Anda di halaman 1dari 16

Forthcoming dalam Jurnal "Dialon" (Final draft: 11 September 20 13)

Perdebatan Sekularisme, Demokrasi, dan Islam:


Ke Arah Pencarian Titik-titik emu'
Ihsan Ali-Fauzi
Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD)
Yayasan Paramadina, Jakarta

Pengantar

Beberapa tahun yang lalu saya pernah menulis tentang krisis teori sekularisasi dalam ilmu-
ilmu sosial dan beralihnya perdebatan orang - pemikir, sa ana, maupun aktivis - dari
persoalan sekularisasi ke persoalan dimensi publik agama! Di sana saya katakan, khususnya

e berdasarkan studi-studi Jos6 Casanova, duet Pippa Norris dan Ronald Inglehart, dan Alfred
Stepan, bahwa prediksi teori sekularisasi klasik mengenai makin pudarnya peran agama lebih
banyak salah daripada benarnya, bahwa hipotesis lama mengenai hubungan agama dan
politik perlu diubah dan diperhalus, dan bahwa agama-agama mengalami "de-privatisasi"
(Casanova). Di situ saya juga sempat memaparkan pandangan Stepan mengenai "menara-
kembar toleransi" (win tower toleration), yang memungkinkan berlangsungnya hubungan
antara agama dan negara secara setara, tidak saling mengangkangi, di bawah sebuah sistem
politik yang demokratis. Tulisan itu saya akhiri dengan menyebutkan, "Di bawah payung
menara-kembar toleransi itu, pcla-pola hubungan agama dan negara yang lebih konkret bisa
dirumuskan sesuai dengan ruang dan waktu dan, karena itu, tidak sakral. Dengannya kita
bisa melampaui rumusan sederhana mengenai 'pemisahan gereja dan negara' yang kadang
mengacaukan."

Dalam tulisan ini, saya ingin mendiskusikan lebih jauh beberapa isu yang hanya saya
singgung dalam tulisan di atas dan membenturkannya dengan realitas yang lebih empirik dan
mutakhir: kaitan antara sekularisasi dan sekularisme sebagai satu proses dan cara-pandang,
demokrasi sebagai sebuah sistem pengaturan masyarakat politik, dan tempat Islam di tengah-
tengah itu semua. Masalah yang hendak didiskusikan dalam tulisan ini adalah apakah
memang demokrasi membutuhkan sekularisme sebagai suatu syarat yang mutlak dipenuhi
atau tidak. Akhirnya, sambil mendiskusikan kasus yang relatif saya kenal, yakni Islam, saya
akan menyinggung kaitan keduanya, demokrasi dan sekularisme, dengan Islam seperti yang
dipraktikkan kaum Muslim di berbagai tempat.

'Naskah ini pertama kali disiapkan untuk diskusi "Demokrasi, Sekularisme, dan Agama Publik",
diselenggarakan Komunitas Salihara di Jakarta, 19 Januari 201 1, dan diskusi dengan tema "Agama Publik",
yang sama diselenggarakan oleh Ciputat School, Jakarta, 20 November 201 1. Saya berterimakasih kepada
Akhmad Sahal, Feby Indirani dan Irshad Rafsadi atas bantuannya menyediakan bahan-bahan bacaan yang saya
perlukan.
Lihat Ihsan Ali-Fauzi, "Menara-Kembar Toleransi: Dari Sekularisasi ke Dimensi Publik Agama," Kompas
(Lembaran "Bentara"), 3 1 Mei 2007. Lihat juga pengantar saya dan Rizal Panggabean untuk edisi bahasa
Indonesia buku Pippa Norris dan Ronald Inglehart, Sekularisasi Ditinjau Kembali: Agama dun Politik di Dunia
dewasa ini, terj. Zaim Rofiqi (Jakarta: Yayasan Paramadina dan Penerbit AIvabet, 2009), hal. xiii-xxi.
Ada dua ha1 pokok yang ingin saya tekankan di sini. Pertama, tidak seperti umurnnya dugaan
orang, demokrasi tidak hams berjalan seiring dengan sekularisme dalam pengertiannya yang
terbatas, yakni pemisahan antara agarna dan negara. Dengan kata lain, sekularisme dalam
pengertian yang sempit itu bukanlah sine qua non untuk berlangsungnya sistem politik yang
demokratis. Kedua, masyarakat Muslim sudah lama mengalami proses sekularisasi dalam
pengertiannya yang terbatas, pemisahan antara negara dan agama. Ini dapat menjadi
landasan bagi keterlibatan lebih jauh kaum Muslim dalam ruang publik yang dikelola secara
demokratis, di bawah sekularisme yang netral-agama. Solusi yang demokratis atas "Masalah
Muslim" terutama di Eropa, yang timbul belakangan ini akibat derasnya imigrasi kaurn
Muslim ke negara-negara Eropa mantan penjajah mereka, adalah batu ujian penting bagi
demokratis atau tidaknya sekularisme-sekularismeEropa.

Perdebatan Sekularisasi dan Sekularisme: Perkembangan Mutakhir

Namun, sebelum semua itu, sedikit up date tentang perdebatan di sekitar teori sekularisasi
dan sekularisme di atas tentu berguna. Di bawah ini saya akan membatasi-diri dengan
menyebut hanya beberapa kesirnpulan besar, yang juga akan menjadi landasan bagi paparan
saya berikutnya.

Pertama, terutama berkat karya Casanova, yang belakangan diperkuat oleh banyak studi
dalam bidang antropologi dan sejarah (antara lain Tala1 Asad, Peter van der Veer, Saba
Mahmood, Partha Chatterjee), teori sosial dan politik (Charles Taylor, Rajeev Barghava,
Wendy Brown, Craig Calhoun, dan tentu saja Jiirgen Habermas), politik perbandingan
(Jonathan Fox, Alfred Stepan, Ahmet Kuru), dan hubungan internasional (Daniel Philpott,
Elizabeth Hurd), sekarang dapat dipastikan bahwa diskusi mengenai teori sekularisasi hams
didahului dengan pemerian definisi operasional yang lebih terukur tentang apa yang
dimaksudkan dei~gan~ekularisasi.~ Pada 2008, ketika meninjau kembali bukunya yang
pertamakaii terbit pada 1994, Casanova sendiri menyatakan pentingnya konseptualisasinya
mengenai de-privatisasi, yang belakangan menemukan "konfirmasi terbaiknya" di "tanah
leluhur sekularisasi, yakni masyarakat-masyarakat Eropa Barat." Setidaknya menurutnya
sendiri, itulah sumbangannya yang paling bermahla; yakni "dalam bentuk tantangan analitis-
teoretis dan sekaligus normatif atas teori liberal mengenai privatisasi."4

Selaras dengan itu, terbit pula sejumlah buku penting yang mendiskusikan lagi peran agama
dewasa ini, sambil memikirkan kembali sekularisme. Selain karya-karya Habermas dan
Taylor yang sudah cukup kita kenal, contoh-contoh lainnya yang menonjol, yang antara lain
memuat kumpulan karangan nama-nama yang sudah disebutkan di atas, adalah: Political
Theologies: Public Religions in a Post-Sectllnr World (2006), Religious Pluralism,
Globalization, and World Politics (2008), Religious Voices in Public Places (2009), dan -

Untuk survei agak umum mengenai gejala ini baik di dunia akademis maupun penerbitan populer, lihat
Rosalind I. J. Hackett, "Rethinking the Role of Religion in Changing Public Spheres: Some Comparative
Perspectives," Brigham Young University Law Review, Vol. 35, No. 3 (January 2005), hal. 659-682.
JOSBCasanova, "Public Religions Revisited," dalam Hent de Vries (ed.), Religion: Beyond the Concept (New
York: Fordham University Press, 2008), hal. 101-102. Dia juga menambahkan, "To be sure. [here is very little
evidence of any kind of religious revival among the European population, ifone excludes the significant influx
of new immigrant religions. But religion has certainly returned as a contentiotrs issue to the public sphere of
European societies. " Untuk karya lamanya yang berpengaruh, lihat Josk Casanova, Public Religions in the
Modern World (Chicago: University of Chicago Press, 1994).
yang paling baru -Rethinking Secularism (20 1I).' Selain itu, sesudah menerbitkan dua edisi
khusus mengenai "Sesudah Sekularisasi" (After Secularization) pada 2006, Musim Dingin
tahun 2010 lalu, The Hedgehog Review, salah satu jurnal terkemuka di Amerika Serikat, lagi-
lagi menerbitkan edisi khusus mengenai sekularisasi. Kali ini temanya sangat dekat dengan
tema pokok tulisan ini, yaitu "Apakah Pluralisme Keagamaan Memerlukan Sekularisme?"
(Does Religious Pluralism Require Seculari~m?).~

Seluruh perkembangan ini makin menegaskan beralihnya pusat perdebatan sekarang dari
persoalan sekularisasi dan sekularisme ke persoalan dimensi publik agama, yang antara lain
melibatkan penanyaan ulang baik atas konsep maupun praktik sekularisme dalam berbagai
konteks yang berbeda. Para sarjana di atas berbeda pandangan dalam banyak hal, tetapi
mereka sama-sarna berpendapat bahwa pandangan lama mengenai sekularisme hams ditinjau
ulang secara radikal.

Kedua, sekularisme yang didefinisikan sebagai "pemisahan antara agama dan negara", yang
disimbolkan oleh "tembok pemisah" seperti dikembangkan di Amerika Serikat, makin
dianggap tidak memadai lagi. Untuk keperluan teoretis dan empiris, belakangan para sarjana
a berbicara mengenai berbagai jenis sekularisme (plural). Stepan misalnya membedakan antara
sekularisme yang bersikap bersahabat dengan agama (Amerika Serikat) dan sekularisme yang
tidak bersahabat (Perancis dan Turki). Sarjana lain, Ahmet Kuru, membedakan antara
"sekularisme yang asertif' (Perancis dan Turki) dan "sekularisme yang pasif' (Amerika
Serikat). Lebih jauh, menurut Bhargava, tingkat sekularisme dalam sebuah negara bisa
dibedakan dalam tiga level: cita-cita, pelaksana pemerintahan, dan kebijakan - yang
mengharuskannya mengklasifikasi rezim agama-negara ke dalam banyak model yang sulit
untuk digeneralisasikan.7

Ketiga, yang sangat penting, sejalan dengan perkembangan di atas, sekularisme juga tidak
bisa direduksi menjadi pandangan yang melulu bersifat anti-agama, sekalipun selama ini dia
menjadi salah satu sumber marginalisasi dan bahkan pemusuhan terhadap agama.
Sekularisme bisa merupakan sebuah orientasi moral mengenai dunia dan berada-di-dunia,
yang kadang dituntun oleh sebuah visi mengenai masyarakat politik yang adil bagi seluruh
kelompok agama (termasuk atheis).

a Lihat Hent de Vries and Lawrence E. Sullivan (eds.), Political Theologies: Public Religions in a Post-Secular
World (New York: Fordham University Press, 2006); Thomas Banchoff (ed.), Religio~lsPluralism,
Globalization, and World Politics (Oxford: Oxford University Press, 2008); Nigel Biggar and Linda Hogan
(eds.), Religio~rsVoices in Public Places (Oxford: Oxford University Press, 2009); dan Craig Calhoun, Mark
Juergensmeyer and Jonathan van Antwerpen (eds.), Rethinking Sec~llarism(Oxford: Oxford University Press,
201 1).
6
Lihat The Hedgehog Review, Vol. 12, No. 3 (Fa11 2010). Editorialnya antara lain menyatakan: "Despite
predictions to the contrary, religion is not disappearing. By now many proponents of the secularization thesis -
the argument that with modernity the world is becoming less and less religious on apath to a religion-free
world - have admitted their error and acknowledged that religion is well and thriving in contemporary life. The
rapidly increasing and deepening religious phlralism in many places around the world raises the problem of
how people of radically dwerent faiths can live together. "
' Saya masih akan membahas pandangan Stepan dan KUN di bawah nanti. Untuk pandangan Bhargava, yang
tidak mungkin saya ulas lebih jauh di sini, lihat terutama Rajeev Bhargava, "Political Secularism," dalam John
Dryzek, Bonnie Honnig and Anne Philips (eds.), A Handbook of Political Theory (Oxford: Oxford University
Press, 2006), hal. 636-655.
Dalam pengertian yang terakhir ini, sekularisme bisa dikembangkan sebagai sebuah strategi
untuk memperjuan kan pluralisme agama, seperti sering dikampanyekan oleh Abdullahi
i
Ahmed An-Na'im. Senafas dengan itu, dalam sumbangan mereka untuk The Hedgehog
Review yang terakhir, Charles Taylor, Rajeev Bhargava dan Craig Calhoun, seluruhnya
merupakan pemikir dan sarjana yang menonjol dalam perdebatan-perdebatan ini, juga
menekankan aspek sekularisme sebagai kemungkinan jalan keluar terbaik. Mustahil
pandangan mereka saya bahas satu per satu di sini. Tapi, seperti dengan sangat baik
dirumuskan pernyataan editorial jurnal itu, dalam pandangan mereka,

Sekularisme ... bukanlah sesuatu jlang anti-agama atau sekadar hilangnya


agama; melainkan, ha1 itu [sekularisme] melibatkan suatu upaya untuk
membangun sebuah ruang publik yang dibentuk oleh rasa hormat kepada yang
lain dan kepedulian akan hak-hak mereka - suatu tempat di mana perbedaan-
perbedaan yang mendalam bisa hidup berdampingan. Itu karena, sebuah
negara sekular (yang ideal) adalah negara yang tidak memaksakan satu agama
tertentu; memperlakukan semua manusia dari agama apa saja dengan rasa
hormat yang sama; dan memelihara suatu ruang publik di mana kebebasan di
dalam menjalankan dan mengekspresikan nilai-nilai agama bisa ditemukan.
Sekularisme ... karenanya dianggap sebagai sahabat semua agama, dan bukan
musuh atau pelindung hanya satu agama t e r t e n t ~ . ~

Keempat, proses sekularisasi dan tumbuhnya sekularisme makin lama makin dilihat sebagai
sesuatu yang berlangsung unik dan liarus dilihat kasus per kasus. Tapi ini tidak menutup
kemungkinan bagi dilangsungkannya perbandingan di antara berbagai sekularisme. Hal ini
justru didorong, agar beragam sekularisme yang ada di dunia bisa dievaluasi makna dan
kandungan demokratisnya. Sekali lagi, pernyataan editorial Tlze Hedgehog Review penting
disimak:

Persis seperti halnya pluralisasi keagamaan berarti bahwa kita perlu


memikirkan lebih jauh mengenai agama-agama khusus tertentu, dan bukan
hanya memikirkannya dalam kerangka suatu kategori yang umum sebagai
"agama", maka kita perlu juga memikirkan mengenai berbagai jenis (plural --
IAF) sekularisme - cara-cara aktual bagaimana negara-negara mengelola
keragaman keagamaan di wilayah mereka masing-masing. Bagaimana kita
bisa hidup berdamphigan dengan damai, lengkap dengan berbagai perbedaan
yang terdalam di antara kita? Bagaimana kita hidup dengan memiliki tujuan
yang sama dengan mereka yang memiliki keimanan yang berbeda dengan kita
atau dengan mereka yang tak beriman, seraya membangun bersama dunia
kita? Semua ini adalah pertanyaan-pertanyaan krusial bagi umat manusia di
abad ke-2 1, yang tidak bisa kita hindarkan untuk kebaikan bersama. Kecuali

Pandangan An-Na'im paling baik dibaca dalam Abdullahi Ahmed An-Na'im, Islam and the Secular State:
Negotiating the Future of Shari'a (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2008). Tiga tahun lalu, dalam
wawancara dengan saya di Jakarta, untuk majalah Madina (almarhum), dia tegas menyatakan, "Saya merasa
bisa menjadi Muslim yang baik dan lengkap (kaffah)justru ketika saya hidup di bawah sekularisme."
Lihat "From the Editor," The Hedgehog Review, Vol. 12, No. 3 (Fall 2010), hal. 1. Teks Inggrisnya:
Secularism ... is not anti-religious or simply the absence of religion; rather it involves the attempt to create a
public reolm shaped by respect for others and concern for their rights - aplace in which deep differences can
coexist. For a secular state is (ideally) one that enforces no one religion; treats people of all religions with
equal respect; andpreserves apublic space for the free exercise and expression of religions. Secularism, ... is
thus construed as the friend of all religions, and the foe or champion of none.
kita bisa menemukan model-model pluralisme keagamaan yang lebih baik,
kita akan berhadapan dengan konflik dan kekerasan yang berkelanjutan.l o

Jadi, dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip demokrasi,jangan-jangan kita memang


memerlukan sekularisme, namun dari jenisnya yang baru, yang mencerminkan unsur-unsur
terbaik dari berbagai pengalaman sekularisme di dunia.

Tetapi, sebelum itu semua, pertanyaan terkait yang perlu juga dijawab adalah di mana letak
salahnya atau tidak memadainya model sekularisme yang lama, dalam maknanya yang
sederhana dan terbatas sebagai pemisahan negara dan agama? Mengapa model sekularisme
ini tidak selamanya memadai bagi pemenuhan cita-cita demokratis, yang antara lain hams
menghargai kebebasan beragama setiap orang?

Sekularisme dan Demokrasi: Sekularisme yang Demokratis?

Seperti sudah disinggung, sebagai salah satu prinsip pengorganisasian masyarakat politik,
sekularisme mengacu kepada pemisahan antara politik dan agama, dm, lebih khusus lagi,
pemisahan antara institusi-institusi negara dan agama. Inilah yang sering disebut
"sekularisme politik". Pertanyaan kita: Apakah atau sejauhmana prinsip politik ini
mendorong tumbuhnya atau makin meluasnya demokrasi?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita memerlukan patokan mengenai apa itu
demokrasi. Saya tidak akan mendislcusikan masalah ini secara panjang-lebar, dan
mencukupkan diri dengan hanya mengutip beberapa definisi yang menonjol mengenainya.
Dalam ilmu politik, demokrasi biasa didefinisikan secara sempit sebagai peralihan kekuasaan
melalui pemilihan umum yang bebas, jurdil, dan berlangsung reguler. Inilah yang disebut
d e f ~ sminimalis
i tentang demokrasi.

Definisi di atas sering dikritik karena penekanannya hanya pada pemilihan umum yang
seringkali tidak diawali atau diiringi oleh penghonnatan akan substansi demokrasi. Karena
ketidakpuasan pada d e f ~ sminimalis
i ini, atau yang sering juga disebut definisi prosedural
mengenai demokrasi, para sarjana menawarkan definisi yang lebih substantif tentang
demokrasi. Salah satunya, yang terkenal, dimmuskan oleh Robert Dahl. Menumtnya,
demokrasi dicirikan oleh tersedianya delapan jaminan institusional bagi: (I) kebebasan untuk
membentuk dan terlibat dalam organisasi; (2) kebebasan berekspresi; (3) hak untuk memilih;
(4) kemungkinan untuk dipilih sebagai pejabat publik; (5) hak bagi pemimpin politik untuk
bersaing meraih dukungan; (6) hak untuk memperoleh infonnasi tandingan; (7) pemilu yang
bebas dan jujur; dan (8) tersedianya lembaga-lembaga yang menjamin agar pemerintah
tergantung kepada para pemilih dan bentuk ekspresi preferensi lainnya.

Definisi yang lebih luas lagi, yang menekankan pentingnya institusi yang dapat menjamin
bahwa suatu pemerintahan yang terpilih dapat memerintah tanpa gangguan siapa pun,
misalnya angkatan bersenjata atau kelompok paramiliter berjubah agama, diberikan oleh Juan

'O "From the Editor," The Hedgehog Review, Vol. 12, No. 3 (Fall 2010), hal. 1. Teks Inggrisnya: "Jusl as
refigiouspftrrafizationmeans that we need to ~hinkmore deep& about parlicufar refigions, rather than in the
generic category of "refigion," so we need lo think about secufarisms- actuaf ways in which states manage the
refigious diversity in their midst. How can we five together with our deepest differences? How can we five in
common purpose with those of differentfaiths and no faith, building a common world together? These are
crucial questionsfor humanity in the twenty-first century, onzs that we avoid at ourperif. Unfesswe arrive at
beller models of religious pfuralism, we wiffface more and more conflict and violence."
Linz dan Alfred Stepan. Oleh keduanya, demokrasi didefinisikan sebagai "sebuah sistem
regulasi konflik yang memungkinkan berlangsungnya persaingan terbuka di antara nilai-nilai
dan tujuan-tujuan yang hendak diperjuangkan oleh warganegara."ll Definisi ini dibangun di
atas landasan pandangan tentang demokrasi yang lebih klasik yang ditawarkan oleh Juan
Linz. Baginya, sebuah rezim adalah demokratis jika "ia [rezim itu] mengizinkan formulasi
preferensi politik secara bebas, melalui pemanfaatan kebebasan berserikat, informasi dan
komunikasi, untuk tujuan terlibat di dalam persaingan bebas di antara para pemimpin di
dalam memvalidasi klaim mereka akan kekuasaan, yang dilakukan secara reguler dan dengan
cara-cara nir-kekerasan, ... tanpa mengeksklusi pejabat politik yang sedang berkuasa dari
kompetisi itu atau melarang anggota mana pun dari komunitas politik untuk menyatakan
preferensi mereka."12

Perhatikan bahwa semua defrnisi di atas menunjukkan pentingnya demokrasi sebagai sistem
politik yang memungkinkan semua preferensi politik untuk diekspressikan ke publik, ikut
dalam kontestasi merebut kursi pemerintahan, dan dengan leluasa memerintah jika mandat
untuk mereka berhasil diperoleh dari rakyat lewat pemilu yang bebas, jurdil, dan terbuka.
Prinsip ini berlaku bagi semua warganegara, termasuk mereka yang percaya pada pentingnya
makna a g m a di mang publik.

Sekarang kita bisa kembali ke pertanyaan awal kita: Apakah atau sejauhmana sekularisme,
prinsip politik yang menyatakan keharusan pemisahan antara agama dan negara, bisa
mendorong tumbuhnya atau makin meluasnya prinsip dan praktik demokrasi seperti
diuraikan dalam beberapa definisi di atas?

Dalam sejarah dan perkembangan kontemporer, kita menemukan rekor yang seimbang di
sini: positif dan negatif. Pada satu sisi, salah satu pendorong tumbuhnya sekularisme politik
adalah dorongan yang bersifat demokratis, yakni penciptaan mang publik yang terbuka bagi
semua orang sebagai warganegara yang setara, terlepas dari apa identitas (keagamaan)
mereka masing-masing. Namun demikian, pada sisi lainnya, makaa, tujuan dan bentuk
institusionalisasi sekularisme politik di berbagai tempat - dari berbagai masyarakat di Eropa
hingga ke Amerika, India, Turki dan lainnya - memperlihatkan adanya berbagai dorongan
yang tidak atau kurang demokratis. Misalnya, sekularisme politik dirasakan sangat penting
untuk menegakkan satu negara-bangsa yang homogen dan h a t . Itu juga digunakan untuk
memarginalisasi dan mengontrol agama dan lembaga-lembaga keagamaan.

Dewasa ini, dalam konteks penumbuhan dan penguatan demokrasi, tantangan yang dihadapi
sekularisme politik sangat nyata: tumbuhiya agama-agama publik, kuatnya beragam jenis
fundamentalisme agama, pluralisasi keagamaan yang berlangsung bersamaan dengan makin
derasnya gelombang imigrasi, dan lainnya. Maka tak heran jika berkembang pertanyaan
mengenai hubungan antara sekularisme dan demokrasi: apakah sekularisme memang

II
Untuk kutipan-kutipan di atas, lihat Robert Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition (New Haven: Yale
University Press, 1971), hal. 3; dan Alfied Stepan, Arguing Comparative Politics (New York: Oxford
University Press, 2001), hal. 216. Untuk diskusi yang lebih menyeluruh tetapi cukup ringkas mengenai berbagai
aspek demokrasi, lihat Amy Gutman, "Democracy," dalam Robert E. Goodin, Philip Pettit, and Thomas Pogge
(eds.), A Companion to Contemporary PoliticalPhilosophy, seeond edition (Malden, MA.: Blackwel
Publishing, 2007), Vol. 11, hal. 521-53 1.
l 2 Dikutip dalam Richard Gunther, Hans-Jurgen Puhle, and P. Nikiforos Diamandouros, "Introduction," dalam
Richard Gunther, Hans-Jurgen Puhle, and P. Nikiforos Diamandouros (eds.), The Politics ofDen~ocrntic
Consolidation: Southern Europe in Comparative Perspective (Baltimore: The John Hopkins University Press,
1995), hal. 6.
merupakan bagian esensial dari demokrasi? Atau, apakah yang dibutuhkan demokrasi adalah
jenis-jenis tertentu dari sekularisme?

Seperti sudah saya singgung dalam tulisan yang pertama,'3 dalam studi empirisnya yang
pioneering, Alfred Stepan dengan meyakinkan menunjukkan bahwa sekularisme politik -
sekali lagi, dalam maknanya yang sempit sebagai pemisahan agama dan negara - bukan
merupakan bagian esensial dari demokrasi, baik dalam maknanya yang sempit maupun luas.
Banyak negara di Eropa Barat yang demokratis memiliki konstitusi yang menunjukkan kaitan
erat antara negara dan agama, dan banyak pula di antara mereka yang memiliki agama atau
agama-agama resmi.

Baru-baru ini, studi Stepan di atas diperkuat oleh analisis kualitatif dan kuantitatif Ahmet
'
Kuru atas berbagai kasus empirik, yang perlu dibahas secara khusus. Kuru pertama-tama
menyusun indeks rezim agama-negara berdasarkan konstitusi negara bersangkutan dan
laporan kebebasan beragama di negeri itu seperti yang setiap tahun disusun dan diumumkan
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Indeks tersebut mengklasifikasi rezirn negara-
agarna ke dalam empat jenis: (1) negara-negara agama (religious states); (2) negara-negara
a dengan agama-agama resmi (states with established religions); ( 3 ) negara-negara sekular
(secular states); dan (4) negara-negara anti-agama (antireligiousstates).14 Kuru kemudian
:melihat korelasi antara indeks yang disusunnya itu dengan data Freedom House tentang
demokrasi dan otoritarianisme. Hasilnya dapat dilihat dalam dua tabel berikut.

Tabel 1
Demokrasi di Negara-negara Sekular
dan Negara-negara dengan Agama-Resmi

Demokratis Otoritarian
Sekular 79 (66%) 38 (66%)
Agama-Resmi 40 (34%) 20 (34%)
TOTAL 119 (100%) 58 (100%)

Tabel 2
Korelasi Sekularisme dengan Demokrasi dan Otoritarianisme

Sekular Agama-Resmi
Demokratis 79 (68%) 40 (67%)
Otoritarian 38 (32%) 20 (33%)
TOTAL 1 17 (100%) 60 (100%)

l3 Lihat catatan kaki no. 2 di atas.


l 4 Lebih lengkapnya, jenis-jenis negara Kuru, dengan definisi lengkap dan contohnya (dalam versi aslinya),
adalah sebagai berikut: "(1) Religious states, which institute religious laws and courts as the basis of their legal
and judicial systems (e.g., Iran, Saudi Arabia, and Sudan); (2) States with established religions, which recognize
an official religion without making it the center of their legal and judicial systems (e.g., England, Denmark, and
Greece); (3) Secular states, which (a) have secular legal and judicial systems in the sense of being out of
institutional religious control, and (b) do not establish an official religion (e.g., the United States, France, and
Turkey); dan (4) Antireligious states, which show an official hostility toward religion, generally by establishing
atheism (e.g., China, North Korea, and Cuba)." Lihat lebih jauh Ahmet T. Kuru, Secularism and State Policies
toward Religion: The United States, France, and Turkey (New York: Cambridge University Press, 2009), hal. 7-
8; dan Ahmet Kuru, "Passive and Assertive Secularism: Historical Conditions, Ideological Struggles, and State
Policies toward Religion," World Politics 59 (July 2007), hal. 568-594.
Seperti ditunjukkan oleh Tabel 1, demokrasi berjalan seiring baik dengan negara-negara
sekular maupun dengan negara-negara yang mengakui agama-agama resmi tertentu.
Kesimpulan umumnya, sekularisme belaka tidak cukup bagi demokrasi. Selaras dengan itu,
Tabel 2 menunjukkan bahwa sekularisme juga berjalan seiring baik dengan demokrasi
maupun otoritarianisme. Ini juga menunjukkan bahwa sekularisme belaka bukanlah kondisi
yang cukup bagi demokrasi.

Dalam beberapa kasus, seperti Uzbekistan dan Turkmenistan, sekularisme berjalan seiring
dengan rezim otoritarian. Dalam kasus-kasus lainnya, termasuk beberapa anggota Uni Eropa
yang pertama, deinokrasi hadir tanpa topangan sekularisme politik. Empat dari 15 negara
anggota pertama Uni Eropa memiliki agama resmi - Gereja Anglikan di Inggris dan Gereja
Presbytarian di Skotlandia, Gereja Lutheran di Denmark, Gereja Orthodoks di Yunani, dan
Gereja Lutheran dan Orthodoks di Finlandia. Sementara itu, tiga negara Uni Eropa - yakni
Italia, Spanyol, dan Portugal - menandatangani konkordat yang mengakui bahwa Gereja
Katolik nasional memiliki keistirnewaan-keistimewaantertentu di masing-masing negara
bersangkutan.

Paparan kualitatif Kuru juga menunjukkan bahwa bahkan di negara-negara sekular tertentu
seperti Jerman dan Irlandia, terdapat hubungan yang cukup erat antara negara dan agama
pada tingkat finansial dan diskursif. Ini misalnya ditunjukkan dalam sistem perpajakan untuk
gereja di negara federal Jerman, di mana peinerintah memungut pajak tertentu dari
warganegara yang beragama, untuk diserahkan kepada lembaga-lembaga keagamaan.
Bahkan, Pembukaan konstitusi Mandia, memperlihatkan kaitan erat antara negara dan agama
pada tingkat diskursiE "In the name of the Most Holy Trinity,from Whonz is all authority and
to Whom, as ourfinal end, all actions both of men and States must be referred. We, the
people of Ireland, humbly acknowledgirzg all our obligatiorzs to our Divine Lord, Jesus
Christ.... "

Satu-satunya pengecualian di sini adalah Perancis, yang terang-terangan menggunakan kata


"sekularisme" dalam konstitusinya dan tidak mengajarkan agama di sekolah-sekolah publik.
Tetapi, kata Kuru, bahkan di Perancis pun tidak ada pemisahan yang mutlak antara negara
dan agama. Ini karena beberapa indikator hubungan negara dan agama seperti berikut:
bangunan-bangunan gereja yang didirikan sebelum 1906 adalah rnilik publik; satu di antara
lima siswa mengikuti sekolah-sekolzh swasta Katolik yang 80% anggarannya disediakan dari
dana publik; dan ada empat agama resmi (Katolik, Lutheran, Calvinis, dan Yahudi) di
wilayah Alsace-Moselle (termasuk Strasbourg) di mana sekularisme tidak berjalan efektif. l5

l5 Lihat Ahmet T. Kuru, "Secularism, State Policies, and Muslims in Europe: Analyzing French
Exceptionalism," Comparative Politics, Vol. 41, No. 1 (October 2008), ha]. 5-7. Tentang ini dan yang terkait
dengannya, dengan contoh-contoh yang lebih banyak dan mendetail, lihat lebih jauh Jonathan Fox, A World
St~weyof Religion and State (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), khususnya ha]. 105-139; Pippa
Norris and Ronald Inglehart, Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide (Cambridge: Cambridge
University Press, 2004), khususnya ha]. 83-1 10; William Safran, "Religion and Lai'citt in a Jacobin Republic:
The Case of France," dalam William Safran (ed.), The Secular and the Sacred: Nation, Religion, and Politics
(London: Frank Cass Publishers, 2003), ha]. 5 1-77; Jean Baubtrot, "The Evolution of Secularism in France:
Between Two Civil Religions," dalam Linell E. Cady and Elizabeth Shakman Hurd (eds.), Comparative
Secularisms in a Global Age (New York: Palgrave, 2010), hal. 57-68; dan William Crotty, "The Catholic
Church in Ireland and Northern Ireland: Nationalism, Identity and Opposition," dalam Paul C. Manuel,
Lawrence C. Reardon, and Clyde Wilcox (eds.), The Catholic Church and the Nation-State: Comparative
Perspectives (Washington, D.C.: Georgetown University Press, 2006), hal. 117-130.
Data-data terakhir ini makin diperkuat lagi oleh studi Stepan yang lebih mutakhir, mengenai
apa yang disebutnya "Multiple Secularisms of Modern ~emocracies."'~Stepan
menunjukkan bahwa jika sekularisme dilihat dari kacamata prinsip "dinding pemisah antara
agama dan negara" seperti yang berkembang di Amerika Serikat, maka banyak negara di
Eropa Barat sudah jelas-jelasan melanggarnya, tetapi mereka jelas juga merupakan negara-
negara yang demokratis. Datanya menunjukkan,jika kita tidak memasukkan Amerika
Serikat, maka survei atas berbagai kebijakan negara di 21 negara demokratis Barat
memperlihatkan fakta-fakta menarik ini: 100% dari mereka turut mendukung pendidikan
agama dengan satu atau lain cara; 76% dari mereka menyediakan pendidikan agama di
sekolah-sekolah publik (banyak, tapi tidak semua, menawarkannya sebagai matapelajaran
pilihan); 52% dari mereka mengambil pajak dari organisasi-organisasi agama; dan 36% dari
mereka memiliki agama resmi. Temuan lengkap Stepan disajikan dalam Tabel 3 di bawah. >.

Tabel 3
Persentase Demokrasi-demokrasi Barat dengan Hubungan Agamamegara
(Tidak Memasukkan Amerika Serikat)

Catatan: Semua data di atas dikumpulkan Stepan dari "Religion and State Dataset" yang
disusun oleh Jonathan Fox, Department of Political Studies, Bar Ilan University. Data-data
ini dilaporkan dalam Jonathan Fox and Shmuel Sandler, "Separation of Religion and State in
the Twenty-First Century," Comparative Politics, Vol. 37, No. 3 (April 2005): hal. 3 17-355.
Yang berkepentingan dengan dataset ini dipersilakan langsung menghubungi Jonathan Fox.
Negara-negara demokrasi, di luar Amerika Serikat, yang termasuk dalarn dataset ini adalah:
@ Andora, Australia, Austria, Belgia, ~ a n a d a ,Siprus,
' Denmark, Finlandia, Perancis, Jeman,
Yunani, Islandia, Irlandia, Italia, Liechtenstein, Luksemburg, Malta, Belanda, Selandia Baru,
Nonvegia, Portugal, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Inggris. Nama-nama yang dicetak miring
menunjukkan negara-negara yang memiliki agama atau agama-agama resmi.

Sumber: Alfred Stepan, "The Multiple Secularisms of Modern Democratic and Non-
Democratic Regimes," ha]. 117.

Sementara itu, menjadi kebalikan dari apa yang sudah dikatakan di atas mengenai rezim-
rezim demokratis, kontrol total agama atas negara, atau sebaliknya, di negara-negara
otoritarian dengan sendirinya bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi. Seperti

l6 Alfred Stepan, "The Multiple Secularisms of Modem Democratic and Non-Democratic Regimes," dalam
Craig Calhoun, M ark Juergensmeyer and Jonathan van Antwerpen (eds.), Rethinking Seculnrism (New York:
Oxford University Press, 201 I), hal. 115-144.
ditunjukkan Tabel 4 yang disusun Kuru di bawah, tidak ada demokrasi dalam dua jenis rezim
hubungan negara-agama ini.

Tabel 4
Otoritarianisme dengan Negara Religius dan Anti-Religius

Religius Anti-Religius
Otoritarian 11 5
Demokratis 0 0
TOTAL 11 5

Dalam negara-negara religius, seperti Arab Saudi dan Iran, para ahli agama atau pengadilan
agama mendominasi pembuatan undang-undang dan proses pengadilan dan semuanya itu
berlangsung di luar pengawasan warganegara. Salah satu versi dari struktur negara religius
adalah teokrasi di Iran yang disimbolkan oleh adanya Pemimpin Tertinggi. Ciri-ciri negara
religius ini dengan sendirinya bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dalam
demokrasi. Sementara itu, di negara-negara yang anti-agema seperti China, ideologi atheistik
telah mengakibatkan berlangsungnya penindasan sistematis atas kelompok-kelompok agama.
Hal ini dengan sendirinya juga bertentangan dengan demokrasi. :

Data-data di atas memperlihatkan bahwa yang pertama-taina penting diperhatikan bukanlah


apakah sebuah negara menerapkan prinsip "sekularisme politik" - yang diterjemahkan
sebagai pernisahan agama dan negara - melainkan apakah sistem pengorganisasian
masyarakat politik di negara itu demokratis atas tidak. Untuk alasan-alasan itu, Alfied
Stepan menekan pentingnya dibangun "menara-kembar toleransi" antara negara dan agama
bagi tumbuh, terkonsolidasi dan berkembangnya demokrasi. Karena saya sudah
menyinggung soal ini dalam tulisan lalu, berikut ini saya hanya menekankan beberapa
seginya lagi yang penting.

Bagi Stepan, konsep "menara-kembar toleransi" jauh lebih fleksibel dibanding konsep
"pemisahan negara dan agarna", apalagi jika diingat bahwa konsep terakhir ini sudah
diidentikkan dengan sekularisme, kata yang untuk sebagian kalangan agamawan adalah kata
yang jorok dan menjijikkan.17 Sejalan dengan pendekatan institusional yang
dikembangkannya dalam melihat demokrasi dan konsolidasinya di sebuah negara,I8 dengan
gagasan itu Stepan sedang menawarkan batas-batas yang dengan tegas harus dibuat dan
dijalankan di antara kebebasan pemerintahan yang terpilih secara demokratis dari tuntutan
dan tekanan kelompok-kelompok agama dan kebebasan kelompok-kelompok agama dari
pemerintah. Dia menulis:

Wilayah otonom kunci yang harus dimapankan bagi lembaga-lembaga


demokratis adalah bahwa lembaga-lembaga yang muncul dari prosedur-
prosedur demokratis itu hams mampu membuat dan menjalankan kebijakan,
dalam batas-batas yang diizinkan konstitusi dan hak-hak asasi manusia.
Lembaga-lembaga agama tidak boleh memiliki hak istirnewa yang diberikan

I' Di Eropa, arah yang sama, tapi dalam bidang teori politik yang abstrak, juga ditempuh oleh Veit Bader dalam
Secularism or Democracy?: Associational Governance of Religious Diversity (Amsterdam: Amsterdam
University Press, 2007).
l8 Lihat catatan kaki terdahulu mengenai definisi institusional tentang demokrasi.
kepada mereka secara konstitusional, yang memberi mereka kewenangan
untuk memandatkan kebijakan publik apa pun kepada pemerintahan-
pemerintahan yang dipilih secara demokratis.

Wilayah otonom kunci yang hams dimapankan bagi kebebasan beragama, dari
pemerintah atau bahkan dari agama-agama lain, adalah bahwa individu dan
kelompok agama harus memiliki kebebasan penuh di dalam menjalankan
ibadah keagamaan mereka secara pribadi. Lebih dari itu: sebagai individu dan
kelompok, mereka juga hams dimungkinkan untuk memperjuangkan nilai-
nilai mereka secara publik dalam masyarakat sipil, dan untuk menyeponsori
berbagai organisasi dan gerakan dalam masyarakat politik, sejauh usaha
mereka di dalam mempejuangkan nilai-nilai ini tidak berakibat negatif
terhadap kebebasan warganegara lain, atau melanggar aturan-aturan demokrasi
dan hukum, dengan cara-cara kekerasan.I9

Dalam kaitannya dengan masalah yang saya bahas di sini, dua konsekuensi dari kerangka di
atas penting untuk digarisbawahi. Pertama, gagasan "toleransi-kembar toleransi"
a mengimplikasikan bahwa tidak ada satu pun kelompok di dalam masyarakat politik, termasuk
Gereja Katolik, dapat secara a priori dilarang untuk membentuk atau mendukung
pembentukan sebuah partai politik berbasis agama.20

Kedua, di bawah kerangka besar itu, pola-pola hubungan agama dan negara yang lebih
konkret bisa dirumuskan - sesuai dengan ruang dan waktu, dan karenanya tidak permanen,
apalagi sakral. Dengannya kita bisa melampaui rumusan sederhana mengenai "pemisahan
gereja dan agama," yang kadang mengacaukan. Ringkasnya, memparafrasekan Stepan:
keterlibatan politik kalangan agamawan tidak boleh segera dicurigai hanya karena ia datang
dari agamawan, sebagaimana ia juga tidak boleh segera diistimewakan dengan alasan yang
sama.

Islam: Pada Dasarnya anti-Sekularisme?

Sayangnya, terutama setelah peristiwa 1 1 September, prasyarat bersikap netral pada agama
itu pada kenyataannya tidak mudah diberikan kepada ekspresi publik keimanan kaurn
Muslim. Hal ini belakangan terutama dirasakan di sejumlah negara Eropa, yang sebenarnya
memiliki sejarah sekularisme yang panjang. Masalah inilah yang pada gilirannya
e mengakibatkan tumbuhnya apa yang biasa disebut "the Muslim Question" di sejumlah negara
Eropa, khususnya Belanda, Denmark, Perancis, dan ~ n ~ ~ r i s . ~ '

19
Untuk argumen dan paparan lengkapnya, lihat artikel "The World's Religious Systems and Democracy,"
dalam Stepan, Arguing Comparative Politics, hal. 216-255.
'O Stepan menekankan bahwa "berbagai pembatasan kepada partai politik hanya bisa dilakukan sesudah partai
itu, dengan perilakunya, melanggar demokrasi. Penilaian tentang apakah sebuah partai melanggar demokrasi
atau tidak harus ditentukan bukan oleh partai-partai di dalam pemerintahan, melainkan oleh pengadilan." Lihat
Stepan, Arguing Comparative Politics, ha]. 217 (cetak miring dari aslinya).
2'Tentang masalah khusus ini, lihat misalnya berbagai karangan dalam Tariq Modood, Anna Triandafyllidou,
and Richard Zapata-Barrero (eds.), Multiculturalism, Muslims and Citizenship: A European Approach (New
York: Routledge, 2006); Bhikhu Parekh, Etrropean Liberalism and 'the Mtislim Question ' (Leiden: Amsterdam
University Press, 2008); dan Nasar Meer, Citizenship, Identity and the Politics of Multiculturalism: The Rise of
Muslim Consciotrsness (New York: Palgrave, 2010).
Ada banyak faktor yang bisa menjelaskan akutnya masalah ini. Tapi, dalam konteks kita
sekarang, yakni perbincangan mengenai teori sekularisasi dan agama dalam ruang publik, ha1
di atas dipersulit oleh masih bertahannya dua perspektif mengenai kaum Muslim: (1)
pandangan esensialis mengenai Islam yang diidentikkan dengan Islamis dan bahwa politik
Islam adalah politik Islamis yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi; dan (2)
pandangan bahwa, karena sebab yang pertama tadi, maka komitmen demokratis kaum
Muslim hams selalu dipertanyakan, sekalipun mereka sudah menyatakannya secara terbuka,
Di bawah ini saya akan membahasnya satu per satu.

Pandangan pertama muncul sebagai cermin terbaik dari teori sekularisasi, dan karenanya
sama-sama kelirunya. Ketika teori sekularisasi dianggap gaga1 menjelaskan kenyataan -.
karena ekspressi publik agarna bahkan makin berkembang belakangan ini, maka kini agama
dianggap sebagai faktor penjelas segalanyz. Perilaku politik kaum Muslim juga dijelaskan
dengan cara demikian. Sayangnya, akibat esensialisasi Islam, politik kaum Muslim
diidentikkan dengan politik kaurn Muslim Islamis. Ini diikuti oleh penjelasan yang serba-
sederhana atas fenomena kompleks seperti terorisme bunuh-diri dan perang-perang regional
dengan merujuk kepada ayat-ayat al-Qur7antertentu atau kutipan dari karya-karya Sayyid
Quthb, yang justru hanya memperkuat pandangan kaum Islamis radikal.

Ini bukan saja salah kaprah, tetapi juga berbahaya. Ini pertama-tama salah kaprah karena,
seperti sudah seringkali dinyatakan banyak kalangan, baik sarjana Muslim seperti
Mohammed Ayoob maupun non-Muslim seperti John L. Esposito, ada banyak penafsiran atas
Islam oleh kaum Muslim, seperti juga ada dalam agama-agama lain. Sebagian penafsiran itu
pro-demokrasi, yang lainnya lagi tidak, dan ~ e t e r u s n ~ a . ~ ~

Tidak ada yang khas yang membedakan kaum Muslim dari kalangan agamawan lainnya di
sini. Keragaman penafsiran itu dapat kita saksikan dalam berbagai ekspressi keislaman yang
ditemukan sehari-hari. Seperti kita tahu, di luar enam rukun iman dan lima rukun Islam,
banyak aspek dari teologi atau hukum Islam, misalnya, apalagi penafsiran politis atasnya,
yang ditafsirkan secara berbeda, dan semua penafsiran ini term terbuka untuk diperdebatkan
dan dipertentangkan. Di luar pemilahan antara Sunni dan Syi'ah, misalnya, ada banyak aliran
teologi dan h u h m dalam tradisi Islam.

Yang langsung terkait dzngan politik, satu contoh menarik dikemukakan Ayoob menyangkut
gagasan yang disebut "negara Islam". Para pendukung gagasan ini bicara seakan-akan hanya .
ada satu negara Islam. Tapi, kata Ayoob, dua negara yang menyatakan dirinya negara Islam,
Iran dan Arab Saudi, berbeda satu sama lain dalam banyak segi yang penting. Arab Saudi
adalah sebuah monarki, di mana suatu lembaga keulamaan yang asal-usulnya sektarian
(Wahhabi) bersekutu dengan pemerintahan keluarga Saud dengan syarat bahwa semua
perbuatan dibimbing oleh Syari'ah, sebuah konsep hukurn yang dikembangkan para ahli fiqih
berdasarkan al-Qur'an dan Sunnah lVabi Muhammad. Sebagai pemegang otoritas militer,
keluarga Saud adalah partner yang dominan dalam hubungan ini. Bertentangan diametral
dengan itu, pemimpin Revolusi Iran, Ayatullah Khomeini, mencaci-maki monarki dan
menawarkan suatu teori yang sepenuhnya baru, vilayat-i faqih, pemerintahan yang dipimpin
oleh para ahli fiqih. Kata Ayoob, rezim ini sudah membangun berbagai lembaga untuk
memastikan bahwa semua legislasi sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, meskipun konstitusi

22 Lihat Mohammed Ayoob, The Many Faces ofPolitica1 Islam: Religion and Politics in the Muslim World
(Ann Arbor: The University of Michigan Press, 2007); dan John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth o r
Reality? (Oxford: Oxford University Press, 1999).
Iran,misalnya, yang mengombinasikan unsur-unsur sistem parlemen Barat dengan teori
Khomeini tentang vilayat-i faqih, tidak ada presedennya dalam sejarah hukum Islam.

Akhirnya, dan butir ini langsung menyentuh butir yang sedang saya diskusikan, Ayoob
menulis: "Dua kasus pembentukan negara dan sentralisasi kewenangan di negara-negara yang
menyatakan-diri Islami itu dengan jelas menunjukkan bahwa Islam sudah disaring lewat
sejumlah variabel yang memerantarai dm, dalam prosesnya, memodifikasi norma-norma dan
nilai-nilai slam."^' Dia juga mencatat bahwa hubungan di antara kedua negara itu, Arab
Saudi dan Iran, selalu tegang dan kadangkala runcing.

Penafsiran-penafsiran ini sebagian besarnya ditentukan oleh konteks sosial-politik dan


*
ekonomi, dan semuanya juga jelas dipengaruhi unsur agensi manusia Muslim sebagai
penafsirnya. Karena itu, menjelaskan perilaku politik kaum Muslim secara sederhana dengan
gampangan saja merujuk kepada teks-teks Islam bukanlah metode keilmuan yang memadai.
Itu sama saja artinya dengan menyatakan bahwa semua kaum Muslim akan merujuk kepada
teks yang sama, yang ditafsirkan secara sama, dan semuanya tidak akan mengalami
perubahan. Itu sebabnya mengapa antropolog Dale Eickelrnan dan ilmuwan politik James
a Piscatori, yang sudah lama menggeluti politik kaum Muslim di berbagai tempat, memberi
judul buku mereka sebagai "Muslim Politics ",bukan "Islamic Politics ". Itu mereka lakukan
untuk menekankan pentingnya agensi manusia, yang menjalankan politik, dan bukan prinsip-
prinsip keagamaan yang tidak berubah. Seraya menekankan bahwa doktrin-doktrin Islam
tetap merupakan sumber yang penting, mereka menyatakan bahwa "doktrin [Islam] ... hanya
memainkan peran yang sekunder." Ini karena "politik kaum Muslim tidak ditentukan oleh
suatu ketetapan yang berisi gagasan-gagasan tetap (a template of ideas); ... [tapi] ha1 itu juga
dipengaruhi oleh sejurnlah faktor yang mencakup identitas kebangsaan, perkembangan
ekonomi, dan status s0sia1.~~

Yang lebih penting, model penafsiran atas perilaku kaurn Muslim di atas bukan saja salah
kaprah, tapi juga berbahaya. Ini terjadi ketika model penafsiran seperti itu, yang menekankan
esensialisme Islam, menjadi dasar bagi diambilnya satu kebijakan politik yang berimplikasi
besar bagi hubungan di antara satu negara yang mayoritas penduduknya Muslim dan Amerika
Serikat, misalnya. Ranyak kalangan yang percaya bahwa model penafsiran tentang politik
Islam seperti inilah, yang disebarkan oleh sejarawan terkenal Bernard Lewis, dzn yang pada
gilirannya memengaruhi nujuman ilmuwan politik Samuel P. Huntington tentang "Benturan
Peradaban" (Clash of Civilizations), yang mendorong para pengambil kebijakan di bawah
@ pemerintahan George W. Bush unhlk melakukan invasi terhadap negara Irak dengan alasan
bahwa rezim Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal, satu alasan yang
belakangan terbukti d i b u a t - b ~ a t . ~ ~

23 Ayoob, The Many Faces, ha]. 48.


Dale F. Eickelman and James P. Piscatori, Muslim Politics (Princeton: Princeton University Press, 1996).
24
Kutipan diambil dari "Preface," hal. ix.
25
Kaitan antara kesajanaan Bernard Lewis dan Samuel Huntington dengan kebijakan luar negeri pemerintah
Arnerika Serikat, termasuk keputusan Presiden Bush untuk menginvasi Irak, sudah cukup banyak diungkap,
termasuk dalam media-media massa populer. Lihat misalnya laporan Peter Waldman, "Containing Jihad: A
Historian's Take On Islam Steers U.S. In Terrorism Fight," Wall Street Journal, February 3, 2004. Untuk
analisis yang lebih mendalam, lihat John Trumpbour, "The Clash of Civilizations: Samuel P. Huntington,
Bernard Lewis, and the Remaking of the Post-Cold War World Order," dalam Emran Qureshi and Michael A.
Sells (eds.), The New Crusades: Constructing the Muslim Enemy (New York: Columbia University Press,
2003), ha]. 88-130.
Dalam aras yang lain, yang langsung terkait dengan tema pokok tulisan ini, yakni mengenai
sekularisasi dan sekularisme, model penafsiran esensialis atas perilaku kaum Muslim di atas
juga mengaburkan fakta sejarah bahwa sekularisasi dan sekularisme sebenarnya bukanlah
barang yang sama sekali baru dalam sejarah panjang kaum Muslim. Meskipun diakui bahwa
pengalaman sekularisme kaum Muslim tidak sekental kalangan Protestan atau Katolik di
Eropa atau Amerika Utara, karena alasan perbedaan baik doktrin maupun sejarah,
pengalaman sekularisme itu bukan tak ada. Inilah yang belakangan mulai diungkap baik oleh
sarjana Muslim maEpun non-Muslim.

Sejak 1975, dalam artikelnya yangpioneering, sejarawan Ira Lapidus sudah mulai
menjelaskan bahwa sekularisasi di kalangan kaum Muslim itu setidaknya sudah berlangsung
pada abad kedelapan, di mana sudah muncul dua otoritas - keagamaan dan politik - di dunia
Islam. Pada masa itu, aliran-al'iran teologi dan fiqih Sunni, sekte Syi'ah, dan tarekat-tarekat
sufi, di samping petinggi militer d m administratif yang sekular, saling bersaing di dalam
membela dan menentan institusi kekhalifahan yang mengklaim mewakili sekaligus otoritas
keagamaan dan politis.2' Belakangan, dalam karyanya yang tebal dan mendapat banyak
pujian, A History of Islamic Societies, Lapidus mengelaborasi kompleksitas dan keragaman
sistem-sistem politik yang dihasilkan oleh !cam Muslim sepanjang sejarah mereka.

Sepanjang dua dekade terakhir, karya-karya kesarjanaan seperti ini mulai diikuti oleh para
sarjana lain, khususnya sejarawan, seperti Nikkie R. Keddie dan L. Carl Brown.' Langkah-
langkah mereka juga mulai dibarengi oleh karya sejumlah sarjana Muslim seperti Abdullahi
Ahmed An-Na'im dan Nader as he mi.^'

Semuanya itu menjelaskan bahwa kaum Muslim - dulu, dan mestinya juga sekarang dan
nantyi -juga adalah manusia biasa, dengan darah dan daging, yang kepentingannya di
masing-masing konteks turut memengaruhi penafsirannya atas Islam dan ekspresi politik
keislarnannya. Mereka tidak beda dari pemeluk agama lain, termasuk umat Katolik atau
Protestan di berbagai belahan Sumi ini.

Dan di sini, daripada mencari kekhususan homo islumicus yang esensialis dan tak bisa
berubah, kita bisa belajar dari literatur mengenai sekularisasi, sekularisme dan demokrasi
seperti yang dialami umat Katolik di Eropa dan Amerika Latin, seperti yang diperlihatkan
studi Anthony Gill dan Stathis Kalyvas. Semuanya berguna juga untuk memperoleh
pemahaman yang baik mengenai perilaku politik kaum Muslim.

Gill misalnya menunjukkan bahwa dalarn memutuskan perkara-perkara politik, bahkan


lembaga agama yang paling hierarkis sekalipun, yakni Gereja Katolik, lebih banyak didorong
oleh fleksibilitas dan perhitungan strategis daripada konsistensi teologis. Dia menunjukkan
bagaimana Gereja Katolik menerapkan strategi-strategi politik yang beragam di berbagai

26Salah satu kasus yang menonjol adalah pemenjaraan Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Khalifah al-Makmun
karena yang bersangkutan menolak dijadikannya Mu'tazilah sebagai doktrin resmi negara.
'' Lihat Ira M. Lapidus, "The Separation of State and Religion in the Development of Early lslamic Society,"
International Journal ofMiddle East Studies, Vol. 6, No. 4 (1975), hal. 363-85 dan Ira M. Lapidus, A History of
Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 1988). Untuk dua yang lainnya, lihat Nikkie R.
Keddie, "Secularism and Its Discontents," Deadahrs, Summer 2003, hal. 14-30 dan L. Carl Brown, Religion and
State: The Muslim Approach to Politics (New York Columbia University Press, 2000). Untuk karya-karya
sajana Muslim, lihat An-Na'im, Islam and the Secular State; dan Nader Hashemi, Islam, Secularism and
Liberal Democracy: Toward a Democratic Theoryfor Muslim Societies (Oxford: Oxford University Press,
2009).
negara Amerika Latin dalarn kaitannya dengan persaingan politik dan keagamaan yang juga
beragam2* Sejalan dengan itu, Kalyvas juga menekankan fleksibilitas dan perhitungan
untung-rugi yang dijalankan oleh aktor-aktor Katolik dan Protestan di Eropa. Ketika
membanding-bandingkan perilaku politik kalangan Katolik dan Protestan di Eropa, Kalyvas
misalnya menulis:

Perilaku politik kalangan Katolik dan Protestan yang tidak sama ternyata tidak
disebabkan oleh dorongan kultural [religius yang berbeda]: ketika mendapat
tantangan berupa legislasi yang anti-klerik, kalangan Protestan di Belanda
bereaksi dalam cara yang sama dengan kalangan Katolik. Sementara itu,
ketika serangan-serangan yang anti-klerik tidak berlangsung, kalangan Katolik
Irlandia tidak mengorganisasikan-diri secara politis atas dasar kesamaan
agama mereka."29

Sekarang, sambil mengakhiri tulisan ini, saya ingin memberi respons atas pandangan yang
kedua, yakni kecurigaan atas komitmen kaum Muslim terhadap demokrasi. Oleh Kalyvas,
dalam karyanya yang lain, inilah yang disebut "Commitment Problem in New Democracies,"

e yang terutama memang dialamatkan kepada partai-partai .agama.

Dan di sini, lagi-lagi, kita perlu belajar dari Kalyvas, yang menyatakan bahwa kekuatiran di
atas itu berlebihan. Mengapa? Dari beberapa studinyaY3O beberapa kesimpulan pokok bisa
ditarik. Pertama, dalam sejarah umat manusia, yang pernah melanggar komitmen itu justru
bukan partai agama, tetapi partai sekular di Italia, yang menaikkan Mussolini ke tampuk
kekuasaan secara demokratis dan kemudian menghancurkan demokrasi itu sendiri.
Karenanya, kecurigaan atas partai agama hams diimbangi oleh tingkat kecurigaan yang sama
atas partai-partai sekular.

Kedua, kalau ada partai agama yang menang dalam pemilu pertama sesudah demokrasi,
dalam perkembangannya mereka segera "termakan" oleh logika "moderating effect of
democracy ",yang menjadikan mereka keluar dari kepompong ideologis mereka. Itulah yang
terjadi misalnya dengan Partai Kristen Demokrat di Italia. Dalam sejumlah studi mengenai
kalangan Islamis yang berusaha meraih kekuasaan lewat pemilu, inilah yang banyak terjadi di

Lihat pembahasannya dalam Anthony Gill, Rendering Unto Caesar: The Catholic Church and State in Latin
America (Chicago: University of Chicago Press, 1998).
'' Lihat Stathis N. Kalyvas, The Rise of Christian Democracy in Europe (Ithaca: Cornell University Press,
1996). Kutipan Kalyvas diambil dari ha]. 3, yang teks Inggrisnya berbunyi: "The dissimilarpolitical behavior
of Catholics and Protestants does not appear to be culturally driven: when challenged by anticlerical
legislation, Protestants in the Netherlands reacted the same way Catholics did, whereas when no anticlerical
attack tookplace, Irish Catholics did not organize politically on the basis of religion. "
30 Selain The Rise of Christian Democracy in Europe yang sudah disebutkan di atas, artikel-artikelnya yang
berpengaruh adalah: "From Pulpit to Party: Party Formation and the Christian Democratic Phenomenon,"
Comparative Politics, Vol. 31, No. 3 (1998), hal. 293-3 12; "Democracy and Religious Politics: Evidence fiom
Belgium," Comparative Political Studies, Vol. 31, No. 3 (1998), hal. 291-3 19; "Commitment Problems in
Emerging Democracies: 'The Case of Religious Parties," Comparative Politics, Vol. 32, No. 4 (2000), hal. 379-
399; "Unsecular Politics and Religious Mobilization," dalam T. A. Kselman dan J. A. Buttigieg (eds.),
Etrropean Christian Democracies: Historical Legacies and Comparative Perspectives (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 2003), hal. 293-320; dan, ditulis bersama Kees van Kersbergen, "Christian
Democracy," dalam Annual Review of Political Science 13 (201 O), hal. 183-209. Khusus mengenai kekerasan
di Aljazair sesudah kemenangan FIS dibatalkan, lihat artikelnya, Stathis N. Kalyvas, "Wanton and Senseless?:
The Logic of Massacre in Algeria," Rationality and Society, Vol. 11, No. 3 (1999), hal. 243-285.
Turki, Malaysia dan Indonesia, melahirkan fenomena yang oleh ilmuwan politik Vali Nasr
disebut "Muslim ~emokrat".~'

Ketiga, karena berbagai pertimbangan untung-rugi secara politis, para elite agama di negara-
negara yang mayoritas penduduknya Kristen pada umumnya tidak mau membentuk partai
agama. Mereka baru bersedia membentuk partai agama sesudah didorong oleh para pastor di
tingkat akar rurnput, yang sehari-harinya berhadapan dengan kelompok-kelompok politik
lain, seperti kader-kader Partai Komunis Italia. Ini menunjukkan bahwa agama tidak
selamanya merupakan faktor yang penting bahkan untuk memenangkan kepentingan politik
elite tertinggi agama itu sendiri.

Keempat, Partai Front Penyelamat Islam (Front Islamique du Salute atau FIS) di Aljazair
tidak termasuk ke dalam kasus yang dibahas dalam melihat "masalah komitmen", karena
kemenangan partai itu dibatalkan, yang mengakibatkan tumbuhnya kekerasan yang berdarah-
darah dan berkelanjutan di Aljazair dan merusak kepercayaan kaum Muslim akan niat baik
penyelenggaraan pemilu. Pengalaman ini mengajarkan bahwa dianulirnya kemenangan awal
kalangan Islamis dalam pemilu hanya akan memancing tumbuhnya kekerasan yang akan
memakan banyak k ~ r b a n . ~ ~

Dengan alasan-alasan di atas, saya tidak mau curiga kepada partai-partai Islam. Atau, man
kita curiga kepada semua partai - ya partai Islam, partai agama, tapi juga partai sekular.

Selebihnya, bersepakat dengan Stepan, prinsip demokrasi tidak mengizinkan kita untuk
mengeksklusi partisipasi orang atau kelompok mana pun berdasarkan hanya kecurigaan. Itu
mencerminkan perilaku "tujuan menghalalkan cara." Jika prinsip ini yang kita pegang, maka
apa lagi yang menghalalkan tujuan itu sendiri?***

31
Lihat Vali Nasr, "The Rise of 'Muslim Democracy,"' dalam Journal ofDemocracy, Vol. 16, No. 2 (April
2005), hal. 14-28. Untuk pembahasan lebih lengkap dan mutakhir mengenai tema ini, lihat Jillian Schwedler,
"Can Islamists Become Moderates?: Rethinkifig the Inclusion-Moderation Hypothesis," World Politics, Vol. 63,
No. 2 (April 201 I), hal. 347-376.
32 Selain dalam artikel Kalyvas yang sudah dikutip di atas, masalah ini juga dibahas dengan sangat baik oleh
Mohammed M. Hafez dalam "From Marginalization to Massacres: A Political Process Explanation of GIA
Violence in Algeria," dalam Quintan Wiktorowicz (ed.), Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach
(Bloomington, Indiana: Indiana University Press, 2004), hal. 37-60.

Anda mungkin juga menyukai