Anda di halaman 1dari 7

BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI ISLAM

1. Perkembangan Studi Islam di Dunia Muslim


Seperti ditulis sebelumnya, studi Islam di dunia Islam sama dengan menyebut studi Islam
di dunia muslim. Dalam sejarah muslim dicatat sejumlah lembaga kajian Islam (pada tingkat
dasar sampai perguruan tinggi) di sejumlah kota (sekarang ada yang menjadi negara sendiri).
Maka uraian berikut adalah sejarah perkembangan studi Islam di dunia muslim.
Akhir periode Madinah sampai dengan 4 H, fase pertama pendidikan Islam sekolah masih
di masjid-masjid dan rumah-rumah, dengan ciri hafalan, namun sudah dikenalkan logika,
matematika, ilmu alam, kedokteran, kimia, musik, sejarah dan georgafi. Selama abad ke 5 H,
selama periode khalifah ‘Abbasiyah, sekolah-sekolah didirikan di kota-kota dan mulai
menempati gedung-gedung besar, bukan lagi masjid, dan mulai bergeser dari matakuliah yang
bersifat spritual ke matakuliah yang bersifat intelektual, ilmu alam dan ilmu sosial.1
Namun disebutkan, berdirinya sistem madrasah adalah di abad 5 H/akhir abad 11 M,
justru menjadi titik balik kejayaan. Sebab madrasah dibiayai dan diprakarsai negara. Kemudain
madrasah menjadi alat penguasa untuk mempertahankan doktrin-doktrin terutama oleh kerajaan
Fatimah di Kairo. Sebelumnya di sekolah ini diajarkan kimia, kedokteran, filsafat, diganti hanya
mempelajari tafsir, kalam, fiqh dan bahasa.2 Matematika hilang dari kurikulum al-Azhar tahun
1748.3 Memang pada masa kekhalifahan Abbasiyah, al-Ma‘mun (198-218/813-833), sebelum
hancurnya aliran Mu‘tazilah, ilmu-ilmu umum yang bertitik tolak dari nalar dan kajian-kajian
empiris dipelajri di madrasah.4
Pengaruh al-Ghozali (1085-1111 M) disebut sebagai awal terjadi pemisahan ilmu agama
dengan ilmu umum, bahkan terkesan terjadi dikotomi. Dia penyebut bahwa menuntut ilmu
agama wajib bagi setiap muslim, sementara menuntut ilmu umum adalah wajib kifayah.
Meskipun perlu dicatat bahwa hasil kejayaan muslim di bidang sains dan teknologi bukanlah
capaian kelembagaan, melainkan bersifat individu ilmuwan muslim yang didorong semangat
penyelidikan ilmiah.5

1
Ibid., hlm. 54.
2
Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia, hlm. 56.
3
Ibid.
4
Azyumardi Azra, "Pendidikan Tinggi Islam", hlm. Vii.
5
Ibid., hlm. Viii.
Ada beberapa kota yang menjadi pusat kajian Islam di zamannya, yakni Nisyapur,
Baghdad, Kairo, Damaskus, dan Jerussalem. Di Nisyapur ditemukan Madrasah Nizhamiyah. Di
Baghdad ditemukan Madrasah Nizhamiyah, Madrasah Imam Abu Hanifah, Madrasah al-
Mustanshiriyah. Di Kairo ditemukan Madrasah al-Manshuriyah. Di Damaskus ditemukan Dar al-
Qur’an al-Dilamiyah, Dar al-Qur’an al-Shabuniyah, Dar al-Hadis al-Nuriyah. Kemudian masih
di Damaskus ditemukan lembaga sufi Ribath al-Bayan. Sedangkan di Jerussalem ditemukan
sejumlah lembaga sufi; Zawiyah al-Wafa’iyah, Zawiyah al-Naqshabandiyah, dan Khanqah al-
Shalahiyah.6 Namun demikian, pemikir masih berbeda pendapat kapan dan madrasah mana yang
pertama berdiri. Untuk ini dikutipkan apa yang ditulis Azyumardi Azra.
Madrasah pertama didirikan oleh Wazir Nizhamiyyah pada 1064; madrasah ini kemudian
terkenal sebagai Madarasah Nizham al-Mulk. Tetapi penelitian lebih akhir misalnya yang
dilakukan Richard Bulliet mengungkapkan eksistensi madrasah-madrasah lebih tua di kawasan
Nishapur, Iran. Pada sekitar tahun 400 H/1009M terdapat madrasah al-Bayhaqiyyah yang
didirikan Abu Hasan ‘Ali al-Bayhaqi (w. 414/1023M). Bulliet bahkan lebih jauh menyebut 39
madrasah di Wilayah Persia, yang berkembang dua abad sebelum madrasah Nizhamiyyah yang
tertua adalah madrasah Miyan Dahiya yang didirikan Abu Ishaq Ibrahim Ibn Mahmud di
Nishapur. Pendapat ini didukung sejarahwan pendidikan Islam, Naji Ma‘ruf, yang menyatakan
bahwa di Khurasan telah berkembang madrasah 165 tahun sebelum kemunculan madrasah
Nizhamiyyah.. Selanjutnya, ‘Abd al-‘Al mengemukakan, pada masa Sultan Mahmud al-Ghaznawi
(berkuasa 388-421/998-1030) juga terdapat Madrasah Sa‘idiyyah.

Ada empat perguruan tinggi tertua di dunia muslim yakni: (1) Nizhamiyah di Baghdad, (2)
al-Azhar di Kairo Mesir, (3) Cordova, dan (4) Kairwan Amir Nizam al-Muluk di Maroko.
Sejarah singkat masing-masing pusat studi Islam ini digambarkan sebagai berikut.
a. Nisyapur

Perguruan Tinggi Nizhamiyah Naisyapur dibangun Nizham al-Mulk untuk al-Juwayni, dan
al-Juwayni menjadi mudarris (guru besar) di sini sampai tiga dekade, yang berakhir dengan
wafatnya tahun 478/1083. Dari sini dapat dihitung bahwa lembaga ini dibangun sekitar 440-

6
Lihat Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, khususnya nama-nama kota pusat kegiatan kajian
Islam.
an/1050-an. Di lembaga ini ada empat unrus pokok, yakni (1) seorang mudarris (guru besar)
yang bertanggung jawab terhadap pengajaran di lembaga pendidikan, muqri’ (ahli al-Qur’an)
yang mengajar al-Qur’an di masjid, muhaddis (ahli hadis) yang mengajar hadis lembaga
pendidikan, dan seorang pustakawan (bait al-maktub) yang bertanggungjawab terhadap
perpustakaan, mengajar bahasa dan hal-hal terkait. Tokoh-tokoh yang pernah menjadi staf
lembaga ini adalah al-Juwayni, Abû al-Qasim, al-Kiya al-Harrasi, al-Ghazali, dan Abu Sa‘id
(mudarris). Abu al-Qasim al-Hudzali dan Abu Nasyr al-Ramsyi (muqri’). Abu Muhammad al-
Samarqandi (muhaddis). Abu ‘Amir al-Jurjani (pustakawan). Di samping itu, al-Ghazali pernah
menjadi asisten (mu‘id) bagi al-Juwayni.7

b. Baghdad

Perguruan tinggi Nizhamiyah di Baghdad ini berdiri pada tahun 455 / 1063.8 Perguruan
tinggi ini dilengkapi dengan perpustakaan yang terpandang kaya raya di Baghdad, yakni Bait-al-
Hikmat, yang dibangun oleh Khalif Al-Makmun (813-833 M). Salah seorang ulama besar yang
pernah mengajar di sana, adalah ahli pikir Islam terbesar, Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M),
yang kemudian terkenal dengan sebutan imam Ghazali.

Perguruan tinggi tertua di Baghdad itu hanya sempat hidup selama hampir dua abad.
Menjelang tahun 656 H (1258M) berlangsunglah penyerbuan bangsa Mongol dari Asia Tengah
ke arah barat di bawah pimpinan Hulagu Khan (1256-1349 M), cucu Jenghiz Khan (1162-1227
M). Pada tahun 1258 M itu pula mereka merebut dan menguasai ibukota Baghdad, dan
berakhirlah sejarah Daulat Abbasiah.9

c. Perguruan Tinggi al-Azhar di Kairo Mesir

Adapun gambaran singkat perguruan tinggi al-Azhar adalah, ketika kekuasaan Syiah
tumbang di Baghdad, maka kekuasaan Syiah pun bangkit di Tunisia, yakni Daulat Fathimiah
(909-1171 M), yang dibangun oleh Amir Ubaidillah al-Mahdi yang menyebut dirinya Khalif
Ubaidillah (909-934 M). Pada masa pemerintahan Khalif Muiz Lidinillah (952-975 M), Khalif

7
Hasan Asari, Menyingkap, hlm. 57-58.
8
Joesoef Sou‘yb, Orientalisme dan Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1985), hlm. 37-38.
9
Ibid.
keempat dari Daulat Fathimiah, wilayah Lybia dan Mesir berhasil direbut oleh Panglima Besar
Jauhar Al-Siqili dari Daulat Abbasiah. Tokoh inilah yang pada tahun 362 H/972 M membangun
ibukota yang baru di Mesir, yakni ibu kota Al-Qahirah (Kairo), untuk meggantikan ibukota
Fusthat; dan kemudian memindahkan ibukota Daulat Fathimiah dari Tunis ke Al-Qahirah. Khalif
Muiz Lidinillah pindah ke Mesir dan menetap di ibukota yang baru itu.
Panglima Besar Juhari Al-Siqili ini pula yang pada tahun 362 H/972 M membangun
Perguruan Tinggi Al-Azhar dengan kurikulum berdasarkan ajaran sekte Syiah. Pada masa
pemerintahan Khalif Al-Hakim Biamrillah (996-1020 M), Khalif keenam dari Daulat Fathimiah, ia
pun membangun perpustakaan terbesar di Al-Qahirah untuk mendampingi Perguruan Tinggi Al-
Azhar, yang diberi nama “Bait-al-Hikmat” (Balai Ilmu Pengetahuan), seperti nama perpustakaan
terbesar di Baghdad.

Pada tahun 567 H/1171 M Daulat Fathimiah ditumbangkan oleh Sultan Salahuddin Al-
Ayyubi (1171-1193 M) yang kemudian mendirikan Daulat Al-Ayyubiah (1171-1269 M), dan
menyatakan tunduk kembali kepada Daulat Abbasiah di Baghdad. Kurikulum pada Perguruan
Tinggi Al-Azhar lantas mengalami perombakan total, dari aliran Syiah kepada aliran Sunni.
Ternyata Perguruan Tinggi Al-Azhar itu mampu hidup terus sampai kini, yakni sejak abad ke-10
Masehi sampai abad ke-20, dan tampaknya akan tetap selama hidupnya.10

d. Perguruan Tinggi Cordova

Adapun sejarah singkat Cordova dapat digambarkan demikian, bahwa di tangan Daulat
Umayyah, semenanjung Iberia yang sejak berabad-abad sebelumnya terpandang daerah minus,
berubah bagaikan disulap menjadi daerah yang makmur dan kaya raya dengan pembangunan
bendungan-bendungan irigasi di sana sini menuruti contoh lembah Nil dan lembah Ephrate.
Bahkan pada masa berikutnya, Cordova menjadi pusat ilmu dan kebudayaan yang gilang
gemilang sepanjang Zaman Tengah. The Historians’ history of the World, menulis tentang
perikeadaan pada masa pemerintahan Amir Abdurrahman I (756-788 M) itu, sebagai berikut:
demikian tulis buku sejarah terbesar tersebut tentang perikeadaan andalusia waktu itu, yang
merupakan pusat intelektual di Eropa dan dikagumi kemakmurannya. Sejarah mecatat, sebagai

10
Ibid., hlm. 38-39.
contoh, bahwa Aelhoud dari Bath (Inggeris) belajar ke Cordova pada tahun 1120 M, dan
pelajaran yang dituntutnya ialah geometri, algebra (aljabar), matematik. Gerard dari Cremona
belajar ke Toledo seperti halnya Adelhoud ke Cordova. Begitu pula tokoh-tokoh lainnya.

Roger Bacon (1214-1294), ahli pikir Inggeris terkenal, menurut encyclopedia Britannica
jilid II halaman 191-197 (“Arabic Philosophy”), menempatkan Averroes (Ibnu Sina), dan
menganjurkan supaya mempelajari bahasa Arab sebagai jalan satu-satunya untuk memperoleh
pengetahuan yang dibikin kabur oleh salinan-salinan yang jelek. (“Roger Bacon, Placing him
(Averroes) beside Aristotle and Avicenna, recommends the study of Arabic as the only way of
getting the knowledge which bad versions obscured”).11

e. Perguruan Tinggi Kairwan

Perguruan Tinggi Kairwan di kota Fez (Afrika Barat) dikenal dalam literatur di Barat
dengan ejaan Karaouine. Perguruan tinggi ini bermula dibangun pada tahun 859 M oleh puteri
seorang saudagar hartawan di kota Fez, yang berasal dari Kairwan (Tunisia), Afrika Barat sampai
ke Senegal dan Guinea. Pada tahun 305 H (918 M), perguruan tinggi itu diserahkan kepada
pemerintah dan sejak itu menjadi perguruan tinggi resmi, yang perluasan dan
perkembangannya berada di bawah pengawasan dan pembiayaan negara.

Seperti halnya Perguruan Tinggi Al-Azhar di Kairo (Mesir), perguruan Tinggi Kairwan di
kota Fez (Maroko) itu pun masih tetap hidup sampai kini. Di antara sekian banyak alumninya,
adalah pejuang nasionalis muslim terkenal, Allal Al-Fasi, dan Mahdi Ben Barka, yang berhasil
mencapai kemerdekaan Maroko dari penjajahan Perancis sehabis perang Dunia kedua, lalu
penjabat PM Maroko di bawah Sultan Muhammad V. Sedangkan ilmuwan termasyhur yang
pernah menjadi mahagurunya, antara lain Ibnu Thufail (1106-1185 M) dan Ibnu Rushd (1126-
1198 M), pada masa Daulat Al Muwahhidin (1120-1231 M). Berkat banyaknya mahasiswa yang
berdatangan dari Eropa, maka nama Avenbacer (Abu Bakar Ibnu Thufail) dan Averroes (Ibnu

11
Ibid., hlm. 39 dst.
Rushd) dan Avempas (Ibnu Bajah) dan Alhazem (Imnu Hazmi) dan lainnya, amat populer dan
harum di Eropa.12

Sebagai catatan, Perguruan Tinggi Al-Azhar (972M) di Mesir, dan perguruan tinggi
Kairwan (859 M) di Marokko, adalah lebih tua dibandingkan dengan Perguruan Tinggi Oxford
(1163M) dan Perguruan Tinggi Cambridge (1209 M) di Inggris, dan Perguruan Tinggi Sorbonne
(1253 M) di Perancis, Perguruan Tinggi Tubingen (1477 M) di Jerman, dan Perguruan Tinggi
Edinburgh (1582 M) di Skotlandia.13

Penyebab utama kemunduran dunia Muslim, khususnya di bidang ilmu pengetahuan adalah
terpecahnya kekuatan politik yang digoyang oleh tentara bayaran Turki. Kemudian dalam
kondisi demikian datang musuh dengan membawa bendera perang salib. Akhirnya, Baghdad
sebagai pusat ilmu pengetahuan ketika itu dihancurkan Hulaghu Khan tahun 1258 M. Pusat-
pusat studi termasuk yang dihancurkan Hulaghu.14
Apa yang digambarkan di atas merupakan rekaman sejarah masa lalu, yang mungkin masih
eksis sampai sekarang, tetapi tidak menutup kemungkinan itu sudah tinggal nama. Atau namanya
masih eksis sampai sekarang tetapi kelasnya tidak sehebat masa lalu. Nama al-Azhar misalnya
memang jelas masih eksis sampai sekarang, tetapi sudah ada minimal dua universitas besar
sebagai saingannya, yakni: (1) Universitas Fu‘ad I, yang sekarang bernama Universitas Kairo,
dan (2) Universitas ‘Ainusy-Syams, yang merupakan pengembangan dari Dârul ‘Ulûm. Kedua
universitas ini mengadopsi ide-ide Muhammad ‘Abduh, sementara Universitas al-Azhar dikenal
banyak menolak pemikiran-pemikiran ‘Abduh.15 Bahkan ada pula the American University di
Kairo. Meskipun universitas ini bukan universitas Islam tetapi di sini juga ada fasilitas untuk
studi tentang Islam.
Penting pula dicatat, al-Azhar cukup ketat menyaring pemikiran-pemikiran modern.
Ulama-ulama al-Azhar siap penyerang ide-ide yang dianggap melenceng dari pemikiran ‘Abduh.
Dapat dicatat misalnya, bahwa tahun 1925 Dewan Ulama al-Azhar menetapkan Syaikh ‘Ali
‘Abdu al-Râziq sebagai ulama yang melanggar ajaran Islam, yang karenanya tidak berhak lagi

12
Ibid., hlm. 44.
13
Ibid., hlm. 45.
14
Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia, hlm. 55-56.
15
H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Moderen dalam Islam, terj.Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hlm. 72
dst.
memangku jabatan keagamaan apapun. Sebab al-Râziq mengusulkan penghapusan jabatan
khalifah dan memisahkan persoalan kemasyarakatan dari masalah-masalah agama, dalam
bukunya al-Islam wa Usûl al-Hukm yang terbit tahun 1925. Demikian pula Muhammad Abû
Zaid tahun 1930, karena mengkritik tafsir lama dan menawarkan tawaran baru yang bersifat
tafsiran ilmu alam sederhana terhadap ayat-ayat yang berbicara alam semesta. Tujuan penafsiran
ini sesungguhnya adalah untuk mendorong generasi mudah agar gemar menafsirkan al-Qur’an.
Syaikh berikutnya yang dikenai hukum oleh ulama al-Azhar adalah Dr. Toha Husein yang
memberikan kritik destruktif terhadap sastra Arab pra-Islam.16
Sejalan dengan perjalanan sejarah Muslim, ditemukan sejumlah perguruan tinggi di
sejumlah negara Muslim yang menawarkan program studi Islam dengan spesifikasi dan nama
masing-masing. Berdasarkan lokasi perguruan tinggi tersebut dapat dikelompokkan sebagai
berikut, yakni (1) perguruan tinggi yang ada di Mesir, Universitas Teheran di Iran, Universitas
Damaskus di Syria, Universitas Aligarch di India, Universitas Islam Internasional di Malaysia;
Di India ditemukan universitas yang mencontoh model Universitas al-Azhar, yakni Dârul ‘Ulûm
di Deoband dan lembaga pendidikan sejenis di Bereilly. Dârul ‘Ulûm ini didirikan tahun 1867
oleh para ulama pengikut Syah Wiyullah. Salah satu ciri khas lembaga yang didirikan Syah
Waliyullah ini adalah menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dan tidak diajarkan
bahasa Inggris. Ciri lain adalah di samping mengikuti paham tradisional sebagaimana Al Azhar,
madrasah ini menolak berkompromi dengan adat istiadat Hindu maupun Barat. Karena itu
kelompok ini menentang sikap kompromistik Akhmad Khan yang ingin memadukan sistem
pendidikan Islam tradisional dengan sistem pendidikan barat (Inggris). Adapun tujuan
didirikannnya adalah untuk menyelamatkan Islam dari kepunahannya di India dan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup agama Islam di tengah-tengah masyarakat mayoritas
agama Hindu.17

16
Ibid., 91-92.
17
Ibid., hlm. 94.

Anda mungkin juga menyukai