Andri Rustandi
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pascasarjana
Universitas Jambi
email: andrirustandi513@gmail.com
Abstrak
. A Mustofa Bisri dalam menulis sebuah puisi memiliki gaya sendiri dibandingkan
dengan teman satu alirannya D Zawawi Imran, Taufik Ismail, dan Danarto, gaya penulisannya
lebih apa adanya dan linear bahkan terkadang bisa terlihat lugu dan berubah menjadi ganas.
Menjadi sangat mungkin, jika untuk mengulas antologi Gus Mus membutuhkan waktu yang
relatif lama untuk menyelesaikannya. A Mustofa Bisri Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10
Agustus 1944, dari keluarga santri. Kakeknya, Kyai Mustofa Bisri adalah seorang ulama.
Demikian pula ayahnya, KH Bisri Mustofa, yang tahun 1941 mendirikan Pondok Pesantren
Roudlatut Thalibin, adalah seorang ulama karismatik termasyur. Achmad Mustofa Bisri, akrab
dipanggil Gus Mus ia adalah Kiyai, penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan
muslim, ini telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para
ulama.
Dia telah menulis belasan buku fiksi dan nonfiksi. Justru melalui karya budayanyalah,
Gus Mus sering kali menunjukkan sikap kritisnya terhadap budaya yang berkembang dalam
masyarakat. Gus Mus adalah seorang kyai dengan kesimpulan sudut pandang manusia sehari-
hari: kehidupan sekelilingnya, perjalanan hidupnya, ritual religiusnya dan sebagainya.Tidak
jarang akan ditemukan romantisme religiusitas dalam puisinya.
Imaji yang dipakai dalam puisi Dalam baris ketiga kutipan puisi “Selamat
“Selamat Idul Fitri” ini adalah imaji Idul Fitri” diatas, kembali kami-lirik
meminta maaf kepada mentari yang
merupakan metafor. Atau secara harfiah Dalam baris keenam seperti kutipan puisi
mentari dapat diartikan sebagai sumber diatas, kami-lirik kembali mengucapkan
kehidupan bagi manusia yang dianggap selamat idul fitri dan meminta maaf kepada
penting tetapi kami-lirik tidak tumbuh-tumbuhan karena selama ini telah
memperdulikan atau mengacuhkan fungsi bertindak kejam dan tidak menjaga dengan
dari mentari itu sendiri. baik. Melakukan penebangan liar,
membakar hutan sembarangan yang
/Selamat idul fitri, laut/ berdampak negatif bagi tumbuh-tumbuhan,
hewan, dan manusia itu sendiri.
/Maafkanlah kami/
Imaji perasaan:
Dalam baris keempat seperti pada kutipan
puisi diatas, kami-lirik meminta maaf /Selamat idul fitri, para pemimpin/
kepada laut, karena selama ini telah
mengeruhkannya. Mungkin secara harfiah /Maafkanlah kami/
dapat diartikan bahwa manusia tidak
menjaga kebersihan dan kelestarian Dalam kutipan puisi diatas, kami-lirik
alamnya. Tuhan telah menciptakan banyak berperan sebagai rakyat yang mengucapkan
sesuatu yang dapat manusia nikmati dan selamat idul fitri. Seolah-olah meminta maaf
manfaatkan, tetapi manusia tidak pernah dan merasa bersalah kepada diri sendiri akan
bersyukur dan melestarikannya. Tuhan sikap kebisuan dan kediaman mereka yang
menciptakan laut yang begitu indah dan membiarkan para pemimpin bertindak
maha luas, tetapi manusia mengotorinya semena-mena dan memanfaatkan rakyat
dengan sampah, merusak kehidupan di untuk kepentingannya. Ini merupakan
dalam laut dengan membuang limbah, tragedi nyata bangsa ini. Potret kehidupan
racun, dan bom ke laut. Seperti itulah bangsa Indonesia yang sampai saat ini masih
kenyataannya. tertinggal jauh oleh negara-negara lain
akibat kemiskinan, kebodohan, kejahatan,
/Selamat idul fitri, burung-burung/ dan kelaparan dimana-dimana. Walaupun
kita semua tahu, Indonesia begitu kaya dan
/Maafkanlah kami/ berpotensi tetapi kita selalu terbelakang
karena penguasa-penguasa yang tamak dan
Dalam baris kelima seperti kutipan puisi egois. Sehingga perasaan yang akan
diatas, kami-lirik mengucapkan selamat idul dirasakan pembaca ikut dalam keresalahan
fitri dan meminta maaf kepada burung- dalam rasa bersalah pada diri sendiri
burung karena tidak menjaga dan dengan penggambaran dari bait yang
merawatnya melainkan membunuhnya mengungkapkan para pemimpin.
secara luar dan membinasakan habitatnya.
Tampak terlihat jelas keberingasan manusia /Selamat idul fitri, rakyat/
terhadap alamnya.
/Maafkanlah kami/
/Selamat idul fitri, tetumbuhan/
Dalam kutipan baris terakhir puisi “Selamat
/Maafkanlah kami/ Idul Fitri” karya A Mustofa Bisri ini.
Kamai-lirik berperan sebagai penguasa yang
seakan-akan meminta maaf dan merasa
bersalah kepada rakyat karena tidak henti- /Kami mengeruhkanmu/
hentinya mempergunakan rakyat sebagai
alat untuk kepentingannya dan kesejahteraan /Selama ini/
hidupnya. Banyak mengumbar kata manis
dan janji-janji palsu untuk kepentingan /Memberangusmu/
rakyat tetapi hasilnya nol. Mereka justru
mengacuhkan dan tidak memperdulikan /Tidak puas-puas/
aspirasi, nasib, dan keluhan rakyatnya. Yang
mereka pikirkan hanya kekuasaan dan harta /Kami menebasmu/
untuk kehidupannya, mengambil hak yang
seharusnya milik rakyat dan memanipulasi /Tidak habis-habis/
segala sesuatunya. Jadi apakah kata maaf itu
mampu memecahkan semua permasalahan /Kami membiarkanmu/
manusia (antara penguasa dan rakyat) yang
hanya diucapkan saat idul fitri? karena Kata /Tidak sudah-sudah/
maaf yang diucapkan kami-lirik mampu
diucapkan oleh semua orang, namun /Kami mempergunakanmu./
bagaimana penguasa mempertanggung
jawabkan apa yang telah mereka lakukan Imaji kinestetik ini bahwa pada puisi
kepada rakyat, itulah yang terpenting. “Selamat Idul Fitri” penyair dalam puisinya
Karena rakyat tidak akan hidup layak hanya kita dapat membaca kata bumi, langit,
dengan kata maaf, bangsa ini tidak akan mentari, laut, burung-burung, tetumbuhan
pernah maju hanya dengan maaf yang sebagai metafor yang secara personifikasi,
diucapkan satu kali dalam setahun. Dalam karena seolah-olah bisa berprilaku,
baris terakhir puisi ini penyair berperasaan, dan memiliki perasaan seperti
menyampaikan kritik sosial yang amat manusia. Sehingga dapat menjadi cermin,
menyentuh yang terjadi di Indonesia sebagai bagaimana potret kehidupan bangsa ini,
bentuk dari perwakilan yang dirasakan oleh yang tidak pernah bersyukur dengan apa
rakyat yang terdapat pada diri pembaca. yang tuhan beri dan karuniakan kepada
orang-orang di bangsa ini. Mereka selalu
Imaji kinestetik merasa tidak cukup dengan apa yang mereka
miliki, untuk itu mereka terus mencari
/Tidak semena-mena/ dengan cara apapun hingga menjadi
keserakahan dan ketamakan yang mendarah
/Kami memperkosamu/ daging hingga saat ini. Penyair memberikan
sebuah pesan di dalam puisi tersebut, agar
/Tidak henti-hentinya/ pembaca berpikir, berpikir untuk
memperbaiki hidup dan lebih bersyukur
/Kami mengelabukanmu/ serta menghargai apa yang mereka miliki
saat ini, berpikir untuk maju, berpikir untuk
/Tidak bosan-bosan/ lebih memperhatikan orang lain dan
lingkungannya, dan berpikir untuk lebih
/Kami mengaburkanmu/ baik. Dalam perspektif ini, hal-hal yang
bersifat individual dan sosial merupakan
/Selama ini/ satu-kesatuan, bukan saja karena individu
merupakan anggota sosial, melainkan
terutama karena individu harus Maka puisi-puisi Musofa Bisri adalah
mengekspresikan dan merefleksikan dirinya refleksi dari kesadaran sosio-religiusnya
secara sosial. Demikianlah maka ibadah dalam bahasa yang penuh tenaga: keras,
yang paling personal pun harus memberikan ironis, dalam, dan jenaka. Mustofa Bisri
dampak sosial secara konkret. adalah sosok manusia dengan kedalaman
visi seorang ulama dan ketajaman intuisi
Kata konkret seorang penyair. Itulah yang bisa
digambarkan dari penyair A. Mustafa Bisri
Hasil kerja dari ucapan selamat idul fitri dengan puisi “Selamat Idul Fitri” yang
dialamatkan kepada lawan bicaranya seperti menunjukkan perasaan sunyi dan rasa
bumi, langit, mentari, laut, burung-burung, bersalah dalam dimensi sosial yang terlihat
dan tumbuh-tumbuhan. Semua lawan bicara samar-samar.
tersebut tidak hanya mengacu pada
pengertian leksikalnya, melainkan juga pada Rima
pengertian konotatifnya, pada makna
kontekstualnya dari makna yang memiliki Rima adalah persamaan bunyi pada
kemungkinan untuk memperluas cakupan puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris
yang dikandungnya. Maka dalam hal ini ada puisi.
sisi religius yang yang menunjukkan kritik
sosial bahwa dalam puisi ini A. Mustrofa Selamat Idul Fitri
Bisri memperlihatkan hubuingan vertikal
(kepada Tuhan) dengan penciptaannya, serta Selamat idul fitri, bumi
Horizontal (kepada lingkungan sosial)
dengan pemanfaatan penciptaan Tuhan Maafkan kami
untuk kesejateraan bersama.
Selama ini
Bahasa figurative
Tidak semena-mena
Perrine menyatakan bahwa bahasa figurative
dipandang lebih efektif untuk menyatakan Kami memperkosamu
apa yang dimaksud oleh penyair karena (1)
bahasa figuratif mampu menghasilkan Selamat idul fitri, langit
kesenangan imajinatif, (2) bahasa figuratif
adalah cara untuk menghasilkan imaji Maafkanlah kami
tambahan dalam puisi sehingga yang abstrak
jadi konkret dan menjadikan puisi lebih Selama ini
nikmat dibaca, (3) bahasa figuratif adalah
cara menambah intensitas perasaan pada Tidak henti-hentinya
penyair untuk puisinya dan menyampaikan
sikap penyair, (4) bahasa figuratif adalah Kami mengelabukanmu
cara untuk mengonsentrasikan makna yang
hendak disampaikan dan cara Selamat idul fitri, mentari
menyampaikan sesuatu yang banyak dan
luas dengan bahasa yang singkat. [8] Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak bosan-bosan Tidak sudah-sudah
Selamat idul fitri, laut Puisi ini dapat digolongkan dalam
puisi berima semi tertutup dan rima datar.
Maafkanlah kami Karena suku akhirnya termasuk suku
tertutup dengan vokal yang sama yaitu vokal
Selama ini u (rima semi tertutup) dari kata berakhiran -
mu dan kata – kata yang berima terdapat
Kami mengeruhkanmu pada baris yang sama (rima datar). Seperti:
/tetumbuhan/, dan / para pemimpin/. Serta
Selamat idul fitri, burung-burung adanya repetisi atau pengulangan kata dan
frasa di setiap bait dari awal sampai akhir,
Maafkanlah kami memiliki arti tersendiri, memberikan
penekanan dan meyakinkan. Seperti:
Selama ini Selamat
Selamat idul fitri, tetumbuhan Bahwa puisi Selamat Idul Fitri karya
A.Mustafa Bisri ini sebuah ungkapan yang
Maafkanlah kami berisi kritik sosial yang juga menjadi
gambaran nyata dari kehidupan masa kini.
Selama ini Gambaran nyata itu diperlihatkan dari kata-
kata yang bisa dirasakan,dimanfaatkan, serta
Tidak puas-puas dapat menjadi ladang kesejahteraan manusia
yaitu bumi, langit, mentari, laut, burung-
Kami menebasmu burung, dan tumbuh-tumbuhan sebagai
lawan bicara penyair yang mewakilkan
Selamat idul fitri, para pemimpin perasaan-perasaan yang seakan-akan penyair
dapat menunjukkan rasa kekecewaan
Maafkanlah kami mereka terhadap manusia, yang seenaknya
mempergunakan kekayaan alam yang ada
Selama ini dimuka bumi ini dengan semaunya, dengan
keegoisannya, lupa bahwa kekayaan alam
Tidak habis-habis ini adalah sumber kehidupan umat manusia
dan seharusnya dapat mencapai
Kami membiarkanmu kesejahteraan antara sesama manusia atas
nikmat yang telah Allah berikan kepada
Selamat idul fitri, rakyat seluruh umat manusia di muka bumi ini.
Jadi nikmat mana yang engkau dustakan? .
Maafkanlah kami dan itulah sifat manusia yang tidak pernah
bersyukur atas nikmat tuhan yang selalu
Selama ini mencari kekayaan di dunia lupa pada
sekelilingnya yang masih banyak
membutuhkan uluran tangan dalam dan lebih bersyukur serta menghargai apa
mempertahankan kebutuhan hidupnya. yang mereka miliki saat ini, berpikir untuk
Sebagaimana ungkapan itu juga ditunjukkan maju, berpikir untuk lebih memperhatikan
antara penguasa dan rakyat. Dimana rakyat orang lain dan lingkungannya, dan berpikir
hanya sebagai pelampiasan keegoisan para untuk lebih baik.
penguasa/pemimpin, yang memanfaatkan
rakyat demi kepentingannya seperti DAFTAR PUSTAKA
mempergunakan kekayaan sumber alam
yang semena-mena dengan merusak Daftar Pustaka
ekosisitem alam, yang dapat merugikan
rakyat dan kebutuhan hidupnya yang Mustika, Ika. Pendekatan Objektif : Salah
dampaknya dapat dirasakan saat ini. Satu Pendekatan Menganalisis Karya
Sastra,
Maka dari itu ungkapan penyair sebagai https://ikamustika444.wordpress.com/2012/
pengingat untuk manusia dengan 11/10/pendekatan-objektif-salah-satu-
memanfaatkan peristiwa yang lumrah pendekatan-menganalisis-karya-sastra/ &nbs
dilakukan ketika Idul Fitri yaitu saling p; diakses pada tanggal 3 Juni 2020, pukul
memohon maaf kepada sesama manusia 15.41
sebagai tradisi manusia untuk kembali suci
seperti terlahir kembali dan semua dosa- Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian
dosanya terhapuskan. Namun hal itu, hanya Fiksi (Yogyakarta: Gadjah Mada University
ungkapan yang sifatnya sementaara yang di Press, 2002)
ucapkan satu kali dalam setahun, tapi
perubahan dalam perilaku manusia sama Sulkifli dan Marwati, KEMAMPUAN
saja tidak berubah, jika sudah tergiur akan MENULIS PUISI SISWA KELAS VIII SMP
kekuasaan dan lupa pada daratan, seperti NEGERI SATU ATAP 3 LANGGIKIMA
hasrat penguasa/pemimpin yang banyak KABUPATEN KONAWE UTARA,
mengumbar kata manis dan janji-janji palsu http://ojs.uho.ac.id/index.php/BASTRA/artic
untuk kepentingan rakyat tetapi hasilnya nol. le/view/105, diakses pada tanggal 3 Juni
Mereka justru mengacuhkan dan tidak 2020, pukul 15.41
memperdulikan aspirasi, nasib, dan keluhan
rakyatnya. Yang mereka pikirkan hanya Luxemburg, Jan Van. Tentang Sastra,
kekuasaan dan harta untuk kehidupannya, (Jakarta: PT. Intermasa, 1989).
mengambil hak yang seharusnya milik
rakyat dan memanipulasi segala sesuatunya. Djoko Damono, Sapardi . Bilang Begini
Ini merupakan tragedi nyata bangsa ini. Maksudnya Begitu, (Jakarta: PT. Gramedia,
Potret kehidupan bangsa Indonesia yang 2016)
sampai saat ini masih tertinggal jauh oleh
negara-negara lain akibat kemiskinan, Alfitiana, Wulan. analisis puisi A mustofa
kebodohan, kejahatan, dan kelaparan Bisri “Selamat Idul Fitri”,
dimana-dimana. Walaupun kita semua tahu, http://wulanalfitiana.blogspot.com/2012/04/
Indonesia begitu kaya dan berpotensi tetapi analisis-puisi-mustofa-bisri-selamat.html,
kita selalu terbelakang karena penguasa- diakses pada tanggal 5 Juni 2020, pukul
penguasa yang tamak dan egois. Dengan 11.33.
begitu, puisi ini berpesan agar pembaca
berpikir, berpikir untuk memperbaiki hidup
[1] Ika Mustika, Pendekatan Objektif :
Salah Satu Pendekatan Menganalisis Karya
Sastra,
https://ikamustika444.wordpress.com/
2012/11/10/pendekatan-objektif-salah-satu-
pendekatan-menganalisis-karya-sastra/
diakses pada tanggal 3 Juni 2020, pukul
15.41
http://ojs.uho.ac.id/index.php/BASTRA/
article/view/105, diakses pada tanggal 3 Juni
2020, pukul 15.41
[6] Ibid, h. 72