penting dan asas dari peradabannya. Di tengah pergumulan
dikotomi agama dan ilmu pengetahuan yang diakibatkan dari pengaruh
sains Barat modern, muncul kesadaran akan keunggulan sistem ilmu
Islam atas sistem ilmu Barat. Dari kesadaran baru ini muncul beberapa
ahli yang menawarkan konsep pengetahuan alternatif yang digali dari
ajaran Islam. Konsep tersebut adalah integrasi ilmu. Meskipun dalam
perkembangannya konsep integrasi ilmu ini memiliki banyak corak dan
masih diperdebatkan, namun dalam dunia pendidikan konsep ini telah
diusahakan untuk dipakai dan diaplikasikan dalam aktivitas akademis.
Dalam tulisan ini akan dilacak akar konsep dan metode integrasi ilmu
yang dikembangkan di Indonesia, untuk kemudian akan diuji secara
kritis sejauh mana konsep dan metode integrasi tersebut mampu
menjawab persoalan dikotomi keilmuan.
Kata kunci: Integrasi Ilmu, Agama, Dikotomi, Konsep, Metode.

Pendahuluan

Kemunculan gagasan integrasi ilmu lahir dari fakta adanya dikotomi2 ilmu akibat
adanya sekularisasi3 di Barat. Di mana antara ilmu dan agama menjadi terpisah satu

1
Peserta Program Kaderisasi Ulama Universitas Darussalam Gontor Angkatan ke 10.
2
Secara bahasa dikotomi berasal dari bahasa Inggris yaitu “dichotomy” yang diserap ke
dalam bahasa Indonesia menjadi “dikotomi” yang arti harfiahnya dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan. Departemen Pedidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Gramedia,
2012) hal. 264. Sementara Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry mengartikan bahwa dikotomi
sebagai pembagian dalam dua bagian yang saling bertentangan. Lihat Pius A. Partanto dan M.
Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994) hal. 110.
3
Sekularisasi oleh Harvey Cox didefinisikan sebagai pembebasan manusia ‘pertama dari
kungkungan agama dan kemudian dari kungkungan metafisika yang mengatur akal dan bahasanya,

1
sama lain dan tidak ada keterkaitan antara keduanya. Maka berkembangalah ilmu
atau sains yang tidak punya kaitannya sama sekali dengan agama. Dalam konteks
dunia Islam, perceraian sains dari nilai-nilai agama memiliki dampak negatif.4
Salah satu dampak negatif tersebut adalah ilmu-ilmu Barat yang sekular akhirnya
menggantikan posisi ilmu-ilmu agama dalam kurikulum sekolah Islam.5

Selain karena adanya fakta dikotomi ilmu, gagasan integrasi ilmu


merupakan respon beberapa intelektual Muslim atas hegemoni paradigma6 sains
Barat modern.7 Terlebih setelah menyadari bahwa ilmu pengetahuan tidaklah netral
tapi sarat nilai.8 Ilmu pengetahuan yang berkembang pesat di Barat hingga saat ini
sesungguhnya dibangun di atas landasan filsafat, nilai-nilai dan kebudayaan khas

mengalihkan perhatiannya dari alam lain dan menuju ke alam ini dan masa ini.’ We have defined
secularization as the liberation of man from relegious and metaphysical tutelage, the turning of his
attention from other world and toward this one. Lihat Harvey Cox, The Secular City, (Princeton:
Princeton University Press, 2013) p. 25.
4
Dari aspek ontologis, sains melihat alam beserta hukum dan polanya, termasuk manusia
sendiri hanya sebagai wujud material yang eksis tanpa intervensi Tuhan. Dalam aspek
epistemologis, sains mengesampingkan teks wahyu sebagai sumber pengetahuan, sehingga tidak
sesuai dengan pandangan masyarakat muslim yang justru bersikap sebaliknya. Sedangkan aspek
aksiologis, Barat tidak mengaitkan pengembangan ilmu pengetahuan dengan tata nilai, moralitas,
spiritualitas dan religiusitas. Lihat Mulyadi Kartanegara, MengIslamkan Nalar: Sebuah Respon
Terhadap Modernitas, (Jakarta: Erlangga, 2007) bab 1 dan 3.
5
Telah banyak Universitas Islam yang didirikan. Namun, institusi-institusi tersebut
hanyalah Islam dalam namanya, sedangkan filsafat, isi dan tujuan pendidikannya sama sekali tidak
mencerminkan pandangan dunia Islam. Lihat Ismail Fajeri al-Attas, Sungai Tak Bermuara: Risalah
Konsep Ilmu dalam Islam, (Jakarta: Diwan Publishing, 2006) hal. 73.
6
Menurut Kuhn paradigma memiliki dua makna. Pertama, dalam sains normal, paradigma
adalah seperangkat model eksperimen yang bisa ditiru atau diulangi. Kedua, sebagai seperangkat
asumsi dasar sebelum melakukan penelitian atau pengumpulan bukti. Keduanya mewujud sebagai
asumsi dan unsur tersembunyi yang disebut quasi-metafisik. Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure
Of Scientific Revolutions, (Chicago: The University of Chicago Press, 1970) p. 43-51.
7
Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud bahkan menyatakan: lewat proyek globalisasinya,
terutama melalui konsep modernisasi dan pembangunan, demokrasi, kebebasan, dan Hak Asasi
Manusia, Barat telah memantapkan diri sebagai kebudayaan dan peradaban paling unggul dan
menghegemoni kebudayaan dan peradaban yang lain. Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Islamisasi
Ilmu-Ilmu Kontemporer dan Peran Universitas Islam dalam Konteks Dewesternisasi dan
Dekolonisasi, terj. Tim INSISTS, (Bogor: UIKA dan CASIS UTM, 2013) hal. 13-14.
8
Untuk penjelasan megenai masalah ini, silahkan rujuk Karl R. Popper, Logika Penemuan
Ilmiah, terj. Armstrong Sompotan dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008); Jurgen Habermas,
Knowledge and Human Interest, trans. Jeremy J. Shapiro, (Cambridge: Polity Press, 1968); F. Budi
Hadirman, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, (Yogyakarta: Kanisius,
1993); Mikhael Dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Penerbit Ledalero, 2009); A. Sonny
Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius,
2001)

2
Barat yang memiliki banyak pertentangan dengan Islam,9 sehingga sangat perlu
untuk diIslamkan dan dicarikan model alternatifnya.10

Dewasa ini, khususnya di Indonesia, wacana integrasi ilmu telah


didengungkan tidak hanya oleh intelektual dan akademisi Perguruan Tinggi Agama
Islam (PTAI) semacam Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ataupun UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang, namun juga oleh Perguruan Tinggi Umum (PTU) seperti
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Institut Teknologi Bandung (ITB)
ataupun Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya.11 Namun dalam
perkembangannya, wacana integrasi keilmuan yang dikembangkan di PTU maupun
PTAI, tampaknya masih berada pada tataran filosofis dan belum menyentuh ke
wilayah implementatif. Salah satu yang terabaikan dalam integrasi keilmuan ini
adalah menerjemahkannya ke dalam metode yang sistematik dalam penelitian
ataupun kegiatan pengembangan keilmuan.12 Kajian ini berusaha menelurusi ragam
konsep integrasi ilmu yang ditawarkan oleh PTAI maupun PTU dan metode apa
yang ditawarkan guna “membumikan” wacana integrasi keilmuan.

9
Misalnya Barat merumuskan pandangannya terhadap realitas dan kebenaran bukan
berdasarkan wahyu dan dasar-dasar keyakinan agama, tetapi berdasarkan pada tradisi kebudayaan
yang diperkuat oleh dasat-dasar filofis. Di mana daar-dasar filosofis ini yang berangkat dari
spekulasi (dugaan) yang berkaitan hanya dengan kehidupan sekular yang berpusat pada manusia
sebagai diri jasmani dan kekuatan rasional sebagai satu-satunya kekuatan yang akan menyingkap
seluruh rahasia alam dan hubungannya dengan eksistensi. Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas,
Islam dan Sekularisme, terj. Dr. Khalif Muammar, M.A dkk (Bandung: PIMPIN, 2010) hal. 171.
10
Beberapa intelektual Muslim yang mengusung gagasan model ilmu pengetahuan
alternatif tersebut antara lain: Syed Muhammad Naquib al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi, Seyyed
Hossein Nasr, Ziauddin Sardar, dan Mehdi Gholsani. Lihat Husni, “Model-Model Integrasi Ilmu
dalam Pemikiran Islam Kontemporer”, dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin Tajdid, Vol. 17, No. 1, Maret
2010 (Jambi: Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2010); Budi Handrianto,
Islamisasi Sains: Sebuah Upaya MengIslamkan Sains Barat Modern, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2010).
11
Abu Darda, “Integrasi Ilmu dan Agama: Perkembangan Konseptual di Indonesia”, dalam
Jurnal Kependidikan Islam At-Ta’dib Vol. 10, No. 1 Juni 2015 (Ponorogo: Fakultas Tarbiyah
Universitas Darussalam Gontor, 2015);
12
Nurlena Rifai, Fauzan, Wahdi Sayuti dan Bahrissalim, “Integrasi Keilmuan Dalam
Pengembangan Kurikulum Di Uin Se-Indonesia: Evaluasi Penerapan Integrasi Keilmuan Uin
Dalam Kurikulum Dan Proses Pembelajaran”, dalam Journal Of Education In Muslim Society
Tarbiya, Vol. 1, No. 1, Juni 2014 (Jakarta: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah, 2014) hal. 13.

3
Integrasi Ilmu: Tinjauan Etimologi dan Terminologi

Secara etiomologi, integrasi ilmu berasal dari dua kata yaitu integrasi dan ilmu.
Integrasi berasal dari bahasa Inggris integrate yang bermakna membuat
menyeluruh dengan menyatukan dan integration yang bermakna membuat utuh
dengan kombinasi.13 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata integral dan
integrasi merujuk pada keseluruhan, bulat, utuh, tidak terpisahkan dan sempurna.14
Sedangkan ilmu yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris science yang
berasal dari bahasa Latin scientia bermakna pengetahuan dan scire bermakna
mengetahui.15

Sedangkan secara terminologi integrasi bermakna pembauran hingga


menjadi sesuatu yang utuh, satu dan bulat16 dengan menggabungkan bagian atau
komponen dalam kerangka yang sistematis.17 Sementara ilmu bermakna
pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode
tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu dibidang
(pengetahuan) itu.18 Dari tinjuan etimologi dan terminologi yang tersebut di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa integrasi ilmu merupakan pemaduan antara ilmu-
ilmu19 yang terpisah menjadi satu kepaduan ilmu yang utuh dalam suatu kerangka
yang sistematis.

Ragam Konsep dan Metode Integrasi Ilmu

Untuk melihat integrasi keilmuan dalam ranah konsep dan metode, tentu saja sangat
bergantung kepada pemaknaan masing-masing tokoh dan institusi keilmuan (baik
PTAI maupun PTU) terhadap konsep integrasi tersebut. Apakah integrasi
merupakan perpaduan ilmu agama dan ilmu umum yang melebur menjadi satu ilmu

13
The New International Webster’s Comprehensive Dictionary of The English Language,
(Florida: Triden Press International, 1996) p. 660.
14
Departemen Pedidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 541
15
Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2005) hal. 307
16
Happy Elrais, Kamus Ilmiah Populer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) hal. 269
17
The New International Webster’s Comprehensive Dictionary, p. 660
18
Happy Elrais, Kamus Ilmiah Populer, hal. 259
19
Pemaduan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pemaduan antara ilmu-ilmu yang
bercorak agama dengan ilmu-ilmu yang bersifat umum.

4
yang tidak terpisahkan atau integrasi dimaknai sebagai Islamisasi ilmu pengetahuan
atau bahkan integrasi keilmuan dimaknai secara simbolik saja, yakni hanya dengan
membuka progam studi umum di bawah payung manajemen PTAI atau membuka
program studi Islam dibawah manajemen PTU tetapi antara ilmu umum dan ilmu
Islam keduanya berjalan dan diterapkan sendiri-sendiri. Di sini akan dibahas ragam
konsep integrasi ilmu.

A. Integrasi-Interkoneksi
Gagasan integrasi ilmu model integrasi-interkoneksi pertama kali dimunculkan
oleh M. Amin Abdullah.20 Gagasan ini diilhami oleh kegelisahan ilmuwan
Muslim khususnya di PTAI dengan rancang bangun akademik ilmu-ilmu
keislaman yang dikotomis-atomistik: bayani, ‘irfani, burhani,21 di mana antara
satu corak dengan corak yang lain menutup diri dan tidak mau saling
(membuka ruang) dialog.22 Menurut Amin Abdullah, corak epistemologi
bayani didukung pola pikir fikih dan kalam23 yang lebih mendahulukan dan
mengutamakan qiyas dan bukannya mantiq lewat silogisme dan premis-premis
logika sebagaimana burhani24 atau intuisi dalam ‘irfani.25
Tolak ukur validitas keilmuan antara bayani, burhani, dan irfani berbeda-
beda. Jika nalar bayani tergantung pada kedekatan dan keserupaan teks atau
nash dan realitas, sedangkan nalar irfani lebih kepada kematangan social skill
(simpati, empati, verstehen26), maka dalam nalar burhani yang ditekankan
adalah korespondensi yakni kesesuaian antara ide dan realitas. Selain

20
Muhammad Amin Abdullah adalah Rektor IAIN/UIN Sunan Kalijaga periode 2001-2010
yang lahir di Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953.
21
Amin Abdullah, “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN: Dari Pendekatan
Dikotomis-Atomistik ke Integrasi-Interkonektif”, dalam Fahrudin Faiz (Ed.), Islamic studies dalam
Paradigma Integrasi-Interkoneksi: Sebuah Antologi, (Yogyakarta: SUKA press, 2007) hal. 11.
Pemahaman akan pola dikotomis-atomistik ini terinspirasi dari karya-karya Muhammad Abed Al-
Jabiri. Untuk pembahasan konsep al-Jabiri tentang nalar bayani, burhani dan ‘irfani silahkan rujuk
misalnya Muhammad Abed Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khohiri, (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2014) dan Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, terj. Moch Nur Ichwan,
(Yogyakarta: Islamika, 2003).
22
Amin Abdullah, “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN....” hal. 11-24
23
Ibid, hal. 9.
24
Ibid, hal. 15.
25
Ibid, hal. 16.
26
Verstehen adalah suatu metode pendekatan yang berusaha mengerti dan memahami
makna yang mendasari dan mengitari peristiwa atau fenomena sosial dan historis.

5
korespondensi dalam nalar burhani juga ditekankan aspek koherensi
(keruntutan dan ketraturan berfikir) dan upaya yang terus-menerus dilakukan
untuk memeprbaiki dan menyempurnakan temuan-temuan atau teori-teori
yang telah dibangun dan disusun oleh jerih payah akal.27
a. Konsep
Akar integrasi-interkoneksi berasal dari pemikiran Ian G. Barbour28 dan
Rolston III.29 Dari Ian G. Barbour diambil konsep integrasi ilmu,
intersubjective, testability dan creative imagination. Sedangkan dari
pemikiran Holmes Rolston III diambil konsep semipermeable (saling
tembus).30 Ide pokok dari integrasi menurut Amin Abdullah adalah
meleburkan satu hal dengan hal yang lainnya menjadi satu, meleburkan sisi
normativitas-sakralitas masuk ke wilayah historitas-profanitas.31
Sedangkan interkoneksitas mengasumsikan bahwa untuk memahami
kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia,
setiap bangunan keilmuan apapun termasuk ilmu agama, sosial, humaniora,

27
Ibid, hal. 23.
28
Khususnya dalam buku Ian G. Barbour, When Science Meets Religion: Enemies,
Strangers, or Partners? (New York: HarperCollins, 2000) diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
oleh penerbit Mizan, Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama, terj. E.R.
Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002). Barbour dalam bukunya ini menggunakan empat term dalam
menjelaskan hubungan sains dan agama, yaitu konflik, independensi, dialog dan integrasi.
Bandingkan dengan karya John F. Haught, Perjumpaan Sans dan Agama: Dari Konflik ke Dialog,
(Bandung: Mizan, 2004) yang juga menggunakan empat term dalam menjelaskan hubungan sains
dan agama, yaitu konflik, kontras, kontak, dan konfirmasi.
29
Khususnya dalam buku Holmes Rolston III, Science and Relegion: A Critical Survey,
(Philadelphia and London: Templeton Foundation Press, 2006)
30
Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan: Biografi Keilmuan M. Amin
Abdullah, Buku Kedua, (Yogyakarta: UIN SUKA Press, 2013) hal. xlix.
31
Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-
interkonektif, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006), hal. vii. Dalam konteks studi Islam, aspek
normativitas dan historisitas dalam agama ingin membedakan (dikotomisasi) mana wilayah agama
yang “sebenarnya” dan mana pula wilayah “kepentingan” historis-kultural yang melekat di
dalamnya. Baginya ilmu-ilmu agama termasuk Islam termasuk juga menjadi bagian dari ilmu
pengetahuan yang sarat dengan muatan kepentingan historis, sosiologis, kultural, dan bahkan
politis. Lihat Amin Abdullah, et. al., Rekonstruksi Metodologi Studi Ilmu-Ilmu KeIslaman,
(Yogyakarta: Suka Press, 2003) hal. 7. Bandingkan dengan Amin Abdullah, Studi Agama:
Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Suka Press, 2003). Maka studi Islam menurutnya
harus keluar dan bergeser dari wilayah metafisis-transendental-normatif dengan memasuki dan
melibatkan pendekatan dan metodologi filsafat kontemporer sebagaimana yang digagas oleh
pemikir-pemikir kontemporer Islam semacam Fazlur Rahman, M. Arkoun, Hassan Hanafi, Nashr
Hamid Abu Zayd dsb. Lihat Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 1995) hal. 124.

6
maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri.32 Intinya, integrasi bermakna
“tidak bisa dipisahkan” dan interkoneksi “tetapi bisa dibedakan”. Jadi
hubungan antara dua kata dalam “integrasi-interkoneksi” seperti sebuah
koin uang, yang tidak bisa dipisahkan, namun bisa dibedakan.33
Dalam proyek integrasi-interkoneksi keilmuan, Amin Abdullah
menawarkan konsep “Horizon Jaring Laba-Laba Keilmuan
Teoantroposentik-Integralistik”.34 Proyek ini dikembangkan dalam PTAI
khususnya di UIN Yogyakarta di mana pada lapis pertama jaring-jaring
tersebut adalah Al-Qur’ān dan Hadits yang dipakai sebagai landasan etika
moral keagamaan obyektif dan dimaknai secara hermeneutis35 yang
disesuaikan dengan diskusi-diskusi ilmu sosial-humaniora kontemporer,
seperti hukum internasional, pluralisme agama, isu lingkungan, isu gender,
cultural studies, HAM, sosial dan politik serta ekonomi.36 Pengembangan
keilmuan berbasis Teoantroposentik-Integralistik ini menggunakan
pendekatan interdisipliner37 dan interkonektifitas dengan model triadik

32
Konsep interkoneksitas secara epitemologis menolak dikotomi pendidikan umum dan
agama. Interkoneksitas menurutnya merupakan usaha saling bertegur sapa antar basis epistemologi
ilmu agama dan umum. Secara aksiologis, Amin Abdullah menawarkan pandangan dunia manusia
beragama dan ilmuwan baru yang terbuka, mampu berdialog dan bekerjasama, transparan, dan dapat
dipertanggungjawabkan dipublik. Sedangkan secara ontologis, hubungan antara berbagai disiplin
ilmu menjadi semakin terbuka dan cair antara haḍārah nash (ilmu agama bersumber dari teks),
haḍārah ‘ilm (keilmuan faktual-historis-empiris yakni ilmu-ilmu sosial dan kealaman) dan haḍārah
al-falasafah. Lihat Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-
interkonektif, hal. viii-ix
33
Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan: Biografi Keilmuan M. Amin
Abdullah..hal. xlix.
34
Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-
interkonektif, hal. 106
35
Hermeneutis yang dimaksud oleh Amin Abdullah di sini bukan tafsir atau takwil dalam
pengertian yang dimengerti di perguruan Tinggi Islam pada umumnya, namun Qiro’ah Muntijah
atau pembacaan produktif persis seperti konsep yang dikembangkan oleh Nasr Hamid Abu Zayd.
Yaitu setiap teks tidak pernah lepas dari historitasnya dan dalam teks selalu mengandung konteks
sosial, politik, budaya, epistemologi keilmuan dan ekonomi dan lainnya. Dengan metode ini, studi
Islam dikaitkan dengan isu-isu global seperti HAM, Gender, Pluralisme dll. Lihat Amin Abdullah,
“Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN....” hal. 29-30. Term hermeunetis ini diilhami
dari pemikiran Jurgen Habermas, yaitu paradigma masyarakat komunikatif yang terdiri dari tiga
elemen dasar, yakni pekerjaan (work), komunikasi (communication), Etika (Transfomation and
Liberation). Ibid, hal. 25.
36
Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-
interkonektif, hal. 106-107
37
Interdisipliner yang dimaksud adalah pendekatan kritis dan comparative (perbadningan).
Lihat Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan, hal. 1213.

7
Haḍārah an-Nash, Haḍārah al-‘Ilm, dan Haḍārah al-Falsafah.38 Dengan
pendekatan ini, maka tiga wilayah pokok dalam pengembangan ilmu di
PTAI, yakni Islamic Science, Natural Science, dan Social-Humanity
Science tidak lagi berdiri sendiri, namun terkait satu sama lain.39
Konsep integrasi keilmuan model integrasi-interkoneksi selain
diterapkan di UIN Yogyakarta juga diterapkan—meskipun tidak sama
persis—di UIN Jakarta dan UIN Surabaya. UIN Jakarta mengunakan
konsep reintegrasi ilmu dengan model integrasi dialogis40 antara Islamic
Relegious Science dan Secular Science41 dengan tiga tageline: Knowledge,
Piety dan Integrity.42 Sedangkan UIN Surabaya menggunakan konsep
menara kembar tersambung atau Integrated Twin Tower43 dengan studi
Islam sebagai main core.44 Konsep integrasi keilmuan menara kembar ini
pertama kali di gagas oleh Prof. Nur Syam saat ia mencalonkan diri sebagai
rektor pada Agustus 2008.45 Secara epistemologis, konsep “Integrated
Twin Towers” berusaha membangun struktur keilmuan yang

38
Amin Abdullah, “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN..” hal. 38
39
Anshori, Integrasi Keilmuan Atas UIN Jakarta, UIN Yogyakarta dan UIN Malang 2007-
2013, desertasi Doktor dalam Ilmu Agama, (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2014)
hal. 44.
40
Model integrasi dialogis ini mirip dengan model dialog hubungan sains dan agama Ian
G. Barbour dan pendekatan kontak John F. Haught. Dalam model dialogis dan kontak, posisi antara
sains dan agama adalah sejajar pada tataran konseptual dan metodologis. Lihat Ian G. Barbour, Juru
Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, hal. 74-82 dan John F. Haught, Perjumpaan Sains dan
Agama, hal. 17-24.
41
Ide ini dikemukakan oleh Rektor UIN Jakarta periode 2002-2006 Azyumardi Azra. Lihat
Anshori, Integrasi Keilmuan Atas UIN Jakarta, UIN Yogyakarta dan UIN Malang, hal. 162-163.
Lihat juga Azyumardi Azra, “Reintegrasi Ilmu-Ilmu dalam Islam”, dalam Zainal Abidin Bagir (Ed.),
Integrasi Ilmu dan Agama: Intepretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005) hal. 220-221.
42
Knowledge, yakni membaca, mengarungi samudra IPTEK, termasuk membaca simbol
kultural yang berkembang dimasyarakat. Piety, yakni inner quality, berbasis rukun iman, rukun
Islam “parennial” dalam upaya menghasilkan insan berkarakter, saleh dan terukur dalam behavior,
guna menyongsong tujuan hidup di dunia dan di akhirat. Integrity, yakni leadership, tabligh,
amanah, sidiq, dan cerdas menangkap perubahan zaman guna membangun peradaban. Lihat
Anshori, Integrasi Keilmuan Atas UIN Jakarta, UIN Yogyakarta dan UIN Malang, hal. 165; atau
silahkan akses http://www.uinjkt.ac.id/id/moto/ diakses pada 9 November 2016.
43
Silahkan akses Tim Redaksi, "Paradigma Keilmuan",
http://www.uinsby.ac.id/id/251/paradigma-keilmuan.html diakses pada 09 November 2016
44
Abu Darda, “Integrasi Ilmu dan Agama: Perkembangan Konseptual di Indonesia”, hal.
43
45
Silahkan Akses Nur Syam, “Model Twin Towers untuk Islamic Studies”,
http://nursyam.uinsby.ac.id/?p=762 diakses pada 9 November 2016.

8
memungkinkan ilmu keagamaan dan ilmu sosial/humaniora serta ilmu
alam berkembang secara memadai dan wajar. Keduanya memiliki
kewibawaan yang sama, sehingga antara satu dengan lainnya tidak saling
merasa superior atau inferior.46
b. Metode
Metode yang dimaksud di sini adalah cara-cara yang digunakan dalam
mengimplementasikan dan mengembangkan keilmuan sesuai dengan
konsep yang telah ada—dalam hal ini konsep integrasi-interkoneksi,
integrasi dialogis, dan integrasi menara kembar. Namun dalam pembahasan
metode, hanya akan dibahasan metode dari konsep integrasi-interkoneksi
teoantroposentris-integralistik yang dikembangkan oleh Amin Abdullah.47
Secara metodologis, studi Islam dapat dilakukan dengan memakai
metodologi dan cara pandang ilmu-ilmu sosial. Karena Islam sebagai
sasaran studi yang dianggap sama dengan science, dalam hal ini studi
Islam, bukanlah disiplin ilmu yang tertutup, tetapi bangunan keilmuan
biasa yang harus diuji ulang validitasnya, melalui perangkat konsistensi,
koherensi dan korepondensi oleh kelompok ilmu sejenis.48 Oleh karenanya
mempertemukan teori-teori dan metodologi ilmiah dengan bangunan
keilmuan Islam adalah sebuah langkah yang valid.49

46
Lihat Tim UIN Sunan Ampel Surabaya, Desain Akademik UIN Sunan Ampel Surabaya:
Buiding Character Qualities for the Smart, Pious and Honourable Nation, cet. II, (Surabaya:
UINSA Press, 2015), hal. 34-35; lihat juga Toto Suharto, “The Paradigm Of Theo-Anthropo-
Cosmocentrism: Reposition of the Cluster of Non-Islamic Studies in Indonesian State Islamic
Universities”, dalam Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Walisongo Vol. 23, No. 2 November 2015
(Semarang: LP2M UIN Walisongo, 2015) hal. 267-268.
47
Ada dua alasan mengapa hanya metode dari konsep integrasi-interkoneksi saja yang
dipaparkan dalam tulisan ini. Pertama, untuk UIN Surabaya, penulis kekurangan refrensi terkait
tema-tema yang dibahas. Kedua, untuk UIN Jakarta, dalam desertasi doktor Ansori yang meneliti
integrasi keilmuan tiga UIN (UIN Jakarta, UIN Yogyakarta dan UIN Malang) tidak dijelaskan
metode apa yang digunakan oleh UIN Jakarta dalam mengimplementasikan model integrasinya.
48
Rancang bangun metodologi studi Islam integrasi-interkoneksi ini digagas melalui
pandangan Jurgen Habermas, yaitu paradigma masyarakat komunikatif yang terdiri dari tiga elemen
dasar, yakni pekerjaan (work), komunikasi (communication), Etika (Transfomation and Liberation).
Tiga elemen ini digunakan dalam tiga kluster disiplin penelitian dan pendekatan, yaitu pertama,
pendekatan ilmu-ilmu kealaman (naturalistic). Kedua, pendekatan hermeneutik dan ketiga,
pendekatan keilmuan sosial-kritis sebagai basis etik. Yang masing-masing menwarkan cara pandang
dan orientasi berbeda namun didesain secara utuh dan interkoneksi.
49
Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratifinterkonektif, hal. 37.

9
Setidaknya ada empat metode dalam mengimplementasikan konsep
integrasi-interkoneksi khususnya dalam kegiatan penelitian. Pertama,
“Triple Haḍārah”: haḍārah an-nash, haḍārah al-‘ilm dan haḍārah al-
falsafah dalam segi ontologi.50 Metode triple haḍārah bertujuan untuk
mempertemukan kembali ilmu-ilmu (post)modern dengan ilmu-ilmu
keislaman. Di mana secara aksiologis hendak menawarkan pandangan
dunia manusia beragama dan ilmuwan yang baru, yang lebih terbuka,
mampu membuka dialog dan kerjasama, transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan secara publik dan berpandangan kedepan. Secara
ontologis metode triple haḍārah bertujuan agar hubungan antar berbagai
disiplin ilmu menjadi terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas
wilayah antar budaya pendukung keilmuan agama yang bersumber pada
teks-teks (haḍārah an-nas), dan budaya pendukung keilmuan faktual-
historis-empiris, yakni ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman (haḍārah
al-‘ilm), serta budaya pendukung keilmuan etis-filosofi (haḍārah al-
falsafah) masih tetap saja ada.51 Intinya dalam penerapan metode triple
haḍārah, pemahaman haḍārah an-nash yang baik, meniscayakan
pengetahuan yang baik tentang Islamic Studies, sedangkan untuk
memahami haḍārah al-falsafah dengan baik meniscayakan pengetahuan
yang baik tentang Philosophy of Science, dan untuk memahami haḍārah
al-‘ilm dengan baik meniscayakan pengetahuan yang baik tentang
Relegious Studies.52
Kedua, “Spider Web” dalam segi epistemologi.53 “Spider Web”
memiliki lima lapisan. Lapisan pertama atau core dasarnya adalah Al-
Qur’ān dan As-Sunnah dengan dilandasi semangat tauhid. Lapisan kedua
adalah “methods and approaches” yaitu mentalitas keilmuan yang
meliputi metode, pendekatan, perpektif dan teori dari berbagai disiplin

50
Waryani Fajar Riyanto, Implementasi Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam
Penelitian Tiga Desertasi Dosen UIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: LEMLIT UIN Sunan Kalijaga,
2012) hal. 48.
51
Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan, hal. 1059.
52
Waryani Fajar Riyanto, Implementasi Paradigma Integrasi-Interkoneksi, hal. 48.
53
Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan, hal. 1190-1215.

10
ilmu. Lapisan ketiga adalah ‘Ulum ad-Din atau Religious Knowledge yang
meliputi kalam, fiqh, tafsir, hadits, tasawuf, falsafah, tarikh, dan lughah.
Lapisan keempat adalah studi Islam kontemporer atau contemporary
Islamic studies yang meliputi studi Al-Qur’ān dan As-Sunnah, pemikiran
hukum (legal thought), pemikiran kalamiyyah (theological thought),
pemikiran mistik (mystical thought atau sufism), pemikiran filsafat
(philosophical thought), pemikiran politik (political thought) dan
pemikiran modern dalam Islam. Lapisan kelima adalah isu-isu global atau
global issues yang meliputi civil society, cultural studies, gender issues,
enviromental issues, international law, relegious pluralism, economics,
technology, dan human right.
Ketiga, “Spheres dan Models” dalam segi aksiologi.54 Untuk metode
spheres ada empat ranah metode: ranah filosofis, ranah materi, ranah
metodologi, dan ranah strategi. Ranah filosofis dimaksudkan bahwa setiap
penelitian harus diberi nilai fundamental eksistensial dalam kaitannya
dengan disiplin ilmu lainnya dan dalam hubungannya dengan nilai-nilai
humanistiknya. Sebagai contoh dalam penelitian fiqh misalnya, disamping
makna fundamentalnya sebagai filosofi membangun hubungan antara
manusia, alam dan Tuhan dalam ajaran Islam, penelitian fiqh harus juga
ditanamkan pada setiap peneliti bahwa ekistensi fiqh tidaklah berdiri
sendiri, melainkan berkembang bersama disiplin keilmuan lainnya seperti
filsafat, sosiologi, psikologi dan lain sebaginya.55 Ranah materi
merupakan suatu proses bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai kebenaran
universal umumnya dan keislaman khususnya ke dalam penelitian umum,
seperti filsafat, antropologi, sosiologi, hukum, politik, pikologi dan lain
sebagainya, kemudian sebaliknya, memasukkan ilmu-ilmu umum ke dalam
penelitian-penelitian keagamaan dan keIslaman. Dalam penelitian ilmu
falak misalnya, tentu harus mengaitkannya dengan ilmu-ilmu astronomi

54
Waryani Fajar Riyanto, Implementasi Paradigma Integrasi-Interkoneksi, hal. 54.
55
Ibid, hal. 56.

11
modern.56 Ranah metodologi dimaksudkan bahwa dalam penilitian,
peneliti harus mampu menggunakan metode yang aman dalam
mengembangkan penelitian intgratif-interkonektif. Misalnya psikologi
dengan nilai-nilai Islam, maka secara metodologi ilmu interkonektif harus
menggunakan pendekatan yang aman misalnya pendekatan fenomenologis,
bukan pendekatan lain yang mengandung bias anti-agama seperti
psikoanalisis.57 Ranah strategi dalam konteks penelitian adalah
bagaimana seorang peneliti mampu membuat model dan pendekatan
berbasis integrasi-interkonseksi. Dalam contoh ini, seorang peneliti fiqh,
yang awam dalam sosiologi dan antropologi akan mengalami hambatan
dalam merealiasikan penelitian interkonektif. Oleh karena itu, untuk
menutupi kelemahan ini, peneliti dapat membuat model penelitian team
researching.58
Sedangkan untuk metode model ada dua tingkatan metode.59
Tingkatan pertama adalah kelas pemula yaitu untuk mahasiswa strata satu
(S1) yang memiliki tiga model yakni informatif, konfirmatif dan kolektif.
(1) Informatif berarti bahwa suatu disiplin ilmu perlu diperkaya dengan
informasi yang dimiliki oleh disiplin ilmu lain sehingga wawasan civitas
akademika semakin luas. Misalnya ilmu agama yang bersifat normatif
diperkaya dengan teori ilmu sosial dan ilmu alam yang bersifat historis,
demikian sebaliknya.60 (2) Konfirmatif (Klarifikatif) mengandung arti
bahwa suatu disiplin ilmu tertentu untuk dapat membangun teori yang
kokoh perlu memperoleh penegasan dari disiplin ilmu yang lain. Misalnya
teori binnary opposition dalam antropologi, akan semakin jelas jika
mendapat konfirmasi atau klarifikasi dari sejarah sosial dan politik.61 (3)
Korektif mengandung arti suatu teori ilmu tertentu perlu dikonfrontir

56
Ibid, hal. 57.
57
Ibid, hal. 59.
58
Ibid, hal. 60.
59
Ibid, hal. 61.
60
Ibid, hal. 62.
61
Ibid.

12
dengan ilmu agama atau sebaliknya, sehingga yang satu dapat mengoreksi
yang lain.62
Tingkatan kedua adalah kelas lanjutan untuk mahasiswa magister
(S2) dan doktoral (S3) yang memiliki enam model: similarisasi,
paralelisasi, komplementasi, komparasi, induktifikasi dan klarifikasi. (1)
Similarisasi, yaitu menyamakan begitu saja konsep-konsep sains dengan
konsep-konsep yang berasal dari agama, meskipun belum tentu sama.
Misalnya, menganggap bahwa ruh sama dengan jiwa—similarisasi antara
Tasawuf dan Psikologi.63 (2) Paralelisasi, yaitu menganggap paralel
konsep yang berasal dari sains karena kemiripan konotasinya tanpa
menyamakan keduanya. Misalnya peristiwa Isra’ Mi’raj diparalelkan
dengan perjalanan ke ruang angkasa dengan menggunakan rumus ilmu
fisika S = v.t (Jarak = kecepatan x waktu).64 (3) Komplementasi, yaitu
antara sains dan agama saling mengisi dan saling memperkuat satu sama
lain, dapat saling menembus, tetapi tetap mempertahankan eksistensi
masing-masing. Misalnya manfaat puasa ramadhan untuk kesehatan
dijelaskan dengan prinsip-prinsip dietary dari ilmu kedokteran.65 (4)
Komparasi, yaitu membandingkan konsep/teori sains dengan konsep
agama mengenai gejala-gejala yang sama. Misalnya, teori motivasi dari
Psikologi dibandingkan dengan konsep motivasi yang dijabarkan dari ayat-
ayat Al-Qur’ān .66 (5) Induktifikasi, yaitu asumsi-asumsi dasar dari teori-
teori ilmiah yang didukung oleh temuan-temuan empirik dilanjutkan
pemikirannya secara teroritis abstrak ke arah pemikiran metafisik,
kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip agama dan Al-Qur’ān
mengenai hal terebut. Sebagai contoh, adanya keteraturan dan
keseimbangan yang sangat menajubkan di dalam alam semesta ini,
menyimpulkan adanya Hukum Maha Besar yang mengatur.67 (6)

62
Ibid.
63
Ibid, hal. 63.
64
Ibid.
65
Ibid, hal. 64.
66
Ibid.
67
Ibid.

13
Verifikasi, yaitu mengungkapkan hasil-hasil penelitian ilmiah yang
menunjang dan membuktikan kebenaran ayat-ayat Al-Qur’ān . Misalnya,
penelitian mengenai potensi madu sebagai obat yang dihubungkan dengan
Q.S. an-Nahl ayat 69.68
Keempat, delapan kacamata poin dalam metodologi.69 Delapan
kacamata point ini digunakan sebagai panduan dalam praktik membaca
buku, meneliti, dan menulis artikel atau karya tulis yang lain. Delapan
kacamata point dalam metode integrasi-interkoneksi yaitu: summary, sense
of academic crisis, importance of topic, prior research on topic, approach
and methodology, limitation and key assumtions, contribution to
knowledge, dan logical sequence. (1) Summary, yaitu bahwa dalam
melakukan penelitian peneliti harus membuat proposal yang memiliki alur,
pola urutan pemikiran dan logika penulisan yang sistematis.70 (2) Sense of
academic crisis, yaitu proposal penelitian merupakan puncak akumulasi
permasalahan dan kegelisahan akademik yang ingin dicari pemecahannya
oleh peneliti. Tanpa adanya kegelisahan akademik yang mendalam,
proposal penelitian yang sesuai dengan model integrai-interkoneksi sulit
tersusun.71 (3) Important of topic, yaitu dalam melakukan penelitian
peneliti harus menggali persoalan dan menemukan sebuah topik yang
penting untuk diteliti dan topik tersebut relevan dengan persoalan
kontemporer. Untuk dapat menemukan suatu topik yang penting dan
relevan, peneliti harus merujuk terlebih dahulu pada penelitian penelitian
terdahulu atau (4) Prior research on topic.72 Setelah melihat relevansi
penelitian dengan merujuk penelitian terdahulu, kemudian peneliti
menentukan metode dan pendekatan penelitian atau (5) Approacah and
research methodology. Agar tidak terjadi pengulangan penelitian atau

68
Ibid, hal. 64-65. Delapan kacamata poin ini ternyata dikutip oleh Amin Abdullah dari
buku Gordon B. Davis dan Clyde A. Parker yang berjudul Writing the Doctoral Dissertation: A
Systematic Approach, (New York: Borrows, 1979) Ibid, hal. 73.
69
Ibid, hlm 69.
70
Ibid, hal. 70.
71
Ibid, hal. 71.
72
Ibid.

14
melakukan penelitian yang “sia-sia”, peneliti mesti memahami prioritas
bidang kajian yang akan diteliti dengan membuat (6) Limitation and key
assumptions atau batasan masalah dan membuat penekanan konsep-
konsep tertentu yang akan dikaji lebih dalam pada penelitian. Dengan
batasan masalah dan penekanan konsep, maka penelitian akan
menghasilkan kajian keilmuan yang mendalam. Kajian yang mendalam ini
bertujuan agar penelitian yang dilakukan mampu memberikan (7)
Contribution to knowledge, yakni kontribusi keilmuan yang sesuai dengan
bidang kajian masing-masing.73 Penelitian yang mampu memberikan
kontribusi terhadap keilmuan dapat dilihat dari framework, metode,
pemaparan data, sistematika penelitian dan sebagainya, intinya memiliki
(8) Logical sequence yang baik dalam pemaparan hasil penelitiannya.74

Dari pemaparan konsep dan metode di atas, secara konseptual integrasi ilmu
model integrasi-interkoneksi, integrasi dialogis dan integrasi menara kembar
tersambung memiliki beberapa persoalan epistemologi. Pada integrasi-
interkoneksi, integrasi ilmu—khususnya dalam studi Islam—yang dilakukan
dengan meleburkan sisi normativitas-sakraitas masuk kewilayah historisitas-
profanitas dengan maksud ingin membedakan (dikotomisasi) mana wilayah
agama yang “sebenarnya” dan mana pula wilayah “kepentingan” historis-
kultural yang melekat di dalamnya, jelas bermasalah.75 Dari pernyataan
tersebut Amin Abdullah seolah berasumsi bahwa dalam setiap batang tubuh
ilmu keagamaan yang dikembangkan selalu tertempel kepentingan-
kepentingan. Ada dua persoalan dalam asumsi tersebut. Pertama, Amin
Abdullah tidak memberikan definisi dan deskripsi yang jelas, mana ilmu agama
yang bermuatan kepentingan dan mana yang tidak. Kedua, cara pandang
semacam ini sangat rentan memunculkan pemahaman yang keliru tentang
‘Ulumuddin dan khususnya ulama-ulama Islam. Seolah Amin Abdullah ingin
menyatakan bahwa ulama dan ilmuwan keagamaan, apa pun agamanya, adalah

73
Ibid, hal. 72.
74
Ibid.
75
Silahkan rujuk pembahasan dalam tulisan ini pada hal. 6 dan catatan kaki no. 30.

15
manusia biasa, dan karena itu, mereka pasti punya kepentingan dengan ilmu-
ilmu yang disusunya. Dalam hal ini Amin Abdullah telah membuat generelisasi
serampangan dalam menyamakan antara tradisi keilmuan Islam dengan tradisi
keilmuan Barat. Jika ia menyatakan, agama—termasuk Islam—adalah sarat
dengan berbagai kepentingan yang menempel pada ajaran dan batang tubuh
ilmu-ilmu keagamaan, maka ia harus menjelaskan, apa kepentingan Kalifah
Usman menghimpun mushaf Al-Qur’ān; apa kepentingan Imam Buhari
mengumpulkan dan menyeleksi hadist-hadist Nabi; apa kepentingan Imam
Syafi’i menulis kitab ar-Risalah?76

Selain meleburkan sisi normativitas-sakraitas dan historisitas-


profanitas, dalam integrasi-interkoneksi Al-Qur’ān dan Hadits yang dipakai
sebagai landasan etika moral keagamaan obyektif dimaknai secara
hermeneutis77 yang disesuaikan dengan diskusi-diskusi ilmu sosial-humaniora
kontemporer, seperti hukum internasional, pluralisme agama, isu lingkungan,
isu gender, cultural studies, HAM, sosial dan politik serta ekonomi.78

Dengan peleburan dan pemaknaan secara hermeneutis, studi Islam di


PTAIN tidak berbeda dengan apa yang ada di Barat, yaitu melihat Islam bukan
sebagai agama transenden yang diyakini sebagaimana kaum Muslimin
melihatnya, sehingga Islam diletakkan semata-mata sebagai obyek studi
ilmiah, di mana Islam diperlakukan sama sebagaimana obek-obyek studi
ilmiah lainnya. Ia dapat dikritik secara bebas dan terbuka. Penempatan Islam
sebagai obyek studi semacam ini, memungkinkan lahirnya pemahaman yang
murni "ilmiah" tanpa komitmen apa pun terhdap Islam. Penggunaan berbagai
metode ilmiah mutakhir yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial dan
kemanusiaan, memungkinkan lahirnya karya-karya studi Islam yang dari segi

76
Untuk uraian menarik tentang masalah ini, silahkan rujuk Amin Nasir, “Sintesis
Pemikiran M. Amin Abdullah dan Adian Husaini: Pendekatan dalam Pengkajian Islam”, dalam
Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Fikrah Vol. 2, No. 1, Juni 2014 (Kudus: Program Studi
Ilmu Aqidah STAIN Kudus, 2014) hal. 147-151.
77
Model hermeunetis yang dimaksud adalah model yang digunakan dan dikembangkan
oleh M. Arkoun, Hasan Hanafi dan Nasr Hamid Abu Zayd.
78
Silahkan rujuk pembahasan dalam tulisan ini pada hal. 7 dan catatan kaki no. 35.

16
ilmiah terlihat mengagumkan, namun menghilangkan sakralitas Islam sebagai
sebuah agama.79 Lebih khusus lagi paradigma studi Islam yang digagas oleh
Amin Abdullah tentang normativitas dan historisitas sebuah ajaran, meskipun
motivasinya menghapus dikotomi dalam studi Islam, justru melalui paradigma
tersebut ajaran Islam telah berhasil terdikotomisasikan, karena membedakan
aspek-kaspek normatif ajaran dan bentuk-bentuknya.80

Pada level ini yang dijadikan cara pandang dalam studi Islam adalah
perkembangan keilmuan Barat Modern dan postmodern serta isu-isu
kontemporer seperti HAM, kesetaraan gender, teologi pembebasan,
lingkungan, sebagai paradigma dalam memahami realitas ajaran dan ilmu-ilmu
Islam semisal tafsir, ushul fiqih, hadits, filsafat, pendidikan, yang
teraplikasikan dalam seluruh fakultas agama di PTAIN. Cara pandang
semacam ini jelas akan berakhir pada relativisme, nihilisme, liberalisme dan
anti otoritas ulama’ Salaf as-Shalih.81

Dalam proyek integrasi-interkoneksi keilmuan, Amin Abdullah


menawarkan konsep “Horizon Jaring Laba-Laba Keilmuan Teoantroposentik-
Integralistik”. Konsep ini menggunakan model triadik Haḍārah an-Nash,
Haḍārah al-‘Ilm, dan Haḍārah al-Falsafah yang bertujuan mengintegraikan
Islamic Science, Natural Science, dan Social-Humanity Science—di mana
studi Islam masuk dalam kategori Social-Humanity Science.82 Jika dilihat dari
sisi epistemologis, konsep yang ditawarkan oleh Amin Abdullah ini memiliki
dua persoalan serius. Pertama, Amin Abdullah tidak memberikan batasan yang
jelas mana disiplin keilmuan yang masuk Haḍārah an-Nash, Haḍārah al-‘Ilm,
dan Haḍārah al-Falsafah. Batasan ini diperlukan guna melihat bahwa setiap

79
Pengkajian ini telah dilakukan secara mendalam oleh Muhammad Kholid Tohiri yang
meneliti paradigma dan metode yang berkembang di PTAIN sejak orde baru hingga era reformasi.
Dari kajian yang ia lakukan, Muhammad Kholid Tohiri menyatakan, paradigma dan metode yang
dikembangkan di PTAIN jelas terhegemoni keilmuan Barat modern dan postmodern. Lihat
Muhammad Kholid Tohiri, “Paradigma dan Metodologi Studi Islam di PTAIN: Studi Analitis-
Kritis”, Makalah Program Kaderisasi Ulama (PKU) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor
angkatan ke-V, (Gontor: PKU UNIDA, 2011)
80
Muhammad Kholid Tohiri, “Paradigma dan Metodologi Studi Islam di PTAIN”, hal. 28.
81
Ibid, hal. 24.
82
Silahkan rujuk pembahasan dalam tulisan ini pada hal. 7 dan catatan kaki no. 33 dan 37.

17
disiplin ilmu memiliki ke khasannya masing-masing. Tanpa memahami batas
antar disiplin ilmu, mustahil dapat dilakukan dialog keilmuan. Kedua, dalam
mengintegrasikan tiga wilayah pengembangan keilmuan yaitu Islamic Science,
Natural Science dan Social-Humanity Science, Amin Abdullah melakukannya
tanpa proses kritis dan selektif, terutama terhadap ilmu-ilmu yang berasal dan
berkembang dalam peradaban Barat—dalam hal ini ilmu-ilmu kealaman dan
ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan. Amin Abdulah berasumsi bahwa semua
konsep keilmuan yang ada dalam tiga wilayah keilmuan tersebut tidak
memiliki persoalan dan perbedaan secara epistimologis terutama jika
dibandingkan dengan sistem epistemologi Islam. Asumsi ini tentu merupakan
sebuah kekeliruan. Sebab ilmu-ilmu keislaman memiliki sistem epistemologi
yang khas dan berbeda dengan ilmu-ilmu kealaman dan atau ilmu-ilmu sosial-
kemanusiaan yang tidak bisa begitu saja diintegrasikan.83 Sebab perbedaan
epistemologi akan menghasilkan sifat, karakter, konsep dan metode keilmuan
yang berbeda. Perbedaan yang paling penting dan harus diperhatikan adalah
perbedaan dalam memandang kebenaran.84

Pada integrasi dialogis dan integrasi menara kembar tersambung, secara


epistemologis persoalannya terletak pada konsep dialog antara ilmu agama dan
ilmu umum. Kedua model integrasi ini tidak memberikan definisi dan deskripsi
yang jelas tentang apa yang dimakud dengan dialog dan bagaimana proses
dialog itu dilakukan. Dalam integrasi menara kembar apa yang dimaksud

83
Untuk melihat perbedaan ini, sebagai contoh misalnya dalam epistemologi Islam selain
meyakini wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan tertinggi, juga meyakini akal, intuisi, otoritas,
dan panca indera. Sementara dalam epistemologi Barat, hanya diterima dua sumber ilmu, yaitu rasio
atau akal dan panca indera, sedangkan wahyu dan intuisi di tendang dalam diskursus sumber ilmu.
Hal ini jelas bahwa Epistemologi Barat dan Islam memiliki perbedaan mendasar. Untuk uraian
lengkap tentang persoalan ini silahkan rujuk Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat
Sains, terj. Saiful Muzani, (Bandung: Mizan, 1995) bab 2.
84
Di dalam epistemologi Islam, khususnya yang membahas konsep kebenaran, kebenaran
itu ada dan manusia diyakini mampu memperoleh serta mencapainya. Hal ini berbanding terbalik
dengan epistemologi Barat, khususnya epistemologi Barat postmodern, yang berkeyakinan bahwa
kebenaran itu tidak ada dan kalaupun ia ada manusia diyakini tidak mampu memperoleh serta
mencapainya. Untuk pemaran menarik tentang tema epistemologi ini silahkan rujuk Syamsuddin
Arif, Ilmu, Kebenaran, dan Keraguan: Refleksi Filosofis-Historis, Makalah orasi ilmiah yang
disampaikan dalam rangka memperingati ulang tahun ke-13 INSISTS di Gedung Joang'45 Selasa, 1
Maret 2016, (Jakarta: INSISTS, 2016)

18
dialog antara antara ilmu agama dan ilmu umum adalah berusaha membangun
struktur keilmuan yang memungkinkan ilmu keagamaan dan ilmu
sosial/humaniora serta ilmu alam berkembang secara memadai dan wajar, di
mana keduanya memiliki kewibawaan yang sama, sehingga antara satu dengan
lainnya tidak saling merasa superior atau inferior. Konsep dialog seperti ini
jelas problematis. Pertama—sebagaimana dalam integrasi-interkoneksi—
menganggap bahwa ilmu keagamaan dan ilmu umum (ilmu sosial/humaniora
dan ilmu alam) tidak memiliki perbedaan dan persoalan secara epistemologis
adalah anggapan keliru, karena—sebagaimana telah dijelaskan di atas—ilmu
umum dengan basis epistemologi Barat dan ilmu agama dengan basis
epistemologi Islam jelas memiliki perbedaan mendasar bahkan beberapa
bertentangan satu sama lain.

Kedua, proses dialog yang tidak saling mengintervensi dalam arti


antara ilmu agama dan ilmu umum tidak merasa superior satu sama lain adalah
kerancuan. Integrasi ilmu bertujuan menghilangkan dikotomisasi ilmu dengan
berusaha mendamaikan antara ilmu dan agama, antara kebenaran wahyu dan
akal, antara ilmu dunia dan ilmu akhirat dan seterusnya. Selain itu, jika masing-
masing corak keilmuan—antara corak keilmuan agama dan corak keilmuan
umum—dibiarkan tidak saling mengintervensi, maka ada semacam dikotomi
baru dalam diskursus keilmuan yang dikembangkan. Jika keilmuan agama
tidak boleh mengintervensi keilmuan umum, maka apa perbedaan keilmuan
yang dikembangkan di Barat dan yang dikembangkan dalam dunia Islam?
Apalagi dasar dari argumen “tidak boleh saling mengintervensi” adalah asumsi
bahwa kondisi keilmuan umum telah mapan dan ilmu pada hakikatnya netral.85

85
H. Syaifuddin (Dosen FITK UIN Sunan Ampel Surabaya) dalam penelitiannya bahkan
menyatakan, bahwa hubungan keilmuan agama dan umum dalam Integrated Twin Towers tidak
saling mengintervensi, tetapi saling melengkapi. Hal ini didasarkan pada kondisi keilmuan umum
yang sudah mapan. Disamping itu, segala ilmu itu pada hakikatnya netral dan Islami. Baik buruknya
ilmu tergantung pada penggunaannya. Lihat Syaifuddin, Studi Komparasi Integrasi Keilmuan
Berbasis Islamisasi Ilmu dengan Integrated Twin Towers.pdf hal. 13 di akses dari
http://digilib.uinsby.ac.id/7180/ tanggal 09 November 2016.

19
Ini merupakan sebuah kekeliruan berfikir, sebab telah banyak pengkajian dari
para ahli yang menyatakan bahwa ilmu tidaklah netral, tetapi sarat nilai.86

Dari segi metode, empat metode87 yang digunakan dalam


mengimplementasikan integrasi-interkoneksi memiliki empat corak
pendekatan, di mana empat corak tersebut terhegemoni pendekatan keilmuan
Barat modern bahkan post modern. Di antara pendekatan itu antara lain:
pertama, pendekatan fungsional-budaya dalam kajian Islam. Pendekatan ini
mengandaikan studi Islam termasuk tentang ketuhanan tidak bersifat mistis,
apriori dan metafisis, namun menghadirkan kajian Islam yang mempersipsikan
bahwa Tuhan yang beimplikasi dinamis-sosiologis. Dalam pendekatan ini,
teori-teori sosial-kultur yang bercorak neo-marxis88 sebagai alat bantu dalam
memahami studi Islam.

Kedua, pendekatan filsafat kritis. Pendekatan ini memiliki ciri berpikir


menolak suatu pandangan untuk dijadikan doktrin. Tetapi hasil pemikiran
diposisikan dalam dialektika-diskursif pada tingkat filosofis-teoritis dan
metodologis. Dalam praktiknya, pendekatan filsafat kritis ini digunakan untuk
membongkar atau mendekonstruksi wacana keagamaan yang mapan
(ortodoksi) dan formalistik. Karena bagi pendekatan ini, pemikiran termasuk
studi Islam merupakan bagian yang tidak bisa lepas dari historisitas sebuah
kajian yang di sana terdapat kepentingan-kepentingan yang terselubung baik

86
Literatur seputar masalah ini terlau banyak untuk disebutkan. Lihat, misalnya: Jurgen
Habermas, Knowledge and Human Interest, trans. Jeremy J. Shapiro, (Cambridge: Polity Press,
1968); Thomas S. Kuhn, The Structure Of Scientific Revolutions, (Chicago: The University of
Chicago Press, 1970); Robert Proctor, Value-free Science? Purity and Power in Modern Knowledge,
(Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1991); Harold Kincaid (Ed.), Value-Free
Science: Ideals and Illusions? (Oxford: Oxford University Press, 2007); Robert Audi, Reasons,
Rights, and Values, (Cambridge: Cambridge University Press, 2015) chapter 10; John M. Ziman, An
Introduction to Science Studies: The Philosophical and Social Aspects of Science and Technology,
(Cambridge: Cambridge University Press, 1995); Chin-Tai Kim, “Science as Ideologi”, dalam
Robert S. Cohen (Ed.), Realism and Anti-Realism in the Philosophy of Science, (Beijing: Springer-
Science and Business Media, B.V., 1992) Vol. 19, hal. 202; Ziauddin Sardar, Thomas Kuhn and The
Science War, (London: Icon Book, 2000); Jacob Bronowski, Science and Human Values, (London:
Faber & Faber, 2008).
87
Silahkan rujuk pembahasan dalam tulisan ini pada hal. 10-15.
88
Teori-teori neo-marxis adalah teori yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh semisal Max
Horkheimer, Theodor Adorno, Jurgem Habermas, dan Friedrich Pollock.

20
budaya, sosial, politik, ekonomi dan lainnya.89 Sehingga orientasi studi Islam
di PTAIN mengarah kepada liberasi dan transformasi yang mendekonstruksi
ajaran agama yang dianggap mapan dan doktrinal.

Ketiga, pendekatan ilmu-ilmu sosial. Pendekatan ini digunakan sebagai


upaya meninggalkan pola pikir kajian atau studi Islam yang bersifat deduktif-
normatif melalui pendekatan psikologis, sosiologis, antropologis dan
sebagainya, yang merupakan ilmu-ilmu yang berbasis pada sekular-Barat. Hal
ini dilakukan karena dianggap keilmuan Islam tidak berkembang disebabkan
kering atau tidak melibatkan ilmu-ilmu sekular Barat dalam kajian Islam.90

Keempat, pendekatan hermeneutik. Pendekatan hermeneutik


diterapkan dalam ilmu-ilmu humaniora seperti sejarah, agama, filsafat, maupun
linguistik. Termasuk di sini adalah kitab suci Al-Qur’ān dan Hadits dan teks-
teks keagamaan Islam lainnya seperti tafsir, fiqih, kalam, dan lainnya. Dari
sini banyak kajian-kajian tentang penafsiran Al-Qur’ān mempunyai corak yang
berbeda dengan hasil penafsiran para ulama’ klasik. Pendekatan studi Al-
Qur’ān yang dilakukan dengan menggunakan metodologi hermeneutik akan
menghasilkan produk tafsir bersifat relatif, temporer, dan dekonstruktif.

Dari empat pendekatan di atas dapat disimpulkan bahwa ada transfer


paradigma sekaligus metodologi keilmuan Barat dalam studi Islam, yang
dalam penerapannya tanpa ada proses filtering dan catatan kritis oleh para
pengkaji Islam di PTAIN91 sehingga ada kesan latah dan membebek secara
membabi buta kepada cara pandang keilmuan Barat. Pembebekan membabi
buta ini menandakan bahwa integrasi ilmu model integrasi-interkoneksi
sejatinya bukan melakukan dialog keilmuan antara Islam dan Barat secara
kreatif, selektif, dan inovatif yang menghasilkan sistem epistemologi baru
dalam Islam, tetapi jutru melakukan wesrternisasi atau pem-Barat-an Islam.

89
Lihat, Lukman S. Thahir, Studi Islam Interdisipliner: Aplikasi Pendekatan Fisafat,
Sosiologi dan Sejarah, (Yogyakarta: Qirtas, 2004), hal. 138.
90
Ibid, hal. 140.
91
Khususnya di UIN Yogyakarta

21
B. Integrasi Pohon Ilmu
Integrasi keilmuan model pohon ilmu didasari dari keyakinan Imam
Suprayogo92 bahwa ilmu dan agama memiliki satu fungsi yang sama, yaitu
untuk memahami alam dan kehidupan.93 Atas dasar ini keduanya (ilmu dan
agama) dapat dipadukan—namun bukan dalam makna “dicampurkan”.94
Ilmu dan agama berbeda dalam hal sumber pengetahuan. Agama hanya
diperoleh melalui wahyu, sedangkan ilmu hanya diperoleh melalui kegiatan
penelitian.95 Perbedaan sumber tersebut berimplikasi pada jenis atau tingkat
kebenaran. Agama yang bersumber pada wahyu memiliki kebenaran universal
yang abadi, sedangkan ilmu memiliki kebenaran yang relatif bergantung pada
dukungan data dan rasio yang menopangnya.96
a. Konsep
Melalui rekonstruksi konsep keilmuan dengan meletakkan agama sebagai
basis ilmu pengetahuan, Imam Suprayogo menawarkan integrasi keilmuan
melalui metafor “Pohon Ilmu”.97 Metafora yang digunakan adalah sebuah
pohon yang kokoh, bercabang rindang, berdaun subur, dan berbuah lebat
karena ditopang oleh akar yang kuat. Akar pohon yang kukuh menghujam
ke bumi menggambarkan ilmu alat yang harus dikuasai yaitu Bahasa Arab
dan Inggris, Logika, pengantar Ilmu-ilmu Alam dan Ilmu-ilmu Sosial.
Batang pohon yang kuat menggambarkan kajian dari sumber ajaran Islam,
yaitu Al-Qur’ān dan Hadits, pemikiran Islam, sirah nabawiyah, dan sejarah
Islam. Sedangkan dahan yang jumlahnya cukup banyak menggambarkan

92
Imam Suprayogo adalah Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang sekaligus Guru
Besar Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Malang. Lahir di Trenggalek 2 Januari 1951.
Silahkan akses http://www.imamsuprayogo.com/link.php?mn=view_profil diakses 9 November
2016.
93
Imam Suprayogo, “Membangun Integrasi Ilmu dan Agama: Pengalaman UIN Malang”,
dalam Zainal Abidin Bagir (Ed.), Integrasi Ilmu dan Agama: Intepretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan,
2005) hal. 219.
94
Ibid.
95
Ibid, hal. 220.
96
Ibid.
97
Imam Suprayogo, Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam Perspektif UIN Malang,
(Malang:UIN-Malang Press, 2006), hal. 57.

22
sejumlah ilmu pada umumnya dengan berbagai cabangnya, seperti ilmu
alam, ilmu sosial dan humaniora.98
b. Metode
Untuk mengimplementasi konsep integrasi antara ilmu dan agama, Imam
Suprayogo membuat langkah-langkah sebagai berikut:99
1. Menjadikan Al-Qur’ān dan Hadits sebagai sumber dalam
pengembangan ilmu pengetahuan.
Pengembangan ilmu pengetahuan harus bersumber pada ayat-ayat
qauliyah dan ayat-ayat-ayat kauniyah sekaligus. Yaitu cara berpikir
yang memposisikan Al-Qur’ān dan Hadits sebagai salah satu sumber
pengembangan ilmu pengetahuan di lingkungan universitas Islam.100
2. Keterpaduan konsep Perguruan Tinggi dan Ma’had.
Ma’had digunakan sebagai fasilitas mengembangkan kultur
keberagamaan, seperti shalat berjama’ah pada setiap waktu sholat
fardlu, shalat malam, membaca Al-Qur’ān bersama-sama, pelatihan
kepemimpinan mahasiswa dan lain-lain.
3. Iklim dan Budaya Kampus.
Tenaga dosen yang berkompeten dalam bidangnya sekaligus juga
menguasai ilmu agama. Membangun kultur kebersamaan seperti shalat
berjamaah di kampus yang diikuti oleh seluruh pimpinan, dosen,
karyawan dan juga mahasiswa, dan lain-lain.
Langkah-langkah dan pembangunan kultur sebagaimana tersebut di atas
diperlukan agar seluruh elemen dalam institusi memiliki etos kerja dan
budaya Islami, sesuai dengan nama “Universitas Islam”.101

Konsep integrasi pohon ilmu yang digagas oleh Imam Suprayogo dengan
memadukan ilmu dan agama didasari pada keyakinan bahwa ilmu dan agama

98
Imam Suprayogo, Universitas Islam Unggul, (Malang: UIN-Malang Press, 2009) hal.
166
99
Ibid, hal. 49-55
100
Imam Suprayogo, “Membangun Integrasi Ilmu dan Agama..”, hal. 225.
101
Imam Suprayogo, Perubahan Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi Perubahan
IAIN/STAIN Menjadi UIN, (Malang: UIN-Malang Press, 2008) hal. 94.

23
memiliki satu fungsi yang sama, yaitu untuk memahami alam dan
kehidupan.102 Meski bisa dipadukan, ilmu dan agama tidak bisa dicampur-
baurkan. Karena ilmu dan agama memiliki perbedaan sumber pengetahuan.
Agama hanya diperoleh melalui wahyu sedangkan ilmu hanya diperoleh
melalui kegiatan penelitian. Agama yang diperoleh melalui wahyu memiliki
kebenaran universal yang abadi, sedangkan ilmu memiliki kebenaran yang
relatif bergantung pada dukungan data dan rasio ang menopangnya.103

Dari penjelasan di atas ada empat kelemahan asumsi dasar dalam


konsep integrasi pohon ilmu. Pertama, Imam Suprayogo tidak
mendeskripsikan dengan jelas apa dan bagaimana memadukan ilmu dan
agama. Kedua, landasan pemaduan bahwa fungsi ilmu dan agama adalah untuk
memahami alam dan kehidupan merupakan kerancuan. Tentu sudah menjadi
rahasia umum bahwa dalam memahami alam dan kehiduapan agama dan ilmu
memiliki cara pandang yang berbeda. Ilmu—dalam hal ini adalah sains
modern—selalu menggunakan kacamata rasionalisme dan empirisme dalam
usahanya memahami alam dan kehidupan. Sedangkan dalam memahami alam
dan kehidupan, agama—dalam hal ini Islam—menggunakan kacamata iman,
akal, dan intuisi. Dalam pengertian Barat modern, ilmu merujuk kepada
pengenalan dan atau presepsi yang jelas tentang fakta (knowledge denotes
acquaintance with, or clear preseption of fact). Sedangkan fakta merujuk
kepada hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera, yakni bersifat empiris.
Sesuatu yang tidak dapat ditanggap oleh indera di anggap bukan fakta, dan
tidak dimasukan kedalam kategori ilmu. Dalam hal ini, agama dianggap secara
mutlak keluar dari defenisi dan ruang lingkup ilmu, sebab menurut pandangan
mereka, agama adalah kepercayaan atau dugaan (beliefs or opinions) semata-
mata.104 Berangkat dari pengertian ilmu di atas, argumen bahwa ilmu dan

102
Silahkan rujuk pembahasan dalam tulisan ini pada hal. 22.
103
Ibid.
104
Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu: Satu Penjelasan, (Singapura: Pustaka
Nasional Singapura, 2007) hal. 30.

24
agama memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk memahami alam dan kehidupan
merupakan argumen yang rancu dan tidak bisa diterima.

Ketiga, argumen bahwa agama hanya diperoleh melalui wahyu


sedangkan ilmu hanya diperoleh melalui kegiatan penelitian merupakan
argumen yang lemah. Dalam konsep Islam, agama, dalam hal ini wahyu,
merupakan sumber utama pengetahuan, bahkan merupakan sumber tertinggi
dan otoritatif. Begitu juga ilmu, dalam Islam hasil-hasil keilmuan baik yang
berupa hasil pemikiran ataupun eksperimental dapat dijadikan landasan hukum
dalam menyelesaikan persoalan agama.105 Artinya hubungan ilmu dan agama
dalam Islam sebetulnya saling berdialog satu sama lain, tidak terpisah sama
sekali. Selain argumen yang lemah, pemahaman bahwa bahwa agama hanya
diperoleh melalui wahyu sedangkan ilmu hanya diperoleh melalui kegiatan
penelitian merupakan sikap yang dikotomis, yaitu antara ilmu dan agama
memiliki sumber ilmu dengan jalur yang berbeda dan tidak bisa disatukan. Ini
jelas bertentangan dengan ide dasar integrasi ilmu.

Keempat, perbedaan sumber antara ilmu dan agama berimplikasi pada


konsep kebenaran. Kebenaran agama yang bersumber wahyu bersifat universal
dan abadi, sedangkan kebenaran ilmu yang bersumber pada penelitian bersifat
relatif. Argumen ini juga merupakan kerancuan. Letak kerancuan argumen ini
adalah Imam Suprayogo tidak medefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud
agama dan ilmu, serta tidak memberikan batasan mana wilayah agama dan
mana wilayah ilmu dalam tulisan-tulisannya. Pendiefinisian dan pemetaan
wilayah ilmu dan agama ini menjadi penting sebab tidak semua yang dihasilkan
ilmu atau sains itu bersifat relatif. Misalkan dalam ilmu matematika, bahwa 1
+ 1 = 2 adalah benar dan kebenaran itu mutlak, tidak relatif. Begitu juga dalam
persolan agama, tidak semuanya mutlak, yaitu persoalan-persoalan yang
landasan dalilnya dzani, di mana para ulama tidak semuanya sepakat terhadap
hukum suatu persoalan. Misanya ketidaksepakatan ulama tentang apakah

105
Dalam kasus ini diambil contoh misalnya kasus bayi tabung, cangkok jantung, bank
sperma, bank ASI (Air Susu Ibu), transplantasi jantung, dan lain sebagainya.

25
Rasulullah ketika melakukan Isra’ Mi’raj106 dengan ruhnya saja atau dengan
ruh dan jasad sekaligus. Juga ketidaksepakatan ulama tentang azab kubur, yaitu
apakah azab yang diberikan kepada mayit adalah azab jasad atau azab ruhnya
saja.107 Pertanyaanya apakah persoalan Isra’ Mi’raj dan azab kubur dalam
pandangan Imam Suprayogo masuk dalam kategori agama atau tidak? Jika
tidak, maka manakah yang termauk persoalan agama? Di sinilah letak
persoalan utamanya.

Secara metodologis, integrasi pohon ilmu tidak menawarkan metode


yang menyentuh aspek epitemologis. Meskpun dalam metodenya menawarkan
Al-Qur’ān dan Hadits sebagai sumber pengembangan ilmu pengetahuan,
namun Imam Suprayogo tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana cara
menjadikan Al-Qur’ān dan Hadits sebagai sumber ilmu pengetahuan. Apakah
sekedar menjadi landsan etik-moral atau sebagai seminal konsep yang
membangun konsep-konsep baru dalam pengembangan keilmuan? Tidak ada
penjabaran sistematis tentang hal ini. Metode yang diterapkan dalam integrasi
pohon ilmu juga lebih bersifat manajerial-struktural. Yaitu bagaimana
memanfaatkan fasilitas kampus yang mendukung suasana Islami seperti
masjid kampus dioptimalkan secara maksimal. Juga bagaimana mengatur agar
para tenaga pendidik selain menguasai disiplin ilmu masing-masing juga
menguasai ilmu agama. Penguasaan tenaga pengajar terhadap disiplin ilmu
yang ditekuninya dengan ilmu agama juga bukan bertujuan agar tenaga
pengajar mampu melakukan dialog keilmuan secara epistemologis, namun agar
tenaga pengajar mampu memasukkan nilai-nilai ke Islaman dalam mata kuliah
yang diajarkan. Artinya dalam integrasi pohon ilmu ada kesenjangan antara
konsep dan metode yang ditawarkan. Yakni tidak ada hubungan yang jelas
antar keduanya.

106
Namun dalam peristiwa Isra’ Mi’rajnya semua ulama sepakat bahwa Rosulullah telah
melakukan Isra’ Mi’raj. Untuk pembahasan masalah ini silahkan rujuk misalnya Hafidz Ahmad al-
Hakami, Ma’arijul Qabul Syarh Sullah al Wusul, (Kairo: Darul Aqidah) Vol. 1. Bab Mi’raj an-Nabi
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam Ila Sidratul Muntaha wa Ila Haisu Sha Allah Aja Wajal.
107
Ibid, Jilid 2, Bab Isbat al-Sunnah fi Adzabil Qabli.

26
C. Integrasi Pentadik
Integrasi keilmuan model integrasi pentadik108 ini digagas oleh Armahedi
Mahzar.109 Model integrasi ini ingin merevolusi model integralisme
universal110 Ken Wilber yang dikembangkan pada tahun 1990-an.111 Kemudian
Ia menamai model integrasinya sebagai Integralisme Islam.112
Integralisme Islam Armahedi Mahzar dimulai dari penjajakan metode
strukturalis antropolog Prancis Claude Levi Strauss113 dan holisme114 yang
belum lengkap. Hasil dari penjajakannya, Armahedi Mahzar menemukan
susunan geometris konsep-konsep Barat yang berturut-turut: diri-manusia,
manusia-lingkungan, dan alam-Tuhan, yang kesemuanya merupakan sistem
terpadu.115
a. Konsep
Integrasi ilmu yang dikembangkan oleh Armahedi Mahzar disebut sebagai
integralisme pentadik karena integralisme ini berusaha mengoreksi
integralisme tetradik yang dikembangkan Ken Wilber. Kelemahan
integrasi tetradik Wilber adalah karena ia meletakan semua jenis ilmu

108
Disebut pentadik karena jumlah konsep dasar yang menjadi komponen utama model ini
adalah lima buah konsep, yaitu: sumber, nilai, informasi, energi dan materi. Lihat Armahedi Mahzar,
“Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi”, dalam Zainal Abidin Bagir (Ed.), Integrasi
Ilmu dan Agama: Intepretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005) hal. 94-105.
109
Armahedi Mahzar adalah fisikawan lulusan ITB. Pernah mengajar di Institut Teknologi
Bandung (ITB), Islamic College for Advanced Studiesc (ICAS), Jakarta dan Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung. Lahir di Genteng, Jawa Timur, tahun 1943.
110
Disebut integral karena memasukan semua aspek kemanusiaan dan semua tingkatan
kesadaran manusia. Disebut universal karena memadukan kearifan agama tradisional Timur dan
pengetahuan sains modern Barat. Armahedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi
Islami: Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004) hal. 215.
111
Ibid, hal. xl.
112
Kata Islam dalam “Integralisme Islam” ditambahkan oleh Armahedi Mahzar karena ia
menambahkan dimensi-dimensi keIslaman pada integralisme universal Wilber. Ibid, hal. xliv.
113
Yakni ketika ia menganalisis fenomena perpindahan pemuda-pemuda Barat ke dunia
Timur untuk mencari filsafat pegangan hidup dan pemuda Timur yang mencari hal sama di Barat.
Silahkan rujuk Armahedi Mahzar, Integralisme: Sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam, (Bandung:
Pustaka, 1983) hal. 1.
114
Holisme adalah adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa sistem alam semesta,
baik yang bersifat fisik, kimiawi, hayati, sosial, ekonomi, mental-psikis, dan kebahasaan, serta
segala kelengkapannya harus dipandang sebagai sesuatu yang utuh dan bukan merupakan kesatuan
dari bagian-bagian yang terpisah. Namun dalam perkembangannya di Barat, holisme tidak
memasukkan dimensi transedental mutlak dalam wawasan keslingpaduannya. Lihat Armahedi
Mahzar, Islam Masa Depan, (Bandung: Pustaka, 1993) hal. 124-127
115
Armahedi Mahzar, Integralisme: Sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam, hal. 2.

27
setara satu sama lain.116 Menurut Armahedi Mahzar, ilmu tidaklah sejajar,
namun memiliki herarki atau tingkatan.117
Ada perbedaan kategori antara Integralisme Wilber dan Armehedi
Mahzar. Jika dalam integralisme universal Wilber memiliki kategori
objektivitas, interobjektifitas, intersubjektifitas, dan subjektifitas, maka
integralisme Islam Armahedi Mahzar memiliki kategori materi, energi,
informasi dan niali-nilai. Dalam integrasi Islam dikenal kategori kelima,
yaitu sumber yang merupakan sumber esensial bagi nilai-nilai.118
Perumusan kontempore lima kategori herarkis119 dalam Integralisme
Islam sebetulnya mirip dengan struktur tradisi pemikiran Islam. Struktur
tersebut yaitu: tasawuf, fiqh, kalam dan hikmat.120 Keempat intisari ilmu-
ilmu Islam tersebut dapat dijadikan sebagai paradigma epistemologi,
aksiologi, teologi dan kosmologi bagi sains serta dapat digunakan
menggantikan tiga paradigma sains modern.121 Selain itu kelima kategori
herarkis dapat meletakan klasifikasi keilmuan Islam.122
b. Metode
Implementasi integrasi pentadik atau integralisme Islam dapat dipilah
menjadi empat tataran sebagi berikut:123

116
Armahedi Mahzar, “Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi”, dalam Zainal
Abidin Bagir (Ed.), Intgrasi Ilmu dan Agama: Intepretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005) hal.
100.
117
Ibid.
118
Selain berbeda dalam ketegori, integralisme Wilber dan Armahedi Mahzar juga
memiliki perbedaan dalam hal herarki. Dalam integralisme Wilber, kategori tersebut tersusun secara
sejajar. Sedangkan dalam integralisme Armahedi Mahzar kategori-kategori tersusun sebagai suatu
perjenjangan menegak atau herarki. Herarki itu berjenjang dari materi ke sumber melalui energi,
informasi dan nilai-nilai. Ibid.
119
Materi, energi, informasi, niali-nilai dan sumber.
120
Dalam tradisi tasawuf, lima kategori herharkis bersesuaian dengan jism, nafs, ‘aql, qalb,
dan ruh. Dalam tradisi fiqh bersesuaian dengan sumber hukum ‘urf, ijma’, ijtihad, Sunnah, dan
Qur’an. Dalam tradisi ilmu kalam bersesuaian dengan khalqilah, sunnatullah, amrullah, shifatullah,
dan dzatullah. Dan dalam tradisi hikmat atau filsafat bersesuaian dengan ilad maddiyyah, ilad
fa’iliyyah. Ilad shuriyyah, ilat ghaiyyah, dan ilad tammah. Ibid, hal. 100-101.
121
Tiga paradigma sains modern tersebut antara lain: rasionalisme sebagai epistemologi,
humanisme sebagai aksiologi, dan materialisme sebagai ontologi. Ibid, hal. 101.
122
Klasifikasi tersebut antara lain: ilmu-ilmu Al-Qur’ān sebagai sumber, ilmu-ilmu
keagamaan sebagai nilai-nilai, ilmu-ilmu kebudayaan sebagai informasi, ilmu-ilmu terapan sebagai
energi, dan ilmu-ilmu kealaman sebagai materi. Ibid.
123
Ibid, hal. 108-109.

28
1. Konseptual
Secara konseptual, ketiga tujuan perguruan tinggi harus dirumuskan
kembali dalam konteks Islam. Pertama, sebagai lembaga pendidikan,
perguruan tinggi harus mendidik sarjana Muslim untuk menjadi insan
kamil yang memahami Din Al-Islām secara kaffah. Kedua, penelitian
harus dilihat dari prespektif untuk mengenal sifat-sifat Allah secara
lebih mendalam. Ketiga, pengabdian masyarakat harus dilihat sebagai
pengamalan ilmu untuk kepentingan seluruh umat manusia sebagai
ekpresi mensyukuri nikmat Allah.
2. Institusional
Pada tataran institusional, fakultas-fakultas ilmu kealaman, kemanusian
dan keagamaan semuanya harus diintegrasikan dalam satu kampus
universitas secara terpadu.
3. Operasional
Dalam tataran operasional, kurikulum pendidikan semua fakultas harus
memasukkan konsep-konsep fundamental ilmu-ilmu kalam, fiqh,
tasawuf, dan hikmat sebagai pelajaran wajib ditingkat pertama
bersama.
4. Arsitektural
Pada tataran arsitektural, untuk implementasi integrasi sains dan Islam,
setiap kampus harus mempunyai masjid—dan jurusan punya satu
mushola—sebagai pusat kehidupan bermasyarakat, berbudaya dan
beragama. Kemudian perpustakaan harus meliputi semua pustaka ilmu-
ilmu kealaman, kemanusiaan dan keagamaan.

Secara konseptual ada satu kelemahan utama dalam integrasi pentadik.


Kelemahan tersebut ialah integrasi pentadik hanya sekedar menambahkan
dimensi-dimensi keislaman pada integralisme universal Wilber. Dalam
menggagas model integrasinya, Armahedi Mahzar tidak berusaha melacak
konsep-konsep yang dikembangkan oleh Wilber kemudian menilai secara
kritis, apakah konsep-konsep itu dapat dimbahkan begitu dengan dimensi-

29
dimensi keislaman ataukah dapat ditambahkan dengan dimensi keislaman
tetapi dibutuhkan usaha filterisasi terlebih dahulu.

Sama seperti model integrasi-interkoneksi, dalam integrasi pentadik sains


dianggap tidak memiliki persoalan serius pada aspek paradigma secara
keseluruhan, tetapi hanya dipandang bermasalah dalam segi mengingkaran
sains modern terhadap nilai-nilai transendental dan dalam aspek aplikasinya.
Dengan asumsi ini, Armahedi Mahzar kemudian menambahkan dimensi-
dimensi keisalam dalam paradigma sains modern yang telah kering dan
kehilangan spiritualitas relegius. Namun perlu dipertanyakan, apakah dengan
menambahkan begitu saja dimensi-dimensi Islam yang bersifat spiritual-
relegius terhadap konsep sains modern lantas menjadikan sains modern terebut
menjadi Islami? Jawabannya jelas tidak. Sebab antara konsep-konsep Islam
dan sains modern memiliki perbedaan mendasar, apalagi dalam dimenasi-
dimensi ke Islaman yang bercorak spiritual-relegius. Maka menambahkan
dimensi-dimensi keislaman ke dalam sains modern seperti halnya
menambahkan susu pada segelas racun. Seberapa pun banyak susu yang
ditambahkan tidak akan mengubah sifat unsur dalam gelas tersebut.

Secara metodologis, integrasi pentadik mirip dengan integrasi pohon ilmu,


yakni berisifat manajerial-struktural ditambah penanaman nilai-nilai Islam124
dan belum menyentuh aspek epistemologis. Hanya dalam metode operasional
saja, disinggung aspek epistemologis, itu pun tidak memiliki penjelasan
memadai. Dalam metode operasional, kurikulum pendidikan semua fakultas
mesti memasukkan konsep-konsep fundamental ilmu-ilmu kalam, fiqh,
tasawuf dan hikmat atau filsafat Islam. Persoalannya adalah Armahedi Mahzar
tidak memberikan batasan dan penejelasan apa saja konsep-konsep
fundamental tersebut. Sebab tanpa ada penjelasan dan batasan, ilmu-ilmu
kalam, fiqh, tasawuf dan hikmat memiliki cukup banyak konsep fundamental
disetiap aliran dan tokoh-tokohnya, dan bisa saja antara satu pengajar dengan

124
Secara manajerial dapat dilihat dari metode institusional dan arsitektural. Sedangkan
penanaman nilai-nilai Islam dapat dilihat dari metode konseptual.

30
pengajar lain memiliki perbedaan pandangan mengenai mana konsep yang
fundamental dan tidak fundamental dari keempat keilmuan Islam tersebut.

Selain itu, Armahedi Mahzar juga tidak memberikan tahap-tahap yang mesti
dilalui oleh pengajar dalam mengajarkan konsep-konsep fundamental tersebut.
Sebab dalam kasus ilmu kalam dan filsafat Islam atau hikmat, ada beberapa
konsep yang hanya boleh diajarkan kepada mahasiswa tingkat lanjut yang
memiliki cukup pengetahuan dasar dalam ilmu kalam dan filsfat serta
menguasai dasar-dasar ilmu matiq atau logika. Ini disebabkan karena tingkat
kerumitan dan kedalaman konsep dalam ilmu tersebut. Tanpa adanya
perjenjangan, dikhawatirkan mahasiswa yang tidak memiliki pengetahuan
dasar tentang ilmu ilmu kalam, fiqh, tasawuf dan hikmat, akan kebingungan
dalam memahami konsep yang diajarkan. Kebingungan ini bisa menghasilkan
kerancuan dan kesalahan berfikir dalam memahami mana yang benar dan mana
yang tidak. Artinya metode operasional yang ditawarkan oleh Armahedi
Mahzar memerlukan tinjauan kritis dan pematangan untuk keperluan aplikatif
di masa yang akan datang.

D. Integrasi Kesatuan Wujud/Realitas


Ada dua tesis dasar yang melandasi integrasi keilmuan model kesatuan wujud.
Pertama, adanya dikotomi ilmu kedalam ilmu agama dan ilmu non-agama.125
Kedua adanya dominasi positivisme126 dalam sains modern. Dikotomi ilmu
mengakibatkan pengingkaran terhadap validitas dan status ilmiah yang satu
atas yang lain,127 kesenjangan sumber ilmu antara ilmu agama dan ilmu
umum,128 problem objek-objek ilmu yang dianggap “sah” untuk sebuah

125
Dikotomi ilmu kedalam ilmu agama dan non-agama ini terjadi ketika sistem pendidikan
Barat diperkenalkan di dunia Islam. Lihat Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah
Rekonstruksi Holistik, (Bandung: Arasyi, 2005) hal. 19-20.
126
Posotivisme adalah sebuah aliran filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya
pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal atau yang dapat
dicerap oleh indera lahir manusia. Lihat Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah
Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Lentara Hati, 2008) hal. 132; juga Mulyadi Kartanegara, Nalar
Relegius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia, (Jakarta: Erlangga, 2007) hal. 38.
127
Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu, hal. 20.
128
Ibid, hal. 22.

31
disiplin ilmu,129 dan disintegrasi pada tataran klasifikasi ilmu.130 Sementara
dominasi positivisme mengakibatkan satu-satunya realitas yang riil yang bisa
diobservasi melalui indera dan segala wujud yang berada dibalik dunia fisik
(metafisik) hanyalah hasil spekulasi manusia yang tidak memiliki realitas
ontologis di luar kesadaran manusia.131
a. Konsep
Integrasi diperlukan karena dikotomi dan dominasi positivisme melahirkan
beberapa problem keilmuan. Pertama problem sumber ilmu, kedua problem
klasifikasi ilmu, ketiga problem metode ilmu, dan keempat problem
kedudukan ragam pengalaman manusia.132 Atas dasar problem ini integrasi
keilmuan antara ilmu umum (sains Barat modern) dengan ilmu agama tidak
bisa dicapai hanya dengan menyatukan dua kelompok ilmu133—sebab,
keduanya memiliki perbedaan basis teori—namun, integrasi harus
berurusan dengan beberapa aspek atau tingkatan: ontologis, epistemologis,
dan metodologis.134
Untuk mengintegrasikan seluruh tingkatan (ontologi, epistemologi
dan metodoogi), diperlukan konsep kesatuan realitas/wujud.135 Dalam

129
Ibid, hal. 24
130
Ibid, hal. 26
131
Mulayadi Kartanegara, MengIslamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas,
hal. 21. Pandangan kaum positivis ini sama dengan pandangan kamum materialis, mereka
mempercayai bahwa yang fundamental atau prinsipin adalah yang fisik bukan yang non-fisik atau
metafisik. Lihat juga Mulayadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2002) hal. 145.
132
Mulyadi Kartanegara, “Integrasi Ilmu Pengetahuan: Itulah Islam”, dalam Laode M.
Kamaluddin, On Islamic Civilization: Menyalakan Kembali Lentera Peradaban yang Sempat
Padam, (Semarang: UNISSULA Press, 2010) hal. 242-246.
133
Seperti model ayatisasi atau justifikasi. Untuk melihat integrasi model ayatisasi atau
justifikasi silahkan rujuk antara lain: Maurice Bucaille, Bible, Qur’ān dan Sains Modern, terj. Prof.
H. M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2010); juga dalam karya penulis yang sama Darimana
Manusia Berasal?, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizania, 2008); Dr. Muhammad Thohir, Ayat-
ayat Tauhid, (Surabaya: Bina Ilmu, 2013); Wisni Arya Wardana, Al-Qur’ān dan Energi Nuklir,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
134
Integrasi ontologi dengan mengintegrasikaan objek-objek ilmu. Integrasi epistemologi
dengan mengintegrasikaan bidang dan sumber ilmu serta pengalaman manusia. Integrasi
metodologis dengan mengintegrasikan metode dan penjelasan ilmiah. Lihat Mulyadi Kartanegara,
Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003) hal. khususnya
Bab 4, 5, dan 6.
135
Konsep tentang kesatuan wujud diambil dari konsep tauhid dari formulasi “La Ilaha
Illallah” yang ditafsirkan dan dikonseptualisasi oleh para filosof Muslim. Lihat Dr. Humaidi,

32
konsep kesatuan wujud,136 segala wujud yang ada—dengan segala bentuk
dan karakternya—pada hakikatnya adalah satu dan sama. Yang
membedakan yang satu dari yang lainnya hanyalah gradasi (tasykik al-
wujud) yang disebabkan oleh perbedaan dalam esensinya. Oleh karena
semua wujud pada dasarnya satu dan sama, maka wujud apa pun yang kita
ketahui—baik yang spiritual atau yang material—tentu memiliki status
ontologis yang sama-sama kuatnya dan sama-sama riilnya. Oleh karena itu,
segala tingkatan wujud boleh menjadi objek yang valid bagi ilmu karena
realitas ontologis mereka telah ditetapkan.137
a. Metode
Dalam pandangan dunia Islam, objek ilmu berpadanan dengan seluruh
rangkaian wujud/ realitas, baik wujud yang ghaib (metafisik) mapun wujud
yang nyata (fisik).138 Oleh sebab itu, untuk melakukan integrasi seluruh
rangkaian wujud tersebut diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Integrasi objek ilmu139
Yaitu menintegrasikan dan memperluas cakupan objek kajian ilmu,
tidak hanya yang fisik tetapi juga yang metafisik. Ilmuwan Muslim telah
menyusun objek-objek ilmu baik fisik maupun metafisik. Dalam
penyusunan objek fisik, ilmuwan Muslim telah menyusun mulai dari
substansi elementer, seperti tanah, air, api, dan udara, hingga benda-

Paradigma Sains Integratif Al-Farabi, (Jakarta: Sadra Press, 2015) hal. 126-135; Osman Bakar,
Tauhid dan Sains: Prespektif Islam Tentang Agama dan Sains, terj. Yuliani Liputo dan M.S.
Nasrulloh, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2008) hal. 68-71.
136
Konsep tentang kesatuan wujud ini terinspirasi dari pemikran wahdah al-wujud Mulla
Sadra. Untuk kajian tentang pemikiran Mulla Sadra, silahkan rujuk Murtadha Muthahhari,
Pengantar Filsafat Sadra: Filsafat Hikmah, (Bandung: Mizan, 2002); Dr. Syaifan Nur, Filsafat
Wujud Mulla Sadra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002); Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla
Sadra, (New York: SUNY Press, 1975); Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy From Its Origin
to The Present, (Lahore: Suhail Academy, 2007) khususnya bab 12; Seyyed Hossein Nasr, Sadr Al-
Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, (Lahore: Suhail Academy, 2004); Seyyed Hossein
Nasr, “Mulla Sadra: Ajaran-Ajarannya”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliever Leaman (Ed.),
Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan, Buku Kedua, (Bandung: Mizan,
2003) Bab. 36.
137
Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu, hal. 35.
138
Mulyadi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta:
Paramadina, 2000) hal. 117.
139
Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu, hal. 58-71.

33
benda mineral seperti batuan, dan logam-logaman, kemudian tumbuh-
tumbuhan dan hewan, termasuk di dalamnya manuia. Demikian juga
mereka telah mempelajari objek-objek langit seperti bintang-bintang,
planet, dan galaksi, dan objek-objek yang ada di antara langit dan bumi,
yang dikaji dalam meteorologi, seperti cuaca, musim, dan iklim, serta
studi bumi sendiri dan struktur alamiah, dalam apa yang disebut geologi
dan geografi. Intinya, semua objek yang sekarang menjadi objek
penelitian sains modern, adalah juga objek yang sah dalam epistemologi
Islam, sebagai bagian integral dari objek-objek lainnya, yang
membentang antara dunia fisik dan Tuhan yang berada pada puncak
herarki wujud.
2. Integrasi bidang ilmu140
Yaitu mengintegrasikan bidang kajian metafisika, matematika dan
fisika. Dalam keilmuan Islam objek ilmu setidaknya dibagi dalam tiga
kelompok, yaitu: (1) objek yang secara niscaya tidak berkaitan dengan
materi dan gerak; (2) objek-objek yang senantiasa berkaitan dengan
materi dan gerak; dan (3) objek-objek yang pada dirinya immateril,
tetapi kadang melakukan kontak dengan materi dan gerak. Kelompok
pertama masuk dalam bidang kajian metafisika, kelompok kedua masuk
dalam bidang kajian fisika, dan kelompok ketiga masuk dalam bidang
kajian matematika. Ketiga kelompok bidang ilmu tersebut telah
membentuk kesatuan bidang-bidang ilmu yang koheren dan solid dalam
sistem keilmuan Islam.
3. Integrasi sumber ilmu141
Yaitu mengintegrasikan antara wahyu, indera, akal, dan hati (intuisi).
Dalam mengkaji berbagai objek ilmu—baik yang fisik atau non-fisik—
para ilmuwan Muslim mengakui empat sumber ilmu yang terpadu dan
saling melengkapi, yaitu wahyu, indera, akal, dan hati. Keempat sumber

140
Ibid, hal. 72-99.
141
Ibid, hal. 100-115.

34
ini telah membentuk suatu kesatuan sumber ilmu yang diakui manfaat
dan keabsahannya.
4. Integrasi pengalaman manusia142
Yaitu mengintegrasikan pengalaman inderawi, intelektual dan spiritual.
Dengan pengamatan inderawi manusia mampu mengenali lima macam
dimensi fisik, yaitu bentuk, rasa, bau, bunyi dan raba. Namun, secanggih
apapun metode pengamatan inderawi tidak akan mampu menembus
objek-objek non-fisik. Oleh karena itu keilmuan yang integral menuntut
metode selain pengamat inderawi dalam memahami realitas non-fiik.
Metode tersebut ialah metode intelektual melalui penyelidikan akal dan
spiritual melalui pengalaman mimpi dan pengalaan mistik atau intuisi.
5. Integrasi metode ilmiah143
Yaitu mengintegrasikan antara metode: tajribi, bayani, burhani dan
‘irfani. Integrasi ini didasari atas pembatasan objek ilmu oleh sains
modern hanya pada benda-benda fisik mengakibatkan metode utama
yang dianggap valid adalah observai inderawi. Namun dalam tradisi
keilmuan Islam, objek ilmu tidak terbatas hanya pada dunia inderawi
semata, tetapi juga yang non-inderawi. Oleh karena itu, metode ilmiah
harus dikembangkan pada metode-metode yang bisa digunakan untuk
mengamati dan mempelajari entitas-entitas non-inderawi. Para ilmuwan
Muslim kemudian membuat metode ilmiah laiannya dalam mempelajari
entitas-entitas non-inderawi. Untuk dapat menangkap objek-objek non-
fisik seperti jiwa, Tuhan, dan malaikat serta konsep-konsep universal
yang pada dirinya berifat immateriil, digunakanlah metode demonstratif
atau mentode rasional. Kemudian, untuk dapat memahami objek-objek
non-fisik yang tidak dapat dijangkau oleh akal ilmuwan Muslim juga
menambahkan metode ‘irfani, yaitu metode pengalaman langsung tanpa
melalui perantara inderawi ataupun akal.

142
Ibid, hal. 116-131.
143
Ibid, hal. 132-147.

35
6. Integrasi penjelasan ilmiah144
Yaitu dengan mengintegasikan empat prinsip penjelasan: sebab efisien,
sebab final, sebab materil dan sebab formal. Hal ini didasari bahwa
dalam pemikiran modern, sebab efisien dan sebab final sudah tidak
diperlukan dan dianggap kuno. Karena sains modern tidak ingin
membahas persoalan penciptaan dan tujuan penciptaan alam. Dalam
sistem keilmuan, empat sebab tersebut berkaitan erat dengan pertanyaan
“apakah”, “apa”, “yang mana”. dan “mengapa”. “apakah” merupakan
investigasi tentang keberadaan, “apa” meneliti jenis dari setiap yang ada
yang memiliki sebuah genus, “yang mana” meneliti perbedaanya yang
khas, dan “mengapa” merupakan investigai tentang sebab final absolut,
atau untuk apa sesuatu itu ada. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa
keempat sebab ini merupakan satu kesatuan tunggal dalam penjelasan
ilmiah yang tidak akan sempurnya jika dihilangkan salah satunya.
7. Integrasi ilmu teoritis dan ilmu praktis145
Yaitu dengan mengintegrasikan metafisika, fisika, matematika,
ekonomi, politik dan etika. Hal ini dilandasi atas pembagian para filosof
Muslim yang membagi akal kedalam akal teoritis dan akal praktis di
mana akal teoritis dan akal praktis menghasilkan ilmu-ilmu teoritis dan
ilmu-ilmu praktis. Berdasarkan objeknya, objek ilmu teoritis berupa
benda/entitas (baik fisik atau non-fisik) sedangkan ilmu praktis adalah
tindakan bebas manusia. Berdasarkan tugasnya, ilmu teoritis bertugas
mendirikan bangunan ilmiah ilmu yang komprehensif, sedangkan ilmu
praktis mengelola nafu-nafsu manusia. Maka bidang garapan ilmu
teoritis mencakup metafisika, fisika dan matematika, sedagkan ilmu
praktis mencakup ekonomi, politik dan etika. Oleh karenanya kedua
ilmu ini tidak terpisahkan satu sama lain, sebab keduanya menggarap
realitas keilmuan dan pengalaman manusia.

144
Ibid, hal. 148-161.
145
Ibid, hal. 162-176.

36
Dari segi konsep, model integrasi kesatuan wujud tidak memiliki kelemahan
secara konseptual-epistemologis, sebab dengan tegas menolak sebagian
konsep-konsep kunci worldview Barat seperti dualisme, rasionalisme,
poitivisme dan empirisme. Namun dari segi metode, integrasi kesatuan wujud
memiliki dua kelemahan utama. Pertama, integrasi kesatuan wujud sekedar
mengintegrasikan dan menambahkan metode-metode tertentu—yang diingkari
dalam sains modern—kedalam metode sains modern. Dalam integrasi objek
kajian ilmu misalnya, Mulyadi Kartanegara memperluas cakupan objek ilmu,
tidak hanya yang fisik tetapi juga yang metafisik. Ketika cakupan kajian sains
diperluas hingga objek metafisik di mana dalam kajian metafisik pendekatan
dilakukan dengan metode demonstratif-filosofis, sedangkan kajian objek fisik
dilakukan dengan metode empiris-eksperimental, maka di sini belum ada
integrasi ilmu yang jelas. Sebab kedua objek ini memiliki metode yang
berbeda. Pertanyaannya, bagaimana proses integrasi tersebut dilakukan?
Mulyadi Kartanegara tidak menjelaskan secara rinci langkah-langkah integrasi
tersebut.146 Maka di sini integrasi bermakna tidak lebih sebagai perluasan dan
penambahan objek ilmu yang awalnya diingkari dalam sains modern.

Kedua, di dalam mengintegrasikan metode ilmiah, Mulyadi Kartanegara


menganggap empat metode147 yang ia tawarkan semuanya telah ‘bersih’ dan
tidak memiliki masalah. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Metode
rasional dan eksperimental memiliki perbedaan paradigma yang mendasar
dengan metode bayani dan ‘irfani dalam konteks keilmuan Islam. Selain
memiliki perbedaan dengan bayani dan burhani, metode rasional dan
eksperimental juga memiliki asumsi dasar yang berbeda dengan metode
burhani dan tajribi dalam konsep keilmuan Islam. Dalam konsep tajribi
penelitian dilakukan dengan asumsi dasar bahwa alam semesta ini dicipta oleh
Tuhan dan segala hukum yang terjadi di alam ada campur tangan Tuhan di
dalamnya. Hal ini jelas berbeda dengan metode eksperimental sains modern, di

146
Tidak adanya penejasan secara rinci ini tidak hanya terjadi pada integrasi objek ilmu
namun juga metode integrasi lain yang ia tawarkan.
147
Empat metode tersebut yaitu: tajribi, bayani, burhani, dan ‘irfani.

37
mana metode ini dibangun atas asumsi dasar bahwa alam ini tidak dicipta oleh
suatu Tuhan, dan jikapun alam dicipta oleh Tuhan, Tuhan sudah tidak lagi
berurusan dengan alam, yakni hukum alam bersifat mekanis-deterministik.
Dua basis asumsi dasar yang berbeda—bahkan bertolak belakang—ini tentu
tidak bisa serta merta diintegrasikan secara utuh. Maka integrasi metode ilmiah
dalam hal ini integrasi metode tajribi, burhani, bayani dan ‘irfani harus ditinjau
ulang secara kritis.

E. Integrasi Ilmu Berparadigma Profetik


Gagasan ilmu profetik148 pertama kali dilontarkan oleh Kuntowijoyo.149 Ide
tentang ilmu profetik tersebut150 pernah dituangkan dalam artikel di Republika
hari Kamis 7 Agustus 1997.151 Ada tiga unsur yang menjadi pilar ilmu profetik,
pertama, humanisasi, yaitu memanusiakan manusia, menghilangkan
kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia.152 Kedua,
liberalisasi. Yaitu pembebasan yang memiliki tanggung jawab profetik, yaitu
membebaskan manusia dari kemiskinan, kezaliman dan lain-lain.153 Ketiga,
transendensi. Yaitu menempatkan Tuhan dan agama pada kedudukan sentral
guna membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur kemanusiaan.154

148
Kata profetik berasal dari bahasa Inggris prophet yang berarti nabi. Menurut Oxford
Dictionary, prophet adalah (1) of pertaining or proper to a proper or prophecy; having the
character or function of a prophet; (2) characterized by, containing, or of the nature of prophecy;
predictive. Lihat Oxford Dictionary, (Oxford: Oxfor University Press, 2010) hal. 1176.
149
Kuntowijoyo adalah adalah seorang budayawan, sastrawan, dan sejarawan dari
Indonesia. Lahir Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943 dan wafat tanggal 22 Februari 2005.
150
Ide ilmu profetik terilhami dari Q.S. Ali Imron ayat 130.
151
Lihat Arqom Kuswanjoro, “Model Integration of Knowledge di Universitas Gadjah
Mada,” Proceeding of International Conference on Integration of Contemporary and Islamic
Knowledge in Islamic University, (Ponorogo: University of Darussalam, 2015) hal. 371.
152
Alasan yang melatar belakangi Kuntowijoyo mengkritik Islamisasi pengetahuan adalah
ketika istilah Islamisasi pengetahuan diplesetkan kearah Islamisasi non-pri. Kuntowijoyo
mendorong supaya gerakan intelektual umat melangkah lebih jauh dari “Islamisasi pengetahuan” ke
“pengilmuan Islam”; dari reaktif menjadi proaktif. Lihat Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu:
Epistemologi, Metodologi dan Etika, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006) hal. vii-viii.
153
Humanisasi yang dimaksud Kuntowijoyo adalaah humanisme teosentris sebagai
pengganti humanisme antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia. Kuntowijoyo,
Islam Sebagai Ilmu, hal. 100.
154
Ibid, hal. 103.

38
Berangkat dari ilmu profetik, Kuntowijoyo kemudian merumuskan konsep
pengilmuan Islam. Konsep pengilmuan Islam merupakan kritik terhadap
konsep Islamisasi pengetahuan.155 Konsep ini kemudian dilanjutkan dan
dikembangkan oleh Ahimsa Putra156 dengan konsep “Paradigma Profetik”.157
a. Konsep
Dengan konsep pengilmuan Islam, Kuntowijoyo menginginkan Islam
sebagai ilmu dalam arti Islam pada dirinya sendiri merupakan ilmu.158
Dengan Islam sebagai ilmu, Kuntowijoyo meletakkan wahyu sebagai
sumber pengetahuan yang penting dan pemilik otoritas tertinggi.159
Menjadikan wahyu sebagai sumber pengetahuan merupakan pengakuan
akan adanya struktur transendental dalam menafsirkan realitas.160 Yaitu
mengakui bahwa Al-Qur’ān sebagai struktur yang memiliki bangunan ide
yang transendental dan memiliki suatu sistem yang otonom dan
sempurna.161
Struktur transendental Al-Qur’ān merupakan suatu ide normatif dan
filosofis yang dirumuskan menjadi paradigma teoritis162 yang memberikan
kerangka163 bagi perkembangan ilmu pengetahuan empiris dan rasional
yang sesuai dengan kebutuhan pragmatis masyarakat Islam.164
Sedangkan menurut Ahimsa Putra, dalam paradigma profetik,
integrasi dilakukan dengan, pertama-tama meletakan Al-Qur’ān dan Hadits

155
Transendesi memberi kemana arah humanisasi dan liberalisasi dilakukan. Ibid, hal. 105.
156
Heddy Shri Ahimsa Putra adalah guru besar antropologi Universitas Gadjah Mada. Lahir
di Yogyakarta 28 Mei 1954.
157
Heddy Shri Ahimsa Putra, Paradigma Profetik Islam: Epistemologi, Etos dan Model,
(Gadjah Mada University Press, 2016)
158
Tidak sekedar Islam sebagai sumber ilmu atau etika Islam sebagai panduan penerapan
ilmu.
159
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, hal. 17.
160
Yaitu pengakuan akan adanya ide murni yang sumbernya ada di luar diri manusia; suatu
konstruk tentang struktur nilai yang berdiri sendiri dan bersifat transendental. Ibid, hal. 18.
161
Ibid.
162
Yaitu menganalisis pernyataan-pernyataan Al-Qur’ān kemudian mensintesiskan
pernyataan-pernyataan tersebut dan dioperasionalkan menjadi objektif dan empiris. Ibid, hal. 11-17.
Juga Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Intepretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008) hal. 548-564.
163
Kerangka tersebut adalah pandangan pokok tengan Tuhan (tauhid), nabi dan ilmu. Lihat
Heddy Shri Ahimsa Putra, Paradigma Profetik Islam, hal. 48-61.
164
Ibid, hal. 24.

39
sebagai sumber utama pengetahuan dan tauhid sebagai kerangka berfikir
atau paradigma,165 kemudian mengintegrasikan sarana pencapaian
pengetahuan166 dan integrasi sumber pengetahuan.167
b. Metode
Ada dua metode168 yang digunaka dalam paradigma profetik, yaitu:169
1. Integralisasi
Yaitu menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) kekayaan keilmuan
dan temuan pikiran manusia dengan wahyu tanpa mengucilkan Tuhan
atau mengucilkan manusia.170
2. Objektifikasi
Yaitu Gagasan normatif Islam ditampilkan sebagai nilai-nilai universal,
bersifat publik, dan dijustifikasi secara rasional.

Secara konseptual integrasi paradigma profetik yang digagas oleh


Kuntowijoyo dan dilanjutkan oleh Ahimsa Putra sama halnya dengan model
integrasi yang lain, yaitu tidak memiliki penjelasan memadai dan sistematik
tentang apa yang dimaksud integrasi ilmu. Sebagaimana model integrasi yang
lain, integrasi paradigma profetik tidak lebih sekedar tambal sulam dari konsep
keilmuan Barat yang sekular, dikotomis dan kering akan nilai-nilai relegius-
transendental. Kata “profetik” secara tidak langsung mewakili bangunan
konsep integrasi paradigma profetik. Yaitu bagaimana keilmuan agama—
dalam hal ini Islam—dapat diaplikasikan dalam kehidupan masayarakat secara
umum dengan balutan nilai-nilai kenabian, yakni nilai-nilai universal Islam
yang tidak bergantung pada tempat dan waktu.171 Meskipun Al-Qur’ān dan

165
Heddy Shri Ahimsa Putra, Paradigma Profetik Islam, hal. 47-50.
166
Ibid, hal. 61-77.
167
Ibid, hal. 77-103.
168
Di sini hanya dipakai metode yang digunakan oleh Kuntowijoyo, karena Ahimsa Putra
belum menjelaskan secara jelas metode yang digunakan dalam mengimplemantasikan paradigma
profetik Islam.
169
Lihat Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, hal. 49-79.
170
Dalam hal ini integralisasi diharapkan mampu menyelesaikan konflik antara
sekularimse ekstrim dan agama-agama radikal. Ibid, hal. 55.
171
Hal ini sesuai dengan tujuan diutusnya Nabi Muhammad yang merupakan rahmat bagi
seluruh alam.

40
Hadits serta tauhid dijadikan kerangka berfikir dalam pengembangan
keilmuan, namun apa yang dimaksud sebagai kerangka berfikir Qur’ani
ataupun tauhidi belum terdeskripsikan dengan jelas. Selain itu, baik
Kuntowijoyo maupun Ahimsa Putra, belum memberikan gambaran yang jelas,
apa yang menjadi batasan suatu paradigma itu disebut Qur’āni atau tidak
Qur’āni, tauhidi atau tidak tauhidi. Oleh karena itu secara konseptual integrasi
paradigma profetik ini belum mampu untuk dijadikan alat uji bagi melihat
apakah suatu konsep dapat disebut Islami atau tidak; dan jika ada konsep asing
ingin dimasukan ataupun di integrasikan dengan konsep Islam, sejauh mana ia
bisa diterapkan.
Secara metodologis, dua metode yang ditawarkan dari integrasi
paradigma profetik, memiliki beberapa persoalan. Dalam metode integralisasi,
sebagaimana metode-metode sebelumnya, Kuntowijoyo tidak menjelaskannya
secara sistematis. Ia hanya memberikan keterangan, yang dimaksud ilmu-ilmu
integralistik adalah ilmu yang mampu menyutakan wahyu Tuhan dengan
keilmuan manusia, tanpa mengucilkan Tuhan ataupun mengucilkan
manusia.172 Penjelasan ini jelas terlalu umum dan belum jelas apa yang
dimaksud dengan tidak mengucilkan Tuhan ataupun manusia. Intinya, metode
integralisasi ini belum memiliki bentuk baku untuk dijadikan sebagai sebuah
metode keilmuan.
Dalam metode objektifikasi ada pertanyaan penting dan mendasar
untuk memahami apa yang dimaksud Kuntowijoyo sebagai objektifikasi, yaitu:
ke mana sebenarnya muara dari objektifikasi Islam ini? Apakah objektifikasi
tersebut sekadar strategi untuk mewujudkan ‘cita-cita Islam’—dalam arti
penerapan sharī’ah dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat—ataukah ia
merupakan tujuan pada dirinya sendiri?173

172
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, hal. 55.
173
Persoalan objektifikasi Islam ini telah di bahas dengan menarik oleh Ayub, ”Mengingat
Kembali Objektifikasi-Islam Kuntowijoyo”, yang ditulis pada 12 Desember 2015. Tulisan ini
mengambil sebagian dari tulisan saudara Ayub tersebut. Untuk merujuk tulisan tersebut silahkan
akses https://santricendekia.com/2015/12/mengingat-kembali-objektifikasi-Islam-kuntowijoyo/ di
akes 9 November 2016.

41
Jelas ada perbedaan mendasar antara keduanya. Sebagai strategi,
objektifikasi Islam adalah pembuka jalan ke arah Islamisasi sedangkan
sebagai tujuan, objektifikasi Islam adalah pembuka jalan ke arah sekularisasi.
Sebagai strategi, objektifikasi diandaikan sebagai sebuah cara untuk
membangun simpati publik yang majemuk sekaligus menepis fobia atas
penerapan Islam di ruang publik.
Dengan objektifikasi diharapkan masyarakat tidak lagi alergi atau
khawatir dengan implementasi ajaran Islam di ruang publik, tetapi sebaliknya
akan mengapresiasi dan mendukungnya. Dari situ akan muncul kepercayaan
terhadap penerapan ajaran Islam yang menjadi modal penting bagi
pemberlakuan sharī’ah Islam. Secara perlahan-lahan sharī’ah akan
diberlakukan di tengah publik hingga akhirnya sharī’ah diterapkan secara
paripurna di seluruh aspek kehidupan masyarakat. Kurang lebih inilah
gambaran objektifikasi Islam sebagai strategi ke arah Islamisasi.
Adapun objektifikasi sebagai tujuan pada dirinya sendiri berarti bahwa
penerapan Islam di ruang publik cukup berhenti pada nilai-nilai yang sifatnya
‘universal’ dan tanpa harus menonjolkan identitas Islam itu sendiri. Dengan
kata lain, agama—dalam hal ini Islam—dipandang sebagai salah satu—bukan
satu-satunya—sumber etika. Pandangan ini sejalan dengan tesis sekularisasi
yang menekankan bahwa agama cukup berada di ruang privat namun tidak
menafikan agama sebagai sumber etika dalam kehidupan di ruang publik. Hal
ini telah terjadi di Dunia Barat ketika Kristen dengan lembaga gerejanya tidak
lagi menguasai kehidupan masyarakat tetapi nilai-nilai etika Kristen seperti
cinta kasih kepada sesama manusia tetap hidup dan menjadi pegangan di
tengah masyarakat bahkan ketika masyarakat Barat sudah sangat tersekularkan
dan banyak yang tidak lagi beragama sekalipun.
Kesimpulannya adalah metode objektifikasi yang ditawarkan oleh
Kuntowijoyo memiliki dua makna, sebagai strategi dan sebagai tujuan pada
dirinya sendiri. Namun, dari dua makna ini, manakah yang dimakud oleh
Kuntowijoyo sebagai objektifikasi Islam? Sulit untuk menjawabnya.

42
Tinjauan Kritis Integrasi Ilmu

Ada satu terma utama yang menjadi titik tolak dalam menganalisis konsep dan
metode integrasi ilmu, yaitu worldview. Sebab worldview merupakan visi tentang
realitas dan kebenaran, berupa kesatuan pemikiran yang arsitektonik,174 yang
berperan sebagai asas yang tidak nampak (non-observable) bagi semua perilaku
manusia, termasuk aktifitas ilmiah dan teknologi.175 Pembahasan mengenai sains
dan teknologi berarti berbicara suatu bentuk pandangan dunia (worldview) tertentu
yang mendasarinya. Sebab setiap aktivitas ilmiah selalu memiliki suatu keyakinan
dasar tertentu,176 dan keyakinan dasar ini akan membentuk suatu pandangan
dunia.177 Artinya dalam menganalisis konsep dan metode dalam integrasi ilmu
dapat dilacak dari pandangan dunia yang melandasi konsep dan metode tersebut.

Ada perbedaan mendasar antara worldview Islam dan worldview Barat.


Menurut Thomas F. Wall worldview ditentukan oleh pemahaman indvidu terhadap
enam bidang pembahasan, yaitu: (1) Tuhan, (2) Ilmu, (3) Realitas, (4) Diri, (5)
Etika, dan (6) Masyarakat.178 Di mana kepercayaan terhadap Tuhan berimplikasi
terhadap lima bidang yang lain. Sebagaimana dinyatakan oleh Thomas F. Wall
sebagai berikut:

It (belief in God’s existence) is very important, perhaps the most


important element in any worldview. First if we do believe that God
exists, then we are more likely to believe that there is a plan and a
meaning of life, ....if we are consistent, we will also believe that the

174
Aristektonik berasal dari Bahasa Yunani architektonikos, dari architektōn artinya
terorganisir dan memiliki struktur terpadu. Having an organized and unified structure. Di akses dari
http://www.merriam-webster.com/dictionary/architectonic 9 November 2016
175
Alparlan Acigence, Islamic Science: Toward d Definition, (Kuala Lumpur: ISTAC,
1996) p. 29; Hamid Fahmy Zarkasyi, “Islamic Worldview Sebagai Paradigma Sains Islam,” dalam
Syamsuddin Arif (Ed.) Islamic Science: Paradigma, Fakta dan Agenda, (Jakarta: INSISTS, 2016)
hal. 13; Idem, “Islam Sebagai Worldview,” dalam Laode M. Kamaluddin (Ed.) On Islamic
Civilization: Menyalakan Kembali Lentera Peradaban yang Sempat Padam, (Semarang:
UNISSULA Press, 2010) hal. 117.
176
Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Islam Asas Peradaban, (Jakarta: INSISTS, 2011)
hal. 29.
177
Ibid, hal. 30-31.
178
Thomas S. Wall, Thinking Critically About Philosophical Problems, (Wadsworth:
Thomson, 2001) p. 16.

43
source of moral value is not just human convention but divine will
and that God is the highest value. Moreover, we will have to believe
that knowledge can be of more than what is observable and that there
is a higher reality – the supernatural world ....if on the other hand, we
believe that there is no God and that there is just this one world, what
would we then be likely to believe about the meaning of life, the nature
of ourselves, and after life, the origin of moral standards, freedom and
responsibility and so on.179

Artinya kepercayaan individu terhadap adanya atau tidak adanya Tuhan akan sangat
menentukan cara pandang individu terhadap realitas dan pengalamannya—dalam
konsepsi Thomas F. Wall kepercayaan terhadap tuhan berkaitan erat secara
konseptual dengan ilmu, realita, diri, etika dan masyarakat. Dalam konsep
keilmuan, kepercayaan seorang terhadap adanya atau tidak adanya Tuhan akan
sangat menentukan produk keilmuan yang dihasilkannya.

Bertolak dari konsep worldview Thomas F. Wall, worldview Islam


bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Worldview Islam
terdiri dari berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu,
pencipatan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta
kebahagiaan—konsep-konsep tersebut yang menentukan bentuk perubahan,
perkembangan dan kemajuan—dan dibangun atas konsep Tuhan yang unik, yang
tidak ada pada tradisi filsafat, budaya, peradaban dan agama lain.180 Sedangkan
worldview Barat tidak bersumber pada wahyu dan tidak berdasarkan kepercayaan
kepada Tuhan. Worldview Barat dibangun atas konsep humanisme dengan elemen
cabangnya antara lain: rasionalisme, empirisme, sekularisme, dualisme, liberalisme
dan gender equality.181 Dari matriks worldview yang dipaparkan oleh Thomas F.

179
Ibid, p. 532.
180
Lihat uraian komprehensif Syed Muhammad Naquib al-Attas mengenai pandangan-
hidup Islam dalam Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics Of Islam:
An Exposition Of The Fundamental Elements of The Worldview Of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC,
2001) p. 1-39; Abdelaziz Berghout (Ed.), Introduction to the Islamic Worldview: Study of Selected
Essensials, (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2010)
181
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Islam Sebagai Worldview,” hal. 126-131.

44
Wall di atas, telah jelas bahwa worldview Islam berbeda secara diametris dan
konseptual dengan worldview Barat, baik yang modern maupun postmodern.182

Berangkat dari konsep worldview, dapat dilihat integrasi ilmu model


integrasi-interkoneksi terhegemoni worldview keilmuan Barat.183 Bentuk hegemoni
tersebut ialah ketika mengasumsikan bahwa konsep dan metode ilmu-ilmu
kealaman, sosial-humaniora dapat langsung diintegrasikan dan dikaitkan secara
utuh tanpa proses seleksi. Ilmu-ilmu keIslaman sebagai obyek kajian harus mampu
ditelaah dan bahkan dikoreksi oleh ilmu-ilmu kontemporer terutama yang memiliki
basis ilmu-ilmu sosial-humaniora. Begitu juga dengan integrasi ilmu model pohon
ilmu dan integrasi pentadik, konsep integrasi dengan maksud memadukan ilmu dan
agama atau sekedar menambahkan nilai-nilai Islam pada sains modern tidak
memiliki penjelasan sistematik tentang bagaimana proses pemaduan dan
penambahan nilai tersebut. Pemaduan atau integrasi yang dilakukan tanpa adanya
proses ‘filtering’ ini mandakan bahwa para pengusung integrasi model ini
menganggap bahwa sains Barat modern tidak memiliki persoalan dan dapat
langsung diintegrasikan dengan ilmu-ilmu keIslaman.

Dari segi worldview integrasi ilmu model kesatuan wujud dan paradigma
profetik tidak sepenuhnya terhegemoni worldview Barat,184 namun belum memiliki
konsep worldview yang sistematis dalam penjabaran integrasi ilmu. Dalam integrasi
kesatuan wujud, integrasi dari tingkatan ontologis, epistemologis, dan metodologis
dilakukan dengan melakukan integrasi objek ilmu, integrasi bidang ilmu, integrasi
sumber ilmu, integrasi pengalaman manusia, integrasi metode ilmiah, integrasi
penjelasan ilmiah, dan integrasi ilmu teoritis dan ilmu praktis. Sementara dalam
paradigma profetik integrasi dilakukan dengan, pertama-tama meletakan Al-Qur’ān

182
Ibid, hal. 135
183
Untuk penjabaran komprehensif tentang invasi dan hegemoni worldview Barat dalam
diskursus keilmuan Islam, silahkan rujuk Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni
Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta, Gema Insani Press, 2005) bab. 12, 13, dan 14; Idem,
Hegemoni Kristen Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta, Gema Insani Press, 2006)
184
Sebab kedua model ini dengan tegas menolak sebagian konsep-konsep kunci worldview
Barat seperti dualisme, rasionalisme dan empirisme. Hal ini terjadi mungkin dikarenakan
pengususng kedua model integrasi ini tidak menggap worldview sebagai elemen penting dan
mendasar dalam membentuk corak pengetahuan.

45
dan Hadits sebagai sumber utama pengetahuan dan tauhid sebagai kerangka berfikir
atau paradigma, kemudian mengintegrasikan sarana pencapaian pengetahuan dan
integrasi sumber pengetahuan. Kedua bentuk integrasi ini secara tidak langsung
berasumsi bahwa antara objek, sumber dan metodologi keilmuan Barat tidaklah
bermasalah, namun hanya menafikan hal-hal yang metafisik dan non-observable.
Oleh karena itu integrasi dilakukan dengan menambahkan hal-hal yang dinafikan
atau dilewatkan oleh metode keilmuan Barat. Tentu hal ini adalah kerancuan, sebab
objek, sumber dan metodologi keilmuan Barat tidak hanya sekedar menafikan hal-
hal yang metafisik dan non-observable, namun ada asumsi-asumsi dasar yang
melandasi setiap aktivitas keilmuannya di mana asumsi-asumsi tersebut bisa jadi
bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu integrasi yang dilakukan dengan
sekedar menambahkan hal-hal yang dinafikan atau dilewatkan oleh metode
keilmuan Barat adalah sebuah kerancuan.

Problem dikursus integrasi ilmu model integrasi-interkoneksi, pohon ilmu


dan integrasi pentadik terletak pada konsep ilmu. Dengan pemaduan, pengaitan dan
penambahan nilai-nilai Islam tanpa poses seleksi merupakan bentuk kebingungan
dalam memahami konsep ilmu, baik konsep ilmu dalam perspektif Islam ataupun
perspektif Barat.185 Kebingungan ini berdampak pada konsep integrasi dan
metodologi yang dirumuskan. Sedangkan dalam diskursus integrasi ilmu model
kesatuan wujud dan paradigma profetik problemnya terletak pada kurang
difahaminya konsep worldview khususnya perbedaan fundamental antara
worldview keilmuan Islam dan Barat.

Di sini dapat disimpulkan bahwa semua problem yang ada dalam konsep
dan metode integrasi ilmu terletak pada persoalan worldview. Para pengusung
integrasi ilmu kurang memahami dengan baik perbedaan fundamental sistem
keilmuan Barat dan sistem keilmuan Islam yang dibentuk dan dibangun oleh

185
Untuk kajian komprehensif tentang konsep Ilmu dalam Islam silahkan rujuk Wan Mohd
Nor Wan Daud, Konsep Pengetahuan dalam Islam, terj. Munir, (Bandung: Pustaka, 1997) atau
perbandingan antara konsep ilmu dalam perspektif Islam dan Barat, lihat Syed Muhammad Naquib
al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani, (Bandung: Mizan, 1995); Idem, Islam:
Faham Agama dan Asas Akhlak, (Kuala Lumpur: IBFIM, 2013) hal. 60-75.

46
worldview yang berbeda. Worldview yang berbeda jelas akan menghasilkan sistem
keilmuan yang berbeda. Oleh karena itu, kurang difahaminya konsep worldview
oleh para pengusung integrasi ilmu, mengakibatkan kerancuan pada model integrasi
yang dirumuskan.

Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Alternatif Integrasi Ilmu


Setidaknya ada dua alasan mengapa Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer bisa
menjadi alternatif dalam diskursus integrasi ilmu. Pertama, secara konseptual
menyentuh akar persoalan sains dan epistemologi modern, yaitu persoalan ilmu.186
Kedua, secara metodologis, menawarkan langkah-langkah yang jelas dan
sistematik.187

Tesis dasar dari gagasan Islamisasi adalah bahwa ilmu bukan bebas-nilai (value
free), tetapi sarat nilai (value laden),188 dan bisa dijadikan alat yang sangat halus
dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup suatu kebudayaan.189
Oleh karena itu ilmu perlu diislamkan. Yaitu dengan mengeluarkan nilai-nilai yang
terkandung190 di dalam suatu ilmu—yang tidak sesuai dengan Islam—kemudian
memasukan nilai-nilai Islam191 di dalamnya. Artinya yang diislamkan adalah ilmu

186
Islamisasi ilmu dimulai dengan mengidentifikasi sumber kerusakan ilmu akibat dari
sekularisasi dan westernisasi. Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam
Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy Zarkasyi dkk, (Bandung: Mizan, 2003) hal. 317.
187
Salah satu langkah strategis dari Islamisasi adalah perubahan kurikulum dan pendirian
Perguruan Tinggi sebagai wahana untuk mengembalikan kekuatan dan kemajuan Ummat Islam.
Maka al-Attas mendirikan ISTAC kemudian al-Faruqi mendirikan IIIT dengan tawaran 12 metode
Islamisasi ilmu kontemporer. Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan
Islam... Bab 4.
188
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hal. 169.
189
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur:
ISTAC, 2001) hal. 49.
190
Nilai-nilai yang mesti diisolir antara lain: (1) Akal sebagai satu-satunya sumber untuk
membimbing manusia mengarungi kehidupan; (2) Pandangan dualistis tentang realitas dan
kebenaran; (3) Membenarkan aspek Being yang bersifat temporal yang memproyeksikan suatu
pandangan hidup sekular; (4) Pembelaan terhadap doktrin humanism; dan (5) Peniruan terhadap
drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spiritual, atau
transendental, atau kehidupan batin manusia. Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan
Sekularisme, hal. 170.
191
Konsep-konsep dasar Islam itu di antaranya adalah: (1) Konsep din; (2) Konsep manusia
(insan); (3) Konsep ilmu (ilm dan ma’rifah); (4) Konsep keadilan (‘adl); (5) Konsep amal yang
benar (amal sebagai adab) dan semua istilah dan konsep yang berhubungan dengan itu semua; dan
(6) Konsep tentang universitas (kulliyah, jami’ah) yang berfungsi sebagai bentuk implementasi
semua konsep-konsep itu dan menjadi model sistem pendidikan. Lihat Syed Muhammad Naquib al-
Attas, Islam dan Sekularisme, hal. 201.

47
pengetahuan kontemporer dalam hal ini adalah sains Barat modern dan postmodern,
bukan Islamisasi ‘ilm. Tesis ini juga dengan jelas membantah anggapan bahwa
Islamisasi adalah ayatisasi atau mazhab tempel ayat, yaitu legitimasi teori tertentu
dengan ayat-ayat Al-Qur’ān .192

A. Konsep

Membicarakan Islamisasi ilmu pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari


pemikiran al-Attas dan al-Faruqi. Sebab dua tokoh inilah yang merupakan
pemantik gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan. Bahkan dua jangkar
institusional utama Islamisasi ilmu Pengetahuan, yakni IIIT dan ISTAC,
dibangun dan dikepalai pertama kali oleh dua tokoh tersebut.193 Namun, dalam
pembahasan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan hanya akan dibahas
pemikiran al-Attas. Hal ini berangkat dari dua alasan. Pertama, gagasan
Islamisasi ilmu pengetahuan bermula dari al-Attas, meski al-Faruqi yang
mempopulerkannya. al-Faruqi sendiri banyak terpengaruh oleh al-Attas dalam
perumusan agenda Islamisasi ilmu pengetahuan yang ia gagas.194 Kedua,
sementara al-Attas merumuskan gagasannya mengenai Islamisasi ilmu
pengetahuan secara mendasar dengan menjelaskan landasan filosofisnya, al-
Faruqi langsung melompat ke rumusan operasional berupa rencana kerja dan
langkah-langkah untuk meng Islamkan pengetahuan. Karena itulah, gagasan
al-Faruqi kerap menjadi sasaran kritik karena banyak hal fundamental yang
belum dijelaskannya secara tuntas.195 Dengan demikian, ketika hendak
mendiskusikan konsep yang melandasi proyek Islamisasi ilmu pengetahuan
maka mesti merujuk pada karya-karya al-Attas, sebab hal demikian tidak
dijumpai secara sistematis dalam karya-karya al-Faruqi.

192
Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan: Biografi Keilmuan M. Amin
Abdullah, hal. xlvii.
193
Indi Aunullah, Dewesternisasi dan Islamisasi: Al-Attas dan Filsafat Ilmu Islam.pdf hal.
2. Di akses dari https://id.scribd.com/doc/19222051/Dewesternisasi-Dan-Islamisasi-Al-Attas-Dan-
Filsafat-Ilmu-Islam di akses 2 Desember 2016.
194
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, hal. 392-399.
195
Indi Aunullah, Dewesternisasi dan Islamisasi: Al-Attas dan Filsafat Ilmu Islam.pdf hal.
2.

48
Secara konseptual, Islamisasi dirumuskan pertama kali secara sitemastis
oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas.196 Berikut definisi Prof. al-Attas
tentang Islamisasi:
Islamisasi adalah pembebasan manusia yang diawali pembebasan dari
tradisi-tradisi yang berunsurkan ghaib (magic), mitologi, animisme,
kebangsaan-kebudayaan yang bertentangan dengan Islam, dan
sesudah itu pembebasan dari kungkungan sekular terhadap akal dan
bahasanya, manusia Islam adalah orang yang akal dan bahasanya tidak
lagi dikungkung oleh kekuatan ghaib, mitologi, animisme, tradisi
nasional dan kebudayaan, serta sekularisme. Ia terbebaskan baik dari
pandangan alam (worldview) yang berunsurkan kekuatan ghaib
maupun pandangan alam yang sekular.197
Sedangkan tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer, Prof. al-Attas
menulis:

...untuk perumusan dan penyebaran ilmu di dunia Islam pada masa


kini, kita harus melihat bahwa penyusupan konsep-konsep kunci dari
dunia Barat telah membawa kekeliruan yang pada akhirnya
menimbulkan akibat yang serius jika tidak ditangani. Karena apa yang
dirumuskan dan disebarkan dalam dan melalui universitas-universitas
dan lembaga-lembaga pendidikan yang lainnya mulai dari tingkat
dasar hingga tingkat tinggi sebenarnya adalah ilmu yang mengandung
watak, kepribadian, kebudayaan dan perdaban Barat dan dibentuk
dalam cetakan budaya Barat.198 Tugas kita pertama-tama adalah
mengasingkan unsur-unsur itu termasuk konsep-konsep kunci yang
membentuk kebudayaan dan peradaban itu199..... Islamisasi
pengetahuan kontemporer tepatnya berarti bahwa, setelah
pengasingan itu, ilmu yang telah terbebaskan itu kemudian diisi
dengan unsur-unsur dan konsep-konsep kunci Islam. Karena sifat asasi
unsur-unsur dan konsep-konsep kunci Islam ini merupakan sesuatu
yang mendefinisikan fitrah, maka sebenarnya Islamisasi akan mengisi
ilmu itu dengan fungsi dan tujuan tabii sehingga menjadikannya ilmu
sejati.200
Dengan demikian Islamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan
(shakk), dugaan (zann) dan argumentasi kosong (mira’) menuju keyakinan

196
Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah adalah seorang cendekiawan dan filsuf muslim
yang lahir di Bogor, 5 September 1931. Ia adalah pendiri sekaligus direktur International Institute
of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur, Malaysia.
197
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hal. 56.
198
Lihat Pendahuluan dari buku Islam dan Sekularisme, hal. 1-15
199
Ibid, hal. 137-8.
200
Ibid, hal. 204-5.

49
akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible dan materi.201
Islamisasi akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan
kontemporer dari ideologi, makna dan ungkapan sekular202 serta mewujudkan
manusia yang beradab.203

Dari kelima konsep yang ditawarkan dalam integrasi ilmu, Islamisasi ilmu
pengetahuan yang digagas al-Attas adalah konsep yang paling tepat dan relevan
untuk membangun kembali kejayaan umat Islam khusunya dalam konteks ilmu
pengetahuan kontemporer. Ada beberapa alasan mengapa konsep Islamisasi ilmu
pengetahuan relevan dalam diskursus ilmu pengetahuan kontemporer. Pertama, al-
Attas telah berhasil mengidentifikasi penyebab kemunduran ummat Islam dan
memberikan solusi koneptual secara tepat. Al-Attas menemukan bahwa penyebab
kemunduran umat Islam adalah lemah dan rusaknya ilmu pengetahuan (corrupton
of knowledge) sehingga tidak mampu membedakan antara kebenaran dan
kepalsuan. Dari kajian yang sistematis dan perenungan yang mendalam, al-Attas
menawarkan solusi sentralnya, yaitu membenahi ilmu pengetahuan umat Islam
secara fundamental.204 Kemudian, untuk mengaplikasikan solusi teoritisnya, al-
Attas menyediakan landasan teoritis dan langkah praktisnya. Pada tataran teoritis,
al-Attas telah membangun kembali konsep metafisika, epistemologi, dan filsafat
pendidikan Islam dengan merujuk pada tradisi pemikiran Islam dalam bidang
kalam, falsafah, dan tasawuf.205 Pada tataran praktis, al-Attas mendirikan sebuah
institut bertaraf internaional yang diberi nama ISTAC (International Institute of
Islamic Thought and Civilization) sebagai wahana strategis dalam mengembalikan

201
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam... hal. 336
202
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka
Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1990) hal. 90.
203
Adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasannya ilmu dan segala
sesuatu yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-
tingkatannya , dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya
dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual, dan spiritual. Wan Mohd Nor Wan Daud,
Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam... hal. 177.
204
Hamid Fahmy Zarkasyi, et. al., “Pengantar Penerjemah”, dalam Wan Mohd Nor Wan
Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003) hal.
34.
205
Ibid, hal. 35.

50
kekuatan dan kemajuan umat Islam.206 Karena menurut al-Attas, penyebab utama
dari rusaknya ilmu adalah dari pengajaran pada taraf pendidikan tinggi yang keliru.
Dengan diperbaikinya sistem pendidikan tinggi maka kekurangan-kekurangan yang
lain akan dapat diatasi.207

Kedua, secara konseptual Islamisasi ilmu pengetahuan yang digagas oleh


al-Attas berhasil mengkritik bangunan keilmuan Barat secara mendasar. Menurut
al-Attas, bangunan keilmuan Islam dibangun di atas landasan pandangan-dunia
(worldview), yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi, yang Islami. Karena itu,
meski mengakui adanya persamaan antara filsafat ilmu Barat dan filsafat ilmu
Islam, al-Attas menyangkal bahwa keduanya dapat disejajarkan. Beberapa
persamaan itu hanya di tingkatan permukaan, sedangkan totalitas strukturnya sama
sekali berbeda.208

Secara ontologis, menurut al-Attas, Islam tidak sekedar mengakui


eksistensi realitas material yang terindera, melainkan mengakui adanya berbagai
tingkat eksistensi. Secara umum, realitas dibedakan menjadi Tuhan dan selain
Tuhan (alam). Alam sebagai realitas terdiri dari alam fenomenal, alam ruhani, dan
alam entitas-entitas tetap, di mana al-Attas menekankan bahwa alam fenomenal dan
material sama sekali bukan satu-satunya tingkatan realitas.209 Dengan demikian
eksistensi Tuhan, menurut al-Attas, diakui sebagai kenyataan sekaligus
kebenaran.210 Dengan demikian haqq mengacu pada aspek epistemologis dan
ontologis. Dalam aspek epitemologis Tuhan merupakan sumber pengetahuan dan
kebenaran sedangkan dalam aspek ontologis, Tuhan merupakan sumber
kenyataan—diamana realitas yang lain selain Tuhan mendapatkan eksistensi dari-
Nya melalui penciptaan.

206
Wan Mohd Nor Wan Daud, “Islam dan Sekularisme: Suatu Karya Agung Kulli”, kata
pengantar dalam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. Dr. Khalif
Muammar, M.A dkk (Bandung: PIMPIN, 2010) hal. xv.
207
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, hal. 204.
208
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, hal. 33.
209
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, hal. 104.
210
Ibid, hal. 107; Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, hal. 47.

51
Ketiga, konsep worldview. Salah satu sumbangan al-Attas yang menarik
dalam diskursus Islamisasi ilmu pengetahuan adalah konsepnya tentang
worldview.211 Sebab dalam membedakan peradaban Islam dan Peradaban Barat—
di mana produk dari peradaban tersebut salah satunya adalah ilmu, al-Attas
mendasarinya dari konsep worldview.212 Berangkat dari konsep worldview
kemudian al-Attas mendefinisakan berbagai konsep yang dikembangkannya. Dari
pengkajiannya yang sistematis dan mendalam tentang worldview, al-Attas telah
membuat semacam alat filter atau alat uji bagi umat Islam. Yaitu alat untuk menilai
apakah sesuatu pemikiran, konsep atau budaya itu berasal dari tradisi Islam atau
berasal dari tradisi asing; dan apakah pemikiran, konsep atau budaya dari tradisi
asing itu dapat diterapkan kedalam Islam atau tidak.

Maka bisa disimpulkan dalam diskursus integrasi keilmuan, Islamisai ilmu


pengetahuan merupakan konsep paling relevan dalam menjawab tantangan
keilmuan kontemporer yang berasal dari Barat dalam bentuk dikotomi dan
sekularisasi ilmu. Sebab Islamisasi Ilmu berhasil melakukan kritik secara mendasar
persoalan keilmuan kontemporer dan memberikan solusinya, baik dari konsep dan
metode secara akurat.213 Selain itu, dalam konsep Islamisasi ilmu sebenarnya
terdapat integrasi ilmu.214 Yaitu integrasi ilmu berlandaskan paradigma atau
worldview, bukan integrasi ilmu yang sekedar menjadikan ilmu sebagai alat,
menggabungkan ilmu sekular dan ilmu Islam, maupun sekedar ayatisasi atau
menjustifikasi penemuan ilmiah modern dengan ayat-ayat Al-Qur’ān.

211
Meskipun telah banyak tokoh-tokoh intelektual Islam yang mendefinisikan worldview
seperti Sayyid Qutb, Syaikh Atif Zayn, dan al-Maududi, namun konsep worldview al-Attas lah yang
cukup signifikan dalam kaitannya dengan era modernisasi dan globalisasi, sebab konsep worldview
al-Attas menekankan aspek epistemologis di mana kekuatan worldview Islam memang terletak pada
aspek epistemologis bukan ideologis. Lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, “Islam Sebagai Worldview”,
hal. 116-7.
212
Tidak banyak ilmuwan Islam yang mengakaji pemikiran dan peradaban Barat berangkat
dari konsep worldview. Ketidaktahuan dan ketidakmampuan ilmuwan Islam terhadap menelaah
konsep worldview ini mengakibatkan munculnya sebagian kalangan ilmuwan Islam yang
menganggap ilmu itu netral, tidak ada sains Islam dan sain non-Islam dan sebagainya.
213
Silahkan rujuk pembahasan dalam tulisan ini pada hal. 43-50.
214
Tesis ini menjadi jawaban bahwa penolakan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan oleh
para pengusung konsep integrasi ilmu adalah penolakan yang tidak adil dan terburu-buru serta lemah
dalam argumen.

52
B. Metode
Dalam pembahasan metode ini, hanya pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi saja
yang akan dipaparkan. Karena dalam tulisan-tulisan al-Attas, tidak ditemukan
bagaimana langkah-langkah detail untuk melakukan Islamisasi ilmu
pengetahuan. Di sini al-Faruqi menawarkan suatu rancangan kerja sistematis
yang menyeluruh untuk program Islamisasi ilmu pengrtahuan yang merupakan
hasil dari usahanya selama bertahun-tahun melaksanakan diskusi-diskusi
melalui sejumlah seminar internasional yang diselenggarakan.215 Rencana
kerja al-Faruqi untuk program Islamisasi ilmu pengetahuan mempunyai lima
sasaran yaitu: pertama, menguasai disiplin-disiplin modern. Kedua, menguasai
khazanah Islam. Ketiga, menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap
bidang ilmu pengetahuan modern. Keempat, mencari cara-cara untuk
melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan
modern. Kelima, mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang
mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.216
Menurut al-Faruqi, sasaran di atas bisa dicapai melalui dua belas langkah
sistematis yang pada akhirnya mengarah pada Islamisasi ilmu pengetahuan,217
yaitu: pertama, penguasaan terhadap disiplin ilmu pengetahuan modern.
Kedua, peninjauan disiplin ilmu pengetahuan modern. Ketiga, penguasaan
ilmu warisan Islam yang berupa antologi. Keempat, penguasaan ilmu warisan
Islam yang berupa analisis. Kelima, penentuan relevansi Islam yang spesifik
untuk setiap disiplin ilmu pengetahuan. Relevansi ini, kata al-Faruqi, dapat
ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan yaitu: a). Apa yang telah
disumbangkan oleh Islam, mulai dari AlQur’ān hingga pemikiranpemikiran
kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup oleh disiplin--
disiplin modern; b). Seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan
hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin-disiplin tersebut; c) Apabila ada
bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau bahkan sama sekali tidak

215
Ziaudin Sardar, Jihad Intelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998) hal. 44.
216
Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terj. Andre Wahyu, (Jakarta:
Lontar Utama, 2000) hal. 75.
217
Ibid, hal. 75-89.

53
diabaikan oleh ilmu warisan Islam, kearah mana kaum muslim harus
mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan
masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut. Keenam, penilaian
kritis terhadap disiplin ilmu pengetahuan modern. Ketujuh, penilaian krisis
terhadap khazanah Islam dan perkembangannya saat ini. Kedelapan, kajian
mengenai persoalan utama umat Islam. Kesembilan, kajian mengenai
persoalan yang dihadapi umat manusia. Kesepuluh, analisa dan sintesis kreatif.
Kesebelas, merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja
(framework) Islam. Kedua belas, penyebarluasan ilmu pengetahuan yang
sudah di Islamkan dalam bentuk tulisan atau buku-buku daras untuk perguruan
tinggi.
Kemudian, alat-alat bantu lain untuk mempercepat Islamisasi ilmu
pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar
untuk melibatkan berbagai ahli di bidang-bidang ilmu yang sesuai dalam
merancang pemecahan masalah-masalah yang menguasai antar disiplin. Para
pakar yang menghasilkan kerja Islamisai harus diberi kesempatan bertemu
dengan para staf pengajar untuk mendiskusikan butir-butir yang tidak tertulis,
dampak yang tidak terancang dalam teori, prinsip dan penyelesaian masalah
yang termasuk dalam buku-buku daras. Selanjutnya pertemuan pertemuan
tersebut harus meneliti persoalan metode yang diperlukan dalam memahami
buku-buku daras sehingga membantu para pengajar dalam usahanya mencapai
tujuan akhir yang lebih baik.218

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pertama, dalam model integrasi-
interkoneksi, integrasi dilakukan tanpa proses kritis dan selektif, terutama terhadap
ilmu-ilmu yang berasal dan berkembang dalam peradaban Barat. Kedua, integrasi
dialogis, integrasi menara kembar tersambung, dan integrasi berparadigma profetik,
secara epistemologis tidak memberikan definisi dan deskripsi sistematis tentang apa

218
Ibid, hal. 89-91.

54
yang dimaksud dengan dialog dan integrasi ilmu serta bagaimana proses dialog dan
integrasi ilmu itu dilakukan. Ketiga, secara konseptual dan metodologis, integrasi
pohon ilmu belum menyentuh aspek epistemologis terutama dalam memahami
sumber pengetahuan dan kebenara antara sains modern dan agama. Keempat,
integrasi pentadik dan integrasi kesatuan wujud/realitas hanya sekedar
menambahkan dimensi-dimensi keislaman dan menambahkan metode-metode
tertentu—yang diingkari dalam sains modern—kedalam metode sains modern.
Maka terlihat jelas bahwa integrasi ilmu belum mampu menjawab persoalan
dikotomi ilmu dan menghasilkan sistem keilmuan baru dari dialog dan pemaduan
antara ilmu-ilmu modern dan ilmu-ilmu ke Islaman. Sebab integrasi yang dilakukan
hanya sampai pada permukaan, tidak sampai pada perkara asas yang menjadi
landasan keilmuan—yakni worldview dan paradigma keilmuan. Dengan demikian,
disadari atau tidak, integrasi ilmu yang bertujuan melakukan dialog keilmuan antara
Islam dan Barat secara kreatif, selektif, dan inovatif dalam rangka menghasilkan
sistem epistemologi baru dalam Islam, ternyata justru melakukan wesrternisasi atau
pem-Barat-an Islam.

Oleh karena itu, untuk menjawab tantangan hegemoni westernisasi ilmu


dalam bentuk dikotomi ilmu dan pendidikan yang sedang melanda peradaban dunia
saat ini, ummat Islam memerlukan sebuah revolusi epistemologis dengan kembali
pada tradisi keilmuan Islam yang berasaskan pandangan alam atau worldview Islam
dalam pengembangan keilmuannya, bukan mengekalkan sikap inferior dengan
terus menerus meniru Barat dan akhirnya terhegemoni worldview Barat modern dan
postmodern. Usaha dalam menjawab tantangan tersebut dapat dilakukan melalui
Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer.[]

55
Daftar Pustaka

Abdullah, Amin, “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN: Dari


Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Integrasi-Interkonektif”, dalam
Fahrudin Faiz, (Ed.). Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-
Interkoneksi: Sebuah Antologi, (Yogyakarta: Suka Press, 2007)

_______, et. al., Rekonstruksi Metodologi Studi Ilmu-Ilmu KeIslaman,


(Yogyakarta: Suka Press, 2003)

_______, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif,


(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)

_______, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Suka Press,


2003)

_______, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,


2009)

al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani,
(Bandung: Mizan, 1995)

_______, Islam: Faham Agama dan Asas Akhlak, (Kuala Lumpur: IBFIM, 2013)

_______, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat
Pendidikan Islam, terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1990)

_______, Prolegomena to The Metaphysics Of Islam: An Exposition Of The


Fundamental Elements of The Worldview Of Islam, (Kuala Lumpur:
ISTAC, 2001)

_______, Risalah Untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001)

_______, Islam dan Sekularisme, terj. Dr. Khalif Muammar, M.A. dkk (Bandung:
PIMPIN, 2010)

al-Attas, Ismail Fajeri, Sungai Tak Bermuara: Risalah Konsep Ilmu dalam Islam,
(Jakarta: Diwan Publishing, 2006)

56
al-Faruqi, Ismail Raji, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terj. Andre Wahyu, (Jakarta:
Lontar Utama, 2000)

al-Hakami, Hafidz Ahmad, Ma’arijul Qabul Syarh Sullam al Wusul, 3 Jilid (Kairo:
Darul Aqidah)

al-Jabiri, Muhammad Abed, Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khohiri, (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2014)

_______, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, terj. Moch Nur Ichwan,
(Yogyakarta: Islamika, 2003)

Anshori, Integrasi Keilmuan Atas UIN Jakarta, UIN Yogyakarta dan UIN Malang
2007-2013, desertasi Doktor dalam Ilmu Agama, (Yogyakarta:
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2014)

Arif, Syamsuddin, Ilmu, Kebenaran, dan Keraguan: Refleksi Filosofis-Historis,


Makalah orasi ilmiah yang disampaikan dalam rangka memperingati ulang
tahun ke-13 INSISTS di Gedung Joang'45 Selasa, 1 Maret 2016, (Jakarta:
INSISTS, 2016)

Audi, Robert, Reasons, Rights, and Values, (Cambridge: Cambridge University


Press, 2015)

Azra, Azyumardi, “Reintegrasi Ilmu-Ilmu dalam Islam”, dalam Zainal Abidin


Bagir (Ed.), Integrasi Ilmu dan Agama: Intepretasi dan Aksi, (Bandung:
Mizan, 2005)

Bakar, Osman, Tauhid dan Sains: Prespektif Islam Tentang Agama dan Sains, terj.
Yuliani Liputo dan M.S. Nasrulloh, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2008)

Barbour, Ian G., Juru Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama, terj. E.R.
Muhammad, (Bandung: Mizan, 2000)

Berghout, Abdelaziz (Ed.), Introduction to the Islamic Worldview: Study of


Selected Essensials, (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2010)

Bronowski, Jacob, Science and Human Values, (London: Faber & Faber, 2008)

57
Bucaille, Maurice, Bible, Qur’ān dan Sains Modern, terj. Prof. H. M. Rasjidi,
(Jakarta: Bulan Bintang, 2010)

_______, Darimana Manusia Berasal? terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizania,


2008)

Cox, Harvey, The Secular City, (Princeton: Princeton University Press, 2013)

Darda, Abu, “Integrasi Ilmu dan Agama: Perkembangan Konseptual di Indonesia”,


dalam Jurnal Kependidikan Islam At-Ta’dib Vol. 10, No. 1 Juni 2015
(Ponorogo: Fakultas Tarbiyah Universitas Darussalam Gontor, 2015)

Daud, Wan Mohd Nor Wan, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib
al-Attas, terj. Hamid Fahmy Zarkasyi dkk, (Bandung: Mizan, 2003)

_______, Islamisasi Ilmu-Ilmu Kontemporer dan Peran Universitas Islam dalam


Konteks Dewesternisasi dan Dekolonisasi, terj. Tim INSISTS, (Bogor:
UIKA dan CASIS UTM, 2013)

_______, Konsep Pengetahuan dalam Islam, terj. Munir, (Bandung: Pustaka, 1997)

_______, “ Islam dan Sekularisme: Suatu Karya Agung Kulli”, kata pengantar
dalam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. Dr.
Khalif Muammar, M.A dkk (Bandung: PIMPIN, 2010)

Departemen Pedidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat,


(Jakarta: Pusat Bahasa dan Gramedia, 2012)

Humaidi, Paradigma Sains Integratif Al-Farabi, (Jakarta: Sadra Press, 2015)

Dua, Mikhael, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Penerbit Ledalero, 2009)

Elrais, Happy Kamus Ilmiah Populer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012)

Habermas, Jurgen, Knowledge and Human Interest, trans. Jeremy J. Shapiro,


(Cambridge: Polity Press, 1968)

Hadirman, F. Budi, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan,


(Yogyakarta: Kanisius, 1993)

58
Handrianto, Budi, Islamisasi Sains: Sebuah Upaya MengIslamkan Sains Barat
Modern, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010)

Husaini, Adian, Hegemoni Kristen Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi,
(Jakarta, Gema Insani Press, 2006)

_______, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-


Liberal, (Jakarta, Gema Insani Press, 2005)

Husni, “Model-Model Integrasi Ilmu dalam Pemikiran Islam Kontemporer”, dalam


Jurnal Ilmu Ushuluddin Tajdid, Vol. 17, No. 1, Maret 2010 (Jambi:
Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, 2010)

Kartanegara, Mulyadi, “Integrasi Ilmu Pengetahuan: Itulah Islam”, dalam Laode


M. Kamaluddin, On Islamic Civilization: Menyalakan Kembali Lentera
Peradaban yang Sempat Padam, (Semarang: UNISSULA Press, 2010)

_______, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Lentara


Hati, 2008)

_______, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: Arasyi, 2005)

_______, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan,


2002)

_______, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas, (Jakarta:


Erlangga, 2007)

_______, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung:


Mizan, 2003)

_______, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta:


Paramadina, 2000)

_______, Nalar Relegius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia, (Jakarta:
Erlangga, 2007)

59
Keraf, A. Sonny dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001)

Kincaid, Harold (Ed.), Value-Free Science: Ideals and Illusions? (Oxford: Oxford
University Press, 2007)

Kim, Chin-Tai, “Science as Ideologi”, dalam Robert S. Cohen (Ed.), Realism and
Anti-Realism in the Philosophy of Science, (Beijing: Springer-Science and
Business Media, B.V., 1992) Vol. 19.

Kuhn, Thomas S., The Structure Of Scientific Revolutions, (Chicago: The


University of Chicago Press, 1970)

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika,


(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)

_______, Paradigma Islam: Intepretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008)

Kuswanjoro, Arqom, “Model Integration of Knowledge di Universitas Gadjah


Mada,” Proceeding of International Conference on Integration of
Contemporary and Islamic Knowledge in Islamic University, (Ponorogo:
University of Darussalam, 2015)

Mahzar, Armahedi, “Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi”, dalam
Zainal Abidin Bagir (Ed.), Integrasi Ilmu dan Agama: Intepretasi dan
Aksi, (Bandung: Mizan, 2005)

_______, Integralisme: Sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka,


1983)

_______, Islam Masa Depan, (Bandung: Pustaka, 1993)

_______, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami: Revolusi


Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004)

Muthahhari, Murtadha, Pengantar Filsafat Sadra: Filsafat Hikmah, (Bandung:


Mizan, 2002)

60
Nasir, Amin, “Sintesis Pemikiran M. Amin Abdullah dan Adian Husaini
(Pendekatan dalam Pengkajian Islam)” dalam Jurnal Ilmu Aqidah dan
Studi Keagamaan Fikrah Vol. 2, No. 1, Juni 2014 (Kudus: Program Studi
Ilmu Aqidah STAIN Kudus, 2014)

Nasr, Seyyed Hossein, “Mulla Sadra: Ajaran-Ajarannya”, dalam Seyyed Hossein


Nasr dan Oliever Leaman (Ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj.
Tim Penerjemah Mizan, Buku Kedua, (Bandung: Mizan, 2003)

_______, Islamic Philosophy From Its Origin to The Present, (Lahore: Suhail
Academy, 2007)

_______, Sadr Al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, (Lahore: Suhail
Academy, 2004)

Nur, Syaifan, Filsafat Wujud Mulla Sadra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)

Oxford Dictionary (Oxford: Oxfor University Press, 2010)

Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:


Arkola, 1994)

Popper, Karl R., Logika Penemuan Ilmiah, terj. Armstrong Sompotan dkk.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)

Proctor, Robert, Value-free Science? Purity and Power in Modern Knowledge,


(Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1991)

Putra, Heddy Shri Ahimsa, Paradigma Profetik Islam: Epistemologi, Etos dan
Model, (Gadjah Mada University Press, 2016)

Rahman, Fazlur, The Philosophy of Mulla Sadra, (New York: SUNY Press, 1975)

Rifai, Nurlena, Fauzan, Wahdi Sayuti dan Bahrissalim, “Integrasi Keilmuan Dalam
Pengembangan Kurikulum Di Uin Se-Indonesia: Evaluasi Penerapan
Integrasi Keilmuan Uin Dalam Kurikulum Dan Proses Pembelajaran”,
dalam Journal Of Education In Muslim Society Tarbiya, Vol. 1, No. 1, Juni

61
2014 (Jakarta: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah,
2014)

Riyanto, Waryani Fajar, Implementasi Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam


Penelitian Tiga Desertasi Dosen UIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta:
LEMLIT UIN Sunan Kalijaga, 2012)

_______, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan: Biografi Keilmuan M. Amin Abdullah,


Buku Kedua (Yogyakarta: UIN SUKA Press, 2013)

Rolston III, Holmes, Science and Relegion: A Critical Survey, (Philadelphia and
London: Templeton Foundation Press, 2006)

Suharto, Toto, “The Paradigm Of Theo-Anthropo-Cosmocentrism: Reposition of


the Cluster of Non-Islamic Studies in Indonesian State Islamic
Universities”, dalam Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Walisongo Vol.
23, No. 2 November 2015 (Semarang: LP2M UIN Walisongo, 2015)

Sardar, Ziauddin, Thomas Kuhn and The Science War, (London: Icon Book, 2000)

_______, Jihad Intelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998)

Suprayogo, Imam, “Membangun Integrasi Ilmu dan Agama: Pengalaman UIN


Malang”, dalam Zainal Abidin Bagir (Ed.), Integrasi Ilmu dan Agama:
Intepretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005)

_______, Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam Perspektif UIN Malang,


(Malang:UIN-Malang Press, 2006)

_______, Perubahan Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi Perubahan IAIN/STAIN


Menjadi UIN, (Malang: UIN-Malang Press, 2008)

_______, Universitas Islam Unggul, (Malang: UIN-Malang Press, 2009)

Thahir, Lukman S., Studi Islam Interdisipliner: Aplikasi Pendekatan Fisafat,


Sosiologi dan Sejarah, (Yogyakarta: Qirtas, 2004)

62
The New International Webster’s Comprehensive Dictionary of The English
Language, (Florida: Triden Press International, 1996)

Thohir, Muhammad Ayat-ayat Tauhid, (Surabaya: Bina Ilmu, 2013)

Tim UIN Sunan Ampel Surabaya, Desain Akademik UIN Sunan Ampel Surabaya:
Buiding Character Qualities for the Smart, Pious and Honourable Nation,
(Surabaya: UINSA Press, 2015)

Tohiri, Muhammad Kholid, “Paradigma dan Metodologi Studi Islam di PTAIN:


Studi Analitis-Kritis”, Makalah Program Kaderisasi Ulama (PKU)
Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor angkatan ke-V, (Gontor: PKU
UNIDA, 2011)

Wall, Thomas S., Thinking Critically About Philosophical Problems, (Wadsworth:


Thomson, 2001)

Wardana, Wisnu Arya Al-Qur’ān dan Energi Nuklir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009)

Zarkasyi, Hamid Fahmy, “Islam Sebagai Worldview,” dalam Laode M.


Kamaluddin (Ed.) On Islamic Civilization: Menyalakan Kembali Lentera
Peradaban yang Sempat Padam, (Semarang: UNISSULA Press, 2010)

_______, “Islamic Worldview Sebagai Paradigma Sains Islam,” dalam


Syamsuddin Arif (Ed.) Islamic Science: Paradigma, Fakta dan Agenda,
(Jakarta: INSISTS, 2016)

_______, Worldview Islam Asas Peradaban, (Jakarta: INSISTS, 2011)

_______, M. Arifin Ismail, dan Iskandar Arnel, “Pengantar Penerjemah”, dalam


Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
M. Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003)

Ziman, John M., An Introduction to Science Studies: The Philosophical and Social
Aspects of Science and Technology, (Cambridge: Cambridge University
Press, 1995)

63
http://www.merriam-webster.com/dictionary/architectonic diakses 9
November 2016.

http://www.imamsuprayogo.com/link.php?mn=view_profil diakses 9
November 2016.

http://www.uinjkt.ac.id/id/moto/ diakses pada 9 November 2016.

Nur Syam, “Model Twin Towers untuk Islamic Studies”,


http://nursyam.uinsby.ac.id/?p=762 diakses pada 9 November 2016.

Syaifuddin, Studi Komparasi Integrasi Keilmuan Berbasis Islamisasi


Ilmu dengan Integrated Twin Towers.pdf di akses dari
http://digilib.uinsby.ac.id/7180/ tanggal 09 November 2016.

Tim Redaksi, "Paradigma Keilmuan",


http://www.uinsby.ac.id/id/251/paradigma-keilmuan.html diakses pada 09
November 2016.

64

Anda mungkin juga menyukai