PENDIDIKAN ISLAM
DAN INTEGRASI ILMU
pada saat itu untuk berlangsungnya proses pendidikan Islam oleh Nabi,
dikarenakan selain Arqām sebagai sahabat yang paling setia, juga karena secara
politis lokasi rumahnya sangat strategis, yakni berada di bukit Ṣafā, sehingga
pandangan kaum Quraisy dapat terhalangi. Lihat pula Hanun Asrohah, Sejarah
Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2001), 13.
4 Kuttāb adalah lembaga yang dibentuk setelah masjid yang berfungsi
untuk belajar membaca dan menulis. Lihat, Ahmad Syalabi, Al-Tarbiyah al-
Islāmiyah (Kairo: Maktabah al-Nahḍah al-Miṣriyah, 1982), 33. Bandingkan dengan
Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 15. Pada tahap-tahap awal setelah tersebarnya
Islam, guru-guru pada lembaga-lembaga pengajaran dasar (Kuttāb), terutama
sekali adalah non Muslim, khususnya Yahudi dan Kristen. Fenomena ini
melahirkan kontroversi hukum tentang boleh tidaknya orang Islam mengajarkan
al-Qur’an kepada selain Muslim atau sebaliknya, sehingga Ibnu Khaldun (abad
8/14) melarang mengajarkan keterampilan baca tulis bersamaan dengan belajar
al-Qur’an dan agama. Menurutnya, untuk mempelajari baca dan tulis sebaiknya
dicarikan bantuan guru yang profesional. Baca Fazlur Rahman, Islam (Bandung:
Penerbit Pustaka, 1994), 263-264.
5 Pada zaman Rasulullah, masjid merupakan sekolah pertama yang
bersifat umum dan sistematis. Di masjid inilah anak-anak dan orang dewasa, baik
laki-laki maupun perempuan, menuntut ilmu. Fungsi masjid tidak terbatas sebagai
lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai tempat orang fakir miskin berlindung dari
dinginnya udara malam sambil belajar agama dan keduniaan. Bahkan kadang-
kadang halaman masjid digunakan sebagai tempat latihan perang, seperti yang
dilakukan oleh orang Ḥabsyi, sebagaimana disaksikan Rasulullah dan Aisyah. Lihat
Abd al-Rahman al-Nahlawi, Uṣūl al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa asālibihā fī al-Bayt wa
al-Madrasah wa al-Mujtama‘ (Bayrut: Dār al-Fikr al-Mu‘āshirah, Cet II,
1403/1983), 148.
34 | Drs. Asnawi, MA
madrasah6 serta ḥalaqah-ḥalaqah yang diselenggarakan di rumah-
rumah para ilmuwan muslim secara mandiri. Di samping lembaga-
lembaga pendidikan Islam tersebut, pengembangan ilmu
pengetahuan pada saat itu juga didukung dengan adanya
observatorium, perpustakaan Bayt al-Ḥikmah (215/830),7 toko
buku,8 dan rumah sakit.
buku-buku sains kakek Harun al-Rasyid, ‘Abd Allah al-Manshur, Muhammad al-
Mahdi, ayahnya dan koleksi Harun al-Rasyid sendiri. Al-Manshūr, sebagai ahli Fiqh
yang gemar pada ilmu astronomi, memiliki koleksi berharga, yaitu buku
matematika India kuno yang berjudul “Bramasphuta Sidhatama”. Kegiatan
mengoleksi buku-buku berharga ini kemudian diikuti dengan penerjemahannya.
Misalnya Muhammad bin Ibrāhīm diperintah untuk menerjemahkan Siddhanta
dari Bahasa Sanskerta ke dalam Bahasa Arab. Kegiatan seperti ini diteruskan oleh
al-Mahdi, ayah Hārūn al-Rashīd. Begitu pula Hārūn sendiri meneruskan kegiatan
serupa dan terwujudlah perpustakaan Kanz al-Ḥikmah. Upaya Hārūn ini
dikembangkan oleh al-Ma’mūn menjadi Bayt al-Ḥikmah pada tahun 217/832 M.
Lihat Hāmid Fahri Zarkasyi, “Bayt al-Ḥikmah Akademi Pertama dalam Islam”,
Islamia Vol. v, No. 1. 2009, 94. Di samping melakukan kegiatan penerjemahan
karya-karya filsafat dan pengetahuan asing dari berbagai bahasa ke dalam bahasa
Arab, Bayt al-Ḥikmah juga melakukan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan
yang telah ditransmisikan, hingga akhirnya lembaga ini berkembang menjadi
akademi besar. Lihat Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, Cet II (Jakarta:
Ciputat Pess, 2007), 109.
8 Stanton mencatat, walaupun sarjana-sarjana modern mungkin kesulitan
36 | Drs. Asnawi, MA
ilmu-ilmu yang tergolong al-‘ulūm al-‘aqliyah memang belum tampak
dilakukan oleh kaum Muslimin pada saat itu, dikarenakan perhatian
mereka terfokus pada upaya jihad dan dakwah.10
Namun, munculnya tokoh-tokoh11 dan ilmuwan semisal al-
Bīrūnī (w.1041) seorang ensiklopedis Muslim, Ibn Sīnā (980-1037)12
seorang filsuf dan ahli kedokteran, Ibn Haitham (w.1039) seorang
fisikawan,13 Ibn Khaldūn,14 Ibn al-Nafīs Hayyān,15 al-Khawārizmī,16
mengulas ilmu bedah yang lima abad kemudian menjadi buku teks di Perguruan
Tinggi di Eropa. Ibnu Sīnā mengadakan telaah pada berbagai bentuk energi: energi
panas, gerak cahaya, dan membahas konsep tentang gaya dan vakum. Dialah yang
membantah para ahli Mesir Kuno yang mengajarkan bahwa logam-logam biasa
dapat ditranmutasikan menjadi emas melalui proses kimiawi. Lihat Ahmad
Baiquni, al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman (Yogyakarta: Data Prima Yasa,
1997), 64.
13 Ibnu Haitham telah melakukan penelitian terhadap hukum-hukum
pantulan dan pembiasan cahaya mendahului Snel. Ia juga telah menulis buku
tentang hubungan antara kerapatan udara dan ketinggian di atmosfir. Ia pula yang
membantah ajaran Aristoteles tentang penglihatan: bukan cahaya yang keluar dari
mata, melainkan yang terpantul masuk ke dalam matalah yang membuat mata
dapat melihat benda sekitarnya. Dialah orang yang membahas gaya tarik antara
benda-benda, yang kini dikenal sebagai gravitasi, serta inersia atau kelembaban
benda. Lihat Ahmad Baiquni, al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, 66.
14 Nama lengkapnya adalah Waliyuddin ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad
ibn Muhammad ibn Abi Bakr Muhammad ibn al-Hasan ibn Khaldūn. Lahir di
Tunisia pada awal Ramadhan 732 H (27 Mei 1333 M) dan wafat 25 Ramadhan 808
H (19 Maret 1406M). Dia dikenal sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dalam
Islam. Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran,
1997),139-143.
15 Ibn Ḥayyān (731-815), yang terkenal dengan nama Jabir (orang Eropa
menyebutnya Geber), adalah filsuf dan ahli logika yang bekerja di bidang fisika dan
kedokteran, namun karya utamanya justru di bidang kimia. Ia mahir dalam
kristalisasi, sublimasi, destilasi, kalsinasi, dan sebagainya. Ia telah berhasil
membuat berbagai jenis asam. Ia juga seorang sufi, pengikut Ja’far ash-Shadiq.
Ahmad Baiquni, Al Qur’an…, 68.
16 Al-Khawārizmi (780-850M) yang namanya dikenal di Eropa sebagai
leksikagrafi, dan ilmu geografi. Dari keahliannya dia berhasil menyusun Kamus
Divan Lugat it Turk pada tahun 1074, serta peta negara Turki . Lihat Dyah Ratna
Mata Novia “al-Kasghari Cendekiawan Muslim Ahli dalam Bidang Bahasa,
Leksikagrafi, dan Geografi”, Republika, Jumat, 4 Desember 2009, 21.
18 Nama lengkapnya Abd al-Malik ibn Quraib al-Asma’i. Dia dikenal sebagai
sosok cendekiawan yang merintis kajian sains dan zoologi. Beberapa karyanya
yang terkenal adalah al-Khail, al-ibil, al-Wuḥus serta Khalk al-Insān dan al-Farq.
Kitab al-Farq tersebut telah diedit oleh D H Muller dan diterbitkan di Wina. Lihat
Dyah Ratna Mata Novia, “Abd al-Malik ibn Quraib al-Asma’i, Cendekiawan yang
Bersinar di Baghdad”, Republika, 2 Juni 2010, 28.
19 QS. Al-Qaṣaṣ [28]: 77, yang artinya: “Dan carilah pada apa yang telah
berisi perintah yang begitu tegas, agar Nabi “membaca” dan diteruskan dengan
perintah belajar dengan “qalam”. Lihat Suparman Syukur, Epistemologi Islam
Skolastik: Pengaruhnya pada Pemikiran Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar - IAIN
Walisongo Press, 2007), 174.
21 Ayat qawliyah/ayat qura’niyah adalah ayat-ayat dalam al-Qur’an yang
secara verbal dan tersurat diwahyukan oleh Allah SWT. Sementara ayat kawniyyah
adalah ayat realitas yang bersentuhan dengan gejala alam dan jagat raya. Baca Abu
Yazid, Nalar Wahyu; Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syari‘at (Jakarta:
38 | Drs. Asnawi, MA
mendorong manusia agar melakukan perenungan dan penelitian
terhadap fenomena alam semesta, serta merenungi kebesaran dan
kemahakuasaan Penciptanya.22 Betapa banyak ayat yang
mengandung pertanyaan retorika dari Allah semacam afalā ta‘qilūn
(apakah engkau tidak berakal), atau afalā tatafakkarūn (apakah
engkau tidak berfikir).23 Selain al-Qur’an, hadits-hadits Nabi juga
sangat menekankan bahkan mewajibkan umatnya agar menuntut
ilmu.24 Ini merupakan dorongan yang sangat kuat bagi umat Islam
untuk mencari ilmu (belajar) sekalipun sampai ke negeri Cina. 25
Karena kewajiban, tentu harus dilaksanakan, dan berdosa hukumnya
jika tidak dikerjakan.26 Dan pencarian pengetahuan hanya
dibenarkan, atau sekurang-kurangnya sebagai langkah menuju
Muslim.” Lihat Sulaim Ibn Ahmad al-Thabrany, al-Mu’jam al- Ausaṭ ( Kairo: Dār al-
Ḥaraimayn, 1415H), Juz 2, 29. Lihat pula Abdu al-Rauf al-Manāwy, Fayḍ al-Qadīr
(Mesir: al Maktabah al-Tijāriyah al-Kubra, 1356H), Juz 1, 543. Dalam hadis lain,
Nabi bersabda, “Tuntutlah ilmu sejak buaian hingga ke liang lahat.” Lihat Musthafa
Ibn ‘Abd Allāh al-Qastanṭiny al-Rūmy, Kashf al-ẓunūn (Bayrut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 1413H), Juz 1, 5.
25 Sabda Nabi: “Tuntutlah ilmu, sekalipun di negeri Cina”. Lihat Habib Ibn
Umar al-Azdy, Musnad al-Rabi’, (Bayrut: Dār al-Ḥikmah, 1415H), Juz, 29. Lihat pula
‘Amr Ibn ‘Abd al-Bazzār, Musnad al-Bazzār, (Beyrut: Muassasah ulūm al-Qur’an,
1409H), Juz 1, 75. Terhadap hadis ini, Kartanegara mengomentari bahwa hadis ini
sangat signifikan dilihat dari semangat pencarian ilmu, karena ia menunjukkan visi
Nabi/Islam yang luas dan progresif tentang ilmu. Betapa tidak, menuntut ilmu ke
negeri Cina pada masa Nabi, tidak mungkin menuntut ilmu agama Islam, karena
pada saat itu kita hampir yakin bahwa ilmu keislaman belum lagi berkembang.
Jadi, dari sudut bidang tentulah yang dimaksud oleh Nabi adalah bidang-bidang
keilmuan umum. Lihat Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam
(Jakarta: Bait al-Ihsan, 2006), 13.
26 Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi, 13.
buku. Di dalamnya banyak sarjana dari berbagai budaya, etnik, bangsa, dan agama.
Baca Amin Abdullah, Progressivity of Classical Islam and The Project of Iḥyā’ al-
Turāth, A draf of paper presented in the International Confrence on Debating
Progressive Islam: A Global Perspective School UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Under Auspice IAIN Indonesia Sosial Equity Project (IISEP) July, 25-27, 2009, 2.
29 Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan untuk Kaum
40 | Drs. Asnawi, MA
jatuh di bawah kekuasaan Barat.30 Ada beberapa faktor yang menjadi
pemicu mundurnya dunia Islam. Pertama, adanya persaingan tidak
sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam daulah
Abbasiyah, terutama Arab, Persia, dan Turki. Kedua, adanya konflik
aliran pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya
konflik berdarah. Ketiga, munculnya dinasti-dinasti kecil yang
memerdekakan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad. Keempat,
kemerosotan ekonomi akibat kemunduran politik. Kelima, Perang
Salib yang terjadi beberapa gelombang. Keenam, hadirnya tentara
Mongol di bawah pimpinan Hulagusrifah Khan. 31
Musyrifah Sunanto menandai kemunduran dunia Islam pada
saat itu dengan tiga hal. Pertama, tertutupnya pintu ijtihad. Kedua,
putusnya hubungan antara umat Islam. Ketiga, pada zaman itu
berkembang tradisi memberikan syaraḥ dan ikhtisar.32
Keadaan di atas, sebagaimana dinyatakan Baiquni, menjadi
salah satu pemicu munculnya dikotomi ilmu pengetahuan.33
Sementara itu di Eropa, pada abad pertengahan, timbul konflik
antara ilmu pengetahuan (sains) dan agama (gereja). Dalam konflik
ini sains keluar sebagai pemenang, dan sejak itu sains melepaskan
diri dari kontrol dan pengaruh agama serta membangun wilayahnya
sendiri secara otonom.34
Ketiga, periode kebangkitan Islam (1800 M s.d. sekarang).
Kondisi dunia Islam pada periode pertengahan di atas melahirkan
sejarah keilmuan Islam dari abad VII sampai abad XI, tidak mengenal dikotomi
antara pendidikan ilmu agama dan sains. Lihat Abdurrahman Mas’ud, Menggagas
Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius sebagai Paradigma
Pendidikan Islam (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 7. Lihat pula Harapandi,
“Mencari Relevansi: Gagasan Pendidikan Nondikotomik”, Penamas, Vol. xxi No. 2.
2008, 196. Lihat pula QS. Al-Qaṣaṣ: 77.
37 Masduki, “Menuju Sistem Pendidikan Integrasi Melalui Dekonstruksi
Dikotomi”, al-Fikra, Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No.1. Januari-Juni 2006, 25.
38 Husni Rahim, “UIN dan Tantangan Meretas Dikotomi Keilmuan”, dalam
42 | Drs. Asnawi, MA
(pesantren) di satu pihak, dan ilmu-ilmu sekuler sebagaimana
diajarkan di sekolah-sekolah yang disponsori oleh pemerintah.
Kondisi dikotomi ini, lebih dipertajam lagi dengan munculnya
pengingkaran validitas dan status ilmiah yang satu atas yang lain.
Kaum tradisional menganggap bahwa ilmu-ilmu umum itu bid‘ah
atau haram dipelajari karena berasal dari orang-orang kafir,
sementara para pendukung ilmu-ilmu umum menganggap bahwa
ilmu-ilmu agama sebagai pseudo-ilmiah atau hanya mitologi yang
tidak akan mencapai tingkat ilmiah, karena tidak berbicara tentang
fakta, tetapi tentang makna yang tidak bersifat empiris.39
Selain itu, pandangan dikotomis ini juga menimbulkan
ketimpangan pengetahuan dalam diri muslim (split personality),40
ketika ilmu agamanya bagus justru ia tidak mengerti tentang ilmu
umum. Demikian juga sarjana-sarjana dari ilmu umum, mereka
menjadi “orang awam” ketika bersentuhan dengan ilmu syar‘iyah.41
Oleh karena itu perlu disadari bahwa dalam mempelajari fenomena-
fenomena alam, yang menjadi objek kajian ilmu-ilmu umum, dapat
dengan mudah dijumpai adanya nilai-nilai agama yang dapat
mengantarkan manusia untuk mengakui dan menyakini akan
kebesaran serta kemahakuasaan Penciptanya. 42 Maka tepatlah apa
yang dikatakan Ibnu Rusyd bahwa syariat mewajibkan pengkajian
karena sistem pendidikan yang masih dikotomis. Baca Amin Abdullah, Islamic
Studies dalam Paradigma Integrasi-Intekoneksi (sebuah Antologi) (Yogakarta SUKA
Press, 2007), 9.
41 Alzrie, “Dikotomi Ilmu Navigasi dari Sekularisme” diakses ulang 19 Juni
punya pandangan.” Menurut Ibnu Rusyd, ayat ini sebagai sandaran tekstual yang
jelas tentang kewajiban kita menggunakan penalaran akal, atau gabungan
intelektual dan penalaran hukum. Lihat Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan:
Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 143.
B. Paradigma Keilmuan
1. Paradigma Islam
Paradigma45 Islam menurut Izzudin Taufiq adalah cara
pandang yang menjadikan ilmu yang bersumber dari wahyu Ilahi (al-
Qur’an) sejajar dengan ilmu yang bersumber dari pemikiran manusia
hingga bisa dilakukan inovasi dan rekonstruksi.46 Sementara
Kuntowijoyo melihat bahwa paradigma Islam adalah menjadikan al-
Qur’an sebagai cara pandang umat Islam dalam melihat realitas.
Menurutnya, al-Qur’an sebagai paradigma Islam, berarti suatu
konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami
realitas sebagaimana al-Qur’an memahaminya. Melalui konstruksi
44 | Drs. Asnawi, MA
pengetahuan tersebut dapat diperoleh “ḥikmah” yang menjadi dasar
pembentukan perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif al-
Qur’an, baik pada level moral maupun sosial. 47 Konstruksi
pengetahuan tersebut juga memungkinkan dijadikan sebagai dasar
untuk merumuskan desain besar mengenai sistem Islam, termasuk
di dalamnya sistem ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma
al-Qur’an di samping memberikan gambaran aksiologis juga
memberikan wawasan epistemologis.48
Dari pengertian di atas, sebagaimana dikemukakan para ahli,
dapat dipahami bahwa pada dasarnya paradigma mempunyai arti
cara pandang yang berkaitan dengan aspek ontologi, epistemologi,
dan aksiologi.49 Dengan kata lain paradigma keilmuan ini terkait
dengan persoalan apa yang ingin diketahui, cara seseorang
memperoleh pengetahuan, dan kegunaan nilai pengetahuan tersebut
bagi manusia.
yang berada di balik ilmu. Epistemologi adalah ilmu yang menjelaskan tentang
masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu. Sedangkan aksiologi adalah
ilmu yang menerangkan kegunaan dan nilai ilmu bagi hidup dan kehidupan
manusia. Lihat A.M. Saefuddin et.al. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi
(Bandung: Mizan, 1998), 31.
Publishers United), 9.
53 Pengetahan indrawi (knowledge) meliputi semua fenomena yang dapat
46 | Drs. Asnawi, MA
pengetahuan itu ada tiga tingkatan, yaitu pengetahuan orang awam,
pengetahuan kaum intelektual, dan pengetahuan kaum sufi.56
Terkait dengan hierarki keilmuan, Osman Bakar menjelaskan
setidaknya ada tiga klasifikasi keilmuan yang telah disusun oleh para
ilmuwan. Mereka adalah Al-Farābi,57 Al-Ghazāli,58 Qutb al-Din al-
Shirāzi,59 dan Ibnu Khaldūn.60
menghafal tiga ratus ribu hadits. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2002), 518.
56 Sebagai gambaran, ketiga tingkatan pengetahuan ini ada sebuah contoh.
Umpama suatu ketika ada berita/informasi bahwa “di rumah itu ada orang”.
Terhadap pengetahuan/berita tersebut orang awam tanpa menyelidiki
kebenarannya langsung percaya saja. Berbeda dengan kaum intelelektual, mereka
akan menyelidiki kebenaran berita tersebut dengan mengadakan analisis data-
data yang ada, apakah benar ada orang di rumah itu. Setelah meneliti adanya
sandal, suara percakapan, dan lain-lain, mereka mengambil keputusan bahwa
memang benar ada orang di dalam rumah tersebut. Kaum sufi tidak menerima
berita itu saja dan tidak pula meneliti data-data yang membenarkan berita
tersebut, tetapi langsung membuka pintu rumah sehingga mereka mampu melihat
orang di dalamnya. Ma‘rifah dalam pandangan al-Ghazali adalah seperti
pengetahuan yang ketiga. Baca Amsal Bahtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Wacana
Ilmu dan Pemikiran, 1999), 51. Menurutnya, pengetahuan yang ketiga lebih
membawa kepada keyakinan dan kepuasaan ketimbang pengetahuan yang
pertama dan kedua. T.J.De Boer, Tārikh al-Falsafah fī al-Islām (Kairo: Lajnah al-
Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, TTP), 227. Pengetahuan yang paling benar
adalah pengetahuan intuisi atau ma’rifah yang disinarkan langsung oleh Allah
kepada seseorang. Pengetahuan mistiklah yang membuat dia yakin dan merasa
tenang setelah dia dilanda keraguan yang hebat. Baca al-Ghazali, Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn,
Juz III, Dār Iḥyā’ al-Kutub al-‘Arabiyah, TTP), 15. Baca pula al-Ghazali, al-Munqiẓ
min al-ḍalāl (Kairo: Dār al-Kutub al-Ḥadīthah, 1974), 132.
57 al-Farabi (870-950) mengklasifikasikan ilmu ke dalam enam macam:
(‘ilm al-fiqh) dan teologi dialektis (‘ilm al-kalām). Al-Farabi, Ihsa al-‘ulūm, h. 45-
103, lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu, 145-148.
58 al-Ghazali (1058-1111) membagi ilmu ke dalam empat sistem klasifikasi
ilmu. Pertama, ilmu-ilmu teoretis dan praktis. Kedua, ilmu-ilmu pengetahuan yang
dihadirkan (ḥuḍūrī) dan pengetahuan yang dicapai (ḥuṣīlī). Ketiga, Ilmu-ilmu
religius (shar‘īyah) dan intelektual (‘aqliyah). Keempat, ilmu-ilmu farḍu ‘ayn (wajib
atas individu) dan farḍu kifāyah (wajib atas umat). Lihat Osman Bakar, Hierarki
Ilmu, 231.
59 Quthb al-Dīn dalam Durrah al-tāj membagi ilmu menjadi dua bagian
besar. Pertama, al-‘ulūm ḥikmī (ilmu-ilmu filosofis) yang dibagi menjadi dua, yaitu
‘ilmu naẓarī dan ‘ilmu ‘amalī. ‘Ilmu naẓarī adalah ilmu teoretis. Termasuk dalam
kategori ini adalah metafisika, metematika, filsafat alam dan logika. Sementara
‘ilmu ‘amalī adalah ilmu yang bersifat praktis. Termasuk dalam kategori ini adalah
etika, ekonomi, dan politik. Kedua, al-‘ulūm ghayr ḥikmī (ilmu-ilmu non filosofis)
yang dibagi menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu religius (al-‘ulūm al-dīni) dan ilmu-ilmu
non religius (al-‘ulūm ghayr dīni). Al-‘ulūm al-dīni didasarkan atas atau termasuk
dalam ajaran syari’ah (hukum wahyu). Ilmu-ilmu religius ini dirinci menjadi dua,
yaitu ilmu naqlī (berdasarkan wahyu) dan ilmu aqlī (ilmu-ilmu intelektual), dan
ilmu-ilmu tentang pokok-pokok agama (uṣūl al-dīn) dan ilmu cabang (furū’).
Sementara al-‘ulūm ghayr dīni tidak didasarkan atau tidak termasuk ke dalam
ajaran syari’at. Lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu, 279.
60 Ibnu Khaldun, dalam al-Muqaddimah, membagi ilmu ke dalam dua
kategori besar. Pertama, ilmu-ilmu naqliyah (transitted science) yang teridiri dari:
1) tafsir al-Qur’an dan hadis, 2) Ilmu fiqh yang meliputi fiqh, farā’id, dan uṣūl fiqh,
3) Ilmu kalam, 4) tafsir ayat-ayat Mutasyabihat, 5) Tasawuf, dan 6) Ta’bir mimpi
(Ta‘bīr al-Ru’yah). Kedua, ilmu-ilmu ‘aqliyah (rational science) yang meliputi: 1)
ilmu logika, yang terdiri dari (a) Burhān (Demonstrasi), (b) Jadal (Dialektika,
Topika), (c) Khiṭābah (Retorika); 2) Fisika, yang terdiri dari: (a) Minerologi, (b)
Botani, (c) Zoologi, (d) Kedokteran, dan (e) Ilmu Pertanian; 3) Matematika, terdiri
dari: (a) Aritmetika kalkulus dan aritmetika Aljabar, (b) Geometri yang terdiri dari
Figur Sferik, Kerucut, Mekanika, Surveying dan Optik, (c) Astronomi; dan 4)
Metafisika yang meliputi: (a) Ontologi, (b) Teologi, (c) Kosmologi, dan (d)
Eskatologi. Lihat Ibnu Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History
(Princenton: Princenton University Press, 1981), 343-391. Lihat pula Mulyadhi,
Reaktualisasi Tradisi, 65-66.
48 | Drs. Asnawi, MA
intelektual yang dikembangkan dalam Islam memang mempunyai
hierarki. Tetapi hierarki ini pada akhirnya bermuara pada
pengetahuan tentang “Yang Maha Tunggal”, substansi dari segenap
ilmu.61
Pendapat Hossein Nasr paralel dengan pendapat Azyumardi
Azra yang menyatakan bahwa para ilmuwan Muslim pada masa-
masa awal membagi ilmu-ilmu itu pada intinya kepada dua bagian
yang tidak terpisahkan, bagaikan dua sisi dari satu mata uang.
Pertama, adalah al-‘ulūm al-naqliyah, yakni ilmu-ilmu yang
disampaikan Tuhan melalui wahyu, tetapi tetap melibatkan
penggunaan akal. Kedua adalah al-‘ulūm al-‘aqliyah, yakni ilmu-ilmu
intelek yang hampir sepenuhnya diperoleh melalui penggunaan akal
dan pengalaman empiris. Kedua bentuk ilmu ini secara bersama-
sama disebut al-‘ulūm al-ḥuṣūliyah, yaitu ilmu-ilmu perolehan. Istilah
terakhir ini digunakan untuk membedakan dengan “ilmu-ilmu”
(ma‘rifah) yang diperoleh melalui ilham (kashf).62 Selain itu,
klasifikasi ilmu ini juga memperlihatkan adanya dua saluran utama
lewat mana ilmu pengetahuan itu diperoleh. 63
Terkait dengan persoalan apakah ilmu itu bebas nilai atau
tidak, para ilmuwan berbeda pendapat. Muhammad Arkoun, Aziz al-
Tinggi, xi. Terkait dengan makna Kashf (melihat dengan hati atau ilhām) dan
ma‘rifah, secara harfiah artinya sama, yaitu pengetahuan. Ibnu Manzur dalam Lisān
al-‘Arab mengartikannya sebagai ilmu (al-‘ilm). Lihat Abdul Aziz Dahlan et. al. ed.
Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1996), 245.
63 Seyyed Hossein Nasr dalam Mulyadhi menyatakan bahwa orang Islam
harus meneliti dan mengkaji dengan cerdas nilai dan penilaian yang melekat pada
pelbagai asumsi dan interpretasi ilmu modern. Lihat Wan Mohd Nor wan Daud,
The Educational Philoshopy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An
Exposition of The Original Concep of Islamization (Kuala Lumpur: International
Institute of Islamic Thought and Civilization, 1998), 377.
67 Menurut Mulyadhi Kartanegara, batu saja bisa diislamkan, apalagi ilmu.
Ilmu itu tidak bebas nilai. Wawancara Pribadi dengan Mulyadhi Kartanegara,
(Pondok Petir: 1 April 2010).
68 Mastuhu, Memberdayaan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos
memberikan kerangka metafisis yang Islami atas sains yang berkembang dewasa
ini. Menurutnya, sains adalah aktivitas yang tidak bebas nilai, dan nilai-nilai Islam
mempunyai hak yang sama untuk melibatkan diri sebagaimana halnya nilai-nilai
50 | Drs. Asnawi, MA
adalah sains yang dikembangkan oleh kaum Muslim sejak abad
kedua Islam.70 Pendapat ini dikuatkan oleh Turner, yang menyatakan
bahwa sebagian besar penelitian yang dilakukan kaum Muslimin
memberi manfaat langsung terhadap farmakologi dan farmasi yang
berkembang di seluruh dunia Islam dalam skala yang tak terduga. 71
Berbeda dengan pendapat Ghulsyani dan Nasr di atas,
Hoodbhoy dengan tegas mengatakan tidak ada Sains Islam tentang
dunia fisik. Dan usaha untuk menciptakan Sains Islam merupakan
pekerjaan yang sia-sia. Untuk mendukung pendapatnya, dia
mengemukakan tiga alasan. Pertama, semua usaha yang pernah
dilakukan untuk menciptakan sains Islam telah gagal. Kedua,
menjelaskan sekumpulan prinsip-prinsip moral dan teologi
betapapun tingginya tidak dapat memungkinkan seseorang
menciptakan sains baru dan permulaan. Ketiga, belum pernah ada,
dan sampai kini belum ada definisi sains Islam yang dapat diterima
semua kaum Muslim.72
Menurut Bakar, dalam epistemologi Islam, Allah SWT adalah
sebagai sumber kebenaran dan pengetahuan. Sebagai sumber
kebenaran dan pengetahuan, Allah SWT memberikan ilmu-Nya
melalui dua jalan, yaitu melalui firman-Nya (words of Allah) dan
ateis. Perlibatan nilai-nilai Islam itulah yang menghasilkan sains Islam. Lihat Hasan
Basri, Konsep Ilmu,14.
70 Selama kurang lebih tujuh ratus tahun, sejak abad kedua Islam hingga
(Austin: University of Texas Press, 1997, terj. Zulfahmi Andri (Bandung: Yayasan
Nuansa Cendekia, 2004), 176.
72 Pervez Hoodbhoy, Islam and Science; Religious Ortodoxy and The Battle
for Rationality (London and New Jersy, Zed Books Ltd, 1991), 77-80.
73 Osman Bakar, Tauhid dan Sains (Bandung : Pustaka Hidayah, 1994), 14-
21.
74 Hal ini sebagaimana diakui oleh Omar Mohammad al-Toumy al-
Syaibany, adanya lima sumber pokok ilmu pengetahuan, yaitu indra, akal, institusi,
ilham, dan wahyu Ilahi. Menurutnya, Islam mengakui semua sumber ini dan
menghargai pentingnya sumber itu sesuai dengan bidang pengetahuannya. Lihat
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam ( Jakarta:
Bulan Bintang, 1979, 274.
75 Hasan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam (Jakarta: Al Husna Zikra,
2000), 396. Lihat Pula Ali Ashraf, Horison Pendidikan Islam (TTP: Pustaka Firdaus,
1996), 25.
76 Michael S. Merry, Culture, Identity, and Islamic Schooling (USA: Palgrave
urutan yang berbeda, yaitu: ḥaqq al-yaqīn, ‘ilm al-yaqīn, dan ‘ayn al-yaqīn. Lihat
Louay Safi, The Foundation of Knowledge; A Comparative Study in Islamic and
52 | Drs. Asnawi, MA
tertentu (‘ilmu al-yaqīn/knowledge by inference), penglihatan
tertentu (‘ayn al-yaqīn/knowledge by perception), dan kebenaran
tertentu (ḥaqq al-yaqīn/knowledge by personal experience of
intuition).78 Karena itulah, antara agama dan sains tidak mungkin
terjadi pertentangan hakiki, karena keduanya berasal dari sumber
yang sama, yaitu Allah SWT. Keduanya harus diambil sebagai
anugerah Tuhan untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan
akhirat.79
Lain halnya dalam epistemologi sekuler, objektivitas yang
dijunjung tinggi dalam metode sains modern hanya dipandang
sebagai suatu nilai ilmiah. Sedang dalam Islam, objektivitas yang
antara lain berarti kejujuran dan sikap tidak memihak kecuali
kepada kebenaran, tidak hanya dipandang sebagai tuntutan ilmiah,
Education (Jeddah: Hodder and Stoughton, 1979), 94-95. Dalam buku yang lain al-
Attas mengatakan bahwa ilmu pengetahuan sebagaimana dipahami oleh umat
Islam ada dua macam, yaitu: ilmu pemberian Tuhan (given by God to man) dan
ilmu yang merupakan hasil perolehan manusia baik melalui pengalaman maupun
observasi (acquary based upon experience and observation). Baca Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Islam The Concept of religion and The Foundation of Etich and
Moarality (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan
Malaysia, 1992), 28-19. Lihat pula Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena
to The Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic
Thought and Civilization [ISTAC], 2001), 68. Pembagian al-Attas tersebut sesuai
dengan pendapat Ibn Athaillah al-Sakandary dalam Nasr, menggunakan terminolgi
yang berbeda yang menunjukkan tingkatan fundamental ilmu yang meliputi
Syu‘ā‘ul baṣīrah sesuai dengan ‘ilm al-yaqīn; dan ‘ayn al-baṣīrah sesuai dengan ‘ayn
al-yaqīn; dan ḥaqq al-baṣīrah sesuai dengan ḥaqq al-yaqīn. Lihat Seyyed Hossein
Nasr, Islam and The Pligh of Modern Man (New York: Longman, 1975), 65.
79 Islam adalah agama yang dijadikan sebagai pandangan hidup total (total
way of life) manusia, tidak memisahkan antara kehidupan yang bersifat duniawi
dan yang bersifat ukhrawi. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Islam; Religion, History and
Civilization (Sanfransisco: A Division of Happer Collin Publisher, 2002), 26-27.
54 | Drs. Asnawi, MA
menuntut ilmu. Banyak ayat al-Qur’an86 yang memberikan motivasi
untuk mencari ilmu, baik yang tergolong ‘ulūm naqliyah maupun
‘ulūm ‘aqliyah.87 Kedua, apresiasi masyarakat. Ketiga, patronase
penguasa.88 Karena itulah untuk mewujudkan kembali kejayaan
dunia Islam diperlukan upaya serius dalam membangkitkan
apresiasi masyarakat Muslim untuk melakukan berbagai kajian dan
penelitian terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Selain
itu, diperlukan juga dukungan pemerintah dengan memberikan
dorongan dan fasilitas yang memadai.
2. Paradigma Sekuler
Kata sekuler berasal dari bahasa latin “saeculum”, yang
berarti masa, waktu, generasi, atau dunia.89 Di dunia Islam, istilah
sekuler pertama kali dipopulerkan oleh Ziya Gokalp (1875-1924).90
Istilah ini sering dipahami sebagai sesuatu yang irreligious (tidak
86 Penelitian Sardar membuktikan ada 800 kali kata ‘ilm digunakan dalam
al-Qur’an. Baca Ziauddin Sardar, Islam, Posmodernism ad Other Futures, Sohali
Inayatullah and Gail Boxwell ed. (London: Pluto Press, 2003), 90.
87 Di antara ayat yang mendorong umat Islam untuk mencari ilmu adalah
QS. al-Mujadilah [58]: 11, yang artinya: “Allah mengangkat derajat orang-orang
yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat”, QS.
Al-An‘am [6]: 50, yang artinya: "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang
melek”, dan QS. Azzumar [39]: 9, yang artinya: “Katakanlah adakah sama orang-
orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui?
Sesungguhnya (hanya) orang-orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran”.
88 Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi, 12-26.
89 Hasan Sadily, Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve
berdirinya negara sekuler di Turki. Menurut keyakinannya, hal ini akan dapat
membawa bangsa Turki ke arah Islam dan Modernisme. Baca Muhammad Rashid
Reroze, Islam and Secularism in Post-Kemalist Turkey (Islamabad-Pakistan, Islamic
Research Institute, 1976), 14. Baca pula Mukti Ali, Islam dan Sekularime di Turki
Modern (Jakarta: Djambatan, 1994), 51.
1998), 797. Lihat pula Hassan Sadily, Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1984), 3061.
94 A.M. Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Arab-Indonsia Terlengkap
56 | Drs. Asnawi, MA
Ketika manusia menganggap bahwa dirinya menjadi pusat, maka
terjadilah diferensiasi (pemisahan). Etika, kebijaksanaan, dan
pengetahuan tidak lagi berdasarkan wahyu Tuhan. Sejak itulah
kegiatan ekonomi, politik, hukum, dan ilmu harus dipisahkan dari
agama. Kebenaran terletak pada ilmu sendiri. Ilmu harus objektif,
tidak ada campur tangan etika, moral, dan kepentingan lain.
Ilmu sekuler mengakui dirinya objektif, value free, bebas dari
kepentingan lainnya. Tetapi, ternyata ilmu tersebut telah melampaui
dirinya sendiri. Semula ilmu diciptakan oleh manusia telah menjadi
penguasa bagi manusia. Ilmu menggantikan wahyu Tuhan sebagai
petunjuk kehidupan.96 Agama menurut mereka harus disesuaikan
dengan ilmu pengetahuan modern, maka apabila tidak sesuai dengan
ilmu pengetahuan, ia harus dipinggirkan. Dari sinilah muncul paham
sekularisme. Paham ini berpengaruh terhadap aspek kehidupan,
ekonomi, ilmu pengetahuan, politik dan lain-lain.97
Keberhasilan Barat dalam bidang ilmu pengetahuan, menurut
Ahmad Tafsir, dikarenakan basis epistemologi keilmuannya
didasarkan pada rasio semata yang mendasarkan pada paham
Humanisme,98 rasionalisme,99 dan positivisme.100 Dari paham inilah
mampu mengatur dirinya dan alam. Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam,
Integrasi, Jasmani Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia (Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 2006), 56.
99 Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa pengetahuan yang
(kebenaran) pengetahuan itu tidak hanya ditentukan oleh aspek empirik, tetapi
(Jakarta: UIN Press, 2003), 38-39. Lihat pula Kusmana, Integrasi Keilmuan, 37.
103 Abd Rahman al-Nahlawi, Uṣūl al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Asālibihā fī
58 | Drs. Asnawi, MA
dibangun oleh ilmuwan Muslim klasik, semacam Ibnu Sina, Ibnu
Haitham, Jabir Ibnu Hayan, Al-Biruni, dan lain-lain.104
Lain halnya Kuntowijoyo, ia memandang ilmu-ilmu sekuler
sekarang sedang terjangkit krisis (tidak dapat memecahkan banyak
soal), mengalami kemandekan dan bias di sana-sini. Menurutnya,
diperlukan adanya ilmu-ilmu integralistik. Ilmu integralistik adalah
ilmu yang menyatukan antara wahyu dan temuan pikiran manusia,
dengan tidak mengucilkan Tuhan ataupun manusia.105
pengislaman. Islamisasi bermakna to bring with in Islam. Makna yang lebih luas
dari Islamisasi menurut Armai Arief adalah proses pengislaman. Di mana objeknya
adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya.
Sementara Abraham Sulaiman, sebagaimana dikutip Masykuri Abdillah, Islamisasi
itu untuk mencari ilmu baru yang berbeda dengan Barat. Lihat Maskuri Abdillah
dalam Kusmana, Integrasi Keilmuan, 235.
dari metodologi Barat dan memberikan konsep ilmu-ilmu ummatis. Baca Syed
Sajjad Husein & Syed Ali Asyraf, Krisis Pendidikan Islam, terj. (Bandung : Risalah,
1986), 125-129.
60 | Drs. Asnawi, MA
kembali sains Islam dalam peradaban yang Islami perlu dilakukan
Islamisasi sains.112
Di antara yang menyetujui Islamisasi Ilmu Pengetahuan
adalah al-Faruqi,113 al-Attas,114 Ziauddin Sardar, dan Taha Jabir al-
Alwani.115 Namun, di antara mereka terjadi perbedaan konsep,
langkah, dan pendekatan, sehingga melahirkan adanya dua
kelompok. Kelompok pertama mengajukan pendekatan dengan
membersihkan (purifikasi) atau menjauhkan ilmu dari nilai-nilai
yang tidak Islami. Mereka adalah al-Faruqi,116 al-Attas,117 dan Taha
112 Mahdi Ghulsyani, The Holy Qur’an and The Science of Nature, Terj. Agus
Effendi, Filsafat Sains menurut al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), 24.
113 Islamil Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Prinsiples and
dihadapi oleh umat Islam; 8) Survei permasalahan yang dihadapi oleh umat
manusia; 9) Analisa kreatif dan sintesa; 10) Penuangan kembali disiplin ilmu
modern kedalam kerangka Islam, Buku-buku dari tingkat universitas; dan 11)
Penyebarluasan ilmu yang telah diislamkan. Lihat al-Faruqi, Islamisasi
Pengetahuan, Terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1984), 89.
117 Menurut Al-Attas, Islamisasi pengetahuan berarti membebaskan ilmu
fondasi penting dari pembaruan agama Islam dalam rangka membangun kembali
umat dari suatu bangsa, dan mengusahakan terwujudnya masyarakat Islam
kontemporer. Menurutnya, Islamisasi pengetahuan dapat melembagakan rencana
pembaruan dan pembangunan atau paling sedikit, dimensi rencana yang telah
gagal memberikan perhatian dan pantas kepedulian. Lihat Taha Jabir al-Alwani,
Islamic Thought, An Approach Reform (London-Washington, The International
Institute of Islamic Thought (IIIT), 2006), 7.
119 Menurut Ziauddin Sardar, Islamisasi ini dapat dilakukan dengan
membangun word view Islam dengan titik pijak utama membangun epistemologi
Islam. Menurutnya, hanya dengan langkah inilah yang akan menghasilkan ilmu
pengetahuan yang dibangun atas prinsip-prinsip Islam. Langkah-langkah yang
mementingkan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu modern
bisa membuat terjebak dalam westernisasi Islam. Upaya merelevansikan ini
mengantarkan pengakuan bahwa ilmu Barat sebagai standar. Lihat http://
Iptek165.blogspot.com.
62 | Drs. Asnawi, MA
sehingga mereka banyak berutang budi terhadap ilmuwan-ilmuwan
Islam. Karena itu, jika hendak meraih kemajuan di bidang iptek, kita
perlu melakukan transformasi besar-basaran dari Barat. Dengan
tanpa rasa curiga, walaupun selalu waspada. Iptek adalah netral, ia
bergantung kepada pembawa dan pengembang. Karena itulah
Islamisasi ilmu pengetahuan tidak begitu penting, karena yang lebih
penting adalah Islamisasi subjek atau pembawa dan pengembang
iptek itu sendiri.120 Di antara tokoh yang tidak setuju terhadap
Islamisasi ilmu pengetahuan adalah Fazlur Rahman, 121 Pervez
Hodbhooy,122 dan Muhammad Abdus Salam.123
120 Mahdi Ghulsyani, The Holy Qur’an and the Sciences of the Nature, 24.
Lihat Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam (Pemberdayaan
Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan) (Bandung:
Nuansa, 2003), 329.
121 Fazlur Rahman menyangsikan keberhasilan usaha Islamisasi ilmu
pembuatan mesin atau instrumen sains, sintetis senyawa kimia atau obat-obatan
yang baru, rencana percobaan baru, atau penemuan hal-hal yang sampai sekarang
belum diketahui dengan fakta fisik yang dapat diuji. Lihat Pervez Hoodbhoy, Islam
and Science: Religion orthodoxy and The Battle for Rationality (London an New
Jersey: Zed Books Ltd, 1991), 77.
123 Menurut Muhammad Abdus Salam, mereka (tokoh Islamisasi) telah
sebagai Isu”, dalam ‘Ulūm al-Qur’an, Vol. III, No. 41192, 3. Baca pula Norlaila,
“Pemikiran Pendidikan Islam Ismail Raji al-Faruqi”, al Banjar, Vol 7,No. 1 Januari
2008, 42.
124 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, 8.
125 Dari tauhid, akan ada tiga macam kesatuan, yaitu kesatuan
64 | Drs. Asnawi, MA
konteks sosial dan ekologi manusia. Kedua, “Paradigma Islam”
adalah hasil keilmuan, yakni paradigma baru tentang ilmu-ilmu
integralistik sebagai penyatuan agama dan wahyu. Ketiga, “Islam
sebagai ilmu” yang merupakan proses sekaligus sebagai hasil yang
bergerak dari teks al-Qur’an. Untuk keberhasilan usaha ini,
Kuntowijoyo mengajak intelektual Islam untuk mengganti
“Islamisasi Pengetahuan” menjadi “Pengilmuan Islam”. 127
Meskipun demikian konsep Islamisasi pengetahuan perlu
diwujudkan dalam sistem pendidikan Islam. Penerapan konsep
Islamisasi Ilmu pengetahuan antara lain sebagaimana dijelaskan oleh
Mulyadhi Kartanegara, dengan cara mengasimilasi (memadukan)
dan mengadaptasikan (menyesuaikan) ilmu-ilmu yang bersumber
dari sumber luar khususnya Yunani, agar cocok dengan pandangan
atau kerangka pikir keagamaan Islam. 128
Dari perdebatan para cendekiawan di atas, menurut penulis,
bahwa yang menjadi akar perdebatan di antara mereka terletak pada
persepktif filsufi yang mendasari bangunan keilmuan, terkait
persoalan apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak. Di antara mereka
yang menyetujui dengan upaya Islamisasi ilmu pengetahuan,
mengajukan gagasan perlunya integrasi (takāmul)129 antara ilmu-
ilmu agama dan umum.
Pada dasarnya upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan
umum merupakan mengembalikan ilmu pada asalnya. Karena antara
keduanya itu integrated dan tidak terpisah. Hal ini dilandasi
kesadaran bahwa Allah SWT adalah sumber kebenaran dan sumber
pengetahuan sekaligus. Sebagai sumber kebenaran dan pengetahuan,
Ma‘ārif,TTP), 351.
Ilmu Umum (Jakarta: Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Agama UIN Syarif
Hidayatullah , 2003), viii.
133 Hal ini dikarenakan alam sebagai pertanda adanya Tuhan. Jagad raya
juga disebut sebagai ayat-ayat yang menjadi sumber pembelajaran dan ajaran bagi
66 | Drs. Asnawi, MA
Karena itu, Muthahhari sangat menghawatirkan akan adanya
bahaya yang ditimbulkan oleh pemisahan ilmu tersebut. Menurutnya
pemisahan ilmu-ilmu umum ataupun sains dari keimanan dapat
menyebabkan kerusakan yang tidak bisa diperbaiki. Keimanan mesti
dikenali lewat sains; keimanan bisa tetap aman dari berbagai
takhayul melalui pencerahan sains. 135 Keimanan tanpa sains akan
berakibat fatalisme dan kemandekan pemahaman. 136 Terkait dengan
upaya pengintegrasian antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu
umum ataupun sains, integrasi lebih tepat dimaknai sebagai bentuk
(pola) hubungan antara agama yang direfleksikan dengan
kepercayaan kepada Tuhan sang Pencipta dengan sains yang bersifat
profan.137
Pola hubungan antara agama dan sains, oleh Ian Barbour,
dipetakan menjadi empat bagian.138 Pertama, konflik. Dalam
memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”
135 Pemisahan sains dari agama di antaranya dilakukan dengan
pembatasan bahwa sains hanya berurusan dengan hal-hal yang dapat diobservasi
(observable), baik dengan pancaindera maupun dengan peralatan atau dibuktikan
secara tidak langsung melalui metode matematis berdasarkan apa-apa yang telah
diterima sebagai sains. Lihat Ahmad Baiquni, Al-Qur’an, 127.
136 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama: Sebuah Pengantar (Bandung:
Agama, Terj. Fransiscus Borgias, (Bandung: Mizan, 2002), 31-32. Lihat Idris Thaha,
Kampus Pembaharu Menuju Universitas Riset (Jakarta: Lembaga Penerbitan UIN
Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2006), 33. Baca pula Mikael Stenmark, How to
Relate and Religion: a Multidimensional Model (USA: Wm.B. Eerdmans Publishing
Co, 2004), 250.
68 | Drs. Asnawi, MA
bukan sebaliknya penguasaan sains berbanding terbalik dengan
keimanan.139
Banyak tokoh pendidikan yang menelorkan konsep
pengintegrasian antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Di
antaranya Alan G. Padgett, ia mengajukan pendekatan dialektika
antara ilmu pengetahuan dan agama. 140 Sementara Mikael Stenmark,
yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Barbour,
mengemukakan adanya empat model hubungan agama dan ilmu,
yaitu konflik, kemerdekaan, dialog, dan pengintegrasian.141
Banyak pula pakar pendidikan yang telah mengajukan teori
maupun pendekatan dalam melakukan integrasi ilmu. Di antara
mereka adalah Mulyadhi Kartanegara yang mengajukan model
ataupun pendekatan Rekonstruksi Holistik, yaitu integrasi secara
menyeluruh meliputi aspek ontologis, klasifikasi ilmu, dan
metodologis. Menurutnya, integrasi ilmu tidak mungkin tercapai
hanya dengan mengumpulkan dua himpunan keilmuan yang
mempunyai basis teoretis yang berbeda (sekuler dan religius). Oleh
karena itu integrasi (atau reintegrasi) harus diupayakan hingga
tingkat epistemologis.142 Menggabungkan dua himpunan ilmu yang
berbeda (sekuler dan religious) di sebuah lembaga pendidikan
seperti yang terjadi selama ini tanpa diikuti dengan konstrukti
Agama..., 31-32. Lihat pula Idris Thaha, Kampus Pembaharu Menuju Universitas
Riset..., 33. Baca pula Mikael Stenmark, How to Relate and Religion, 250.
140 Menurut Padget, pendekatan dialektika inilah yang paling hasil
mendialogkan antara ilmu pengetahuan dan agama. Hal ini dikarenakan antara
ilmu pengetahuan dan agama membutuhkan dialog. Alan G. Padgett, Science and
the Study of God: a Mutuality Model for Theology and Science (USA: Wm.B.
Eerdemans Publishing Co All right reserved, 2003), 24.
141 Mikael Stenmark, How to Relate Science and Religion, 250.
142 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung; Arasy PT Mizan Pustaka bekerja sama dengan UIN Jakarta Press, 2005),
208-223.
1. Integrasi Ontologis
Ontologi, menurut Jujun Suriasumantri, adalah cabang filsafat
yang membahas tentang apa yang ingin diketahui, seberapa jauh kita
tahu; atau dengan perkataan lain, ontologi adalah suatu pengkajian
mengenai teori tentang “ada.”144 Oleh sebab itu, sebuah teori ilmu
pasti akan berusaha mengidentifikasikan materi-subjek (subject
matter) yang akan dijadikan sasaran (objek) penelitian ilmu-ilmu
yang dikandungnya.145 Sebelum pilihan ilmu dijatuhkan, seorang
teoritikus harus memastikan terlebih dahulu “status ontologis” atau
keberadaan dan realitas dari objek-objek tersebut. Kepercayaan
pada status ontologis ilmu pengetahuan inilah yang akan menjadi
basis ontologis dari epistemologis dan sekaligus akan memengaruhi
corak epistemologis yang akan dibangunnya.146
Terkait dengan integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
umum dalam tataran ontologis ini, Mulyadhi Kartanegara
menjelaskan, baik ilmu agama maupun ilmu umum objek sebenarnya
adalah ayat-ayat Allah. Ilmu agama adalah ayat Allah yang berupa
qawliyah (al-Qur’an dan Hadis), sedangkan ilmu umum adalah ayat
70 | Drs. Asnawi, MA
Allah yang berupa kawniyah (alam). Dalam konsep Islam, al-Qur’an
dan alam adalah ayat-ayat Allah, yang satu ayat qawliyah dan yang
satu ayat kawniyah. Integrasi terjadi apabila al-Qur’an maupun alam
semesta dibaca sebagai ayat Allah. Menurut Mulyadhi, yang terjadi
sekarang adalah kebanyakan manusia berhenti membaca alam
sebagai ayat Allah, karena mengikuti pola Barat, sehingga tidak
dikaitkan fenomena Biologi dengan Tuhan. Padahal kalau dikaitkan,
hal itu merupakan tanda-tanda kebesaran Allah.147
72 | Drs. Asnawi, MA
apabila perbuatan itu dirasakan oleh non-Muslim sebagai sesuatu
yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan.
Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap
menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal. 151
Menurut Amin Abdullah, sebenarnya pendekatan keilmuan
umum dan Islam dapat dibagi menjadi tiga corak. Pertama,
pendekatan Paralel, yaitu masing-masing corak keilmuan umum dan
agama berjalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan persentuhan
antara satu dengan lainnya. Kedua, pendekatan Linear, yaitu salah
satu dan keduanya akan menjadi primadona sehingga ada
kemungkinan berat sebelah. Ketiga, pendekatan Sirkular, yaitu
masing-masing corak keilmuan dapat memahami keterbatasan,
kekurangan, dan kelemahan pada masing-masing keilmuan dan
sekaligus bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan yang
ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain serta memiliki
kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri
sendiri.152
Kuntowijoyo menawarkan model ilmu-ilmu integralistik.
Menurutnya, integrasi adalah upaya menyatukan (bukan sekadar
menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-
ilmu integralistik), tidak mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau
mengucilkan manusia (other worldly asceticism).153 Sedangkan
Zaenal Abidin Bagir, sebagaimana dikutip Mulyadhi Kartanegara,
mempunyai konsep integrasi konstruktif, yaitu integrasi yang
menghasilkan konstribusi baru yang tidak diperoleh bila kedua ilmu
tersebut terpisah. Atau bahkan integrasi diperlukan untuk
menghindari dampak negatif yang mungkin muncul jika keduanya
74 | Drs. Asnawi, MA