BAB 1
PENDAHULUAN
Ketidaklangsungan Ekspresi
1. Penggantian arti, menggunakan peribahasa
2. Penyimpangan arti, terdapat ambiguitas atau memilik makna ganda, kontradisksi atau gaya
bahasa yang bertentangan, dan nonsen atau kata yang tidak memiliki arti.
3. Penciptaan arti, terdapat tipografi atau perwajahan puisi, enjambemen atau peloncatan baris,
dan homoluques atau persejajaran kata.
Matriks
Riffaterre dalam Pradopo menjelaskan bahwa memahami sebuah puisi sama dengan
melihat sebuah donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang berfungsi untuk menunjang
dan menopang terciptanya daging donat di sekeliling ruang kosong itu. Dalam puisi, ruang
kosong ini merupakan pusat pemaknaan yang disebut dengan matriks. Matriks tidak hadir dalam
sebuah teks, namun aktualisasi dari matriks itu dapat hadir dalam sebuah teks yang disebut
model. Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase. Aktualisasi pertama dari matriks
adalah model. Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis.
Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam
puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogramatik dan karenanya monumental.
Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model, dapat dikatakan bahwa matriks merupakan
motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu. Dalam
praktiknya, matriks yang dimaksud senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang
berurutan. Bentuk varian itu ditentukan oleh model.
Oleh karena itu memberi makna pada puisi itu adalah mencari tanda-tanda yang
memungkinkan timbulnya makna pada puisi (Pradopo, 2002; 124). Dengan uraian di atas, maka
dalam analisis puisi terutama dicari tanda-tanda kebahasaan kemudaian setelah itu menganalisis
tanda-tanda tambahan yang lain yang merupakan konvensi tambahan dalam puisi.
Di konvensi-konvensi tambahan itu adalah konvensi bahas kiasan (symbolic
extrapolation) yang dikemukakan oleh M. Riffatrre (dalam Pradopo, 2002;210), yaitu
merupakan konvensi tambahan puisi bahwa puisi itu menyatakan pengetian-pengertian atau hal-
hal secara tidak langsung, yaitu menyatakan sesuatu hal dean berarti yang lain. Dengan demikian
itu, bahas puisi memberikan makna lain dari pada bahasa biasa.
Puisi sebagai bentuk ketidaklangsungan ekpresi Menurut M. Riffaterre, dalam semiotik
untuk membentuk sebuah tanda atau memaknai sebuah tanda terdapat konvensi bahasa, sastra
dan budaya. Puisi secara semiotik telah dikemukakan merupakan struktur tanda-tanda yang
bersistem dan bermakna ditentukan oleh konvensi apa yang memungkinkan karya sastra
mempunyai makna. Konvensi tambahan adalah konvensi sastra diluar konvensi kebahasaan yaitu
menggunakan ketidaklangsungan ekspresi.
1. Membaca cerpen puisi “Wanita-wanitaku” karya W.S Rendra dan puisi “Wanita Cantik
Sekali Di Multazam” karya Mustafa Bisri dengan sering dan berkali-kali;
2. Memperoleh data dengan membaca dan memahami puisi sampai pada akhirnya dapat
menemukan permasalahan;
3. Mengklasifikasi data yang terkait dengan unsur-unsur kajian;
4. Menemukan heuristik, hermeneutik, dan hubungan intertekstualitasnya antara puisi
“Wanita-wanitaku” karya W.S Rendra dan puisi “Wanita Cantik Sekali Di Multazam”
karya Mustafa Bisri
5. Membuat kesimpulan penelitian.
Sumber dari semua data yang terdapat dalam penelitian ini puisi “Wanita-wanitaku” karya
W.S Rendra dan puisi “Wanita Cantik Sekali Di Multazam” karya Mustafa bisri.
BAB II
ANALISIS PENDEKATAN SEMIOTIK
Puisi “Wanita-wanitaku”
Ketidaklangsungan Ekspresi
Ketidaklangsungan ekspresi yang terdapat pada puisi, menurut Riffaterre (dalam
Pradopo, 2002;282) disebabkan oleh tiga hal : (1) penggantian arti, (2) penyimpangan arti, (3)
penciptaan arti.
Penggantian Arti
Ekpresivitas penggantian arti dalam puisi ini terdapat dalam bait pertama, ditemukan kata
“gerimis menampar mukaku” adalah personifikasi. Rasa sakit yang dirasakan oleh si lelaki
karena ditinggal pergi oleh si wanita digambarkan oleh si penyair dengan kata “gerimis
menampar mukaku” penyair menampilkan bahwa sakit yang diderita si lelaki sama ketika
butiran gerimis mulai jatuh menimpa wajahnya.
Dalam sajak ini ada koherensi antara pilihan kata-katanya dan kiasan, yang semuanya itu
memberikan dan memperkuat suasana keindahan si lelaki dengan perginya wanita yang
digambarkannya itu.
Penyimpangan Arti
1. Ambiguitas
Ambiguitas atau makna ganda yang terdapat dalam sebuah puisi ini akan diuraikan
sebagai berikut: dalam bait pertama pada kata-kata “gerimis menampar mukaku” itu ambigu,
karena dapat dimaknakan bhawa pada saat itu keadaan yang menimpa si lelaki benar-benar sakit
itu digambarkan seolah gerimis yang jatuh dari langit seolah dan menimpa wajah si lelaki ini
seolah seperti sedang menampar muka si lelaki, atau makna lainnya adalah ketika kesakitan
kehilangan yang dirasakan oleh si lelaki itu, keadaan sedang gerimis, hingga gerimis itu
membasahi muka atau wajah si lelaki.
2. Kontradiksi
Seringkali puisi itu menyatakan sesuatau secara kebalikannya. Hal ini untuk membuat
pembaca berpikir hingga pikiran pembaca terpusat pada apa yang dikatakan atau yang menjadi
soal pada puisi yang dibahas. Untuk menyatakan arti makna kebalikan itu dipergunakan gaya
ucap paradoks dan ironi.
Paradoks adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlawanan atau
bertentangan dalam wujud bentuknya. Akan tetapi , bila dipikirkan sungguh-sunggu hal itu
wajar-wajar saja, tidak bertentangan. Paradoks pada puisi ini ditunjukkan pada bait:
Kata “telanjang” dana “kamar mandi” terjadi keterkaitan, memang pada umumnya ketika
seseorang sedang mandi pasri dalam keadaan telanjang. Kata ini pada kenyataannya bila
dipikirkan hal itu tidak bertentangan.
Ironi adalah gaya bahasa untuk menyetakan sesuatu secara berbalikan. Gaya bahasa ini
biasanya untuk menyindir atau mengejak. Gaya ironi dapat berupa frase, klausa, kalimat,
wacana, atau seluruh sajak.. Dalam puisi ini tidsk ditemukan gaya icap ironi.
3. Nonsense
Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti. “Kata-kata” itu
ciptaan penyair, tidak ada dalam kamus bahasa. Dalam puisi ini tidak terdapat kata-kata yang
tidak dapat dimengerti, semua kata-kata yang digunakan masih bisa dimengerti dan ada di dalam
kamus bahasa.
Penciptaan Arti
Diantara penciptaan arti sarana-sarana pencipta arti atau makna itu adalah sajak (rima),
enjambemen (peloncakatan kata), homologue, dan tipografi.
Pada puisi ini pengarang lebih menekankan pada segi tipografi yang disusun secara
lurus, tetapi ada jeda pada setiap baitnya yang tuajuannya setiap pergantian bait maka maknanya
pun akan berbeda dari bait sebelumnya, tidak melepaskan diri dari makna yang sudah ada. Puisi
ini terdiri dari empat bait yang mengisahkan tentang seseorang yang mengalami sebuah kejadian
ditemui oleh Tuhan tapi orang ini tidak sadar akan kejadian itu.
Persajakan atau rima itu secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan
makna intensitas dalam puisi.
Pembacaan Heruistik
Dalam puisi ini dibaca berdasarkan konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan
kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Proses pembacaan heuristik puisi ini
sebagai berikut.
Gerimis (seolah) menampar mukaku, dan aku berseru padamu, dimanakah kamu (wahai)
wanitaku?
Kamu (sedang) menghilang di belakang (sebuah tempat) (yaitu) hotel, (dan) di dalam
kabut (pun) (akan) kuburu kamu, kamu lari (masuk) ke dalam bis kota, dan (setelah itu)
lenyaplah kamu untuk selama-lamanya.
(ketika) aku (sedang) bernyayi di kamar mandi, dan tiba-tiba (gambaran) tubuhmu yang
(sedang) telanjang terbayang lagi (dalam) (benakku), apakah kamu mengerti (dengan)
kesepianku (disini)?
Sukmaku (mencoba) mengembara ke dalam rumah (yang) (di) (dalamnya) (terdapat)
diantara buku-buku (dan) gambar-gambar (dirimu) (yang) telanjang (keadaan) meja makan yang
berantakan, ranjang yang berbau mimpi (sisa) (tidur) (semalam), aku menangis (terisak),
(ternyata) hubungan kita (hanya) sia-sia (belaka).
Sukmaku (seolah) menjelma menjadi seekor kucing tua, yang lalu (pergi) mengembara
luput ke dalam (sebuah) perkampung.
Sudah sekian lama, (dan) sudah berbulan-bulan (lamanya), (lalu) bertahun-tahun,
(kemudian) berabad-abad, (aku) melewati kepulan debu, (aku) melewati angin panas, (lalu)
melewati serdadu dan algojo, (aku) (melewati) anjing-anjing, aku memburu (mencarimu), (terus)
memburu, (terus) memburu, (dan) berburu, berburu di atas (motor) Harley Davidson, mencari
sukmaku, sukmamu (sukma kita), yang (ternyata) telah lenyap bersama.
Pembacaan heuristik ini baru memperjelas arti bahasa sebagai sistem semiotik tingkat
pertama. Makna sastra belum tertangkap. Oleh karena itu harus dibaca lebih lanjut.
Pembacaan Hermeneutik
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang dari awal sampai akhir dengan
penafsiran. Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan konvensi sastra terutama pada
karya sastra puisi.
Bait pertama
Makna yang terkandung dalam bait pertama pada puisi “Wanita-wanitaku” ini,
menggambarkan perasaan seorang lelaki yang keadaannya pada saat itu sedang dilanda
kegalauan dan kegelisahan mencari seseorang perempuan yang sangat dicintainya, maka dari itu
gambaran perasaan sedih si penulis diungkapkan dengan kata-kata “gerimis menampar
mukaku”. Menunjukkan bahwa hatinya kini sedang dilanda kesakitan, pencarian wanita yang
sangat didambakannya itu digambarkan denga kata-kata “dimanakah kamu wanitaku”.
Bait kedua
Diungkapkan dalam bait kedua pada puisi “Wanita-wanitaku” ini, bahwa wanita yang
sedang dicarinya menghilang pada sebuah tempat di belakang hotel. Hotel dalam puisi ini
dimaknakan sebagai tempat persinggahan sementara. Si penulis dalam puisi ini berperan sebagai
laki-laki yang sedang mengejar si wanita tadi, tapi malang wanita itu masuk ke dalam bis kota
dan pergi meninggalkan si lelaki yang mengejarnya di belakang. Maka sejak saat itulah, wanita
yang dicintainya itu pergi untuk selama-lamanta meninggalkan si lelaki.
Bait ketiga
Pada bait ini menceritakan ketika si lelaki ini sedang mandi, maka terbayanglah tubuh si
wanita ini dalam keadaan telanjang seperti keadaan si lelaki yang sedang mandi dan tentunya
telanjang. Si lelaki seolah berkata pada bayangan wanita yang telanjang tadi, berkata tidakkah
wanita itu menyadari dan merasakan, mengerti akan kesepian yang dirasakan oleh si lelaki tanpa
kehadirannya.
Bait keempat
Pada bait keempat ini penulis mencoba masuk ke dalam kenangan yang pernah dilewati
lelaki dan si wanita ini ketika dulu masih bersama.sukma si lelaki seolah mengembara mencari
sosok wanita itu, di dalam sukma itu dia berada dalam sebuah rumah yang di dalamnya banyak
buku dan gambar-gambar yang berserakan, keadaan meja makan yang berantakan, ranjang yang
masih jelas rasa bau wangi mimpi sisa antara si lelaki dan wanita itu ketika tidur bersama. Laki-
laki ini menangis meratapi kesedihannya, meratapi hubungan yang dijalaninya dengan wanita itu
ternyata harus berakhir sia-sia.
Bait kelima
Dalam bait ini penulis menampilkan si lelaki semakin meratapi dan terpuruk dlam
kesedihannya dalam kesendirian seorang diri, laki-laki ini seakan menjelmakan dirinya menjadi
seekor kucing tua, kemudian pergi mengembara melewati sebuah perkampungan mencari wanita
itu. Perkampungan yang dimaksud dalam puisi ini adalah tempat yang ramai tapi si lelaki tetap
merasakan kesepian karena yang dicarinya tak ditemuinya di sana.
Bait keenam
Pada bait terakhir, tampaklah bagaimana perjuangan pencarian yang dilakukan si lelaki
ini untuk menemukan wanita pujaannya, sekian lama menanti wanita itu dengan harapan si
wanita itu akan kembali lagi padanya. Dari satu masa kmasa lainnya dan tanpa kenal waktu si
lelaki terus memburu si si wanita untuk satu tujuan yanitu berharap untuk menemukan wanita
yang didambakannya. Dengan mengendari motor Harley Davidson si lelaki terus mencari,
mencari sukma si wanita untuk melengkapi sukma sukma si lelaki yang lambat laun mulai
keropos karena dimakan waktu untuk mencari. Tapi harapan hanyalah sebuah harapan kosong
tanpa ada balasan. Akhirnya si lelaki menyadari bahwa apa yang selama ini dia cari telah hilang,
bahkan sukma yang keropos itu telah lenyap hilang bersama harapannya.
4.2 Analisis Semiotik Puisi “Wanita Cantik Sekali di Multazam” Karya Mustafa Bisri
Penyimpangan Arti
Ambiguitas
Makna ganda atau ambigutas yang terdapat dalam puisi “Wanita Cantik Sekali di
Multazam” ini ditemukan pada kata-kata “Allahku, kunikmati keindahan dalam keindahan” itu
ambigu. Tokoh si “aku” yaitu si lelaki ini melihat keindahan dalam keindahan maksudnya adalah
wanita yang dlihatnya sangat cantik, sehingga itu dilukisikan dengan kata keindahan. Lata
keindahan yang kedua atau makna ambigu dari kata keindahan dimaknakan sebagai Tuhan,
karena Tuhan itu sempurna dan sempurna adalah sesuatu yang identik dengan keindahan.
Kontradiksi
Dalam puisi modern banyak terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud
secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan.
Ironi menarik perhatian dengan caranya membuat pembaca berpikir. Sering juga untuk membuat
orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan.
Dalam puisi yang berjudul “Wanita Cantik Sekali di Multazam” karya Mustafa Bisri ini
tidak ditemukan kontradiksi, atau kata-kata yang menyinggung tentang mengejek sesuatu, tidak
ditemukan pula kata-kata yang bertentangan atau berlawanan dalam bentuk wujudnya.
Nonsense
Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti. “Kata-kata” itu
ciptaan penyair, tidak ada dalam kamus bahasa. Misalnya, kata-kata dalam mantra seringkali
berupa nonsense, dapat mempengaruhi dunia gaib. Dalam puisi ini tidak terdapat kata-kata yang
tidak dapat dimengerti, semua kata-kata yang digunakan masih bisa dimengerti dan ada di dalam
kamus bahasa.
Dalam bait sajak itu ada persejajaran bentuk menimbulkan persejajaran arti: bahwa
bagaimanapun wanita itu, dilihat dari sudut pandan manapun yang ada hanya keindahanlah yang
tampak.
Pembacaan Heuristik
Dalam pembacaan ini karya sastra dibaca secara linier, sesuai dengan struktur bahasa
sebagai sistem tanda semiotik tingkat pertama. Untuk menjelaskan arti bahasa bilaman perlu
susanan kalimat dibalik seperti susunan bahas normatif, diberitambahan kata sambung (dalam
kurung), kata-kata dikembalikan ke dalam bentuk morfologisnya yang normatif. Pembacaan
heuristik pada puisi “Wanita Cantik Sekali di Multazam” ini adalah sebagai berikut.
(diriku) (sedang) (berada) di tengah-tengah himpitan (yang) (berupa) daging-daging doa,
(dan) di pelataran rumahMu yang agung, akku (bersujud) mengalirkan diri dan ratapku (pada-
Mu), hingga (aku) terantuk pada dinding mustajab-Mu, menumpahkan (segala) luap (dan) pinta
(yang) (bertahan) (di) (dadaku).
Ku baca segala (apapun) yang bisa kubaca, dalam bebagai bahasa (dan) runduk hama,
(dan) dari tahlil ke tasbih, (dan) dari tasbih ke tahmid, (lalu) dari tahmid ke takbir, dari takbir ke
istighfar, (kemudian) dari istighfar ke syukur, dari syukur ke khauf, (terakhir) dari raja ke khauf,
dar raja (kembali) (lagi) ke khauf, raja khauf, khauf raja, sampai (akau) (bisa) tawakkal.
Tiba-tiba sebelum (aku) benar-benar fana (diri) melela dari arah Multazam, (datang_
seorang wanita (yang) cantik sekali, masya Allah, tabara Allah! Allah, apa amalku jikak kurnia,
apa dosaku jika (ada) (keinginan) coba?
Allah, putih kulitnya (tersembunyi) di dalam putih kerudungnya, indah sekali alisnya,
indah seklai matanya, indah sekali hidungnya, indah sekali bibirnya, (yang) (kesemuanya) (itu)
(tergambar) (dari) dalam wajahMu.
Allah, (akan) kunikmati keindahan dalam keindahan (yang) (Kau) (ciptakan), (semua)
(itu) (sempurna), di atas keindahan (dan) di bawah keindahan, (juga) (di) (sebelah) kanan-kiri
keindahan, (dan) di tengah-tengah keindahan yang (juga) indah sekali (dipandang).
Allahku, (maka) inilah kerapuhan! (tapi) tak kutanyakan kenapa, engkau (yang) bertanya
bukan (yang) bertanya kenapa, tapi apa(lah) jawabku? (maka) -ampunilah aku- (dan) tanyalah
jua yang (sedang) kupunya saat ini, Allah (apakah) mukhallafkah aku dalam keindahanMu?.
Bait kedua
Si aku atau lelaki ini mencoba membaca apa saja yang dapat dia baca dalam
pengaduannya kepada Tuhan, dari berbagai bahasa yang dia bisa. Bisa saja dia membaca
alqur’an atau membaca terjemahannya, membaca tasbih, tahmid atau segala macam wiridan
yang saling bergantian dia baca, dari bacaan tahlil, dari tahlil ke tasbih, kemudian beralih pada
bacaan takbir, dari takbir diteruskan ke istighfar, syukur khauf, memuji Tuhan atau Raja (Allah)
hingga sampai berada pada titik paling akhir yaitu tawakkal, pasrah setelah permintaan usaha dan
doa yang telah dilakukannya.
Bait ketiga
Pada bait ini penyair memunculkan sosok baru yang menjadi topik yang sebenarnya ingin
dibicarakan oleh si penyair dari awal, yaitu sosok wanita yang digambarkan sangat cantik,
shingga si aku laki-laki ini menyebut nama Tuhan ketika melihatnya. Keinginan untuk
mendekati si gadis ini terhalang karena teringat rasa takutnya akan Tuhannya, takut akan doa
yang diterimanya dari Tuhan.
Bait keempat
Di dalam ketakutan dan keinginan untuk mengetahui gadis itu lebih mendalam lagi, tiada
berhentinya si lelaki ini memuji kecantikan dan pesona wanita yang dilihatnya. Dalam
kekaguman yang memuji kecantikan dan pesona wanitanya, dalam kekaguman yang diciptakan
Sang Tuha, kemudian kulitanya, alisnya, matanya, hidungnya, bibirnya, seolah melihat bahwa
gadis ini adalah makhluk paling sempurna yang pernah dilihatnya dan yang pernah Tuhan
ciptakan.
Bait kelima
Keindahan semakin mendominasi pada bait ini, keindahan yang dilebih-lebihkan. Penyair
menggambarkan si wanita itu seolah tak mempunyai cacat sedikitpun, sangat sempurna, sangat
cantik rupawan, sehingga yang tepancar dari segala sudut pandang manapun hanyalah kecantikan
dan keindahan yang sedap dipandang mata. Si aku menikmati keindahan yang Tuhan
anugerahkan pada si wanita, dipandangnya adri setiap sudut, dari atas dan bawah, dari kanan ke
kiri, dan dari tengah-tengahpun yang tampak hanya keindahan yang nyaris tanpa cacat ataupun
cela. Sungguh keindahan yang sangat luar biasa.
Bait keenam
Si penyair menyampaikan si lelaki pada bait terakhir ini seolah mengadu pada Tuhannya,
mengadu tentang kegundahan yang berkecamuk dalam hatinya, antara perasaan bersalahkah dia
menyukai makhluk lawan jenisnya? Bukankah itu perasaan yang manusiawi? Pertanyaan
semacam itulah yang dilontarkan, dia tanyakan pada Tuhannya. Sedang dia tau bagaimana Tuhan
sudah mengatur batasan-batasan kekaguman pada tiap lawan jenisnya mengenai rasa suka.
Pertanyaan yang sebenarnya penyair sendiri sudah tahu pasti jawabannya, tetapi penyair ingin
menimbulakn pertanyaan kepada setiap pembaca pada akhir syairnnya. Supaya pembaca dapat
mejawab sendiri dengan jawaban yang berbeda pada tiap-tiap pembacanya.