KELAHIRAN karya sastra bak kelahiran anak manusia, ia muncul begitu saja di tiap-tiap
jenjangnya, tanpa terikat oleh adanya sebuah aturan. Namun, tanpa kritik sastra yang memadai
karya sastra terkesan tak berimbang. Sebab, munculnya karya sastra dan kritik, lazimnya berjalan
beriringan, sehingga tercipta iklim sastra yang hebat.
Dalam ranah kesusastraan Arab, kritik sastra menjadi keniscayaan saat kerja sastra hanya
menandaskan pada capaian produk (tifitas) karya; semisal pertaruhan kualitas literer juga
keberanian menerjang mainstream, tanpa mempelajari substansi kritik (naqd) yang sebanding-
searas. Sebab itu, kritik sastra tampil, salah satunya bertujuan menilai, menjadi juri untuk
menimbang sebuah karya (sastra) berdasarkan kadar ukuran-ukuran tertentu.
Kritik perlu ada antara lain sebagai entitas penjelas sebuah karya, terlebih saat sebuah
karya sering hanya menyembunyikan ihwal di balik apa yang tersurat. Di situ, urgensitas kritik
diperlukan justru karena karya sastra bukan semata-mata interpretasi objektif sang pengarang,
melainkan karena masih menjadi interpretasi subjektif bagi seorang sastrawan, yang bisa jadi tak
mudah untuk difahami pembaca. Tentu, ini selain fungsi kritik sendiri berguna untuk
meningkatkan kualitas literer (karya) sastrawan pemula.
Dalam sejarah sastra Arab, perkembangan kritik bermula dari sejarah karya sastra yang
digantung-pajangkan di dinding Kakbah sehabis dipentaskan di Pasar Ukaz. Karya seperti itu
lazim disebut al-mu’allaqat. Pekan Raya Ukaz yang berlangsung sejak masa jahiliyah itu bukan
saja menjadi arena jual-beli aneka barang dagangan, melainkan juga menjadi ajang demonstrasi
adu syair antarberbagai penyair dari seluruh pelosok Jazirah Arab. Hal ini menandai betapa iklim
sastra sekaligus laju kritiknya saat itu, berkembang pesat.
Muhammad al-Rabi’ dalam buku, al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, setidaknya pernah
mencatat ada beberapa kritikus yang melakukan kritik kala itu. Mereka itu seperti Al-Nabigah al-
Zibyan yang pernah mengkritik Hasan bin Tsabit soal ketidaktepatannya dalam menggunakan
diksi. Kemudian, lahir para kritikus seperti Abu Umar dan al-Usmu’i, sekitar abad kedua hijriah,
yang me-review banyak syair jahiliyah dan melakukan studi banding antara satu syair dengan
syair yang lainnya. Bahkan buku Kodifikasi Syair al-Usmu’i karena unsur ketelitiannya, dinilai
para ahli sebagai buku yang paling memiliki akurasi sastra Arab jahiliyah.
Selanjutnya di abad ketiga hijriyah, muncul kritikus seperti Ibnu Qutaibah yang menulis
Al-Syi’r wa al-Syu’ara dan Al-Jahizh yang menulis Al-Bayan wa al-Tabyin. Nabi sendiri suatu
kali pernah melakukan kritik terhadap syair-syair haja’ (ejekan) yang diluapkan Hassan bin
Tsabit, Ka’ab bin Malik, dan Abdullah bin Rawahah, sewaktu mereka melawan syair haja’ kaum
Quraisy (hlm 56–57).
Selama ini seakan terlihat teori kesusastraan Barat begitu dominan dalam kajian-kajian
sastra, termasuk sastra Arab. Padahal kalau kita telusuri, kekayaan perangkat teoritik tradisi Arab
sebenarnya tak kalah mentereng. Dalam sejarahnya, karya sastra di luar Barat, yakni tradisi
formalisme Arab justru lahir jauh sebelum tradisi formalisme Barat (Rusia) muncul.
Dalam sejarah kritik sastra Arab, teori kritik sastra modernnya adalah diawali dengan
lahirnya teori formalisme (Asy Syakliyyah) di Rusia kisaran tahun 1915- 1930an. Begitulah yang
dikatakan Luxemburg bahwa teori ini sebagai peletak dasar ilmu sastra modern. Setidaknya teori
ini menilai karya sastra sebagai bahasa estetis, bukan bahasa biasa. Teori formalisme ingin
membebaskan karya sastra dari lingkungan ilmu-ilmu lain seperti ilmu psikologi, sejarah, atau
penelitian kebudayaan, yang menurut teori formalisme, pendekatan karya sastra melalui ilmu
lain kurang begitu meyakinkan. Secara ringkas sastra ingin dilihatnya sebagai tindak bahasa atau
kata. Puisi, misalnya dipandang sebagai bunyi, morfologi, sintaksis dan semantik. Upaya ini
dipelopori oleh Roman Jakobson, Eichenbaum dan lain-lain. Karena lahir di Russia, maka teori
ini dikenal dengan teori Formalisme Rusia, yang nantinya melahirkan teori Strukturalisme dan
ragamnya (pasaca strukturalisme) seperti semiotik, strukturalisme genetik dan yang lainnya.
Manfaat kritik sastra
Manfaat kritik sastra antara lain sebagai berikut:
1) berguna bagi keilmuan sastra
Kritik sastra berfungsi untuk menciptakan teori-teori sastra. Sebuah teori sastra
akan kehilangan relevansinya apabila karya sastra telah memperlihatkan kecenderungan
lain. Kecenderungan-kecenderungan itu hanya dapat diketahui melalui kritik sastra.
Untuk menyusun teori sastra terdapatlah sempurna tanpa bantuan kritik sastra.
2) berguna bagi perkembangan kesusastraan dan penyusunan sejarah sastra.
Seorang ahli sejarah sastra tidak dapat meninggalkan kritik sastra dalam
menyusun perkembangan sastra, yang meliputi penggunaan unsur bunyi, kombinasi kata,
gaya kalimat, gaya bahasa, perbandingan perbandingan yang dikemukakan dalam karya
sastra, filsafat, pandangan hidup dan sebagainya.
3) berguna bagi masyarakat yang menginginkan penerangan tentang karya sastra.
Seorang kritikus dalam kritik sastra nya melalui keterangan-keterangan dan uraian
atau analisis terhadap struktur norma-norma karya sastra yang dibeberkan oleh Nya,
maka masyarakat pembaca dapat lebih paham memahami karya sastra para sastrawan.
Formalisme Arab
Formalisme Arab lahir di abad klasik bersamaan dengan munculnya kajian sastra Arab
dengan analisis ilmu balaghoh. Di mana balaghah (formalisme Arab) ini, dalam tradisi
kesusastraan Arab digunakan sebagai alat untuk meneliti tindak keindahan bahasa. Salah satu
tokohnya yaitu Al-Jahiz yang memandang keindahan lafaz (bentuk) sebagai hal yang penting
mendahului makna (substansi/isi). Ini juga bisa dibuktikan dengan lahirnya ilmu ‘arud, yang
pertama kali disusun oleh Khalil bin Ahmad (170 H). Sebuah ilmu yang membahas kesesuaian
akhir kata/rima (qafiyah) dan juga ritme/metrum kalimat (wazan/bahr) dalam jagat perpuisian
Arab (as-sya’ir Arabi).
Formalisme Arab Dalam literatur Arab, dikenal sebagai ilmu Balaghah, yaitu ilmu yang
membahas tentang teori menggunakan ungkapan yang indah dalam bahasa. Ilmu ini
berlandaskan kepada kejernihan jiwa dan ketelitian menangkap keindahan serta kejelasan
perbedaan yang samar di antara macam-macam uslub (gaya bahasa) yang digunakan oleh
seorang penulis. Kebiasaan mengkaji Balaghah, merupakan modal pokok dalam membentuk
tabiat sastra dan menggiatkan kembali beberapa bakat yang terpendam. Unsur-unsur Balaghah,
diantaranya adalah sebagai berikut: kalimat, makna, dan susunan kalimat yang memberikan
kekuatan, pengaruh dalam jiwa, serta keindahan dalamnya penggunaan gaya bahasa dan
pemaknaan. Selain itu, juga termasuk kejelian dalam memilih kata dan gaya bahasa, yang tentu
saja sesuai dengan tempat bicara, teman bicara, situasi bicara, kondisi para pendengar dan lain
sebagainya dijadikan unsur penunjang lain dalam mengkaji sebuah karya sastra. Terdapat tiga
fan (disiplin) ilmu dalam kajian Balaghah ini, yaitu:
1) Ilmu Bayan: tasybih, hakikat dan majaz, kinayah.
2) Imu Ma’ani: kalam khabar dan insya’, qashr, fashal dan washal, musawah dan ijaz serta
ithnab.
3) Ilmu Badi’: muhassinat lafzhi (jinas, iqtibas, saja’), muhassinat maknawiyah (tauriyah,
thibaq, muqabalah, husnut ta’lil).
Berikut beberapa ulama ahli balaghah yang karyanya masih dapat dipelajari, di antara
ulama'-ulama' balaghah ialah:
1) Abu ubaidah mu'ammar ibn masna ( 208h )
2) Abu 'usman al-jahiz ( 255h )
3) Muhammad ibn yazid ( 285h )
4) 'Abdullah ibn mu'taz ( 296h )
5) Qudaamah ibn ja'far al-katib ( 337h )
6) Abu hassan 'ali ibn 'abdul 'aziz al-jurjani ( 366h )
7) Abu sa'eid hassan ibn 'adullah as-siirafiy ( 368h )
8) Hassan ibn basyar al-aamadiy ( 371h )
9) Muhammad ibn 'umran almarzabaaniy ( 378h )
10) Abu hilal hassan ibn 'abdullah al-'askary ( 390h )
11) Syekh Ahmad Damanhuri, Pengarang Kitab Syarah Hulyatil Lubbil Masun