Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

AL-ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN

Fitriani
(105651103622)
2B

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-

Nya sehingga saya dapat menyusun makalah yang berjudul “Al-Islam Kemuhammadiyahan”

Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas dari dosen pengampu mata
kuliah Statistika. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Perekrutan.
Saya menyadari makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu,
saya meminta kritik dan saran diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Dan saya berharap
semoga para pembaca dapat menambah pengetahuan dari makalah yang saya buat.

Makassar, 14 April 2023

Penulis

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembaharuan pemikiran dalam dunia Islam secara metodologis merupakan usaha para
pemikir dan ulama untuk memahami ajaran Islam dengan mempergunakan segenap kemampuan
kemanusiaannya sebagaimana dianugerahkan Allah. Usaha pemikiran tersebut kemudian dikaitkan
dengan berbagai perkembangan sosial budaya yang sedang berkembang dalam usaha untuk mencari
penyelesaian dan mengatasi persoalan di dalam kehidupan kemasyarakatan yang sedang dihadapi.
Hasil pemikiran yang dilakukan secara mendalam dan sungguh-sungguh tersebut, kemudian
melahirkan berbagai gerakan pembaharuan yang merupakan operasionalisasi dan pelaksanaan dari
hasil pemahaman dan pemikirannya terhadap ajaran Islam di Indonesia lahir beberapa organisasi
atau gerakan Islam, diantaranya adalalah Muhammadiyah yang lebih dari 30 tahun sebelum
merdeka, dan organisasi lainnya yang bergerak di bidang politik, sosial dan pendidikan.
Kemudian, Dakwah merupakan suatu bentuk proses penyampaian ajaran Islam. Dakwah
Islam adalah dakwah ke arah kualitas puncak dari nilai-nilai kemanusiaan, dan peradaban manusia.
Dengan tujuan utama mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat
yang diridhai oleh Allah SWT, yakni dengan menyampaikan nilai-nilai yang dapat mendatangkan
kebahagiaan dan kesejahteraan yang diridhai oleh Allah SWT sesuai dengan segi atau bidangnya
masing-masing.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas yang menyebutkan bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi
sosial keagamaan yang terbesar di Indonesia bahkan banyak yang mengatakan yang terbesar di
dunia, maka sangat menarik sekali jika kita lebih mendalami untuk memahami tentang bagaimana
sebenarnya latar belakng berdirinya Muhammadiyah dan apa saja faktor-faktor yang
melatarbelakangi pendiriannya, sehingga sampai saat ini masih bisa tetap terjaga eksistensinya
sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang terbesar di Indonesia bahkan dunia. 

1.3 Latar Belakang

1
Tujuan pembuatan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas perkuliahan yang diberikan
oleh dosen pembimbing kami, mata kuliah Al Islam dan Kemuhammadiyahan. Disamping itu
penulis juga ingin mengetahui lebih dalam tentang bagaimana Muhammadiyah didirikan serta apa
saja faktor-faktor yang melatarbelakangi pendiriannya.

BAB II

PENGERTIAN FILSAFAT ISLAM

Filsafat Islam (bahasa Inggris: Islamic philosophy) merupakan suatu kajian


sistematis terhadap kehidupan, alam semesta, etika, moralitas, pengetahuan, pemikiran, dan
gagasan politik yang dilakukan dalam peradaban umat Muslim, yang berhubungan dengan
ajaran-ajaran Islam. Dalam Islam, terdapat dua istilah yang erat kaitannya dengan
pengertian filsafat: falsafa, (secara harfiah berarti "filsafat") yang merujuk pada kajian
filosofi, ilmu pengetahuan alam, dan logika; dan kalam (secara harfiah berarti "berbicara")
yang merujuk pada kajian teologi keagamaan.

Merujuk pada periodisasi yang dicetuskan Harun Nasution, perkembangan kajian


filsafat Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode yaitu periode klasik, periode
pertengahan,dan periode modern. Periode klasik dari filsafat Islam diperhitungkan sejak
wafatnya Nabi Muhammad hingga pertengahan abad ke 13, yaitu antara 650-1250 M.
Periode selanjutnya disebut periode pertengahan yakni antara kurun tahun 1250-1800 M.
Periode terakhir yaitu periode modern atau kontemporer berlangsung sejak kurun tahun
1800an hingga saat ini.

Aktifitas yang berhubungan dengan kajian filsafat Islam kemudian mulai berkurang
pascakematian Ibnu Rusyd pada abad ke-12 M. Terdapat banyak pendapat yang
menganggap Al-Ghazali sebagai sosok utama dibalik kemunduran kajian filsafat Islam.
Gagasan-gagasan Al-Ghazali yang diterbitkan dalam bukunya Tahafut al-Falasifa
dipandang sebagai pelopor lahirnya kalangan Islam konservatif yang menolak kajian
filsafat dalam Islam. Buku ini memuat kritik terhadap kajian filsafat yang ditawarkan
oleh filsuf seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi yang dianggap mulai menjauhi nilai-nilai
keislaman. Namun, pandangan ini kemudian menjadi perdebatan dikarenakan Al-
Ghazali juga dikenal secara luas oleh pemikir-pemikir Islam sebagai seorang filsuf.
Bahkan, dalam pendahuluan di buku tersebut Al-Ghazali menuliskan bahwasannya,
2
kaum fundamentalis adalah "kaum yang beriman lewat contekan, yang menerima
kebohongan tanpa verifikasi". Ketertarikan dalam kajian filsafat Islam dapat dikatakan
mulai hidup kembali saat berlangsungnya pergerakan Al-Nahda pada akhir abad ke-19
di Timur Tengah yang kemudian berlanjut hingga kini. Beberapa tokoh yang dianggap
berpengaruh dalam kajian filsafat Islam kontemporer diantaranya Muhammad Iqbal,
Fazlur Rahman, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dan Buya Hamka.

BAB III

SEJARAH FILSAFAT ISLAM

Secara historis, perkembangan filsafat dalam Islam dapat dikatakan dimulai oleh
pengaruh kebudayaan Hellenis, yang terjadi akibat bertemunya kebudayaan Timur (Persia)
dan kebudayaan Barat (Yunani). Pengaruh ini dimulai ketika Iskandar Agung (Alexander
the Great) yang merupakan salah satu murid dari Aristoteles berhasil menduduki wilayah
Persia pada 331 SM. Alkulturasi kebudayaan ini mengakibatkan munculnya benih-benih
kajian filsafat dalam masyarakat Muslim di kemudian hari. Penerjemahan literatur-literatur
keilmuan dari Yunani dan budaya lainnya ke dalam bahasa Arab secara besar-besaran pada
era Bani Abbasiyah (750-1250an M) dapat dikatakan memberi pengaruh terbesar terhadap
kemunculan dan perkembangan kajian filsafat Islam klasik. Peristiwa tersebut kemudian
menjadikan periode ini sebagai zaman keemasan dalam peradaban Islam. Ini sekaligus
menunjukan keterbukaan umat Muslim terhadap berbagai pandangan yang berkembang saat
itu, baik dari para penganut keyakinan monoteis lainnya, seperti kaum Yahudi yang
mendapat posisi penting saat itu di negeri-negeri Islam (Ravertz, 2004: 20), hingga kaum
Pagan, yang terlihat dari ketertarikan umat Muslim terhadap literatur bangsa Yunani Kuno
yang mana sering diidentikan dengan ritual-ritual Paganisme.

Keterbukaan dan ketertarikan umat Islam terhadap literatur-literatur ilmu


pengetahuan dari budaya lain diyakini telah membawa pengaruh besar terhadap
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, terutama terhadap perkembangan filsafat dan
ilmu pengetahuan yang di kemudian hari berkembang lebih lanjut pada Abad Pencerahan di
Eropa. Dunia pemikiran Islam kemudian semakin terfokus pada pendamaian antara filsafat
dan agama ataupun akal dan wahyu, yang kemudian mempengaruhi semakin diusungnya
integrasi antara akal dan wahyu sebagai landasan epistemologis yang berpengaruh pada
karakter perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Kondisi tersebut

3
memunculkan semakin banyaknya cabang-cabang keilmuan dalam dunia Islam, yang tidak
hanya bersifat teosentris dengan merujuk pada dalil-dalil Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai
sumber kebenarannya oleh para Mutakalim (ahli kalam), tetapi juga bersifat antroposentris
dengan rasio dan pengalaman empiris manusia sebagai landasannya tanpa menegasikan dalil
dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits. Pada periode ini, dunia Islam menghasilkan banyak filsuf,
teolog, sekaligus ilmuwan ternama seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Kindi, Al-Ghazali, dan
Ibnu Rusyd. Kajian filsafat Islam di periode ini umumnya mengkaji lebih lanjut pandangan-
pandangan perguruan filsafat peripatetik di Eropa seperti logika, metafisika, filsafat alam,
dan etika, sehingga periode ini disebut juga sebagai periode peripatetik dari kajian filsafat
Islam (Islamic/Arabic peripatetic school).

Pasca kematian Ibn Rusyd pada abad ke-12 M, kajian-kajian peripatetik dalam filsafat Islam
mulai meredup.

4
BAB IV

ASTROLOGI

Astrologi mulai masuk dalam kajian para pemikir Islam ketika jatuhnya kota
Alexandria kepada Bangsa Arab pada abad ke-7 Masehi, dan juga sejak berdirinya
Kesultanan Abbasiyah pada abad ke-8 Masehi. Salah satu penerjemah awal diantaranya
Mashallah ibn Athari, yang membantu memilih pendirian kota Baghdad, dan Sahl ibn Bishr,
yang karya-karyanya kemudian memberi pengaruh langsung terhadap ahli astrologi Eropa
seperti Guido Bonatti pada abad ke-13 Masehi, dan William Lilly pada abad ke-17 Masehi.
Diantara nama-nama ahli astrologi dalam kebudayaan Arab, salah satu yang paling terkenal
adalah Abu Maʿshar, dengan karyanya yang berjudul Kitāb al‐mudkhal al‐kabīr yang
kemudian menjadi salah satu risalah astronomi terkenal di Eropa. Selain itu, nama Al-
Khwarizmi tidak hanya dikenal sebagai ahli matematika, ia juga dikenal sebagai ahli
astronomi, astrologi, dan geografi.

Selama perkembangan sains dalam peradaban Islam klasik, beberapa praktik-praktik


astrologi mendapat banyak pertentangan dari kalangan ilmuwan dan cendikiawan Islam,
seperti oleh Al-Farabi, Ibn Haytham, dan Ibnu Sina. Kritik-kritik mereka berpendapat
bahwa metode yang digunakan oleh ahli astrologi hanya melalui konjektur dan tidak
berdasarkan fakta-fakta empiris, serta dari kalangan cendikiawan Islam ortodoks yang
mengkritik bahwasanya hanya Tuhan yang mengetahui dan dapat memprediksi masa depan
secara pasti. Namun, kritik-kritik ini lebih cenderung diarahkan kepada cabang astrologi
dengan metodenya yang berusaha untuk memprediksi nasib atau masa depan berdasarkan
suatu horoskop. Cabang astrologi lainnya seperti astrolgi medis dan astrologi cuaca masih
dipandang sebagai ilmu yang sah pada masa itu.

5
Sebagai contoh pandangan Ibnu Sina dalam bukunya Resāla fī ebṭāl aḥkām al-nojūm
"Sanggahan terhadap astrologi", Ibnu Sina menentang praktik-praktik astrologi yang mengklaim
dapat memprediksi nasib atau masa depan manusia berdasarkan posisi planet dan bintang-bintang.
Namun, Ibnu Sina tetap mempercayai bahwa posisi bintang-bintang dan planet dapat memberikan
pengaruh ke bumi termasuk kepada manusia, tetapi hal ini terjadi secara deterministik atau dapat
dijelaskan dengan ilmu alam ketimbang ramalan-ramalan yang bersifat magis.

BAB V

TEOSOFI DAN TRANSENDEN

Aliran Hikmah Muta'aliyah atau theosofi transendental dikenal dari pemikiran Mulla Shadra. Mulla
Shadra adalah seorang cendikiawan Islam yang berasal dari Syiraz. Shadra dalam dunia keilmuan,
membagi ilmu menjadi dua macam: ilmu yang diperoleh dari latihan dan belajar (husuli/axquired),
dan ilmu yang diperoleh melalui pemberian langsung dari Tuhan (hudhuri/innate) (Shadra, 1981:
134). Ilmu husuli dalam hal ini adalah ilmu yang keberadaan datanya diperlihatkan dalam
gambaran tentang objek pada diri subjek yang terjadi karena interaksi antara subjek dan objek yang
sama-sama berdiri sendiri. Ilmu hudhuri, di sisi lain adalah ilmu yang sumbernya berasal dari
Tuhan secara langsung, yang dalam hal ini objek muncul secara eksistensial dalam diri subjek,
keduanya tidak terpisah dan validitasnya tidak terbatas dalam dualisme benar dan salah. Shadra
memahami bahwa dalam proses mencapai pengetahuan, dapat dilalui dengan tiga cara, dimulai dari
pengalaman rohani kemudian dicari dukungan rasio, lalu diselaraskan dengan syariat; kedua,
diawali dari pemikiran rasional kemudian dihayati dengan pengalaman rohani, dan setelah itu dicari
dukungan syariat; ketiga, bermula dari ajaran syariat kemudian dirasionalkan, dan seterusnya
dipertajam dengan penghayatan rohani (Shadra, 1981: 324). Dapat dipahami bahwa pemikiran
Mulla Shadra yang merupakan sintesis dari aliran pemikiran terdahulu menjadikan pengalaman
intuitif, proses rasionalisasi, dan syariat Islam sama-sama berperan dalam mencapai kebenaran
dalam ilmu. Hal tersebut juga diperjelas oleh paparan Seyyed Hossein Nasr bahwa dalam pemikiran
Shadra terdapat tiga jalan menuju kebenaran, yaitu: wahyu (wahy atay syar'), intellection ('aql) dan
keterbukaan secara mistik (kasyf), yang semuanya itu dapat dipahami dalam aliran Al-Hikmah Al-
Muta'aliyah (Nasr,1996: 79). Sebagai sintesis dari berbagai arus pemikiran, Shadra dalam Al-

6
Hikmah Al-Muta'aliyah menganggap bahwa terdapat pluralitas metode dan sarana mencapai
kebenaran pengetahuan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa Al-Hikmah Muta-'aliyah bukan saja
merupakan suatu aliran yang menggabungkan atau merekonsiliasikan tiap-tiap aliran sebelumnya,
tetapi juga telah menghasilkan suatu pembaharuan yang memperlihatkannya sebagai suatu aliran
yang baru dan menjadi puncak dalam dunia pemikiran Islam

BAB VI

KRITIK TERKAIT KAJIAN FILSAFAT DALAM ISLAM

Terdapat kalangan dalam umat Islam menentang gagasan dari kajian ilmu filsafat dan
menganggapnya tidak Islami. Situs jejaring populer terkait paham Salafi, IslamQA.info (dibimbing
dan dikelola oleh Syekh Muhammad Shaleh al-Munajjid dari Arab Saudi) menyatakan
bahwasannya ilmu filsafat merupakan "entitas asing" dalam Islam :

Fatwa ini juga mengklaim bahwa mayoritas ahli fiqh telah menyatakan bahwa pembelajaran
filsafat merupakan sesuatu yang haram dalam Islam. Beberapa dari ahli fiqh tersebut teredapat
dalam daftar ini:

Ibnu Nujaym (Imam Hanafi); dalam tulisannya pada Al-asybah wan-Nazaa muth'im.
Al-Dardeer (Imam Maliki); perkataan beliau dalam Al-Syarh al-Kabir;
Al-Dasuki; dalam tulisannya, Haashiyah (2/174);
Zakariya al-Anshari (Imam Syafi'i) dalam Asna al-Mathalib (4/182);
Al-Bahooti (Imam Hambali); mengatakan dalam Kashshaaf al-Qinaa' (3/34);
IslamQA mengutip pendapat Al-Ghazali yang menyatakan bahwa "empat cabang" dalam
ilmu filsafat (geometri dan matematika, logika, teologi, dan ilmu pengetahuan alam) "melawan
syariat, Islam dan kebenaran", dan terkecuali untuk ilmu medis, "tidak ditemukan kebutuhan untuk
dilakukannya pembelajaran terhadap ilmu alam".

7
Maani' Hammad al-Juhani, (anggota dewan konsultasi dan direktur umum dari Perkumpulan
Pemuda Muslim Dunia) dikutip dari pernyataannya, menyatakan bahwa, kajian ilmu filsafat tidak
mengikuti pedoman moral dari Sunnah, "ilmu filsafat, seperti yang didefinisikan oleh para filsuf,
adalah salah satu kepalsuan yang paling berbahaya dan kejam di dalam pertempuran iman dan
agama terhadap dasar-dasar logika, yang mana hal ini kemudian sangat mudah digunakan untuk
membingungkan orang-orang dengan memakai nama akal, interpretasi, dan metafora yang
kemudian mendistorsi makna dari teks-teks keagamaan".

Ibnu Abi al-Izz, salah seorang penafsir Al-Tahhaawiyyah, mengutuk para filsuf sebagai orang-
orang yang "paling menyangkal kebenaran dari Hari Akhir dan kejadian-kejadian di dalamnya.
Dalam pandangan mereka Surga dan Neraka tidak lebih dari perumpamaan yang dibutuhkan agar
konsep agama dapat dipahami oleh masyarakat, sehingga di luar itu, surga dan neraka bukan
merupakan sesuatu yang nyata."

BAB VII

TUJUAN DAKWAH DALAM ISLAM

Filsafat Islam berlandaskan pada prinsip agama Islam dalam hal ini Alquran dan
hadis. Maka sumber ilmu dalam filsafat Islam adalah dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil
rasional (‘aqli). Secara umum, seluruh sarjana baik timur ataupun barat meyakini bahwa
Alquran dan hadis berperan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam.
Secara umum, seluruh sarjana baik timur ataupun barat meyakini bahwa Alquran dan hadis
berperan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam. Hal ini terlihat dari beberapa
ide yang disampaikan oleh filsuf muslim, seperti al-Kindi yang membagi lapangan filsafat Islam
menjadi tiga bagian, yakni ilmu fisika, ilmu matematika, dan ilmu ketuhanan.

8
BAB VIII
EPISTEMOLOGI

Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan merupakan kajian yang berguna, karena ia
membahas aspek kehidupan manusia yang amat fundamental yaitu ilmu pengetahuan. Epistemologi
mengkaji secara filosofis tentang asal, struktur, metode, validitas dan tujuan ilmu pengetahuan. Ia
menjelaskan apa yang disebut kebenaran serta kriterianya dan menjelaskan cara yang dapat
membantu diperolehnya kebenaran itu.

Epistemologi mempunyai tempat yang cukup sentral dalam bangunan filsafat ilmu, sehingga
epistemologi telah menarik perhatian para pemikir baik di Barat maupun di bangunan pemikiran
Islam modern.

Pertama, Di dunia Barat, epistemologi menjadi suatu disiplin ilmu baru di Eropa yang
dipelopori oleh Descartes (1596-1650), dan dikembangkan oleh filosof Leibniz (1646–1716),
kemudian disempurnakan oleh John Locke di Inggris. Epistemologi berkembang sejak gagasan
renaissance dibangkitkan.

9
Renaissance adalah produk dari gerak individualisme yang kuat yang menggoncang tatanan
yang sudah mapan pada abad k-14 dan ke-15. Pada abad ke-18 dimulailah suatu zaman baru, yang
memang telah berakar pada Renaissance, serta yang mewujudkan potensi diri manusia dalam
mengindera, berpikir dan melakukan berbagai eksperimen dalam mengolah alam, sehingga lahir
dua aliran rasionalisme dan empirisme. Abad ke-18 disebut abad Pencerahan (Aufklarung).
Sementara itu, abad ke-19, dimulai Gerakan Neo-Positivisme, yang dimotori oleh Lingkaran Wina
(Wiener Kreis, Vienna Circle) adalah suatu kelompok yang terdiri dari sarjana-sarjana ilmu pasti
dan ilmu alam di Wina. Aliran ini mendapat pengaruh dari tiga arah: (1)dari empirisme dan
positivisme, terutama Hume, Mill, dan Ernst Mach; (2)dari metodologi ilmu empiris yang
dikembangkan oleh para ilmuwan semenjak abad ke-19, seperti Einstein; (3) perkembangan logika
simbolik dan analisa logis yang dikembangkan terutama oleh Frege, Whitehead, Russell serta
Wittgeinstein.[1] Salah satu maksud gerakan ini ialah ingin memperbaharui positivisme klasik
ciptaan Comte. Pada awal abad ke-20 ini berkembang juga filsafat fenomenologi, dan penggagas
dasar aliran filsafat fenomenologi ialah Edmund Husserl (1859-1938). Husserl adalah seorang filsuf
Jerman yang pernah mengajar filsafat di Halle, Gottingen, dan Freiburg.

Bersamaan dengan itu pula berkembang filsafat eksistensialisme, yaitu filsafat yang
menolak pemutlakan akal budi dan menolak pemikiran-pemikiran abstrak murni. Eksistensialisme
berupaya untuk memahami manusia yang berada di dalam dunia, yakni manusia yang berada pada
situasi yang khusus dan unik. Blackham mengatakan bahwa eksistensialisme adalah suatu filsafat
keberadaan, suatu filsafat pembenaran dan penerimaan dan suatu penolakan terhadap usaha
rasionalisasi pemikiran yang abstrak tentang kebenaran. Selanjutnya, Mazhab Frankfurt dan
Marxisme, nama “Mazhab Frankfurt” (Die Frankfurter Schule) digunakan untuk menunjukkan
sekelompok sarjana yang bekerja pada Institut fur Sozialforschung (Lembaga untuk Penelitian
Sosial) di Frankfurt am Main.[2] Lembaga ini didirikan pada tahun 1923 oleh Felix Well,
dimaksudkan untuk membentuk sebuah pusat penelitian sosial yang independen.[3]

Kedua, Permasalahan epistemologi dalam filsafat Islam tidak dibahas secara tersendiri, akan
tetapi, begitu banyak persoalan epistemologi dikaji secara meluas dalam pokok-pokok pembahasan
filsafat Islam, misalnya dalam pokok kajian tentang jiwa. Begitu pula hal-hal yang berkaitan
dengan epistemologi banyak dikaji dalam pembahasan tentang akal, objek akal, akal teoritis dan
praktis, wujud pikiran, dan tolok ukur kebenaran dan kekeliruan suatu proposisi. Dalam
perkembangan filsafat Islam, epistemologi menjadi suatu bidang disiplin baru ilmu yang mengkaji

10
sejauh mana pengetahuan dan makrifat manusia sesuai dengan hakikat, objek luar, dan realitas
eksternal.
Dinamika epistemologi dalam pemikiran keagamaan di dunia Islam telah berlangsung sejak
periode klasik (650-1250), periode pertengahan (1250-1800) dan periode modern (1800-sekarang).
[4] Periode perkembangan pemikiran modern sebagai periode ketiga dipandang sebagai periode
kebangkitan kembali umat Islam setelah tenggelam selama abad pertengahan. Namun demikian,
kehadiran modernisme telah menyebabkan respons yang beragam dan memunculkan ketegangan di
kalangan umat islam. Dengan adanya modernisasi di segala bidang di beberapa Negara, seperti
Mesir memasuki masa liberal (liberal age). Paham liberalisme tumbuh mekar yang mengakibatkan
munculnya sejumlah gagasan tentang pemisahan antara agama, kebudayaan dan politik[5]. Dengan
berkembangnya pemahaman liberatif di Mesir, lahirlah apa yang disebut an-nahdah (renaissance),
yang kemudian melahirkan beberapa trend pemikiran.

BAB IX

KESIMPULAN

 Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat Islam mencakup berbagai pemikiran, konsep, dan
argumen-argumen yang terkait dengan ajaran Islam. Beberapa kesimpulan yang dapat
diambil mengenai filsafat Islam antara lain:
 Filsafat Islam adalah bentuk pemikiran yang berasal dari tradisi Islam dan mencoba untuk
memahami dan menjelaskan konsep-konsep keagamaan dari sudut pandang rasional dan
filosofis.
 Filsafat Islam memiliki hubungan yang erat dengan teologi Islam dan mempertanyakan
konsep-konsep teologis dalam Islam.

11
 Filsafat Islam mencakup berbagai bidang seperti logika, etika, ontologi, epistemologi, dan
metafisika.
 Beberapa tokoh penting dalam sejarah filsafat Islam antara lain al-Farabi, Ibn Sina, al-
Ghazali, dan Ibn Rushd.
 Filsafat Islam juga telah memberikan kontribusi penting bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan dunia.
 Filsafat Islam dapat membantu individu untuk memahami agama dan kepercayaannya
dengan lebih baik, serta memberikan wawasan tentang masalah-masalah sosial dan moral
yang dihadapi umat Islam di zaman modern.
 Namun, penting untuk dicatat bahwa filsafat Islam, seperti halnya disiplin ilmu lainnya,
terus berkembang dan berubah seiring waktu dan pemikiran para tokoh filsafat yang
bermunculan. Oleh karena itu, kesimpulan mengenai filsafat Islam dapat terus berubah
seiring perkembangan filsafat Islam itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Gholib (2009). Filsafat Islam. Pamulang, Jakarta: Faza Media. ISBN 978-
602-8033-28-2.

Adamson, Peter; Taylor, Richard C., ed. (2005). The Cambridge Companion to
Arabic Philosophy. United Kingdom: Cambridge University Press.
ISBN 0 521 81743 9.

Corbin, Henry (2001). History of Islamic Philosophy. New York & London: Kegan
Paul International. ISBN 9780710304162.

El-Rouayheb, Khaled; Schmidtke, Sabine, ed. (2017). The Oxford Handbook of


Islamic Philosopy. New York: Oxford University Press. ISBN
9780199917389.

12
Fakhry, Majid (2004). A History of Islamic Philosophy. New York: Columbia
University Press. ISBN 0-231-13220-4.

Jackson, Roy (2014). What is Islamic Philosophy?. New York: Routledge. ISBN
978-1-315-81755-2.

McGinnis, John; Reisman, David C., ed. (2007). Classical Arabic Philosophy : An
Anthology of Sources. Indianapolis: Hackett Publishing Company.
ISBN 978-0-87220-871-1.

Nasr, Seyyed Hossein; Leaman, Oliver, ed. (2008). History of Islamic Philosopy.
New York: Routledge. ISBN 978-0-415-25934-7.

Taylor, Richard C.; López-Farjeat, Luis Xavier, ed. (2016). The Routledge
Companion to Islamic Philosophy. New York: Routledge. ISBN 978-
1-315-70892-8.

13

Anda mungkin juga menyukai