Hakikat Sastra Islam: Kategorisasi/ Jenis dan Karakteristiknya.
1. Pengertianndan Kategorisasi Sastra Islam
Sastra Islam (Al-Adab Al-Islami) yaitu sastra yang berisi realitas dan imiginasi yang memiliki ciri-ciri Islam atau secara kategorikal, masuk ke dalam salah satu jenis dari lima jenis sastra Islam. Lima jenis sastra Islam itu adalah, 1. Sastra yang mempromosikan sistem kepercayaan dan ajaran Islam seperti, tauhid, etika, dan tasawuf. Jenis sastra imi didominasi oleh apa yang dikenal sastra sufistuk yang mengungkap ajaran tasawuf dalam Islam. Sastra sufistik pertama kali dimunculkan oleh Abu Al-Atahiyah dan para penyair sufi seperti Rabiah Al- Adawiyah. Salah satu puisi sufistik adalah puisi Jalaluddin Ar-rumi, yang menggelorakan penerima terhadap perbedaan agama. Baginya, jika agama dilihat dari sisi luarnya, maka agama satu dengan lainnya berbeda. Namun, jika agama dilihat dari sisi batinnya, maka akan makin menemukan titik temu. (Kalimah sawa) Di Indonesia, puisi-puisi Hamzah Fansuri dan Sunan Bonang masuk ke dalam jenis sastra Sufistik. Kategori sastra ini mendakwahkan Islam melalui media sastra sebagai seni kebahasaan yang bergagasan, sebagaimana musik yang juga biasa digunakan untuk berdakwah yang lirik teksnya masuk juga ke dalam jenis sastra ini 2. Sastra yang memuji atau mengangkat tokoh-tokoh Islam yang menjadi panutan, sebagaimana Al-Quran atau Hadis yang hidup di tengah Masyarakat. Misalnya, Al-Banzanji dan Al-Busyairi yang mengangkat san memuj Nabi Muhammad. Karya keduanya biasa dibaca di Indonesia terutama saat upacara maulid Nabi di masjid-masjid setiap tanggal 12 Rabiul Awal. Bukan hanya itu saja, pembacaan riwayat hidup (manaqib) Syekh Abdul Qadir al-Jalilani dalam bentuk pupuh (matra tradisiomal jawa atau sunda yang diciptakan wali sanga) juga termasuk ke dalam kategori ini. Seperti, dadang gila, sinom, dan kinanti yang dibaca pada saat upacara syukuran pernikahan adat jawa dan sunda 3. Sastra Islam yang membahas lembaga atau organisasi gerakan Islam, paling tidak diyakini gerakan Islam itu oleh pengikutnya. Misalnya, Azril Jakarta karya Kailani dan Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Kebanyakan sastra Islam jenis ini mengambil bentuk bukan novel, melaikan dalam bentuk sastra sejarah sebagai salah satu prosa sastra non Imajinatif. 4. Sastra yang mengkritik realitas sosial yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang ideal. Misalnya, kumpulan puisi al-Luzümiyyät dari al-Ma'ari, sastrawan Arab pada abad ke-12 yang mengkritik fenomena semacam komodifikasi Islam; atau novel mutakhir Indonesia Jihad Terlarang karya Mataharitimoer yang mengkritik NII (Negara Islam Indonesia), gerakan Islam fundamentalis jihadis, yang dinilainya menjual sakralitas agama demi kepentingan duniawi elitenya; atau Cerpen Indonesia tahun 1950-an Robohnya Surau Kami, karya AA Navis, yang mengkritik elite agama umat Islam yang etos kerjanya rendah, meski rajin ibadah. Yang termasuk jenis sastra ini dalam sastra Arab juga adalah Zuqãq Midaq karya Najib Mahfüz. 5. Sastra yang tidak bertentangan dengan prinsio- prinsip Islam. Jenis sastra ini, meski secara formal tidak bicara Islam, bahkan secara simbol Islami secara fisik tak tampak, bisa dimasukan ketegori ini. Yang terpenting, substansi sastranya sejalan dengan Islam. Seperti Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hinaya yang menceritakan anak-anak Sekolah Dasar Muhamadiyah di Bangka Belitung yang memiliki semangat tinggi. Jenis sastra ini bisa disebut semacam sastra Islam Sosiologis yang mungkin tingkat keislamannya rendah. Dalam sastra Arab, karya saduran Al-Manfaluthi dari Prancis semisal Al-Majdulim atau Al-Ayyam, prosa sastra Biografo Thaha Husein yang merupakan sastra jenis ini juga.
Peristilahan dan karakteristik
Di Indonesia dan di Arab, Sastra Islam lebih dikenal dengan sebutan sastra sufistik (Al-adab As-Sufi), yang sastra yang mementingkan pembersihan hati (Tazkiyah An-Nafs) dan menghias diri dengan berakhlak baik (tahali) agar bisa sedekat mungkin dengan Allah (tajalli). Pads masa awal Islam, sastra jenis ini dikenal dwngan sastra Suluk, yaitu Karya sasyta yang menggambarkan perjalanan spritual seorang sifi mencapai taraf di mana hubungan jiwanya dekat dengan Tuham. Dalam bahasa lain, sastra sufistik ini merupkan sastra ysng mengekspresikan pengalaman estetik transendental yang berhubungan erat dengan tauhid. Sebagai sastra transendental, jenis sastra ini mengutamakan makna bukan bentuk; mementingkan yang spritual daripada yang empiris. Dalam pandangan para pelopor sastra sufistik, bentuk sangat ditentukan oleh makna. Makin meningkatnya makna, maka nilai benyuknua akan meningkat juga. Jika dilihat dari perspektif aliran, sebagian besar jenis sastra sufistik beraliran sastra simbolik, yakni sastra yang didalamnya terdapat simbol-simbol yang sarat menjadi makna di samping imajianasi. Selain disebut dengan sastra sufistik, sastra Suluk, dan sastra Transendental di Indonesia, sastra Islam juga dikenal dengan sastra profetik, yaitu sastra yang dibentuk berdasarkan atau untuk tujuan mengungkapkan prinsip-prinsip ajaran kenabian atau wahyu. Sebagai sastra, karakteristik sastra Islam tentu saja bisa didekati dengan pendekatan formalisme, sebuah pendekatan yang menekankan bahwa formalnya yang membedakan sastra dengan yang kain adalah pada sisi seni yang menggunakan bahasa yang indah sebagai medianya. Sastra Islam dalam hal ini adalah tindak bahasa atau kata yang ukurannya adalah seberapa indah bahasa atau kata yang digunakan. Hal ini karena Al-Qur’an saja sebagai rujukan sastra Islam merupakan mukjikat di mana kemukjizatan itu terletak bukan hanya isinya, tetapi juga keindahan bahasanya. Kenyataan ini tentu saja bisa dipahami karena, Al- Qur’An adalah kitab suci yang kekuatan bahasanya terdapat dalam ayat-ayatnya yang menggunakan bahasa citra visual (tamsil/tasybih), metafor (isti’arah), figuratif (majaz), dan bahasa dekoratif (badi’) seperti saja’ (kesamaan huruf akhir dalam kalimatnya) atau tabiq dan muqabalah (mengiringi kata atau kalimat dengan lawannya) Sebagai sasatra imajinatif, karakteristik sastra Islam juga bukankah sastra dokumenter sebagai mimesis (tiruan) murni atas realitas, meskipun dalam sastra realitasnya lebih mendekati sastra dokumenter. Karena itu, sastra Islam penuh dengan cerita imajinatif yang dalam memahaminya akan menjadi problem, jika lewat makna pertama (denotatif)-nya semata, bukan lewat makna kedua (konotatif), dan juga sastra Islam bukanlah sastra yang anti terhadap kisah percintaan dan seksualitas saja. Melainkan membahas persoalan itu secara implisit, tak terlalu fulgar. Sebagaimana konsep itu digunakan di dalam Kisah Yusuf dan Zulaikha dalam Al-Qur’an yang menggambarkan seksualitas secara wajar dan etis. Bukan hanya itu saja, jika dilihat dari perspektif genre, karakteristik sastra Islam bukan sebuah genre tersendiri, karena para sastrawan Islam menjkis dalam berbagai genre.