Anda di halaman 1dari 16

CERPEN DOSA SEORANG ISTRI YANG TIDUR PADA PUKUL 19.

00
KARYA A. WARITS ROVI: KRITIK OBJEKTIF M.H ABRAMS

Syariani

Universitas Negeri Makassar

Abstrak. Kajian ini membahas tentang dosa seorang istri yang tidur pada pukul
19.00 dalam cerpen karya A. Warits Rovi dengan menggunakan pendekatan
dalam kajian objektif M.H Abrams. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap
secara mendalam unsur intrinsik yang terdapat dalam cerpen tersebut yang
berdasar pada kajian sastra M.H Abrams. Dalam penelitian ini menggunakan
teknik pengumpulan data yaitu teknik baca dan catat pada sebuah dokumen,
dengan tiga tahapan yakni mengidentifikasi, mengklasifikasi dan
mendeskripsikan. Hasil penelitian ini akan menghasilkan sebuah penafsiran
seberapa eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konvensi sastra yang berlaku
dalam kajian sastra objektif.

Kata kunci: Dosa, seorang istri, pendekatan objektif.

PENDAHULUAN

Sastra adalah istilah yang merujuk pada karya sastra atau kumpulan
karya tulis yang ditulis secara artistik atau kreatif, biasanya dalam bentuk puisi,
prosa fiksi, drama, dan bentuk sastra lainnya. Sastra bertujuan untuk
menyampaikan makna dan emosi melalui penggunaan bahasa yang indah dan
puitis. Karya sastra seringkali mengeksplorasi berbagai tema dan aspek
kehidupan manusia, termasuk cinta, perang, kehidupan sehari-hari, politik, dan
masalah-masalah filosofis. Karya sastra juga dapat merefleksikan budaya, nilai,
dan identitas suatu masyarakat.

Karya sastra dapat berfungsi sebagai sarana hiburan, pendidikan,


penghiburan, serta menyediakan sudut pandang baru tentang dunia dan
kehidupan. Beberapa penulis dan karya sastra terkenal termasuk William
Shakespeare, Leo Tolstoy, Jane Austen, Gabriel Garcia Marquez, dan banyak lagi.
Penghargaan atau pengakuan bagi penulis dan karya sastra diberikan melalui
penghargaan sastra seperti Nobel Sastra dan hadiah sastra lainnya. Sastra juga
menjadi objek studi di bidang sastra komparatif, kritik sastra, dan sastra
bandingan, yang memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam tentang
nilai dan signifikansi karya sastra dalam berbagai konteks budaya dan sejarah.

1
Sastra Indonesia kontemporer masih relatif muda, sehingga banyak
masalah yang muncul dan penyelesaiannya membutuhkan solusi. Dalam
konteks ini, sastra Indonesia (modern) belum menemukan cara yang tepat untuk
memecahkan masalah ini. Ada tiga bagian atau tiga cabang sastra, yaitu: Teori
Sastra, Sejarah Sastra dan Kritik Sastra (Pradopo, 1988).  Menurut Abrams dalam
(Pradopo, 1988), kritik sastra adalah penelitian yang berkaitan dengan definisi,
klasifikasi (classification), analisis (analysis), dan evaluasi (evaluation). Untuk
dapat menilai suatu karya sastra itu baik atau buruk dan bernilai seni,
diperlukan seorang kritikus sastra.

Kritik sastra tidak lepas dari beberapa sudut pandang yang berbeda, yang
tentu saja menimbulkan hasil yang berbeda, sekalipun karya sastra yang dinilai
adalah karya sastra yang sama. Berdasarkan penilaian terhadap beberapa karya
sastra yang ada, pendekatan yang paling populer adalah yang dikemukakan oleh
Abrams dalam bukunya Theory of the Universe. Pendekatan Abrams tidak
berbeda dengan penilaian yang berbeda dari beberapa ahli sebelumnya. Abrams
berpendapat bahwa ada hubungan antara pengarang, alam semesta, pembaca,
dan karya sastra. Abrams membuat diagram yang terdiri dari empat pendekatan
yaitu objektif, ekspresif, mimetic dan pragmatik .Oleh karena itu, model Abrams
sangat berguna untuk lebih memahami keragaman teori sastra (Teeuw, 1984).  

M.H. Abrams (Meyer Howard Abrams) adalah seorang kritikus sastra


dan teoretikus sastra terkenal yang lahir pada 23 Juli 1912 dan meninggal pada
21 April 2015. Ia merupakan seorang profesor sastra Inggris di Universitas
Cornell dan merupakan salah satu tokoh terkemuka dalam bidang studi sastra di
abad ke-20. Abrams dikenal karena karyanya yang berpengaruh, termasuk "The
Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition" (1953), di
mana ia mengulas hubungan antara filsafat, teori sastra, dan karya sastra
Romantis. Buku ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang pengaruh
Romantisisme dalam pemikiran kritis. Buku ini mempengaruhi pandangan kritis
tentang sastra Romantis dan mengajukan teori konflik antara paradigma yang
berpusat pada karya dan paradigma yang berpusat pada pembaca.

Selain itu, Abrams juga dikenal karena karyanya yang berjudul "A
Glossary of Literary Terms" (1957) yang telah menjadi buku teks standar dalam
studi sastra. Buku ini memberikan definisi dan penjelasan tentang berbagai
istilah sastra, dari gaya sastra hingga aliran sastra tertentu. Karyanya membantu
banyak mahasiswa sastra dalam memahami konsep-konsep penting dalam
analisis sastra. Abrams juga berperan dalam mempopulerkan teori new criticism
(kritik baru) di Amerika Serikat. New criticism adalah pendekatan kritikal sastra
yang menekankan pada analisis tekstual dan menghindari aspek biografis atau
sejarah penulis dalam memahami karya sastra.

2
Dalam banyak tulisannya, Abrams mengeksplorasi berbagai aliran sastra
dan teori sastra, termasuk romantisme, simbolisme, dan modernisme. Ia juga
mengenalkan gagasan tentang "intentional fallacy" (kesalahan maksud) dan
"affective fallacy" (kesalahan afektif) yang menyuarakan bahwa mencari maksud
atau reaksi emosional pengarang tidak selalu relevan dalam menilai sebuah
karya sastra, karena makna sebenarnya terdapat dalam karya itu sendiri dan
reaksi pembaca.

M.H. Abrams adalah tokoh penting dalam dunia sastra dan pengetahuan
serta kontribusinya masih mempengaruhi studi sastra hingga saat ini. Abrams
juga dikenal karena menyunting dan mengedit banyak antologi sastra, termasuk
"The Norton Anthology of English Literature," yang menjadi salah satu antologi
sastra paling terkenal di dunia. Karya-karyanya telah memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap bidang sastra dan kritik sastra, dan warisannya tetap
menjadi sumber inspirasi bagi para sarjana sastra hingga saat ini.

Pendekatan objektif Abrams menekankan pada analisis sastra yang


obyektif, yang berarti bahwa seorang kritikus harus berusaha untuk mendekati
karya sastra secara netral dan menghindari menambahkan interpretasi atau
penilaian pribadi yang berlebihan. Pendekatan ini mencoba untuk memahami
dan mengevaluasi karya sastra berdasarkan elemen-elemen internal yang ada
dalam karya tersebut, seperti struktur naratif, gaya penulisan, tema, dan bahasa
yang digunakan oleh pengarang.

Beberapa poin penting dalam pendekatan objektif M.H. Abrams adalah


sebagai berikut:

1. Analisis struktural: Abrams menekankan pentingnya memahami struktur


karya sastra, termasuk plot, karakter, tema, dan pengaturan naratif.
Pendekatan ini melibatkan pemisahan elemen-elemen ini untuk
mengidentifikasi bagaimana mereka saling berhubungan dan
berkontribusi pada keseluruhan karya.
2. Intensi pengarang: Abrams berpendapat bahwa penting untuk mencari
dan memahami niat pengarang dalam menciptakan karya sastra. Dia
percaya bahwa memahami latar belakang dan pandangan pengarang
dapat membantu kita memahami karya mereka dengan lebih baik.
3. Makna intrinsik: Abrams menekankan pada makna intrinsik atau imanen
karya sastra, yaitu makna yang dapat ditemukan dalam teks itu sendiri
tanpa harus mengacu pada faktor eksternal atau konteks sejarah.
4. Penggunaan bahasa: Sebagai seorang sarjana sastra, Abrams sangat
menyadari pentingnya bahasa dalam menciptakan efek artistik dan
estetika dalam karya sastra. Dia memandang penggunaan bahasa sebagai
elemen utama dalam pengungkapan ide dan emosi dalam karya sastra.

3
5. Penekanan pada konteks sastra: Meskipun pendekatannya lebih condong
pada analisis intrinsik, Abrams juga mengakui pentingnya
mempertimbangkan konteks sastra saat menafsirkan karya. Ini termasuk
memperhatikan pengaruh dan gaya penulisan dari periode dan aliran
sastra tertentu.

Abrams menawarkan cara yang sistematis dan obyektif untuk mendekati


karya sastra, tetapi seperti halnya setiap pendekatan kritik sastra, pendekatan ini
juga memiliki kritik dan batasannya sendiri. Beberapa kritikus dan sarjana sastra
berpendapat bahwa analisis semata-mata berbasis pada teks sering kali dapat
mengabaikan aspek sosial, sejarah, atau ideologis dalam karya sastra. Oleh
karena itu, dalam studi sastra modern, sering kali digunakan berbagai
pendekatan dan perspektif yang berbeda untuk mendapatkan pemahaman yang
lebih komprehensif tentang sebuah karya sastra.

Pendekatan keberadaan sastra itu sendiri didasarkan pada konvensi


sastra yang berlaku. Contoh konvensi semacam itu adalah aspek-aspek yang
melekat pada sastra, yang meliputi kesepakatan, kosa kata, sajak, struktur
kalimat, tema, tindakan, latar, karakter, dll. Jelas bahwa penilaian yang diberikan
tercermin dari seberapa besar kekuatan atau nilai sebuah karya sastra bertumpu
pada keserasian seluruh bagiannya. Karena standar pendekatan objektif sudah
jelas, maka pendekatan ini sering disebut sebagai pendekatan struktural.
Dengan pendekatan objektif ini, maka yang menjadi pokok kritik sastra adalah
unsur-unsur intrinsik karya sastra, yang terdiri dari: (1) tema, (2) tokoh dan
penokohan, (3) alur, (4) latar, (5) gaya, (6) sudut pandang, (7) pesan.

Dalam kerangka keilmuan, terdapat beberapa jurusan dalam sastra yang


terbagi menjadi cabang-cabang keilmuan teori sastra, kritik sastra, sejarah sastra,
dan studi sastra. Empat bagian bidang ilmiah saling terkait erat. Dapat dikatakan
bahwa kritik sastra merupakan salah satu tingkatan tertinggi dalam penelitian
sastra. Mencari tahu apa nilai sebuah karya sastra, apakah karya itu baik atau
buruk dan apakah karya itu layak nilainya membutuhkan kritik sastra sebagai
bagian dari kajian karya sastra (Bagus Permadi, 2017).

Sebelum menggunakan teori, metode atau bentuk lain dari penelitian


sastra, fokusnya adalah pada pendekatan sastra. Pendekatan sastra itu sendiri
sangat penting ketika digunakan sebagai topik penelitian sastra dan sebelum
mempelajari atau menganalisis karya sastra. Ada berbagai teori atau model
pendekatan dalam pendekatan sastra, antara lain ekspresif, mimetik, objektif dan
pragmatis (Virani Ivira, 2018). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kritik
objektif terhadap cerpen “Dosa Seorang Istri yang Tidur pada Pukul 19.00”
untuk mengidentifikasi unsur-unsurnya. Kritik sastra dengan pendekatan
objektif memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri dan bebas dari
pengaruh luar, baik pembaca maupun pengarang (Bagus Permadi, 2017).

4
METODE PENELTIAN

Cerpen “Dosa seorang istri yang tidur pada pukul 19.00” menjadi pokok
bahasan penulisan ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana tokoh-tokoh serta unsur intrinsik yang terkandung dalam cerpen ini
menjadi fokus utama bagi peneliti. Berdasarkan hal tersebut, M.H Abrams ini
membutuhkan pendekatan objektif untuk mempelajari unsur-unsur intrinsiknya.
Ada banyak penelitian terkait pendekatan objektif menggunakan M.H Abrams
seperti Ardhian, dkk pada analisis novel “money!” yang juga menggunakan
pendekatan objektif. Selain itu, ada juga Anggraini dan Devi dalam analisis
naskah drama “bapak” karya bambang soelarto menggunakan pendekatan
objektif.

Peneliti menggunakan metode deskriptif analitis dalam penelitian ini.


Merupakan metode penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena
secara analitis, sistematis, objektif dan menyeluruh. Metode kuantitatif bertujuan
untuk mendeskripsikan hasil pembacaan cerpen “Dosa seorang istri yang tidur
pada pukul 19.00” karya A. Warits Rovin. Informasi yang diperoleh dari
penelitian ini berupa data kualitatif. Dalam metode analisis kualitatif, data yang
terkumpul diseleksi, dikelompokkan, diteliti, diinterpretasikan dan ditarik
kesimpulan. 

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Pada cerita pendek karya A. Warits Rovi yang berjudul “Dosa seorang
istri yang tidur pada pukul 19.00” telah dilakukan pendekatakan objeketif M.H
Abrams. Intensi atau niat pengarang dalam menciptakan karya sastra berupa
cerita pendek ini adalah untuk menyampaikan kepada setiap wanita agar
berhati-hati dalam memilih pasangan hidup atau seorang suami dan harus
mencari tahu bagaimana karakter calon suami kita agar tidak seperti pada tokoh
utama dalam cerita pendek karya A. Warits Rovi tersebut. Kemudian
penggunaan bahasa yang digunakan dalam cerita pendek karya A. Warits Rovi
ini mudah dipahami dan sederhana. Berdasarkan analisis struktural dengan
menggunakan pendekatan objektif M.H Abrams dalam cerpen yang berjudul
“Dosa Seorang Istri yang Tidur pada Pukul 19.00” karya A. Warits Rovi. Elemen-
elemen seperti tema, karakter, amanat dan lain sebagainya dijelaskan sebagai
berikut:

Judul 

Cerpen Dosa seorang istri yang Tidur Pukul 19.00 berjudul seperti yang
ditunjukkan dalam kutipan. Judul tersebut cukup untuk menggambarkan bahwa

5
adalah dosa bagi seorang istri untuk tidur pada waktu tersebut. Kutipan berikut
menjelaskan bahwa pengarang cerpen menyajikan cerita sesuai dengan judulnya:

Malam itu, seusai shalat Isya, ia tertidur, wajahnya tampak damai saat tidur
dalam cahaya redup. Itu hanya berlangsung beberapa menit dan rasa kantuknya
tidak berkurang, tiba-tiba suaminya membangunkannya dengan teriakan keras,
dia ditarik berdiri dengan kasar, tersandung, menguap dan mengucek matanya. 

Kutipan di atas menjelaskan bagaimana wanita itu dimarahi saat dia tertidur
setelah sholat magrib. Berdasarkan pengamatan, penulis menggunakan kata-kata
untuk mewakili judul cerpen. Kata yang digunakan adalah setelah sholat isya dia
tertidur... tiba-tiba suaminya membangunkannya dan berteriak keras
memarahinya karena langsung tidur seusai isya. Kutipan ini berarti ketika
seorang istri tidur selepas isya atau pada pukul 19.00 membuat suami marah dan
itu merupakan sebuah dosa seorang istri kepada suaminya.

Tema

Tema yang digunakan adalah judul “Surga dan Neraka Wanita”, yang diambil
dari karakter laki-laki atau seorang suami pada cerpen tersebut. Topik yang
digunakan sangat menarik mengingat jaman sekarang para suami menjual
argumentasi semacam itu untuk membuat istri lebih patuh. Seperti kutipan di
bawah ini:

“Itu bagus. Jika seorang wanita ingin masuk surga dan selamat dari neraka, dia
harus seperti itu, dia harus patuh pada suaminya”, lanjut suaminya, masih
mengerem. Duya hanya tersenyum sendu, tangannya perlahan mulai menuntun
sepeda bolongnya menuju pintu.

"Aku hanya ingin bermain di kamar denganmu setiap malam, tapi jangan hamil.
Jika kamu menolak keinginanku, kamu akan menjadi istri yang tidak patuh,
kamu akan masuk neraka," suaminya selalu mengatakan bahwa dia tidak ingin
memiliki anak.  

Tokoh dan penokohan

Duya adalah istri dari laki-laki yang tidak bertanggung jawab atas dirinya
sendiri. Penulis cerpen tahu bagaimana menggambarkan karakter Duya yang
sabar dan lemah di hadapan tindakan suaminya. Dilihat dari kutipan berikut:

Seperti hari-hari sebelumnya, dia selalu dengan sabar membangunkan suaminya


dengan lembut, agar bisa berpamitan dengan baik. Dia sama sekali tidak bosan
atau marah, meski tangannya yang kurus terus menggoyang-goyangkan tubuh
suaminya untuk membangunkannya. Ia tetap tersenyum meski suaminya
membentaknya beberapa kali. 

6
Suami Duya tidak memiliki pekerjaan dan sangat pemalas. Penulis cerpen
tersebut seolah menggambarkan realita kehidupan pada masa ini: banyak suami
menganggur sedangkan istri bekerja. Penulis sama sekali tidak menyebut nama
suami Duya. Berdasarkan hasil observasi, penulis secara gamblang
menggambarkan sifat suami Duya yang pemalas dan kurang ajar, sebagai
berikut:

Ketika suaminya terbangun meskipun dia masih berbaring dan matanya


setengah terbuka dia mencium punggung tangannya. Maka itu bisa pergi.
Suaminya menjawab dengan suara serak, menguap mengantuk dan sesekali
bergoyang seolah tidak mau membuka mata.  

Husna adalah sahabat Duya yang setuju untuk membantu ayah Duya dengan
bocah itu. Karakter Husna digambarkan agak menyebalkan karena berpura-pura
tahu tentang masalah perkawinan. Dari situ, pengarang cerpen mampu
membuat geram pembaca karena ulah Husna yang “sadar”. Dilihat dari kutipan
berikut:

Ayahnya kemudian meminta Husna, teman dekat Duya, untuk membujuk Duya
agar segera menikah dengan pria tersebut. Husna segera menyelesaikan
tugasnya. Dia bercerita tentang pernikahan yang membawa banyak keindahan
ke dunia dan akhirat. Bujukan itu tidak cukup hanya sekali, Husna
mengulanginya setiap kali bertemu dengannya setelah sekitar enam bulan.
Hingga suatu saat ia diliputi keyakinan, apalagi ketika Husna mengatakan
bahwa pernikahan adalah bidang ibadah yang dengannya seorang wanita dapat
dengan mudah masuk surga.  

Ayah Duya adalah seorang pemaksa, ia menyuruh Husna merayu Duya agar
dikawinkan.

Waktu dan Tempat

mengatur waktu dan tempat. Setting lokasi yang digunakan penulis cerpen
membuatnya lebih dekat dengan cerita ketika ia bersama suaminya. Namun, ada
satu tempat di mana Duya bertemu dengan Husna. Penulis cerpen tidak
menjelaskan di mana mereka bertemu. Dilihat dari kutipan berikut:

Duya segera bergegas ke kamar mandi Ketika adzan subuh terdengar. Dia harus
pergi bekerja pagi-pagi sekali. Dia menatap suaminya yang masih tidur;
mendengkur, memeluk bantal. Usai salat Subuh, ia menggunakan alatnya untuk
mengisi karung tua penuh sampah yang terbuat dari anyaman batang Siwalan.
Ada sabit, kapak, batu api, sarung tangan, rafia dan sebotol kopi dan makanan
ringan. Dia kemudian menempelkan tas jelek di bagian belakang sepedanya,
yang penuh dengan karat.  

7
Duya menyimpan semua luka di jiwanya untuk dirinya sendiri sampai suatu
pagi yang tak terduga, setelah tidak bertemu dengannya selama dua tahun, dia
akhirnya bisa mencurahkan isi hatinya kepada Husna. Mata Husna tidak
berkedip saat melihat keadaan Duya saat itu, tubuhnya kurus dan wajahnya
murung.

Alur
Alur yang digunakan pengarang cerpen menggunakan alur maju dan alur
mundur. Dilihat dari kutipan di bawah ini, penulis sepertinya ingin menarik
perhatian pembaca pada cerita selanjutnya mengapa Duya mengalami luka
tersebut.  

Usai salat Subuh, ia menggunakan alatnya untuk mengisi karung tua penuh
sampah yang terbuat dari anyaman batang Siwalan. Ada sabit, kapak, batu api,
sarung tangan, rafia dan sebotol kopi dan makanan ringan. Dia kemudian
menempelkan tas jelek di bagian belakang sepedanya, yang penuh dengan karat.

Duya telah menikah selama empat tahun, tetapi dia masih belum memiliki anak
dan percaya bahwa tidak mungkin memiliki anak karena suaminya melarangnya
untuk hamil. Dia selalu disuruh minum pil KB secara teratur. Pernah dia diam-
diam terlambat, tetapi ketika suaminya mengetahuinya, dia langsung marah dan
menyuruh Duya untuk tidak hamil. Air mata keluar setiap kali dia
memikirkannya, meskipun dia sangat menginginkan untuk memiliki anak. Ia
ingin rumahnya penuh dengan suara anak-anak seperti rumah Husna. Duya
menyimpan semua luka di jiwanya untuk dirinya sendiri sampai suatu pagi
yang tak terduga, setelah tidak bertemu dengannya selama dua tahun, dia
akhirnya bisa mencurahkan isi hatinya kepada Husna. Mata Husna tidak
berkedip saat melihat keadaan Duya saat itu, tubuhnya kurus, kurus dan
wajahnya murung. Malam itu, seusai shalat Isya, ia tertidur, wajahnya tampak
damai saat tidur dalam cahaya redup. Itu hanya berlangsung beberapa menit
dan rasa kantuknya tidak berkurang, tiba-tiba suaminya membangunkannya
dengan teriakan keras, dia ditarik berdiri dengan kasar, tersandung, menguap
dan mengucek matanya. 

Sudut pandang

Sudut pandang yang digunakan penulis adalah sudut pandang orang ketiga.
Penulis langsung menulis cerpen dengan perspektif yang jelas.  

Gaya bahasa

8
Gaya bahasanya mudah dipahami dan sederhana karena penulis cerpen
melakukan pekerjaan yang baik untuk membuat cerita dapat dipahami oleh
pembaca. 

Amanat 

Melalui cerita ini, penulis ingin mendorong kehati-hatian dalam memilih


pasangan hidup. Tidak hanya mengandalkan pendapat orang lain, kita juga
harus mencari informasi tambahan tentang calon pasangan yang akan kita
nikahi. 

PEMBAHASAN

Berdasarkan cerita pendek karya A.Warist Rovi yang berjudul dosa


seorang istri yang tidur pada pukul 19.00 menceritakan tentang durhaka seorang
istri kepada suami serta derita yang dialami seorang istri yang memiliki suami
pemalas. Dalam perjalanan, di antara belokan jalan dan kilat daun yang dibasuh
embun, pikirannya selalu dibayangi oleh suaminya, surga dan neraka. Duya
mempelajari wajahnya di cermin; lelah dengan butir-butir keringat dengan latar
belakang rambut berantakan yang mengalir di punggung Anda. Sepasang
matanya gelap dan berkedip lemah. Ada gigitan merah yang bagus di lehernya.
Dia merasakan momen ini dengan jari-jarinya yang kurus. Bahunya yang tanpa
tali menunjukkan lengkungan bertulang yang cocok dengan lekukan di bagian
atas pipinya, yang menjadi lebih menonjol. Dia merasa dirinya kehilangan berat
badan. Selain itu, tulang-tulang di dadanya yang hanya ditutupi sarung
menegaskan kewajiban berat seorang wanita yang mau menuruti suaminya.
Adzan subuh terdengar, Duya segera bergegas ke kamar mandi. Tidak hanya dia
seorang pemuda, tetapi dia juga harus pergi bekerja pagi-pagi sekali. Dia
berpaling sejenak kepada suaminya, yang masih tidur; mendengkur, memeluk
bantal. Dia terus menendang gelas yang dingin. 

Pada bagian ini Duya mulai menerima takdirnya yang dinikahi oleh
seorang lelaki pengangguran dan pemalas sehingga ia harus bekerja sendiri.
Wajahnya yang kurus dan berminyak terlihat sedikit lebih terawat sekarang
karena rambutnya diikat menjadi sanggul dengan topi panda bundar yang lebar.
Dia mengabaikan segala sesuatu yang alami, seolah-olah dia secara sadar
menyesuaikannya dengan nasibnya sebagai petani. Ia mengembuskan sisa-sisa
bau keringat yang menempel di bajunya sejak kemarin dalam sebuah lagu hidup
yang penuh makna. Terkadang dia tersenyum, terkadang dia menitikkan air
mata. Suaminya masih mendengkur: "Apakah menjadi istri yang saleh harus
begitu sulit?" Seperti hari-hari sebelumnya, dia selalu dengan sabar
membangunkan suaminya dengan lembut, agar bisa berpamitan dengan baik.

9
Dia tidak bosan atau marah sama sekali, meski tangannya yang kurus terus
menggoyang-goyangkan tubuh suaminya untuk membangunkannya.

Duya telah menikah selama empat tahun, tetapi dia masih belum
memiliki anak dan percaya bahwa tidak mungkin memiliki anak karena
suaminya melarangnya untuk hamil. Pernah dia diam-diam terlambat, tetapi
ketika suaminya mengetahuinya, dia langsung marah dan menyuruh Duya
untuk tidak hamil. Air mata keluar setiap kali dia memikirkannya, meskipun dia
sangat merindukan bayinya. “Aku hanya ingin bermain denganmu di kamarmu
setiap malam, tapi jangan hamil. Jika kamu menolak keinginanku, kamu akan
menjadi istri yang durhaka, kamu akan masuk neraka, ”suaminya selalu
mengatakan bahwa dia mengungkapkan keinginannya untuk memiliki anak.

Berdasarkan hal tersebut, Duya menyimpan semua luka di jiwanya untuk


dirinya sendiri sampai suatu pagi yang tak terduga, setelah tidak bertemu
dengannya selama dua tahun, dia akhirnya bisa mencurahkan isi hatinya kepada
Husna. Mata Husna tidak berkedip saat melihat keadaan Duya saat itu,
tubuhnya kurus, kurus dan wajahnya murung. Husna menghela napas, jarang
menanggapi kata-kata yang keluar dari bibir Duja. Dia tampak terkejut
melihatnya. Husna lebih kaget lagi ketika membicarakan suaminya yang hanya
bekerja karena alasan agama. Saya meminta ramuan jamu setiap malam, tetapi
melarang Duya untuk hamil.

Dia menipu matanya sebelum tertidur merenungkan potret dirinya, yang


menghiasi bingkai emas meja di perutnya; Dia mengenakan gaun putih dan
memegang karangan bunga di dadanya. Pipinya masih lentur dan aura wajah
cantiknya menyungging senyum di balik tirai biru. Itu lima tahun sebelum dia
menikah. Dibandingkan dengan situasi saat ini, itu sangat berbeda. Sekarang dia
seperti selada di tanah berbatu; kurus, tunduk pada larangan, tekanan dan
ancaman suaminya. Semua ini membuat tubuhnya hampir tanpa daging.
Lekukan tulangnya menyerupai akar semak yang menjulur ke beberapa bagian
permukaan kulit dan senada dengan ekspresi wajahnya yang sering terlihat
seadanya, mata terpejam, keruh, dan sering meneteskan cairan bening dengan
suara isak tangis, itu butiran mengalir melalui bibirnya yang kering, jatuh di
tubuhnya yang rata, yang sering bergetar.

Sehari-hari ia habiskan untuk menyelamatkan dirinya dari dosa agar


tidak terjerumus ke dalam api neraka karena suaminya sering mengancamnya
dengan argumen-argumen Arab ia siap membakar tubuhnya di bawah sinar
matahari untuk mencari nafkah bagi suaminya, sementara ia harus untuk
merawatnya di kamar tidur pada malam hari, meskipun terkadang dia berada di
titik puncak kelelahan yang luar biasa. Itu adalah siklus kehidupan yang dia lalui
setiap hari; Sehari di ladang, malam di tempat tidur. Ketika suaminya di rumah

10
saja, dia makan, minum kopi, dan merokok demi mencari pembenaran agama
yang bisa membuatnya tunduk pada keterbatasannya atas nama ketaatan.

Puncak dari cerita pendek ini terdapat pada bagian akhir cerita. Malam
itu, seusai shalat Isya, ia tertidur, wajahnya tampak tenang saat tidur di bawah
cahaya redup. Itu hanya berlangsung beberapa menit dan rasa kantuknya tidak
berkurang, tiba-tiba suaminya membangunkannya dengan teriakan keras, dia
ditarik berdiri dengan kasar, tersandung, menguap dan mengucek matanya. "Ini
malam Jumat. Seorang wanita yang, seperti Anda, tidur jam 7 malam melakukan
dosa besar. Kamu seharusnya menyiapkan jamu dan kemudian menyajikannya
kepadaku di kamar,” mata suaminya membelalak seperti mata singa yang
melompat. “Ayo cepat ke dapur dan buatkan aku jamu. Jangan tidur lagi, ayo
main sampai subuh,” suaminya mengedipkan mata. Duya terhuyung-huyung ke
dapur dari tidur. “Kalau suami hanya minta makan di tempat tidur, tapi tidak
menafkahi istrinya dan menyangkal hamil, bukankah itu juga dosa,” ruh Duya
mulai mendengar gumaman memberontak. Sambil menyiapkan jamu, dia tiba-
tiba teringat obat tidur yang sengaja dia pesan tadi siang untuk suaminya. Dia
mencampurnya dengan campuran herbal. "Selamat malam, sialan!" kata Duya
lembut. 

KESIMPULAN

Kritik obyektif cerpen Dosa seorang istri yang tidur pada pukul 19.00,
yaitu tema, judul, tokoh dan penokohan, latar, alur, sudut pandang, gaya bahasa
dan pesan. Tokoh Duya adalah tokoh protagonis yang mengalami kekejaman
suaminya yang membuat tubuhnya semakin kurus. Suaminya tidak mendukung
Duya, dia harus bekerja keras di ladang. Suami Duya tidak punya pekerjaan dan
hanya mengandalkan Duya. Itulah sebabnya Duya yang lelah dengan keadaan
akhirnya memberanikan diri untuk tidak menuruti perintah suaminya, terlepas
dari neraka yang menantinya. Dengan latar para wanita desa, penulis
menyajikan cerita yang sangat menarik dan mudah dipahami oleh para
pembaca. 

REFERENSI

Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Bandung: Pustaka
Jaya.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra
Indonesia Modern. Yogyakarta: Lukman

11
Endraswara, S. (2013). Teori kritik sastra. Media Pressindo.

Ardhian, M. I., Safira, S. D., Lubis, F., & Simanjuntak, E. E. (2021). ANALISIS
NOVEL “MONEY!” Karya t. Andar dengan pendekatan objektif teori mh
abrams. Linguistik: Jurnal Bahasa dan Sastra, 6(2), 311-319.

Ardianti, S. (2022). Analisis unsur intrinsik novel" serendipity" karya erisca


febriani menggunakan pendekatan objektif. Ta'rim: Jurnal Pendidikan dan
Anak Usia Dini, 3(3), 106-112.

Anggraini, S., & Devi, W. S. (2023). Analisis naskah drama “bapak” karya
bambang soelarto menggunakan pendekatan objektif. Jurnal
Komposisi, 7(1), 15-21.

Judul : Dosa Seorang Istri yang Tidur pada Pukul 19.00

Karya : A. Warits Rovi

“Dosa Seorang Istri yang Tidur pada Pukul 19.00”

Sepanjang perjalanan, di antara liku jalan dan kilat daun berkeramas


embun, pikirannya selalu dibayang-bayangi tentang suami, surga dan neraka.

Duya mematut wajahnya di cermin; lelah berparam butir keringat dengan


latar rambut acak tergerai ke punggung. Sepasang matanya redup dan berkedip
lemah. Di lehernya ada bekas gigitan halus warna merah. Sebentar ia raba
dengan jemarinya yang kurus. Bahunya yang tanpa lilitan tali kutang
menampakkan lekukan tulang, senada dengan tonjolan di bagian atas pipinya
yang kian menonjol. Ia merasa dirinya semakin kurus. Tulang-tulang di bagian
atas dadanya yang hanya tertutup sarung juga demikian, menegaskan tugas
berat seorang istri yang berusaha taat pada suami.

Azan subuh terdengar, Duya lekas gegas ke kamar mandi. Karena selain
junub, ia juga harus pergi bekerja pagi-pagi. Sepintas ia menoleh ke arah
suaminya yang masih tidur; mendengkur, memeluk bantal. Ia lanjut melangkah
melawan irisan dingin.

Selesai salat Subuh, tas tua penuh sobekan yang terbuat dari anyaman
lidi siwalan telah ia sesaki dengan peralatan kerjanya. Ada sabit, kapak, batu
pengasah, sarung tangan, tali rafia juga sebotol kopi dan camilan. Lalu ia
mengikat tas lusuh itu di bagian belakang sepeda ontelnya yang penyok penuh
karat.

12
Sebentar ia kembali ke depan cermin. Mematut wajahnya kembali.
Wajahnya yang tirus berminyak, kini sedikit rapi karena rambutnya tersanggul
dalam balutan capil pandan yang bundar lebar. Tubuhnya tanpa lipstik dan
parfum. Ia abaikan semuanya alami seolah sengaja diserasikan dengan nasibnya
sebagai buruh tani. Sisa bau keringat yang sejak kemarin lekat di bajunya ia hidu
sebagai lagu hidup penuh makna. Kadang ia tersenyum, kadang meneteskan air
mata. Suaminya masih mendengkur.”Harus sekeras inikah untuk menjadi istri
yang salehah?” gumamnya perih.

Sebagaimana hari-hari sebelumnya, ia senantiasa sabar membangunkan


suaminya dengan lembut agar bisa pamit dengan baik. Ia tak bosan dan tak
sedikit pun marah meski tangan kurusnya harus berkali-kali mengguncang
tubuh suaminya agar bisa bangun. Ia tetap tersenyum meski kadang dibentak
oleh suaminya.

Setelah suaminya bangun meski masih berbaring dan matanya setengah


terbuka ia lalu mencium punggung tangan suaminya itu. Kemudian pamit untuk
berangkat. Suaminya menjawab dengan suara serak sambil menguap karena
mengantuk, kadang menggeliat seperti tak ada keinginan untuk membuka mata.

”Jangan lupa hari ini kamu harus pulang lebih siang, karena nanti malam
Jumat,” suaminya melirik dengan tatap yang didera ngantuk. Duya tak
menjawab, hanya melempar senyum dari balik capil daun pandan yang
membuat wajahnya hanya bisa dilihat sebatas alis.

”Apa bahan-bahan jamuku sudah kau persiapkan? Telur, madu, pinang muda,
dan jahe,” suara suaminya kembali seperti orang mabuk, matanya terpejam dan
mulai memeluk guling.

”Sudah siap, Mas,” ia menoleh ke arah suaminya, mengaduk beragam rasa


antara malu, lucu, dan diam-diam sedikit enek.

”Bagus. Seorang istri kalau mau masuk surga dan selamat dari neraka ya harus
begitu, harus taat kepada suaminya,” sambung suaminya masih dalam keadaan
merem. Duya hanya tersenyum kecut, tangannya pelan mulai menuntun sepeda
ontelnya ke arah pintu.

Sebentar ia menoleh, suaminya sudah erat memeluk guling dan samar-


samar mendengkur kembali. Ia menggeleng, lalu dengan seucap Basmalah,
mulai mengayuh sepedanya, menembus jalan kampung yang masih gelap. Rasa
dingin semakin menusuk, serasa tandas hingga tulangnya. Sepanjang perjalanan,
di antara liku jalan dan kilat daun berkeramas embun, pikirannya selalu
dibayang-bayangi tentang suami, surga dan neraka. Ia merasa seorang istri tak
berhak menolak dan menyanggah bahkan sekadar bertanya pun tak boleh saat ia

13
sudah berhadap-hadapan dengan suami. Sebab, seolah neraka berada di balik
punggung setiap istri.

Suami Duya merupakan lelaki pilihan almarhum ayahnya. Hanya dia


yang diterima oleh ayahnya dari sekian lelaki yang datang melamar. Kata
ayahnya, lelaki itu orang yang pandai ilmu agama, ia bakal menyelamatkan
keluarga dari api neraka. Saat itu, sebenarnya Duya masih kurang berkeinginan
untuk berumah tangga, karena masih belia dan ingin menikmati masa remajanya
dengan belajar. Tapi, ayahnya tetap bersikeras untuk segera menikahkan dia
dengan lelaki itu, ayahnya takut si lelaki itu mundur dan menikah dengan gadis
lain.

Ayahnya kemudian minta tolong kepada Husna, teman karib Duya,


supaya membujuk  Duya agar segera menikah dengan lelaki itu. Husna
melaksanakan tugas itu dengan segera. Ia bercerita tentang pernikahan yang
akan mendatangkan banyak keindahan di dunia dan kelak di akhirat. Bujukan
itu tak cukup hanya sekali, Husna selalu mengulanginya setiap kali bertemu
dengannya dalam waktu kurang lebih setengah bulan. Hingga suatu hari, ia
terpikat dengan bujukan itu, terlebih ketika Husna mengatakan bahwa
pernikahan itu adalah ladang ibadah yang memungkinkan seorang wanita bisa
mudah masuk surga.

Sudah empat tahun Duya menjalin rumah tangga, tapi masih belum
punya keturunan dan ia berpikir tak mungkin akan punya keturunan, sebab
suaminya melarangnya hamil. Ia selalu disuruh minum pil kontrasepsi secara
rutin. Suatu ketika, ia diam-diam pernah telat, tapi saat suaminya tahu, ia
langsung marah dan menyuruh Duya supaya tidak sampai hamil. Tangisnya
selalu pecah setiap mengingat hal itu, padahal dirinya sangat mendamba
seorang anak. Ia ingin rumahnya ramai dengan suara anak-anak seperti rumah
Husna.

”Aku hanya ingin bermain denganmu di kamar setiap malam, tapi jangan
sampai kamu hamil. Jika keinginanku ini kau tolak, maka kamu akan jadi istri
yang durhaka, akan masuk neraka,” suaminya selalu berkata demikian setiap ia
mengutarakan keinginannya untuk punya anak.

Duya memendam segala luka jiwanya sendirian, hingga di suatu pagi


yang tak disangka, setelah dua tahun tidak bertemu, ia akhirnya bisa
mencurahkan isi hatinya kepada Husna. Sepasang mata Husna tak berkedip saat
pertama kali melihat keadaan Duya saat itu, tubuhnya kurus, tirus dan berwajah
muram.

Husna menganga, jarang merespons kata-kata yang tercurah dari bibir


Duya, ia seperti terkejut melihatnya. Husna semakin heran setelah ia bercerita
tentang suaminya yang tidak bekerja kecuali hanya mengumbar dalil-dalil

14
agama. Minta jatah tiap malam lengkap dengan racikan jamunya, tapi melarang
Duya hamil.

”Begitukah keindahan atau ladang ibadah yang kau maksud dulu, Hus?” tanya
Duya dengan suara serak.

Sebentar ia kembali ke depan cermin. Mematut wajahnya kembali. Wajahnya


yang tirus berminyak, kini sedikit rapi karena rambutnya tersanggul dalam
balutan capil pandan yang bundar lebar.

Husna mengernyitkan dahi dan menelan ludahnya spontan, ia baru sadar


jika dari tadi dirinya tercengang. Sebelum menjawab, Husna memeluknya begitu
erat seraya menangis. Telapak tangan Husna mengelus punggungnya dengan
lembut. Ia tidak menyangka teman karibnya itu akan mengalami nasib seburuk
itu. Ia lalu bercerita kehidupan diri dan suaminya, tepatnya bagaimana
pernikahan yang sesungguhnya, tugas pokok seorang suami yang sebenarnya.
Duya menyimak penjelasan Husna dengan tatap tajam, tapi butiran air dingin
terus merembes dari sudut matanya yang cekung.

”Jika suami menafkahi istri secara baik, barulah istri berdosa jika ia tidak mau
ketika diajak ke kamar oleh suaminya. Tapi jika suami tidak menafkahi, aku rasa
istri berhak menolak,” kedua telapak tangan Husna mengelus pipi Duya. Husna
berusaha menembakkan senyum. Tapi Duya merespons senyum itu dengan
cucuran air mata.

Di balik mukena, mata Duya yang mengantuk berusaha tidak terpejam


demi menunggu waktu Isya tiba. Seharian bekerja di ladang membuat tubuhnya
begitu lelah. Ia menyiasati sepasang matanya supaya tidak terlelap dengan
memandangi potret dirinya yang terpampang dalam perut pigura kuning emas
di atas meja; ia bergaun putih, kedua tangannya mendekap serumpun bunga di
dada. Pipinya masih kenyal dengan aura wajah jelita menganyam sebentuk
senyum di balik kerudung biru.

Itu potret lima tahun lalu, sebelum ia menikah. Bila dibandingkan dengan
keadaannya saat ini, jauh sangat berbeda. Kini, dirinya serupa sulur kangkung di
tanah cadas; kurus, terlunta dengan segala kekang, tekanan dan ancaman
suaminya. Semua itu membuat tubuhnya nyaris tak berdaging. Lekuk tulangnya
menyerupai akar belukar yang menonjol ke beberapa bagian permukaan kulit,
serasi dengan raut wajahnya yang sering terlihat muram, bermata cekung, redup
dan kerap membutirkan cairan bening beserta suara isak, butiran itu melilntas di
bibirnya yang kering, berjatuhan ke datar tubuhnya yang sering gemetar.

Kesehariannya ia gunakan untuk menyelamatkan diri dari dosa, agar


tidak terjerumus ke dalam api neraka—sebagaimana yang sering dijadikan
bahan ancaman oleh suaminya dengan dalil-dalil berbahasa Arab—ia rela

15
memanggang tubuhnya di bawah matahari demi mengais rezeki untuk suami,
sedang di malam hari harus melayani suaminya dalam kamar tidur meski
kadang dalam puncak lelah yang mencekik. Begitulah siklus hidup yang ia jalani
setiap hari; siang di ladang, malam di ranjang. Sedang suaminya hanya di
rumah, makan, minum kopi, dan merokok seraya terus mencari dalil-dalil agama
yang bisa menjerat dia supaya takluk dalam kekangannya atas nama ketaatan.

Malam itu, sesudah salat Isya ia tertidur, wajahnya terlihat tenang dalam
lelap, ditimpa cahaya lampu yang agak redup. Hanya beberapa menit dan belum
mengurangi rasa ngantuknya sedikit pun, tiba-tiba suaminya
membangunkannya dengan kasar sambil membentak-bentak, ia ditarik paksa
hingga berdiri tergopoh, menguap dan mengucek-ngucek mata.

”Ini malam Jumat. Seorang istri yang tidur pada pukul 19.00 sepertimu akan
mendapat dosa besar. Mestinya kau meracik jamu lalu melayaniku di dalam
kamar,” sepasang mata suaminya terbelalak laiknya singa hendak menerkam.

”Ayo cepat ke dapur, buatkan aku jamu. Nanti jangan tidur lagi, kita akan
bermain hingga dini hari,” suaminya mengedipkan sebelah mata.

Duya melangkah tertatih ke arah dapur dengan rasa kantuk yang


mendera. Berkali-kali ia menguap. ”Jika suami hanya minta jatah di kasur, tapi
tidak menafkahi istri dan melarang hamil, apa itu juga tidak berdosa,” pikiran
Duya mulai memantikkan gumam pemberontakan.

Saat menyeduh jamu, tiba-tiba ia teringat dengan pil tidur yang sengaja ia pesan
kepada temannya tadi siang. Ia mencampurnya dengan racikan jamu itu.

”Selamat tidur wahai nerakaku!” ucap Duya lirih.

16

Anda mungkin juga menyukai