Anda di halaman 1dari 17

FILSAFAT ILMU DALAM ISLAM

DI SUSUN OLEH :
NAMA :NUR FALMIN
NIM :N1D122036
KELAS : B

PROGRAM STUDY SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
KENDARI
2023
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Sayapanjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah,dan inayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang
Filsafat Ilmu Dalam Islam.

Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu
dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya
dapat memperbaiki makalah ini.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL......................................................................................................

KATA PENGANTAR .......................................................................................................

DAFTAR ISI......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................

A. Latar Belakang ........................................................................................................


B. RumusanMasalah ....................................................................................................
C. Tujuan .....................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................

A. Pengertian Ilmu Filsafat Dalam Islam


B. Aliran –Aliran Filsafat Islam
C. Tujuan Mempelajari Filsafat Islam dan Alasan Mengapa Filsafat Dilarang Dalam Islam
BAB III PENUTUP ...........................................................................................................

A. Kesimpulan ............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

I.I LATAR BELAKANG


Secara historis, perkembangan filsafat dalam Islam dapat dikatakan dimulai oleh
pengaruh kebudayaan Hellenis, yang terjadi akibat bertemunya kebudayaan Timur (Persia) dan
kebudayaan Barat (Yunani). Pengaruh ini dimulai ketika Iskandar Agung (Alexander the Great)
yang merupakan salah satu murid dari Aristoteles berhasil menduduki wilayah Persia pada 331
SM. Alkulturasi kebudayaan ini mengakibatkan munculnya benih-benih kajian filsafat dalam
masyarakat Muslim di kemudian hari. Penerjemahan literatur-literatur keilmuan dari Yunani dan
budaya lainnya ke dalam bahasa Arab secara besar-besaran pada era Bani Abbasiyah (750-
1250an M) dapat dikatakan memberi pengaruh terbesar terhadap kemunculan dan perkembangan
kajian filsafat Islam klasik. Peristiwa tersebut kemudian menjadikan periode ini sebagai zaman
keemasan dalam peradaban Islam. Ini sekaligus menunjukan keterbukaan umat Muslim terhadap
berbagai pandangan yang berkembang saat itu, baik dari para penganut keyakinan monoteis
lainnya, seperti kaum Yahudi yang mendapat posisi penting saat itu di negeri-negeri Islam
(Ravertz, 2004: 20), hingga kaum Pagan, yang terlihat dari ketertarikan umat Muslim terhadap
literatur bangsa Yunani Kuno yang mana sering diidentikan dengan ritual-ritual Paganisme.
Keterbukaan dan ketertarikan umat Islam terhadap literatur-literatur ilmu pengetahuan
dari budaya lain diyakini telah membawa pengaruh besar terhadap perkembangan filsafat dan
ilmu pengetahuan, terutama terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan yang di
kemudian hari berkembang lebih lanjut pada Abad Pencerahan di Eropa. Dunia pemikiran Islam
kemudian semakin terfokus pada pendamaian antara filsafat dan agama ataupun akal dan wahyu,
yang kemudian mempengaruhi semakin diusungnya integrasi antara akal dan wahyu sebagai
landasan epistemologis yang berpengaruh pada karakter perkembangan ilmu pengetahuan dalam
dunia Islam. Kondisi tersebut memunculkan semakin banyaknya cabang-cabang keilmuan dalam
dunia Islam, yang tidak hanya bersifat teosentris dengan merujuk pada dalil-dalil Al-Qur'an dan
Al-Hadits sebagai sumber kebenarannya oleh para Mutakalim (ahli kalam), tetapi juga bersifat
antroposentris dengan rasio dan pengalaman empiris manusia sebagai landasannya tanpa
menegasikan dalil dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits. Pada periode ini, dunia Islam menghasilkan
banyak filsuf, teolog, sekaligus ilmuwan ternama seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Kindi, Al-
Ghazali, dan Ibnu Rusyd. Kajian filsafat Islam di periode ini umumnya mengkaji lebih lanjut
pandangan-pandangan perguruan filsafat peripatetik di Eropa seperti logika, metafisika, filsafat
alam, dan etika, sehingga periode ini disebut juga sebagai periode peripatetik dari kajian filsafat
Islam.
I.II RUMUSAN MASALAH
1.bagaimana pengertian ilmu filsafat dalam islam ?
2.apa saja aliran –aliran filsafat islam ?
3.apa tujuan mempelajari filsafat isalam dan alasan mengapa filsafat dilarang dalam islam ?

I.III TUJUAN
1.untuk mengetahui pengrtian filsafat dalam islam
2.mengetahui aliran-aliran filsafat islam
3.untuk mengetahui tujuan mempelajari filsafat islam dan menegtahui alasan filsafat di larang
dalam islam
BAB II
PEMBAHASAN

II.I. PENGERTIAN ILMU FILSAFAT DALAM ISLAM


Filsafat Islam (bahasa Inggris: Islamic philosophy) merupakan suatu kajian sistematis
terhadap kehidupan, alam semesta, etika, moralitas, pengetahuan, pemikiran, dan gagasan politik
yang dilakukan dalam peradaban umat Muslim, yang berhubungan dengan ajaran-ajaran Islam.
Dalam Islam, terdapat dua istilah yang erat kaitannya dengan pengertian filsafat: falsafa, (secara
harfiah berarti "filsafat") yang merujuk pada kajian filosofi, ilmu pengetahuan alam, dan logika;
dan kalam (secara harfiah berarti "berbicara") yang merujuk pada kajian teologi keagamaan.
Merujuk pada periodisasi yang dicetuskan Harun Nasution, perkembangan kajian filsafat
Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode yaitu periode klasik, periode pertengahan,dan periode
modern. Periode klasik dari filsafat Islam diperhitungkan sejak wafatnya Nabi Muhammad
hingga pertengahan abad ke 13, yaitu antara 650-1250 M. Periode selanjutnya disebut periode
pertengahan yakni antara kurun tahun 1250-1800 M. Periode terakhir yaitu periode modern atau
kontemporer berlangsung sejak kurun tahun 1800an hingga saat ini.Aktifitas yang berhubungan
dengan kajian filsafat Islam kemudian mulai berkurang pasca kematian Ibnu Rusyd pada abad
ke-12 M. Terdapat banyak pendapat yang menganggap Al-Ghazali sebagai sosok utama dibalik
kemunduran kajian filsafat Islam. Gagasan-gagasan Al-Ghazali yang diterbitkan dalam bukunya
Tahafut al-Falasifa dipandang sebagai pelopor lahirnya kalangan Islam konservatif yang
menolak kajian filsafat dalam Islam. Buku ini memuat kritik terhadap kajian filsafat yang
ditawarkan oleh filsuf seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi yang dianggap mulai menjauhi nilai-nilai
keislaman. Namun, pandangan ini kemudian menjadi perdebatan dikarenakan Al-Ghazali juga
dikenal secara luas oleh pemikir-pemikir Islam sebagai seorang filsuf. Bahkan, dalam
pendahuluan di buku tersebut Al-Ghazali menuliskan bahwasannya, kaum fundamentalis adalah
"kaum yang beriman lewat contekan, yang menerima kebohongan tanpa verifikasi". Ketertarikan
dalam kajian filsafat Islam dapat dikatakan mulai hidup kembali saat berlangsungnya pergerakan
Al-Nahda pada akhir abad ke-19 di Timur Tengah yang kemudian berlanjut hingga kini.
Beberapa tokoh yang dianggap berpengaruh dalam kajian filsafat Islam kontemporer diantaranya
Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dan Buya Hamka.
a.filsafat ilmu periode klasik dalam islam
periode Islam klasik yang berlangsung setelah nabi wafat hingga sekitar abad ke-13
masehi. Periode ini tidak selalu tetap mengenai angka tahun tersebut, tetapi para pemikir
seringkali merujuk angka tahun tersebut. Periodisasi Islam seringkali merujuk pada periodisasi
yang disusun oleh Harun Nasution. Menurutnya periode klasik diperhitungkan sejak wafatnya
nabi hingga akhir tahun 1250 masehi, yaitu antara 650-1250 M. Periode selanjutnya disebut
periode pertengahan yakni dari tahun 1250-1800 M. Sedangkan periode Islam modern
diperhitungkan sejak tahun 1800 dan selanjutnya sampai sekarang.2dalam pandangan Saleh
Putuhena era klasik Islam berlangsung di antara abad VII hingga abad XIII Masehi. Periode ini
dijuluki the golden age of Islaman. Disinilah letak krusial peran Islam dalam transformasi
pengetahuan Eropa. Pada periode klasik ini Islam mengalami perkembangan dan kemajuan
dengan pesat dalam berbagai bidang seperti pemerintahan, budaya dan pendidikan Islam.
Pendidikan Islam berkembang dari madnah ke damaskus, kemudian ke bagdad dan cordova.
Pada kurun tersebut telah lahir ulama-ulama dan ilmuan-ilmuan besar dalam berbagai disiplin
ilmu. Antara tahun 700-1200 M Islam memiliki kekuatan dalam bidang pemerintahan dan
perkembangan sastra, sains, kedokteran dan filsafat maju dengan pesat. Sementara di dunia barat
masih tertinggal.
Periode klasik ini dalam catatan banyak sarjana memang sebuah periode yang gemilang.
Karena gilang gemilangnya periode ini, seorang sarjana terkemuka dan juga seorang muslim
yang mengajar di universitas London pada imperial college pernah mengatakan: “ bahwa antara
tahunn 750-1200 M ilmu pengetahuan atau sains terutama adalah milik orang-orang Islam”.
b.ilmu filsafat islam periode pertengahan
Ciri yang mendasar pada filsafat abad pertengahan ialah filsafat lebih bercorak “Theosentris”,
artinya para filsuf dalam periode ini menjadikan filsafat sebagai abdi agama atau filsafat
diarahkan pada masalah ketuhanan.Suatu karya filsafat dinilai benar jika tidak menyimpang dari
ajaran agama.
c.ilmu filsafat islam pada zaman kotemporer atau moderen
Dunia Islam ikut terseret ke dalam masa kontemporer. Berbeda dengan kebanyakan bangsa yang
riuh mengikuti arus zaman, penganut ajaran Islam didominasi oleh orang-orang yang memegang
penuh tradisi dan berpandangan bahwa dunia luar yang hingar binger adalah menyalahi koridor
aturan dalam kitan suci. Maka dari itu, muncullahcendekiawan-cendekiawan Muslim untuk
menangani prolematika yang jika tidakdiindahkan akan menghambat perkembangan Islam di
segala penjuru negeri. Merekaadalah Muhammad Abduh dan Muhammad Abed Al-Jabir.

II.II. ALIRAN ALIRAN FILSAFAT ISLAM


1.Isyraqiyyah (Illuminisme)
Filsafat Isyraqiyyah atau iluminisme adalah sebuah pemikiran filosofis yang dasar
epistemologinya adalah hati atau intuisi. Secara prosedural, logika yang dibangun adalah sama
dengan logika emanasi dalam paripatetisme. Namun secara substansial keduanya mempunyai
perbedaan yang mendasar.Tokoh pelopor munculnya filsafat iluminatik ini adalah Suhrawardi.
Nama lengkapnya adalah Sihabuddin Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu Alfutuh Suhrawardi. Ia
dilahirkan di di kota kecil, Suhraward, Persia lau pada tahun 549/1154 M. Suhrawardi disebut
juga Al-Syaikh Al-Maqtul, seperti halnya Socrates, ia dibunuh oleh penguasa Islam pada waktu
itu karena pemikiran filsafatnya yang dianggap menentang maenstream pemikiran pada waktu
itu.Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191).
Aliran ini memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini
terdiri dari cahaya dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya sebagai satu-satunya realitas
sejati (nur al anwar), cahaya di atas cahaya.
Aliran filsafat ini muncul dalam rangka merespon dan mengkritisi sejumlah gagasan
aristoteles yang dianggap menyimpang, khususnya sebgaimana yang tercermin dalam filsafat
ibnu sina, kalangan iluminasionis mengembangkan sebuah pandangan tentang realitas dimana
esensi lebih penting ( mendasar ) ketimbang eksistensi, dan pengetahuan intuitif lebih signifikan
ketimbang pengetahuan saintifik. Aliran ini merumuskan gagasan tentang pencahayaan sebagai
cara memahami hubungan antara tuhan, cahaya diatas cahaya, dan maakhluknya.Filsafat
Isyraqiyyah ini pada mulanya digunakan Suhrawardi untuk mengkritik filsafat peripatetiknya
Ibnu Shina. Dalam serangannya yang mungkin paling sengit pada Ibnu Shina, Suhrawardi
menolak secara empatik pandangan Ibnu Shina sebagai filsof Timur (masyriqi). Dalam
pandangan Suhrawardi, filsafat Paripatetik yang diusung oleh Ibnu Shina dan kawan-kawan tidak
layak diklaim sebagai filsafat Timur. Ada perbedaan yang mendasar antara filsafat paripatetik
dengan filsafat Timur. Serangan dan kritik utama Suhrawardi lebih merujuk pada buku yang
berjudul Kararis al-Hikmah, yang dinisbahkan oleh Ibnu Shina sebagai metode filsafat timur.
Pertama-tama Suhrawardi menegaskan karaguan atas klaim Ibnu Shina bahwa Kararis
didasarkan atas prinsip-prinsip ketimuran. Kemudian, ia melanjutkannya dengan menolak sengit
penegasan Ibn Shina bahwa Kararis merupakan filsafat baru atas dasar sepasang argumen
berikut: Pertama, tidak ada filsafat Timur sebelum Suhrawardi menciptakan filsafat iluminasi.
Kedua, Suhrawardi bersikeras menunjukkan bahwa Kararis sesungguhnya disusun semata-mata
sesuai dengan kaidah-kaidah Peripatetik (qawaid al-masyasya‟in) yang sudah mapan, yang
terdiri dari masalah-masalah yang hanya dimasukkan dalam apa yang olehnya dikhususkan
sebagai philosophia generalis (al-hikam al-ammah).
 .Epistemologi Isyraqiyyah
Dalam bagian dari jenis keilmuan, filsafat iluminisme atau isyraqiyyah ini adalah bagian
dari pengetahuan khudluri (knowledge by preson). Ilmu khudluri adalah ilmu yang didapatkan
secara langsung oleh seseorang melalui pengalaman kehidupannya. Dalam pengetahuan dan
kesadaran ini, pengetahuan dan subyek serta obyek sama sekali tidak dapat dipilah-pilah.
Kemanunggalan subyek dan obyek pengetahuan ini adalah istanta (instance/mishdaq) paling
sempurna dari kehadiran obyek pengetahuanb pada subyek pengetahuan. Karena prinsip dasar
illuminisme adalah bahwa mengetahui sesuatu berarti memperoleh pengalaman tentangnya,
serupa dengan intuisi primer terhadap determinan-determinan sesuatu.
2. Peripatetik
merujuk kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika
mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau epistimologis adalah
menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang
kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni: Al Kindi (w. 866), Al Farabi
(w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), dan Ibn Rusyd (w. 1196).
Ini disebut era kedua sebagai era kematangan filsafat perepatetik ( masya‟yyah ) yang
cenderung berporos pada mazhab Aristotelian ketimbang platonian, karakteristik filsafat ini
adalah penggunaan argumentasi yang bersifat rasional ( burhani ) atau teologikal ( kalami ),
kendati secara pribadi, keduanya juga mempraktikan gaya hidup zuhud dan tekun dalam
beribadah.
3. Aliran Irfani
Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat supra-
rasional. Jika pengenalan rasional bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu pada
hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
Irfan dari kata dasar bahasa Arab semakna dengan makrifat, berarti pengetahuan. Tetapi
ia berbeda dengan ilmu (`ilm). Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh
secara langsung lewat pengalaman (experience), sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang
diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Karena itu, irfan bisa diartikan sebagai
pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada
hamba-Nya setelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta. Kebalikan dari
epistemologi bayani, sasaran bidik irfani adalah aspek esoterik syareat, apa yang ada dibalik teks.
Sedangkan secara epistemologis, irfani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara
pengolahan batin/ruhani, yang kemudian diung-kapkan secara logis.
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga
didasarkan pada rasio seperti halnya burhani, tetapi pada kasyf, yakni tersingkapnya rahasia-
rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep
tasawuf. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan
olah ruhani, di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan
langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain
secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan.
a. Persiapan
Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh
jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari
bawah menuju puncak; Taubat, Wara` (menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhat),Zuhud
(tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia), Faqir (mengosongkan seluruh pikiran,
tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan SWT), Sabar, Tawakkal, Ridla (hilangnya rasa
ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).
b. Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan
limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini
seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga
dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang
diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu
yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain
adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya, yang dalam kajian Mehdi
Yazdi disebut „Ilmu Huduri' atau pengetahuan swaobjek (self object knowledge).
c. Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat
ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan
representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran
diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa
diungkapkan.Hal ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman.
"Pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya dapat
diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan
menyesatkan. Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan
untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara sepakat".
4. Aliran hikmah muta‟aliyah
Aliran Filsafat hikmah muta‟aliyah (filsafat/teosofi transenden), diwakili oleh seorang
filosof Syi‟ah abad ketujuh belas, Shadr al-Din al-Syirazi (w. 1641), yang lebih dikenal dengan
nama Mulla Shadra. Mulla Shadra adalah seorang filosof yang telah berhasil mensintesiskan
ketiga aliran filsafat yang telah didiskusikan pada pada fasal-fasal sebelum ini yaitu Peripatetik,
Iluminasi dan „Irfani. Sesungguhnya bisa juga Mulla Shadra di masukkan ke kelompok madzhab
Isfahani, yang dipimpin oleh Mir Damad (w.1631), dengan anggota-anggotanya antara lain
Husain bin Abd al-Shamad al-„Amili dan Mir Fendiriski. Tetapi karena system filsafat Mulla
Shadra jauh melampaui para filosof madzhab Isfahan termasuk gurunya Mir Damad, maka
sejarawan filsafat Islam, lebih suka mengatagorikan Mulla Shadra dalam aliran tersendiri yang di
sebut Hikmah Muta‟aliyah, Atau aliran Hikmah saja.
Al-Hikmah al-Muta‟aliyah bukan saja menampilkan sintesa pemikiran, tetapi juga
memahkotai pemikiran itu dengan bukti-bukti nash, baik al-Qur‟an maupun Hadis. Karena itu,
memahami pemikiran Mulla Shadra, terutama karya monumentalnya tersebut, terlebih dahulu
harus dipahami beberapa sumber pemikiran yang mengitarinya sebagaimana diutarakan di atas,
meliputi :
1.Filsafat Islam Peripatetis-Neo Platonisme yang dikembangkan oleh Ibn Sina dan para
pendukungnya.
2.Teosofi Isyraqi (Iluminasi) Suhrawardi dan para pengikutnya, seperti Qutb al-Din Syirazi dan
Jalal al-Din Dawani
3.Doktrin gnostis (irfan) Ibn Arabi dan mereka yang bertanggung jawab dalam penyebaran
doktrin Ibn Arabi, seperti Sadr al-Din Qunyawi serta karya-karya tokoh sufi terkemuka, antara
lain Ayn Qudat Hamadani dan Mahmud Syabistari.
4.Ilmu Kalam Syi‟ah Imamiyah
5.Wahyu, termasuk di dalamnya sabda Nabi SAW. Dan para Imam Syi‟ah.
Karakteristik/ciri khas Hikmah Muta‟aliyah:
Sebagai salah satu aliran filsafat Islam, Filsafat Hikmah Muta‟aliyah tentu memiliki
beberapa karakteristik yang membedakannya dengan aliran-aliran yang lain, ditinjau dari sudut
Epistemologis, ontologis dan kosmologis.
 Epistemologis
Seperti aliran Iluminasionis, filsafat hikmah juga percaya bukan hanya pada akal diskursif
, tetapi juga pada pengalaman mistik. Filsafat Isyraqi seperti telah disinggung didasarkan pada
pengalaman mistik, baru kemudian disampaikan dalam bahasa filosofis-diskursif. Namun lebih
dari itu, filsafat hikmah, seperti dikatakan Dr. Haidar Baqir, dalam bukunya Buku Saku Filsafat
Islam, menekankan bahwa pengalaman mistik bukan hanya “mungkin” untuk diungkapkan
secara diskursif-logis, melainkan “harus” diungkapkan seperti itu untuk keperluan verifikasi
public.”
 Ontologis
Atas pengaruh Ibn „Arabi, Mulla Shadra juga menciptakan ajaran wahdat al-wujud, tetapi
dengan perbedaan yang cukup sidnifikan Namun sebelum kita membahas tentang konsep
kesatuan wujudnya, marilah kita bicarakan terlebih dahulu tentang keutamaan wujud, atau apa
yang disebut ishalat al-wujud. Berbeda dengan Suhrawardi yang mengatakan bahwa yang utama
(prinsipil) adalah esensi (mahiyyah), Mulla Shadra mengatakan bahwa yang real, yang utama
adalah wujud (eksistensi). Wujudlah yang real, sedangkan esensi (mahiyyah) hanya ada dalam
pikiran manusia saja, tidak betul-betul ada di luar pikiran, yakni pada benda-benda eksternal.
Konsep keesaan wujud ini mirip sekali dengan, atau barang kali diadopsi dari konsep
cahaya Suhrawardi. Cahaya menurut Suhrawardi pada hakikatnya hanyalah satu. Perbedaan
cahaya yang ada tidaklah karena perbedaan kecahayaannya. Tetapi karena pebedaan
intensitasnya. Seperti Suhrawardi, Mulla Shadra juga percaya bahwa wujud-sebagai ganti
cahaya- hanyalah satu saja, sedangkan yang membedakan wujud-wujud yang beraneka ini
bukanlah kewujudannya, tetapi “gradasi” mereka yang berbeda-beda. Jadi wujud Tuhan, dan
wujud batu kerikil, tidaklah berbeda dari sudut kewujudannya, tetapi berbeda dalam derajat dan
gradasinya. Dan sementara Suhrawardi menjelaskan perbedaan intensitas cahaya karena hadirnya
barzakh-barzakh (barazikh) yang menyekat di antara cahaya, maka Mulla Shadra mengatakan
gradasi wujud-atau yang terkenal dengan istilah tasykik al-wujud terjadi karena perbedaan esensi
(mahiyyah) yang dimiliki oleh tiap-tiap entitas yang ada di alam semesta ini.
 Kosmologis
Ajaran Mulla Shadra yang berkaitan dengan alam yang disebut “perubahan trans-
substansial” ( al-harakah al-jauhariyah) adalah teori yang menurut para ahli merupakan
penemuan Mulla Shadra yang paling orisinal karena belum pernah dikemukakan sebelumnya
oleh filosof manapun, baik Yunani (Aristoteles) maupun Muslim (misalnya Ibn Sina). Menurut
ajaran ini, perubahan bias terjadi bukan hanya pada tingkat aksidental, tetapi juga substansial.
Padahal selama ini substansi dipahami sebagai sesuatu yang “fixed” sehingga tidak mungkin
akan berubah. Misalnya substansi hewan telah “fixed” sehingga tidak mungkin akan berubah
menjadi yang lain. Tetapi menurut Mulla Shadra, seperti juga Suhrawardi, substansi tidaklah
begitu fixed dan ia dapat berubah secara signifikan. Berbeda dengan para pendahulu filosofisnya,
Mulla Shadra bahkan mengatakan bahwa perubahan pada level aksidental bias terjadi hanya
apabila ada perubahan pada substansi.

II.III. TUJUAN MEMPELAJARI DAN ALASAN MENGAPA ILMU FILSAFAT DI


LARANG DALAM ISLAM
Manfaat mengetahui dan memahami filsafah Islam antara lain :
1. Mengetahui Asal IdentitaS
Kita tidak dapat mengetahui diri kita sendiri tanpa mengetahui dari mana kita berasal.
Tidak tahu dari mana kita berasal dari meninggalkan kita tanpa rasa kedewasaan kita. Hilangnya
identitas meninggalkan kita tanpa tujuan, seperti kapal tanpa tujuan, atas belas kasihan angin
tanpa ampun. Hilangnya identitas ini telah disebutkan dalam Quran sebagai hukuman dari Allah:
Jangan seperti orang yang melupakan Allah, maka Allah membuat mereka melupakan diri
mereka sendiri . [Surat Al-Hashr, 59:19]
Orang yang melupakan siapa mereka mungkin lupa siapa mereka seharusnya. Hal ini
menyebabkan arogansi. Allah mengingatkan setiap manusia berulang-ulang tentang „sejarah‟
pribadinya, untuk mengusir mereka dari ketidakpercayaan dan kesombongan mereka:
Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), (37) kemudian mani itu
menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, (38) [Surat Al-
Qiyamah, 75: 37-38],
Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani),
maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata! [Surat Yasin, 36:77]
2. Sebagai Sebuah Pengingat
Di Surat Al-Fil dan Surat Quraisy, Allah mengingatkan orang-orang Quraisy atas nikmat-
Nya pada mereka di masa lalu, mendorong mereka untuk belajar pelajaran moral dari filsafah
mereka:

Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara
bergajah? [Surat Al-Fil 105: 1]
Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim
dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini
(Ka‟bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan. [QS. Quraisy, 106: 1-4]
3. Bahan Renungan Diri
Allah berulang kali memerintahkan umat Islam di dalam Quran untuk mengamati,
mempertimbangkan, dan merenungkan pelajaran dari filsafah bangsa-bangsa yang telah berlalu.
Menginstruksikan orang-orang Muslim dalam filsafah moral dan spiritual bangsa-bangsa
sebelumnya tampaknya menjadi salah satu penekanan utama Quran.Fakta bahwa mayoritas
Pesan Akhir Allah terdiri dari cerita perjuangan moral orang-orang sebelumnya merupakan
indikasi pentingnya filsafah belajar, dan mempelajarinya dengan perspektif yang tepat untuk
mencari pelajaran filsafat pendidikan islam.
4. Interpretasi Moral-Spiritual
Sementara sejarawan modern memusatkan perhatian pada dimensi filsafah yang berbeda dan
menawarkan basis yang berbeda untuk interpretasi filsafah berdasarkan sistem kepercayaan
masing-masing, dasar pengisahan Alquran secara tegas bersifat moral dan spiritual.Dengan kata
lain, Allah menuntut kita untuk melihat terlebih dahulu dan terutama aspek moral dari filsafah
suatu bangsa. Bangsa-bangsa jatuh, misalnya, bukan karena kegagalan ekonomi, namun karena
kegagalan moral-spiritual untuk secara tepat mengeluarkan keadilan ekonomi berdasarkan
kepercayaan dan ketaatan yang benar kepada Allah.Di Surat Al-A‟raf, setelah menceritakan
beberapa kisah perjumpaan antara nabi-nabi Allah yang benar dan orang-orang yang tidak
percaya mereka, Allah merangkum pelajaran dari cerita-cerita ini dengan mengatakan:
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-
ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. [Surat Al-A‟raf 7:96]
Penyebab jatuhnya bangsa-bangsa jaman dahulu adalah bahwa mereka mengabaikan
pelajaran moral dari filsafah nenek moyang mereka, dan berpikir bahwa hal yang sama tidak
berlaku bagi mereka:
Kami tidaklah mengutus seseorang nabi pun kepada sesuatu negeri, (lalu penduduknya
mendustakan nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan
penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri.
Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka
bertambah banyak, dan mereka berkata: “Sesungguhnya nenek moyang kamipun telah merasai
penderitaan dan kesenangan”, maka Kami timpakan siksaan atas mereka dengan sekonyong-
konyong sedang mereka tidak menyadarinya. [Surat Al-A‟raf, 7: 94-95]

ALASAN ILMU FILSAFAT DILARANG DALAM ISLAM


Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi‟i rahimahullah atau imam Asy Syafi‟i adalah seorang
imam dan ulama besar Ahlussunnah wal Jama‟ah, yang mendakwahkan dan membela akidah
Ahlussunnah. Bahkan beliau dijuluki sebagai nashirus sunnah (pembela sunnah). Maka sikap
beliau tegas dalam berakidah. Bahkan beliau membantah akidah-akidah menyimpang,
diantaranya ilmu kalamNamun sebagian orang mengatakan: “Imam Asy Syafi‟i tidak mencela
ilmu filsafat, yang dicela beliau adalah ilmu kalam”. Ini perkataan yang kurang tepat. Pertama,
kita perlu pahami dulu apa itu ilmu filsafat dan apa itu ilmu kalam?Disebutkan dalam kamus
Mu‟jam Al Wasith, definisi filsafat adalah:
‫ت‬ ‫ل م با ئ‬ ‫ل‬ ‫يا حفسير ل م عرف ت ح ف س ير‬
“Ilmu yang mempelajari prinsip dasar dalam menggunakan akal dan menjelaskan pengetahuan
dengan akal”
Adapun ilmu kalam, dijelaskan dengan ringkas dan padat oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin :
‫ل ذي ه هم ل ك الم أهل أن‬ ‫خمد‬ ‫ل ع ل ى ل ل ع يدة إث باث ف ي‬
“Ahlul kalam (orang yang belajar ilmu kalam) adalah orang-orang yang bersandar pada akal
dalam menetapkan perkara-perkara akidah” (Fatawa Nurun „alad Darbi, rekaman nomor 276).
Ahlul kalam memang menggunakan dalil, namun ketika dalil nampak bertentangan dengan akal
menurut mereka, maka akal lebih dikedepankan daripada dalil.Maka, memang secara definitif
ada perbedaan, filsafat itu ilmu cara berpikir secara umum, sedangkan ilmu kalam itu dalam
ranah akidah atau ranah agama.Namun dalam hal ini berlaku umum dan khusus. Dan bisa dari
dua sisi pandang:Ilmu filsafat sifatnya umum, jika secara khusus digunakan untuk membahas
agama, maka jadilah ilmu kalam. Ilmu kalam bersifat umum, jika metode yang digunakan dalam
menetapkan masalah akidah adalah metode filsafat, maka ketika itu ilmu filsafat termasuk ilmu
kalam.Oleh karena itu, tidak keliru jika dikatakan ilmu filsafat itu termasuk ilmu kalam atau
sebaliknya. Kedua, sikap imam Asy Syafi‟i terhadap ilmu kalam sangat jelas dan tegas. Beliau
berkata kepada ar Rabi‟ bin Sulaiman rahimahullah:
‫عج ف إو ي ب ال ك الم ح ش خ غل ال‬ ‫ل ك الم أهل مه‬ ‫ل خ عط يل‬
“Janganlah engkau menyibukkan diri dengan ilmu kalam, karena aku telah mengamati ahlul
kalam, dan mereka cenderung melakukan ta‟thil (menolak sifat-sifat Allah)” (Siyar A‟lamin
Nubala, 10/28).
Lebih tegas lagi, beliau berkata:
‫أن ل ك الم أهل ف ي ح كمي‬ ‫ب ال جري د ي رب‬ ‫ي حم‬ ‫بائ ل ل ع شائ ر ف ي ب هم ي طاف إلب ل‬ ‫ل‬
‫أق بل ل س ىت ل ك خاب‬ ‫ل ك الم‬
“Sikapku terhadap ahlul kalam adalah menurutku hendaknya mereka dipukul dengan pelepah
kurma, kemudian ditaruh di atas unta, lalu diarak keliling kampung dan kabilah-kabilah.
Kemudian diserukan kepada orang-orang: inilah akibat bagi orang yang meninggalkan Al
Qur‟an dan As Sunnah serta mengikuti ilmu kalam” (Siyar A‟lamin Nubala, 10/28).
‫يهم يىا ى‬ : ‫ح رك مه جز ء هذ‬
Dan sebagaimana telah kita bahas di poin pertama, maka perkataan beliau ini juga berlaku bagi
ilmu filsafat. Sehingga tidak keliru jika dikatakan imam Asy Syafi‟i mencela ilmu
filsafat.Ketiga, para ulama mengatakan bahwa adanya ilmu kalam dan adanya ahlul kalam itu
karena pengaruh masuknya ilmu filsafat Yunani ke tengah masyarakat Islam dahulu. Sehingga
ilmu filsafat ini punya peran besar terhadap munculnya ilmu kalam. Maka, tidak salah sama
sekali jika ilmu kalam diidentikkan dengan ilmu filsafat.
Oleh karena itulah imam Asy Syafi‟i sampai berkata :
‫جهل ما‬ ‫ال لىا‬ ‫مي هم لعرب لسان لخر هم إال خ ف‬ ‫لسان إل‬ ‫طا الي‬ ‫أ‬.
“Tidaklah manusia itu menjadi jahil (dalam masalah agama), kecuali karena mereka
meninggalkan bahasa Arab dan lebih condong pada perkataan Aristoteles” (Siyar A‟lamin
Nubala, 8/268).
Karena ahlul kalam tidak mau meyakini ayat-ayat tentang sifat Allah dengan kaidah bahasa
Arab, namun malah memaknainya dengan filsafat Aristoteles sehingga mereka terjerumus dalam
ta‟thil, tahrif dan ta‟wil.Bahkan dalam perkataan ini, sangat jelas sekali imam Asy Syafi‟i
mencela ilmu filsafat karena kita tahu bersama Aristoteles adalah tokoh filsafat.Ditambah lagi
perkataan-perkataan ulama yang lain yang secara tegas maupun secara isyarat mencela ilmu
filsafat yang perkataan-perkataan ini sudah tidak asing lagi bagi orang yang membaca kitab-kitab
para ulama.
BAB III
PENUTUP
III.I. KESIMPULAN
Filsafat Islam (bahasa Inggris: Islamic philosophy) merupakan suatu kajian sistematis
terhadap kehidupan, alam semesta, etika, moralitas, pengetahuan, pemikiran, dan gagasan politik
yang dilakukan dalam peradaban umat Muslim, yang berhubungan dengan ajaran-ajaran Islam.
Dalam Islam, terdapat dua istilah yang erat kaitannya dengan pengertian filsafat: falsafa, (secara
harfiah berarti "filsafat") yang merujuk pada kajian filosofi, ilmu pengetahuan alam, dan logika;
dan kalam (secara harfiah berarti "berbicara") yang merujuk pada kajian teologi keagamaan.
Merujuk pada periodisasi yang dicetuskan Harun Nasution, perkembangan kajian filsafat Islam
dapat dibagi ke dalam tiga periode yaitu periode klasik, periode pertengahan,dan periode
modern.
Aliran-aliran filsafat Islam: Mu'tazilah, Asy'ariyyah, Maturidiyyah, Thahawiyyah, Zhahiriyyah,
Ihwan al-Shafa. Dapat menolong, mendidik, membangun diri sendiri untuk berpikir lebih
mendalam dan menyadari bahwa ia adalah makhluk Tuhan. Dapat memberikan kebiasaan dan
kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan-persoalan dalam hidup sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Soelaiman, Darwis A., and Rahmad Syah Putra. "Filsafat ilmu pengetahuan perspektif barat dan
islam." FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN PERSPEKTIF BARAT DAN ISLAM (2019).

Mariyah, Siti, et al. "Filsafat dan Sejarah Perkembangan Ilmu." Jurnal Filsafat Indonesia 4.3 (2021): 242-
246.

Badruzaman, Dudi. "Perkembangan Paradigma Epistemologi dalam Filsafat Islam." Idea: Jurnal
Humaniora (2019): 52-64.

Praja, Juhaya S. Aliran-aliran filsafat & etika. Prenada Media, 2020.

Anda mungkin juga menyukai