Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Keterkaitan antara ilmu dan agama sangatlah erat, bahkan
tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana diakui M. Quraish Shihab,
mengutip pendapat Muthahhari, bahwa ilmu dapat mempercepat
manusia dalam mencapai tujuan, sementara agama menentukan
arah yang dituju; ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungan,
sementara agama menyesuaikan manusia dengan jati dirinya; ilmu
menjadi hiasan lahir, sedangkan agama menjadi hiasan batin; ilmu
memberikan kekuatan dan menerangi jalan, sedangkan agama
memberikan harapan dan dorongan jiwa; ilmu menjawab
pertanyaan yang diawali dengan kata “bagaimana”, sementara agama
menjawab pertanyaan yang diawali dengan kata “mengapa”; ilmu
tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya, sedang agama selalu
menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.1
Pendapat tersebut paralel dengan pemikiran Einstein, yang
menyatakan “Science without religion is blind, religion without science
is lame” (ilmu tanpa agama maka buta, agama tanpa ilmu maka
lumpuh).2 Demikian erat keterkaitan antara agama dan ilmu

1 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai

Persoalan Umat) (Bandung: Mizan, 1998), 376.


2 Albert Einstein (1879-1917) adalah teoritikus terbesar dalam bidang

ilmu alam. Ia menjadi pemenang Nobel 1921 atas sumbangannya di bidang ilmu
fisika teori. Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Sebuah Kumpulan
Karangan tentang Hakekat Ilmu) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), 3. Baca

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 1


pengetahuan sehingga keduanya tidak boleh dipisahkan. Ilmu
pengetahuan dalam Islam merupakan bagian dari agama, dan agama
pun baru dapat dikatakan agama apabila bisa dipahami dengan
ilmu.3
Pendapat di atas menggambarkan betapa pentingnya
mempelajari kedua macam ilmu secara sungguh-sungguh,
sebagaimana dilakukan para cendekiawan dan ulama yang telah
mencoba menguasai pelbagai bidang ilmu pengetahuan, baik yang
tergolong farḍu ‘ayn maupun farḍu kifāyah. Ilmu-ilmu agama,
sebagaimana dikatakan Daud, perlu dipelajari dengan tekun
sehingga mencapai tahap tinggi, karena ilmu tersebut memberikan
pemahaman tentang ayat-ayat Allah SWT yang diwahyukan.
Sedangkan pemahaman tentang ilmu-ilmu alam semesta dan sejarah
akan memberikan pemahaman tentang ayat-ayat-Nya yang
diciptakan.4
Kondisi umat Islam saat ini berbanding terbalik dengan dunia
Barat. Umat Islam berada dalam keterpurukan dan
ketidakberdayaan, sementara dunia Barat dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki justru memimpin
peradaban dunia yang sekuler. Para ahli pendidikan melihat bahwa
sebab-sebab terjadinya keterpurukan dikarenakan berbagai
persoalan mendasar yang menimpa dunia Islam. Azyumardi Azra
mengidentifikasi adanya tiga persoalan umat Islam yang
fundamental. Salah satunya adalah persoalan ambivalensi sistem

pula Laura Tussi, Tokoh-Tokoh Sepanjang Sejarah Dunia (Yogyakarta: 2009), 54-
56.
3 Muhammad Izzuddin Taufiq, Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi

Islam (Jakarta: Gema Insani, 2006), 226.


4 Wan Mohd Nor Wan Daud, “Iklim Kehidupan Intelektual di Andalusia,

Satu Cerminan Islamisasi Dua-Dimensi”, Islamia, Vol. III. No. 4. 2008, 82.

2 | Drs. Asnawi, MA
pendidikan yang berimplikasi pada dikotomi keilmuan. Ilmu-ilmu
umum terpisah dari ilmu-ilmu agama.5
Munculnya dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan Ilmu-ilmu
agama menimbulkan perdebatan di kalangan para cendekiawan
maupun para ahli pendidikan terkait dengan faktor pemicu
munculnya dikotomi dan bahaya yang diakibatkan serta solusi yang
perlu ditempuh untuk mengatasinya. Menurut al-Fārūqī, dikotomi ini
lebih disebabkan oleh masuknya pendidikan Barat (sekuler) ke
dalam dunia Islam,6 sehingga melahirkan dua sistem pendidikan
yang membedakan antara sistem Pendidikan Islam Pesantren
Tradisional dan di sisi lain terdapat sistem pendidikan sekuler yang
mampu menarik dan memengaruhi perhatian umat ketimbang
Pendidikan Tradisional.7 Sementara menurut Ludjito dalam Thoha,
dikotomi disebabkan oleh adanya keyakinan bahwa antara agama
dan ilmu berasal dari sumber yang berbeda. Agama berasal dari
Allah, sedangkan ilmu berasal dari hasil pemikiran manusia. 8
Sementara Mulyadhi Kartanegara menilai bahwa dikotomi keilmuan
dikenal di dunia Islam sejak diperkenalkannya ilmu-ilmu sekuler

5 Menurut Azyumardi ada tiga masalah mendasar yang dihadapi


Pendidikan Islam, yaitu 1) sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan
pandangan dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu
umum masalah mendasar lainnya; 2) terjadinya disintegrasi sistem Pendidikan
Islam. Masing-masing sistem (Modern/umum Barat dan agama (Islam) tetap
bersikukuh mempertahankan kediriannya masing-masing; 3) munculnya
inferioritas pengelola lembaga Pendidikan Islam vis a vis pendidikan Barat. Hal ini
karena sistem pendidikan Barat telah dijadikan tolok ukur kemajuan dan
keberhasilan sistem pendidikan bangsa Indonesia. Azyumardi Azra (pengantar)
dalam Armai Arif, Reformulasi Pendidikan Islam (Jakarta : Ciputat Press, 2007), xii.
6 Norlaila, “Pemikiran Pendidikan Islam Ismail Raji al-Fārūqī”, dalam al-

Banjari Vol. 7, No.1, Januari 2008, 34.


7 Ismāʻīl Rājī al-Fārūqī, Islamisasi Pengetahuan Terj. Anas Mahyudin

(Bandung: Penerbit Pustaka, 1995), 21.


8 Ahmad Ludjito, “Pendekatan Integralistik Pendidikan Agama pada

Sekolah di Indonsia”, dalam Chabib Thoha, Reformulasi Pendidikan Islam


(Semarang: Pustaka Pelajar dan FT WS, 1996), 318.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 3


positivistik ke dunia Islam melalui imperialisme Barat. Menurutnya,
dikotomi ini menjadi sangat tajam karena telah terjadi pengingkaran
terhadap validitas dan status ilmiah yang satu atas yang lain. Kaum
Pesantren Tradisional memandang bahwa ilmu-ilmu umum itu
bid‘ah dan haram dipelajari karena berasal dari orang kafir,
sementara para pendukung ilmu-ilmu umum memandang ilmu-ilmu
agama sebagai pseudo-ilmiah, atau hanya sebagai mitologi yang
tidak akan mencapai tingkat ilmiah, karena tidak berbicara tentang
fakta, tetapi tentang makna yang tidak bersifat empiris.9
Keadaan dikotomik sebagaimana disebut di atas
menyebabkan timbulnya bahaya. Salah satunya, pendidikan Islam
sering hanya dimaknai sebagai pemindahan pengetahuan
(knowledge) dan nilai-nilai (values) ajaran Islam yang tertuang dalam
teks-teks agama, sedangkan ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam
dianggap pengetahuan yang umum (sekuler). 10 Umat Islam yang
hanya mengandalkan ilmu agama Islam cenderung kurang mampu
menghadapi tantangan zaman sehingga menjadi gagap dalam
merebut peluang di tengah persaingan global.11 Situasi seperti ini
dapat melahirkan ilmuwan-ilmuwan yang durhaka dan rohaniawan-
rohaniawan yang tidak kenal akan zamannya. 12 Dengan kata lain,
Pendidikan Islam dengan paradigma pendidikan yang masih

9 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik

(Bandung: Mizan Media Utama [MMU], 2005), 20.


10 Yayat Hidayat tentang Pemikiran Pendidikan Menurut S.M. Naquib al-

Attas dalam hhp:// belajarislam.com/index (diakses ulang 4 Mei 2010).


11 Abuddin Nata, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Jakarta: Proyek

Peningkatan Perguruan Tinggi Agama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), 4.


12 Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam (Jakarta:

Departeman agama RI, 1999), 42.

4 | Drs. Asnawi, MA
dikotomis akan menghasilkan produk lulusan terkapling-kapling
yang memisahkan “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu umum dunia”.13
Pemisahan ilmu agama dan ilmu umum bertentangan dengan
konsep ajaran Islam itu sendiri yang besifat integral. Islam telah
mengajarkan adanya keseimbangan antara urusan dunia (umum)
dan urusan akhirat (agama), padahal semua ilmu berasal dari Allah 14
dan akhirnya menuju pula kepada Allah.15 Hal ini disebabkan oleh
dua hal prinsip sebagaimana dikatakan Hossein Nasr. Pertama,
bahwa pengetahuan tidak termasuk rinciannya, ada dalam al-Qur’an.
Kedua, bahwa al-Qur’an dan hadits mendefinisikan lingkungan dan
nilai-nilai yang inheren dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.16

13 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan,

1991), 325.
14 QS. al-Baqarah (2): 31, yang artinya: “Dia (Allah) mengajarkan kepada

Adam nama-nama semuanya”. Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini mengandung


tiga pengertian, yaitu: 1) Sumber ilmu adalah Allah, karena itu segala yang
bersumber dari-Nya pastilah benar, karena ilmu adalah kebenaran; 2) Ilmu adalah
anugerah. Ia bukan sesuatu yang dirampas oleh manusia dari dewa sebagaimana
terdapat dalam metodologi Yunani kuno. Ini berarti semakin dekat kepada-Nya
semakin besar potensinya untuk memperoleh limpahan ilmu dengan berbagai cara
yang ditetapkan Allah; 3) Dalam konteks pendekatan diri, berbagai cara
ditetapkan-Nya guna meraih ilmu, antara lain, bersikap kritis, atau tidak terpaku
pada pendapat seseorang (QS. Ali Imran [3]: 144), tidak angkuh (QS. al-A‘raf
[7]:146, banyak bertanya kepada orang yang mengetahui (QS. al-Nahl [16]:43) dan
lain-lain. Lihat M. Qurais Shihab, Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur’an dan Dinamika
Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 101-102.
15 Menurut al-Ghazālī, seluruh ilmu pengetahuan haruslah menjadikan

seseorang bertambah dekat kepada Allah, dan dipelajari dengan tujuan untuk
mencapai ma’rifat Allah. Lihat Abdul Munir Mulkhan, “Spiritualisasi Iptek dalam
Perkembangan Pendidikan Islam”, dalam Kusmana, JM Muslimin, Paradigma Baru
Pendidikan, Restropeksi dan Proyeksi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia
(Jakarta: PIC UIN, 2008), 175.
16 Syed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (London: World

of Islamic Festival Publishing Company Ltd. 1976), 31-36. Lihat pula Masduki,
“Menuju Sistem Pendidikan Integral Melalui Dekonstruksi Dikotomi Ilmu
Pengetahuan”, al-Fikr: Jurnal Ilmiah Keislaman Vol. 5, No.1. Januari-Juni 2006, 2.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 5


Melihat kenyataan di atas, apabila Pendidikan Islam ingin
maju dan survive serta berdaya kompetitif seperti kejayaan masa
lalu,17 maka usaha yang harus dilakukan adalah dengan
menghilangkan penyakit dualisme pendidikan tersebut dan
mengintegrasikan antara ilmu dan agama.18 Sebagaimana dikatakan
Alan G. Padgett, bahwa antara keduanya membutuhkan hubungan
yang bersifat dielektis (way dialectica).19 Sekalipun upaya
menggabungkan keduanya, menurut Rahman, tidak akan pernah
memuaskan.20
Di Indonesia, upaya integrasi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu
agama21 telah dilakukan oleh Wahid Hasyim ketika menjabat sebagai

17 Kemajuan Pendidikan Islam pada abad ke-8 hingga abad ke-11 telah
melahirkan ulama-ulama ternama, seperti al-Ghazālī, al-Khawārizmi, Ibnu Sīnā,
dan sebagainya. Lihat Hasan Muarif Ambary, et.al., Abdul Aziz Dahlan. et al. ed.
Ensiklopedi Islam Jilid 2 (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1996), 203-204. Lihat
pula Muhammad Muni Mursi, Al-Tarbiyah al-Islāmiyah: Uṣūluhā wa Taṭawwaruhā
fī al-Bilād al-‘Arabiyah ( Kairo: Alam al-Kutub, 1977), 7-15.
18 Sabda Nabi: Man Arāda al-dunyā fa ’alaihi bi al-‘ilmi, wa man arāda al-

ākhirah fa ’alaihi bi al-‘ilmi, wa man arādahumā fa ’alaihi bi al-‘ilmi (Siapa yang


menghendaki kebahagiaan di dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, siapa yang
menghendaki kebahagiaan di akhirat maka wajib baginya berilmu, dan siapa yang
menghendaki kebahagiaan di dunia dan di akhirat maka wajib baginya berilmu).
Lihat Ḥusain ibn Ḥizām, Tahdhīb al-Asmā’ (Bayrut: Dār al-Fikr, 1996), Juz 1, 74.
19 Alan G. Padgett, Science and the Study of God: A Mutuality Model for

Theology and Science (USA: Wm.B. Eerdemans Publishing Co All right reserved,
2003), 24.
20 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Tranformation of an Intellectual

Tradition (Chicago London, The University of Chicago Press,1984), 130. Lihat Pula
Simuh, “Masa Transisi dalam Perspektif Agama”, Ulum al-Qur’an (Jurnal
Kebudayaan dan Peradaban), 5/VII/97), 46.
21 Pada Maret 1932 telah muncul kesepakatan di kalangan kaum Muslim

yang peduli pada Pendidikan Islam untuk mendirikan “Pendidikan Islam” yang
cikal bakalnya adalah kursus sore hari yang dirintis oleh M. Natsir. Lembaga
pendidikan ini menyelenggarakan dan mengembangkan pelajaran-pelajaran ilmu
Modern yang dipadukan dengan pelajaran agama dalam arti yang seluas-luasnya.
Visi pendidikannya dalam kurikulum pengajaran berbentuk integral, berbeda
dengan sekolah-sekolah Muhammadiyah saat itu yang hanya menjadikan pelajaran
agama sebagai pelajaran tambahan. Natsir menempatkan pelajaran-pelajaran

6 | Drs. Asnawi, MA
Menteri Agama, sejak enam dasawarsa yang lalu. Hal ini dapat
diketahui dari Peraturan Pemerintah tertanggal 21 Januari 1951
yang mewajibkan pelajaran agama diajarkan di sekolah sekuler. 22
Sementara Peraturan Menteri Agama No. 3 tertanggal 11 Agustus
195023 mewajibkan adanya pelajaran umum di madrasah. 24
Peraturan ini kemudian ditindaklanjuti pula oleh Mukti Ali dengan
diterbitkannya SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga menteri
(Menteri Agama, Menteri dalam Negeri, dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan) tanggal 24 Maret 1975. Sejak itulah madrasah
mengembangkan kurikulumnya dengan porsi yang besar atas
pelajaran umum, yaitu 70%.25
Usaha ini tampaknya belum berhasil menghapuskan dikotomi
pendidikan di Indonesia.26 Hal ini dapat diketahui dengan adanya

agama sejajar dengan pelajaran-pelajaran lainnya. Lihat Tiar Anwar Bahtiar, “M.
Natsir Pelopor Pendidikan Islam Integral”, Islamia, Vol. V No, 1, 2009, 82-84.
22 Keputusan No. 1432/Kab. Tanggal 20-1-1951 dikeluarkan oleh

Departemen Pendidikan, sedang Departemen Agama mengeluarkan Keputusan No.


K./651 tanggal 20-1-1951. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, 358.
Bandingkan dengan Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2001), 189. Baca pula Nucholish Madjid, Tradisi
Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta:
Paramadina, 1997), 22.
23 Pada saat itu (Kabinet Natsir, 1950) telah ada kesepakatan antara

Menteri Agama Wahid hasyim dan Menteri Pendidikan Bahder John membuat
terobosan di bidang pendidikan dengan mewujudkan kurikulum pengetahuan
agama untuk sekolah-sekolah. Lihat Nurcholish Madjid dalam A. Malik Fadjar,
Reorientasi Pendidikan Islam, Dhofier Zumar et.al. ed. (Jakarta: Fajar Dunia, 1999),
21.
24 Zamakhsyari Dhofier dalam Dody S. Truna, Pranata Islam di Indonesia;

Pergulatan Sosial, Politik, Hukum, dan Pendidikan (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan
Pemikiran, 2002), 310.
25 Santoso dalam Harapandi Dahri, “Mencari Relevansil; Gagasan

Pendidikan Nondikotomik”, Penamas Vo. XXI No.2-Th.2008, 199. Lihat pula Fuad
Jabali-Jamhari, IAIN Modernisasi di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan
Pemikiran, 2002), 71.
26 Simuh, “Masa Transisi dalam Perspektif Agama”, ‘Ulūm al-Qur’ān 5/VII

/97, 46.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 7


dua departemen (kementerian) yang mengurusi pendidikan, yakni
Departemen Pendidikan Nasional yang mengelola pendidikan umum
dan Departemen Agama yang mengurusi pendidikan agama.
Keadaan seperti ini menimbulkan permasalahan tersendiri setelah
diberlakukannya desentralisasi pendidikan. 27
Pesantren28 sebagai lembaga Pendidikan Islam yang asli
Indonesia (indigenous) dan telah mengakar di masyarakat,
diharapkan selalu meningkatkan peranannya di masa mendatang 29
dalam memberikan pendidikan dan pengajaran serta
mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu agama Islam. Seiring
30

dengan perkembangan zaman yang semakin mengglobal, yang


ditandai dengan derasnya lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi,

27 Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah (Otda), keberadaan Pendidikan

Islam (madrasah) kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Hal ini
dikarenakan madrasah berada di bawah Departemen Agama yang masih
sentralistik. Keadaan seperti ini melahirkan gagasan Mendiknas Muhammad Nuh
untuk menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yakni Menteri
Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama RI.
28 Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama Pendidikan Islam

Tradisional tempat para siswa tinggal dan belajar di bawah bimbingan seorang
(atau lebih) guru yang dikenal dengan sebutan “kiai”. Martin Van Bruinessen
dalam Fuad Jabali mengidentifikasi tiga peran penting pesantren, yaitu: 1) sebagai
pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam Tradisional; 2) sebagai penjaga
dan pemelihara keberlangsungan Islam Tradisional; dan 3) sebagai reproduksi
ulama. Baca Fuad Jabali, IAIN Modernisasi Islam di Indonesia, 97.
29 Pesantren dan lembaga pendidikan lainnya, kata Imam Suprayogo

(Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang), saat ini menjadi solusi pendidikan
alternatif bagi masyarakat. Menurutnya, orang tua berharap anaknya menjadi
manusia intelek dan berakhlak. Mereka juga bangga anak-anaknya belajar di
lembaga Pendidikan Islam. Baca Edi Widiyanto, “Tingkatkan Pendidikan Islam”,
Republika, Kamis 29 April 2010, 12. Hal ini sebagaimana penilaian Martin Van
Bruinessen, sebagai salah satu tradisi agung maupun sisi transmisi dan
internalisasi moralitas umat Islam. Lihat A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan
Pendidikan Islam (Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan
Naskah Indonesia (LP3NI), 1998), 126.
30 Ridlwan Nasir, Mencari Format Pendidikan Ideal: Perubahan Pesantren

di Tengah Arus Perubahan, M, Adib Abdushomad ed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2005), 80.

8 | Drs. Asnawi, MA
dituntut adanya sumber daya manusia yang memadai.31 Sumber
daya manusia (human resource) yang dihasilkan pesantren
diharapkan tidak hanya mempunyai perspektif keilmuan yang lebih
terintegratif dan komprehensif, tetapi juga memiliki kemampuan
teoretis dan praktis tertentu yang diperlukan dalam masa industri
dan pascaindustri.32 Paling tidak, pesantren ke depan diharapkan
dapat menghasilkan sumber daya manusia (human resource) yang
tidak hanya mumpumi dalam keilmuan Islam, tetapi juga melek iptek
(ilmu pengetahuan dan teknologi).33
Dalam rangka menyiapkan generasi mendatang itulah
pesantren, yang pada awalnya didesain untuk memelihara tradisi
Islam dengan menggunakan kitab kuning 34 sebagai sumber
kajiannya yang merupakan hasil karya ulama di masa lampau,35 kini
dituntut untuk dapat berkontribusi dengan menyelenggarakan
pendidikan yang seimbang antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu
agama secara integral. Tuntutan ini didasarkan pada alasan bahwa
maju atau mundurnya suatu masyarakat saat ini dan mendatang
banyak ditentukan oleh tingkat penguasaan ilmu pengetahuan,

31 Pengembangan SDM saat ini, menurut Din Syamsuddin, diarahkan


untuk terwujudnya SDM yang maju dan mandiri untuk menghadapi tantangan era
globalisasi yang menampilkan persaingan antarbangsa yang semakin ketat dan
keras. Baca Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani,
Abd. Rohim Ghazali ed. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2002), 112.
32 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju

Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana ilmu dan Pemikiran, 2000), 48.
33 Din Syamsuddin menilai bahwa prestasi madrasah (termasuk pondok

pesantren) masih kalah dibandingkan dengan keluaran lembaga pendidikan lain.


Lihat Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat, 113.
34 Kitab kuning pada umumnya dipahami sebagai kitab keagamaan

berbahasa Arab, menggunakan aksara Arab, yang dihasilkan oleh para ulama dari
pemikir Muslim di masa lampau, khususnya berasal dari Timur Tengah. Lihat
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, 111.
35 Van Bruinessen, yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam Fuad Jabali,

Islam In Indonesia Islamic Studies and Social Transformation, (Indonesia-Canada:


Islamic Higher Education Project, 2002), 97.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 9


khususnya sains.36 Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Habibie, bahwa
hanya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa akan
berguna untuk dirinya sendiri dan bangsa-bangsa lain. Dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi pula suatu bangsa tidak akan menjadi
beban dunia, tidak pula menjadi sumber ketegangan dan
pertikaian.37
Dalam rangka itulah dirasa perlu ada pembaharuan Islam.
Pembaharuan Islam, menurut Fazlur Rahman dalam Mahmud Arif,
dalam bentuk apa pun yang berorientasi pada realisasi
Weltanschauung (pandangan dunia) Islam yang asli dan modern
harus bermula dari pendidikan.38 Dari sinilah dirasa penting sekali
dilakukan berbagai upaya pembenahan baik sistem maupun
kelembagaan Pendidikan Islam untuk dikembangkan, bahkan
menjadi alternatif Pendidikan Islam masa depan termasuk di
dalamnya pondok pesantren.39 Dalam hal ini A. Malik Fadjar
mencoba memberikan wacana baru (new discourse) dengan
membuat sintesis antara perguruan tinggi dan pesantren.
Menurutnya, sintesis ini tidak hanya dalam bentuk fisik semata,
tetapi yang terpenting harus betul-betul mampu menggambarkan

36 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, 11.


37 B.J. Habibie, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pembangunan Bangsa
(Jakarta: Gema Insani Press, 1986), 14.
38 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LKiS Pelangi

Aksara, 2008), 6.
39 Dawam Rahardjo dalam Mahmud Arif telah mengidentifikasi adanya

lima hal yang menjadi kelebihan pesantren. Pertama, sistem


pemondokan/pengasramaan yang memungkinkan pendidik/kiai melakukan
tuntunan dan pengawasan secara langsung kepada para santri. Kedua, keakraban
(hubungan personal) antara santri dan kiai yang sangat kondusif bagi
pemerolehan pengetahuan yang hidup. Ketiga, kemampuan pesantren dalam
mencetak lulusan yang memiliki kemandirian. Keempat, kesederhanaan pola hidup
komunitas pesantren. Kelima, murahnya biaya penyelenggaraan pendidikan
pesantren. Lihat Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif…, 167-168.

10 | Drs. Asnawi, MA
integrasi ilmu. Sintesis tersebut pertama-tama diharapkan dapat
mendekonstruksi realitas keilmuan yang bersifat dikotomik. 40
Terkait dengan banyaknya pesantren di Indonesia, 41
Zamakhsyari Dhofier (1982) telah mengklasifikasikannya menjadi
dua, yaitu pesantren Salafī atau Tradisional42 dan pesantren Khalafī
atau Pesantren Modern. Menurutnya, yang dimaksud dengan
Pesantren Tradisional adalah pesantren yang tetap
mempertahankan kitab-kitab kuning (classic manuscript) sebagai

40 A. Malik Fadjar, Sintesa antara Perguruan Tinggi dengan Pesantren:


Upaya Menghadirkan Wacana Pendidikan Alternatif, (Malang: Universitas Islam
Malang, 2004),7-8. Lihat pula Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren (Jakarta :
Paramadina, 1997), 111.
41 Jumlah pondok pesantren yang tercatat di Dirjen Pendidikan Dasar dan

Menengah sebanyak 8000 buah. Formalisasi pesantren sejak awal abad ke-20 telah
“memaksa” 3000 pesantren menyelenggarakan pendidikan formal (SD/MI,
MTs/SMP, MA/SMU dan PT Agama Islam/PT Umum). Sementara sisanya, 5000
pesantren, masih murni sebagai lembaga yang berfungsi tafaqquh fī al-dīn. Lihat
Armai Arif, Reformulasi Pendidikan Islam, 57. A. Malik Fadjar menyebutkan,
menurut data Departemen Agama, dari 8.991 pondok pesantren, terdapat 1.598
berada di wilayah perkotaan (18%), dan 7.393 ( 82% ) berada di wilayah
pedesaan. Baca A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, 125. Menurut
versi Direktorat General Development of Islam Institutions, Departemen Agama RI
tahun 2000, ada sekitar 11.312 pondok pesantren yang sudah terdaftar dengan
jumlah santri sekitar 2.737.805 santri yang belajar di dalamnya. Lihat Tolhah
Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia (Jakarta : Lantabora Press, 2005),
291.
42 Model Pesantren Tradisional memang menunjukkan ciri khas sebagai

sebuah pusat pendidikan ilmu-ilmu keagamaan, yang di dalamnya terdapat


sedikitnya lima unsur utama. Pertama, pondok (asrama untuk para santri). Kedua,
masjid (tempat melakukan kegiatan ritual dan sekaligus proses belajar mengajar).
Ketiga, santri (murid-murid yang datang kepada kiai untuk belajar ilmu-ilmu
agama). Kempat, kiai (tokoh utama untuk belajar ilmu-ilmu agama). Kelima,
pengajian kitab kuning, yakni kitab-kitab klasik tentang masalah-masalah pokok
ajaran Islam. Kitab-kitab ini meliputi bidang Tata Bahasa Arab (Naḥwu Ṣaraf),
Fiqh, Uṣul Fiqh, Ḥadits, Tafsir, Akhlak, Tasawuf, dan lain-lain. Lihat Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES,
1982), 46-53. Baca pula Fuad Jabali-Jamhari, IAIN Modernisasi di Indonesia, 95.
Bandingkan dengan Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia
(Jakarta: Penerbit Dharma Bhakti, 1983), 9.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 11


rujukan pengajarannya, tidak mempunyai sekolah formal, metode
yang digunakan adalah sorogan, bandongan, wetonan, dan ḥalaqah,
dan hanya mempelajari ilmu-ilmu agama Islam. Sementara
Pesantren Modern adalah pesantren yang telah menyelenggarakan
pendidikan formal baik madrasah maupun sekolah dan memasukkan
pelajaran umum ke dalam kurikulumnya serta memasukkan sumber-
sumber ilmu selain kitab-kitab kuning, bahkan terkadang tidak
menggunakan kitab kuning sama sekali.43
Sejalan dengan perkembangan zaman saat ini, tampaknya
klasifikasi Dhofier tersebut perlu dipertimbangkan kembali, 44 karena
dalam kenyataannya banyak pesantren tradisional yang
menyelenggarakan pula pendidikan formal, seperti madrasah (MI,
MTs, dan MA) dan sekolah umum (SD, SMP, SMA), bahkan juga
mendirikan Perguruan Tinggi.45 Dengan kata lain, saat ini telah
banyak Pesantren Tradisional Plus yang berkembang menjadi
kompleks perguruan Islam. Pada tahun 1970 hingga 1980-an banyak
pesantren yang memiliki madrasah atau pendidikan dasar.46

43 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 41.


44 Data Departemen Agama tahun 2001 menunjukkan perubahan yang
cukup signifikan. Pesantren Salafiyah/Tradisional kini hanya 66.0% dari 11.312
pondok pesantren yang tersebar di 26 provinsi; 28,7% adalah pesantren yang
sudah memadukan tradisi Salaf dengan Modern (kental dengan tradisi Salaf tetapi
mengelola pendidikan umum); dan 5,3% sisanya sudah berbentuk Pesantren
Modern. Sementara data Direktorat Pontren Depag tahun 2002, jumlah pesantren
mencapai 14.067 dengan rincian 8.906 (63.3%) Pontren Salafiyah, 878 (6.3%)
Pontren Modern, dan 4.284 (30.4%) Pontren campuran (kombinasi). Baca Z. Yusuf,
Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional (Paradigma Baru) (Jakarta: Depag RI,
2005), 78. Baca pula Ahmad Sodli, Jurnal Nadwa, Vol.No.1, Mei 2008, 46.
45 Ada beberapa pesantren yang telah membuka Perguruan Tinggi Agama

Islam, seperti Pondok Pesantren Sukorejo-Situbondo yang memiliki Institut Agama


Islam Ibrahimi (IAII). Lihat Asrori S. Karni, Etos Studi Kaum Santri; Wajah Baru
Pendidikan Islam (Bandung: Mizan,2009), 252.
46 Azyumardi et. al. Pesantren and Madrasa: Muslim Schools and National

Ideals in Indonesia, Robert W. Hefner and Muhammad Qasim Zaman, ed. Schooling

12 | Drs. Asnawi, MA
Sebagaimana diakui oleh Ali Yafi, bahwa perkembangan pesantren
yang mengarah pada pembentukan pendidikan formal dalam
lingkungannya, meningkatkan kesadaran mereka akan perlunya
melibatkan diri dalam pengembangan iptek dalam suatu pola
pengembangan yang sesuai dengan watak dan misi pesantren itu
sendiri.47
Dua pesantren yang dipilih menjadi studi kasus dari
penelitian ini adalah Pondok Pesantren “Sirojul Mukhlasin II”, yang
dikelola Yayasan Amal Jariyah (YAJRI), Payaman, Kecamatan Secang,
Kabupaten Magelang; dan Pesantren Modern48 Pabelan, Kecamatan
Mungkid, Kabupaten Magelang.49 Setidaknya ada lima alasan peneliti
memilih dua pesantren tersebut. Pertama, kedua pesantren tersebut
memiliki kesamaan demografi, yakni samsa-sama berada di wilayah
kabupaten Magelang. Kedua, kedua pengasuh pesantren tersebut
adalah alumni Pesantren Modern Gontor, hanya saja pengasuh

Islam: The Culture and Politics of Modern Muslim Education (Princeton and Oxford:
Princeton University Press, 2007), 178.
47 Saifullah Ma‘shum, Dinamika Pesantren (Telaah Kritis Keberadaan

Pesantren Saat Ini) (Jakarta: Kerjasama Yayasan Islam al-Hamidiyah-Yayasan


Saifuddin Zuhri, 1998), 97.
48 Gagasan pembentukan Pondok Modern dilatarbelakangi kesadaran

perlunya modernisasi sistem dan kelembagaan Pendidikan Islam; tidak dengan


mengadopsi sistem dan kelembagaan Pendidikan Modern Belanda, tetapi dengan
memodernisasi sistem dan kelembagaan Pendidikan Islam indigenous. Pesantren
lebih berakar kuat dan mendalam sehingga lebih acceptable bagi banyak kaum
Muslimin. Lihat Azyumardi Azra dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan
Agama Islam (Jakarta: Dirjen Bimbangan Islam, 1998/1999), 12.
49 Komarudin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), salah satu

alumni Pondok Modern Pabelan, mencatat tiga hal penting dari pesantren modern
ini. Pertama, kehadiran pondok ini secara nyata membantu melaksanakan apa
yang menjadi kewajiban pemerintah, dengan menyajikan suatu model gerakan
partisipasi. Kedua, keterbukaan pondok ini dalam menerima gagasan dari luar.
Ketiga, sikap independensi yang senantiasa dijaga oleh K.H. Hamam Dja’far dalam
mengelola pesantrennya. Lihat Jajat Burhanuddin et. al. Transformasi Otoritas
Keagamaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama-PPIM UIN Jakarta dan DEPAG,
2003), 171.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 13


pesantren “Sirojul Mukhlasin” (K.H. Minanurrahman Anshari)
melanjutkan studi ke Pondok Pesantren Sarang, Rembang, yang
bercirikan tradisional. Ketiga, kedua pesantren tersebut dipimpin
oleh dua pengasuh yang orientasi keilmuannya berbeda sehingga
dapat memengaruhi pola pembelajaran di pesantren tersebut.
Keempat, kedua pesantren tersebut sama-sama menyelenggarakan
pendidikan formal, yakni Madrasah Aliyah. Perpaduan antara sistem
pendidikan pesantren dan sistem pendidikan madrasah sangat
bermanfaat dan masih relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia
dewasa ini dalam rangka melahirkan manusia yang beriman,
berakhlak mulia dan bertakwa. 50 Kelima, kedua jenis pesantren
tersebut merupakan lembaga Pendidikan Islam masa depan yang
compatible dan berwawasan ke masa depan (future oriented). Seperti
dikatakan oleh futuris Alvin Toffler51: “Education must shift into the
future tense.”52 Pendidikan Islam masa depan yang diharapkan,
sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra, adalah pendidikan yang
memiliki ciri-ciri tiga K, yaitu Keislaman, Keindonesiaan, dan
Kemanusiaan.53 Ketiga ciri khusus ini melekat pada lembaga
pendidikan pesantren.

50 Saidun Fiddaroini dalam Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format


Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Adib Abdushomad
ed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), xiii.
51 Alvin Toffler, seorang futuris yang sangat terkenal dengan bukunya

Future Shock dan The Third Wave. Buku pertama sampai terjual sebanyak tujuh
juta eksemplar, merupakan buku pertama di luar cerita tentang Hollywood dan
seks yang mencapai kadar penjual dalam bidang pendidikan sebanyak itu, sebab ia
membahas masa depan umat manusia di dunia ini. Lihat Hasan Langgulung,
Pendidikan Islam dalam Abad 21 (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003), 127.
52 A. Malik Fadjar, Kuliah Isu-Isu Adminstrasi, Supervisi, dan Managemen

Pendidikan Islam, pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, tgl 24-3-
2009.
53 Azyumardi Azra, “Pendidikan Islam Harus Rasional dan Toleran”,

Wawancara Ulil Abshar Abdala (Jakarta: 25 Juli 2002), diakses ulang 4 Mei 2010.
dari http://islamlib.co/id/artikel/pendidikan-agama-rasonal-dan-toleran, diakses

14 | Drs. Asnawi, MA
Dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu
agama, kedua pesantren tersebut memiliki landasan filosofis yang
agak berbeda. Pesantren Tradisional Plus “Sirojul Mukhlasin II”
Payaman mendasarkan pada nilai-nilai filosofis bahwa ilmu itu
berasal dari Allah dan semua ilmu akan kembali kepada Allah; kalau
tidak kembali kepada Allah (tidak didasari semangat pengabdian
kepada Allah) maka menjadi sia-sia. Menurut pengasuh pesantren
ini, ilmu akan bermanfaat apabila dapat bercampur dengan ilmu
yang lain (seperti layaknya masakan/sayur). 54 Sementara Pesantren
Modern Pabelan mendasarkan pada falsafah bahwa tidak ada
perbedaan antara ilmu umum dan ilmu agama. Di pesantren ini
diberlakukan kurikulum dengan komposisi ilmu-ilmu umum 100%
dan ilmu-ilmu agama juga 100%. Bahkan, ilmu umum didudukkan
pula sebagai ilmu agama.55
Terkait dengan permasalahan paradigma atau wawasan
keilmuan pesantren, Pesantren Tradisional Plus merupakan jenis
pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik
sebagai inti pendidikannya. 56 Disiplin ilmu yang tidak ada kaitannya
dengan agama tidak diajarkan.57 Oleh karena itu, orientasi
pendidikannya untuk mendalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fī al-
dīn) dengan diarahkan pada pembentukan (pendidikan) akhlak. 58

ulang 4 Mei 2010.Terkait dengan masa depan Pendidikan Islam, Nurcholish Madjid
membuat parameter pendidikan masa depan yang diharapkan memenuhi tiga K,
yaitu: Keislaman, Keindonesiaan, dan Keilmuan. Lihat Yasmadi, Modernisasi
Pesantren, 121.
54 Wawancara pribadi dengan K.H. Minanurrahman Anshari, Pengasuh

Pondok Pesantren Sirojul Mukhlasin, Payaman, Magelang, 5 September 2009.


55 Wawancara pribadi dengan Mudzakir, Direktur Madrasah Pesantren

Pabelan, 16 Desember 2009.


56 Yasmadi, Modernisasi Pesantren, 70.
57 A. Malik, Inovasi Kurikulum Berbasis Lokal di Pondok Pesantren (Jakarta:

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2008), 16.


58 Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional

(Paradigma Baru), Z. Yusuf ed. (Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam, 2005), 79.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 15


Pondok Pesantren Tradisional Plus “Sirojul Mukhlasin II” Payaman
memberikan pendidikan agama sebagai materi pelajaran wajib, juga
menyelenggarakan pendidikan umum di madrasah dengan
menggunakan pembelajaran yang masih tergolong langka, yaitu
sistem small class (kelas kecil) dan small group (kelompok kecil)
serta moving class (kelas berpindah-pindah), yang dipisahkan
menurut jenis kelamin peserta didik. Metode pembelajaran yang
digunakan bervariasi, antara metode konvensional (sorogan dan
bandongan) dan metode pembelajaran modern.
Sementara Pesantren Modern mempunyai sikap fleksibilitas
dan terbuka dalam menerima hal-hal baru, di samping
mempertahankan nilai-nilai lama yang sudah ada. Sistem
pembelajaran di pesantren ini sudah menggunakan penjenjangan
(klasikal).59 Metode pembelajaran yang digunakan sebagaimana
metode pembelajaran di lembaga pendidikan sekolah pada
umumnya. Pesantren Modern Pabelan60 adalah miniatur Pondok
Pesantren Gontor, sehingga sistem pembelajaran yang digunakan
adalah sebagaimana yang digunakan di Pesantren Modern Gontor
dengan KMI (Kulliyat al-Mu’allimīn al-Islāmiyah)61 dengan
penekanan pada aspek penguasaan bahasa Arab dan Inggris. Lebih
menarik lagi, Madrasah Pesantren Modern Pabelan ini telah
menyediakan laboratorium Sains dan Teknologi Equality Project

59 A.Malik, Inovasi Kurikulum, 20.


60 Di samping sebagai lembaga tafaqquh fī al-dīn (tempat mendalami
agama), pondok ini juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan kemasyarakatan
(learning society) dan workshop bagi masyarakat Pabelan. Lihat Umi Musyarofah,
Kepedulian terhadap Pengembangan Dakwah: Studi Aktivitas KH. Hamam Dja’far
pada Pondok Pesantren Pabelan (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2003), 356.
61 Wawancara dengan Mudzakir, Direktur Madrasah Pesantren Pabelan,

16 Desember 2009. Lihat pula Jajat Burhanuddin, Transformasi.. , 173.

16 | Drs. Asnawi, MA
(STEP) yang belum terdapat di madrasah lain di Kabupaten
Magelang.
Untuk mengetahui pola pembelajaran yang berlaku di
madrasah pada kedua pesantren tersebut, penulis memandang perlu
dan laik untuk diadakan penelitian lebih lanjut.

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, terdapat sejumlah permasalahan
yang dapat diidentifikasi. Pertama, bagaimana konsep ilmu dalam
Islam perspektif pesantren. Kedua, apa yang menjadi orientasi atau
visi-misi pondok pesantren, baik pesantren modern maupun
pesantren tradisional plus. Ketiga, bagaimana respon pesantren
terhadap munculnya dikotomi keilmuan. Keempat, upaya apa saja
yang telah dilakukan pesantren dalam menghadapi permasalahan
dikotomi. Kelima, apakah pesantren telah melakukan upaya
pengintegrasian antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
Keenam, bagaimanakah cara mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum di pesantren. Ketujuh, faktor-faktor apakah yang
mendukung keberhasilan upaya pengintegrasian ilmu-ilmu agama
dan ilmu-ilmu umum serta faktor-faktor apa saja yang menjadi
kendalanya. Kedelapan, bagaimanakah pola pengembangan integrasi
yang diterapkan di pesantren, baik pesantren Tradisonal Plus
maupun pesantren Modern.

2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan pertimbangan berbagai hal yang dimiliki
peneliti, baik waktu, ilmu, maupun biaya, maka permasalahan dalam
penelitian ini dibatasi pada permasalahan yang langsung berkaitan

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 17


dengan judul, yaitu tentang pembelajaran integratif antara ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu umum.

3. Rumusan Masalah
Setelah ditentukan masalah yang menjadi fokus penelitian ini,
kemudian permasalahan tersebut dirumuskan sebagai berikut:
“Bagaimanakah Implementasi Pola Pembelajaran Integrasi Ilmu
Agama dan Ilmu Umum di Pondok Pesantren Tradisional Plus dan
Pondok Pesantren Modern”.

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan


Pembelajaran integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum
serta pengembangan pendidikan di pesantren ternyata telah
menarik banyak peneliti dan pemerhati untuk melakukan studi dari
berbagai perspektif dan pendekatan. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan dan relevan dengan tema ini dapat diklasifikasikan
sebagai berikut.
Pertama, kajian yang terkait dengan pembelajaran integrasi
antara ilmu agama dan ilmu umum. Di antara peneliti yang
melakukan pengkajian ini adalah Wan Moh Nor Wan Daud melalui
bukunya The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad
Naquib al-Attas.62 Daud mengkaji pemikiran Naquib al-Attas dalam
berbagai hal terkait dengan Pendidikan Islam, meliputi: metafisika,
ilmu pengetahuan, dan tujuan pendidikan, serta gerakan Islamisai
ilmu pengetahuan baik secara teori maupun praktik yang

62 Wan Moh Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of
Syed Muhammad Naquib al-Attas. An Exposition of The Original Concept of
Islamization (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and
Civilization, 1998).

18 | Drs. Asnawi, MA
diimplementasikan dalam perguruan tinggi miliknya yang terkenal,
yaitu ISTAC.
Sementara Syed Naquib al-Attas dalam Islam dan
Sekularisme,63 Ziauddin Sardar dalam Jihad Intelektual: Merumuskan
Parameter-Parameter Sains Islam,64 dan Ismail Raji al-Fārūqī dalam
Islamization of Knowledge,65 memfokuskan kajian mereka pada
usaha Islamisasi ilmu. Dalam sistem pendidikan, mereka
meninggalkan metode asal Barat yang melahirkan sekularisme yang
membahayakan, kemudian menggantinya dengan konsep pendidikan
baru yang mereka wujudkan melalui reformasi Pendidikan Islam
dengan wacana Islamisasi pengetahuan. 66 Dalam hal ini al-Fārūqī
mengusulkan agar semua disiplin ilmu di Pesantren Modern diberi
tujuan dan visi baru yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin
harus ditempa kembali sehingga memberikan relevansi Islam
sepanjang ketiga sumbu tauhid, yaitu kesatuan pengetahuan (the
unity of knowledge), kesatuan hidup (the unity of life), dan kesatuan
sejarah (the unity of history).67
Jabir al-Alwani dalam Islamic Thought, an Approach Reform 68
mengemukakan pentingnya gerakan Islamisasi pengetahuan sebagai
salah satu fondasi penting dari pembaruan agama Islam dalam
rangka membangun kembali ummah dari suatu bangsa, dan
mengusahakan terwujudnya masyarakat Islam kontemporer.

63 Syed Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung, Pustaka, 1981).


64 Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-Parameter
Saince Islam (Terj) AE Priyono (Surabaya: Risalah Gusti, 1998).
65 Ismail Raji al-Fārūqī, Islamization of Knowledge (General Principle an

workplan, Herndon, VA, IIT, 1402/1982).


66 Norlaila, “Pemikiran Pendidikan Islam Ismail Raji al-Fārūqī”, al-Banjar,

Vol. No.1.Januari 2008, 41.


67 Ismail Raji al-Fārūqī, Islamisasi Pengetahuan, Terj. Yustiono (Bandung:

Mizan, 1993),37.
68 Jabir al-Alwani, Islamic Thought, An Approach reform (London-

Washington: The International Institute of Islamic Thought, 1427/2006).

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 19


Holmes Rolston, dalam Science and Religion,69 lebih fokus
pada integrasi ilmu dengan menegaskan bahwa agama mesti
diintegrasikan atau dipadukan dengan wilayah-wilayah kehidupan
manusia. Hanya dengan inilah agama dapat bermakna dan menjadi
rahmat bagi pemeluknya, bagi umat manusia, bahkan juga bagi
keseluruhan alam semesta. Ketika membincangkan ilmu dan agama,
“integrasi” tampaknya menjadi kata kunci untuk mengungkapkan
sikap yang dianggap tepat, khususnya dari sudut pandang umat
beragama. Rolston menambahkan bahwa hidup yang “berorientasi
pada makna” merupakan suatu bentuk agama, sementara ilmu sejak
dari “logika Newtonian” memang lebih merasa nyaman dengan
membahas efek-efek dan sebab material.
Fazlur Rahman, dalam Islamization of Knowledge,70
menyatakan bahwa pengetahuan kontemporer itu merefleksikan
etos Barat, namun dengan tegas ia berpendapat bahwa orang tidak
dapat menemukan suatu metodologi atau memerinci suatu strategi
untuk mencapai pengetahuan Islami. Menurutnya, satu-satunya
harapan umat Islam untuk menghasilkan Islamisasi adalah dengan
memelihara pemikiran umat Islam.
Pervez Hoodbhoy, dalam bukunya Islam and Science; Religious
Orthodoxy and The Battle for Rationality,71 tidak setuju adanya usaha
Islamisasi ilmu pengetahuan. Bahkan, ia menolak adanya sains Islam
dengan mengemukakan tiga alasan. Pertama, semua usaha yang
pernah dilakukan untuk menciptakan sains Islam telah gagal. Kedua,
menjelaskan sekumpulan prinsip moral dan teologi –-betapapun

69 Holmes Rolston, Science and Religion (New York : A. Critical Survey,

With ā New Introduction, 2006).


70 Fazlur Rahman, “Islamization of Knowledge: A Response”, American

Journal of Islamic Social Science (5:1) (1998).


71 Pervez Hoodbhoy, Islam and Science: Religious Orthodoxy and The Batle

for Rationality (London-New Jersey: Zed Books Ltd, 1991).

20 | Drs. Asnawi, MA
tingginya-- tidak memungkinkan seseorang menciptakan sains baru
dan permulaan. Ketiga, belum pernah ada, dan sampai sekarang
belum ada definisi sains Islam yang dapat diterima oleh semua
kalangan muslim.
Azyumardi Azra, dalam Reintegrasi Ilmu dalam Islam,72 telah
berhasil membuat klasifikasi cendekiawan Muslim dalam merespon
persoalan integrasi ilmu. Menurutnya, integrasi ilmu adalah
memadukan ilmu umum dengan ilmu agama. Dalam Esei-Esei
Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam,73 Azra menyatakan bahwa
integrasi ilmu perlu dilakukan dalam rangka usaha untuk mencetak
biru Pendidikan Islam di masa depan. Secara implemantatif integrasi
ilmu dilakukan dengan cara mengintegrasikan ajaran-ajaran,
ideologi, dan pandangan Islam secara menyeluruh ke dalam mata
pelajaran di sekolah.
Abdurrahman Mas‘ud dalam karyanya Menggagas Format
Pendidikan Nondikotomik74 menyatakan bahwa dalam rangka
mewujudkan sistem pendidikan yang integral ia mengusulkan
konsep humanisme religius sebagai paradigma pendidikan Islam.
Mulyadi Kartanegara dalam Integrasi Ilmu; Sebuah
Rekonstruksi Holistik75 menyoroti upaya integrasi dengan cara
menggabungkan dua bangunan keilmuan sebagaimana terjadi di
lembaga pendidikan di Indonesia selama ini. Integrasi yang demikian
tidak akan membuahkan sebuah integrasi, tetapi hanya akan seperti

72 Azyumardi Azra, “Reintegrasi Ilmu dalam Islam” Zaenal Bagir, ed.

Integrasi Ilmu dan Agama: Interpertasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005).
73 Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam

(Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 1999).


74 Abdurrahman Mas‘ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik:

Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Gama


Media, 2002).
75 Mulyadi Kartanegara dalam Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik

(Bandung: Mizan Arasy-UIN Jakarta Press, 2005).

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 21


menghimpun dalam ruang yang sama dua entitas keilmuan yang
berjalan sendiri-sendiri. Menurutnya, integrasi ilmu harus
diupayakan hingga mencapai tingkat integritas epistemologis yang
meliputi aspek ontologis, klasifikasi ilmu, dan aspek metodologis.
Zainal Abidin Bagir ed., dalam Integrasi Ilmu dan Agama,
Interpretasi dan Aksi,76 menegaskan bahwa integrasi yang hanya
cenderung mencocok-cocokkan ayat-ayat al-Qur`an secara dangkal
dengan temuan-temuan ilmiah akan menimbulkan kesan adanya
penaklukan, seperti teologi ditaklukkan oleh sains. Namun, dia
mengaggap penting adanya integrasi konstruktif dimana integrasi
yang menghasilkan kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua
ilmu tersebut terpisah. Hal ini dilakukan untuk menghindari dampak
negatif yang mungkin muncul jika keduanya berjalan sendiri-sendiri.
Kuntowijoyo, dalam Islam sebagai Ilmu; Epistemologi,
Metodologi, dan Etika,77 dengan tegas menolak gagasan Islamisasi
Ilmu. Ia menawarkan konsep Pengilmuan Islam. Konsep Pengilmuan
Islam ini dilatarbelakangi oleh tiga hal. Pertama, Pengilmuan Islam
menghadapkan doktrin (al-Qur`an dan hadits) pada realitas, atau
dengan kata lain dari teks ke konteks (min al-nās ilā al-wāqi‘). Kedua,
ada keperluan untuk memberikan jawaban mengapa orang Islam
harus melihat relitas melalui Islam. Ketiga, perlunya mengakui faktor
manusia dalam mengkonstruksi pengalamannya; tidak
dimasukkannya faktor manusia dalam konstruksi tersebut akan
berujung pada tidak komplitnya ilmu yang dibangun, seperti teori
ekonomi yang hanya mempertimbangkan untung dan rugi akan
berkembang menjadi teori ekonomi yang bertangan besi.

76 Zainal Abidin Bagir ed. Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi
(Bandung: Mizan, 2005).
77 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu; Epistimologi, Metodologi, dan Etika

(Jakarta: Teraju, 2004).

22 | Drs. Asnawi, MA
Kedua, kajian yang terkait dengan pengembangan pesantren
juga telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Di antaranya adalah
Karel A. Steenbrink melalui bukunya Pesantren, Madrasah, Sekolah.78
Steenbrink mengupas lembaga pendidikan Islam ini dari aspek
historis, terkait dengan perubahan orientasi pesantren, juga tentang
munculnya madrasah atau sekolah di lingkungan pesantren serta
pengaruhnya bagi pesantren. Menurutnya, terdapat kecenderungan
perubahan orientasi dari “K.H.” ke “Drs”. Transisi ini menyebabkan
berkurangnya peran alumni pesantren dalam kegiatan
kemasyarakatan, terutama yang menuntut keahlian tertentu yang
tidak disediakan oleh pesantren.
Sementara Manfred Ziemek79 menjelaskan bahwa pesantren
memiliki peran penting dalam perubahan sosial di bidang
pendidikan, politik, budaya, sosial, dan keagamaan. Pesantren
menampilkan diri sebagai lembaga swadaya penduduk desa yang
mampu berdiri di atas kekuatan masyarakatnya di tengah arus
perubahan dan modernisasi pendidikan.
Zamakhsyari Dhofier, dalam Tradisi Pesantren; Studi tentang
Pandangan Kyai,80 telah melakukan kajian tentang dinamika
pesantren. Ia mengilustrasikan tradisi pesantren dengan fokus
utama pada peranan kiai dalam memelihara dan mengembangkan
paham Islam Pesantren Tradisional di Jawa. Islam tradisional di
Jawa, menurutnya, bukanlah paham yang statis, melainkan dinamis.

78 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta; LP3ES,


1984).
79 Ziemek Manfred Ziemek, “Contemporary Character Function of

Pesantren”, Manfred Ziemek ed. The Impact of Pesantren in Educatio an community


Developmen in Indonesia, (Berlin: Fredrich Nauman Stiftung Indonesian Society for
Pesantren and Community Development (P3M ) Technical University Berlin,
1988).
80 Zamakhsyari Dhofier, dalam Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan

Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982).

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 23


Peran kiai dalam modernisasi lembaga pendidikan dinilai sangat
baik, karena para kiai mengambil sikap yang sangat lapang dalam
menyelenggarakan modernisasi lembaga-lembaga pesantren di
tengah-tengah perubahan masyarakat Jawa tanpa meninggalkan
aspek-aspek positif dari sistem Pendidikan Islam Tradisional.
Mahmud Arif, dalam bukunya Pendidikan Islam
Transformatif,81 berhasil mengungkap misteri yang tersimpan di
balik lembaga Pendidikan Islam tertua di Indonesia, yaitu pesantren.
Menurutnya, ada tiga struktur epistemologis yang saling bersaing
dalam budaya dan tradisi pemikiran Islam pada masa keemasan
(abad III-V H), yaitu bayānī, ’irfānī, dan burhānī. Tenyata
Epistemologi bayānī lebih dahulu menandai konstruksi jagat
intelektual dunia Islam dengan eksponen ulama bayāniyyūn, dengan
produk intelektual utama al-‘ulūm al-naqliyah.
Pertautan antara epistemologi bayānī dan Pendidikan Islam
pada masa keemasan tersebut berimplikasi luas terhadap
Pendidikan Islam dewasa ini, terutama dalam konteks pendidikan
pesantren yang memang disinyalir memiliki ikatan “genealogis” yang
kuat dengan budaya dan tradisi pemikiran Islam abad klasik-
pertengahan dan juga terhadap pendidikan madrasah. Penulis buku
ini memandang perlunya memadukan antara epistemologi bayānī,
’irfānī, dan burhānī secara sinergis-dialektis (takāmuliyah) dalam
struktur hierarkis-piramidal yang bermatra ayat kawniyah dan ayat
qawliyah dalam rangka humanisasi, liberasi, dan transendensi demi
terwujudnya Pendidikan Islam transformatif.
Berbeda dengan para pakar di atas, Nurcholis Madjid dalam
Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan,82 berkesimpulan

81 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LkiS, 2008).


82 Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan
(Jakarta: Paramadina, 1997).

24 | Drs. Asnawi, MA
bahwa pengajaran materi pelajaran umum di pesantren
dilaksanakan secara setengah-setengah. Pembelajaran ilmu-ilmu
umum dilakukan secara tidak serius atau tidak sepenuh hati, sekadar
memenuhi syarat agar tidak dikatakan kolot saja.
Berdasarkan kajian di atas, boleh dibilang bahwa posisi
penelitian yang dilakukan penulis ini merupakan kelanjutan dan
pengembangan serta penguatan dari penelitian sebelumnya.
Penelitian ini berusaha membedah pola pembelajaran integrasi di
pondok pesantren yang belum pernah ada kajian khusus (case study)
tentang hal ini. Integrasi yang pernah terjadi adalah sekadar bersifat
memasukkan ilmu-ilmu umum ke dalam pesantren; bagaimana cara
mengintegrasikannya, belum ada format atau pola yang baku.

D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian


Sesuai dengan permasalahan yang telah ditetapkan di atas,
maka tujuan penelitian ini adalah:
1. membuktikan bahwa paradigma keilmuan komunitas
lembaga pendidikan berpengaruh terhadap pola
pembelajaran integrasi ilmu agama dan ilmu umum di
pesantren;
2. membandingkan pola pembelajaran integrasi ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu umum antara Pesantren Tradisional
Plus dan Pesantren Modern.

Terkait dengan signifikasi, penelitian ini diharapkan dapat:


1. memberikan gambaran informasi sekaligus memperluas
wawasan pengetahuan tentang upaya pembaharuan Islam
melalui lembaga pendidikan pesantren, sehingga menjadi
kontribusi bagi dunia pemikiran Islam di masa yang akan
datang;

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 25


2. memberikan gambaran nyata terkait dengan upaya integrasi
keilmuan baik dalam aspek kurikulum, strategi, maupun
pendekatan, bahkan pola pembelajaran yang dilakukan di
pesantren, baik Pesantren Tradisional Plus maupun
Pesantren Modern;
3. sebagai masukan awal yang perlu ditindaklanjuti oleh
pengelola lembaga pendidikan Islam maupun peneliti lain,
terkait dengan pengembangan pembelajaran integratif baik di
pesantren, madrasah, maupun sekolah.

E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Dipilihnya
pendekatan ini dengan alasan bahwa fokus penelitian yang terkait
dengan permasalahan pola/sistem pembelajaran dalam rangka
integrasi ilmu-ilmu agama dan Ilmu-ilmu umum pada Madrasah
Aliyah di pesantren, baik Pesantren Tradisional Plus maupun
Pesantren Modern, sebagai upaya pembaharuan dalam sistem
Pendidikan Islam.83

2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di dua pondok pesantren. Pertama,
pesantren “Sirojul Mukhlasin” yang beralamatkan di Jalan
Kalibening, Payaman, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang.

83 Menurut Marshall dan Rossman dalam Jeremi Menchik, pendekatan

kualitatif dapat digunakan dalam: 1) penelitian yang tidak dapat dilakukan secara
eksperimen karena pertimbangan praktis dan etis; 2) penelitian yang menyelami
kedalaman kompleksitas dan proses; 3) penelitian dimana variabel terkait belum
teridentifikasi; 4) penelitian yang mencari jawaban di mana dan mengapa
kebijakan tertentu tidak berfungsi; 5) penelitian terhadap masyarakat yang belum
diketahui atau terhadap sistem pembaharuan. Lihat Jeremy Menchik, “UIN Short
Course: Empirical Research Methods”. Seminar (Jakarta: 12-30 April 2009), 7.

26 | Drs. Asnawi, MA
Pesantren ini dijadikan sebagai representasi Pesantren Tradisional
Plus. Kedua, Pondok Pesantren Modern Pabelan yang terletak di Desa
Pabelan, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Pesantren ini
sebagai representasi Pesantren Modern. Kedua pesantren tersebut di
samping menyelenggarakan pendidikan diniyah (materi-materi
keagamaan) juga menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu
Madrasah Tsnawiyah dan Madrasah Aliyah.

3. Sumber Data
Sebagaimana dikatakan Lofland dalam Lexy J. Moleong,
bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-
kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan, seperti
dokumen dan lain-lain.84 Data primer dari penelitian ini adalah
Pengasuh Pondok Pesantren, Kepala Madrasah, guru, dan siswa.
Sementara data sekundernya meliputi kurikulum pesantren
integrated, pembelajaran di pesantren, dan data-data pendukung
lain.

4. Instrumen Pengumpulan Data


a. Observasi.85
Observasi digunakan dengan cara mengamati secara
saksama objek yang diteliti. Objek yang diamati bisa berupa

84 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : Remaja

Rosdakarya. 2007), 157.


85 Menurut Kidder (1981) sebagaimana dikutip Sharan B. Meriam,

observasi ini dapat digunakan sebagai alat penelitian apabila: pertama, dalam
rangka membantu merumuskan tujuan penelitian; kedua, merencanakan suatu
kesepakatan/perundingan; ketiga, untuk mencatat sebuah keteraturan
(systematically); dan keempat, untuk mengecek dan mengontrol tingkat keabsahan
(validitas) dan keterpercayaan (reliability) data suatu penelitian. Baca Sharan B.
Meriam, Qualitative Research and Case Study Applications in Education: Revised and
Expanded form Case Study Research in Education (Sanfranssisco: Jossey-Bass
Publisher, 1992), 94-95.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 27


keterampilan, perilaku individu, atau situasi proses kegiatan
tertentu.86 Jenis observasi yang dilakukan adalah partisipasi
pasif, yaitu peneliti berada di lokasi yang diamati, mengamati
kegiatan-kegiatan yang berlangsung tetapi tidak terlibat dalam
kegiatan tersebut.87 Dalam hal ini observasi dilakukan untuk
mengetahui dan mengamati secara langsung proses
pembelajaran integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.

b. Interview atau wawancara.


Metode ini dilakukan guna mendapatkan keterangan
secara lisan langsung dari responden. 88 Karena penelitian ini
berupa studi kasus, maka yang digunakan adalah pedoman
wawancara tak terstruktur (unstructured interviewing), yaitu
pedoman wawancara yang hanya memuat garis besar yang akan
ditanyakan. Dalam model wawancara ini, pewawancara secara
kreatif mengendalikan jawaban responden. 89 Metode ini
digunakan terkait dengan paradigma keilmuan dalam Islam
perspektif pesantren, respon pesantren terhadap munculnya
nuansa dikotomik, konsep integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-
ilmu umum, model/pola pembelajaran integrasi ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu umum, juga tentang faktor-faktor
pendorong dan penghambat/kendala. Wawancara ini dilakukan
terhadap pengasuh pondok pesantren, kepala sekolah, guru, dan
siswa.

86 Nana Sudjana, Penilaian Hasil Belajar Mengajar (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1995), 84.


87 Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R&D, Cet. III (Bandung: Alfabeta, 2007), 312.


88 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1993), 129.


89 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Cet.

XII (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), 202.

28 | Drs. Asnawi, MA
c. Dokumentasi.
Metode ini digunakan terhadap data berupa cetakan-
cetakan, seperti buku sejarah pesantren, dokumen pesantren
dan madrasah, foto-foto kegiatan pembelajaran integrasi,
majalah pesantren, atau surat-surat penghargaan untuk
pesantren dan madrasah, baik pada pesantren “Sirojul
Mukhlasin” Yayasan Amal Jariyah (YAJRI) Payaman maupun
Pesantren Modern “Pabelan”.

5. Analisis Data
Analisis data adalah teknik yang dapat digunakan untuk
memaknai dan mendapatkan pemahaman dari ratusan atau bahkan
ribuan halaman kalimat atau gambaran perilaku yang terdapat
dalam catatan lapangan.90 Teknik analisis data yang penulis gunakan
dalam penelitian ini adalah comparative analysis, yaitu dengan
membandingkan data dari dua kasus atau lebih, 91 baik data yang
didapat dari Pesantren Tradisional Plus maupun data yang diperoleh
dari Pesantren Modern.
Terkait dengan analisis komparasi, Aswarni Sudjud dalam
Suharsimi Arikunto mengatakan bahwa penelitian komparasi akan
menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan
tentang benda-benda, orang, prosedur kerja, ide, kritik terhadap
orang, kelompok, terhadap suatu ide atau prosedur kerja. 92
Analisis data kualitatif dalam penelitian ini, yaitu persoalan
integrasi ilmu di pesantren, penulis menggunakan teori integrasi
yang dicetuskan oleh Mulyadi Kartanegara.

90 Jeremy Menchik (Insructor) dalam UIN Short Course: Empirical Research

Methods (Jakarta: UIN Syarif Hidayatallah, 12 Maret- 30 April 2009).


91 Alexander L. George and Andrew Bennett, Case Studies an Theory

Development in the Social Sciences (USA: The Belfer center for Science an
International Affairs, 2005), 150.
92 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, 267.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 29


Siklus analisis data kualitatif menurut Miles & Huberman
dalam Jeremy Menchik sebagai berikut:93

Gambar 1: Siklus Analisis Data Kualitatif menurut Miles & Huberman

Berdasarkan siklus analisis kualitatif ini kemudian


dikembangkan ke arah analisis komparatif dengan siklus sebagai
berikut.

Gambar 2: Siklus Analisis Data Kualitatif dengan teknik Comparatif Analisys.

93 Jeremy Menchik, UIN Short Course: Empirical Research, 12.

30 | Drs. Asnawi, MA
Siklus analisis data di atas dapat dijelaskan bahwa kegiatan
analisis selama pengumpulan data, menurut Bogdan dan Biklen
sebagaimana dikutip Imam Suprayogo, meliputi lima tahap.94
Adapun reduksi data diartikan sebagai proses pemilahan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan tranformasi
data kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi data
ini berlaku selama penelitian berlangsung. Sementara yang
dimaksud dengan penyajian data adalah menyajikan sekumpulan
informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan,95 yang sebelumnya dilakukan pengomparasian data
antara Pesantren Tradisional Plus ”Sirojul Mukhlasin II” Payaman
dan Pesantren Modern Pabelan.

F. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini ditulis secara sistematis dalam lima bab.
Penyusunan sistematis dilakukan agar pembahasan di tiap-tiap bab
tidak hanya mendalam, tetapi juga dapat dibaca sebagai suatu
kesatuan yang utuh.
Bab I berisi pendahuluan, yang mengemukakan latar belakang
masalah tentang perlunya pesantren melakukan pengintegrasian
ilmu agama dan ilmu umum, identifikasi masalah (yang akan dibahas
dan dikupas pada bab-bab selanjutnya), batasan masalah, rumusan

94 Pertama, menetapkan fokus penelitian, apakah tetap sebagaimana yang

direncanakan ataukah perlu diubah. Kedua, penyusunan temuan-temuan


sementara berdasarkan data yang telah terkumpul. Ketiga, pembuatan rencana
pengumpulan data berikutnya berdasarkan temuan-temuan pengumpulan data
sebelumnya. Keempat, pengembangan pertanyaan-pertanyaan analitis dalam
rangka pengumplan data berikutnya. Kelima, penetapan sasaran pengumpulan
data (informan, situasi, dokumen) berikutnya. Lihat Imam Suprayogo dan Tobroni,
Metode Penelitian Sosial Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), 192.
95 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metode Penelitian Sosial Agama, 194.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 31


masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian terhadap penelitian
yang terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II berisi kajian pokok tentang Pendidikan Islam dan
integrasi ilmu. Pada bab ini dipaparkan kajian tentang dualisme
keilmuan dalam sistem Pendidikan Islam, juga tentang paradigma
ilmu keislaman dan ilmu umum, serta integrasi ilmu agama dan ilmu
umum.
Bab III berisi tentang integrasi ilmu di pesantren. Dalam bab
ini dipaparkan tentang paradigma keilmuan dalam Islam perspektif
pesantren, upaya integrasi melalui kurikulum, dan upaya integrasi
melalui strategi dan pendekatan pembelajaran.
Bab IV membahas implementasi pengintegrasian ilmu agama
dan ilmu umum. Dalam bab ini dieksplorasikan tentang integrasi
Ilmu-Ilmu Agama dan Ilmu Pengetahuan Alam (Science), integrasi
Ilmu-Ilmu Agama dan Ilmu-Ilmu Sosial, serta deskripsi temuan
peneliti di lapangan beserta solusi yang ditawarkan.
Bab V adalah penutup, yang berisi kesimpulan dan saran
penulis setelah mengadakan penelitian.[]

32 | Drs. Asnawi, MA

Anda mungkin juga menyukai