Anda di halaman 1dari 20

BAB

KETUHANAN
2
YANG
BERKEBUDAYAA
N
Karmila
Rosalian

E1101211042
PERSPEKTI
FHISTORI
S
Sejak zaman purbakala hingga pintu gerbang (kemerdekaan) negara Indonesia, masyarakat
Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal, (sekitar) 14 abad
pengaruh Hinduisme dan Budhisme, (sekitar) 7 abad pengaruh Islam, dan (sekitar) 4 abad
pengaruh Kristen. Sistem penyembahan dari kepercayaan ini berkembang seiring dengan
perkembangan cara hidup manusia.Penyembahan kepada dewa-dewi ini pada
perkembangannya membentuk sistem keagamaan politeistik.

Sekitar abad ketiga dan keempat masehi, mulai masuk pengaruh agama sejarah dari India
(Hindu dan Buddha), disusul oleh pengaruh Islam dari Timur Tengah yang dibawa masuk
oleh para pedagang dari pelbagai ras (Arab, India,China, dan lain-lain) mulai sekitar abad
ke-7 dan tersebar luas setidaknya sejak abad ke-13. Hampir bersamaan dengan penyebaran
islam, masuk pula pengaruh keagamaan dari China (Konghucu), menyusul kemudian
pengaruh Kristen dari Eropa setidaknya sejak abad ke 16.
NEGOSIASI ANTARA
DAN RELIGIOSASI
SEKULARISASI
NEGARA.
Pada mulanya otoritas VOC (Vereenigde Oostindische
Compagnie) yang mengontrol bagianbagian Kepulauan
Nusantara selama hampir 200 tahun (1602-1800), tidak memiliki
kepentingan untuk mencampuri persoalan keagamaan dan
institusi tradisional kaum pribumi.

Terdapat ketegangan antara pandangan sekuler pemerintah


kolonial dengan upaya pemerinah kolonial untuk melumpuhkan
potensi-potensi perlawanan yang berbasis keagamaan. Karena
itulah politik"netralitas terhadap agama berdiri di atas landasan
yang rapuh. Konsolidasi pemerintahan kolonial sangat
berkepentingan untuk melucuti peran sosial-politik keagamaan
(terutama Islam)
SEKULARISA
POLITIK
SI
INDONESIA.
Tonggak terpenting dari proses sekularisasi ini adalah berkuasanya
pemerintahan Liberal pada paruh kedua abad ke-19. Memperoleh
basis dukungan dari pengusaha swasta dan kelas menengah, rezim
liberal bertanggung jawab dalam mempromosikan "ruang publik"
sekuler di Hindia Belanda. Ruang publik ini menjelma dalam bentuk
institusi dan kolektivitas sosial baru: sekolah-sekolah sekuler, klub-
klub dan asosiasi bergaya Eropa, lembaga penelitian, pers
vernakular,dan pelbagai kapitalisme penerbitan (print capitalism),
serta sarana komunikasi modern.
Dalam pola yang sama dengan cetak biru Snouck Hurgronje yang
memisahkan Islam dari politik,pihak Jepang dengan jelas
menyatakan bahwa mereka tidak akan menoleransi perkawinan
antara Islam dan politik.
RELIGIOSASI
INDONESI
POLITIK
A
Proyek sekularisasi masyarakat dan politik Nusantara oleh rezim kolonial pada
kenyataanya tidak menyurutkan peran publik agama. Perjumpaan komunitasagam dengan
kolonialisme berikut proyek sekularisasinya Justru merupakan pemicu utama munculnya
kecenderungan deologisasi agama dan pengerahan perannya dalam arena publik-politik.
Dengan kemunculan intelegensia sebagai elite baru pada awal abad ke-20,yang disusul
oleh pergeseran daru gerakan mileniaris menuju gerakan ideologis,peran politik agama
tidaklah surut.

Dengan kemampuan untuk menyentuh pluralitas kondisi manusia,kehadiran SI


mempersatukan ragam imajinasi sosio-politik. SI dengan segera menjadi perhimpunan
pribumi pertama yangmenjangkau gugusan kepulauan Nusantara, yang beroperasi dengan
ideology nasionalis berwarna agama. Dengan demikian,ideology dan pergerakan Sarekat
Islam memberi landasan bagi pengembangan ide "nasionalisme baru" bersama
kemunculan pergerakan dan partai politik sejak tahun 1920-an, di bawah kepemimpinan
inteligensia
KETUHANAN DALAM
PANCASILA DAN
PERUMUSAN
KONSTITUSI
Perbedaan pandangan dalam relasi agama dan negara terjadi baik di sidang-sidang DPR
maupun di Dewan Konstituante. Akan tetapı, bobot perselisihan di persidangan
konstituante lebih genting, karena menyangkut penyusunan dan penetapan Konstitusi baru
yang lebih permanen bagi masa depan Republik.Betapapun dalam setiap golongan terjadi
friksi internalnya masingmasing, namun sejauh menyangkut persoalan dasar negara, terjadi
konsolidasi internal yang menciptakan perkubuan.

Berdasarkan kenyataan ini, Negara Indonesia berdasarkan Pancasila- sila Ketuhanan Yang
Maha esa-bukanlah negara yang terpisah dari agama, tetapi juga tidak menyatu dengan
agama. Tidak terpisah, karena negara, seperti dikatakan Roeslan Abdoelgani, "secara aktif
dan dinamis membimbing menyokong.memelihara, dan mengembangkan agama" ,
khususnya melalui departemen agama.Tidak pula menyatu dengan negara, karena negara
tidak didikte atau mewakili agama tertentu, bahkan tidak pula memberikan keistimewaan
kepada salah satu agama. Secara lazim dikatakan, "Indonesia bukan 'negara sekuler' dan
juga bukan negara agama
Perspektif
Teoretis-Komparatif
Betapapun, titik kompromi dalam hubungan agama dan negara di Indonesia itu dicapai
melalui konfrontasi pemikiran yang sengit dan pengorbanan yang sulit
diterima, tetapi dalam
perkembangan waktu, hal itu membawa berkah tersembunyi berupa titik-tengah keemasan
yang
member indonesia prasyarat untuk menjadi negara modern demokrasi.
Dalam hal ini, kita bisa bercermin dari trayek sejarah modernisasi dan demokratisasi
negara di Dunia Barat. Dalam trayek ini, bisa diamati bahwa proses
modermisasi dan
demokratisasi memerlukan prakondisi berupa adanya kompromi antara otoritas sekuler
dan
keagamaan.
Koreksi terhadap Tesis
"Separasi" Agama dan Negara
Mengenai misinterpretasi dalam hubungan agama dan negara, Stepan menunjukkan
bahwa kelatahan umum tentang keniscayaan sekularisme (pemisahan
institusi agama dan negara) bagi negara demokrasi modern tidak
menemukan bukti empiris yang kuat. Di lrlandia, Polandia, dan Belga,
perkembangan kenegaraannya beridentifikasi dengan Katolikisme dalam
menghadapi kekuatan dominan negeri tetangga yang berbeda agama.
Bagi nasionalısme Belgia, seterunya adalah Belanda dengan geraja
Calvin-nya.

Pada abad ke-20, barangkali hanya ada dua contoh kasus pemisa han agama dan
negara di Eropa Barat yang paling bermusuhan. Hal ini terjadi pada 1931
di Spanyol dan pada 1905 di Perancis. Akan tetapi, pada saat ini, kedua
negara tersebut mengembangkan "pemisahan yang bersahabat. Situasi
demikian harus dipenuhi bahkan ketika suatu negeri memiliki agama
negara
KOREKSI TERHADAP
"PRIVATISASI"
TESIS
AGAMA
Negoisasi antara proses sekularisasi dan religiosasi nmengandung konsekuensi
bahwa agama tidak disudutkan hanya melulu mengurusi ruang privat,tetapi juga
punya kemungkinan keterlibatan dalam ruang publik. Teori sekularisasi dan doktrin
liberal yang menyatakan bahwa keyakinan keagamaan akan memudar dan
kehilangan relevansinya dalam ruang publik, seiring dengan pendalaman proses
modernisasi dan keperluan adanya kemandirian konsepsi keadilan" di luar agama,
menuai banyak bantahan.

Alih-alih terjadinya proses privatisasi agama, bangkitnya gerakan- gerakan


tradisional keagamaan pada era 1980-an dan 1990-an, mulai dari politik Islam
hingga teologi pembebasan Katolik. yang membawa agama keluar dari ruang privat
ke ruang publik, mengindikasikan bahwa yang sedang berlangsung justru terjadinya
proses deprivatisasi. Kecenderungan deprivatisasi ini, menurutnya, tidak hanya
berlaku dalam dunia Barat Kristen, melainkan juga dalam dunia Islam,
Yahudi,Hindu, dan Budhha
Dari Separasi
dan
Privatisasi ke
Diferensiasi
Bila sekularisasi sebagai proses pemudaran dan pemisahan peran agama
tidak memiliki bukti empiris yang kuat, teori modemisası menyisakan
satu asumsi yang bisa diterima, yakni sekularisasi sebagai proses
"pembedaan". Hal ini merujuk pada perbedaan fungsional antara
institusi-institusi keagamaan dari ranah lain dalam masyarakat modern,
terutama negara, ekonomi dan sains.

Konsepsi "diferensiasi juga sesungguhnya punya akar yang kuat dalam


tradisi Islam. Seperti telah dikemukakan oleh Mohammad Hatta di atas,
Islam tidak memiliki unit otoritas keagamaan per se, "Kerk". Oleh
karena itu, dokrin pemisahan gereja dan negara, dengan batas yang
tegas, tidak bIsa diterapkan untuk konteks Islam.
Membumikan Ketuhanan
dalam Kerangka Pancasila

Dalam mengamalkan komitmen etis Ketuhanan ini, Pancasila harus didudukkan secara proporsional,
bahwa ia bukanlah agama yang berpretensi mengatur sistem keyakinan, sistem perbatan, sistem
norma, dan identitas keagamaan dalam ranah privat dan ranah komunitas agama masing-masing
Proposisi bahwa "Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara agama ini memperoleh
kontekstualisasinya dalam konsepsi "diferensiasi

Nilai-nilai Ketuhanan yang dikehendaki Pancasila adalah nilar Ketuhanan yang positif, yang digali
dari nilai-nilai profetis agama-agama yang bersifat inklusif, membebaskan,memuliakan keadilan dan
persaudaraan. Dalam pancasila,wawasan teosentris akan memperkuat etos kerja karena kualitas
kerjanya ditransendesikan dalam batasan hasil kerja materinya. Dibawah panduan nilal-nilai
Ketuhanan, Pancasila bisa memberikan landasan moral dan filosofis bagi sistem demokrasi yang
hendak kita kembangkan. Sila Ketuhanan mengajak bangsa Indonesia untuk mengembangkan etika
sosial dalam kehidupan publik-politik dengan memupuk rasa kemanusiaan dan persatuan,
mengembangkan hikmah permusyawaratan dan keadilan sosial.

Anda mungkin juga menyukai