Anda di halaman 1dari 7

BAHAYA SEKULARISASI DAN SEKULARISME

(Ulasan Ringkas buku Islām and Secularism)

Tugas Mata Kuliah:

Teori Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Mahasiswa:

Qosim Nurseha Dzulhadi

NIM:

432022841003

DOKTORAL AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR

1444 H/2022 M

1
BAHAYA SEKULARISASI DAN SEKULARISME

“One of the major failures of most Arab and Western intellectuals today is that they have

accepted without debate or rigorous scrunity terms like secularism and democracy, as if

everyone knew that these words mean.”

―Edward W. Said1

PENGANTAR

Sejak 1974 Prof. Dr. SMN al-Attas (lahir 1931) sudah mengingatkan umat Islam

akan bahaya ‘sekularisasi’ (secularization) dan ‘sekularisme’ (secularism) yang datang

dari Barat melalui bukunya Islām and Secularism.2 Sekularisasi dinilai berbahaya

karena ia merupakan proses dari ‘pensekularan’ nilai dan zaman. Sementara bahaya

yang dikandung ‘sekularisme’ karena ia merupakan sebuah faham yang sudah pasti

mengandung worldview Barat sekular. Menurut al-Attas, keduanya sama-sama

berbahaya. Karena sejatinya ‘sekularisasi’ itu adalah gerakan dan program filosofis.

Inilah yang harus diwaspadai oleh umat Islam. Dan poin ini akan sedikit diulas dalam

artikel ini.

ISTAC SEBAGAI RESPONS PEMIKIRAN

Jika dilihat respons keras al-Attas terhadap ‘sekulariasi’ dan ‘sekularisme’

dapat dirujuk ke belakang. Dimana menurutnya, sejak dibuka secara resmi ISTAC

pada 1991 diantara tujuan utamanya adalah untuk: to conceptualize (mengkonsep),

clarify (mengklarifikasi), dan elaborate (mengelaborasi) problem-problem keilmuan

dan epistemologis yang dihadapi oleh umat Islam saat ini dan memberikan respons

1 Nader Hashemi, Islam, Secularism, and Liberal Democracy: Toward a Democratic Theory for Muslim Societies
(Oxford-New York: Oxford University Press, 2009), 103.
2 SMN al-Attas, Islām and Secularism (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and

Civilization (ISTAC), 1993).

2
Islam terhadap tantangan intelektual dan kultural yang datang dari dunia modern

(Barat) dan berbagai tantangan pemikiran, agama dan ideologi.3

Dan masalah ‘sekularisasi’ dan ‘sekularisme’ itu merupakan bagian dari

tantangan pemikiran dan peradaban yang dihadapi oleh umat Islam. Itulah sebabnya

mengapa al-Attas menulis Islām and Secularism. Dan ia ingin mendedikasikan

karyanya ini kepada generasi Muslim yang sedang bangkit. “This book originally

dedicated to the emergent Muslims. Sehingga mereka dapat bertahan dengan cerdas

dalam menghadapi hebatnya arus ‘sekularisasi’ dan mampu memberikan perubahan

dalam ranah pemikiran yang dipandang oleh al-Attas dengan “still floundering”

(lemah) di tengah lautan kebingungan dan keraguan-diri (self-doubt). Karena ternyata

‘sekularisasi’ nilai dan peristiwa yang telah diramalkan akan terjadi di dunia Islam

sudah terlihat dengan momentum dan desakan yang makin meningkat, akibat dari

lemahnya kefahaman umat Islam terhadap hakikat sebenarnya dan implikasi

sekularisasi, sebagai sebuah program filosofis.4

HAKIKAT ‘SEKULARISASI’ DAN ‘SEKULARISME’

Dari penjelasan al-Attas dapat ditangkap bahwa ‘sekularisasi’ adalah sebuah

gerakan atau program filosofis (a philosophical program). Dan terjadinya ‘sekularisasi’

serta menguatnya ‘sekularisme’ di dunia Islam didasari oleh ketidak-fahaman umat

Islam itu sendiri terhadap hakikat ‘sekularisasi’ dan ‘sekularisme’. Untuk itu penting

kiranya memahami apa itu ‘sekularisasi’ dan ‘sekularisme’. Inilah yang akan diulas

secara ringkas dalam penjelasan berikut.

Sekularisasi dikonotasikan sebagai sebuah proses dari mereduksi pengaruh

agama, ketika istilah ini digunakan dalam lingkar legal dan eklesiastikal untuk

menjelaskan tentang transfer institusi keagamaan atau properti dalam melakukan

3 SMN al-Attas, Islām and Secularism, xiii.


4 SMN al-Attas, Islam and Secularism, xv.

3
kepemilikan atau penggunaan yang sifatnya temporal. Misalnya, mengutip dari

kamus pertama bahasa Inggris, yang dikomandoi Samuel Johnson (terbit pada 1755),

Keane menyelisik bahwa secularism dalam sejarah Inggris, adalah: “worldlinness;

attention to the things of the present life” (keduniaan; hanya memberi perhatian kepada

segala hal yang sifatnya saat ini, sekarang ini)... untuk pindah dari hal spiritual kepada

makna biasa... to make worldy (menjadikannya benar-benar duniawi).

Sementara Talal Asad, melalui studi antropologis, mendapati bahwa istilah ini

ditemukan di sebelah barat laut Eropa pada pertengahan abad ke-16. Ia mencatat

bahwa kata “secularism” dan “secularists” pertama kali diperkenalkan oleh para

pemikir liberal dalam rangka menghindari serangan ateisme. Hanya saja, di abad ke-

20, secularism menjadi kategori kesarjanaan yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial

(social sciences) dan dikaitkan dengan karya-karya Auguste Comte, Emile Durkheim,

Max Weber, Karl Marx, Ferdinand Toennies, dan Ernst Troeltsch. Nikki Keddie

kemudian menggarisbawahi tiga jalan “sekularisasi” yang difahami saat ini, yaitu

sebagai: (1) “an increase in the number of people with secular beliefs and practices”

(sebuah peningkatan jumlah orang dengan keyakinan dan praktik (keagamaan) yang sekular);

(2) “a lessening of religious control or influence over major spheres of life” (mengurangi

kontrol atau pengaruh agama dalam bidang kehidupan); dan (3) “a growth in state

sparation from religion and in secular regulation of formely religious institutions and

customs” (suatu pertumbuhan dalam rangka memisahkan negara dari agama dalam aturan

institusi keagamaan dan ritual yang formal).

Secara sederhana, secularism ini berkaitan dengan tiga disiplin ilmu sosial:

filsafat, sosiologi dan ilmu politik. Secara filosofis, secularism menunjuk pada sebuah

penolakan terhadap hal yang bersifat transenden dan metafisik sembari fokus pada

hal eksistensial dan empirik. Di sini ia ketemu dengan definisi secularism-nya Harvey

4
Cox bahwa secularism itu adalah: “the liberation of man from religious and metaphysical

tutelage, the turning of his attention away from other worlds and toward this one.”5

Secara sosiologis, secularism korelatif dengan modernisasi, yaitu: satu proses

gradual (perlahan) yang mengarah kepada penghancuran pengaruh agama dalam

institusi sosial, kehidupan komunal, dan hubungan antar-manusia. Ini dalam istilah

Peter Berger adalah: “a process by which sectors of society and culture are removed from the

domination of religious institutions and symbols” (satu proses menghilangkan sektor

sosial dan budaya dari dominasi institusi dan simbol-simbol agama). Dan secara

politis, secularism itu menyangkut tentang pemisahan bidang publik dan privasi

secara khusus dari agama dan negara. Kriteria breakdown ini identik dengan

pembagian secularism yang dilakukan oleh Charles Taylor.6

Bagaimanapun, baik sekularisasi maupun sekularisme intinya tetap satu:

menghilangkan dan membuang pengaruh agama dari kehidupan masyarakat. Dan

inti agama itu tentu adalah ‘metafisika’ (utamanya: Tawhid, keyakinan, aqidah, lalu

syariah atau hukum Allah). Di sini jelas bertolak-belakang dengan Islam. Karena jelas

diakui oleh sarjana Hindu bahwa: secularism as the product of a particular moment in post-

Reformation Christian history, the European Englightenment. It becomes institutionalized as

a doctrine with the historical separation of church and state in nineteenth-century liberal

society and eventually becomes globalized through colonialism and the disperal of modern

forms of governane and of corporate, market, and professional values.”7

Jadi, ia merupakan pengalaman Barat Kristen, sebagaimana dikatakan oleh al-

Attas dalam Islām dan Secularism-nya. Dan, memang, di abad Pencerahan

5 Lihat, Harvey Cox, The Secular City (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2013), 21.
Harvey Cox juga mengutip seorang teolog Belanda, C. A. van Peursen, yang menyatakan bahwa
secularization itu adalah “the deliverence of man “first from religious and then from metaphysical
control over his reason and his language”. (The Secular City, 2).
6 Lihat, Nader Hashemi, Islam, Secularism and Liberal Democracy, 105-106.

7 Priya Kumar, Limiting Secularism: The Ethics of Coexistene in Indian Literature and Film (Minneapolis-

London: University of Minneasota Press, 2008), 3. Lihat juga, Elisabeth Shakman Hurd, The Politics of
Secularism in International Relations (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2008).

5
(Enlightenment) mayoritas peristiwa intelektual dan budaya terpisah dari etika dan

doktrin Kristen.8 Lebih jauh lagi, akhirnya mereka mengonsep ulang Gospel Kristen,

mendefinisikan ulang konsep Tuhan mereka, dan melakukan dehelenisasi dogma

Kristen.9 Karena mereka tidak dapat memungkiri bahwa problem paling serius kaum

Kristen, kata Prof. al-Attas, adalah ‘problem Tuhan’ (problem of God).10

Maka, sekali lagi, sekularisasi kata al-Attas didefinisikan sebagai: “pembebasan

manusia pertama dari kungkungan agama lalu dari kungkungan metafisika yang mengontrol

akal manusia dan bahasanya.”. Dan dimensinya ada tiga: (1) the disenchantment of nature

(penghilangan pesona dari alam tabi’i; (2) the desacralization of politics (peniadaan

kesucian dan kewibaaan agama dari politik); dan (3) the deconsecration of values

(penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan).11

Konsekuensi logis dari “penghilangan pesona dari alam tabi’i” adalah: manusia

tidak lagi menggap alam ini kudus, sehingga mereka bebas bertindak apa saja

terhadapnya. Dan, “peniadaan kesucian dan wibawa agama dari politik” mengakibatkan:

penghapusan peran agama dari pada kekuasaan dan otoritas politik. Padahal agama

adalah syarat utama bagi perubahan politik. Sedangkan konsekuensi dari

“penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan” adalah:

menjadikan semua karya budaya dan setiap sistem nilai, termasuk agama dan

pandang alam (worldview) yang memiliki makna lahir dan tidak boleh ubah lagi,

bersifsat sementara dan nisbi (relative).12

Konsekuensi-konsekuensi di atas, kata al-Attas, seluruhnya bertentangan

dengan worldview Islam. Karena Islam menilai alam tabi’i kudus, suci, karena

diciptakan oleh Allah. Dan agama, dalam Islam, sangat menentukan perjalanan

8 Graeme Smith, A Short History of Secularism (London-New York: I.B. Tauris, 2008), 7.
9 SMN al-Attas, Islām and Secularism, 5.
10 SMN al-Attas, Islām and Secularism, 8.

11 SMN al-Attas, Islām and Secularism, 17.

12 SMN al-Attas, Islām and Secularism, 18.

6
politik dengan cara memperbaikinya melalui nilai-nilai agama. Dan hal-hal yang

sifatnya metafisik serta nilai-nilai adalah permanen, bukan relatif atau nisbi.

Demikian sedikit ulasan mengenai konsep ‘sekularisasi’ dan ‘sekularisme’

yang disampaikan oleh Prof. SMN al-Attas dalam karyanya Islām and Secularism.

Karena karya ini amat penting maka butuh elaborasi lebih lanjut dan lebih mendalam.

Karena, baik sekularisasi dan sekularisme, sangat berbahaya bagi kehidupan

manusia. Dan pesan Prof. al-Attas ini harus disambut secara serius melalui program-

program pemikiran dan keilmuan, diantaranya adalah melalui ‘islamisasi ilmu-ilmu

kontemporer’ yang memang sudah disekularkan oleh peradaban Barat sekular yang

sekarang merasuk ke seluruh lini kehidupan manusia. Wallāhu a’lam bis-shawāb.[]

Sumber Bacaan:

Elisabeth Shakman Hurd, The Politics of Secularism in International Relations (Princeton

and Oxford: Princeton University Press, 2008).

Graeme Smith, A Short History of Secularism (London-New York: I.B. Tauris, 2008).

Harvey Cox, The Secular City (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2013).

Nader Hashemi, Islam, Secularism, and Liberal Democracy: Toward a Democratic Theory

for Muslim Societies (Oxford-New York: Oxford University Press, 2009).

Priya Kumar, Limiting Secularism: The Ethics of Coexistene in Indian Literature and Film

(Minneapolis-London: University of Minneasota Press, 2008).

SMN al-Attas, Islām and Secularism (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic

Thought and Civilization (ISTAC), 1993).

Anda mungkin juga menyukai