Anda di halaman 1dari 8

Sekularisme, Sekularitas,

dan Pos-Sekularitas

Bahan Diskusi Kelompok Terpumpun (Focus Group Discussion/FGD)


Rumah Pengetahuan Amartya, Februari 2020.
Sekularisme, Sekularitas, dan Pos-Sekularitas

Oleh : Ismail Al-‘Alam


(Manajer Program Rumah Pengetahuan Amartya, Yogyakarta)

Meski jabatannya baru berusia beberapa hari, Ketua Badan Penguatan Ideologi Pancasila
(BPIP), Yudian Wahyudi, sudah melontarkan ucapan kontroversial. Dalam wawancara dengan
Detik, ia mengatakan “Musuh terbesar Pancasila adalah agama,” dengan wajah datar dan mata
yang menjauh dari wartawan Detik yang mewawancarainya. Dari lontaran itu, beberapa tokoh
nasional menyampaikan keberatan, bahkan pembicaraan tentang hubungan agama (wabil khusus
Islam) dan Pancasila kembali mengemuka
Di samping itu, ada hal lain yang menarik untuk disoroti, yakni perkataannya yang lain di
momentum yang sama, “Kita membutuhkan sekularitas, bukan Sekularisme.” Jika dibandingkan
dengan kutipan pertama, bagian ini jarang mendapat sorotan; mungkin karena ungkapannya ten-
tang sekularitas ini dianggap sekadar konsekuensi dari penyebutan agama sebagai musuh Pancasila
belaka. Tetapi, istilah sekularitas juga mengandung muatan filosofis yang harus diperiksa dengan
kritis, karena setelah Sekularisme dalam wajahnya yang ekstrim tak banyak mengubah relasi hu-
bungan agama dan kehidupan masyarakat Indonesia hingga sekarang, sekularitas bisa mengganti-
kannya secara halus namun tetap mengandung masalah.

Anomali Teori Sekularisasi Klasik


Dinamika intelektual, sosial, dan politis masyarakat dunia sejak awal abad 21 ini menun-
jukkan beberapa gejala anomali. Di satu sisi, capaiaan-capaian modernitas, terutama demokrasi
liberal dan Kapitalisme multinasional, kian hadir dengan sangat masif ke seluruh penjuru dunia.
Dorongan masyarakat untuk mewujudkan tatanan politik demokratis bermunculan di negara-ne-
gara non-barat, berbarengan dengan dorongan menumbuhkan ekonomi dengan cara terlibat ke da-
lam pasar bebas dunia oleh para elit mereka. Di sisi yang lain, kesadaran masyarakat atas pijakan
dan kenangan kultural mereka, yang dinisbahkan pada agama dan kebudayaan, tak pupus oleh
capaian-capaian modernitas tadi. Ekspresi keagamaan dan kebudayaan asali terus hadir mengisi
ruang publik dan bahkan menjadi aspirasi intelektual, sosial, dan politis. Gejala ini bahkan terjadi
juga di negara-negara Barat, yang oleh para ilmuwan politik sering disebut sebagai gejala Popu-
lisme Sayap Kanan, yakni kondisi ketika para kaum Ultranasionalis memanfaatkan demokrasi un-
tuk meraih kekuasaan sambil menegasikan kelompok-kelompok yang berbeda dari mereka atas
nama sentimentalitas, bukan rasionalitas –sesuatu yang menjadi tumpuan utama modernitas.
Anomali ini membantah asumsi dasar teori sekularisasi awal, yakni keadaan ketika masya-
rakat yang mengalami modernisasi mulai melepaskan beban kultural mereka masing-masing me-
nuju satu identitas masyarakat dunia bernama “modern”. Secara implisit, modernitas memang me-
nyaratkan (1) maksimalisasi rasio manusia secara otonom, (2) gagasan tentang kemajuan
(moderna) menuju keadaan-keadaan yang lebih baik dalam ukuran rasionalitas, dan (3) kritik ter-
hadap keadaan yang terjadi di masa lampau (agama, kebudayaan, kekeliruan ilmiah, dsb.) sehingga
tak membebani kemajuan. Dengan kata lain, manusia dan masyarakat menjalani kehidupan yang
baik dan benar di dunia ini jika dan hanya jika memandang dunia sebagaimana dirinya (saeculum)
dan memaksimalkan peran rasionya. Pandangan-pandangan lama tentang dunia, yang datang dari
penjelasan agama dan kebudayaan, bagi para pengasas teori sekularisasi awal adalah keliru, tak
rasional, dan beban bagi proses menuju dunia yang lebih baik.

Sekularitas sebagai Kondisi Antropologis


Sekularisasi dan Sekularisme biasanya dipahami lewat pendekatan filosofis, sosiologis,
dan politis. Istilah saeculum, yang menjadi kata dasar dari istilah-stilah di atas, bermakna zaman
ini dan tempat ini (Al-Attas, 2011). Al-Attas menjelaskan bahwa sekular-sekularisasi-sekularisme,
yang menghentikan kesadaran-diri manusia hanya pada ke-kini-di-sini-an, adalah hasil dari perso-
alan metafisika dalam tradisi filsafat dan teologi Barat yang tak terselesaikan. Teologi bahkan
mengalami penafsiran-baru agar sejalan dengan Sekularisme filosofis. Tiga dimensi utama dari
Sekularisme filosofis ini adalah disenchantment of nature (penafian atas pesona alam), desacrali-
zation of politics (penafian atas pentingnya sakralitas dalam politik), dan deconse-cration of values
(penafian atas kemutlakan nilai).
Secara rasional, para filsuf dan ilmuwan yang sudah tersekularkan memang lebih mudah
membayangkan dunia ini menuju kesadaran-diri sekular seperti diri mereka. Dunia tinggal me-
nunggu waktu ketika semua sudah pengalami Pencerahan (Kant, 1992). Tetapi kenyataan di tengah
masyarakat sendiri tak selurus asumsi dasar sekularisasi awal itu, persis karena manusia adalah
makhluk yang unik secara individual, sehingga kesadaran-diri manusia juga memiliki keunikan
tersendiri kendati terjadi pelbagai dinamika intelektual, sosial, dan politis di luar dirinya. Adanya
anomali di atas, ditambah lagi gugatan atas kapasitas rasio yang lebih filosofis dari dalam tradisi
Barat sendiri khususnya oleh kaum Pascastrukturalis sejak abad 20, membuat beberapa sarjana
mulai melakukan evaluasi atas klaim-klaim modernitas yang tentu saja berdampak bagi pandangan
mereka tentang sekularisasi.
Filsuf seperti Charles Taylor menggunakan istilah sekularitas, alih-alih sekularisasi dan
Sekularisme, untuk meneliti gejala kemanusiaan di zaman ini. Bagi Taylor, ada tiga dimensi seku-
laritas, yakni (1) hilangnya agama dari ruang publik, (2) terkikisnya keyakinan dan praktik-praktik
keagamaan, dan (3) kondisi keyakinan itu sendiri, yakni ketika agama hanya menjadi salah satu
pilihan untuk memahami dunia (Taylor, 2006) di antara pilihan-pilihan lain yang tersaji secara
setara. Pada butir pertama, agama –simbol, istilah, ibadah, dan hukum-hukumnya- menghilang
dari ruang-ruang publik. Sekularitas inilah yang secara komunal membentuk dan menjalankan
proses sekularisasi. Pada butir pertama, sekularitas menyentuh juga wilayah privat, yakni ketika
manusia memiliki kesadaran antropologis baru atas dirinya sebagai makhluk yang rasional, dito-
pang oleh sekaligus menghasilkan kembali ilmu pengetahuan kontemporer yang sekular, sehingga
keyakinannya atas kebenaran agama menjadi hilang.
Butir terakhir, yang merupakan analisis utama Taylor dalam bukunya, The Secular Age,
merujuk pada pluralitas gagasan tentang realitas di mana agama hanya menjadi salah satu pilihan,
dan ini berkaitan erat dengan butir kedua. Taylor menelusuri akar-akar sekularitas pada Kristiani-
tas Eropa untuk menemukan beberapa momentum menentukan, dan menemukannya pada masa
Reformasi Gereja dan Titik Balik. Reformasi Gereja, ketika kesadaran-diri baru umat Kristiani
terbentuk oleh cara pembacaan baru terhadap keyakinan mereka, membuka gerbang bagi human-
isme tak bertuhan. Keyakinan ini bahkan perlahan menuju pada Deisme, yakni keyakinan tentang
Tuhan yang jauh di sana dan tak terlibat apa-apa atas dunia setelah menciptakannya lengkap de-
ngan hukum-hukumnya. Di masa ini, kesadaran antropologis masyarakat bergeser kembali pada
pluralitas kebenaran, di mana agama Kristen, sekalipun masih dipercaya, diletakkan sejajar dengan
pilihan lain yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan kesadaran moral sekular baru; bahkan
orang-orang lebih menyukai itu. Akal dan sains, alih-alih agama dan tahayul, kerap menjadi pilih-
an utama manusia untuk memahami dunia.
Meski mengakui sekularitas berakar dari gejala antropologis khusus kesadaran-diri manu-
sia Barat, Taylor masih meyakini bahwa gejala yang sama akan terjadi juga pada masyarakat dunia.
Keyakinan ini membuatnya hanya merevisi sedikit dari tesis Sekularisme; jika Sekularisme awal
begitu antipati terhadap agama, Sekularisme baru yang mempertimbangkan kondisi-kondisi seku-
laritas harus lebih mengakomodasi ekspresi-ekspresi keagamaan. Hal ini pula yang menunjukkan
posisi Komunitarian-nya dan menjadi pijak-an kritiknya atas Liberalisme politik; ekspresi komu-
nitas harus mendapat tempat di dalam demokrasi.

Enam Bentuk Pos-Sekularitas


Berbeda dari Taylor, filsuf Jerman Habermas (2008) secara terang-terangan menggunakan
istilah masyarakat Pos-Seku-lar. Bagi Habermas, masyarakat pos-sekular adalah suatu penanda
baru bagi negara sekular di mana umat beragama dan masyarakat sekular membuka diri satu sama
lain untuk menjalani proses saling belajar. Ada tiga unsur yang merangsang proses ini. Pertama,
konflik-konflik tingkat global kerap melibatkan keyakinan agama sebagai motifnya. Kedua, pan-
dangan keagamaan masih mendominasi cara publik memahami persoalan modern seperti eutha-
nasia, aborsi, dan isu-isu lingkungan. Ketiga, fenomena kemajemukan masyarakat di Eropa akibat
kehadiran pengungsi dan imigran lain berlatar agama kuat.
Keadaan ini mendorong umat beragama untuk menelusuri relevansi Bahasa religius me-
reka bagi percakapan modern yang dapat diterima masyarakat sekular, dan sekaligus mendorong
masyarakat sekular untuk membuka diri dan menemukan kemungkinan jawaban atas persoalan
modern ini di dalam agama. Jadi, sementara Sekularisme a la Taylor yang bersifat Komunitarian
berasal dari pandangannya tentang sekularitas, “masyarakat Pos-Sekular” (kemudian ditafsirkan
oleh beberapa sarjana sebagai pandangan Pos-Sekularisme) Habermas yang merupakan bentuk
pencanggihan dari konsepnya tentang Demokrasi Deliberatif belum memiliki pijakan antropologis
yang eksplisit. Alasan mendasarnya mungkin karena Habermas masih memiliki asumsi modern
tentang manusia, yang sama dengan pandangan para pengasas Modernisme dan Sekularisme, yak-
ni manusia seabgai makhluk rasional. Kritik Habermas tentang klaim rasionalitas manusia paling
jauh sebatas rasionalitas instrumental, yang terlalu bertopang pada kalkulasi untung-rugi hingga
melahirkan Kapitalisme.
Di sinilah penjelasan William A. Barbieri tentang enam aspek Pos-Sekularitas menemukan
relevansinya. Barbieri adalah Profesor Etika di School of Theology and Religious Studies, Catho-
lic University of America. Ia menyelesaikan doktoralnya di bidang Religious Studies di Yale Uni-
versity, tahun 1992. Minat intelektual dan penelitiannya adalah seputar etika, agama, politik, dan
kebudayaan. Dalam kumpulan buku berbahasa Jerman, Postsäkularismus: Zur Diskussion eines
umstrittenen Begriffs, suntingan Matthias Lutz-Bachmann, Barbieri menulis artikel berjudul
“Enam Aspek Pos-Sekularitas”. Artikel ini sekaligus menjadi kritikannya atas tiga bentuk
sekularitas yang dirumuskan Charles Taylor di atas.
Pos-Sekularitas pada bentuk pertama adalah Pos-Sekularitas publik (Barbieri, 2015). Pan-
dangan Habermas tentang masyarakat pos-sekular ada pada aspek pertama ini. Bagi Barbieri, alih-
alih terjadi sekularitas di ruang publik seperti rumusan pertama Taylor tentang sekularitas, masya-
rakat dunia justru tengah menyaksikan gugatan atas kesadaran-diri dan keyakinan masyarakat se-
kular dalam bentuk penguatan-kembali peran publik agama dan penelusuran-kritis atas peran pu-
blik agama dalam pembentukan sekularitas (yang oleh Taylor disebut Titik Balik). Barbieri melihat
diskusi Habermas dengan Kardinal Ratzinger tentang peran publik agama setelah serangan teroris
11 September 2011 di WTC dan Pentagon sebagai pencarian atas kemungkinan baru peran publik
agama itu.
Hal ini melahirkan bentuk kedua Pos-Sekularitas, yakni Pos-Sekularitas sosiologis. Pada
tahap ini, bentuk sekularitas kedua menurut Taylor tak terjadi, sebab masyarakat justru terus men-
ciptakan bentuk religiusitasnya sendiri seperti ditunjukkan tesis Peter Berger, de-secularization of
the world (desekularisasi dunia). Selain dihasilkan oleh Pos-Sekularitas publik, yang sifatnya lebih
diskursif dan politis, Pos-Sekularitas sosiologis juga berangkat dari kesadaran religius masyarakat
dunia dengan ataupun tanpa kepentingan politisnya. Bentuk ketiga Pos-Sekularitas adalah Pos-
Sekularitas teologis, yang merupakan kritik Barbieri atas pengertian sekularitas ketiga yang dibuat
Taylor. Sorotan utama dari Pos-Sekularitas ketiga ini adalah kehadiran para teolog di zaman seka-
rang untuk menantang asumsi-asumsi sekular yang dihasilkan para filsuf dan ilmuwan modern.
Mereka hadir dengan argumentasi-argumentasi tentang kebenaran iman secara baru dan lebih kuat,
merentang dari kalangan teolog ortodoks sampai teolog natural yang banyak mengam-bil pijakan
dari teori-teori Posmodern dan mistisisme Barat dan Timur.
Tujuan utama dari kritik ini adalah kategori universal pada rasionalitas modern yang sela-
ma ini diyakini kalangan sekular. Selain dari para teolog, kritik yang sama juga banyak datang dari
para filsuf, dan ini sekaligus menjadi bentuk Pos-Sekularitas keempat, yakni Pos-Sekularitas filo-
sofis. Para filsuf kontemporer dalam kategori ini sebenarnya melakukan hal yang sama seperti para
filsuf di permulaan kehadiran filsafat modern, di mana tema-tema di dalam agama (Kristen) di-
angkat menjadi persoalan filosofis. Mereka menaruh minat kembali pada penjelasan Bibel tetapi
melakukan pembacaan-baru atasnya, untuk kepentingan yang lebih kontemporer terutama perso-
alan etis, seperti Emmanuel Levinas dan Jean-Luc Marion.
Bentuk kelima dari Pos-Sekularitas adalah Pos-Sekularitas politis, yakni ketika unsur-un-
sur teologis di dalam filsafat dan ilmu politik dieksplisitkan. Barbieri mengacu pada filsuf politik,
Carl Schmitt, yang menulis buku Political Theology (1932). Bagi Schmitt, pemikiran dan praktik
politik adalah seperti teologi, yakni pembagian tegas antara kubu yang suci dengan kubu yang
kotor. Tetapi tak seperti teologi yang berangkat dari ajaran tertentu tentang Tuhan, manusia, dan
pahala-dosa, politik melakukan pembagian tegas tadi justru karena hal tersebut adalah watak dari
politik tersebut. Bagi Schmitt, manusia pada dasarnya adalah jahat dan memiliki hasrat mendomi-
nasi. Karena tak mampu melakukannya seorang diri, hasrat mendominasi itu membuat mereka
membentuk kubu politis dan menempatkan lawan-lawan politisnya itu sebagai kumpulan “musuh-
musuh Tuhan”. Barbieri melihat pandangan Schmitt yang hampir berusia seabad ini menemukan
relevansinya kembali di masa kini, karena penghayatan orang-orang atas politik –sesekular apapun
pemikiran dan praktik politik tersebut- mengandung muatan religius dengan cara yang lain, dan
ini adalah suatu kondisi antropologis.
Bentuk terakhir (keenam) dari Pos-Sekularitas adalah Pos-Sekularitas genealogis. Barbieri
mengatakan bahwa penelusuran secara genealogis atas Sekularisme, seperti yang dilakukan antro-
polog Talal Asad, menunjukkan bukan hanya Sekularisme sebagai gejala khas Eropa, tetapi anti-
nomi ‘yang sekular’ dengan “yang religius” (dalam bentuk lain, seperti ditunjukkan Mircea Eliade,
“yang sakral” dan “yang profan”) adalah konstruksi filsafat Barat modern. Konstruksi tersebut tak
bisa diproyeksikan kepada agama-agama non Kristen lain; suatu praktik yang selama ini berlang-
sung dalam setiap produksi pengetahuan di dunia Barat, terutama dalam kajian mereka terhadap
agama-agama lain. Di sisi lain, kalangan beragama (terutama yang datang dari luar Barat) kini
juga melakukan refleksi diri untuk menemukan kekhasan yang terdapat di agamanya dan memberi
sumbangsih bagi modernitas dan msayarakat yang lebih luas, tanpa perlu berangkat dari antinomi
sekular-religius seperti dikerangkakan Barat.

Simpulan: Pos-Sekularitas yang Sekular?


Pergeseran dari sekularitas ke pos-sekularitas dalam rincian Barbier, yang juga mengha-
silkan turunannya berupa pergeseran dari sekularisasi ke desekularisasi dan Sekularisme ke Pos-
Sekularisme, menandakan sebuah kecenderungan baru di dalam tradisi filsafat dan kesarjanaan
Barat tentang upaya mengakui kembali eksistensi agama. Hal ini merupakan kabar baik bagi para
pemeluk agama yang masih mengutamakan ketaatan, termasuk umat Islam, untuk membuka dialog
yang lebih terbuka dan setara dengan masyarakat sekular dan pelbagai pranatanya (demokrasi,
ekonomi, sains, dsb.). Tetapi, seperti dikatakan Habermas, masyarakat pos-sekular tetap berpe-
gangan pada suatu rasionalitas publik yang modern. Dengan kata lain, merujuk pandangan John
Rawls, setiap “doktrin komprehensif” (agama, kebudayaan, dsb.) yang hendak didialogkan di da-
lam ruang publik politis harus melalui “nalar publik”. Istilah “nalar publik” (atau “ruang publik”,
pada Habermas) sendiri bukan istilah yang bebas nilai, melainkan syarat dengan nilai-nilai rasion-
alitas Eropa modern.
Jadi, apresiasi atas agama pada pandangan dan masyarakat pos-sekular adalah suatu apre-
siasi yang diskriminatif, yakni keterbukaan apresiatif atas gagasan dan umat beragama di satu sisi
sambil menjaga klaim-klaim Sekularisme yang dianggap sudah universal (demokrasi, HAM, sains,
dsb.) di sisi yang lain. Pilihan yang tersedia bagi umat beragama adalah dua: menjadikan nalar
publik sesuai dengan nalar agama, atau melakukan liberalisasi agama agar sesuai dengan “nalar
publik” yang bias dengan rasionalitas Eropa modern itu.

Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 2011. Islam dan Sekularisme, terj. Khalif Muammar, dkk.
Bandung: PIMPIN, 2010.
Habermas, Jürgen. 2008. “Notes on a Post-Secular Society”, dalam
http://www.signandsight.com/features/1714.html.
Kant, Immanuel. 1992. What is Enlightenment? Terj. Ted Humhprey. Indianapolis: Hacket
Publishing.
Lutz-Bachmann, Matthias (ed.). 2015. Postsäkularismus: Zur Diskussion eines umstrittenen
Begriffs. Frankfurt: Campus Verlag.
Taylor, Charles. 2007. A Secular Age. Massachusets: Harvard University Press.

Anda mungkin juga menyukai