Anda di halaman 1dari 13

Analisis Sajak Pendekatan Ekspresif

ANALISIS SAJAK-SAJAK AMIR HAMZAH DENGAN PENDEKATAN


EKSPRESIF

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu penulis terkenal indonesia adalah Tengkoe Amir Hamzah yang bernama
lengkap Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera, atau lebih dikenal hanya dengannama
pena Amir Hamzah (lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, Hindia Belanda, 28
Februari 1911 – meninggal di Kwala Begumit, Binjai, Langkat, Indonesia, 20 Maret 1946 pada
umur 35 tahun) adalah sastrawan Indonesia angkatan Poedjangga Baroe dan Pahlawan Nasional
Indonesia. Lahir dari keluarga bangsawan Melayu Kesultanan Langkat di Sumatera Utara, ia
dididik diSumatera dan Jawa. Saat berguru di SMA di Surakarta sekitar 1930, pemuda Amir
terlibat dengan gerakan nasionalis dan jatuh cinta dengan seorang teman sekolahnya, Ilik
Soendari. Bahkan setelah Amir melanjutkan studinya di sekolah hukum
di Batavia(sekarang Jakarta) keduanya tetap dekat, hanya berpisah pada tahun 1937 ketika Amir
dipanggil kembali ke Sumatera untuk menikahi putri sultan dan mengambil tanggung jawab di
lingkungan keraton. Meskipun tidak bahagia dengan pernikahannya, dia memenuhi tugas
kekeratonannya. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, ia
menjabat sebagai wakil pemerintah di Langkat. Namun siapa nyana, pada tahun pertama negara
Indonesia yang baru lahir, ia meninggal dalamperistiwa konflik sosial berdarah di Sumatera yang
disulut oleh faksi dari Partai Komunis Indonesia dan dimakamkan di sebuahkuburan massal.
Amir mulai menulis puisi saat masih remaja: meskipun karya-karyanya tidak bertanggal, yang
paling awal diperkirakan telah ditulis ketika ia pertama kali melakukan perjalanan ke Jawa.
Menggambarkan pengaruh dari budaya Melayu aslinya, Islam, Kekristenan, dan Sastra Timur,
Amir menulis 50 puisi, 18 buah puisi prosa, dan berbagai karya lainnya, termasuk beberapa
terjemahan. Pada tahun 1932 ia turut mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe. Setelah
kembali ke Sumatera, ia berhenti menulis. Sebagian besar puisi-puisinya diterbitkan dalam dua
koleksi, Njanji Soenji "Nyanyi Sunyi", 1937) dan Boeah Rindoe "Buah Rindu", 1941), awalnya
dalam Poedjangga Baroe, kemudian sebagai buku yang diterbitkan.
Puisi-puisi Amir sarat dengan tema cinta dan agama, dan puisinya sering mencerminkan
konflik batin yang mendalam. Diksipilihannya yang menggunakan kata-kata bahasa
Melayu dan bahasa Jawa dan memperluas struktur tradisional, dipengaruhi oleh kebutuhan
untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah tertentu.
Karya-karya awalnya berhubungan dengan rasa rindu dan cinta, baik erotis dan ideal, sedangkan
karya-karyanya selanjutnya mempunyai makna yang lebih religius. Dari dua koleksinya, Nyanyi
Sunyi umumnya dianggap lebih maju. Untuk puisi-puisinya, Amir telah disebut sebagai "Raja
Penyair Zaman Poedjangga Baroe Raja Penyair Zaman Pujangga Baru") dan satu-satunya
penyair Indonesia berkelas internasional dari era pra-Revolusi Nasional Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian puisi.
2. Apa pengertian kritik sastra dari pendeketan ekspresif.
3. Bagaimana sajak-sajak Amir Hamzah dilihat dari pendekatan ekspresif.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Puisi
1. Pengertian Puisi
Puisi adalah bagian dari karya sastra. Ia terbangun dari unsur makna yang tertuang dalam
kata-kata. Selain itu, puisi merupakan jelmaan rasa penciptanya, ungkapan hati baik itu sedih,
gembira, marah, benci, simpatik, dan lain sebagainya. Jika kita melihat lebih jauh, dalam masa
perkembangannya kini, puisi memiliki banyak ragamnya, contoh puisi baru, puisi kontemporer,
puisi tipografi, hingga puisi-puisi rupa.
Pengertian puisi sendiri menurut Rahmat Joko Pradopo ialah ekspresi pemikiran yang
membangkitkan perasaan, ia mampu membangkitkan imajinasi panca indera dalam suasana yang
berirama. Dalam pengertian puisi yang diungkapkan Pradopo di atas berarti puisi menjadi
jembatan antara rasa yang dimiliki penulis dengan dunia luar melalui kata-kata. Lebih sederhana
lagi, pengertian puisi menurut Shelly ialah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup
kita. Sedangkan pengertian puisi menurut Auden ialah bahwa puisi itu lebih merupakan
pernyataan perasaan yang bercampur-campur.
2. Unsur-Unsur Puisi
Unsur-unsur puisi meliputi struktur fisik dan struktur batin puisi

a. Struktur fisik puisi


Struktur fisik puisi terdiri dari:

 Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata,
tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf
kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap
puisi.
 Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi
adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-
katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan
makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.
 Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi,
seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji
suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat
mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang
dialami penyair.
 Kata konkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya
imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misalnya kata kongkret “salju:
melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-rawa”
dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
 Gaya bahasa, yaitu penggunaan bahasa yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan
menimbulkan konotasi tertentu. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya
memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Gaya bahasa disebut juga majas. Adapaun
macam-amcam majas antara
lain metafora, simile,personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonas
me, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
 Rima/Irama adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi.
Rima mencakup:
1) Onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji
C.B.).
2) Bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang,
sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya.
3) Pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya
bunyi. Rima sangat menonjol dalam pembacaan puisi.
b. Struktur batin puisi
Struktur batin puisi terdiri dari
 Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan
makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna
keseluruhan.
 Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya.
Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair,
misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam
masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman
pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada
kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih
banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk
oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
 Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema
dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama
dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada
pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
 Amanat/tujuan/maksud (intention); yaitu pesan yang ingin disampaikan penyair kepada
pembaca.
B. Kritik Sastra
1. PENGERTIAN KRITIK SASTRA
Istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti
”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi”; kriterion yang berarti ”dasar
penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan”. Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah
satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian
terhadap teks sastra sebagai karya seni.
Menurut Graham Hough (1966: 3) bahwa kritik sastra itu bukan hanya terbatas pada
penyuntingan dan penetapan teks, interpretasi , dan pertimbangan nilai, melainkan kritik sastra
meliputi masalah yang lebih luas tentang apakah kesusastraan itu, untuk apa, dan bagaimana
hubungannya dengan masalah-masalah kemanusiaan yang lain.
Abrams dalam Pengkajian sastra (2005: 57) mendeskripsikan bahwa kritik sastra
merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan
penilaian karya sastra.
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, Studi sastra (ilmu sastra) mencakup tiga
bidang, yakni: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiganya memiliki hubungan yang
erat dan saling mengait. Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang
ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra.
2. FUNGSI KRITIK SASTRA
Menurut Pradopo fungsi utama kritik sastra dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
1) Untuk perkembangan ilmu sastra sendiri. Kritik sastra dapat membantu penyusunan teori sastra
dan sejarah sastra. Hal ini tersirat dalam ungkapan Rene wellek “karya sastra itu tidak dapat
dianalisis, digolong-golongkan, dan dinilai tanpa dukungan prinsip-prinsip kritik sastra.
2) Untuk perkembangan kesusastraan, maksudnya adalah kritik sastra membantu perkembangan
kesusastraan suatu bangsa dengan menjelaskan karya sastra mengenai baik buruknya karya sastra
dan menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra.
3) Sebagai penerangan masyarakat pada umumnya yang menginginkan penjelasan tentang karya
sastra, kritik sastra menguraikan (mengsnalisis, menginterpretasi, dan menilai) karya sastra agar
masyarakat umum dapat mengambil manfaat kritik sastra ini bagi pemahaman dan apresiasinya
terhadap karya sastra (Pradopo, 2009: 93).
Berdasarkan uraian di atas dapat digolongkan kembali fungsi kritik satra menjadi dua:
Fungsi kritik sastra untuk pembaca:
a) Membantu memahami karya sastra.
b) Menunjukkan keindahan yang terdapat dalam karya sastra,
c) Menunjukkan parameter atau ukuran dalam menilai suatu karya sastra,
d) Menunjukkan nilai-nilai yang dapat dipetik dari sebuah karya sastra.
Fungsi kritik sastra untuk pengarang:
a) Mengetahui kekurangan atau kelemahan karyanya,
b) Mengetahui kelebihan karyanya,
c) Mengetahui masalah-msalah yang mungkin dijadikan tema karangannya.
3. MANFAAT KRITIK SASTRA
Manfaat dari kritik sastra dapat diuraikan menjadi:
Manfaat kritik sastra bagi penulis:
a. Memperluas wawasan penulis baik yang berkaitan dengan soal bahasa, objek atau tema-tema
karangan, maupun teknik bersastra.
b. Menumbuhsuburkan motivasi untuk mengarang.
c. Meningkatkan kualitas karangan.
Manfaat kritik sastra bagi pembaca:
a. Menjembatani kesenjangan antara pembacakepada karya sastra.
b. Menumbuhkan kecintaan pembaca kepada karya sastra.
c. Meningkatkan kemanpuan mengapresiasi karya sastra.
d. Membuka mata hati dan pikirtan pembaca akan nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra.
Manfaat kritik sastra bagi perkembangan sastra:
a. Mendorong laju perkembangan sastra baik kualitatif maupun kuantitatif.
b. Memperluas cakrawala atau permasalaha yang ada dalam karya sastra.
C. Jenis-jenis pendekatan kritik sastra
Berdasarkan pendekatannya terhadap karya sastra. Menurut Abrahams (1981: 36-37)
membagi kritik sastra dalam empat tipe, yakni kritik mimetik (mimetic criticism), kritik
pragmatik (pragmatic criticism), kritik ekspresif (ekspresive criticism) dan kritik objektif
(objective criticism).
1. Kritik mimetic
Menurut Abrams, kritikus pada jenis ini memandang karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek
alam. Sastra merupakan pencerminan/penggambaran dunia kehidupan. Sehingga kriteria yang
digunakan kritikus sejauh mana karya sastra mampu menggambarkan objek yang sebenarnya.
Semakin jelas karya sastra menggambarkan realita semakin baguslah karya sastra itu.
Kritik jenis ini jelas dipengaruhi oleh paham Aristoteles dan Plato yang menyatakan bahwa
sastra adalah tiruan kenyataan.
Di Indonesia, kritik jenis ini banyak digunakan pada Angk. 45. Contoh lain misalnya:
Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik, Jakob Sumardjo.
Novel Indonesia Populer, Jakob Sumardjo.
2. Kritik pragmatic
Kritikus jenis ini memandang karya sastra terutama sebagai alat untuk mencapai tujuan
(mendapatkan sesuatu yang daharapkan). Sementara tujuan karya sastra pada umumnya:
edukatif, estetis, atau politis. Dengan kata lain, kritik ini cenderung menilai karya sastra atas
keberhasilannya mencapai tujuan.
Ada yang berpendapat, bahwa kritik jenis ini lebih bergantung pada pembacanya
(reseptif). Kritik jenis ini berkembang pada Angkatan Balai Pustaka. STA pernah menulis kritik
jenis ini yang dibukukan dengan judul Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan.
3. Kritik ekspresif
Kritik ekspresif menitikberatkan pada pengarang. Kritikus ekspresif meyakini bahwa
sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran,
persepsi-persepsi dan perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus cenderung
menimba karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan pengelihatan mata batin
pengarang/keadaan pikirannya.
Pendekatan ini sering mencari fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman
sastrawan yang sadar/tidak, telah membuka dirinya dalam karyanya. Umumnya, sastrawan
romantik jaman BP/PB menggunakan orientasi ekspresif ini dalam teori-teori kritikannya. Di
Indonesia, contoh kritik sastra jenis ini antara lain:
Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, karya Arif Budiman.
Di Balik Sejumlah Nama, Linus Suryadi.
Sosok Pribadi Dalam Sajak, Subagio Sastro Wardoyo.
WS Rendra dan Imajinasinya, Anton J. Lake.
Cerita Pendek Indonesia: Sebuah Pembicaraan, Korrie Layun Rampan.
4. Kritik objektif
Kritikus jenis ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri, bebas terhadap
sekitarnya, bebas dari penyair, pembaca, dan dunia sekitarnya. Karya sastra merupakan sebuah
keseluruhan yang mencakupi dirinya, tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalinan erat
secara batiniah dan mengehndaki pertimbangan dan analitis dengan kriteria-kriteria intrinsik
berdasarkan keberadaan (kompleksitas, koherensi, keseimbangan, integritas, dan saling
berhubungan antarunsur-unsur pembentuknya).
Jadi, unsur intrinsik (objektif)) tidak hanya terbatas pada alur, tema, tokoh, dsb; tetapi
juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan, integritas, dan sebagainya. Pendekatan
kritik sastra jenis ini menitikberatkan pada karya-karya itu sendiri. Kritik jenis ini mulai
berkembang sejak tahun 20-an dan melahirkan teori-teori: New Critics (Kritikus Baru di AS),
Kritikus formalis di Eropa, Para strukturalis Perancis.
BAB III
ANALISIS SAJAK-SAJAK AMIR HAMZAH DENGAN PENDEKATAN EKSPRESIF
A. Mengenal Amir Hamzah Dengan Sajak-Sajaknya
Penyair Amir Hamzah Lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, 28 Februari
1911 Wafat di Begumit tanggal, 20 Maret 1946. Amir Hamza termasuk Angkatan Pujangga
Baru Karya yang terkenal yaitu Buah Rindu, Penghargaan yang di dapat adalah Pahlawan
Nasional, Pemerintah RI. Amir Hamzah adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan
Pujangga Baru. Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat)
dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu.

IBUKU DEHULU

Ibuku dehulu marah padaku


diam ia tiada berkata
akupun lalu merajuk pilu
tiada peduli apa terjadi

matanya terus mengawas daku


walaupun bibirnya tiada bergerak
mukanya masam menahan sedan
hatinya pedih kerana lakuku

Terus aku berkesal hati


menurutkan setan, mengkacau-balau
jurang celaka terpandang di muka
kusongsong juga - biar chedera

Bangkit ibu dipegangnya aku


dirangkumnya segera dikucupnya serta
dahiku berapi pancaran neraka
sejuk sentosa turun ke kalbu

Demikian engkau;
ibu, bapa, kekasih pula
berpadu satu dalam dirimu
mengawas daku dalam dunia.

Dalam puisi Amir Hamzah Ibuku Dehulu sangatlah terlihat jelas gambaran bahwa Amir
Hamzah sedang mengenang ibunya waktu dahulu ketika beliau masih kecil. Beliau membuat
sajak ini ketika beliau pergi menjadi musyafir sehingga beliau rindu kepada ibunya. Pada sajak
“matanya terus mengawas daku / walaupun bibirnya tiada bergerak” ketika beliau masih kecil
ibu beliau sangatlah memperhatikan beliau walaupun ibu beliau tidak banyak berkata akan tetapi
ibu beliau selalu mengawasinya. Akan tetapi sayangnya ketika itu beliau tidak senang ibunya
selalu mangawasinya, lalu beliau marah pada ibunya. Tapi ibunya selalu menenangkannya
dengan kecupan hangat dikening beliau. Sungguh beliau merindukannya hingga beliau dapat
berfikir bahwa ibu, ataupun bapaknya akan selalu mengawasinya dialam dunia.
Hanyut Aku

Hanyut aku, kekasihku!


Hanyut aku!
Ulurkan tanganmu, tolong aku
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin
hati, tiada air menolak ngelak.
Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku
sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelan.
Tenggelam dalam malam
Air di atas menindih keras
Bumi di bawah menolak ke atas
Mati aku, kekasihku, mati aku
Dalam puisi “Hanyut Aku” karya Amir Hamzah seperti merasakan kesedihan yang
sangat mendalam. Puisi ini kata-katanya sangat jelas dengan jeritan minta tolong agar seseorang
dapat menolongnya agar ia terlepas dari rasa sulit itu. Akan tetapi sayangnya tidak ada orang
yang mengasihaninya, seperti segala sesuatu selalu menentangnya dan membuatnya semakin
terpuruk. Penyair dalam puisinya ia membuat dalam kedaan putus asa dalam sajak Ulurkan
tanganmu, tolong aku / Sunyinya sekelilingku! Dalam puisi tersebut terlihat sekali bahwa penyair
dalam keadaan putus asa. Ia meminta tolong kepada kekasihnya, akan tetapi sangat sunyi tidak
ada yang hendak menolongnya.
Amir Hamzah dalam puisinya ini merasakan seakan ia mati karena ia merasakan selalu
sendirian. Ia membutuhkan kasih sayang dan pertolongan melalui bisikan hatinya. Akan tetapi
dalam sajak Tenggelam dalam malam, Air di atas menindih keras, Bumi di bawah menolak ke
atas, Mati aku, kekasihku, mati aku. Tetap saja tidak ada yang mau menerima pertolongannya,
bahkan ia merasakan bahwa bumi dan langit menolaknya hingga ia merasa sakit dan perih seperti
tenggelam dalam kegelapan malam.

INSYAF

Segala kupinta tiada kauberi


Segala kutanya tiada kausahuti
Butalah aku berdiri sendiri
Penuntun tiada memimpin jari
Maju mundur tiada terdaya
Sempit bumi dunia raya
Runtuh ripuk astana cuaca
Kureka gembira di lapangan dada
Buta tuli bisu kelu

Tertahan aku di muka dewala


Tertegun aku di jalan buntu
Tertebas putus sutera sempana
Besar benar salah arahku
Hampir tertahan tumpah berkahmu
Hampir tertutup pintu restu
Gapura rahasia jalan bertemu
Insyaf diriku dera durhaka
Gugur tersungkur merenang mata:
Samar terdengar suwara suwarni
Sapur melipur merindu temu.

Penyair dalam puisinya yang berjudul Insyaf menceritakan tentang keadaannya ketika itu
dimana penyair merasakan dalam keadaan terpuruk dan hancur. Sehingga penyair meminta agar
kuat berdiri walaupun sendiri dan tidak ada yang menuntunnya. Penyair dalam keadaan yang
tidak berdaya seperti orang buta yang tak dapat melihat tanpa adanya orang yang menuntun
ataupun tongkat yang untuk menuntunnya. Bahkan untuk maju atau mundurpun ia ragu dan takut
akan terjatuh. Runtuh ripuk astana cuaca dimana harapan-harapannya hancur, tuli dan bisu
kelu (tak dapat berkata, dan berbuat apa-apa). Tertahan aku di muka dewala / Tertegun aku di
jalan buntu / Tertebas putus sutera sempana / Besar benar salah arahku / Hampir tertahan /
tumpah berkahmu / Hampir tertutup pintu restu. Harapan penyair pada waktu itu putus karena
tertahan oleh diding yang membatasi, ketika itu Amir Hamzah benar-benar sudah berputus asa
dan merasakan bersalah dalam hidupnya. Dan penyair insyaf bahwa sesungguhnya
penderitaannya itu merupakan akibat dari kedurhakaannya sendiri kepada Tuhan. Penyair pada
membuat puisi yang berjudul Insyaf merasakan kesedihan dan keputusasaan.
DAFTAR PUSTAKA

 Wellek, Rene & Warren, Austin. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
 Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
 Hamzah, Amir. 2008. Nyanyian Sunyi. Jakarta : Dian Rakyat

Anda mungkin juga menyukai