PENDAHULUAN
ilmu alam. Ia menjadi pemenang Nobel 1921 atas sumbangannya di bidang ilmu
fisika teori. Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Sebuah Kumpulan
Karangan tentang Hakekat Ilmu) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), 3. Baca
pula Laura Tussi, Tokoh-Tokoh Sepanjang Sejarah Dunia (Yogyakarta: 2009), 54-
56.
3 Muhammad Izzuddin Taufiq, Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi
Satu Cerminan Islamisasi Dua-Dimensi”, Islamia, Vol. III. No. 4. 2008, 82.
2 | Drs. Asnawi, MA
pendidikan yang berimplikasi pada dikotomi keilmuan. Ilmu-ilmu
umum terpisah dari ilmu-ilmu agama.5
Munculnya dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan Ilmu-ilmu
agama menimbulkan perdebatan di kalangan para cendekiawan
maupun para ahli pendidikan terkait dengan faktor pemicu
munculnya dikotomi dan bahaya yang diakibatkan serta solusi yang
perlu ditempuh untuk mengatasinya. Menurut al-Fārūqī, dikotomi ini
lebih disebabkan oleh masuknya pendidikan Barat (sekuler) ke
dalam dunia Islam,6 sehingga melahirkan dua sistem pendidikan
yang membedakan antara sistem Pendidikan Islam Pesantren
Tradisional dan di sisi lain terdapat sistem pendidikan sekuler yang
mampu menarik dan memengaruhi perhatian umat ketimbang
Pendidikan Tradisional.7 Sementara menurut Ludjito dalam Thoha,
dikotomi disebabkan oleh adanya keyakinan bahwa antara agama
dan ilmu berasal dari sumber yang berbeda. Agama berasal dari
Allah, sedangkan ilmu berasal dari hasil pemikiran manusia. 8
Sementara Mulyadhi Kartanegara menilai bahwa dikotomi keilmuan
dikenal di dunia Islam sejak diperkenalkannya ilmu-ilmu sekuler
4 | Drs. Asnawi, MA
dikotomis akan menghasilkan produk lulusan terkapling-kapling
yang memisahkan “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu umum dunia”.13
Pemisahan ilmu agama dan ilmu umum bertentangan dengan
konsep ajaran Islam itu sendiri yang besifat integral. Islam telah
mengajarkan adanya keseimbangan antara urusan dunia (umum)
dan urusan akhirat (agama), padahal semua ilmu berasal dari Allah 14
dan akhirnya menuju pula kepada Allah.15 Hal ini disebabkan oleh
dua hal prinsip sebagaimana dikatakan Hossein Nasr. Pertama,
bahwa pengetahuan tidak termasuk rinciannya, ada dalam al-Qur’an.
Kedua, bahwa al-Qur’an dan hadits mendefinisikan lingkungan dan
nilai-nilai yang inheren dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.16
1991), 325.
14 QS. al-Baqarah (2): 31, yang artinya: “Dia (Allah) mengajarkan kepada
seseorang bertambah dekat kepada Allah, dan dipelajari dengan tujuan untuk
mencapai ma’rifat Allah. Lihat Abdul Munir Mulkhan, “Spiritualisasi Iptek dalam
Perkembangan Pendidikan Islam”, dalam Kusmana, JM Muslimin, Paradigma Baru
Pendidikan, Restropeksi dan Proyeksi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia
(Jakarta: PIC UIN, 2008), 175.
16 Syed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (London: World
of Islamic Festival Publishing Company Ltd. 1976), 31-36. Lihat pula Masduki,
“Menuju Sistem Pendidikan Integral Melalui Dekonstruksi Dikotomi Ilmu
Pengetahuan”, al-Fikr: Jurnal Ilmiah Keislaman Vol. 5, No.1. Januari-Juni 2006, 2.
17 Kemajuan Pendidikan Islam pada abad ke-8 hingga abad ke-11 telah
melahirkan ulama-ulama ternama, seperti al-Ghazālī, al-Khawārizmi, Ibnu Sīnā,
dan sebagainya. Lihat Hasan Muarif Ambary, et.al., Abdul Aziz Dahlan. et al. ed.
Ensiklopedi Islam Jilid 2 (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1996), 203-204. Lihat
pula Muhammad Muni Mursi, Al-Tarbiyah al-Islāmiyah: Uṣūluhā wa Taṭawwaruhā
fī al-Bilād al-‘Arabiyah ( Kairo: Alam al-Kutub, 1977), 7-15.
18 Sabda Nabi: Man Arāda al-dunyā fa ’alaihi bi al-‘ilmi, wa man arāda al-
Theology and Science (USA: Wm.B. Eerdemans Publishing Co All right reserved,
2003), 24.
20 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Tranformation of an Intellectual
Tradition (Chicago London, The University of Chicago Press,1984), 130. Lihat Pula
Simuh, “Masa Transisi dalam Perspektif Agama”, Ulum al-Qur’an (Jurnal
Kebudayaan dan Peradaban), 5/VII/97), 46.
21 Pada Maret 1932 telah muncul kesepakatan di kalangan kaum Muslim
yang peduli pada Pendidikan Islam untuk mendirikan “Pendidikan Islam” yang
cikal bakalnya adalah kursus sore hari yang dirintis oleh M. Natsir. Lembaga
pendidikan ini menyelenggarakan dan mengembangkan pelajaran-pelajaran ilmu
Modern yang dipadukan dengan pelajaran agama dalam arti yang seluas-luasnya.
Visi pendidikannya dalam kurikulum pengajaran berbentuk integral, berbeda
dengan sekolah-sekolah Muhammadiyah saat itu yang hanya menjadikan pelajaran
agama sebagai pelajaran tambahan. Natsir menempatkan pelajaran-pelajaran
6 | Drs. Asnawi, MA
Menteri Agama, sejak enam dasawarsa yang lalu. Hal ini dapat
diketahui dari Peraturan Pemerintah tertanggal 21 Januari 1951
yang mewajibkan pelajaran agama diajarkan di sekolah sekuler. 22
Sementara Peraturan Menteri Agama No. 3 tertanggal 11 Agustus
195023 mewajibkan adanya pelajaran umum di madrasah. 24
Peraturan ini kemudian ditindaklanjuti pula oleh Mukti Ali dengan
diterbitkannya SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga menteri
(Menteri Agama, Menteri dalam Negeri, dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan) tanggal 24 Maret 1975. Sejak itulah madrasah
mengembangkan kurikulumnya dengan porsi yang besar atas
pelajaran umum, yaitu 70%.25
Usaha ini tampaknya belum berhasil menghapuskan dikotomi
pendidikan di Indonesia.26 Hal ini dapat diketahui dengan adanya
agama sejajar dengan pelajaran-pelajaran lainnya. Lihat Tiar Anwar Bahtiar, “M.
Natsir Pelopor Pendidikan Islam Integral”, Islamia, Vol. V No, 1, 2009, 82-84.
22 Keputusan No. 1432/Kab. Tanggal 20-1-1951 dikeluarkan oleh
Menteri Agama Wahid hasyim dan Menteri Pendidikan Bahder John membuat
terobosan di bidang pendidikan dengan mewujudkan kurikulum pengetahuan
agama untuk sekolah-sekolah. Lihat Nurcholish Madjid dalam A. Malik Fadjar,
Reorientasi Pendidikan Islam, Dhofier Zumar et.al. ed. (Jakarta: Fajar Dunia, 1999),
21.
24 Zamakhsyari Dhofier dalam Dody S. Truna, Pranata Islam di Indonesia;
Pergulatan Sosial, Politik, Hukum, dan Pendidikan (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan
Pemikiran, 2002), 310.
25 Santoso dalam Harapandi Dahri, “Mencari Relevansil; Gagasan
Pendidikan Nondikotomik”, Penamas Vo. XXI No.2-Th.2008, 199. Lihat pula Fuad
Jabali-Jamhari, IAIN Modernisasi di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan
Pemikiran, 2002), 71.
26 Simuh, “Masa Transisi dalam Perspektif Agama”, ‘Ulūm al-Qur’ān 5/VII
/97, 46.
Islam (madrasah) kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Hal ini
dikarenakan madrasah berada di bawah Departemen Agama yang masih
sentralistik. Keadaan seperti ini melahirkan gagasan Mendiknas Muhammad Nuh
untuk menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yakni Menteri
Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama RI.
28 Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama Pendidikan Islam
Tradisional tempat para siswa tinggal dan belajar di bawah bimbingan seorang
(atau lebih) guru yang dikenal dengan sebutan “kiai”. Martin Van Bruinessen
dalam Fuad Jabali mengidentifikasi tiga peran penting pesantren, yaitu: 1) sebagai
pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam Tradisional; 2) sebagai penjaga
dan pemelihara keberlangsungan Islam Tradisional; dan 3) sebagai reproduksi
ulama. Baca Fuad Jabali, IAIN Modernisasi Islam di Indonesia, 97.
29 Pesantren dan lembaga pendidikan lainnya, kata Imam Suprayogo
(Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang), saat ini menjadi solusi pendidikan
alternatif bagi masyarakat. Menurutnya, orang tua berharap anaknya menjadi
manusia intelek dan berakhlak. Mereka juga bangga anak-anaknya belajar di
lembaga Pendidikan Islam. Baca Edi Widiyanto, “Tingkatkan Pendidikan Islam”,
Republika, Kamis 29 April 2010, 12. Hal ini sebagaimana penilaian Martin Van
Bruinessen, sebagai salah satu tradisi agung maupun sisi transmisi dan
internalisasi moralitas umat Islam. Lihat A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan
Pendidikan Islam (Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan
Naskah Indonesia (LP3NI), 1998), 126.
30 Ridlwan Nasir, Mencari Format Pendidikan Ideal: Perubahan Pesantren
8 | Drs. Asnawi, MA
dituntut adanya sumber daya manusia yang memadai.31 Sumber
daya manusia (human resource) yang dihasilkan pesantren
diharapkan tidak hanya mempunyai perspektif keilmuan yang lebih
terintegratif dan komprehensif, tetapi juga memiliki kemampuan
teoretis dan praktis tertentu yang diperlukan dalam masa industri
dan pascaindustri.32 Paling tidak, pesantren ke depan diharapkan
dapat menghasilkan sumber daya manusia (human resource) yang
tidak hanya mumpumi dalam keilmuan Islam, tetapi juga melek iptek
(ilmu pengetahuan dan teknologi).33
Dalam rangka menyiapkan generasi mendatang itulah
pesantren, yang pada awalnya didesain untuk memelihara tradisi
Islam dengan menggunakan kitab kuning 34 sebagai sumber
kajiannya yang merupakan hasil karya ulama di masa lampau,35 kini
dituntut untuk dapat berkontribusi dengan menyelenggarakan
pendidikan yang seimbang antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu
agama secara integral. Tuntutan ini didasarkan pada alasan bahwa
maju atau mundurnya suatu masyarakat saat ini dan mendatang
banyak ditentukan oleh tingkat penguasaan ilmu pengetahuan,
Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana ilmu dan Pemikiran, 2000), 48.
33 Din Syamsuddin menilai bahwa prestasi madrasah (termasuk pondok
berbahasa Arab, menggunakan aksara Arab, yang dihasilkan oleh para ulama dari
pemikir Muslim di masa lampau, khususnya berasal dari Timur Tengah. Lihat
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, 111.
35 Van Bruinessen, yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam Fuad Jabali,
Aksara, 2008), 6.
39 Dawam Rahardjo dalam Mahmud Arif telah mengidentifikasi adanya
10 | Drs. Asnawi, MA
integrasi ilmu. Sintesis tersebut pertama-tama diharapkan dapat
mendekonstruksi realitas keilmuan yang bersifat dikotomik. 40
Terkait dengan banyaknya pesantren di Indonesia, 41
Zamakhsyari Dhofier (1982) telah mengklasifikasikannya menjadi
dua, yaitu pesantren Salafī atau Tradisional42 dan pesantren Khalafī
atau Pesantren Modern. Menurutnya, yang dimaksud dengan
Pesantren Tradisional adalah pesantren yang tetap
mempertahankan kitab-kitab kuning (classic manuscript) sebagai
Menengah sebanyak 8000 buah. Formalisasi pesantren sejak awal abad ke-20 telah
“memaksa” 3000 pesantren menyelenggarakan pendidikan formal (SD/MI,
MTs/SMP, MA/SMU dan PT Agama Islam/PT Umum). Sementara sisanya, 5000
pesantren, masih murni sebagai lembaga yang berfungsi tafaqquh fī al-dīn. Lihat
Armai Arif, Reformulasi Pendidikan Islam, 57. A. Malik Fadjar menyebutkan,
menurut data Departemen Agama, dari 8.991 pondok pesantren, terdapat 1.598
berada di wilayah perkotaan (18%), dan 7.393 ( 82% ) berada di wilayah
pedesaan. Baca A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, 125. Menurut
versi Direktorat General Development of Islam Institutions, Departemen Agama RI
tahun 2000, ada sekitar 11.312 pondok pesantren yang sudah terdaftar dengan
jumlah santri sekitar 2.737.805 santri yang belajar di dalamnya. Lihat Tolhah
Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia (Jakarta : Lantabora Press, 2005),
291.
42 Model Pesantren Tradisional memang menunjukkan ciri khas sebagai
Ideals in Indonesia, Robert W. Hefner and Muhammad Qasim Zaman, ed. Schooling
12 | Drs. Asnawi, MA
Sebagaimana diakui oleh Ali Yafi, bahwa perkembangan pesantren
yang mengarah pada pembentukan pendidikan formal dalam
lingkungannya, meningkatkan kesadaran mereka akan perlunya
melibatkan diri dalam pengembangan iptek dalam suatu pola
pengembangan yang sesuai dengan watak dan misi pesantren itu
sendiri.47
Dua pesantren yang dipilih menjadi studi kasus dari
penelitian ini adalah Pondok Pesantren “Sirojul Mukhlasin II”, yang
dikelola Yayasan Amal Jariyah (YAJRI), Payaman, Kecamatan Secang,
Kabupaten Magelang; dan Pesantren Modern48 Pabelan, Kecamatan
Mungkid, Kabupaten Magelang.49 Setidaknya ada lima alasan peneliti
memilih dua pesantren tersebut. Pertama, kedua pesantren tersebut
memiliki kesamaan demografi, yakni samsa-sama berada di wilayah
kabupaten Magelang. Kedua, kedua pengasuh pesantren tersebut
adalah alumni Pesantren Modern Gontor, hanya saja pengasuh
Islam: The Culture and Politics of Modern Muslim Education (Princeton and Oxford:
Princeton University Press, 2007), 178.
47 Saifullah Ma‘shum, Dinamika Pesantren (Telaah Kritis Keberadaan
alumni Pondok Modern Pabelan, mencatat tiga hal penting dari pesantren modern
ini. Pertama, kehadiran pondok ini secara nyata membantu melaksanakan apa
yang menjadi kewajiban pemerintah, dengan menyajikan suatu model gerakan
partisipasi. Kedua, keterbukaan pondok ini dalam menerima gagasan dari luar.
Ketiga, sikap independensi yang senantiasa dijaga oleh K.H. Hamam Dja’far dalam
mengelola pesantrennya. Lihat Jajat Burhanuddin et. al. Transformasi Otoritas
Keagamaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama-PPIM UIN Jakarta dan DEPAG,
2003), 171.
Future Shock dan The Third Wave. Buku pertama sampai terjual sebanyak tujuh
juta eksemplar, merupakan buku pertama di luar cerita tentang Hollywood dan
seks yang mencapai kadar penjual dalam bidang pendidikan sebanyak itu, sebab ia
membahas masa depan umat manusia di dunia ini. Lihat Hasan Langgulung,
Pendidikan Islam dalam Abad 21 (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003), 127.
52 A. Malik Fadjar, Kuliah Isu-Isu Adminstrasi, Supervisi, dan Managemen
Pendidikan Islam, pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, tgl 24-3-
2009.
53 Azyumardi Azra, “Pendidikan Islam Harus Rasional dan Toleran”,
Wawancara Ulil Abshar Abdala (Jakarta: 25 Juli 2002), diakses ulang 4 Mei 2010.
dari http://islamlib.co/id/artikel/pendidikan-agama-rasonal-dan-toleran, diakses
14 | Drs. Asnawi, MA
Dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu
agama, kedua pesantren tersebut memiliki landasan filosofis yang
agak berbeda. Pesantren Tradisional Plus “Sirojul Mukhlasin II”
Payaman mendasarkan pada nilai-nilai filosofis bahwa ilmu itu
berasal dari Allah dan semua ilmu akan kembali kepada Allah; kalau
tidak kembali kepada Allah (tidak didasari semangat pengabdian
kepada Allah) maka menjadi sia-sia. Menurut pengasuh pesantren
ini, ilmu akan bermanfaat apabila dapat bercampur dengan ilmu
yang lain (seperti layaknya masakan/sayur). 54 Sementara Pesantren
Modern Pabelan mendasarkan pada falsafah bahwa tidak ada
perbedaan antara ilmu umum dan ilmu agama. Di pesantren ini
diberlakukan kurikulum dengan komposisi ilmu-ilmu umum 100%
dan ilmu-ilmu agama juga 100%. Bahkan, ilmu umum didudukkan
pula sebagai ilmu agama.55
Terkait dengan permasalahan paradigma atau wawasan
keilmuan pesantren, Pesantren Tradisional Plus merupakan jenis
pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik
sebagai inti pendidikannya. 56 Disiplin ilmu yang tidak ada kaitannya
dengan agama tidak diajarkan.57 Oleh karena itu, orientasi
pendidikannya untuk mendalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fī al-
dīn) dengan diarahkan pada pembentukan (pendidikan) akhlak. 58
ulang 4 Mei 2010.Terkait dengan masa depan Pendidikan Islam, Nurcholish Madjid
membuat parameter pendidikan masa depan yang diharapkan memenuhi tiga K,
yaitu: Keislaman, Keindonesiaan, dan Keilmuan. Lihat Yasmadi, Modernisasi
Pesantren, 121.
54 Wawancara pribadi dengan K.H. Minanurrahman Anshari, Pengasuh
(Paradigma Baru), Z. Yusuf ed. (Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam, 2005), 79.
16 | Drs. Asnawi, MA
(STEP) yang belum terdapat di madrasah lain di Kabupaten
Magelang.
Untuk mengetahui pola pembelajaran yang berlaku di
madrasah pada kedua pesantren tersebut, penulis memandang perlu
dan laik untuk diadakan penelitian lebih lanjut.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, terdapat sejumlah permasalahan
yang dapat diidentifikasi. Pertama, bagaimana konsep ilmu dalam
Islam perspektif pesantren. Kedua, apa yang menjadi orientasi atau
visi-misi pondok pesantren, baik pesantren modern maupun
pesantren tradisional plus. Ketiga, bagaimana respon pesantren
terhadap munculnya dikotomi keilmuan. Keempat, upaya apa saja
yang telah dilakukan pesantren dalam menghadapi permasalahan
dikotomi. Kelima, apakah pesantren telah melakukan upaya
pengintegrasian antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
Keenam, bagaimanakah cara mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum di pesantren. Ketujuh, faktor-faktor apakah yang
mendukung keberhasilan upaya pengintegrasian ilmu-ilmu agama
dan ilmu-ilmu umum serta faktor-faktor apa saja yang menjadi
kendalanya. Kedelapan, bagaimanakah pola pengembangan integrasi
yang diterapkan di pesantren, baik pesantren Tradisonal Plus
maupun pesantren Modern.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan pertimbangan berbagai hal yang dimiliki
peneliti, baik waktu, ilmu, maupun biaya, maka permasalahan dalam
penelitian ini dibatasi pada permasalahan yang langsung berkaitan
3. Rumusan Masalah
Setelah ditentukan masalah yang menjadi fokus penelitian ini,
kemudian permasalahan tersebut dirumuskan sebagai berikut:
“Bagaimanakah Implementasi Pola Pembelajaran Integrasi Ilmu
Agama dan Ilmu Umum di Pondok Pesantren Tradisional Plus dan
Pondok Pesantren Modern”.
62 Wan Moh Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of
Syed Muhammad Naquib al-Attas. An Exposition of The Original Concept of
Islamization (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and
Civilization, 1998).
18 | Drs. Asnawi, MA
diimplementasikan dalam perguruan tinggi miliknya yang terkenal,
yaitu ISTAC.
Sementara Syed Naquib al-Attas dalam Islam dan
Sekularisme,63 Ziauddin Sardar dalam Jihad Intelektual: Merumuskan
Parameter-Parameter Sains Islam,64 dan Ismail Raji al-Fārūqī dalam
Islamization of Knowledge,65 memfokuskan kajian mereka pada
usaha Islamisasi ilmu. Dalam sistem pendidikan, mereka
meninggalkan metode asal Barat yang melahirkan sekularisme yang
membahayakan, kemudian menggantinya dengan konsep pendidikan
baru yang mereka wujudkan melalui reformasi Pendidikan Islam
dengan wacana Islamisasi pengetahuan. 66 Dalam hal ini al-Fārūqī
mengusulkan agar semua disiplin ilmu di Pesantren Modern diberi
tujuan dan visi baru yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin
harus ditempa kembali sehingga memberikan relevansi Islam
sepanjang ketiga sumbu tauhid, yaitu kesatuan pengetahuan (the
unity of knowledge), kesatuan hidup (the unity of life), dan kesatuan
sejarah (the unity of history).67
Jabir al-Alwani dalam Islamic Thought, an Approach Reform 68
mengemukakan pentingnya gerakan Islamisasi pengetahuan sebagai
salah satu fondasi penting dari pembaruan agama Islam dalam
rangka membangun kembali ummah dari suatu bangsa, dan
mengusahakan terwujudnya masyarakat Islam kontemporer.
Mizan, 1993),37.
68 Jabir al-Alwani, Islamic Thought, An Approach reform (London-
20 | Drs. Asnawi, MA
tingginya-- tidak memungkinkan seseorang menciptakan sains baru
dan permulaan. Ketiga, belum pernah ada, dan sampai sekarang
belum ada definisi sains Islam yang dapat diterima oleh semua
kalangan muslim.
Azyumardi Azra, dalam Reintegrasi Ilmu dalam Islam,72 telah
berhasil membuat klasifikasi cendekiawan Muslim dalam merespon
persoalan integrasi ilmu. Menurutnya, integrasi ilmu adalah
memadukan ilmu umum dengan ilmu agama. Dalam Esei-Esei
Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam,73 Azra menyatakan bahwa
integrasi ilmu perlu dilakukan dalam rangka usaha untuk mencetak
biru Pendidikan Islam di masa depan. Secara implemantatif integrasi
ilmu dilakukan dengan cara mengintegrasikan ajaran-ajaran,
ideologi, dan pandangan Islam secara menyeluruh ke dalam mata
pelajaran di sekolah.
Abdurrahman Mas‘ud dalam karyanya Menggagas Format
Pendidikan Nondikotomik74 menyatakan bahwa dalam rangka
mewujudkan sistem pendidikan yang integral ia mengusulkan
konsep humanisme religius sebagai paradigma pendidikan Islam.
Mulyadi Kartanegara dalam Integrasi Ilmu; Sebuah
Rekonstruksi Holistik75 menyoroti upaya integrasi dengan cara
menggabungkan dua bangunan keilmuan sebagaimana terjadi di
lembaga pendidikan di Indonesia selama ini. Integrasi yang demikian
tidak akan membuahkan sebuah integrasi, tetapi hanya akan seperti
Integrasi Ilmu dan Agama: Interpertasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005).
73 Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam
76 Zainal Abidin Bagir ed. Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi
(Bandung: Mizan, 2005).
77 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu; Epistimologi, Metodologi, dan Etika
22 | Drs. Asnawi, MA
Kedua, kajian yang terkait dengan pengembangan pesantren
juga telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Di antaranya adalah
Karel A. Steenbrink melalui bukunya Pesantren, Madrasah, Sekolah.78
Steenbrink mengupas lembaga pendidikan Islam ini dari aspek
historis, terkait dengan perubahan orientasi pesantren, juga tentang
munculnya madrasah atau sekolah di lingkungan pesantren serta
pengaruhnya bagi pesantren. Menurutnya, terdapat kecenderungan
perubahan orientasi dari “K.H.” ke “Drs”. Transisi ini menyebabkan
berkurangnya peran alumni pesantren dalam kegiatan
kemasyarakatan, terutama yang menuntut keahlian tertentu yang
tidak disediakan oleh pesantren.
Sementara Manfred Ziemek79 menjelaskan bahwa pesantren
memiliki peran penting dalam perubahan sosial di bidang
pendidikan, politik, budaya, sosial, dan keagamaan. Pesantren
menampilkan diri sebagai lembaga swadaya penduduk desa yang
mampu berdiri di atas kekuatan masyarakatnya di tengah arus
perubahan dan modernisasi pendidikan.
Zamakhsyari Dhofier, dalam Tradisi Pesantren; Studi tentang
Pandangan Kyai,80 telah melakukan kajian tentang dinamika
pesantren. Ia mengilustrasikan tradisi pesantren dengan fokus
utama pada peranan kiai dalam memelihara dan mengembangkan
paham Islam Pesantren Tradisional di Jawa. Islam tradisional di
Jawa, menurutnya, bukanlah paham yang statis, melainkan dinamis.
24 | Drs. Asnawi, MA
bahwa pengajaran materi pelajaran umum di pesantren
dilaksanakan secara setengah-setengah. Pembelajaran ilmu-ilmu
umum dilakukan secara tidak serius atau tidak sepenuh hati, sekadar
memenuhi syarat agar tidak dikatakan kolot saja.
Berdasarkan kajian di atas, boleh dibilang bahwa posisi
penelitian yang dilakukan penulis ini merupakan kelanjutan dan
pengembangan serta penguatan dari penelitian sebelumnya.
Penelitian ini berusaha membedah pola pembelajaran integrasi di
pondok pesantren yang belum pernah ada kajian khusus (case study)
tentang hal ini. Integrasi yang pernah terjadi adalah sekadar bersifat
memasukkan ilmu-ilmu umum ke dalam pesantren; bagaimana cara
mengintegrasikannya, belum ada format atau pola yang baku.
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Dipilihnya
pendekatan ini dengan alasan bahwa fokus penelitian yang terkait
dengan permasalahan pola/sistem pembelajaran dalam rangka
integrasi ilmu-ilmu agama dan Ilmu-ilmu umum pada Madrasah
Aliyah di pesantren, baik Pesantren Tradisional Plus maupun
Pesantren Modern, sebagai upaya pembaharuan dalam sistem
Pendidikan Islam.83
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di dua pondok pesantren. Pertama,
pesantren “Sirojul Mukhlasin” yang beralamatkan di Jalan
Kalibening, Payaman, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang.
kualitatif dapat digunakan dalam: 1) penelitian yang tidak dapat dilakukan secara
eksperimen karena pertimbangan praktis dan etis; 2) penelitian yang menyelami
kedalaman kompleksitas dan proses; 3) penelitian dimana variabel terkait belum
teridentifikasi; 4) penelitian yang mencari jawaban di mana dan mengapa
kebijakan tertentu tidak berfungsi; 5) penelitian terhadap masyarakat yang belum
diketahui atau terhadap sistem pembaharuan. Lihat Jeremy Menchik, “UIN Short
Course: Empirical Research Methods”. Seminar (Jakarta: 12-30 April 2009), 7.
26 | Drs. Asnawi, MA
Pesantren ini dijadikan sebagai representasi Pesantren Tradisional
Plus. Kedua, Pondok Pesantren Modern Pabelan yang terletak di Desa
Pabelan, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Pesantren ini
sebagai representasi Pesantren Modern. Kedua pesantren tersebut di
samping menyelenggarakan pendidikan diniyah (materi-materi
keagamaan) juga menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu
Madrasah Tsnawiyah dan Madrasah Aliyah.
3. Sumber Data
Sebagaimana dikatakan Lofland dalam Lexy J. Moleong,
bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-
kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan, seperti
dokumen dan lain-lain.84 Data primer dari penelitian ini adalah
Pengasuh Pondok Pesantren, Kepala Madrasah, guru, dan siswa.
Sementara data sekundernya meliputi kurikulum pesantren
integrated, pembelajaran di pesantren, dan data-data pendukung
lain.
observasi ini dapat digunakan sebagai alat penelitian apabila: pertama, dalam
rangka membantu merumuskan tujuan penelitian; kedua, merencanakan suatu
kesepakatan/perundingan; ketiga, untuk mencatat sebuah keteraturan
(systematically); dan keempat, untuk mengecek dan mengontrol tingkat keabsahan
(validitas) dan keterpercayaan (reliability) data suatu penelitian. Baca Sharan B.
Meriam, Qualitative Research and Case Study Applications in Education: Revised and
Expanded form Case Study Research in Education (Sanfranssisco: Jossey-Bass
Publisher, 1992), 94-95.
28 | Drs. Asnawi, MA
c. Dokumentasi.
Metode ini digunakan terhadap data berupa cetakan-
cetakan, seperti buku sejarah pesantren, dokumen pesantren
dan madrasah, foto-foto kegiatan pembelajaran integrasi,
majalah pesantren, atau surat-surat penghargaan untuk
pesantren dan madrasah, baik pada pesantren “Sirojul
Mukhlasin” Yayasan Amal Jariyah (YAJRI) Payaman maupun
Pesantren Modern “Pabelan”.
5. Analisis Data
Analisis data adalah teknik yang dapat digunakan untuk
memaknai dan mendapatkan pemahaman dari ratusan atau bahkan
ribuan halaman kalimat atau gambaran perilaku yang terdapat
dalam catatan lapangan.90 Teknik analisis data yang penulis gunakan
dalam penelitian ini adalah comparative analysis, yaitu dengan
membandingkan data dari dua kasus atau lebih, 91 baik data yang
didapat dari Pesantren Tradisional Plus maupun data yang diperoleh
dari Pesantren Modern.
Terkait dengan analisis komparasi, Aswarni Sudjud dalam
Suharsimi Arikunto mengatakan bahwa penelitian komparasi akan
menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan
tentang benda-benda, orang, prosedur kerja, ide, kritik terhadap
orang, kelompok, terhadap suatu ide atau prosedur kerja. 92
Analisis data kualitatif dalam penelitian ini, yaitu persoalan
integrasi ilmu di pesantren, penulis menggunakan teori integrasi
yang dicetuskan oleh Mulyadi Kartanegara.
Development in the Social Sciences (USA: The Belfer center for Science an
International Affairs, 2005), 150.
92 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, 267.
30 | Drs. Asnawi, MA
Siklus analisis data di atas dapat dijelaskan bahwa kegiatan
analisis selama pengumpulan data, menurut Bogdan dan Biklen
sebagaimana dikutip Imam Suprayogo, meliputi lima tahap.94
Adapun reduksi data diartikan sebagai proses pemilahan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan tranformasi
data kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi data
ini berlaku selama penelitian berlangsung. Sementara yang
dimaksud dengan penyajian data adalah menyajikan sekumpulan
informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan,95 yang sebelumnya dilakukan pengomparasian data
antara Pesantren Tradisional Plus ”Sirojul Mukhlasin II” Payaman
dan Pesantren Modern Pabelan.
F. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini ditulis secara sistematis dalam lima bab.
Penyusunan sistematis dilakukan agar pembahasan di tiap-tiap bab
tidak hanya mendalam, tetapi juga dapat dibaca sebagai suatu
kesatuan yang utuh.
Bab I berisi pendahuluan, yang mengemukakan latar belakang
masalah tentang perlunya pesantren melakukan pengintegrasian
ilmu agama dan ilmu umum, identifikasi masalah (yang akan dibahas
dan dikupas pada bab-bab selanjutnya), batasan masalah, rumusan
32 | Drs. Asnawi, MA