Anda di halaman 1dari 10

MAKNA PUISI ZĀYID WA HUWA ZĀYID DALAM ANTOLOGI PUISI ‘ALĪ

MUṢABAH AL-KINDĪAL-MARAR : ANALISIS SEMIOTIK RIFATERRE

Proposal Penelitian

Diajukan Oleh:

Ariq Maulana Nawiruddin


NIM:21/479755/SA/21069

PROGRAM STUDI SASTRA ARAB


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2023
BAB I

PENGANTAR

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra adalah suatu bentuk ekspresi secara tidak langsung, dalam
menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak langsung tetapi dengan cara lain (Pradopo,
2010). Jika dalam komunikasi lisan, keseharian penutur umumnya mengutamakan
kejelasan isi tuturan, berbeda dalam komunikasi sastra (bahasa teks) pengarang justru
menyampaikan isi tuturan secara implisit. Maka dari itu karya sastra sulit dipahami oleh
masyarakat awam, hal ini disebabkan pilihan kata - kata yang digunakan pengarang
seringkali berpeluang pada terjadinya penafsiran yang lebih beragam.

Karya sastra merupakan sistem tanda yang lebih tinggi daripada bahasa, maka
disebut sistem semiotik tingkat kedua. Jadi, arti sastra adalah meaning of meaning (arti
dari arti, makna) yang didasarkan pada konvensi sastra. Salah satu genre karya sastra
yang memanfaatkan kekuatan bahasa sebagai sebuah tanda adalah puisi. Puisi merupakan
karya estetis yang bermakna, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna (Pradopo,
2017:3). Puisi senantiasa berbicara mengenai sesuatu secara tidak langsung dengan
menyembunyikannya ke dalam suatu tanda (Ratih, 2016:5). Adapun tanda merupakan
sesuatu yang mengatakan hal yang lain dari dirinya sendiri (Ratna, 2011:112).

Tanda banyak dijumpai dalam karya sastra, salah satunya puisi. Dalam tradisi
sastra Arab, puisi adalah suatu genre sastra Arab yang paling tua dan paling kuat sebagai
suatu media kesadaran estetis bangsa Arab (Dardiri, 2011:284). Sastra Arab, sebagai
entitas budaya, mencerminkan pikiran dan perasaan bangsa Arab dengan segala kelebihan
dan kekurangannya. Puisi adalah bentuk dominan karya bangsa Arab yang secara spesifik
membedakannya dengan bangsa lain. Puisi Arab lebih memiliki fungsi sosial daripada
individual karena kehadiran audiens dipertimbangkan di dalamnya, terlebih kabilah yang
menjadi asal daerah sang penyair (Manshur, 2007:1). Perkembangan puisi Arab dibagi
menjadi beberapa periode, yakni zaman Pra- Islam (500-622), zaman permulaan Islam
dan Umayyah (622-750), zaman Abbasiyah (750-1258), zaman Mamluk (1258-1516),
zaman Ottoman (1516- 1798), dan zaman Modern (1798-sekarang).

Puisi sanjungan atau madh, merupakan salah satu genre puisi yang paling
menonjol dalam sejarah perpuisian Arab dan pernah mencapai masa puncak
kegemilangannya selama periode permulaan Dinasti Umayyah yang ditandai dengan
kuantitas produksinya kala itu (Syahid, 1986. 535). Puisi, khususnya genre madh pernah
mengalami penurunan intensitas produksi selama periode permulaan Islam dibandingkan
masa jahiliyah. Para penyair jahiliyah yang baru masuk islam kala itu menjadi lebih awas
bahkan terkesan menjadi terlalu berhati-hati dalam menggubah karya sebagaimana yang
dialami oleh Labid bin Rabi'ah (Montgomery, 1996: 56). Kondisi ini berlangsung kurang
lebih hingga berakhirnya masa kepemerintahan Ali bin Abi Thalib yang merupakan
khalifah keempat dari kepemimpinan al-khulafa'u al-rāsvidūn.

Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk membahas puisi madh di era milenial
dengan pendekatan semiotika Riffaterre dalam penelitian ini karena ketertarikan penulis
terhadap analisis pemaknaan dan tanda, serta faktor-faktor yang memengaruhi teks
tersebut. Fokus penelitian ini adalah pada ketidaklangsungan ekspresi dalam puisi yang
timbul akibat penggantian arti, penyimpangan arti, dan proses penciptaan makna. Pilihan
jatuh pada puisi Zāyid Wa Huwa Zāyid karya ‘Alī Muṡabah Al-Kindī Al-Marar karena
karya ini mengisahkan tentang pujian atau madh terhadap penguasa negara Persatuan
Emirat Arab saat itu yaitu Syekh Zāyid Al-Nahyan.

1.2 Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti mengambil beberapa rumusan masalah


yang dapat diambil di penelitian ini, sebagai berikut:
1. Apakah terdapat ketidaklangsungan makna dalam puisi Zāyid Wa Huwa Zāyid
karya ‘Alī Muṡabah Al-Kindī Al-Marar ?
1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan penelitian yang sudah ditulis oleh peneliti, maka tujuan
penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Mengkaji puisi Zāyid Wa Huwa Zāyid karya ‘Alī Muṡabah Al-Kindī Al-Marar
dengan pendekatan semiotika Riffaterre, dalam menjelaskan ketidaklangsungan makna
yang terkandung pada puisi tersebut.

1.4 Tinjauan Pustaka

Beberapa kajian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu serta memiliki
relevansi pada penelitian ini yaitu mengenai ketidaklangsungan makna, yang mana
penelitian terdahulu sudah sering dilakukan oleh beberapa peneliti sebagai berikut:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Riza Rahman yang berjudul
“Signifikansi Puisi A Lastum Khaira Man Rakiba Al-Mataya Dalam Diwan Jarir: Analisis
Semiotika Riffaterre” pada tahun 2023. Penelitian ini mendeskripsikan pembacaan
heuristik, hermeneutik dan dideskripsikan dengan matriks, model, varian dan hipogram
dalam puisi A Lastum Khaira Man Rakiba al-Matay. Penelitian ini fokus pada interpretasi
menyeluruh terhadap puisi dengan tujuan mengungkap makna dan kode simbolik yang
terkait dengan pujian dan sanjungan terhadap sosok yang dipuji, yaitu al-mamduh, sesuai
dengan konvensi sastra pada waktu penelitian. Sebagaimana umumnya puisi yang sarat
dengan tanda dan konvensi sastrawi, pendekatan semiotik Michael Riffaterre, yang
dijelaskan dalam karyanya "Semiotics of Poetry," digunakan dalam penelitian ini. Teori
ini bertujuan untuk menganalisis tanda-tanda dalam karya puisi melalui identifikasi
ungkapan-ungkapan yang mengandung ketidaklangsungan ekspresi.
Pendekatan semiotik diterapkan melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik,
identifikasi matriks-model-varian puisi, serta penelusuran hubungan intertekstual dalam
puisi untuk mengungkap hipogram puisi. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa puisi "A
Lastum Khaira Man Rakiba al-Mataya" memuat pujian dan sanjungan dengan nuansa
politis. Pada satu sisi, puisi ini berusaha meningkatkan status Khalifah di mata rakyat
dengan memuji melalui simbol-simbol borjuis seperti kendaraan mewah dan nasab yang
tinggi. Namun, di sisi lain, puisi ini ditujukan sebagai sarana untuk meminta atau istijda.
Analisis ini diperkuat oleh isi hipogram puisi, yaitu "Ayyu ar-Rijali al-Muhazzabu" karya
penyair mukhadram, an-Nabigah az-Zubyaniy.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Sindy Amanda yang berjudul Makna Puisi
Fajrani Dalam Antologi Puisi Min Ardi Bilqis Karya Abdullah Al-Baradduni : Analisis
Semiotik Riffaterre pada tahun 2022. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan
makna dalam puisi dengan menggunakan teori semiotik sebagai pendekatan khusus.
Dalam penelitian ini, digunakan dua langkah dari empat langkah yang diajukan oleh
Riffaterre, yaitu ketidaklangsungan ekspresi dan pembacaan semiotik yang terdiri dari
pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik. Analisis ketidaklangsungan ekspresi
dilakukan bersamaan dengan pembacaan hermeneutik untuk menetapkan makna dalam
puisi Fajrani. Hasil analisis menunjukkan bahwa puisi tersebut menggambarkan
perjalanan hidup Nabi Muhammad, keistimewaan-keistimewaan yang dimilikinya, dan
perjuangannya dalam menyampaikan ajaran Islam. Puisi ini terdiri dari lima bagian, yang
masing-masing mengungkapkan kondisi bangsa Arab sebelum kelahiran Nabi
Muhammad, sambutan kegembiraan atas kelahirannya, keadaan penduduk Makkah,
kebaikan dan kemuliaan Nabi Muhammad dari kecil hingga masa kenabiannya,
perjalanan dakwahnya, serta pujian dan harapan dari penyair dalam bagian terakhir.

1.5 Landasan Teori

Puisi merupakan suatu karya sastra dapat dikaji dari berbagai segi aspek-aspeknya.
Puisi sendiri dapat dikaji dengan melihat struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa
puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana
kepuitisan. Lalu, puisi juga dapat dikaji dengan melihat jenis-jenis atau ragam-
ragamnya, mengingat bahwa ada beragam-ragam puisi. Begitu juga, puisi dapat dikaji
dari segi sejarahannya, karena dalam sejarah hidup manusia puisi selalu ditulis dan
dibaca orang. Hal ini sesuai dengan pendapat Pradopo (2010) dimana Sepanjang zaman
puisi selalu mengalami perubahan, perkembangan.
Waluyo (1991) memaparkan bahwa puisi adalah karya sastra, dan semua karya sastra
bersifat imajinatif. Bahasa sastra sendiri bersifat konotatif karena yang banyak
digunakan berupa makna kias dan makna lambang (majas). Apabila disandingkan
dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi cenderung lebih bersifat konotatif. Bahasa
dalam puisi lebih memiliki banyak kemungkinan makna dan tafsiran. Hal ini disebabkan
oleh pemadatan atau lebih dikonsentrasikannya segenap kekuatan bahasa di dalam puisi.
Struktur fisik dan struktur batin puisi juga padat. Struktur fisik puisi adalah unsur
yang membangun dari segi fisik atau tampilan puisi tersebut, sedangkan struktur batin
puisi adalah makna yang terkandung dalam puisi. Waluyo (1987) mengungkapkan
bahwa struktur fisik puisi terdiri atas diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif
(majas), versifikasi (rima, ritma, metrum) dan tata wajah (tipografi). Sedangkan struktur
batin puisi atau sering juga disebut hakikat puisi terdiri atas tema, nada, suasana,
perasaan, dan amanat.
Berdasarkan beberapa definisi sastra diatas, disimpulkan bahwa sastra adalah bentuk
kreatif yang dihasilkan melalui seni rasa dan perasaan pengarang yang menggunakan
bahasa sebagai perantaran dalam memberi pemahaman lebih kepada orang lain agar
menjadi petunjuk atas pengetahuan sosial (Juanda, J: 2013). Dalam sebuah lingkungan
pasti ada beberapa tanda yang menandakan suatu kejadian yang terrjadi dalam sebuah
lingkungan. Untuk mengurangi perilaku dan masalah psikologis seperti motivasi rendah,
stres dan kecemasan dalam proses pembelajaran bahasa, yang berpotensi berkontribusi
pada rendahnya prestasi, perlu adanya pembelajaran dan lingkungan. (Djumingin dan
Juanda 2019).
Pradopo (2018) menyebutkan bahwa secara teoritis bahwa semiotika merupakan
pengembangan lebih lanjut dari teori struktural. Semiotik sendiri merupakan ilmu yang
mempelajari tanda-tanda sebagai fenomena. Jika dikaitkan dengan karya sastra maka
bahasalah yang menjadi tanda dengan kandungan makna didalamnya. Hal ini sendiri
sesuai dengan pernyataan Teeuw (2013) bahwa dalam bahasa terdapat suatu sistem tanda
yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Lebih spesifik Pradopo (2018)
menyatakan bahwa, penanda dapat berarti sebagai bentuk formal dari suatu petanda,
Adapun petanda merupakan makna atau penjabaran dari penanda. Tanda hal ini memiliki
beberapa macam diantaranya ikon, indeks dan simbol.
Karya sastra yang merupakan seni yang menggunakan bahasa sebagai medium. Hal
ini dikarenakan suatu bahasa sudah memiliki konvensinya sendiri atau tata auran yang
sudah mandiri. Terdapat suatu keterkaitan antara bahasa dan karya sastra, hal ini
dikarenakan pada dasarnya bahasa dalam karya sastra dapat dikatakan sebagai simbol
yang dihadirkan dengan makna-maknanya. Yang kemudian bahasa dapat disebut sebagai
sistem semiotik tingkat pertama (first order semiotics) dan sastra yang juga memiliki
konvensinya sendiri disebut sebagai tingkatan kedua (second order semiotics) dalam
sistem semiotik. Hal ini dapat merumuskan suatu pemakanaan dimana pada tingkat
pertama disebut dengan makna, dan pada tingkat kedua disebut dengan makna dari
makna (significance).
Semiotik sendiri terbagi menjadi dua jenis semiotika, yaitu semiotik komunikasi dan
semiotik signifikasi. Semiotik komunikasi lebih memfokuskan pada teori produksi
tanda, sedangkan semiotik signifikasi menekankan pemahaman, dan atau pemberian
makna, suatu tanda. Produksi tanda dalam semiotik komunikasi, menurut Nurgiyantoro,
(2010) mensyaratkan adanya pengirim informasi, penerima informasi, sumber, tanda-
tanda, saluran, proses pembacaan, dan kode. Semiotik signifikasi, di pihak lain, tidak
mempersoalkan produksi dan tujuan komunikasi, melainkan menekankan bidang
kajiannya pada segi pemahaman tanda-tanda serta bagaimana proses interpretasinya.
Berdasarakan kenyataan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem, mengandung arti
bahwa ia terdiri dari sejumlah unsur, dan tiap unsur itu saling berhubungan secara teratur
dan berfungsi sesuai dengan kaidah, sehingga ia dapat dipakai untuk berkomunikasi.

1.6 Metode Penelitian

Metode Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan semiotik


Riffaterre. Penelitian ini mendeskripsikan pembacaan heuristik, hermeneutik dan
dideskripsikan dengan matriks, model, varian dan hipogram dalam puisi Zāyid Wa Huwa
Zāyid karya ‘Alī Muṡabah Al-Kindī Al-Marar Salah satu bentuk prosedur penelitian
kualitatif ini melibatkan penulis dalam penelitian (Eko dan Andayani, 2019). Jenis
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sumber data berupa data primer dan
sekunder, data primer berupa bait atau baris dalam puisi Zayid wa huwa zayid karya Ali
Musabah Al-Kindi Al-Marar. Sumber data berupa teks puisi yang terdiri dari 18 bait .
Data sekunder berupa buku pustaka yang relevan menunjang Penelitian.
Teknik pengumpulan data dengan pengamatan, pembacaan heuristik, hermeneutik
(Pradopo, 2003). Pengamatan dengan cara membaca puisi bahasa Arab kemudian
diterjemahkan kedalam bahasa indonesia dilakukan dengan teliti dan cermat untuk
mendapatkan data sesuai yang diinginkan. Analisis data dilakukan dengan memahami
puisi yang memiliki ketidaklangsungan bahasa yang akan terjadi penyimpangan arti,
penggantian arti dan penciptaan arti. Kemudian, pembacaan heuristik yang dilakukan
untuk menghasilkan arti secara keseluruhan sesuai dengan tata bahasa dan pembacaan
hermeneutik yang merupakan bentuk penafsiran. Pembacaan selanjutnya untuk
memperdalam penelitian yaitu mendalami tema masalah dengan mencari matriks, model
dan varian-variannya.
Matriks merupakan kata kunci dalam menafsirkan puisi yang dikonkretisasikan.
Lebih lanjut matriks dibentuk kedalam model dalam teks puisi. Model sendiri merupakan
kata atau kalimat yang dapat mewakili bait puisi. Yang kemudian model tersebut
dinyatakan dalam varian-varian yang terdapat dalam bait. Dapat disimpulkan bahwa puisi
merupakan pengembangan dari matrik menjadi model yang ditransformasi kedalam
varian-varian (Pradopo, 2008). Penyajian data dilakukan dengan penarikan kesimpulan
dengan mendeskripsikan hasil dari penerapan teori semiotik Riffatere berupa kata,
kalimat dan paragraf secara sistematis, faktual dan akurat. Selain itu, teknik pengumpulan
data dilakukan validitas semantik dengan membaca dan meneliti secara berulangulang
terhadap puisi dan hasil yang relevan dengan teori yang digunakan yaitu teori Rifaterre

1.7 Organisasi Penyajian

Sistematika Penyajian dalam laporan penelitian ini akan diuraikan dalam empat
bab. Bab I berisi mengenai pengantar laporan penelitian yang mencakup latar belakang,
masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,
metode penelitian, dan organisasi penyajian. Bab II berisi tentang puisi Zāyid Wa Huwa
Zāyid karya ‘Alī Muṡabah Al-Kindī Al-Marar dan analisis unsur intrinsik puisi. Bab III
berisi tentang pembahasan analisis ketidaklangsungan makna yang terkandung dalam
puisi Zāyid Wa Huwa Zāyid . Bab IV berisi tentang simpulan hasil penelitian.

DAFTAR RUJUKAN

Amanda, S. 2022. Makna Puisi Fajrani Dalam Antologi Puisi Min Ardi Bilqis Karya
Abdullah Al-Baradduni: Analisis Semiotik Riffaterre (Skripsi, Universitas
Gadjah Mada).
Dardiri, Taufik Ahmad. 2015. Perkembangan Puisi Arab Modern. Yogyakarta: Suka
Press.
Juanda, J. 2013. Education Value And Folkloer Culture Pau-Pau Rikadoang Princess
Taddamplle. Jurnal of Humanity, 1(1),.
Kodrat Eko, Andayani. Strategi Ampuh Memahami Makna Puisi: Teori Semiotika
Michael Riffaterre dan Penerapannya, (Bandung: Eduvision, 2019).
Manshur, F. M. 2007. Sejarah Perkembangan Kesusastraan Arab Klasik Dan Modern.‖
In Seminar Lntemasional Bahasa Arab Dan Sastra Islam: Persoalan Metode Dan
Perkembangannya, 1–25. Bandung: Ittihadu Mudarrisi Lughah Arabiyyah.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010 (Cet. ke-8). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press
Pradopo, Rachmat Djoko. 1999. Semiotika: Teori, metode, dan penerapannya dalam
pemaknaan sastra. Humaniora 11(1), pp. 76-84.
__________ 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
___________. 2010. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktual
dan Semiotik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
__________ 2018. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Rahman, Riza. 2023. Signifikansi Puisi A Lastum Khaira Man Rakiba Al-Mataya
Dalam Diwan Jarir: Analisis Semiotika Riffaterre (Thesis, Universitas Gadjah
Mada).
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. London: Indiana of University Press.

Syahid, Irfan. 1986. Arabic Literature to The End of Umayyad Period. JSTOR:
Journal of the American Oriental Study, Vol. 106, no.3.

Trabaut, Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
____________________ 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga
Teeuw, A. 2013. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya

Anda mungkin juga menyukai