Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pendiri Dinasti Abbasiyah adalah Abdullah Al–Saffah bin Ali


bin Abdullah bin Al-Abbas atau yang dikenal dengan Abu Al-Abbas
Al-Saffah. Daulah Abbasiyah berdiri antara tahun 132-656 H/ 750-
1258 M. Pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan kelanjutan
pemerintahan Bani Umayah sebagai representasi kekhalifahan terbesar
dan terpanjang dalam sejarah Islam klasik. Dilihat dari aspek politik ,
daulah ini bukan perpanjangan dari kepentingan politik daulah Bani
Umayah yang berkuasa sebelumnya.1 Dengan kata lain, munculnya
Dinasti Abbasiyah mendapat dukungan dari rakyat karena mengangkat
isu-isu kebobrokan daulah Umayah serta menyatakan bahwa keturunan
Bani Hasyim lebih berhak memperoleh kekuasaan. Mereka juga
bekerja sama dengan kalangan Alawiyin dan Syiah.2

Pada mulanya ibukota daulah Abbasiyah adalah al-Hasyimiyah


dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas
negara saat awal berdiri itu, al- Manshur memindahkan ibukota
negarake kota yang baru dibangunnya, yaitu Bagdad dekat ibukota
Persia, Ctesiphon pada tahun 762 M.

Pada priode pertama Bani Abbasiyah mencapai masa keemasan


dengan adanya para Khalifah yang betul-betul tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik sekaligus agama. Priode ini juga
berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan
dalam islam. Dinasti Abbasiyah menekankan pada pembinaan

1
J. Suyuti Pulungan, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : Amazah, 2018), 181.
2
Akbar S. Ahmed, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi (Jakarta: Erlangga, 1992), 44.
2

peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah. 3 Maka


dari itu, muncullah ilmuan filosof dan ilmuan muslim lainnya.

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini, kami akan membahas beberapa hal yang


berkaitan dengan perkembangan peradaban islam (filsafat dan ilmu
pengetahuan) pada masa Abbasiyah antara lain:

1. Bagaimana perkembangan Peradaban Islam (Filsafat dan Ilmu


Pengetahuan) pada masa Abbasiyah?
2. Bagaimana Figur-figur filosof dan tema-tema pemikiran filsafat
pada masa Abbasiyah?
3. Siapa Figur-figur ilmuan Muslim pada masa Abbasiyah?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui perkembangan Peradaban Islam (Filsafat dan
Ilmu Pengetahuan) pada masa Abbasiyah
2. Untuk memahami Figur-figur filosof dan tema-tema pemikiran
filsafat pada masa Abbasiyah
3. Untuk mengetahui Figur-figur ilmuan Muslim pada masa
Abbasiyah

3
Din. Muhammad Zakariya, Sejarah Peradaban Islam (Malang : Madani Media, 2018), 157.
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Peradaban Islam


(Filsafat dan Ilmu Pengetahuan) pada masa Abbasiyyah

Masa Dinasti Abbasiyah merupakan masa keemasan Islam,


yakni dalam bidang ilmu dan kebudayaan telah mencapai tingkat
tinggi. Masa kejayaan Abbasiyah terjadi pada priode pertama. Hal
tersebut dikarenakan Dinasti Abbasiyah pada priode ini lebih
menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada
perluasan wilayah. Adapun luas wilayahnya dari Afrika utara hingga
ke India. Puncak kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi pada masa
Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Makmun
(813-833 M). Ketika Al-Rasyid memerintah, negara dalam keadaan
makmur, kekayaan melimpah, keadaan terjamin walaupun terrdapat
pemberontakan.4

Kebangkitan ilmuan ditandai dengan kegiatan menyusun


buku-buku ilmiah, mengatur ilmu-ilmu Islam dan menerjemahkan
buku-buku asing. Buku-buku di negara lain seperti India, Persia,
Yunani, Romawi dan Suryani telah diterjemahkan kedalam bahasa
arab. Diantara penerjemah terkenal adalah Abdullah al-Muqfi (wafat
757 M) yang merupakan penerjemah dari Bahasa Persi, Abu Ya’qub
Hanin Ibnu Ishaq (808-875 M) yang menerjemahkan 95 kitab dari
Bahasa Yunani ke dalam Bahasa Arab, dan Ishaq Hunain al-Ibadi al-
Nashrani.5

Dari hasil penerjemahan tersebut, diciptakan ilmu baru yang


di samping ciptaan-ciptaan asli yang timbul waktu itu. Gerakan

4
J. Suyuti Pulungan, op.cit, 189.
5
Ratu Suntiah, Sejarah Peradaban Islam (PT.Remaja Rosdakarya: Bandung, 2019), 138.
4

penerjemahan itu dimulai sejak masa khalifah ke dua yakni al-


Mansur, namun semakin optimal saat dilakukan oleh khalifah al-
Makmun yang menerjemahkan buku-buku ilmuan Yunani seperti
Plato, Aristoteles dan Archimedes. Pada masa Al-Makmun, hampir
seluruh ilmu agama telah diselesaikan, seperti penafsiran Al-Qur’an,
pengumpulan hadis dan penulisan ilmu-ilmunya, pembukaan kaidah
Bahasa arab, pembukuan fiqih baik oleh tokoh-tokoh maupun oleh
para pengikut mereka dan pembukuan syair-syair Arab.

Gerakan ilmiah tersebut berdampak pada kemajuan peradaban


Dinasti Abbasiyah yang mencakup ilmu agama, filsafat dan sains.6
Hal itu, merupakan perkembangan dari, aplikasi QS. Al-Alaq ayat 1-
2 seperti adanya halaqah-halaqah di dalam masjid yang telah
dilaksanakan sejak masa Nabi, Khulafaurrasyidin dan Dinasti
Umayyah. Adapun faktor-faktor pendorong timbulnya gerakan ilmiah
itu, antara lain:

1. Kebijakan politik eligalitarian (al-Musawwah) khalifah


Dinasti Abbasiyyah yang banyak mendirikan jabatan
menteri maupun jabatan penting lainnya kepada Mawali
(non Arab), terutama orang Persia. Sebelum Islam lahir,
bangsa Persia telah mempunyai peradaban yang tinggi,
sehingga ketika diberi kepercayaan, mereka mampu
membnagkitkan dan mempelopori gerakan ilmiah di dunia
Islam. Tokoh Nahwu, Hadis, Usul Fiqh dan hampir semua
tokoh Ilmu Kalam adalah Mawali,7 karena bangsa Arab
saat itulebih disibukkan oleh urusan politik dan militer.
Dalam dua bidang itu, kemampuan mereka lebih
menonjol, sebagai penguasa mereka merasa lebih berhak
dan bertanggung jawab untuk mempertahankannya.

6
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1 (Jakarta: UI Press, 2001), 65.
7
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Jilid 2 (Cairo: Al-Nadlah al-Mishriyyah, 1970), 321.
5

Karenanya, mereka lebih mereka lebih tertarik pada


bidang politik dan militer daripada mendalami dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain itu, mayoritas
orang Arab buta huruf dan hanya mampu
mengembangkan beberapa ilmu klasik yang diperoleh dari
tradisi Baduinya. Seperti ilmu nujum, meramal,
perdukunan, ilmu nasab, kisah-kisah, syair dan ilmu
pedang.8
2. Kebijakan khalifah yang mendukung ilmu pengetahuan
(science policy). Pada Dinasti Abbasiyyah mempunyai
perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Al-
Mansur sangat tertarik kepada ilmu kedokteran, sehingga
menganjurkan kepada para dokter yang beragama apapun
untuk mengembangkan percobaan dalam bidang
kedokteran . Al-Masur juga membuat syarat oerjanjian
dengan Michel III yang berbunyi: Agar diberikan kepada
al-Makmun salah satu perpustakaan Konstantinopel yang
di dalamnya terdapat buku-buku penting karangan
Ptolemee. Buku itu segera disalin ke dalam Bahasa arab
dan dikenal dengan nama al-Magesti. Sementara itu, al-
Makmun menggaji para penerjemah dari golongan
Kristen, Sabi, dan penyembah binatang seta mendirikan
Bait al-Hikmah9 tahun 830 M di samping mendirikan
sekolah-sekolah. Beliau memberi imbalan emas kepada
penerjemah seberat hasil terjemahannya,10 sehingga
ilmuan dan pengajar merasakan hidup makmur.
Kebutuhan finansial di semua akademi, perpustakaan,

8
Abdul Mun’im Majid, Tarikh al-Hadloroh al-Islamiyah fi al-Ashr al-Wustha (Cairo: Maktabah
al- Injili al-Mishiriyyah, 1978), 147.
9
Bait al-Hikmah bukan hanya sebagai pusat penerjemahan tetapi akademi yang dilengkapi
perpustakaan, mengutamakan cabnag-cabang ilmu pengetahuan: kedokteran, matematika, optic,
geografi, fisika, astronomi, sejarah dan filsafat.
10
Philip K. Hitti, History of Arabs (London: The Machmillan Press Ltd, 1970), 119.
6

madrasah, rumah sakit, dan observatorium selalu dipenuhi


agar para ilmuan dapat mencurahkan waktu sepenuhnya
pada kegiatan belajar dan riset. Khalifah al-Mu’thadid
menyediakan tempat tinggal dan ruang belajar untuk tiap
bidang ilmu, di istananya dan membayar professor-
profesor untuk mengajar di sana.11
3. Pindahnya pusat pemerintahan di Bagdad sebagai tempat
yang baik, berangin, udaranya nyaman, dan dibentengi
oleh alam asli, dari serangan-serangan musuh. Bagdad
terletak di antara sungai Furat dan sungai Dajlah, yang
menjadi jalur lalu lintas perdagangan Internasional dan
sumber pendapatan negara, disamping pertanian dan
industry. Kebudayaan Irak juga sudah lebih maju dari
pada Damaskus.12

Selanjutnya, Perkembangan ilmu filsafat pun maju pesat pada


masa Dinasti Abbasiyyah. Perkembangan ini diawali dengan adanya
penerjemahan buku-buku karya filusuf Yunani ke dalam Bahasa Arab
yang telah dipelopori Harun Al-Rasyid dan Al-Makmun. Bagi orang
Arab, filsafat merupakan pengetahuan tentang kebenaran dalam arti
yang sebenarnya. Sejauh hal itu dapat dipahami oleh pikiran manusia.
Secara khusus, nuansa filsafat mereka berakar pada tradisi filsafat
Yunani yang dimodifikasi dengan pemikiran para penduduk
diwilayah taklukan serta pengaruh-pengaruh Timur lainnya yang
disesuaikan dengan nilia-nilai islam dan diungkapkan denga Bahasa
Arab. Orang Arab percaya bahwa karya-karya Ariestoteles
merupakan kodefikasi filsafat Yunani yang lengkap. Dengan
demikian, filsafat dan kedokteran Yunani yang berkembang saat itu
merupakan ilmu yang dimiliki oleh Barat. Sebagai muslim, orang-

11
Ahmad Y.Alhasan dan Donald R Hill, Teknologi dalam Sejarah Islam (Bandung : Mizan, 1993),
40.
12
Ahmad Amin, op.cit, 4
7

orang Arab percaya bahwa Al-Qur’an dan teologi islam merupakan


rangkuman dari hukum dan pengalaman agama. Oleh karena itu,
kontribusi orisinal mereka terletak diantara filsafat dan agama di
suatu sisi dan diantara filsafat dan kedokteran di sisi lainnya.13

Sementara itu, sejarah membuktikan bahwa banyak sekali dari


hasil peradaban Islam, khususnya sains, yang ditransfer ke Eropa.
Sebagaimana diungkapkan oleh Philip K.Hitti, ketika Harun Al-
Rasyid dan Al-Makmun sudah giat menyelami filsafat Yunani, orang-
orang di dunia barat masih sangat terbelakang.14

B. Figur-figur filosof dan tema-tema pemikiran filsafat pada masa


Abbasiyah
Berikut Figur-figur filosof dan tema-tema pemikiran filsafat pada
masa Abbasiyah:
1. Al-Kindi
a. Riwayat hidup
Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’cub bin
Ishak al-Kindi . Nama al-Kindi berasal dari sebuah nama
15
kabilah Kindah. Ia mendapat julukan filisof arab karena
karena dialah satu-satunya filosof asli arab. Ia lahir di Basrah
pada tahun 806 M/185 H, dari seorang bangsa arab yang
pernah menjadi gubernur di Kuffah. Dan wafat tahun 873 M
/252 H.
Al-Kindi ikut andil dalam penerjemahan buku-buku
Yunani. Namun, karena Al-Kindi orang kaya maka Al-Kindi
membayar seseorang untuk menenrjemahkan dan ia hanya

13
J. Suyuti Pulungan, op.cit, 194-195
14
Philiph K. Hitti, Dunia Islam: Sejarah Ringkas, diterjemahkan Ushuluddin Hutagalung dan
O.D.P. Sihombing, (Bandung : Sumur), 119.
15
Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam ( Jakarta: Pustaka Firdausi, 1988), 50.
8

membearikan kesimpulan dari pada penerjemahannya. Pikiran


Al-Kindi sangat berkembang, sehingga ia mengarang sendiri.
Untuk jumlah karangannya sulit ditentukan karena beberapa
hal:
1) Para penulis biografinya tidak sepakat menuturkan
jumlah karangan
2) Sebagian karangannya telah musnah dan bnayak
yang hilang
3) Karangan sebangaian besar bentuk risalah, sehingga
mudah hilang.

Tidak menguragi penghargaan terhadap dirinya sebagai


seorang filosof islam yang pertama sekali secara terang-
terangan memperkenalkan filsafat Yunani secara langsung
kepada Dunia Islam. Maka Al-Kindilah orang pertama yang
merintis jalannya filsafat Yunani dengan prinsip-prinsip
ajaran islam. Sehingga lahirlah yang dinamakan filsafat
islam. Pengetahuan Al-Kindi sangat luas dengan hasil kerja
di berbagai ilmu. Ia menulis 270 buku, salah satu judul
buku Al-Kindi adalah The Books of Optics.16

b. Filsafat-filsafatnya
1) Tentang Filsafat
Al-Kindi mengatakan filsaft adalah ilmu termulia serta
terbaik dan sebagi ilmu yang tidak bisa ditinggalkan oleh
setiap orang yang berfikir.17
2) Tentang Ketuhana (Metafisika)
Tuhan bagi Al-Kindi merupakan The First Truth yang
selau ada dan mustahil tidak ada. Oleh karena itu, Tuhan
adlah unik dan sempurna, yang tidak didahului oleh wujud

16
Mulyadhi Kartanegara, Para Filosof (Jakarta: Al-Huda, 2005), 78.
17
Sunardji Dahri T, Histografi Filsafat Islam (Malang : Intrans Publishing , 2015), 97.
9

lain. Dan wujudnya tidak akan berakhir serta tidak aka


nada wujud lain kecuali dengan-Nya.18
3) Tentang Fisika (Kosmologi)
Al-Kindi menyatakan bahwa alam itu mempunyai sebab
ynag jauh. Yang menjadikan (Tuhan). Tuhan yang
mengatur yang menjadikan sebab-sebab dari yang lainnya.
Karena itu, ala mini asalnya tidak ada, kemudian menjadi
ada, karena diciptakan oleh Tuhan, oleh karena itu,
qadimnya alam tidak dibenarkan oleh Al-Kindi.19
4) Tentang Etika
Menurut Al-Kindi, tabiat manusia itu pada dasarnya baik,
tetapi di selalu digoda oleh nafsu, sehingga terjadi konflik
(Kaidah Socrates dan Stoa). Konflik ini hanya dihapuskan
dengan pengetahuan. Oleh karena itu, menjauhkan diri
dari keserakahan adalah dengan pengetahuan juga.
5) Tentang Roh (Jiwa)
Menurut Al-Kindi, roh itu tidak tersusun, tetapi
mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Bentuknya
sederhana, subtansinya berasal dari subtansi Tuhan.
Sebagaimana halnya cahaya matahari. Selama dalam
badan, roh tidak memperoleh kesenangan yang
sebenarnya. Baru setelah ia bercerai dari badannya, ia
pergi ke alam kebenaran atau alam akal yang letaknya di
lingkungan cahaya Tuhan.Disinilah letak kesenanganabadi
dan sebenarnya bagi roh.20

18
Ibid, 97.
19
Ibid, 98.
20
Ibid, 99
10

2. Al-Razi
a) Riwayat hidup
Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi atau dikenali
sebagai Rhazes di dunia barat merupakan salah seorang pakar
sains Iran. Beliau merupakan ilmuwan polymath, dokter,
kimiawan, filsuf dan tokoh penting dalam sejarah kedokteran.
Al-Razi hidup antara tahun 864 - 930. Ia lahir di Rayy,
Teheran pada tahun 251 H./865 dan wafat pada tahun 313
H/925.
Sejak muda ia telah mempelajari filsafat, kimia,
matematika dan kesastraan. Dalam bidang kedokteran, ia
berguru kepada Hunayn bin Ishaq di Baghdad. Sekembalinya
ke Teheran, ia dipercaya untuk memimpin sebuah rumah sakit
di Rayy. Selanjutnya ia juga memimpin Rumah Sakit
Muqtadari di Baghdad.21
Karya-karya Ar-Razi ada 148 atau 236 buah dan yang
terkenal antara lain Al-Asrar, Al-Hawi, Al-Manssuri Liber al-
Mansori, Al-Jidar Wal Hasbah, Al-Thibb al-Ruhani, Sirah Al-
Falsafiyah, Amarah Iqbal al-Daulah, Al-Ladzdzah, Al-Ilmu
Al-illahidan Maqolah fi Ma’ba’dah.disini membuktikan
bahwa sosok pemikir yang hebat selain itu dia sebagi dokter,
ahli kimia, filusuf dan ilmuan.22
b) Filsafat-filsafatnya
1) Tentang akal dan agama
Ar-Razi mengemukakan bahwa Tuhan memberi
maunusia akal sebagai anugrah terbesar. Dengan akal
manusia bisa mengetahui yang bermanfaat dan
memperbaiki hidup. Ar-Razi mengingkari wahyu dan
kenabian, bahkan dikatakan sebagi sumber kekacauan

21
Rizem Aizid, Para Pelopor Kebangkitan Islam (Yogyakarta : Diva Press, 2017), 86.
22
Ibid, 100
11

bagi mnausia. Karena membawa ajaran yang berlaian.


Ajaran agama dapat menimbulkan benci-maembenci,
bahkan saling bermusuhan diantara penganut agama.
Ar-Razi mengatakan bahwa orang yang tunduk pada
agama karena tradisi kekuasaan yang ada pada
pemuka-pemuka agama. Ar-Razi lebih mengutamakan
buku filsafat daripada buku-buku agama.23
2) Tentang hubungan nmanusia dengan Tuhan (etika)
Dikatakan bahwa kesenangan manusia sebenarnya
terletak pada kembalinya manusia kepada Tuhan
setelah meninggalkan alam mateari ini. Caranya
dengan lebih dulu mensucikan roh dan berpantang
mengerjakan beberapa hal. Sedangkan untuk
mensucikan roh adalah daengan pengetahuan.24
3) Tentang roh dan materi
Tuhan mewujudkan akal yang berasal dari zat Tuhan,
yang tugasnya untuk menyadarkan manusia yang telah
terperdaya oleh kesenangan materi. Roh akan tinggal
di alam materi ini, selam ia tidak mensucikan diri.25
4) Tentang lima kekal
Bagi Ar-Razi ada lima kekal yang mendahului
segalanya:26
a. Al-Baary (Pencipta alam hidup)
b. An-Nafs al-Kulliyat (Jiwa manusia yang abadi
berturut-turut menghunu tubuh aneka warna
sebelum mencapai pada kebebasan yang sejati)
c. Al-Huyuu al-Uulaa (Materi pertama, dari mana
Tuhan mencipatakn dunia ini)

23
Sunardji Dahri T, op.cit, 101.
24
Sunardji Dahri T, op.cit, 102.
25
Sunardji Dahri T, op.cit, 102.
26
Sunardji Dahri T, op.cit, 103.
12

d. Al-Makaan Al-Matluq (ruang mutlak, sebagai


konsekuensi pertama)
e. Az-Zaman Al-Matluq (waktu mutlak sebagai
konsekuensi adanya ruang mutlak)
Dengan demikian Ar-razi adalah filosof
pemberani yang mengemukakan pendapat
walaupun bertentangan dengan kebanyakan
umat islam. Pendapat yang tidak sepahaman
antara lain:
- Tidak percaya pada wahyu
- Al-Qur’an itu bukan mu’jizat
- Tidak percaya pada kenabian
- Adanya hal-hal yanhg kekal selain Tuhan

3. Al-Farabi
a) Riwayat hidup
Nama lengkapnya Al-Farabi yaitu Abu Nasr Muhammad bin
Muhammad bin Tarkhan bin Uzlaq Al-Farabi. Beliau lahir di
Wasij di daerah Farab (Turkestan tahun 870 M (257 H).
Ayahnya adalah seorang perwira tentara dari Persia,
sedangkan ibunya berasal dari Turkestan.
Pada waktu mudanya, Al-Farabi tinggal dan belajar di
Baghdad. Hatinya tertarik kepada Baghdad karena
tersohornya kota itu sebagai ilmu pengetahuan dan
kebudayaan. Di sana beliau belajar bahasa dan sastra Arab
kepada Abu Bakar al-Salaj, Logika serta Filsafat kepada Abu
Bisyr Mattitus Ibn Yunus, seorang Kristen Nestrorian yang
banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dan kepada Yuhana
Ibn Hailam. Kemudian ia pindah ke Harran sebagai salah satu
pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Di sana ia belajar
Metafisika kepada Yuhanna bin Hailan. Tidak berapa lama
13

kemudian, ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam


filsafat.27 Al Farabi dapat juga dipandang sebagai pelopor
klasifikasi ilmu pengetahuan. Ia membuat klasifikasi
ilmu ke dalam tujuh bagian, yaitu : logika, percakapan
(ilmi Al lisan), metematika, fisika, metafisika, politik dan
ilmu agama.
Abu Nashr ahli pula dalam bidang ilmu musik. Dialah
yang meletakkan dasar-dasar pertama ilmu musik dalam
sejarah. Karenanya ia diberi gelar “Guru Pertama”
dalam ilmu musik. Musik telah dikenal semenjak zaman
Phytagoras. Phytagoras telah membuat ikhtisarnya
menjadi beberapa bagian harmoni. Al Farabi berusaha
menyempurnakan ilmu musik dan menerangkan di mana
kekurangan-kekurangan Phytagoras. Selama di Baghdad
ia menghabiskan waktunya menulis karya-karyanya :28
1) Agrad Al Kitab Ma Ba’da At Tabi’ah (Intisari buku
Metafisika)
2) Al Jam’u Baina Ra’yai Al Hakimaini
(mempertemukan dua pendapat filsuf : Plato dan
Aristoteles)
3) ‘Uyun Al Masa’il (Pokok-pokok Persoalan)
4) Ihsa’ Al Ulmu
5) Al madinatul Fadlilah (Negeri Utama)
6) Risalah Assiyassiyah
7) Assaamarotul Mardliyayah
8) Al Majau
9) On Vacum

27
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung : CV.Pustaka Setia: 2009), 81.
28
Ibid, 84.
14

10) Against Astrology


11) About the Scope of Aristoteles Metaphysizs
12) On the one (Fi Al Wahid dan Wahda)

b) Filsafat-filsafatnya
1) Tentang Filsafat
Al-Farabi mengartikan filsafat sebagai Al Ilmu
bilmaujudaat bima Hiya Al Maujudaat yang artinya
suatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari
segala yang ada ini. Ia berhasil meletakkan dasar-dasar
filsafat ke dalam Islam. ia juga mengatakan bahwa
tidak ada pertentangan antara filsafat Plato dan
Aristoteles. Al-Farabi mempunyai dasar berfilsafat
dengan memperdalam ilmu dengan segala yang
maujud hingga membawa pengenalan Allah sebagai
penciptanya.
2) Tentang Emanasi /Pancaran
Al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang
banyak bisa timbul dari Yang Satu dengan filsafat
emanasi ini. Tuhan bersifat Maha-Satu, tidak berubah,
jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha-
Sempurna dan tidak butuh pada apapun. Menurut al-
Farabi, alam ini terjadi karena emanasi Tuhan. Ia
berpendapat bahwa dari Yang Esa-lah memancar yang
lain, berkat kebaikan dan pengetahuan sendiri-Nya.
3) Tentang Kenabian
Akal yang sepuluh itu dapat disamakan dengan para
malaikat dalam ajaran Islam. Para filosof dapat
mengetahui hakekat-hakekat karena dapat
berkomunikasi dengan akal Kesepuluh. Nabi atau
Rasul pun dapat menerima wahyu karena mempunyai
15

kesanggupan untuk berkomunikasi dengan Akal


Kesepuluh. Akan tetapi kedudukan Nabi atau Rasul
lebih tinggi dari para filosof.
4) Tentang Politik
Filsafat politik dan kenegaraan sangat berhubungna
dengan negara dan masyarakat di dalamnya. Yang
menjadi obyek adalah manusia, konsep negara, tatanan
negara, dan konsep politik. 29

4. Ibnu Sina
a) Riwayat hidup
Ibnu Sina atau yang dikenal dengan Avicenna adalah seorang
ilmuwan, filsuf muslim, dan dokter. Ia mempunyai nama
lengkap Syeikhur Rais, Abu Ali Husein bin Abdillah bin
Hasan bin Ali bin Sina. Ia dikenal sebagai bapak pengobatan
modern karena kemahirannya sejak kecil dalam pengobatan.
Ibnu Sina lahir pada tahun 370 (H) / 980 (M) di rumah ibunya
Afshana, sebuah kota kecil sekarang wilayah Uzbekistan
(bagian dari Persia).30 Ayahnya, seorang sarjana terhormat
Ismaili, berasal dari Balkh Khorasan, Ibnu Sina juga seorang
penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya
adalah tentang filosofi dan pengobatan. Ia dilahirkan di Persia
(sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Ibnu Sina yang
berasal dari keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah akrab
dengan pembahasan ilmiah terutama yang disampaikan oleh
ayahnya. Ibnu Sina secara penuh memberikan perhatiannya
kepada aktivitas keilmuan. Kejeniusannya membuat ia cepat
menguasai banyak ilmu, dan meski masih berusia muda,
beliau sudah mahir dalam bidang kedokteran.

29
Rizem Aizid, op.cit, 73.
30
Dedi Supriyadi, op.cit, 123.
16

Ibnu Sina adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa


pokok bahasan besar. Banyak diantaranya memusatkan pada
filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang
sebagai “bapak kedokteran modern.” George Sarton menyebut
Ibnu Sina “ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu
yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu.”
pekerjaannya yang paling terkenal adalah The Book of
Healing dan The Canon of Medicine, dikenal juga sebagai
sebagai Qanun (judul lengkap: Al-Qanun fi At Tibb).

b) Filsafat-filsafatnya
1) Tentang Metafisika
Metafisika Ibnu Sina secara esensial berkenaan
dengan ontologi, dan kajian terhadap wujud serta
seluruh pembedaan mengenainya itulah yang
menempati peran sentral dalam spekulasi-spekulasi
metafisiknya. Segala sesuatu di dalam semesta
(Universe), berdasarkan kenyataan bahwa ia ada
(exist), dimasukkan ke dalam Wujud (Being). Tapi,
Tuhan, atau Wujud Murni (pure Being), yang
merupakan asal dan pencipta segala sesuatu, yang
tidak ada hubungan ataupun keterkaitan dengan
wujud-wujud di dunia. Melainkan Tuhan lebih awal
dari semesta dan bersifat transenden jika dikaitkan
dengannya. Ibnu Sina atas esksistensi-eksistensi
Tuhan dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-
wujud.31
2) Tentang kenabian dan wahyu
Akal manusia yeng telah mencapai derajatakal
perolehan dapat mengadakan hubungan dengan Jibril.

31
Rizem Aizid, op.cit, 108.
17

Kemudian ia juga sefaham dengan Al-Farabi bahwa


nabi dan filusuf adalah adalah sama.32
3) Tentang teori Emansi
Tingkatan yang paling tinggi jika dibandingkan
dengan penciptaan yang msih memerlukan ruang dan
waktu. Pada hakikatnya teori emanasi Ibnu Sina dan
Al-Farabi keduanya sama menyatakan bahwa alam
semesta merupakan pancaran dari akal kesepuluh.33
4) Tentang jiwa
Jiwa atau nyawa merupakan daya dari jasmani. Jiwa
tersebut muncul atau berawal dari persenyawaan
elemen-elemen primer kehidupandi bawah pengaruh
bneda-benda langit.34
5) Tentang Tasawuf
Tasawuf tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan
meninggalkan keduniaan. Ibnu Sina memulai
tasawufnya dimulai dengan akal dan dimulai dengan
hati. 35

5. Ibn Miskawaih
a) Riwayat hidup
Ibnu Miskawaih seorang tokoh pemikir muslim yang
memiliki nama lengkap Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad
Ibnu Maskawaih. lahir di Rayy (Teheran, ibu kota Republik
Islam Iran sekarang) pada tahun 320 H/932 M dan wafat pada
usia lanjut di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Pebruari
1030 M. Ibnu Maskawaih hidup pada masa pemerintahan
dinasti Buwaihi di Baghdad(320-450 H/ 932-1062 M) yang

32
Rizem Aizid, op.cit, 112.
33
Rizem Aizid, op.cit, 114.
34
Rizem Aizid, op.cit, 116.
35
Rizem Aizid, op.cit, 121
18

sebagian besar pemukanya bermazhab Syi’ah. Ibnu


Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak daripada
sebagai cendekiawan muslim yang ahli dalam bidang
kedokteran, ketuhanan, maupun agama. Dia adalah orang
yang paling berjasa dalam mengkaji akhlak secara ilmiah.36
Ibn Miskawaih selain dikenal sebagai pemikir (filosuf), ia
juga sebagai penulis produktif. Dalam buku The History of the
Muslim Philosophy seperti yang dikutip oleh Sirajuddin Zar
disebutkan beberapa tulisannya sebagai berikut: Al Fauz al
Akbar, Al Fauz al Asghar, Tajarib al Umam (sebuah sejarah
tentang banjir besar yang ia tulis pada tahun 369 H/979 M),
Uns al Farid (Koleksi anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata
hikmah), Tartib al Sa`adat (tentang akhlak dan politik).37

b) Filsafat-filsafatnya
1) Tentang Filsafat Ketuhanan
Tuhan adalah zat yang tidak berjisim, azali dan
pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Ia ada tanpa
diadakan dan ada-Nya tidak bergantung kepada yang
lain. Sementara yang lainnya membutuhkan-Nya.38
2) Tentang Emanasi
Allah menciptakan alam secara pancaran. 39
3) Tentang Kenabian
Nabi adalah seorang muslim yang memperoleh
kebenaran karena pengaruh akal aktif atas
imajinasinya.40

36
Sirajudin Zar, Filsafat Islam ( Jakarta: Rajawali Press, 2004), 127.
37
Ibid, 128-129.
38
Ibid, 129.
39
Ibid, 131.
40
Ibid, 132.
19

4) Tentang Jiwa
Jiwa merupakan rohani yang tidak hancur sebab
kematian jasat. Ia adalah kesatuan yang tidak dapat
dibagi-bagi.
5) Tentang Akhlak
Akhlak adalah suatu suatu sikap keadaan jiwa yang
mendorongnya untuk berbuat tanpa piker dan
pertimbangan. Sementara watak manusia, dibagi
menjadi dua yaitu unsur watak naluriah dan unsur
lewat kebiasaan dan latihan.41

6. Ibn Al-Haitsam
a) Riwayat hidup
Ibnu Haitham atau nama sebenarnya Abu All Muhammad al-
Hassan ibnu al-Haitham, atau dalam kalangan cerdik pandai
di Barat, beliau dikenal dengan nama Alhazen, adalah seorang
ilmuwan Islam yang ahli dalam bidang sains, falak, mate-
matika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Beliau banyak
pula melakukan penyelidikan mengenai cahaya, dan telah
memberikan ilham kepada ahli sains barat seperti Boger,
Bacon, dan Kepler dalam menciptakan mikroskop serta
teleskop. Dunia memanggilnya sebagai Bapak Optik. Gelar
kehormatan itu dianugerahkan kepada Ibnu Haitam atas
kontribusinya dalam mengembangkan ilmu optik. bernama
lengkap Abu Ali Muhammad ibnu Al-Hasan ibnu Al-
Haitham. Ia merupakan sarjana Muslim terkemuka yang lahir
di Basrah, Irak pada 965 M.42

41
Ibid, 135.
42
Mulyadhi Kartanegara, op.cit, 100.
20

7. Ibn Bajjah
a) Riwayat hidup
Ia adalah Abu Bakr Muhammad ibn al-Sayigh, yang terkenal
dengan Ibn Bajjah. Orang-orang Eropa pada abadabad
pertengahan menamai Ibn Bajjah dengan “Avempace”,
sebagaimana mereka menyebut nama-nama Ibn Sina, Ibn
Gaberol, Ibn Thufail dan Ibn Rusyd, masing-masing dengan
Avicenna, Avicebron, Abubacer, dan Averroes. Ibn Bajjah
dilahirkan di Zaragosa pada abad ke-11 Masehi.
Tahun kelahirannya yang pasti tidak diketahui, demikian pula
masa kecil dan masa mudanya. Sejauh yang dapat dicatat oleh
sejarah ialah bahwa ia hidup di Seville, Granada, dan Fez;
menulis beberapa risalah. tentang logika di kota Seville pada
tahun 1118 M.5 Menurut beberapa literatur, Ibn Bajjah bukan
hanya seorang filosof ansich, tetapi juga seorang saintis yang
menguasai beberapa disiplin ilmu pengetahuan, seperti
kedokteran, astronomi, musikus, dan matermatika.43

b) Filsafat-filsafatnya
1) Tentang Ketuhanan (Metafisika)
Gerakan alam ini, jisim yang terbatas digerakkan oleh
‘aql (bukan berasal dari substansi alam sendiri).
Sedangkan yang tidak bergerak ialah ‘aql, ia
menggerakkan alam dan ia sendiri tidak bergerak. ‘Aql
inilah yang disebut dengan Allah (‘aql, ‘aqil, dan ma’qul).
44

2) Tentang materi dan bentuk


“Materi dapat bereksistensi tanpa harus ada bentuk (ash-
shurat).” Pernyataan ini menolak asumsi bahwa “materi

43
Sirajuddin Zar, op.cit, 186.
44
Sirajuddin Zar, op.cit, 191.
21

itu tidak bisa bereksistensi tanpa ada bentuk, sedangkan


bentuk bisa bereksistensi dengan sendirinya, tanpa harus
ada materi.” Ibn Bajjah berargumen jika materi berbentuk,
ia akan terbagi menjadi “materi” dan “bentuk” dan begitu
seterusnya. Ibn Bajjah menyatakan bahwa “Bentuk
Pertama” merupakan suatu bentuk abstrak yang
bereksistensi dalam materi yang dikatakan sebagai tidak
mempunyai bentuk.45
3) Tentang Jiwa
Setiap manusia mempunyai satu jiwa, jiwa ini tidak
mengalami perubahan sebagaimana jasmani. Jiwa adalah
penggerak bagi manusia. Jiwa digerakkan dengan dua
jenis alat: alat-alat jasmaniah dan alat-alat rohaniah.46
4) Tentang Akal dan ma’rifat
Akal merupakan bagian terpenting yang dimilliki oleh manusia.
Ia berpendapat bahwa ma’rifat (pengetahuan) yang benar dapat
diperoleh lewat akal.47

C. Figur-figur ilmuan Muslim pada masa Abbasiyah


1. Ilmu hadist
a. Imam Bukhari
b. Imam Muslim
2. Ilmu Kalam
a. Abu Al-Huzail Al-Allaf
b. Al-Nizham
c. Al-Jubai’i
d. Al-As’ari
e. Al-Juwaini
3. Ilmu Nahwu

45
Sirajuddin Zar, op.cit, 193.
46
Sirajuddin Zar, op.cit, 194.
47
Sirajuddin Zar, op.cit, 196
22

a. Al-Tsaqafi
b. Al-Akhfasi
c. Sibawaihi
4. Ilmu Tasawuf
a. Al-Qusyairi
5. Astronomi
a. Al-Fazzari
6. Kedokteran
a. Yuhannah bin Musawai
b. Ibnu Sina
7. Matematika
a. Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi
23

BAB III
KESIMPULAN

Dari beberapa penjelasan pada makalah di atas, maka dapat di


simpulkan bahwa Daulah Dinasti Abbasiyah pada priode pertama
mengalami masa kejayaan. Hal ini terjadi, karena yang ditangani
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam. Ditandai dengan
berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan tempat-tempat
pendidikan.
Serta banyak ilmuan filosof atau ilmuan pengetahuan lainnya yang
berhasil membuahkan karya-karyanya yang luar biasa serta penemuan-
penemuan yang di gunakan pada zaman sekarang. Figur-figur filosof
mempunyai pandangan tersendiri terhadap pemikirannya. Sehingga
ada persamaan dan perbedaan dalam menafsirkan
24

DAFTAR PUSTAKA

Pulungan .J. Suyuti. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Amazah, 2018.


Ahmed, Akbar S. Tinjauan Sejarah dan Sosiologi. Jakarta: Erlangga, 1992.
Zakariya, Din. Muhammad. Sejarah Peradaban Islam. Malang : Madani Media,
2018.
Suntiah, Ratu. Sejarah Peradaban Islam (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya,
2019.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1. Jakarta: UI
Press, 2001.
Hasan , Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam, Jilid 2. Cairo: Al-Nadlah al-Mishriyyah,
1970.
Majid, Abdul Mun’im. Tarikh al-Hadloroh al-Islamiyah fi al-Ashr al-Wustha.
Cairo: Maktabah al- Injili al-Mishiriyyah, 1978.
Hitti, Philip K.. History of Arabs. London: The Machmillan Press Ltd, 1970.
Ahmad Y.Alhasan dan Donald R Hill. Teknologi dalam Sejarah Islam. Bandung :
Mizan, 1993.
Kartanegara, Mulyadhi. Para Filosof . Jakarta: Al-Huda, 2005.
Sunardji Dahri T, Histografi Filsafat Islam. Malang : Intrans Publishing , 2015.
Aizid, Rizem. Para Pelopor Kebangkitan Islam. Yogyakarta : Diva Press, 2017.
Zar, Sirajudin. Filsafat Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2004.

Anda mungkin juga menyukai