Anda di halaman 1dari 4

2.

Kesesuaian Islam da Sastra: Analisis Konseptual

Dalam pengertian di atas, secara umum,dalam khazanah pemikiran islam terdapat dua
kalangan yang melihat islam dan sastra: kalangan yang memnadang bahwa islam menolak
sastra dan kalangan yang memandang sebaliknya, Islam dan sastra berkesesuaian. Di
Indonesia ulama pertama yang menoloka sastra tampaknya adalah Syeikh Nuruddin ar-Raniri
(w 1069H/1658 M), seorang ulama fiqih india yang diangkat menjadi ulama Istana (mufti)
Kerajaan aceh darus salam pada abad ke-17, tepatnya pada masa sultan Iskandar II (1636-
1641 M). ia melihat karya sastra seperti sri ram (sastra terjemahan Ramayana ) dan hikayat
indra putra (bentuk sastra yang telah diadaptaasi ke dalam lingkungan islam) sebagai karya
yang tidak berguna. Sejak itu, di tanah air, seperti yang diakui Hamka dan Bachrum Rangkuti
pada tahun abad ke-20, kecenderungan melihat sastra dari sudut pandang fiqih yang
formalistik menjadi dominan dan merekapun menyesalkannya.

3. Sastra Islam: Jenis-Jenis dan Karakter lainnya

a. Jenis dan peristilahan Sastra Islam

sastra islam itu adalah: sastra yang mempromosikan system kepercayaan dan ajaran islam
seperti persoalan tauhid, etika, dan tasawuf (Sufisme islam [ilmu tradisional islam yang
membahas agar bisa dekat sedekat mungkin dengan Tuhan]). Jenis sastra didominasi oelh apa
yang di kenal sastra sufistik yang mengungkap ajaran tasawuf dalam islam. Salah satu puisi
sufistik belakangan adalah puisi dari Jalauddin Rumi yang menggelorakan sikap penerimaan
atas perbedaan agama dan melihat sisi dalam/batin dari agama. Baginya, semakin agama
dilihat sisi luarnya, maka agama satu dengan yang lainnya semakin berbeda. Berkembangnya
corak/jenis sastra ini tentu saja sangat wajar, karena para sastrawan Muslim agaknya
mencontoh al-Qur’an sebagai kitab suci mereka. Salah satu yang tampak, bahkan paling
dominan sejak dari al-fatihah surat pertama yang menjadi inti al-Qur’an adalah kisah para
Nabi. Karena dalam islam, keimanan kepada para Nabi Allah tidak hanya terbatas kepada
Nabi Muhammad saja melainkan juga kepada nabi-nabi yang membawa agama sebelum Nabi
Muhammad,maka al-Qur’an mengisahkan terutama Nabi ulul azmi dalam bagian besarnya,
bahkan menjadi bagian terbesarnya. Dalam sastra Arab yang juga masuk kategori sastra islam
jenis/kategori ketiga ini adalah novel al-hatif min Andalus. Novel ini membahas kerajaan
islam kardova yang kini berada di provinsi Andalusia. Spanyol yang dulu saat dibawah islam
menjadi rumah bagi tiga agama (islam,Kristiani, dan nasrani). Sebagaimana dinasti Umayyah
di Spanyol dinasti abbasiyah juga menekankan penghormatan atas keragaman, karena antara
lain memiliki banyak perdana mentri dari kaum barmak yang beragam Budha atau para
mentri yang beragam Kristiani. Sastra islam dikategorikan pada lima jenis sastra Islam di atas
lebih luas daripada definisi dan jenis sastra islam yang dimunculkan Goenawan Mohamd. Ia
mendefinidsikan sastra keagamaan sebagai karya sastra yang menitikberatkan kehidupan
beragama sebagai pemecah masalah, termasuk pemecah masalah (solusi) untuk terbentuknya
keragaman sosial. Dalam bahasa lain, sastra sufistik ini merupakan sastra yang
mengekspresikan pengalaman estetik transcendental yang berhubungan erat dengan tauhid,
yakni tuhan sajalah yang Ada dan yang lain-Nya secara hakiki tidak ada. Selain disebut sastra
sufistik, sastra suluk dan sastra transendental, di Indonesia, sastra islam juga dikenal dengan
istilah sastra profektif. Sastra profektif adalah sastra yang dibentuk berdasarkan atau untuk
tujuan mengungkapkan prinsip-prinsip (ajaran) kenabian atau wahyu, sebagai ilmu illuminasi
(limpahan) dari Tuhan, seperti juga ilmu yang didapat dari jalan sufistik (ma’rifah). Secara
isi, sebutan sastra profektif itu lebih tepat, jika pengertian sastra islam secara sebagaimana
lima jenis yang telah disebutkan di atas. Sebagai sastra islam tentu saja bisa didekati lewat
pendekatan formasilsme, sebuah pendekatan yang indah sebagai media. Sastra silam dalam
hal ini adalah tindak bahasa atau kata yang ukurannya adalah seberapa indah bahasa/kata
yang digunakan. Kenyatan ini tentu saja bisa dipahami, karena al-Qur’an adalah kitab suci
yang kekuatan bahasanya terdapat dalam ayat-ayatnya yang menggunakan bentuk bahasa
yang indah.

b. Imaginasi dan Pencitraan dalam Sastra Islam

Sebagai sastra imaginative/kreatif/fiksi, sastra islam juga bukanlah sastra dokumenter sebagai
mimesis (tiruan) murni aats realitas, meskipuan dalam sastra realisnya, sebagaimana
umumnya sastra realis, mendekati sastra dokumenter juga, tapi sebagai sastra bukan karya
dokumenter. Karena itu sastra islam penuh dengan cerita imaginative yang dalam
memahaminya akan menjadi problem, jika lewat pemahaman terhadap makna pertama
(denotatif)-nya semata bukan lewat makna kedua (konotatif). Inilah yang dialami syeikh
Nuruddin ar-raniri (w. 1069H/1658 M) di atas, terutama atas pandangan Hamzah Fansuri
dalam karya sastra-sastranya. Di antara alas an sastra islam juga penuh dengan cerita
imaginatif (khayalan) adalah, karena sebagaimana pendapat Muhammad Khalafullah (1916-
1977 M) dan A. Hanif al-Qur’an sebagai rujukan sastra islam saja memuat bukan hanya kisah
historis yang real seperti kisah nabi-nabi sebelum islam. Namun juga memuat prosa fiksi
perumpamaan danmitos sebagai cerita simbolik. Paling tidak (tepatnya)dalam pengertian,
tidak semua cerita al-Qur’an bisa di temukan faktanya oleh manusia. Dan, dan bagi kedua
tokoh tersebut, itu memang tidak perlu dicari faktanya. Baik prosa fiksi perumpamaan
maupun mitos, memiliki makna ganda dan harus dipahami dengan makna konotatifnya lewat
proses takwil (hermeneutika). Cerita fiksi al-Qur’an itu hanyalah untuk memenuhi kebutuhan
manusia, agar mudah menangkap pesan0pesan al-Qur’an. Yang di pentingkan bukan pada
ceritanya itu sendiri, melainkan pelajaran di baliknya, karena al-Qur’an adalah kitab petunjuk
(dakwah). Sebagaimana yang dikatakan az-Zamkhsyari bahwa meski al-Qur’an firman Allah,
al-Qur’an di turunkan kepada manusia dengan dan atas dasar kebiasaan da cara-cara manusia
berbicara (berkomunikasi). Karena manusia bisa menyampaikan pikirannya berdasarkan
realitas yang dialami dan kisah perumpamaaan yang tidak terjadi, maka al-Qur’an pun
menggunakannya. Sebagai sastra imaginatif/fiksi, sastra islam juga bukanlah sastra sastra
yang anti terhadap kisah percintaan, sebagaimana pandangan sebagian ulama saat menolak
tindakan Hamka (H Abdul Malik Karim Amrullah [lahir 1908] ketika menerbitkan novel-
novelnya di asia. Argument bahsa sastra islam tidak menganggap buruk kisah percintaan
adalah karena dalam al-Qur’an sendiri terdapat kisah percintaan yusuf dalam satu surat
pwnuh, yaitu QS. 12 yang jumlah ayatnya sebanyak 111, yang sudah di jelaskan di atas.
Secara kebahasaan, sastra islam juga bukan hanya sastra Arab saja, karena islam melewati
batas-batas kebahasaan. Sastra islam, karenanya bukan saja sastra Timur seperti Arab, Persia,
Turki, Urdu, Indonesia (melayu), melainkan juga sastra Barat. Sastra Islam bukan berati
lawan dari sastra Barat, Karena dalam sastra Barat juga terdapat sastra islam. Misalnya
sebagain karya Goethe (lahir 1749) yang menjelaskan kepercayaannya pada keesaan Tuhan,
keagungan al-Qur’an dan kenabian Muhammad. Lagi pula yang di tolak dari Barat adalah
sisi-sisi tertentu seperti atheism dan materialism sebagai bentuk paganisme baru yang ditolak
pengusung sastra islam antara lain adalah berhentinya realisme Barat pada realitas buruk
yang disampaikan apa adanya, dengan tidak melakukan pemihak sama sekali. Pada sebagaina
sastra islam bahkan terdapat kecenderungan untuk memilih realitas buruk seperti pelacuran.
Tujuannya agar pembaca tidak dipengaruhi realitas buruk yang diungkapkan. Tentu saja
catatannya adalah konsep sastra islam yang disebut terakhir itu bisa dianggap problem,
karena itu bukan realisme yang sesungguhnya. Model sastra itu juga bisa membuat para
tokoh dalam sastra menjadi kehilangan “kelamin”. Akibatnya, realitas yang disampaikan
menjadi benar-benar telah banyak teredukasi. Lagipula konsepsi sastra islam seperti itu
bertentangan dengan model sastra islam dalam surat yusuf di atas. Yang penting keburukan
yang disampaikan tidak bersifat vulgar yang di teriakkan. Seperlunya saja untuk kepentingan
logika cerita. Ini sebagaimana penceritaaan mengenai seksualitas yang harus tidak di
teriakkan, meskipun sekualitas sendiri dalam Islam adalah sesuatu yang di halalkan, jika
dilakukan oleh suami dan istri yang sah secara agama, sebagaimana telah di ungkap di atas.
Dilihat dari perspektif genre, sastra islam bukan sebuah genre tersendiri, karena para
sastrawan islam menulis dalam sebuah genre. Dari modal pusisi qashidah tradisional (satu
baitnya terdiri dari dua baris yang sejajar) ruba’i (empat baris yang tersusun kebawah),
gabungan keduanya (muwasyasyahat) novel, cerpen, dan juga drama (teks film). Wawllah
a’lam bis-shawab.

Anda mungkin juga menyukai