Anda di halaman 1dari 9

Materi Makalah : Rangkuman BAB 2

A. Perkembangan Peradaban dan Ilmu Pengetahuan


Menurut Ahmad al-Usairy, pemerintahan Bani Abbasiyah dapat menjadi empat periode.
1. Asimilasi Bangsa Arab dengan Non-Arab
Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang
masuk islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu
memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam islam. Persia
banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh dalam India terlihat
dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Pada masa al-Makmun (198-
218H/813-833M) ilmu pengetahuan dan intelektual mencapai puncaknya,. Pada masa itu, di
Baghdad telah berdiri Bait al-Hikmah yang menjadi pusat kegeiatan ilmiah terutama ilmu
pengetahuan dari Yunani.
2. Gerakan Penerjemahan
Gerakan penerjemahan berlangsung dalam 3 fase,
Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini
yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan logika.
Fase kedua berlangsung dari masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300H, buku-buku
yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran.
Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300H, terutama setelah adanya pembuatan
kertas, bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.

B. Kemajuan Peradaban dan Tokoh-tokohnya


Pada masa ini, pusat-pusat kajian ilmiah bertempat di masjid-masjid. Sebab pada masa permulaan
Dinasti Abbasiyah, belum terdapat pusat-pusat pendidikan formal, seperti sekolah maupun perguruan
tinggi. Baru pada masa Harun al-Rasyid mulai mendirikan pendidikan formal.
1. Kemajuan ilmu Tafsir dan Hadis
Berkembangnya pemikiran intelektual dan keagamaan pada Dinasti Abbasiyah faktor penting
yang menjadi pendorong perkembangan peradaban, bahwa Islam memiliki sumber normatif, yakni
al-Qur'an. yang mempunyai posisi sangat khusus dan memainkan peranan sentral dalam
kehidupan kaum muslim, karena menjadi sumber inspirasi keagamaan dan keilmuan.
a. Ilmu Tafsir
Pada masa Dinasti Abbasiyah, perhatian terhadap al-Qur'an dapat dilihat dari banyaknya
buku yang ditulis untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an. Hamp setiap cabang ilmu yang
berkembang diawali dengan mengutip dan menafsirkan ayat al-Qur'an yang terkait.
Ilmu tafsir ialah cabang ilmu yang sangat penting bag perkembangan keagamaan dan
keilmuan umat Islam Perkembangan ilmu tafsir pada masa Dinasti Abbasiyah terdiri atas tafsir
bil masar (al-Qur'an ditafsirkan dengan ayat-ayat al-Qur'an atau hadis-hadis Nabi dan tafsir bir-
ra'yi (penafsiran al-Quran dengan menggunakan akal pikiran).
Para ahli tafsir bil-ma'tsur, antara lain Jarir at-Tabari, Ibnu Athiyah al Andalusy, as-Suda'i
(yang mendasarkan tafsirnya kepada Ibnu Abbas dan fhm Mas'ud), Muqatil bin Sulaiman
(tafsirannya terpengaruh oleh Kitab Taurat, da Muhammad bin Ishaq (dalam tafsirnya banyak
mengutip cerita israiliyat).
b. Ilmu Hadis
Di samping ilmu tafsir, juga berkembang ilmu hadis dan pembukuaan hadis. Pada awalnya
berbagai hadis dikoleksi oleh para ulama. Dengan demikian, pada awalnya, hadis dikumpulkan
bukan berdasarkan isinya, tetapi lebih menurut perawinya. Metode pengumpulan ini disebut al-
Musnad. Al-Musnad yang paling terkenal adalah yang dihimpun oleh Ahmad bin Hanbal (w. 241
H/855 M).
Ada enam dari kitab jenis ini yang secara umum diakui oleh mayoritas umat Islam, yang
terkenal dengan al-Kutub as-Sittah (kitab yang enam). Adapun keenam pengumpul hadis yang
hidup pada zaman Dinasti Abbasiyah ini adalah Imam Bukhari (256 H/870 M), Muslim (261
H/875 M). Abu Dawud (275 H/888 M), at-Tirmizi (279 H/892 M), an-Nasa'i (303 H/915 M), dan
Ibnu Majah (273 H/886 M).
2. Kemajuan Ilmu-ilmu Agama
Sebagaimana telah disebut, bahwa berkembangnya ilmu tafsir dan hadis selanjutnya diikuti
dengan perkembangan ilmu-ilmu keagamaan lainnya, yang meliputi teologi/ilmu kalam dan fikih.
Para khalifah dan pembesar lainnya mendorong, bahkan mensponsori aliran teologi yang sesuai
dengan pemahamannya. Hal ini menimbulkan perdebatan terbuka dan terkadang meningkat
menjadi konflik.
a. Ilmu Kalam
Sejak abad ke-11 hingga ke-13, dominasi Dinasti Seljuk menyebabkan tenggelamnya filsafat
Islam pada sebagian besar wilayah muslim. Pada masa dominasi Seljuk ini, lebih menyukai
pengajaran ilmu kalam daripada filsafat, meskipun ilmu kalam berkembang dalam bentuk yang
lebih filosofis.
ilmu kalam lahir disebabkan dua faktor, yaitu musuh Islam ingin melemahkan Islam dengan
menggunakan filsafat dan hampir semua masalah, termasuk masalah agama, telah berkisar
pada pola rasa kepada pola akal dan ilmu. Oleh sebab itu, para filsuf yang muncul adalah
mereka yang mendukung atau membantah topik-topik ilmu kalam, akan tetapi dipengaruhi
filsafat yang berkembang
Di antara pelopor dan ahli ilmu kalam ialah Wasil bin Ata', Abu Huzail al-Allaf, ad-Daham,
dan Abu Hasan al-Asy'ari. Kemudian tiga tokoh lainya yang terkemuka adalah al-Ghazali (w.
505 H/1111 M). Muhammad Abdul Ka Syahristami (w. 548 H/1153 M), dan Fakhruddin ar-Razi
(w. 606H/1210 M) de karyanya yang terkenal berjudul al-Mathalib al-Aliyah min al-'Ilm al-ilahi.
b. Ilmu Fikih
Dalam ilmu fikih, ditinjau dari aspek hukum, pada masa Dinasti Abby telah muncul dan
berkembang aliran atau mazhab yang menawarkan m dan pendapat yang beraneka ragam.
Ada empat mazhab besar yang bebas kalangan Sunni, yaitu Hanafi, Maliki. Syafi'i, dan Hanbali
Semula pengelompokan aliran atau mazhab fikih ini lebih berdasarkan p kota yang menjadi
pusat pengembangannya, yaitu Mazhab Madinah Mun Damaskus, dan Mazhab Mesir Baru
pada periode Abbasiyah, mazhab fikih h diatribusikan kepada tokoh pemikir terbesarnya,
seperti Imam Abu Hanifah - H/699-797 M), Imam Malik bin Anas (93-179 H/715-795 M). Imam
Muhammad Idris as-Syafi'i (150-204 H/767-820 M), dan Imam Ahmad bin Hanbal (164-3 H/780-
855 M).
Di samping itu, juga dikenal Abu Yusuf (149 H/798 M). murid Imam Ah Hanifah, yang pernah
menjabat qadi al-qudat (hakim agung), dan Abu Daw bin Khallaf (216 H/833 M), yang menjadi
pelopor aliran tekstualis atau Math Zahiri
Karya-karya ulama fikih, antara lain Imam Abu Hanifah karyanya Fiqih Akbar dan al-Alim wal
Muta'an. Karya Abu Hanifah tersebut berisi pengetahuan tentang Allah Swt. Kitab fikilya itu
merupakan peringkat pertama membahas usul yang disebut Zahir ar-Riwayah yang
membicarakan masalah hukum yang diriwayatkan dari sahabat
Imam Malik adalah seorang pakar dalam bidang ilmu fikih setelah tabi n Beli juga terkenal
sebagai ahli hadis, sebagaimana tercermin dalam karyanya al-Muwatta Imam Malik pernah
berguru kepada Nafi' Maula bin Amr (w. UIT H/735 M) dan Thu Syihab az-Zuhri (w. 124 H/742
M), dan gurunya dalam ilmu likih adalah Rabi ah bin Abdurrahman yang dikenal dengan Rabi'ah
ar-Ra'yi ( 136 H/753 M). dan masi ada banyak yang lainnya seperti karya imam Syafi’i dan
karya imam Ahmad.
c. Ilmu Tasawuf
Ilmu tasawuf disebut juga ilmu syariat. Inti ajarannya ialah tekun beribadah menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan atau menjauhkan diri dari kesenangan dan perhiasan
dunia dan bersembunyi diri dalam beribadah.
Munculnya ilmu tasawuf ini dilatarbelakangi oleh kecenderungan pemikiran yang bersifat
filosofis sehingga menimbulkan gejolak di kalangan umat Islam. Oleh karenannya, di antara
para pemikir muslim mencoba mencari bentuk gerakan pemikiran tasawuf. Situasi politik dan
perdebatan kalam, menjadi salah satu faktor penyebab banyak ulama Islam mencari jalan
menuju Tuhan melalui pendekatan tasawuf.
Dalam konsep ilmu tasawuf dikenal tahapan atau maqam maqam yang akan dilalui oleh
seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Adapun tahapan atau maqam yang akan
dilalui oleh para sufi sebagai berikut.
Pertama, zuhud, yaitu kehidupan yang terbebas dari materi duniawi.
Kedua, mahabbah, yaitu rasa cinta yang sangat dalam kepada Allah.
Ketiga, ma'rifat, yakni pengalaman ketuhanan.
Keempat, al-Fana dan al-Baqa, yaitu suatu keadaan di mana seorang sufi belum dapat
menyatukan diri dengan Tuhan sebelum menghancurkan dirinya.
Kelima, ittihad dan hulul, yaitu tahapan di mana seseorang telah merasakan dirinya bersatu
dengan Tuhan.
3. Kemajuan di Bidang Ilmu Pengetahuan
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah cukup menakjubkan, kaum
muslimin mempunyai modal besar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Mereka melakukan
riset dan menganalisis berbagai ilmu pengetahuan.
a. Ilmu kedokteran dan farmasi
Ilmu kedokteran pada masa Dinasti Abbasiyah sangat menarik perhati kalangan umat Islam.
Pada masa itu didirikan lembaga pelatihan perobatan peninggalan zaman Bizantium di
Antiokhia dan Harran di Suriah serta di Iskandaria Mesir yang sudah melemah dibangkitkan
kembali. Di wilayah Timur adalah sekolah khusus kedokteran di Jundishapur Susiana, warisan
masa keemasan Sasaniah
Seorang dokter yang cukup terkenal dari lembaga ini, Jirjis bin Jibril al-Bokhtisho, pernah
merawat khalifah al-Mansur di Baghdad. Khalifah Harun ar-Rasyid pernah mengundang
Mankah, seorang dokter terkenal keturunan India, ke Baghdad. Keluarga khalifah maupun
keluarga bangsawan mempunyai dokter pribadi, pada awalnya dokter non-muslim lebih
mendominasi, tetapi pada perkembangan berikutnya dokter-dokter muslim lebih mendominasi.
Hal itu disebabkan dengan semakin banyaknya kitab kedokteran yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab, bermunculan dokter muslim yang secara terus menerus memahami dan
mengembangkan at-Tibb (ilmu kedokteran). Di antara para dokter tersebut sebagai berikut.

1) Muhammad bin Zakaria ar-Razi (Rhazes), yang hidup antara tahun (865-915 H/1149-1209
M) berjasa besar dalam mempelajari dan mengobati penyakit campak (small-pox) dan cacar
(measles), dan pernah menjabat sebagai kepala dokter di rumah sakit Baghdad. Karya besar
ar-Razi adalah al-Haw sebuah buku berisikan catatan tentang berbagai jenis penyakit dan can
pengobatannya.
2) Hunain bin Ishaq (804-874 H) terkenal sebagai dokter ahli di bidang penyakit mata dan
penerjemah buku-buku kedokteran ke dalam bahasa Arab.
3) Ali Abbas (w. 944 M) merupakan penyusun sejenis ensiklopedi kedokteran yang disebut
Kitab al-Maliki. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Liber Regius
dan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Whole Medical Art. Buku ini menjadi rujukan di
Barat hingga menjelang abad modern.
4) Ibnu Sina atau Vicena (370-428 H/980-1037 M) karyanya yang terkenal ialah al-Qanun fi
at-Tibb yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul Canon of Medicine. Buku ini
dijadikan pedoman bagi universitas di Eropa dan negara-negara Islam.
5) Abu Marwan Abdul Malik bin Abil 'Ala bin Zuhr (1091-1162 M) terkenal sebagai dokter ahli
di bidang penyakit dalam (internis). Karyanya yang terkenal at-Taisir (Pemudahan Perawatan)
dan al-Iqtisad yang ditulis tahun 1121 M.
6) Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1196 M) terkenal sebagai dokter perintis di bidang penelitian
pembuluh darah dan cacar. Karyanya yang terkenal adalah Kitab al-Kulliyat.
7) Abu Zakariya Yuhana bin Maskawih merupakan ahli farmasi di Rumah Sakit Jundishapur.
8) Sabur bin Sahal menjadi direktur Rumah Sakit Jundishapur.

Selain ilmu kedokteran juga berkembang ilmu farmasi, yaitu ilmu untuk menentukan obat dan
pembuatan obat-obatan, makanan serta gizi. Di antara ahli farmasi yang lahir pada masa ini
adalah Ibnu Baitar. Karyanya yang terkenal adalah al-Mugni (tentang obat-obatan), Jami'
Mufratil-Adwiyyah wa Agziyah (tentang obat-obatan, makanan dan gizi), dan Mizani Tabib.
Selain itu, di bidang ilmu kimia, adalah Abu Bakar ar-Razi dan Abu Musa Ja'far al-Kufi.
b. Ilmu Perbintangan atau Astronomi
Pada masa Dinasti Abbasiyah ilmu perbintangan atau astronomi berkembang pesat hingga
pada masa kekhalifahan al-Makmun. Tokoh astronomi Islam pertama adalah Muhammad al-
Fazani. Ia mengoreksi tabel yang ada berdasar teks astronomi India Sidhanta yang ditulis oleh
Brahmagupta. Ahli astronomi lain adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (w. 847 M) yang
berhasil membuat tabel astronomi Zij as-Sindi (Tabel India) yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin oleh Adelard dari Bath dan sangat populer di Eropa pada abad pertengahan.
Selain mereka, masih banyak lagi astronom muslim yang hidup pada masa pemerintahan
Dinasti Abbasiyah, antara lain sebagai berikut.
1) Abu Ma'syar al-Falaki, karyanya yang terkenal ialah Isbatul Ulum dan Haiatul Falaq.
2) Jabir al-Batany, pencipta alat teropong bintang yang pertama. Karyanya yang terkenal
adalah Kitabu Ma'rifati Matlil-Buruj baina Arba'il-Falaq.
3) Raihan al-Biruny, karyanya yang terkenal adalah at-Tafhim li awa'ili Sina'atit-Tanjim.
c. Ilmu Pasti (Riyadiyat) atau Matematika
Pada masa Dinasti Abbasiyah juga berkembang ilmu pasti atau matematika dan cabang-
cabangnya. Pada mulanya, ilmu matematika yang dikembangkan umat Islam berasal dari
karya-karya bangsa Yunani, Romawi, dan India. Hal itu dapat dilihat, pada saat Hajjaj bin Yusuf
menjadi gubernur di Persia. Ia banyak menemukan manuskrip ilmuwan terkenal, seperti
Euclides ahli matematika (hidup pada tahun 300 SM) berjudul Elements yang sudah
diterjemahkan dan diserahkan kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Pengetahuan tentang
matematika itu juga diperkaya dengan warisan ilmu dari India, misalnya, buku berjudul Zij as-
Sindhind (Tabel Astronomi) yang diterjemahkan Muhammad bin Ibrahim al Fazari yang
diserahkan kepada khalifah al-Mansur.
Dengan demikian, perkembangan ilmu matematika dan cabang-cabangnya memberikan arti
penting bagi perkembangan peradaban Dinasti Abbasiyah Misalnya, ilmu geometri yang
berfungsi untuk menerangkan sifat-sifat garis, sudut bidang, dan ruang. Ilmu dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan para perancang bangunan, seperti istana, masjid, dan
bangunan lainnya. Di antara tokoh ilmuwan muslim yang terkenal adalah sebagai berikut.

1) Sabit Qurrah al-Hirany (211-288 H), karyanya yang terkenal berjudul Hisabal Ahliyyah
2) Abdul Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Abbas, karyanya yang terkenal
ialah Ma Yahtaju Ilaihi Ummat wal-Kuttab min Sinatil-Hisab
3) Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (194-266 H/780-850 M), seorang ahli matematika
yang menulis buku Aljabar yang mengabadikan namanya dalam ilmu logaritma.
4) Umar Khayyam (1048-1131 M), karyanya tentang aljabar yang berjudul Treatise on al-
Gebra telah diterjemahkan oleh F. Woepcke ke dalam Bahasa Prancis (Paris 1857 M). Aljabar
karya Umar Khayyam ini lebih maju dibandingkan aljabar karya Euklides dan al-Khawarizmi.
d. Ilmu Filsafat
Proses penerjemahan oleh umat Islam pada masa Dinasti Abbasiyah terutama kitab-kitab
filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab mengalami perkembangan yang
cukup besar Para penerjemah saat itu tidak hanya menerjemahkan ilmu pengetahuan dari
peradaban bangsa Yunani, Romawi, Persia, dan India saja, juga mentransfer ke dalam bentuk
pemikiran. Proses inilah yang disebut dengan hellenisasi.
Pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid telah dirintis berdirinya Bait al Hikmah atau Graha
Kebijaksanaan menjadi pusat segala keilmuan. Maka pada masa al-Makmun sangat
mendukung proses hellensasi tersebut, termasuk di dalamnya mempelajari ilmu filsafat. Di
antara tokoh yang memberi andil cukup penting dalam perkembangan filsafat Islam sebagai
berikut.
1) Abu Yusuf Ya'qub al-Kindi (185-260 H/801-873 M), filosof muslim pertama dari suku
Kindah Al-Kindi berusaha menjelaskan hubungan filsafat dengan agama. Menurutnya tidak ada
pertentangan dan tidak perlu dipertentangkan, karena keduanya upaya untuk mencari
kebenaran. Titik temu pada kebenaran inilah menyebabkan ilmuwan yang mempelajari filsafat.
Pemikiran al-Kindi, satu-satunya filosof muslim Arab yang cukup cemerlang inilah kemudian
dijuluki the Philosoper of the Arabs.
2) Abu Bakar ar-Razi (864-926) sebagai penerus dari pemikiran al-Kindi. la mengandalkan
rasio bagi manusia, hingga ia menafikan kemutlakan dan perlu Nabi Muhammad saw.
3) Abu Nasr al-Faraby (258-339 H/870-950 M), ia merintis bahasa Arab menjadi wacana
filosofis, termasuk memasukkan unsur-unsur logika Aristoteles. Di dalam bukunya Ra'yu Ahlul
al-Madinah al-Fadilah (Pemikiran tentang Penduduk Negara Utama), ia berupaya
mensintesakan filsafat politik Plato dengan pemikiran politik Islam.
4) Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M), seorang yang gemar mencali ilmu pengetahuan. Ibnu
Sina menguasai berbagai ilmu pengetahuan, selain filsafat, juga dikenal sebagai dokter yang
andal. Di antara pemikiran filsafat yang kembangkannya adalah filsafat jiwa, filsafat wahyu dan
nahi, serta filsafat wujud.
5) Imam Gazali (450-505 H/1058-1111M) pertama kali mendalami ilmu fikih, kemudian
secara mendalam mempelajari ilmu kalam dan filsafat. La sempat mengajar di Madrasah
Nizamiyah di Baghdad dan pada masa itu ia menulis karyanya Maqasid al-Falasifah (Maksud
Para Filsuf) dan Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Al-Gazali dipandang sebagai
pembela kebenaran Islam terbesar sehingga dijuluki hujjah al-Islam (hujjatul Islam) dengan
karyanya yang terkenal Ihya Ulumu ad-Din. Setelah dia menekuni di bidang tasawuf
6) Ibnu Bajjah (w. 533 H/1138 M), di Barat ia dikenal dengan sebutan Avempace Ibnu Bajjah
memiliki beberapa karya, yaitu Risalatul Wada, Akhlak. Kitab an Nabat. Risalah at-Ittsihal al-Aql
bil Insan, Tadir al-Mutawahhid, Kitab an Nafs, Risalah al-Gayah al-Insaniyah.
7) Ibnu Tufail (w. 581 H/1186 M) seorang ilmuwan dan filosuf kenamaan pada masa Dinasti
Abbasiyah. Selain menguasai filsafat Islam, ia juga menguasai ilmu kedokteran, matematika,
dan sastra. Karyanya di bidang filsafat yang monumental adalah Hay bin Yaqzan.
8) Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1196 M), dalam bidang filsafat pendapatnya hampir sama
dengan al-Kindi. Kalau di Barat (Spanyol), Ibnu Rusyd dikenal sebagai komentator terhadap
pemikiran Aristoteles, di dunia Timur, ia dikenal sebagai filosof yang berbeda dengan pemikiran
al-Gazali. Karya di bidang filsafat berjudul Fast al-Maqal fi ma baina al-Hikmah wa asy-Syari'at
min al-Ittishal (kata putus tentang kaitan filsafat dan syariah atau agama Islam).
9) Abu Raihan al-Biruni (973-1048 M) dikenal sebagai filsuf muslim yang menggali pemikiran
filsafat India.
10) Ibnu Maskawaih (w. 421 H/1030) yang mengupas masalah moral, bukan sebagai bagian
dari ilmu akhlak, tasawuf, dan fikih, tetapi sebagai persoalan filsafat. Hal ini bisa dijumpai dalam
bukunya yang berjudul Tahzib al-Akhlak (Pemurnian Moral) dan Jawidan Khirad (Philosophia
Perennis).
e. Ilmu Sejarah
Sejarah yang cukup penting untuk dipelajari adalah riwayat hidup Nabi Mohammad saw
Sebagian besar sejerawan periode Dinasti Abbasiyah mempelajari dan menulis tentang sejarah
hidup Nabi Muhammad saw (sirab). Ada beberapa sejarawan muslim yang menulis tentang
sejarah dan sirah Nabi Muhammad saw.
1) Muhammad bin Ishaq (w. 150 H/767 MD, ia berhasil menyusun kitab Sirah an Nabawiyah
li Ibn Ishaq yang kemudian disunting oleh muridnya. Muhammad bin Ishaq di Baghdad
mendapat dukungan dari khalifah al-Mansur untuk menyiapkan sejarah hidup Nabi Muhammad
saw. yang lengkap. Buku tersebut merupakan buku tertua mengenai sejarah hidup Nabi
Muhammad saw.
2) Ibu Hisyam (w203 H/845 M) adalah murid Muhammad bin Ishaq. Ia berhasil menyunting
karya how Ishaq, sehingga dapat dibaca melalui ringkasannya Karya Tu Hayam yang terkenal
adalah Sirah Ibn Hisyam.
3) Al-Wagid (w 208 H/R23 M) ia disponsori oleh Yahya al-Barmaki, menter Khalifa Harun ar-
Rasyid. Salah satu karya utamanya adalah Tarikh al-Kabir kitab ini melukiskan tentang
peperangan dan penaklukan yang dilakukan Nabi Muhammad saw. Selain itu, ia juga menulis
buku al-Magazy Fath Afrika. Fathul Ajam Fak Miar al Iskandariyah
4) Muhammad bin Sa'ad fw 230 H/845 M) adalah murid dan asisten al Waqidi. Ibnu Sa'ad
kemudian melengkapi lebih jauh dengan berbagai data dalam kitabuya Tabaqat al-Kubra,
sebanyak delapan jilid. Dua jilid pertama menibentangkan sejarah hidup Nabi Muhammad saw.
Enam jilid berikutnya memerinci riwayat para sahabat dan tabi’in
Tradisi penulisan sejarah di kalangan umat Islam mencapai tingkat kedewasanya pada abad
ke-9. Beberapa maarikh yang mencatat dan menyusun sejarah secara komprehensif adalah al-
Baladuri (w, 892 M), at-Tabari (839-923 M. dan al-Mas'udi (w 928 M). Penulis sejarah lain yang
termasyhur adalah Abu Rathan al-Biruni (973-1048 M) yang menulis kitab Tahqiq ma Lil-Hind,
yaitu sebuah buku yang menguraikan tentang sejarah bangsa India
f. Ilmu Geografi
Sebelum abad ke-12M, istilah "geografi" tidak pernah digunakan dalam literatur Islam. Saat
itu hanya disebut "bumi" secara umum atau kata yang menerangkan kondisi sebagian wilayah
bumi dan berbagai fenomenanya, seperti deskripsi bumi, bentuk bumi, dan jenis-jenis iklim.
Baru pada abad ke-12 M, istilah jugrafiyah atau geografi diperkenalkan oleh az-Zuhri (w. 1137
M), filsuf dari Kordoba.
Pada masa Dinasti Abbasiyah terdapat ahli ilmu geografi yang telah menulis buku-buku
tentangnya, di antaranya sebagai berikut.

1) Ibnu Khurdazbih (w. 911), ahli geografi berkebangsaan Persia. Ia telah mele takkan dasar-
dasar dan penulisan geografi dalam bahasa Arab. Karyanya yang terkenal berjudul al-Masalik
wa al-Mamalik. Buku ini dijadikan rujukan utama para khalifah Abbasiyah.
2) Al-Jahiz (w. 869) telah menulis buku Kitab al-Hayawan dan Rasail karya Ikhwan as-Safa
merupakan sumber berharga dalam pengembangan ilmu geografi.
3) Al-Biruni (973-1048 M), karyanya yang terkenal adalah Kitab al-Hind. Karya lainnya adalah
al-Asar al-Baqiyah 'an al-Qurun al-Khaliyah. Dalam bukunya itu al-Biruni menggambarkan peta
laut dan beberapa gambar peta bumi.
4) Al-Balazuri pada tahun 869 M, menulis buku Futuh al-Buldan (Penaklukan Negeri-negeri)
dan
5) Yaqut bin Abdullah al-Hamawi pada tahun 1224 M, menulis buku Mu'jam al-Buldan. Buku
ini memberikan informasi tentang kondisi geografis masing masing negara dijelaskan secara
lengkap.
6) As-Sirafi pada tahun 920 M, menulis buku Akbar as-Sin wa al-Hind (Informasi Tentang
Tiongkok dan India.
7) Ibnu Batutah (1034-1377 M), karya monumentalnya berjudul Tuhfah an-Nuzzar fi Gara al-
Amsar wa 'Aja'ib al-Asfar adalah karya geografi yang sangat berharga.
C. Pusat-Pusat Peradaban Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah merupakan salah satu dinasti Islam yang sangat peduli dalam upaya
ngembangan ilmu pengetahuan. Upaya ini mendapat tanggapan yang sangat baik dari ra
ilmuwan. Para khalifah Dinasti Abbasiyah telah menyiapkan beberapa fasilitas yang berikan
adalah pembangunan pusat-pusat riset dan terjemah seperti baitul hikmah, majelis munazarah,
dan pusat-pusat studi lainnya.
Berikut ini beberapa pusat peradaban yang telah diukir oleh Dinasti Abbasiyah.
1. Kota-Kota Pusat Peradaban
a. Kufah ialah ibu kota pertama bagi Dinasti Abbasiyah. Namun tidak begitu lama Kufah
dijadikan ibu kota pemerintahan Dinasti Abbasiyah, dikarenakan penduduk nya mayoritas
pengikut Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.
b. Hirah dipilih sebagai ibu kota kedua bagi Dinasti Abbasiyah. Pemindahan ibu kota dari
Kufah ke Hirah ini semata-mata menghindari konflik dengan Ali bin Abi Talib dan keturunnya.
Namun demikian, di Kota Hirah juga tidak lama dan kemudian pindah ke Anbar.
c. Anbar terletak sepuluh farsakh, kota ini pernah dibangun oleh seorang Raja Persia dan
kemudian diperbaharui oleh Abu Abbas as-Saffah dan dinamakan Hasyimiyah Pada masa
khalifah al-Mansur telah terjadi pemberontakan oleh golongan Rawandiyah. Khalifah al-Mansur
merasa tidak aman, akhirnya melahirkan ide untuk membangun Kota Baghdad yang bergelar
"Ratu Timur".
d. Baghdad merupakan ibu kota negara kerajaan Abbasiyah yang didirikan oleh Khalifah Abu
Ja'far Al-Mansur (754-775 M) pada tahun 762 M. Kota ini terletak di tepian sungai Tigris. Masa
keemasan Kota Baghdad terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid (786-809
M), dan anaknya al-Makmun (813-833M) Baghdad merupakan sebuah kota yang makmur,
maju, dan kaya dengan tamadun. ilmu pengetahuan, dan peradaban di Timur Tengah.
e. Karkh merupakan kawasan lanjutan Kota Baghdad. Khalifah al-Mansur pernah
memerintahkan supaya pusat perniagaan dialihkan dari Kota Baghdad ke Kota Karkh. Jadi,
Karkh merupakan kota pusat perdagangan yang dibangun khalifah al-Mansur dan di dalamnya
juga dibangun masjid-masjid untuk menunaikan salat Jumat dan tidak harus pergi ke Baghdad
bila hari Jumat.
f. Rusafah terletak di sebelah timur Kota Baghdad. Rusafah dibangun oleh khalifah al-
Mansur untuk al-Mahdi dan seluruh pasukannya. al-Mahdi mendirikan masjid di Kota Rusafah
lebih besar dan lebih indah dibandingkan dengan masjid Jami' al-Mansur. Kota Rusafah
merupakan tempat yang selamat dan aman bagi orang orang yang mencari perlindungan serta
tempat pemakaman para khalifah Dinasti Abbasiyah.
g. Samarra terletak di sebelah timur sungai Tigris yang berjarak lebih kurang 60k dari Kota
Baghdad. Di kota ini terdapat 17 istana mungil yang menjadi comu seni bangunan Islam di kota
kota lain. Pada masa khalifah Harun al Rasyid tela dibangun sungai yang bernama Taqul.
Kemudian pada masa khalifah al Muktasim dibangun sebuah istana yang dihadiahkan kepada
Asyinas.
2. Bangunan Tempat Pendidikan dan Tempat Peribadatan
a. Kuttab, yaitu sebagai lembaga pendidikan dasar dan menengah. Maktab/Kuttab dan
masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar dasar bacaan,
hitungan dan tulisan dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir,
hadits, figh dan bahasa.
b Madrasah. Ada banyak madrasah, madrasah yang terkenal pada zaman itu adalah
Nizamiyyah, yang didirikan oleh Nizam al Mulk, seorang perdana menteri pada tahun 456-486
H. Madrasah ini terdapat di banyak kota, antara lain di Baghdad, Isfahan, Nisabur, Basrah,
Tabaristan, Hara, dan Musol
c. Majlis Muhadarah sebagai tempat pertemuan dan diskusi para ilmuan.
d. Darul-Hikmah sebagai perpustakaan. Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang
perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas,
karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan
berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan
dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab,
baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun
sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
e. Masjid-masjid sebagai tempat beribadah dan sebagai tempat pendidikan tingkat tinggi dan
takhasus. Di antara masjid yang terkenal adalah Masjid Samarra, Masjid Jami' Baghdad, dan
sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai