Anda di halaman 1dari 42

BAB II

PENDIDIKAN ISLAM
DAN INTEGRASI ILMU

Dalam rangka mencari landasan teoretis untuk membedah


persoalan integrasi ilmu di pesantren, pada bab ini akan
dikemukakan perdebatan teoretis tentang integrasi ilmu-ilmu agama
dan ilmu-ilmu umum di kalangan intelektual muslim. Pemetaan
perdebatan teoretis ini penting untuk memudahkan penulis dalam
memosisikan penelitian ini. Oleh karena itu, dalam bab ini akan
dijelaskan tiga subbab pokok. Pertama, tentang dualisme keilmuan
dalam sistem pendidikan Islam. Kedua, tentang paradigma ilmu-ilmu
keislaman dan ilmu-ilmu umum. Ketiga, integrasi ilmu-ilmu agama
dan ilmu-ilmu umum.

A. Dualisme Keilmuan dalam Sistem Pendidikan


Untuk mengurai persoalan dualisme keilmuan dalam sistem
Pendidikan Islam, penulis merunutnya melalui tiga periode
sebagaimana klasifikasi yang dilakukan Harun Nasution.1

1 Harun Nasution memetakan sejarah peradaban Islam ke dalam tiga

periode: pertama, periode klasik (650-1250 M); kedua, periode pertengahan


(1250-1800 M), dan ketiga, periode modern (1800 M s.d. sekarang). Lihat Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Cet. 13 (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), 5-6.
Lihat pula Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah II, Pengantar Studi Sejarah
Kebudayaan Islam dan Pemikiran (Jakarta: LSIK, 1998), 1.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 33


Pertama, periode klasik (650-1250 M), yang merupakan
zaman keemasan dunia Islam. Pada periode ini, tidak terjadi
dualisme keilmuan, apalagi pertentangan. Pada awal-awal Islam,
sumber ilmu pengetahuan adalah al-Qur’an dan Ḥadits, dalam
pengertian yang seluas-luasnya.2 Pendidikan Islam yang pertama kali
dilakukan oleh Nabi adalah kepada keluarga, kemudian kepada para
sahabat di rumah Arqam (Dār al-Arqām).3 Lembaga pendidikan
Islam yang berkembang berikutnya adalah al-Kuttāb,4 masjid,5 dan

2 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju


Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana ilmu dan Pemikiran, 2000), 13.
3 Dipilihnya Dār al-Arqām sebagai tempat berkumpulnya para sahabat

pada saat itu untuk berlangsungnya proses pendidikan Islam oleh Nabi,
dikarenakan selain Arqām sebagai sahabat yang paling setia, juga karena secara
politis lokasi rumahnya sangat strategis, yakni berada di bukit Ṣafā, sehingga
pandangan kaum Quraisy dapat terhalangi. Lihat pula Hanun Asrohah, Sejarah
Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2001), 13.
4 Kuttāb adalah lembaga yang dibentuk setelah masjid yang berfungsi

untuk belajar membaca dan menulis. Lihat, Ahmad Syalabi, Al-Tarbiyah al-
Islāmiyah (Kairo: Maktabah al-Nahḍah al-Miṣriyah, 1982), 33. Bandingkan dengan
Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 15. Pada tahap-tahap awal setelah tersebarnya
Islam, guru-guru pada lembaga-lembaga pengajaran dasar (Kuttāb), terutama
sekali adalah non Muslim, khususnya Yahudi dan Kristen. Fenomena ini
melahirkan kontroversi hukum tentang boleh tidaknya orang Islam mengajarkan
al-Qur’an kepada selain Muslim atau sebaliknya, sehingga Ibnu Khaldun (abad
8/14) melarang mengajarkan keterampilan baca tulis bersamaan dengan belajar
al-Qur’an dan agama. Menurutnya, untuk mempelajari baca dan tulis sebaiknya
dicarikan bantuan guru yang profesional. Baca Fazlur Rahman, Islam (Bandung:
Penerbit Pustaka, 1994), 263-264.
5 Pada zaman Rasulullah, masjid merupakan sekolah pertama yang

bersifat umum dan sistematis. Di masjid inilah anak-anak dan orang dewasa, baik
laki-laki maupun perempuan, menuntut ilmu. Fungsi masjid tidak terbatas sebagai
lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai tempat orang fakir miskin berlindung dari
dinginnya udara malam sambil belajar agama dan keduniaan. Bahkan kadang-
kadang halaman masjid digunakan sebagai tempat latihan perang, seperti yang
dilakukan oleh orang Ḥabsyi, sebagaimana disaksikan Rasulullah dan Aisyah. Lihat
Abd al-Rahman al-Nahlawi, Uṣūl al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa asālibihā fī al-Bayt wa
al-Madrasah wa al-Mujtama‘ (Bayrut: Dār al-Fikr al-Mu‘āshirah, Cet II,
1403/1983), 148.

34 | Drs. Asnawi, MA
madrasah6 serta ḥalaqah-ḥalaqah yang diselenggarakan di rumah-
rumah para ilmuwan muslim secara mandiri. Di samping lembaga-
lembaga pendidikan Islam tersebut, pengembangan ilmu
pengetahuan pada saat itu juga didukung dengan adanya
observatorium, perpustakaan Bayt al-Ḥikmah (215/830),7 toko
buku,8 dan rumah sakit.

6 Gary Leiser dalam Joseph E. Lowry menyebutkan bahwa dalam sebuah


artikel dua dekade lalu, dijelaskan adanya beberapa cara di mana
madrasah/institusi hukum Islam memberikan kontribusi terhadap Islamisasi di
Mesir, yaitu sejak awal periode Faṭimiyah hingga akhir pemerintahan Ayyūbiyah
(529/1135–647/1249). Secara khusus, ditunjukkan sebuah kenyataan pada waktu
itu betapa besar dan luasnya pengaruh komunitas Kristen, akan tetapi madrasah
dapat memengaruhi orang-orang yang ada dalam komunitas Kristen tersebut
untuk masuk Islam. Betapa besar peningkatan dan perkembangan madrasah di
Mesir pada saat itu. Hal ini ditandai dengan menurunnya komunitas Kristen di
negara tersebut menjadi kelompok minoritas, setelah Islam berkuasa. Baca Joseph
E. Lowry at-al, Law and Education in Mediveval Islam: Studies in Memory of George
Makdisi (Chipenham: Antony Rowe, 2004), 174. Madrasah yang pertama kali
didirikan sekira tahun 459/1064 oleh wazir Nidhām al-Mulk, merupakan lembaga
pendidikan tinggi (institusion of higher education) dalam Islam yang mengambil
masjid sebagai modelnya. Lihat Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam:
The Classical Period A.D. 700-1300 (America: Roman & Littlefield Publishers Inc,
1990), 37. Baca pula Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, viii. Madrasah Niẓāmiyah
inilah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan teologi yang diakui oleh negara
pada saat itu. Lihat Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2002), 516. Lihat pula Ahmad Syalaby, Tārīkh al-Tarbiyah al-Islāmiyah
(TTP: Kashshāf, 1954), 19. Ada pula keterangan yang menyatakan bahwa
Muḥammad ‘Alī al-Ḥanāfiah (putra bin Abī Thālib), mendirikan madrasah di Masjid
Nabawi. Madrasah ini berfungsi sebagai counter argumentatif terhadap doktrin
penguasa Dinasti Umayah (Jabariyah). Menurutnya, bahwa doktrin penguasa tidak
seluruhnya benar, sembari mengenalkan doktrin al-ma‘rūf yang artinya segala
sesuatu yang terjadi adalah karena perbuatan manusia. Di sisi lain, Hasan al-Bashri
(w.110 H) juga mendirikan madrasah di Masjid Baṣrah. Landasan pemikirannya
meliputi tasamuḥ, tawasuṭ, i’tidāl, dan tawāzun, sebagai paradigma berpikir yang
cenderung bersifat solutif dan mencari jalan tengah. Salah satu muridnya adalah
Wāṣil bin Aṭā’. Lihat Sulthan Fatoni, Peradaban Islam: Disain Awal Peradaban,
Konsolidasi Teologi Konstruk Pemikiran dan Pencarian Madrasah (Jakarta: eLSAS,
2006), 26-27.
7 Bayt al-Ḥikmah adalah sebuah pusat studi yang berawal dari koleksi

buku-buku sains kakek Harun al-Rasyid, ‘Abd Allah al-Manshur, Muhammad al-

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 35


Mengenai keilmuan yang diajarkan di lembaga-lembaga
pendidikan Islam pada masa awal/klasik ini umumnya adalah ilmu-
ilmu agama (al-‘ulūm al-shar‘iyyah) yang bersumber pada al-Qur’an
(sebagai poros utamanya) diikuti dengan Tafsir, Hadits, juga Fiqh
dilengkapi pula dengan Nahwu dan Ṣaraf sebagai ilmu alat untuk
mengkaji kitab-kitab kuning.9 Sementara ilmu-ilmu umum (al-‘ulūm
ghayr al-shar‘iyyah) diberikan di masing-masing rumah para
ilmuwan dengan sistem ḥalaqah sebagaimana di atas. Dengan
demikian, pengajaran ilmu-ilmu umum pada saat itu belum
diselenggarakan di lembaga-lembaga formal semisal madrasah. Pada
permulaan Islam, kegiatan ke arah pengembangan dan pendalaman

Mahdi, ayahnya dan koleksi Harun al-Rasyid sendiri. Al-Manshūr, sebagai ahli Fiqh
yang gemar pada ilmu astronomi, memiliki koleksi berharga, yaitu buku
matematika India kuno yang berjudul “Bramasphuta Sidhatama”. Kegiatan
mengoleksi buku-buku berharga ini kemudian diikuti dengan penerjemahannya.
Misalnya Muhammad bin Ibrāhīm diperintah untuk menerjemahkan Siddhanta
dari Bahasa Sanskerta ke dalam Bahasa Arab. Kegiatan seperti ini diteruskan oleh
al-Mahdi, ayah Hārūn al-Rashīd. Begitu pula Hārūn sendiri meneruskan kegiatan
serupa dan terwujudlah perpustakaan Kanz al-Ḥikmah. Upaya Hārūn ini
dikembangkan oleh al-Ma’mūn menjadi Bayt al-Ḥikmah pada tahun 217/832 M.
Lihat Hāmid Fahri Zarkasyi, “Bayt al-Ḥikmah Akademi Pertama dalam Islam”,
Islamia Vol. v, No. 1. 2009, 94. Di samping melakukan kegiatan penerjemahan
karya-karya filsafat dan pengetahuan asing dari berbagai bahasa ke dalam bahasa
Arab, Bayt al-Ḥikmah juga melakukan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan
yang telah ditransmisikan, hingga akhirnya lembaga ini berkembang menjadi
akademi besar. Lihat Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, Cet II (Jakarta:
Ciputat Pess, 2007), 109.
8 Stanton mencatat, walaupun sarjana-sarjana modern mungkin kesulitan

untuk mengakui toko-toko buku sebagai pusat-pusat pendidikan tinggi, tetapi


mereka tetap mengakui fungsi itu di kota-kota Islam. lihat, Charles Michael
Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan
Pemikiran, 1994), 161. Fungsi toko buku ini diakui oleh Kraemer yang biasa
menyelenggarakan debat-debat ilmiah di tingkat dua (balkon) sebuah toko buku,
yang tingkat dasarnya dikunjungi oleh para pembeli atau penulis yang sibuk
mengadakan penelitian dan penulisan. Lihat Joel L. Kramer, Kebangkitan
Intelektual dan Budaya Pada Abad Pertengahan Renaisans Islam (Bandung: Mizan,
2003), 17.
9 George Makdisi, The Rise of Colleges: Institution of Learning in Islam and

the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 110.

36 | Drs. Asnawi, MA
ilmu-ilmu yang tergolong al-‘ulūm al-‘aqliyah memang belum tampak
dilakukan oleh kaum Muslimin pada saat itu, dikarenakan perhatian
mereka terfokus pada upaya jihad dan dakwah.10
Namun, munculnya tokoh-tokoh11 dan ilmuwan semisal al-
Bīrūnī (w.1041) seorang ensiklopedis Muslim, Ibn Sīnā (980-1037)12
seorang filsuf dan ahli kedokteran, Ibn Haitham (w.1039) seorang
fisikawan,13 Ibn Khaldūn,14 Ibn al-Nafīs Hayyān,15 al-Khawārizmī,16

10 A. Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 83.


11 Amin Abdullah, Islamic Studies, dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi
(Sebuah Antologi) (Yogyakarta, Suka Press, 2007), 27.
12 Ibnu Sīnā adalah penulis kitab Qānūn fī al-Ṭibb, sebuah kitab yang

mengulas ilmu bedah yang lima abad kemudian menjadi buku teks di Perguruan
Tinggi di Eropa. Ibnu Sīnā mengadakan telaah pada berbagai bentuk energi: energi
panas, gerak cahaya, dan membahas konsep tentang gaya dan vakum. Dialah yang
membantah para ahli Mesir Kuno yang mengajarkan bahwa logam-logam biasa
dapat ditranmutasikan menjadi emas melalui proses kimiawi. Lihat Ahmad
Baiquni, al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman (Yogyakarta: Data Prima Yasa,
1997), 64.
13 Ibnu Haitham telah melakukan penelitian terhadap hukum-hukum

pantulan dan pembiasan cahaya mendahului Snel. Ia juga telah menulis buku
tentang hubungan antara kerapatan udara dan ketinggian di atmosfir. Ia pula yang
membantah ajaran Aristoteles tentang penglihatan: bukan cahaya yang keluar dari
mata, melainkan yang terpantul masuk ke dalam matalah yang membuat mata
dapat melihat benda sekitarnya. Dialah orang yang membahas gaya tarik antara
benda-benda, yang kini dikenal sebagai gravitasi, serta inersia atau kelembaban
benda. Lihat Ahmad Baiquni, al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, 66.
14 Nama lengkapnya adalah Waliyuddin ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad

ibn Muhammad ibn Abi Bakr Muhammad ibn al-Hasan ibn Khaldūn. Lahir di
Tunisia pada awal Ramadhan 732 H (27 Mei 1333 M) dan wafat 25 Ramadhan 808
H (19 Maret 1406M). Dia dikenal sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dalam
Islam. Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran,
1997),139-143.
15 Ibn Ḥayyān (731-815), yang terkenal dengan nama Jabir (orang Eropa

menyebutnya Geber), adalah filsuf dan ahli logika yang bekerja di bidang fisika dan
kedokteran, namun karya utamanya justru di bidang kimia. Ia mahir dalam
kristalisasi, sublimasi, destilasi, kalsinasi, dan sebagainya. Ia telah berhasil
membuat berbagai jenis asam. Ia juga seorang sufi, pengikut Ja’far ash-Shadiq.
Ahmad Baiquni, Al Qur’an…, 68.
16 Al-Khawārizmi (780-850M) yang namanya dikenal di Eropa sebagai

Algorism memperkenalkan bilangan-bilangan dalam ilmu hitung atau aritmetika.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 37


dan juga termasuk Maḥmūd al-Kasghari (abad 11),17 dan al-Asma’i
(828),18 membuktikan keutuhan ajaran Islam yang integral, yang
mengajarkan keseimbangan antara kehidupan dunia (ilmu umum)
dan kehidupan akhirat (agama).19
Islam memerintahkan kepada manusia untuk membaca
(iqra’)20ayat (sign) atau tanda-tanda kekuasaan Allah, baik berupa
ayat-ayat qawliyah maupun ayat-ayat kawniyah.21 Al-Qur’an

Bukunya Al-Jabr wa al-Muqābalah sangat terkenal di lingkungan Eropa dan diambil


judulnya untuk suatu cabang matematika. Ia juga ahli geografi dan ia pula yang
membuat tabel astronomis hingga kini “algarithm” diartikan sebagai urutan
langkah yang harus diambil dalam proses menghitung. Lihat Ahmad Baiquni, Al-
Qur’an..., 68. Baca Pula Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer; Wacana,
Aktualitas dan Aktor Sejarah, ed. Idris Thaha (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2002), 359-363.
17 al-Kasghari adalah ilmuwan Muslim yang ahli dalam bidang bahasa,

leksikagrafi, dan ilmu geografi. Dari keahliannya dia berhasil menyusun Kamus
Divan Lugat it Turk pada tahun 1074, serta peta negara Turki . Lihat Dyah Ratna
Mata Novia “al-Kasghari Cendekiawan Muslim Ahli dalam Bidang Bahasa,
Leksikagrafi, dan Geografi”, Republika, Jumat, 4 Desember 2009, 21.
18 Nama lengkapnya Abd al-Malik ibn Quraib al-Asma’i. Dia dikenal sebagai

sosok cendekiawan yang merintis kajian sains dan zoologi. Beberapa karyanya
yang terkenal adalah al-Khail, al-ibil, al-Wuḥus serta Khalk al-Insān dan al-Farq.
Kitab al-Farq tersebut telah diedit oleh D H Muller dan diterbitkan di Wina. Lihat
Dyah Ratna Mata Novia, “Abd al-Malik ibn Quraib al-Asma’i, Cendekiawan yang
Bersinar di Baghdad”, Republika, 2 Juni 2010, 28.
19 QS. Al-Qaṣaṣ [28]: 77, yang artinya: “Dan carilah pada apa yang telah

dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu


melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berbuat kerusakan.”
20 Wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad surat al-‘Alaq [96]: 1-5

berisi perintah yang begitu tegas, agar Nabi “membaca” dan diteruskan dengan
perintah belajar dengan “qalam”. Lihat Suparman Syukur, Epistemologi Islam
Skolastik: Pengaruhnya pada Pemikiran Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar - IAIN
Walisongo Press, 2007), 174.
21 Ayat qawliyah/ayat qura’niyah adalah ayat-ayat dalam al-Qur’an yang

secara verbal dan tersurat diwahyukan oleh Allah SWT. Sementara ayat kawniyyah
adalah ayat realitas yang bersentuhan dengan gejala alam dan jagat raya. Baca Abu
Yazid, Nalar Wahyu; Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syari‘at (Jakarta:

38 | Drs. Asnawi, MA
mendorong manusia agar melakukan perenungan dan penelitian
terhadap fenomena alam semesta, serta merenungi kebesaran dan
kemahakuasaan Penciptanya.22 Betapa banyak ayat yang
mengandung pertanyaan retorika dari Allah semacam afalā ta‘qilūn
(apakah engkau tidak berakal), atau afalā tatafakkarūn (apakah
engkau tidak berfikir).23 Selain al-Qur’an, hadits-hadits Nabi juga
sangat menekankan bahkan mewajibkan umatnya agar menuntut
ilmu.24 Ini merupakan dorongan yang sangat kuat bagi umat Islam
untuk mencari ilmu (belajar) sekalipun sampai ke negeri Cina. 25
Karena kewajiban, tentu harus dilaksanakan, dan berdosa hukumnya
jika tidak dikerjakan.26 Dan pencarian pengetahuan hanya
dibenarkan, atau sekurang-kurangnya sebagai langkah menuju

Erlangga, 2007), 6. Dalam pengembangan ilmu, al-Qur’an diposisikan sebagai


sumber ayat-ayat qawliyah, sedangkan hasil observasi, eksperimen, dan penalaran
logis diposisikan sebagai ayat-ayat kawniyah. Lihat Imam Suprayogo, Paradigma
Pengembangan Keilmuan Islam Perspektif UIN Malang (Malang, UIN Press, 2006),
30.
22 Lihat QS. Ali Imran (3): 190-191 dan QS. al-Nahl [16]: 11.
23 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, 12.
24 Nabi SAW menyatakan bahwa: “Mencari ilmu fardhu bagi setiap

Muslim.” Lihat Sulaim Ibn Ahmad al-Thabrany, al-Mu’jam al- Ausaṭ ( Kairo: Dār al-
Ḥaraimayn, 1415H), Juz 2, 29. Lihat pula Abdu al-Rauf al-Manāwy, Fayḍ al-Qadīr
(Mesir: al Maktabah al-Tijāriyah al-Kubra, 1356H), Juz 1, 543. Dalam hadis lain,
Nabi bersabda, “Tuntutlah ilmu sejak buaian hingga ke liang lahat.” Lihat Musthafa
Ibn ‘Abd Allāh al-Qastanṭiny al-Rūmy, Kashf al-ẓunūn (Bayrut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 1413H), Juz 1, 5.
25 Sabda Nabi: “Tuntutlah ilmu, sekalipun di negeri Cina”. Lihat Habib Ibn

Umar al-Azdy, Musnad al-Rabi’, (Bayrut: Dār al-Ḥikmah, 1415H), Juz, 29. Lihat pula
‘Amr Ibn ‘Abd al-Bazzār, Musnad al-Bazzār, (Beyrut: Muassasah ulūm al-Qur’an,
1409H), Juz 1, 75. Terhadap hadis ini, Kartanegara mengomentari bahwa hadis ini
sangat signifikan dilihat dari semangat pencarian ilmu, karena ia menunjukkan visi
Nabi/Islam yang luas dan progresif tentang ilmu. Betapa tidak, menuntut ilmu ke
negeri Cina pada masa Nabi, tidak mungkin menuntut ilmu agama Islam, karena
pada saat itu kita hampir yakin bahwa ilmu keislaman belum lagi berkembang.
Jadi, dari sudut bidang tentulah yang dimaksud oleh Nabi adalah bidang-bidang
keilmuan umum. Lihat Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam
(Jakarta: Bait al-Ihsan, 2006), 13.
26 Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi, 13.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 39


pencapaian keadilan dan kehidupan suci, sebagaimana diajarkan
oleh Nabi.27
Kemajuan dalam bidang sains pada saat itu membuktikan
penekanan Islam terhadap ilmu pengetahuan. Sebagaimana
dijelaskan Nasr, bahwa sejak abad kesatu Islam kaum Muslim
menjadi tertarik pada berbagai sains, khususnya mengenai obat-
obatan dan astronomi. Pada abad kedua, upaya penerjemahan telah
dimulai dari empat bahasa utama yang mewariskan sainsnya kepada
Islam. Empat bahasa tersebut adalah Yunani, Syiria, Iran, dan
Sansekerta. Pada abad ketiga Islam, khususnya dengan pemapanan
Bayt al-Ḥikmah28 oleh Khalifah al-Ma’mun, bahasa Arab telah
menjadi bahasa keilmuan. Banyak karya penting dalam bidang
matematika, fisika, astronomi, kedokteran, farmakologi, sejarah
alam, kimia, dan ilmu-ilmu lainnya telah disalin ke dalam bahasa
Arab.29
Kedua, periode pertengahan (1250-1800 M), yang merupakan
zaman kemunduran dunia Islam. Kemunduran dunia Islam pada saat
ini terjadi ketika kekuasaan keturunan Mongol berakhir pada tahun
1525. Ini diawali dengan kemajuan bidang politik tiga kerajaan
besar, yaitu Uthmāniyah, Ṣafawiyah, dan Mughal India. Sesudah itu
seluruh dunia Islam mundur berangsur-angsur sampai akhirnya

27 Howard R. Turner, Science in Medieval Islam, An Illustrated Introduction

Terj. Zulfahmi Andri (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2004), 174.


28 Perpustakan ini banyak mengoleksi buku hingga mencapai 400.000

buku. Di dalamnya banyak sarjana dari berbagai budaya, etnik, bangsa, dan agama.
Baca Amin Abdullah, Progressivity of Classical Islam and The Project of Iḥyā’ al-
Turāth, A draf of paper presented in the International Confrence on Debating
Progressive Islam: A Global Perspective School UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Under Auspice IAIN Indonesia Sosial Equity Project (IISEP) July, 25-27, 2009, 2.
29 Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan untuk Kaum

Muda Muslim (Bandung: Mizan, 1994), 94.

40 | Drs. Asnawi, MA
jatuh di bawah kekuasaan Barat.30 Ada beberapa faktor yang menjadi
pemicu mundurnya dunia Islam. Pertama, adanya persaingan tidak
sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam daulah
Abbasiyah, terutama Arab, Persia, dan Turki. Kedua, adanya konflik
aliran pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya
konflik berdarah. Ketiga, munculnya dinasti-dinasti kecil yang
memerdekakan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad. Keempat,
kemerosotan ekonomi akibat kemunduran politik. Kelima, Perang
Salib yang terjadi beberapa gelombang. Keenam, hadirnya tentara
Mongol di bawah pimpinan Hulagusrifah Khan. 31
Musyrifah Sunanto menandai kemunduran dunia Islam pada
saat itu dengan tiga hal. Pertama, tertutupnya pintu ijtihad. Kedua,
putusnya hubungan antara umat Islam. Ketiga, pada zaman itu
berkembang tradisi memberikan syaraḥ dan ikhtisar.32
Keadaan di atas, sebagaimana dinyatakan Baiquni, menjadi
salah satu pemicu munculnya dikotomi ilmu pengetahuan.33
Sementara itu di Eropa, pada abad pertengahan, timbul konflik
antara ilmu pengetahuan (sains) dan agama (gereja). Dalam konflik
ini sains keluar sebagai pemenang, dan sejak itu sains melepaskan
diri dari kontrol dan pengaruh agama serta membangun wilayahnya
sendiri secara otonom.34
Ketiga, periode kebangkitan Islam (1800 M s.d. sekarang).
Kondisi dunia Islam pada periode pertengahan di atas melahirkan

30 Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Kencana Prenada

Group, 2007), 237.


31 Hasan Muarif Ambary, Ensiklopedi Islam I, 9-10.
32 Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, 238-239.
33 Ahmad Baiquni, Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi (Jakarta:

Dana Bhakti Wakaf, 1995), 120.


34 Hasan Hanafi, Islam in the Modern World: Religion, Ideology, and

Development (Kairo: The Englo-Egyptian Bookshop, 1995), 373-377.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 41


berbagai persoalan yang menimpa dunia Islam. 35 Salah satunya
disebabkan adanya paradigma dikotomi terhadap keilmuan. Padahal
Islam tidak mengenal adanya dikotomi ilmu, tidak ada pemisahan
antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.36 Memisahkan antara
keduanya adalah pandangan sekuler.37 Kenyataan menunjukkan
bahwa tradisi keilmuan Islam yang berkembang hingga masa
modern lebih didominasi oleh tradisi al-‘ulūm al-sharī‘ah. Tradisi
keilmuan Islam yang terbatas pada kajian teks dalam bidang bahasa,
ḥadits, dan fiqh, menurut ‘Abd al-Ḥāmid Abū Sulaimān tidak mampu
mengatasi problem ilmu pengetahuan modern. Sementara tradisi
Barat menganggap bahwa wahyu sepenuhnya sebagai bidang
metafisik, dan karena itu dianggap sebagai pengetahuan yang berada
di luar jangkauan kebenaran rasional.38
Menurut Mulyadhi, persoalan dikotomi ini muncul sejak
diperkenalkannya ilmu-ilmu sekuler positivistik ke dunia Islam
lewat imperialisme Barat. Ilmu-ilmu agama sebagaimana
dipertahankan di lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional
35 Dalam hal ini, al-Attas menekankan bahwa penyebab utama terjadinya
problematika saat ini bukanlah sekadar masalah buta huruf, melainkan lebih
mendasar lagi adalah masalah epistemologi dan matafisika. Kebenaran al-Qur’an,
baik berbentuk gambaran fenomena alam maupun lainnya, tidak perlu dijustifikasi
atau dibuktikan dengan fakta-fakta ciptaan manusia. Lihat Wan Mohd Nor Wan
Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquid al-Attas (Bandung:
Mizan, 1424/2003), 391.
36 Hal ini didukung oleh Ibnu Hazm, yang mengatakan bahwa dalam

sejarah keilmuan Islam dari abad VII sampai abad XI, tidak mengenal dikotomi
antara pendidikan ilmu agama dan sains. Lihat Abdurrahman Mas’ud, Menggagas
Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius sebagai Paradigma
Pendidikan Islam (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 7. Lihat pula Harapandi,
“Mencari Relevansi: Gagasan Pendidikan Nondikotomik”, Penamas, Vol. xxi No. 2.
2008, 196. Lihat pula QS. Al-Qaṣaṣ: 77.
37 Masduki, “Menuju Sistem Pendidikan Integrasi Melalui Dekonstruksi

Dikotomi”, al-Fikra, Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No.1. Januari-Juni 2006, 25.
38 Husni Rahim, “UIN dan Tantangan Meretas Dikotomi Keilmuan”, dalam

M. Zaenal ed. Horizon Baru; Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Aditya


Media-UIN Press, 2004), 54.

42 | Drs. Asnawi, MA
(pesantren) di satu pihak, dan ilmu-ilmu sekuler sebagaimana
diajarkan di sekolah-sekolah yang disponsori oleh pemerintah.
Kondisi dikotomi ini, lebih dipertajam lagi dengan munculnya
pengingkaran validitas dan status ilmiah yang satu atas yang lain.
Kaum tradisional menganggap bahwa ilmu-ilmu umum itu bid‘ah
atau haram dipelajari karena berasal dari orang-orang kafir,
sementara para pendukung ilmu-ilmu umum menganggap bahwa
ilmu-ilmu agama sebagai pseudo-ilmiah atau hanya mitologi yang
tidak akan mencapai tingkat ilmiah, karena tidak berbicara tentang
fakta, tetapi tentang makna yang tidak bersifat empiris.39
Selain itu, pandangan dikotomis ini juga menimbulkan
ketimpangan pengetahuan dalam diri muslim (split personality),40
ketika ilmu agamanya bagus justru ia tidak mengerti tentang ilmu
umum. Demikian juga sarjana-sarjana dari ilmu umum, mereka
menjadi “orang awam” ketika bersentuhan dengan ilmu syar‘iyah.41
Oleh karena itu perlu disadari bahwa dalam mempelajari fenomena-
fenomena alam, yang menjadi objek kajian ilmu-ilmu umum, dapat
dengan mudah dijumpai adanya nilai-nilai agama yang dapat
mengantarkan manusia untuk mengakui dan menyakini akan
kebesaran serta kemahakuasaan Penciptanya. 42 Maka tepatlah apa
yang dikatakan Ibnu Rusyd bahwa syariat mewajibkan pengkajian

39 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik,


(Bandung: Arasy Mizan-UIN Jakarta Press, 2005), 20.
40 Terbentuknya split personality ini secara tidak langsung disebabkan

karena sistem pendidikan yang masih dikotomis. Baca Amin Abdullah, Islamic
Studies dalam Paradigma Integrasi-Intekoneksi (sebuah Antologi) (Yogakarta SUKA
Press, 2007), 9.
41 Alzrie, “Dikotomi Ilmu Navigasi dari Sekularisme” diakses ulang 19 Juni

2010 dari http/zrie,multiply.com/reviews/item.


42 QS. al-Hasyr [59]: 2, “Renungkanlah olehmu wahai orang-orang yang

punya pandangan.” Menurut Ibnu Rusyd, ayat ini sebagai sandaran tekstual yang
jelas tentang kewajiban kita menggunakan penalaran akal, atau gabungan
intelektual dan penalaran hukum. Lihat Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan:
Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 143.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 43


totalitas wujud secara rasional (menggunakan penalaran akal) dan
perenungan (i‘tibār) atas ciptaan Tuhan.43
Realitas seperti di atas seharusnya segera diakhiri dan ilmu
pengetahuan yang terpisah itu harus disatukan lagi. Konferensi
pertama dunia tentang pendidikan Muslim yang diselenggarakan di
Mekah pada tangun 1977 merupakan titik awal kebangkitan
intelektual Muslim. Salah satu agenda yang direkomendasikan dalam
konferensi tersebut adalah Islamisasi Ilmu Pengetahuan oleh al-
Fārūqī.44

B. Paradigma Keilmuan
1. Paradigma Islam
Paradigma45 Islam menurut Izzudin Taufiq adalah cara
pandang yang menjadikan ilmu yang bersumber dari wahyu Ilahi (al-
Qur’an) sejajar dengan ilmu yang bersumber dari pemikiran manusia
hingga bisa dilakukan inovasi dan rekonstruksi.46 Sementara
Kuntowijoyo melihat bahwa paradigma Islam adalah menjadikan al-
Qur’an sebagai cara pandang umat Islam dalam melihat realitas.
Menurutnya, al-Qur’an sebagai paradigma Islam, berarti suatu
konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami
realitas sebagaimana al-Qur’an memahaminya. Melalui konstruksi

43 Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan, 144.


44 Akbar S. Ahmed, Posmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam
(Bandung: Mizan, 1994), 49.
45 Paradigma berasal dari bahasa Yunani yang artinya contoh. Dalam

perkembangan ilmu pengetahuan merupakan contoh atau pertanyaan yang terus


menerus mendasari penyelidikan untuk beberapa lama sebelum dapat terjawab,
dan sepanjang penyelidikan menyebabkan hasil sebagai sambilan. Lihat Hasan
Sadily, Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve dan Elsevier
Publishing Project), 2552.
46 Muhammad Izzudiin Taufiq, Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi

Islam (Jakarta: Gema Insani, 2006),224.

44 | Drs. Asnawi, MA
pengetahuan tersebut dapat diperoleh “ḥikmah” yang menjadi dasar
pembentukan perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif al-
Qur’an, baik pada level moral maupun sosial. 47 Konstruksi
pengetahuan tersebut juga memungkinkan dijadikan sebagai dasar
untuk merumuskan desain besar mengenai sistem Islam, termasuk
di dalamnya sistem ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma
al-Qur’an di samping memberikan gambaran aksiologis juga
memberikan wawasan epistemologis.48
Dari pengertian di atas, sebagaimana dikemukakan para ahli,
dapat dipahami bahwa pada dasarnya paradigma mempunyai arti
cara pandang yang berkaitan dengan aspek ontologi, epistemologi,
dan aksiologi.49 Dengan kata lain paradigma keilmuan ini terkait
dengan persoalan apa yang ingin diketahui, cara seseorang
memperoleh pengetahuan, dan kegunaan nilai pengetahuan tersebut
bagi manusia.

47 Al-Qur’an sebagai petunjuk (hidāyah), bimbingan (irshād), dan undang-


undang ketuhanan dan keagamaan bagi manusia menuju jalan yang benar. Ayat-
ayatnya dibagi menjadi dua. Pertama, ayat-ayat yang berkaitan dengan sistem
penciptaan makhluk dan alam semesta (ayat kawniyah). Kedua, ayat-ayat yang
berkaitan dengan sejarah, seperti yang terjadi pada Nabi Musa. Kedua macam ayat
tersebut mengajak manusia: 1) untuk beriman kepada Allah. Dialah yang
menciptakan segala sesuatu dengan kekuasaan dan iradah-Nya; 2) bahwa Allah
mengetahui segala realita baik yang ghaib maupun yang tampak; 3) bahwa Allah
menciptakan segala sesuatu dengan sistem dan keseimbangan yang sebelumnya
tiada sistem dan keseimbangan. Baca Abd al-Rahman al-Nahlawi, Al-Tarbiyah bi al-
Āyah (Bayrut: Dār al-Fikr al-Ma‘asir, 1409/1989), 197-198.
48 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, AE Priyono ed.

(Bandung: Mizan, 1998, Cet VIII), 327.


49 Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat (esensi) ilmu

yang berada di balik ilmu. Epistemologi adalah ilmu yang menjelaskan tentang
masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu. Sedangkan aksiologi adalah
ilmu yang menerangkan kegunaan dan nilai ilmu bagi hidup dan kehidupan
manusia. Lihat A.M. Saefuddin et.al. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi
(Bandung: Mizan, 1998), 31.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 45


Ilmu, sebagaimana dinyatakan Jujun Suriasumantri, adalah
pengetahuan yang diperolah dengan menerapkan metode
keilmuan.50 Menurutnya, ilmu merupakan sebagian dari
pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu. Oleh karena itu, ilmu
dapat juga disebut dengan pengetahuan keilmuan. Dari sinilah ia
membedakan antara pengertian ilmu (science) dan pengetahuan
(knowledge).51 Sementara Shaukat Ali tidak membedakan antara
science dan knowledge. Menurutnya, istilah ilmu (knowledge) mula-
mula digunakan secara umum di kalangan cendekiawan, filsuf, dan
saintis yang dimungkinkan manusia dapat menyelidiki misteri alam
dan memahami makna yang sebenarnya dari wahyu. 52
A. M. Saefuddin membagi pengetahuan menjadi tiga kategori,
yaitu: pengetahuan indrawi (knowledge), pengetahuan keilmuan
(science), dan pengetahuan falsafi.53 Sementara Kunto Wibisono
membaginya menjadi dua, yaitu pengetahuan ilmiah dan
peengetahuan non-ilmiah.54 Sedangkan menurut al-Ghazali,55

50 Ichlasul Amal memberikan ta’rīf pengetahuan sebagai suatu bentuk


upaya manusia untuk memperoleh kebenaran dengan memanfaatkan akal (rasio)
maupun pengalaman indrawi. Menurutnya, agar pencarian kebenaran tetap di atas
rel ajaran Islam, maka perlu ditemukan paradigma epistemologi Islam. Lihat
Ichlasul Amal, “Pengembangan Pendidikan Agama Islam dan Kajian Agama di
Perguruan Tinggi” dalam Fuadudiin-Cik Hasan Basri, Dinamika Pemikiran Islam di
Perguruan Tinggi (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 1999), 62-63.
51 Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, 9.
52 Shaukat Ali, Intelectual Foundation of Muslim Civilization (Lahore:

Publishers United), 9.
53 Pengetahan indrawi (knowledge) meliputi semua fenomena yang dapat

dijangkau secara langsung oleh pancaindra. Pengetahuan keilmuan (science).


meliputi semua fenomena yang dapat diteliti dengan riset atau eksperimen,
sehingga apa yang berada di balik knowledge bisa terjangkau. Pengetahuan falsafi
meliputi segala fenomena yang tak dapat diteliti, tapi dapat dipikirkan. Lihat A.M.
Saefuddin et. al. Desekularisasi, 30.
54 Pengetahuan nonilmiah ini diperoleh tanpa berdasarkan teori, misalnya

gedung UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terletak di jalan Juanda. Pengetahuan


prailmiah adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman sendiri atau
pengalaman orang lain, seperti air akan mendidih bila mencapai panas 100 derajat

46 | Drs. Asnawi, MA
pengetahuan itu ada tiga tingkatan, yaitu pengetahuan orang awam,
pengetahuan kaum intelektual, dan pengetahuan kaum sufi.56
Terkait dengan hierarki keilmuan, Osman Bakar menjelaskan
setidaknya ada tiga klasifikasi keilmuan yang telah disusun oleh para
ilmuwan. Mereka adalah Al-Farābi,57 Al-Ghazāli,58 Qutb al-Din al-
Shirāzi,59 dan Ibnu Khaldūn.60

celsius. Sedangkan pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh


dengan cara metode ilmiah. Selain itu sebetulnya masih ada pengetahuan lain,
yakni pengetahuan kewahyuan dan pengetahuan suprailmiah. Lihat Haidar Putra
Daulay, Pendidikan Islam dalam Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Prenada
Media Group, 2004), 180.
55 Al-Ghazali mendapat gelar Ḥujjah al-Islām dikarenakan ia mampu

menghafal tiga ratus ribu hadits. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2002), 518.
56 Sebagai gambaran, ketiga tingkatan pengetahuan ini ada sebuah contoh.

Umpama suatu ketika ada berita/informasi bahwa “di rumah itu ada orang”.
Terhadap pengetahuan/berita tersebut orang awam tanpa menyelidiki
kebenarannya langsung percaya saja. Berbeda dengan kaum intelelektual, mereka
akan menyelidiki kebenaran berita tersebut dengan mengadakan analisis data-
data yang ada, apakah benar ada orang di rumah itu. Setelah meneliti adanya
sandal, suara percakapan, dan lain-lain, mereka mengambil keputusan bahwa
memang benar ada orang di dalam rumah tersebut. Kaum sufi tidak menerima
berita itu saja dan tidak pula meneliti data-data yang membenarkan berita
tersebut, tetapi langsung membuka pintu rumah sehingga mereka mampu melihat
orang di dalamnya. Ma‘rifah dalam pandangan al-Ghazali adalah seperti
pengetahuan yang ketiga. Baca Amsal Bahtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Wacana
Ilmu dan Pemikiran, 1999), 51. Menurutnya, pengetahuan yang ketiga lebih
membawa kepada keyakinan dan kepuasaan ketimbang pengetahuan yang
pertama dan kedua. T.J.De Boer, Tārikh al-Falsafah fī al-Islām (Kairo: Lajnah al-
Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, TTP), 227. Pengetahuan yang paling benar
adalah pengetahuan intuisi atau ma’rifah yang disinarkan langsung oleh Allah
kepada seseorang. Pengetahuan mistiklah yang membuat dia yakin dan merasa
tenang setelah dia dilanda keraguan yang hebat. Baca al-Ghazali, Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn,
Juz III, Dār Iḥyā’ al-Kutub al-‘Arabiyah, TTP), 15. Baca pula al-Ghazali, al-Munqiẓ
min al-ḍalāl (Kairo: Dār al-Kutub al-Ḥadīthah, 1974), 132.
57 al-Farabi (870-950) mengklasifikasikan ilmu ke dalam enam macam:

Ilmu bahasa (‘ilm al-lisān), 2) Logika (‘ilm al-manthiq), 3) Ilmu-ilmu matematis


atau propaedetik (‘ulūm al-ta‘ālim), 4) Fisika atau ilmu kealaman (al-‘ilm al-Ṭabī‘ī),
5) Metafisika (al-‘ilm al-ilāhī), dan 6) ilmu politik (al-‘ilm al-madānī), yurisprudensi

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 47


Klasifikasi ilmu yang dilakukan oleh para ilmuwan di atas
terkesan memunculkan dikotomisasi ilmu. Namun, sebagaimana
dikatakan Nasr, bahwa berbagai cabang ilmu atau bentuk-bentuk
pengetahuan dipandang dari persepektif Islam pada akhirnya adalah
satu. Menurutnya, Islam tidak mengenal pemisahan esensial antara
“ilmu agama” dan “ilmu profan”. Berbagai ilmu dan perspektif

(‘ilm al-fiqh) dan teologi dialektis (‘ilm al-kalām). Al-Farabi, Ihsa al-‘ulūm, h. 45-
103, lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu, 145-148.
58 al-Ghazali (1058-1111) membagi ilmu ke dalam empat sistem klasifikasi

ilmu. Pertama, ilmu-ilmu teoretis dan praktis. Kedua, ilmu-ilmu pengetahuan yang
dihadirkan (ḥuḍūrī) dan pengetahuan yang dicapai (ḥuṣīlī). Ketiga, Ilmu-ilmu
religius (shar‘īyah) dan intelektual (‘aqliyah). Keempat, ilmu-ilmu farḍu ‘ayn (wajib
atas individu) dan farḍu kifāyah (wajib atas umat). Lihat Osman Bakar, Hierarki
Ilmu, 231.
59 Quthb al-Dīn dalam Durrah al-tāj membagi ilmu menjadi dua bagian

besar. Pertama, al-‘ulūm ḥikmī (ilmu-ilmu filosofis) yang dibagi menjadi dua, yaitu
‘ilmu naẓarī dan ‘ilmu ‘amalī. ‘Ilmu naẓarī adalah ilmu teoretis. Termasuk dalam
kategori ini adalah metafisika, metematika, filsafat alam dan logika. Sementara
‘ilmu ‘amalī adalah ilmu yang bersifat praktis. Termasuk dalam kategori ini adalah
etika, ekonomi, dan politik. Kedua, al-‘ulūm ghayr ḥikmī (ilmu-ilmu non filosofis)
yang dibagi menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu religius (al-‘ulūm al-dīni) dan ilmu-ilmu
non religius (al-‘ulūm ghayr dīni). Al-‘ulūm al-dīni didasarkan atas atau termasuk
dalam ajaran syari’ah (hukum wahyu). Ilmu-ilmu religius ini dirinci menjadi dua,
yaitu ilmu naqlī (berdasarkan wahyu) dan ilmu aqlī (ilmu-ilmu intelektual), dan
ilmu-ilmu tentang pokok-pokok agama (uṣūl al-dīn) dan ilmu cabang (furū’).
Sementara al-‘ulūm ghayr dīni tidak didasarkan atau tidak termasuk ke dalam
ajaran syari’at. Lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu, 279.
60 Ibnu Khaldun, dalam al-Muqaddimah, membagi ilmu ke dalam dua

kategori besar. Pertama, ilmu-ilmu naqliyah (transitted science) yang teridiri dari:
1) tafsir al-Qur’an dan hadis, 2) Ilmu fiqh yang meliputi fiqh, farā’id, dan uṣūl fiqh,
3) Ilmu kalam, 4) tafsir ayat-ayat Mutasyabihat, 5) Tasawuf, dan 6) Ta’bir mimpi
(Ta‘bīr al-Ru’yah). Kedua, ilmu-ilmu ‘aqliyah (rational science) yang meliputi: 1)
ilmu logika, yang terdiri dari (a) Burhān (Demonstrasi), (b) Jadal (Dialektika,
Topika), (c) Khiṭābah (Retorika); 2) Fisika, yang terdiri dari: (a) Minerologi, (b)
Botani, (c) Zoologi, (d) Kedokteran, dan (e) Ilmu Pertanian; 3) Matematika, terdiri
dari: (a) Aritmetika kalkulus dan aritmetika Aljabar, (b) Geometri yang terdiri dari
Figur Sferik, Kerucut, Mekanika, Surveying dan Optik, (c) Astronomi; dan 4)
Metafisika yang meliputi: (a) Ontologi, (b) Teologi, (c) Kosmologi, dan (d)
Eskatologi. Lihat Ibnu Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History
(Princenton: Princenton University Press, 1981), 343-391. Lihat pula Mulyadhi,
Reaktualisasi Tradisi, 65-66.

48 | Drs. Asnawi, MA
intelektual yang dikembangkan dalam Islam memang mempunyai
hierarki. Tetapi hierarki ini pada akhirnya bermuara pada
pengetahuan tentang “Yang Maha Tunggal”, substansi dari segenap
ilmu.61
Pendapat Hossein Nasr paralel dengan pendapat Azyumardi
Azra yang menyatakan bahwa para ilmuwan Muslim pada masa-
masa awal membagi ilmu-ilmu itu pada intinya kepada dua bagian
yang tidak terpisahkan, bagaikan dua sisi dari satu mata uang.
Pertama, adalah al-‘ulūm al-naqliyah, yakni ilmu-ilmu yang
disampaikan Tuhan melalui wahyu, tetapi tetap melibatkan
penggunaan akal. Kedua adalah al-‘ulūm al-‘aqliyah, yakni ilmu-ilmu
intelek yang hampir sepenuhnya diperoleh melalui penggunaan akal
dan pengalaman empiris. Kedua bentuk ilmu ini secara bersama-
sama disebut al-‘ulūm al-ḥuṣūliyah, yaitu ilmu-ilmu perolehan. Istilah
terakhir ini digunakan untuk membedakan dengan “ilmu-ilmu”
(ma‘rifah) yang diperoleh melalui ilham (kashf).62 Selain itu,
klasifikasi ilmu ini juga memperlihatkan adanya dua saluran utama
lewat mana ilmu pengetahuan itu diperoleh. 63
Terkait dengan persoalan apakah ilmu itu bebas nilai atau
tidak, para ilmuwan berbeda pendapat. Muhammad Arkoun, Aziz al-

61 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrates Study (London:


World of Islam Festifal Publising company Ltd.1976), 13-14.
62 Azyumardi Azra (pengantar) dalam Charles Michael Stanton, Pendidikan

Tinggi, xi. Terkait dengan makna Kashf (melihat dengan hati atau ilhām) dan
ma‘rifah, secara harfiah artinya sama, yaitu pengetahuan. Ibnu Manzur dalam Lisān
al-‘Arab mengartikannya sebagai ilmu (al-‘ilm). Lihat Abdul Aziz Dahlan et. al. ed.
Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1996), 245.
63 Seyyed Hossein Nasr dalam Mulyadhi menyatakan bahwa orang Islam

melihat dua saluran utama terbuka di depan manusia untuk memperoleh


pengetahuan formal, yaitu: 1) jalan dari kebenaran yang diwahyukan yang setelah
diwahyukan disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam bentuk
al-‘ulūm al-naqliyah, dan 2) pengetahuan yang diperoleh lewat akal (al-‘ulūm al-
‘aqliyah). Lihat Mulyadhi Kartanegra, Tradisi Reaktualisasi, 64.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 49


Ahmed, Fazlur Rahman, dan Harun Nasution mengatakan bahwa
ilmu itu bebas nilai dan baku, kecuali penggunaannya dalam tahap
rekayasa.64 Pendapat ini senada dengan Nurcholish Madjid yang
mengatakan bahwa ilmu pengetahuan, baik yang alamiah maupun
yang sosial, adalah bersifat netral, yakni tidak mengandung nilai
kebaikan atau kejahatan pada dirinya. 65 Sementara Mastuhu (1999),
Nasr (1994), al-Attas (1998),66 dan Mulyadhi (2010),67 bersepakat
menyatakan bahwa ilmu tidak bebas nilai. Bahkan, Mastuhu
mengatakan bahwa ilmu itu tidak bebas nilai, tetapi bebas dinilai
atau dikritik.68
Pendapat tersebut paralel dengan pendapat Ghulsyani bahwa
ilmu itu sarat nilai, terutama pada asumsi-asumsi dasarnya. Untuk
itu, dia menawarkan Sains Islam sebagai sains yang berlandaskan
nilai-nilai universal Islam.69 Sedangkan menurut Nasr, Sains Islam

64 Hajam, “Rekonstruksi untuk Epistemologi Pendidikan Integralistik”,

Lektur, Vol. 13.No. 2 Desember 2007, 281.


65 Nurcholish Madjid, Masalah Teknologi dan Kemungkinan Pertimbangan

Keimanan Islam dalam Ikutserta Mengatasi Ekses Negatif Penggunaannya,


Makalah KKA Paramadina No. 31/Thn/1989, 6. Lihat Pula Dedi Djamaluddin Malik
at al, Zaman Baru Islam Indonesia Pemikiran dan Aksi Politik (Bandung: Zaman
Wacana Muda, 1998), 186.
66 al-Attas mengatakan karena tidak ada ilmu yang bebas nilai, maka kita

harus meneliti dan mengkaji dengan cerdas nilai dan penilaian yang melekat pada
pelbagai asumsi dan interpretasi ilmu modern. Lihat Wan Mohd Nor wan Daud,
The Educational Philoshopy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An
Exposition of The Original Concep of Islamization (Kuala Lumpur: International
Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 377.
67 Menurut Mulyadhi Kartanegara, batu saja bisa diislamkan, apalagi ilmu.

Ilmu itu tidak bebas nilai. Wawancara Pribadi dengan Mulyadhi Kartanegara,
(Pondok Petir: 1 April 2010).
68 Mastuhu, Memberdayaan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos

Wacana Ilmu dan Pemikiran, 1999,10.


69 Sains Islam dapat terwujud menurut Ghulsyani dengan cara

memberikan kerangka metafisis yang Islami atas sains yang berkembang dewasa
ini. Menurutnya, sains adalah aktivitas yang tidak bebas nilai, dan nilai-nilai Islam
mempunyai hak yang sama untuk melibatkan diri sebagaimana halnya nilai-nilai

50 | Drs. Asnawi, MA
adalah sains yang dikembangkan oleh kaum Muslim sejak abad
kedua Islam.70 Pendapat ini dikuatkan oleh Turner, yang menyatakan
bahwa sebagian besar penelitian yang dilakukan kaum Muslimin
memberi manfaat langsung terhadap farmakologi dan farmasi yang
berkembang di seluruh dunia Islam dalam skala yang tak terduga. 71
Berbeda dengan pendapat Ghulsyani dan Nasr di atas,
Hoodbhoy dengan tegas mengatakan tidak ada Sains Islam tentang
dunia fisik. Dan usaha untuk menciptakan Sains Islam merupakan
pekerjaan yang sia-sia. Untuk mendukung pendapatnya, dia
mengemukakan tiga alasan. Pertama, semua usaha yang pernah
dilakukan untuk menciptakan sains Islam telah gagal. Kedua,
menjelaskan sekumpulan prinsip-prinsip moral dan teologi
betapapun tingginya tidak dapat memungkinkan seseorang
menciptakan sains baru dan permulaan. Ketiga, belum pernah ada,
dan sampai kini belum ada definisi sains Islam yang dapat diterima
semua kaum Muslim.72
Menurut Bakar, dalam epistemologi Islam, Allah SWT adalah
sebagai sumber kebenaran dan pengetahuan. Sebagai sumber
kebenaran dan pengetahuan, Allah SWT memberikan ilmu-Nya
melalui dua jalan, yaitu melalui firman-Nya (words of Allah) dan

ateis. Perlibatan nilai-nilai Islam itulah yang menghasilkan sains Islam. Lihat Hasan
Basri, Konsep Ilmu,14.
70 Selama kurang lebih tujuh ratus tahun, sejak abad kedua Islam hingga

kesembilan, peradaban Islam mungkin merupakan peradaban yang paling


produktif dibandingkan dengan peradaban mana pun di wilayah sains, dan sains
Islam berada di garda paling depan dengan berbagai kegiatan keilmuan mulai dari
kedokteran sampai astronomi. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia
Modern, Bimbingan Untuk Kaum Muda Muslim (Bandung: Mizan, 1994), 93.
71 Howard Turner, Science in Medieval Islam, An Illustrated Introduction,

(Austin: University of Texas Press, 1997, terj. Zulfahmi Andri (Bandung: Yayasan
Nuansa Cendekia, 2004), 176.
72 Pervez Hoodbhoy, Islam and Science; Religious Ortodoxy and The Battle

for Rationality (London and New Jersy, Zed Books Ltd, 1991), 77-80.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 51


melalui alam semesta ciptaan-Nya (work of Allah). Dari jalan pertama
lahirlah agama dan ilmu ilahi (teologi), sedangkan dari jalan kedua
lahirlah ilmu pengetahuan.73 Dengan demikian epistemologi Islam
mengakui adanya peranan wahyu dalam memperoleh pengetahuan
di samping indra dan akal.74 Wahyu memegang peranan penting
ketika indra dan akal manusia tidak mungkin lagi untuk
menjangkaunya, dan pengetahuan wahyu atau ilham ini diperoleh
langsung dari Allah SWT.
Pendapat di atas kompatibel dengan rekomendasi Konferensi
Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam tahun 1977, yang membagi
ilmu ke dalam dua macam, yaitu ilmu abadi (perennial knowledge
atau ‘ilmu ḥuḍurī) dan ilmu yang dicari atau dipelajari (acquired
knowledge atau ‘ilmu ḥuṣulī), selama tidak bertentangan dengan
sharī‘ah sebagai sumber nilai.75 Kompatibel juga dengan pendapat
Merry yang membagi ilmu menjadi dua macam, yakni ilmu yang
dicari (acquired knowledge/taḥṣīlī) dan ilmu perolehan yang
merupakan given dari Allah SWT (revealed knowledge/waḥyu).76
Namun, al-Attas77 membagi ilmu ke dalam tiga macam, yaitu ilmu

73 Osman Bakar, Tauhid dan Sains (Bandung : Pustaka Hidayah, 1994), 14-
21.
74 Hal ini sebagaimana diakui oleh Omar Mohammad al-Toumy al-
Syaibany, adanya lima sumber pokok ilmu pengetahuan, yaitu indra, akal, institusi,
ilham, dan wahyu Ilahi. Menurutnya, Islam mengakui semua sumber ini dan
menghargai pentingnya sumber itu sesuai dengan bidang pengetahuannya. Lihat
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam ( Jakarta:
Bulan Bintang, 1979, 274.
75 Hasan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam (Jakarta: Al Husna Zikra,

2000), 396. Lihat Pula Ali Ashraf, Horison Pendidikan Islam (TTP: Pustaka Firdaus,
1996), 25.
76 Michael S. Merry, Culture, Identity, and Islamic Schooling (USA: Palgrave

Macmillan, 2007), 54.


77 Pendapat Louay Safi sama dengan al-Attas, namun dengan membuat

urutan yang berbeda, yaitu: ḥaqq al-yaqīn, ‘ilm al-yaqīn, dan ‘ayn al-yaqīn. Lihat
Louay Safi, The Foundation of Knowledge; A Comparative Study in Islamic and

52 | Drs. Asnawi, MA
tertentu (‘ilmu al-yaqīn/knowledge by inference), penglihatan
tertentu (‘ayn al-yaqīn/knowledge by perception), dan kebenaran
tertentu (ḥaqq al-yaqīn/knowledge by personal experience of
intuition).78 Karena itulah, antara agama dan sains tidak mungkin
terjadi pertentangan hakiki, karena keduanya berasal dari sumber
yang sama, yaitu Allah SWT. Keduanya harus diambil sebagai
anugerah Tuhan untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan
akhirat.79
Lain halnya dalam epistemologi sekuler, objektivitas yang
dijunjung tinggi dalam metode sains modern hanya dipandang
sebagai suatu nilai ilmiah. Sedang dalam Islam, objektivitas yang
antara lain berarti kejujuran dan sikap tidak memihak kecuali
kepada kebenaran, tidak hanya dipandang sebagai tuntutan ilmiah,

Western Methods of Inquiry (Malaysia: International Islamic University Malaysia


and International Institute of Islamic Thought [IIIT], 1996), 17.
78 Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic

Education (Jeddah: Hodder and Stoughton, 1979), 94-95. Dalam buku yang lain al-
Attas mengatakan bahwa ilmu pengetahuan sebagaimana dipahami oleh umat
Islam ada dua macam, yaitu: ilmu pemberian Tuhan (given by God to man) dan
ilmu yang merupakan hasil perolehan manusia baik melalui pengalaman maupun
observasi (acquary based upon experience and observation). Baca Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Islam The Concept of religion and The Foundation of Etich and
Moarality (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan
Malaysia, 1992), 28-19. Lihat pula Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena
to The Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic
Thought and Civilization [ISTAC], 2001), 68. Pembagian al-Attas tersebut sesuai
dengan pendapat Ibn Athaillah al-Sakandary dalam Nasr, menggunakan terminolgi
yang berbeda yang menunjukkan tingkatan fundamental ilmu yang meliputi
Syu‘ā‘ul baṣīrah sesuai dengan ‘ilm al-yaqīn; dan ‘ayn al-baṣīrah sesuai dengan ‘ayn
al-yaqīn; dan ḥaqq al-baṣīrah sesuai dengan ḥaqq al-yaqīn. Lihat Seyyed Hossein
Nasr, Islam and The Pligh of Modern Man (New York: Longman, 1975), 65.
79 Islam adalah agama yang dijadikan sebagai pandangan hidup total (total

way of life) manusia, tidak memisahkan antara kehidupan yang bersifat duniawi
dan yang bersifat ukhrawi. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Islam; Religion, History and
Civilization (Sanfransisco: A Division of Happer Collin Publisher, 2002), 26-27.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 53


tetapi juga tuntutan agama. Ini berarti, dalam objektivitas
terkandung nilai ilmiah dan nilai agama sekaligus. 80
Terkait dengan pembahasan aksiologi, ilmu dalam Islam
dipandang sebagai syarat untuk dapat memperoleh kebahagian baik
di dunia maupun di akhirat. 81 Kejayaan dunia Islam di masa lalu,
sebagaimana dikemukakan di atas, lantaran faktor ilmu. 82 Ilmu pada
saat itu benar-benar dipelajari dan dikembangkan untuk
kemaslahatan manusia, bukan untuk menghancurkan manusia. 83
Ilmu itu berasal dari Tuhan dan harus digunakan dalam semangat
mengabdi kepada-Nya.84 Pendapat tersebut paralel dengan Ikhwān
al-Ṣafā yang tidak membagi ilmu kepada ilmu teori dan praktik,
tetapi semua ilmu itu adalah ilmu ‘amalī (diamalkan) yang
digunakan untuk mengabdi kepada Allah SWT.85
Kemajuan umat Islam pada masa lalu, menurut Mulyadhi,
didorong oleh tiga hal. Pertama, dorongan agama. Islam adalah
agama yang paling empatik dalam mendorong umatnya untuk

80 Lihat Osman Bakar, Tauhid dan Sains (Bandung: Pustaka Hidayah,


1994), 14-21.
81 Kata-kata Imam Syafi‘I, “Siapa menghendaki kebahagiaan di dunia, maka

wajib baginya memiliki ilmu; siapa yang menghendaki kebahagiaan di akhirat,


maka wajib baginya berilmu; dan siapa menghendaki kebahagiaan di dunia dan di
akhirat, maka wajib baginya berilmu.” Husain Ibnu Hizam, Tahdhīb al-Asmā’
(Bayrut: Dār al-Fikr, 1996), Juz 1, 74.
82 QS. al-Mujadilah [58]: 11, yang artinya: “Hai orang-orang beriman

apabila dikatakan kepadamu: ‘Berlapang-lapanglah dalam majlis’, maka


lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
83 QS. al-Anbiya’[21]: 107, yang artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus

kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”


84 Dedi Djamaluddin Malik , et.al, Zaman Baru Islam, 186.
85 Mushtafa, Abd Razak. Tamhīd li Tārīkh al-Falsafah al-Islāmiyah, Juz II

(Kairo: Maṭba‘ah al-Ta’līf wa al-Tarjamah, 1959/1379), 55.

54 | Drs. Asnawi, MA
menuntut ilmu. Banyak ayat al-Qur’an86 yang memberikan motivasi
untuk mencari ilmu, baik yang tergolong ‘ulūm naqliyah maupun
‘ulūm ‘aqliyah.87 Kedua, apresiasi masyarakat. Ketiga, patronase
penguasa.88 Karena itulah untuk mewujudkan kembali kejayaan
dunia Islam diperlukan upaya serius dalam membangkitkan
apresiasi masyarakat Muslim untuk melakukan berbagai kajian dan
penelitian terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Selain
itu, diperlukan juga dukungan pemerintah dengan memberikan
dorongan dan fasilitas yang memadai.

2. Paradigma Sekuler
Kata sekuler berasal dari bahasa latin “saeculum”, yang
berarti masa, waktu, generasi, atau dunia.89 Di dunia Islam, istilah
sekuler pertama kali dipopulerkan oleh Ziya Gokalp (1875-1924).90
Istilah ini sering dipahami sebagai sesuatu yang irreligious (tidak

86 Penelitian Sardar membuktikan ada 800 kali kata ‘ilm digunakan dalam
al-Qur’an. Baca Ziauddin Sardar, Islam, Posmodernism ad Other Futures, Sohali
Inayatullah and Gail Boxwell ed. (London: Pluto Press, 2003), 90.
87 Di antara ayat yang mendorong umat Islam untuk mencari ilmu adalah

QS. al-Mujadilah [58]: 11, yang artinya: “Allah mengangkat derajat orang-orang
yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat”, QS.
Al-An‘am [6]: 50, yang artinya: "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang
melek”, dan QS. Azzumar [39]: 9, yang artinya: “Katakanlah adakah sama orang-
orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui?
Sesungguhnya (hanya) orang-orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran”.
88 Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi, 12-26.
89 Hasan Sadily, Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve

dan Elsevier Publishing Project), 1984), 3061.


90 Ziya Gokalp adalah seorang sosiolog dan penyair Turki. Ia mendukung

berdirinya negara sekuler di Turki. Menurut keyakinannya, hal ini akan dapat
membawa bangsa Turki ke arah Islam dan Modernisme. Baca Muhammad Rashid
Reroze, Islam and Secularism in Post-Kemalist Turkey (Islamabad-Pakistan, Islamic
Research Institute, 1976), 14. Baca pula Mukti Ali, Islam dan Sekularime di Turki
Modern (Jakarta: Djambatan, 1994), 51.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 55


agamis), antireligius,91 bahkan divonis sebagai anti Islam. 92 Dalam
Bahasa Indonesia, kata ini mempunyai konotasi negatif. Sekuler
diartikan bersifat duniawi atau kebendaan, bukan bersifat
keagamaan atau kerohanian. Sekularisasi berarti membawa ke arah
kehidupan dunia sehingga norma-norma tidak perlu didasarkan
pada ajaran agama.93 Dalam bahasa Arab, ada kata al-‘ālamiyu sama
dengan al-zamāniyu yang berarti duniawi atau sekuler.94
Epistemologi Barat melahirkan ilmu-ilmu sekuler.
Kuntowijoyo membedakan antara ilmu-ilmu sekuler tersebut dengan
ilmu-ilmu integralistik. Menurutnya, ilmu-ilmu sekuler merupakan
produk seluruh manusia, sedangkan ilmu-ilmu integralistik adalah
produk bersama seluruh manusia beriman. Perbedaan itu terletak
pada tempat berangkat, rangkaian proses, produk keilmuan, dan
tujuan-tujuan ilmu.95
Tempat berangkat ilmu-ilmu sekuler adalah modernisme
dalam filsafat, yaitu filsafat Rasionalisme. Filsafat ini muncul pada
abad ke-15/16, menolak teosentrisme abad tengah. Sumber
kebenaran yang diakui adalah pikiran, bukan wahyu Tuhan. Tuhan
masih diakui keberadaannya, namun Tuhan yang lumpuh, tidak
berkuasa, dan tidak membuat hukum-hukum. Dalam Rasionalisme
manusia menempati kedudukan yang tinggi. Manusia menjadi pusat
kebenaran, etika, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Manusia adalah
pencipta, pelaksana, dan konsumen produk-produk manusia sendiri.
91 Kusmana, Integrasi Ilmu, 34.
92 Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Doktrin dan
Peradaban Islam di Panggung Sejarah (Jakarta: Paramadina, 2003), 181.
93 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,

1998), 797. Lihat pula Hassan Sadily, Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1984), 3061.
94 A.M. Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Arab-Indonsia Terlengkap

(Surabaya: Pustaka Progressif, 1984), 1037.


95 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007). 50.

56 | Drs. Asnawi, MA
Ketika manusia menganggap bahwa dirinya menjadi pusat, maka
terjadilah diferensiasi (pemisahan). Etika, kebijaksanaan, dan
pengetahuan tidak lagi berdasarkan wahyu Tuhan. Sejak itulah
kegiatan ekonomi, politik, hukum, dan ilmu harus dipisahkan dari
agama. Kebenaran terletak pada ilmu sendiri. Ilmu harus objektif,
tidak ada campur tangan etika, moral, dan kepentingan lain.
Ilmu sekuler mengakui dirinya objektif, value free, bebas dari
kepentingan lainnya. Tetapi, ternyata ilmu tersebut telah melampaui
dirinya sendiri. Semula ilmu diciptakan oleh manusia telah menjadi
penguasa bagi manusia. Ilmu menggantikan wahyu Tuhan sebagai
petunjuk kehidupan.96 Agama menurut mereka harus disesuaikan
dengan ilmu pengetahuan modern, maka apabila tidak sesuai dengan
ilmu pengetahuan, ia harus dipinggirkan. Dari sinilah muncul paham
sekularisme. Paham ini berpengaruh terhadap aspek kehidupan,
ekonomi, ilmu pengetahuan, politik dan lain-lain.97
Keberhasilan Barat dalam bidang ilmu pengetahuan, menurut
Ahmad Tafsir, dikarenakan basis epistemologi keilmuannya
didasarkan pada rasio semata yang mendasarkan pada paham
Humanisme,98 rasionalisme,99 dan positivisme.100 Dari paham inilah

96 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, 51-52.


97 Hajam, Rekonstruksi Epistemologi, 272.
98 Humanisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa manusia

mampu mengatur dirinya dan alam. Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam,
Integrasi, Jasmani Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia (Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 2006), 56.
99 Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa pengetahuan yang

dapat diandalkan bukanlah diturunkan dari pengalaman, melainkan dari dunia


pikiran. Lihat Jujun Sumantri, Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan
tentang Hakekat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 101. Rasionalisme
menurut Ahmad Tafsir adalah paham yang mengajarkan bahwa kebenaran
diperoleh dan diukur dengan rasio. Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam,
56.
100 Positivisme adalah paham yang mengatakan bahwa kepastian

(kebenaran) pengetahuan itu tidak hanya ditentukan oleh aspek empirik, tetapi

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 57


muncul metode ilmiah hingga menghasilkan riset yang kemudian
menghasilkan aturan yang mengatur manusia dan alam. 101
Menurut Mulyadhi, karena Barat membatasi objek kajian
pengetahuan hanya pada entitas fisik, maka alat yang digunakan
adalah indra fisik. Sains adalah segala sesuatu sejauh ia dapat
diobservasi oleh indra. Alasan yang bisa dikemukakan dalam
membatasi hanya objek fisik ini saja yang dapat diteliti secara
objektif dan dapat diverifikasi kebenarannya. Sementara objek non-
fisik tidak diserap secara objektif dan sulit diverifikasi.
Menurutnya, di kalangan ilmuwan Barat muncul adanya
keraguan terhadap objek-objek filsafat ilmu di dunia Islam. Keraguan
ini merupakan cermin masyarakat Barat yang beralih dari theistik ke
arah atheistik melalui isme-isme, seperti materialisme dan
positivisme.102 Karena memang ilmu-ilmu pengetahuan yang berasal
dari Barat memiliki pangkal yang bertentangan dengan akidah
tauhid yang telah berakar dalam hati setiap Muslim. Konsepsi
pengetahuan Barat bertitik tolak dari deskripsi alam yang keliru, 103
maka tidaklah aneh jika Nasr memberikan penilaian bahwa sains
modern (Barat) itu tidak Islami, karena tidak bersumber dari wahyu.
Oleh karena itu, Nasr mengajak umat Islam untuk kembali mengkaji
dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan sains tradisional yang

juga kebenaran pengertian/rasio akan kebenaran itu sendiri. Lihat Jurgen


Habermas, Knowledge and Human Interest (London: Heineman Educational Book
Ltd, 1972), 74-75.
101 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, 56. Lihat pula Hajam,

“Rekonstruksi Epistemologi Untuk Pendidikan Integralistik”, Lektur; Jurnal


Pendidikan Islam Vol.13. No. 2 Desember 2007, 273.
102 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Persepktif Filsafat Islam

(Jakarta: UIN Press, 2003), 38-39. Lihat pula Kusmana, Integrasi Keilmuan, 37.
103 Abd Rahman al-Nahlawi, Uṣūl al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Asālibihā fī

al-Bayt wa al-Madrasah wa al-Mujtama‘ (Bayrut: Dār al-Fikr al-Mu‘āshir,1403-


1983), 164.

58 | Drs. Asnawi, MA
dibangun oleh ilmuwan Muslim klasik, semacam Ibnu Sina, Ibnu
Haitham, Jabir Ibnu Hayan, Al-Biruni, dan lain-lain.104
Lain halnya Kuntowijoyo, ia memandang ilmu-ilmu sekuler
sekarang sedang terjangkit krisis (tidak dapat memecahkan banyak
soal), mengalami kemandekan dan bias di sana-sini. Menurutnya,
diperlukan adanya ilmu-ilmu integralistik. Ilmu integralistik adalah
ilmu yang menyatukan antara wahyu dan temuan pikiran manusia,
dengan tidak mengucilkan Tuhan ataupun manusia.105

C. Integrasi Ilmu-Ilmu Umum dan Ilmu-Ilmu Agama


Pencarian konsep tentang ilmu dan agama merupakan salah
satu isu sentral dalam sejarah pemikiran Islam. Gerakan Islamisasi
dalam perkembangan selanjutnya meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia, seperti politik,106 budaya, ekonomi, dan pendidikan.
Konsep Islamisasi107 di bidang pendidikan terfokus pada upaya
pencarian landasan filosofis bangunan keilmuan Islam yang
melahirkan perdebatan di kalangan intelektual Muslim.

104 Azyumardi Azra, Historigrafi Islam Kontemporer; Wacana Aktualitas,


dan Aktor Sejarah, Idrsi Thaha, ed. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002),
207.
105 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, 55.
106 Dalam diskursus pemikiran politik Islam, paling tidak ada tiga

paradigma pola hubungan agama dan negara, yaitu: Paradigma integrated,


sekularistik, dan simbiotik. Lihat Ridwan, Islam Kontekstual; Pertautan Dialektis
Teks dengen Konteks (Yogyakarta: Grafindo Lentera Media, 2009), 203.
107 Kata Islamisasi berasal dari bahasa Inggris “Islamization” yang artinya

pengislaman. Islamisasi bermakna to bring with in Islam. Makna yang lebih luas
dari Islamisasi menurut Armai Arief adalah proses pengislaman. Di mana objeknya
adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya.
Sementara Abraham Sulaiman, sebagaimana dikutip Masykuri Abdillah, Islamisasi
itu untuk mencari ilmu baru yang berbeda dengan Barat. Lihat Maskuri Abdillah
dalam Kusmana, Integrasi Keilmuan, 235.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 59


Gagasan Islamisasi pertama muncul disampaikan oleh
ilmuwan Pakistan Ismail Raji al-Faruqi dalam Konferensi Islam
pertama tentang pendidikan Islam, yang diselengarakan oleh
kerajaan Saudi Arabia (Mekkah) pada tahun 1997. 108 Penggagas
Islamisasi lainya adalah Ziauddin Sardar dan Syed Muhammad
Naquib al-Attas.109 Syed Muhammad Naquib al-Attas mengajukan
makalah dengan judul “Preliminary Thoughts on the Nature of
Knowledge and the Definition and the Aims of Education”.110
sedangkan al-Faruqi dengan makalahnya yang berjudul “Islamicizing
of Education”.111
Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan ini memunculkan
perdebatan pro dan kontra di kalangan para cendekiawan Muslim.
Kelompok yang pro beralasan pada tiga hal. Pertama, umat Islam
membutuhkan sebuah sistem sains untuk memenuhi kebutuhan
mereka baik materiil maupun spiritual, sedangkan sistem sains yang
ada saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut karena
banyak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam.
Kedua, kenyataan membuktikan bahwa sains modern telah
menimbulkan ancaman-ancaman bagi kelangsungan dan kehidupan
umat manusia dan lingkungannya. Ketiga, umat Islam pernah
memiliki suatu peradaban Islami, sehingga untuk menciptakan

108 Muhyiddin Athiyah, al-Fikr al-Tarbawiyah al-Islāmī (Herdon-Virginian:

al-Ma‘had al- ‘Alamī li al-Fikr al-Islāmī, 1994), 155.


109 Hajam, Rekonstruksi Epistemologi, 281.
110 Makalah ini dijadikan sebagai salah satu bab dari buku Syed

Muhammad Naquib al-Attas dengan judul “Islam dan Sekularisme”


(Bandung:Pustaka, 1981).
111 Di dalam makalahnya al-Faruqi menunjukkan kelemahan-kelemahan

dari metodologi Barat dan memberikan konsep ilmu-ilmu ummatis. Baca Syed
Sajjad Husein & Syed Ali Asyraf, Krisis Pendidikan Islam, terj. (Bandung : Risalah,
1986), 125-129.

60 | Drs. Asnawi, MA
kembali sains Islam dalam peradaban yang Islami perlu dilakukan
Islamisasi sains.112
Di antara yang menyetujui Islamisasi Ilmu Pengetahuan
adalah al-Faruqi,113 al-Attas,114 Ziauddin Sardar, dan Taha Jabir al-
Alwani.115 Namun, di antara mereka terjadi perbedaan konsep,
langkah, dan pendekatan, sehingga melahirkan adanya dua
kelompok. Kelompok pertama mengajukan pendekatan dengan
membersihkan (purifikasi) atau menjauhkan ilmu dari nilai-nilai
yang tidak Islami. Mereka adalah al-Faruqi,116 al-Attas,117 dan Taha

112 Mahdi Ghulsyani, The Holy Qur’an and The Science of Nature, Terj. Agus
Effendi, Filsafat Sains menurut al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), 24.
113 Islamil Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Prinsiples and

Work Plan (Herdon, VA: IIT, 1987), 9.


114 Syed Muhammad Naquib al-Attas. “The Dewesternization of Knowledge”

Chapter 4 in Islam and Secularism (Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of


Malaysia (ABIM), 1978.
115 Taha Jabir al-Alwani, Islamic Thought, An Approach Reform (London-

Washington, The International Institute of Islamic Thought (IIIT), 1427/2006 ), 7.


116 Pendekatan yang digunakan al-Faruqi adalah dengan jalan
menuangkan seluruh khazanah pengetahuan Barat dalam kerangka Islam yang
dalam praktiknya “tak lebih” dari usaha penulisan kembali buku-buku teks dalam
berbagai disiplin ilmu dengan wawasan ajaran Islam. Selanjutnya, dalam rangka
mengaktualisasikan Islamisasi ilmu pengetahuan, ia menetapkan beberapa prinsip
metodologi, antara lain: 1) Keesaan Tuhan (al-Tauḥīd); 2) Keesaan ciptaan (the
unity of creation); 3) Kesatuan kebenaran dan kesatuan ilmu pengetahuan (the
unity of truth and the unity of knowledge); 4) Kesatuan hidup (the unity of life); dan
5) Kesatuan umat manusia (the unity of humanity). Lihat Islamization of knowledge,
Abd al-Hamid Abu Sulayman ed. General Principles and Work Plan (Herndone,
Virginia, USA, International Institute of Islamic Thought (IIIT), 1416 /1995), 34-51.
Selain itu, Islamisasi pengetahuan menurut al- Faruqi berarti mengislamkan atau
melakukan pengkudusan/penyucian terhadap ilmu pengetahuan produk non
Muslim (Barat) yang selama ini dikembangkan dan dijadikan acuan dalam wacana
pengembangan sistem pendidikan Islam, agar diperoleh corak yang lebih “khas
Islam”. Lihat al-Faruqi, Islamization, 9. Langkah-langkah yang ditempuh al-Faruqi
dalam mewujudkan gagasan Islamisasi ilmu adalah: 1) Pengusaan disiplin modern;
2) Survei disiplin ilmu; 3) Penguasaan khazanah Islam, sebuah antologi; 4)
Penguasaan khazanah ilmiah Islam, sebagai analisa; 5) Penentuan relevansi Islam
yang khas terhadap disiplin ilmu; 6) Penilaian kritis terhadap ilmu pengetahuan
modern, tingkat perkembangan di masa kini; 7) Survei permasalahan yang

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 61


Jabir al-Alwani.118 Sementara kelompok kedua, mengajukan
pendekatan pada aspek epistemologis. Di antara mereka adalah
Ziauddin Sardar.119
Sedangkan pihak yang kontra beralasan bahwa dilihat dari
segi historis, perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi di Barat saat ini banyak diilhami oleh para ulama Islam
yang ditransformasikan terutama pada masa keemasan Islam,

dihadapi oleh umat Islam; 8) Survei permasalahan yang dihadapi oleh umat
manusia; 9) Analisa kreatif dan sintesa; 10) Penuangan kembali disiplin ilmu
modern kedalam kerangka Islam, Buku-buku dari tingkat universitas; dan 11)
Penyebarluasan ilmu yang telah diislamkan. Lihat al-Faruqi, Islamisasi
Pengetahuan, Terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1984), 89.
117 Menurut Al-Attas, Islamisasi pengetahuan berarti membebaskan ilmu

pengetahuan dari penafsiran yang berdasar ideologi, pengertian, dan ungkapan-


ungkapan yang sekuler. Menurutnya, Islamisasi pengetahuan juga berarti
pembebasan manusia dari magik, mitos, animisme, dan tradisi kebudayaan
kebangsaan dan selanjutnya dominanya sekularisme atas pikiran dan bahasannya.
Pendekatan yang dilakukan al-Attas dalam mewujudkan idenya adalah dengan
jalan pertama-tama membersihkan tubuh pengetahuan Barat tersebut dari unsur-
unsur yang asing bagi ajaran Islam, kemudian merumuskan serta memadukan
unsur-unsur Islam yang esensial dan konsep-konsep kunci, sehingga menghasilkan
suatu komposisi yang merangkum pengetahuan inti. Lihat Syed Muhammad
Naquib al-Attas, The Dewesternization, 133-150, Lihat pula Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Islam dan Sekularism, 238.
118 Taha Jabir al-Alwani memandang Islamisasi ilmu sebagai salah satu

fondasi penting dari pembaruan agama Islam dalam rangka membangun kembali
umat dari suatu bangsa, dan mengusahakan terwujudnya masyarakat Islam
kontemporer. Menurutnya, Islamisasi pengetahuan dapat melembagakan rencana
pembaruan dan pembangunan atau paling sedikit, dimensi rencana yang telah
gagal memberikan perhatian dan pantas kepedulian. Lihat Taha Jabir al-Alwani,
Islamic Thought, An Approach Reform (London-Washington, The International
Institute of Islamic Thought (IIIT), 2006), 7.
119 Menurut Ziauddin Sardar, Islamisasi ini dapat dilakukan dengan

membangun word view Islam dengan titik pijak utama membangun epistemologi
Islam. Menurutnya, hanya dengan langkah inilah yang akan menghasilkan ilmu
pengetahuan yang dibangun atas prinsip-prinsip Islam. Langkah-langkah yang
mementingkan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu modern
bisa membuat terjebak dalam westernisasi Islam. Upaya merelevansikan ini
mengantarkan pengakuan bahwa ilmu Barat sebagai standar. Lihat http://
Iptek165.blogspot.com.

62 | Drs. Asnawi, MA
sehingga mereka banyak berutang budi terhadap ilmuwan-ilmuwan
Islam. Karena itu, jika hendak meraih kemajuan di bidang iptek, kita
perlu melakukan transformasi besar-basaran dari Barat. Dengan
tanpa rasa curiga, walaupun selalu waspada. Iptek adalah netral, ia
bergantung kepada pembawa dan pengembang. Karena itulah
Islamisasi ilmu pengetahuan tidak begitu penting, karena yang lebih
penting adalah Islamisasi subjek atau pembawa dan pengembang
iptek itu sendiri.120 Di antara tokoh yang tidak setuju terhadap
Islamisasi ilmu pengetahuan adalah Fazlur Rahman, 121 Pervez
Hodbhooy,122 dan Muhammad Abdus Salam.123

120 Mahdi Ghulsyani, The Holy Qur’an and the Sciences of the Nature, 24.
Lihat Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam (Pemberdayaan
Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan) (Bandung:
Nuansa, 2003), 329.
121 Fazlur Rahman menyangsikan keberhasilan usaha Islamisasi ilmu

dengan menyatakan bahwa pengetahuan kontemporer itu merefleksikan etos


Barat. Ia menegaskan bahwa orang tidak dapat menemukan suatu metodologi atau
memerinci suatu strategi untuk mencapai pengetahuan Islami. Menurutnya satu-
satunya harapan umat Islam untuk menghasilkan Islamisasi adalah memelihara
pemikiran umat Islam. Lihat Fazlur Rahman, “Islamization of Knowledge: A
Response.” American Journal of Islamic Sosial Science (5:1), (1998), 3-11.
122 Menurut Pervez Hoodbhoy, sains Islam tidak mengarah pada

pembuatan mesin atau instrumen sains, sintetis senyawa kimia atau obat-obatan
yang baru, rencana percobaan baru, atau penemuan hal-hal yang sampai sekarang
belum diketahui dengan fakta fisik yang dapat diuji. Lihat Pervez Hoodbhoy, Islam
and Science: Religion orthodoxy and The Battle for Rationality (London an New
Jersey: Zed Books Ltd, 1991), 77.
123 Menurut Muhammad Abdus Salam, mereka (tokoh Islamisasi) telah

melakukan pekerjaan yang merugikan sains di negara-negara Islam, bila mereka


menyeru kepada sains Islami yang dimotivasi secara religius dan bukan secara
kultural, apa pun maknanya. Hanya ada satu sains universal, persoalan dan
faktanya mendunia. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa tidak ada yang disebut
sains Islam sebagaimana tidak ada pula sains Hindu, sains Yahudi, sains Konghucu,
serta sains Kristen. Lihat Muhammad Abdus Salam dalam Prevez Hoodbhoy, Islam
and Science, ix. Bahkan menurut Amin Aziz, bahwa yang harus diislamkan adalah
orang atau manusianya, bukan ilmu pengetahuan atau apa pun objek lainnya
termasuk negara. Jadi, yang harus menganut prinsip tauhid adalah pemeluk atau
pencari ilmu itu sendiri, bukan ilmunya. Lihat M. Amin Aziz “Islamisasi Ilmu

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 63


Menurut Kuntowijoyo, salah satu tujuan Islamisasi
Pengetahuan adalah agar umat Islam tidak begitu saja meniru
metode-metode dari luar, yakni dengan mengembalikan
pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid. 124 Oleh karenanya
Islamisasi pengetahuan diartikan mengembalikan pengetahuan pada
tauhid, atau konteks kepada teks. Maksudnya, supaya ada koherensi
(bahasa latin coherere berarti “lekat bersama”) pengetahuan tidak
terlepas dari iman.125 Sebenarnya Kuntowijoyo tidak sepakat
sepenuhnya dengan penggunaan istilah Islamisasi Ilmu pengetahuan.
Baginya Islamisasi bisa digunakan, tetapi tidak untuk semua
pengetahuan. Dalam hal ini harus dapat memilah mana yang
memerlukan Islamisasi dan mana yang tidak. Pengetahuan yang
benar-benar objektif tidak perlu diislamkan, karena Islam mengakui
objektivitas. Suatu teknologi akan tetap saja, baik di tangan orang
Islam maupun orang kafir. Dengan kata lain Islamisasi pengetahuan
sebagian memang perlu dan sebagian adalah pekerjaan yang tidak
berguna.126
Gerakan intelektual Islam, menurut Kuntowijoyo, harus
melangkah lebih jauh, yakni bergerak dari teks menuju konteks.
Ikhtiar keilmuan memiliki tiga sendi. Pertama, “Pengilmuan Islam”,
sebagai proses keilmuan yang bergerak dari teks al-Qur’an menuju

sebagai Isu”, dalam ‘Ulūm al-Qur’an, Vol. III, No. 41192, 3. Baca pula Norlaila,
“Pemikiran Pendidikan Islam Ismail Raji al-Faruqi”, al Banjar, Vol 7,No. 1 Januari
2008, 42.
124 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, 8.
125 Dari tauhid, akan ada tiga macam kesatuan, yaitu kesatuan

pengetahuan (unity of knowledge), kesatuan kehidupan (unity of life), dan kesatuan


sejarah (unity of history). Selama umat Islam tidak mempunyai metodologi sendiri,
maka akan selalu dalam bahaya. Kesatuan pengetahuan artinya bahwa
pengetahuan harus menuju kepada kebenaran yang satu. Kesatuan hidup berarti
dihapusnya perbedaan antara ilmu yang sarat nilai dengan ilmu yang bebas nilai.
Kesatuan sejarah artinya pengetahuan harus mengabdi kepada umat dan kepada
manusia. Lihat Kontowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, 8.
126 Kontowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, 8-9.

64 | Drs. Asnawi, MA
konteks sosial dan ekologi manusia. Kedua, “Paradigma Islam”
adalah hasil keilmuan, yakni paradigma baru tentang ilmu-ilmu
integralistik sebagai penyatuan agama dan wahyu. Ketiga, “Islam
sebagai ilmu” yang merupakan proses sekaligus sebagai hasil yang
bergerak dari teks al-Qur’an. Untuk keberhasilan usaha ini,
Kuntowijoyo mengajak intelektual Islam untuk mengganti
“Islamisasi Pengetahuan” menjadi “Pengilmuan Islam”. 127
Meskipun demikian konsep Islamisasi pengetahuan perlu
diwujudkan dalam sistem pendidikan Islam. Penerapan konsep
Islamisasi Ilmu pengetahuan antara lain sebagaimana dijelaskan oleh
Mulyadhi Kartanegara, dengan cara mengasimilasi (memadukan)
dan mengadaptasikan (menyesuaikan) ilmu-ilmu yang bersumber
dari sumber luar khususnya Yunani, agar cocok dengan pandangan
atau kerangka pikir keagamaan Islam. 128
Dari perdebatan para cendekiawan di atas, menurut penulis,
bahwa yang menjadi akar perdebatan di antara mereka terletak pada
persepktif filsufi yang mendasari bangunan keilmuan, terkait
persoalan apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak. Di antara mereka
yang menyetujui dengan upaya Islamisasi ilmu pengetahuan,
mengajukan gagasan perlunya integrasi (takāmul)129 antara ilmu-
ilmu agama dan umum.
Pada dasarnya upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan
umum merupakan mengembalikan ilmu pada asalnya. Karena antara
keduanya itu integrated dan tidak terpisah. Hal ini dilandasi
kesadaran bahwa Allah SWT adalah sumber kebenaran dan sumber
pengetahuan sekaligus. Sebagai sumber kebenaran dan pengetahuan,

127 Kontowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, 1-3.


128 Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisai Tradisi Ilmiah Islam, 64.
129 Yusuf Karom, Tārikh al-Falsafah al-Ḥadīthah (Mesir: Dār al-

Ma‘ārif,TTP), 351.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 65


Allah SWT memberikan ilmu-Nya melalui ayat-ayat Qur’aniyah
(word of Allah) dan ayat-ayat Kawniyah (work of Allah). Dari jalan
yang pertama lahir agama dan ilmu ilahi (teologi), sedangkan dari
jalan yang kedua lahir dan berkembang ilmu pengetahuan (sains). 130
Dalam menyikapi problem hubungan antara Ilmu-ilmu agama
dan ilmu-ilmu umum ini, umat Islam memiliki pandangan yang
beragam. Pendapat mereka terbagi menjadi tiga golongan. Pertama,
golongan yang menolak serta merta tanpa kompromi dengan alasan
bid‘ah. Kedua, golongan yang menelan mentah-mentah begitu saja.
Ketiga, golongan yang menerima namun dengan saksama. Golongan
pertama dan kedua tidaklah layak dijadikan sikap, karena keduanya
sama-sama ekstrem dan radikal. Adapun sikap ketiga merupakan
langkah adil dan bijak dalam melihat perkembangan ilmu dan sains,
yaitu menerima dengan saksama dan meletakkannya secara
proporsional.131
Menurut Azyumardi Azra, Islam sebagai agama universal dan
berlaku sepanjang zaman, tidak hanya mengatur urusan akhirat,
tetapi juga urusan dunia. Demikian pula Islam mengatur ilmu-ilmu
yang berhubungan dengan Tuhan dan ilmu-ilmu yang berhubungan
dengan keduniaan. Islam mengatur keduanya secara integrated.132
Agama dan ilmu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa
mengamati alam133 dan menggunakan akal,134 yang kedua hal ini
merupakan landasan untuk membangun ilmu pengetahuan.

130 Osman Bakar, Tauhid dan Sains, 14-21.


131 Syamsuddin Arif, Islam dan Sains. www. Insistent.com dalam Hamdan
Maghribi http://arsip.kotasantri.com/bilik ,php diakses tanggal 07 Oktober 09.
132 Azyumardi Azra, dalam Abuddin Nata et. al. Integrasi Ilmu Agama dan

Ilmu Umum (Jakarta: Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Agama UIN Syarif
Hidayatullah , 2003), viii.
133 Hal ini dikarenakan alam sebagai pertanda adanya Tuhan. Jagad raya

juga disebut sebagai ayat-ayat yang menjadi sumber pembelajaran dan ajaran bagi

66 | Drs. Asnawi, MA
Karena itu, Muthahhari sangat menghawatirkan akan adanya
bahaya yang ditimbulkan oleh pemisahan ilmu tersebut. Menurutnya
pemisahan ilmu-ilmu umum ataupun sains dari keimanan dapat
menyebabkan kerusakan yang tidak bisa diperbaiki. Keimanan mesti
dikenali lewat sains; keimanan bisa tetap aman dari berbagai
takhayul melalui pencerahan sains. 135 Keimanan tanpa sains akan
berakibat fatalisme dan kemandekan pemahaman. 136 Terkait dengan
upaya pengintegrasian antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu
umum ataupun sains, integrasi lebih tepat dimaknai sebagai bentuk
(pola) hubungan antara agama yang direfleksikan dengan
kepercayaan kepada Tuhan sang Pencipta dengan sains yang bersifat
profan.137
Pola hubungan antara agama dan sains, oleh Ian Barbour,
dipetakan menjadi empat bagian.138 Pertama, konflik. Dalam

manusia, dengan melakukan pengamatan terhadap keserasian, keharmonisan, dan


ketertiban alam semesta. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban:
Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan Kemanusiaan dan Kemodernan
(Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992), 289.
134 QS. al-Nisā’[4]: 82, yang artinya: “Maka apakah mereka tidak

memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”
135 Pemisahan sains dari agama di antaranya dilakukan dengan

pembatasan bahwa sains hanya berurusan dengan hal-hal yang dapat diobservasi
(observable), baik dengan pancaindera maupun dengan peralatan atau dibuktikan
secara tidak langsung melalui metode matematis berdasarkan apa-apa yang telah
diterima sebagai sains. Lihat Ahmad Baiquni, Al-Qur’an, 127.
136 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama: Sebuah Pengantar (Bandung:

Mizan, 2003), 57.


137 Kusmana, Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju

Universitas Riset (Jakarta: PPJM –UIN Jakarta Press, 2006), 63.


138 Baca Ian G. Barbaour, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan

Agama, Terj. Fransiscus Borgias, (Bandung: Mizan, 2002), 31-32. Lihat Idris Thaha,
Kampus Pembaharu Menuju Universitas Riset (Jakarta: Lembaga Penerbitan UIN
Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2006), 33. Baca pula Mikael Stenmark, How to
Relate and Religion: a Multidimensional Model (USA: Wm.B. Eerdmans Publishing
Co, 2004), 250.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 67


pandangan konflik, orang-orang menafsirkan Kitab Suci secara
harfiah percaya bahwa teori evolusi bertentangan dengan
kepercayaan keagamaan. Para ilmuan ateistik mempertahankan
suatu filsafat materialisme dan memperlihatkan bahwa teori evolusi
tidak sejalan dengan suatu bentuk ateisme.
Kedua, Independensi. Ilmu pengetahuan dan agama
berurusan dengan ranah-ranah yang berbeda dan aspek-aspek
realitas yang berbeda. Ilmu pengetahuan bertanya bagaimana
sesuatu bekerja dan mengandalkan data publik yang objektif,
sementara agama bertanya tentang nilai-nilai dan kerangka makna
yang lebih besar bagi hidup pribadi. Ketiga, Dialog. Salah satu bentuk
dialog adalah perbandingan metode-metode dari dua bidang itu,
yang bisa saja memperlihatkan kemiripan-kemiripan bahkan ketika
perbedan-perbedaan itu diakui. Dialog ini ketika ilmu pengetahuan
mengajukan pertanyaan pada tapal-tapal batasnya; pertanyaan-
pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya sendiri, misalnya mengapa
alam semesta ini ada, dan mengapa dia serba teratur dan dapat
dimengerti.
Keempat, Integrasi. Beberapa orang mengupayakan integrasi
yang lebih sistematik antara ilmu pengetahuan dan agama. Mereka
yang berada dalam tradisi teologi natural berharap bisa menemukan
semua bukti atau setidak-tidaknya petunjuk ke arah bukti akan
keberadaan Allah. Dari keempat pola hubungan tersebut dipilihlah
pola hubungan integrasi. Menurutnya, integrasi sebagai “kemitraan
yang sistematis dan ekstensif antara sains dan agama. Artinya,
seperti dalam tradisi “Natural Theology”, kedalaman eksplorasi sains
terhadap alam semakin membuktikan keyakinan terhadap Tuhan,

68 | Drs. Asnawi, MA
bukan sebaliknya penguasaan sains berbanding terbalik dengan
keimanan.139
Banyak tokoh pendidikan yang menelorkan konsep
pengintegrasian antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Di
antaranya Alan G. Padgett, ia mengajukan pendekatan dialektika
antara ilmu pengetahuan dan agama. 140 Sementara Mikael Stenmark,
yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Barbour,
mengemukakan adanya empat model hubungan agama dan ilmu,
yaitu konflik, kemerdekaan, dialog, dan pengintegrasian.141
Banyak pula pakar pendidikan yang telah mengajukan teori
maupun pendekatan dalam melakukan integrasi ilmu. Di antara
mereka adalah Mulyadhi Kartanegara yang mengajukan model
ataupun pendekatan Rekonstruksi Holistik, yaitu integrasi secara
menyeluruh meliputi aspek ontologis, klasifikasi ilmu, dan
metodologis. Menurutnya, integrasi ilmu tidak mungkin tercapai
hanya dengan mengumpulkan dua himpunan keilmuan yang
mempunyai basis teoretis yang berbeda (sekuler dan religius). Oleh
karena itu integrasi (atau reintegrasi) harus diupayakan hingga
tingkat epistemologis.142 Menggabungkan dua himpunan ilmu yang
berbeda (sekuler dan religious) di sebuah lembaga pendidikan
seperti yang terjadi selama ini tanpa diikuti dengan konstrukti

139 Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan

Agama..., 31-32. Lihat pula Idris Thaha, Kampus Pembaharu Menuju Universitas
Riset..., 33. Baca pula Mikael Stenmark, How to Relate and Religion, 250.
140 Menurut Padget, pendekatan dialektika inilah yang paling hasil

mendialogkan antara ilmu pengetahuan dan agama. Hal ini dikarenakan antara
ilmu pengetahuan dan agama membutuhkan dialog. Alan G. Padgett, Science and
the Study of God: a Mutuality Model for Theology and Science (USA: Wm.B.
Eerdemans Publishing Co All right reserved, 2003), 24.
141 Mikael Stenmark, How to Relate Science and Religion, 250.
142 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik

(Bandung; Arasy PT Mizan Pustaka bekerja sama dengan UIN Jakarta Press, 2005),
208-223.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 69


epistemologis merupakan upaya yang tidak akan membuahkan hasil
berupa integrasi, tetapi sekadar menghimpun dua entitas yang
berjalan sendiri-sendiri dalam satu ruangan yang sama. Karena
itulah untuk mencapai tingkat integritas epistemologis, integrasi
harus diusahakan pada beberapa aspek atau level, yaitu integrasi
ontologis, integrasi klasifikasi ilmu, dan integrasi metodologis.143

1. Integrasi Ontologis
Ontologi, menurut Jujun Suriasumantri, adalah cabang filsafat
yang membahas tentang apa yang ingin diketahui, seberapa jauh kita
tahu; atau dengan perkataan lain, ontologi adalah suatu pengkajian
mengenai teori tentang “ada.”144 Oleh sebab itu, sebuah teori ilmu
pasti akan berusaha mengidentifikasikan materi-subjek (subject
matter) yang akan dijadikan sasaran (objek) penelitian ilmu-ilmu
yang dikandungnya.145 Sebelum pilihan ilmu dijatuhkan, seorang
teoritikus harus memastikan terlebih dahulu “status ontologis” atau
keberadaan dan realitas dari objek-objek tersebut. Kepercayaan
pada status ontologis ilmu pengetahuan inilah yang akan menjadi
basis ontologis dari epistemologis dan sekaligus akan memengaruhi
corak epistemologis yang akan dibangunnya.146
Terkait dengan integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
umum dalam tataran ontologis ini, Mulyadhi Kartanegara
menjelaskan, baik ilmu agama maupun ilmu umum objek sebenarnya
adalah ayat-ayat Allah. Ilmu agama adalah ayat Allah yang berupa
qawliyah (al-Qur’an dan Hadis), sedangkan ilmu umum adalah ayat

143 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, 208-209.


144 Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Persepktif (Jakarta: Gramedia,
1989), 2. Lihat pula Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik: Pengaruhnya
pada Pemikiran Islam Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 205.
145 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, 209.
146 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, 209.

70 | Drs. Asnawi, MA
Allah yang berupa kawniyah (alam). Dalam konsep Islam, al-Qur’an
dan alam adalah ayat-ayat Allah, yang satu ayat qawliyah dan yang
satu ayat kawniyah. Integrasi terjadi apabila al-Qur’an maupun alam
semesta dibaca sebagai ayat Allah. Menurut Mulyadhi, yang terjadi
sekarang adalah kebanyakan manusia berhenti membaca alam
sebagai ayat Allah, karena mengikuti pola Barat, sehingga tidak
dikaitkan fenomena Biologi dengan Tuhan. Padahal kalau dikaitkan,
hal itu merupakan tanda-tanda kebesaran Allah.147

2. Integrasi Klasifikasi Ilmu


Integrasi klasifikasi ilmu yang didasarkan pada basis
ontologis bisa dilihat bukan hanya dari apa yang dikatakan Ibnu Sina,
melainkan juga al-Farabi. Kedua filsuf ini telah sepakat membagi
“yang ada” (maujūdāt) ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) wujud yang
secara nyata tidak tercampur dengan gerak dan materi; 2) wujud
yang dapat bercampur dengan materi dan gerak, tetapi dapat juga
memiliki wujud yang terpisah dari keduanya; dan 3) wujud yang
secara niscaya bercampur dengan gerak materi. Dari ketiga
pembagian wujud di atas sebagai basis ontologis, munculllah tiga
kelompok besar ilmu, yaitu: a) ilmu metafisika, b) matematika, dan c)
ilmu-ilmu alam. Ketiga kelompok utama ilmu ini, bersama dengan
subdivisinya, pada gilirannya membentuk klasifikasi ilmu rasional
yang integral.148

147 Wawancara pribadi dengan Mulyadhi Kertanegara, 1 April 2010.


148 al-Farabi dalam Ihsha’ al-‘ulūm membangun klasifikasi ilmu menjadi
tiga. Pertama, Metafisika; dibagi ke dalam tiga bagian sesuai dengan tugas masing-
masing, yaitu: 1) ilmu metafisika yang berhubungan dengan wujud (maujūdāt) dan
sifat-sifatnya sejauh ia merupakan wujud; 2) Ilmu metafisika yang
mengklasifikasikan jenis-jenis wujud untuk menetapkan materi subjek ilmu-ilmu
teoretis; dan 3) Ilmu metafisika yang berhubungan dengan wujud-wujud yang
bukan merupakan benda dan tidak ada dalam benda, yang seperti ini banyak dan
dapat diperingkat secara hierarkis, dengan Tuhan sebagai puncaknya. Kedua,

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 71


3. Integrasi Metodologi
Metodologi ilmiah yang dikembangkan oleh pemikir Muslim
meliputi tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau hierarki
objek-objeknya, yaitu: 1) Metode observasi, sebagimana digunakan
di Barat, yang disebut juga dengan tajrībī; 2) Metode logis atau
demonstratif (burhānī); dan 3) Metode intuitif (‘irfānī). Masing-
masing metode tersebut bersumber pada indera, akal, dan hati.149
Tokoh pendidikan lainnya adalah Amin Abdullah,
Kuntowijoyo, Zaenal Abidin Bagir, dan Imam Suprayogo. Amin
Abdullah menawarkan pendekatan Interkoneksitas. 150 Pendekatan
ini merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan
peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan integratif-
interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah
keterhubungan antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara
dari pendekatan integratif-interkonektif menjadikan keilmuan
mengalami proses objektivikasi. Suatu perbuatan disebut objektif

Matematika; dibagi menjadi tujuh cabang, yaitu: Aritmetika, Geometri, Astronomi,


Musik, Optik, Ilmu tentang gaya, dan alat-alat mekanik. Ketiga, Ilmu-ilmu Alam
yang menyelidiki benda-benda alami dan aksiden-aksiden yang inheren di
dalamnya dibagi menjadi: 1) Mineralogi yang meliputi Kimia, geologi, dan
metarologi; 2) Botani yang berkaitan dengan seluruh spesies tumbuhan dan sifat
umum dan khusus dari masing-masing spesies; dan 3) Zoologi, yang berhubungan
dengan berbagai spesies binatang yang berbeda-beda, sifat-sifat umum dan sifat-
sifat khusus dari masing-masing spesies. Termasuk dalam kategori ini adalah: a)
Psikologi, yang membahas daya-daya tumbuhan, hewan dan manusia; b)
Kedokteran yang berbicara tentang manusia dari sudut sehat atau sakitnya. Lihat
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, 211-212.
149 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, 218.
150 “Interkoneksitas” adalah usaha memahami kompleksitas fenomena

kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, sehingga setiap bangunan


keilmuan apa pun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun
kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Karena itu, dibutuhkan kerjasama, saling
tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi, dan saling keterhubungan
antardisiplin keilmuan. Lihat Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi:
Pendekatan Integratif-Interkonektif, Cet.I (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar,
2006), 219 – 223.

72 | Drs. Asnawi, MA
apabila perbuatan itu dirasakan oleh non-Muslim sebagai sesuatu
yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan.
Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap
menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal. 151
Menurut Amin Abdullah, sebenarnya pendekatan keilmuan
umum dan Islam dapat dibagi menjadi tiga corak. Pertama,
pendekatan Paralel, yaitu masing-masing corak keilmuan umum dan
agama berjalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan persentuhan
antara satu dengan lainnya. Kedua, pendekatan Linear, yaitu salah
satu dan keduanya akan menjadi primadona sehingga ada
kemungkinan berat sebelah. Ketiga, pendekatan Sirkular, yaitu
masing-masing corak keilmuan dapat memahami keterbatasan,
kekurangan, dan kelemahan pada masing-masing keilmuan dan
sekaligus bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan yang
ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain serta memiliki
kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri
sendiri.152
Kuntowijoyo menawarkan model ilmu-ilmu integralistik.
Menurutnya, integrasi adalah upaya menyatukan (bukan sekadar
menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-
ilmu integralistik), tidak mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau
mengucilkan manusia (other worldly asceticism).153 Sedangkan
Zaenal Abidin Bagir, sebagaimana dikutip Mulyadhi Kartanegara,
mempunyai konsep integrasi konstruktif, yaitu integrasi yang
menghasilkan konstribusi baru yang tidak diperoleh bila kedua ilmu
tersebut terpisah. Atau bahkan integrasi diperlukan untuk
menghindari dampak negatif yang mungkin muncul jika keduanya

151 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, 62.


152 Amin Abdullah, Islamic Studies, 219 – 223.
153 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, 55.

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum | 73


berjalan sendiri-sendiri. Walaupun menurutnya konsep ini
mengandung kelemahan, yaitu adanya kesan penaklukan, seperti
teologi ditaklukkan oleh sains. 154 Sementara Imam Suprayogo
menawarkan model integrasi dengan menjadikan al-Qur’an dan
Sunnah155 sebagai grand theory pengetahuan, sehingga integrasi
ayat-ayat qawliyah dan kawniyah dapat dipakai.156 Sementara
Soetandyo Wignyosoebroto menawarkan tiga model pengingetrasian
ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.157
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa diskursus
integrasi ilmu agama dan ilmu umum masih menjadi perdebatan di
kalangan ilmuwan Muslim. Akar perdebatan tersebut di antaranya
adalah persoalan persepktif filosofis yang mendasari bangunan
keilmuan, yakni ilmu itu bebas nilai atau tidak bebas nilai.[]

154 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, 208-223.


155 H.M. Rosyidi menekankan perlunya menjadikan al-Qur’an dan Sunnah
sebagai pedoman hidup umat Islam. Menurutnya, dengan mengutip pendapat
Roger Garaudy, ajaran Islam diperlukan oleh ummt manusia demi kelestarian
manusia itu sendiri. Karel A. Steenbrink, Beberapa Apek Tentang Islam di Indonesia
Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), vii.
156 Imam Suprayogo, Membangun Integrasi Ilmu dan Agama. Pengalaman

UIN Malang. Zainal Abidin Bagir, ed. 49-50.


157 Pertama, dengan menyatukan atau mensenyawakan. Menurutnya

apakah ini mungkin, karena akan berkonsekuensi pada pemikiran untuk


menggantikan paradigma epistemologisnya, dari apa yang disebut metode
dualisme ke metode monisme. Kedua, dengan mempersatukan ilmu agama yang
normatif-tekstual yang berkenaan dengan segala fenomena dengan ilmu
pengetahuan yang sainstifik-kontekstual yang hanya berkenaan dengan segala
fenomena empirik. Ketiga, menempatkan ilmu agama yang normatif dan ilmu
pengetahuan yang bertradisi sains itu tetap dalam ranah masing-masing yang
otonom, sebagai dua wujud yang ditempatkan dalam suatu garis progresi secara
terpisah, namun hubungan antara keduanya adalah fungsional dan komplementer.
Lihat Soetandyo Wignyosoebroto, “Perspektif Filsofis Integrasi Agama dan Sains”.
dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam. ed. M. Zainuddin (Malang:
UIN Pres, 2004), 47.

74 | Drs. Asnawi, MA

Anda mungkin juga menyukai