Anda di halaman 1dari 7

SASTRA ISLAM SELAYANG PANDANG

0leh :Tjahjono Widarmanto

/*/
Beberapa tahun lalu tepatnya 18-20 Desember 2018, saya diundang untuk menjadi salah
satu pembicara pada Muktamar Sastra Pesantren-Sastra Nusantara di ponpes Salafiyah Syafiyah
Sukarjo-Asem Bagus Situbondo. Saat termin tanya jawab muncul berbagai pertanyaan menarik,
di antaranya: “Bisakah sastra berkelindan dengan agama?”, “Adakah sastra Islam itu?”,”Kalau
ada, apa definisi sastra Islam itu dan apakah ciri-cirinya?”, “Bagaimanakah perkembangan
sastra Islam itu dan posisinya dalam sastra dunia dan sastra Indonesia?”

/**/
Perjumpaan sastra dengan agama/religiusitas sangat mungkin terjadi karena secara
naluriah, manusia memiliki keinginan berinteraksi dengan Tuhan. Berkaitan dengan naluri
manusia untuk berinteraksi dengan Tuhan, Thosihiko Izutsu mengatakan bahwa Tuhan dan
manusia memiliki relasi yang khusus. Relasi ini tak terjadi secara sederhana dan tak juga
unilateral tapi bersifat ganda, kompleks, bilateral dan timbal balik.
Relasi tuhan dan manusia ini oleh Izutsu dikategorikan dalam empat tipe. Tipe pertama,
adalah relasi ontologis yaitu memposisikan Tuhan sebagai sumber eksistensi manusia dan
manusia sebagai representasi yang eksistensinya berasal dari Tuhan. Tipe kedua, adalah relasi
komunikasi yang berarti Tuhan dan manusia dibawa ke dalam korelasi yang dekat dan akrab satu
sama lain. Tipe ketiga adalah relasi Tuhan-hamba. Relasi ini melibatkan Tuhan sebagai Tuan
(Rabb), dan mendudukkan manusia sebagai hamba (abd). Tipe terakhir atau keempat adalah
relasi etik yang menggambarkan ada kontradiktif dalam hubungan manusia dengan Tuhannya,
yaitu ada perasaan gentar dan takut terhadap Tuhan sekaligus merindukan kasih sayang sekaligus
syukur kepada Tuhan. Rudolf Otto mengistilahkan sebagai mysterium tremendum atau misteri
yang menakutkan sekaligus misteri yang menakjubkan (mysterium fascinosum) penuh rasa cinta
dan kasih sayang.
Dalam situasi seperti di ataslah, kesusastraan dapat menjadi wadah dan wujud ekspresi
manusia dalam mengungkapkan ‘hubungan keterikatan manusia dengan Tuhannya’, dapat
sebagai alat ekspresi perasaan ketuhanan manusia. Susastra menjadi alat ekspresi yang tepat
dalam mencitrakan eksistensi manusia yang tak bisa lepas dari Tuhannya. Susastra menjadi
wadah yang ampuh untuk menggambarkan dimensi manusia secara utuh sebagai mahluk yang
vertikal sekaligus horizontal. Oleh karena itu agama atau religi menjadi sumber inspirasi yang
tak pernah kering bagi keberadaan kesusastraan.
Berkaitan dengan persentuhan teligiusitas dan kesusastraan, Edgar de Bruyne
menegaskan bahwa yang diungkapkan seorang sastrawan pasti berkaitan dengan dengan
kehidupan dalam arti kekal dan membuka nilai-nilai luhur. Salah satu dari nilai luhur yang
diisyaratkan Edgar de Bruyne itu adalah religi. Religi merupakan nilai luhur yang muncul dari
pengalaman batiniah yang amat personal namun universal yang selalu menggoda sastrawan
untuk mengungkapkannya dalam karya, sehingga para pembaca dapat menghayati nilai luhur
tersebut.
Keterpautan religi dengan kesusastraan jauh-jauh hari pun sudah ditunjukkan oleh
TS.Elliot. TS.Elliot mengungkapkan adanya tiga wujud keterpautan sastra dengan religi yaitu
pertama,sastra religi yang dianalogikan pada sumber kitab suci tertentu. Kedua, sastra religi
yang lahir dari kesadaran ‘berTuhan”, yang tidak mengacu pada satu ajaran agama yang lebih
bersifat universal. Yang ketiga, sastra religi yang ditulis untuk kepentingan penyebaran agama
tertentu

/***/
Sebagai salah satu jenis kesusastraan tentu saja sastra Islam itu ada. Secara teori
perjumpaan sastra dengan Islam sangat dimungkinkan karena sastra memiliki kelindan dengan
aspek religi. Sastra sebagai salah satu fungsi bahasa yaitu sebagai alat ekspresi jiwa, perasaan
dan pikiran manusia dapat berperan sebagai alat mengekspresikan perasaan religius atau
ketuhanan, perasaan rindu dendam manusia dengan Tuhannya.
Khasanah kebudayaan Islam mendudukkan sastra di posisi penting. Bahasa Arab,
mengistilahkan sastra sebagai adab dan sastrawan sebagai adiib (orang yang beradab). Syair-
syair dan karya sastra dijadikan sebagai adab ad Dakwah yaitu karya sastra keagamaan yang
mengajak kembali ke jalan yang benar, mengajak taubat kembali ke jalan Allah. Sastra dakwah
ini sebenarnya sudah muncul sejak zaman Nabi Muhammad.
Kanjeng Nabi Muhammad memiliki sastrawan-sastrawan Islam di antaranya Hassan bin
Tsabit (yang terkenal dengan syairnya syair ar rasul dan digelari penyair Nubuwwah), Ka’ab bin
malik, dan Abdullah bin Rawahah. Para sastrawan ini melalui pena dan karyanya membela nabi
dan mengagungkan nabi melalui syair-syair. Pun setelah nabi wafat dan Islam dipimpin oleh
khilafah Abbasiyah, sastra Islam sebagai sarana dakwah mencapai puncak keemasan dengan
nama-nama sastrawan seperti Abul ‘Ala al -Ma’arri, al-Muttanabbi, Maulana Jalaludin Rummi,
Rabbiyah al-Adawiyyah, dan sebagainya.
Berdasar aspek kesejarahan tersebut, tak bisa terbantahkan bahwa sastra Islam itu ada.
Menurut saya, sastra Islam adalah karya sastra atau teks sastra (baik novel, cerpen, puisi, maupun
drama) yang ditulis oleh orang yang memeluk agama Islam dan teks tersebut memiliki nilai-nilai
Islam. Teks sastra Islam dalam menampilkan nilai-nilai Islam ada yang secara eksplisit, tersurat
dan terang benderang ada pula yang secara implisit, tersirat, samar dalam membiaskan nilai-
nilai Islam.
Teks-teks sastra Islam yang secara eksplisit, tersurat serta terang benderang
memancarkan nilai-nilai Islam memang diniatkan sebagai media dakwah penyiaran agama Islam.
Dengan kata lain, memiliki visi dakwah dan syiar penyebaran agama Islam sehingga tidak
mengherankan bila warna Islam disampaikan secara eksplisit, tersurat, dan terang benderang,
bahkan dengan sengaja mengutip ayat-ayat suci Al Quran.
Di sisi lain, ada pula teks sastra Islam yang tidak berambisi menjadi media dakwah
sehingga tidak secara eksplisit menyuarakan Islam, namun hanya memunculkan atau
membiaskan nilai-nilai Islam sehingga lebih tampak univeral dan humanis. Tentu saja kedua
bentuk teks sastra Islam ini memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing.
/****/
Sastra Islam pun sangat mewarnai kesusastraan dunia, utamanya ketika munculnya tiga
dorongan atau motivasi yang memunculkan sastra Islam sebagai genre yang spesifik. Tiga
motivasi tersebut ialah, yang pertama ada gairah syiar atau dakwah Islam melalui kesusastraan.
Motivasi ini melahirkan sastra dakwah yang memang lebih mementingkan isi dan misi sehingga
acap kali mengutip ayat-ayat dalam Al Qur’an atau mencantumkan identitas Islam seperti nama
Rosulullah, hadist, atau symbol Islam lain. Kedua, munculnya motivasi atau semangat untuk
menyebarkan nilai-nilai Islam walau tidak terjebak dalam bingkai sastra dakwah. Ini berarti
nilai-nilai Islam disampaikan secara implisit atau tersamar dengan membungkusnya dengan
balutan estetika. Yang ketiga, munculnya motivasi atau dorongan personal untuk menuliskan
pengalaman ketuhanan (dalam bingkai Islam) atau rasa rindu pada Allah melalui karya sastra.
Motivasi ketiga inilah yang bisa kita lihat pada fenomena kemunculan sastra sufistik.
Sastra sufistik bahkan pada perkembangannya menjadi referensi dunia. Sastra sufistik dianggap
sebagai sastra dunia sekaligus mewarnai dan menginspirasi karya-karya sastra di berbagai
negara itu, misalnya, karya-karya Rabiah Al Adawiah, Jalaluddin Rummi, Fariid Attar, Omar
Khayam, Faiddudin Assa, dan sebagainya.
Sastra sufi pertama kali ditulis oleh para penyair sufistik yang menempuh jalan tasawuf.
Pada awal perkembangannya, sastra sufi ditulis dalam genre puisi karena terilhami Al Quran
yang diturunkan dengan bahasa yang indah, kaya akan simbol dan penuh pandangan yang
menakjubkan.
Ada lima pandangan dalam tasawuf yang mempengaruhi para penyair sufistik. Yang
pertama,adalah konsep “ma arafa nafsahu fagad, arra a rabbahu” yang bermakna “jika
manusia mengenal dirinya, maka ia dapat mengenal Tuhannya.Pandangan ini bisa diamati pada
baris-baris puisi Rummi:...//Oh, Yang Maha Agung/dariMu air surut ini berasal/..dari sumber
yang sama..//.
Pandangan kedua, adanya keterkaitan antara manusia dan alam semesta; “al-kaunu
insanun kabirun, wal insani kaunu shogirun” yang artinya alam semesta adalah manusia besar
dan manusia adalah alam semesta kecil. Bagi kaum sufi, manusia dan alam semesta adalah
perwujudan kuasa Allah dengan segala sifatNya.
Ketiga, pandangan bahwa Allah dekat sekali dengan manusia, Allah berada diurat
nadinya yang dideskripsikan sebagai “dzat yang tak bisa dibayangkan, dekat tanpa
bersentuhan”. Pandangan ini jelas sekali tergambar dalam baris-baris puisi Rummi:...//dari
tubuh Kau jauh/tapi dalam hatiku/ada jendela menghadapmu/lewat rahasia jendela itu/...kukirim
pesan kepadaMu/.
Pandangan keempat, memiliki tujuan dan fokus untuk menggapai kecintaan dan
kerinduannya pada Allah (mahabah, isyiq). Yang terakhir atau kelima, kaum sufi mempunyai
konsep bahwa kematian bukan sesuatu yang menakutkan, namun sesuatu yang indah, agung,
sakral, jembatan penghubung untuk bertemu dengan Allah yang dirindukannya: mengetahui
bahwa adalah Engkau yang mengambil/kehidupan, kematian menjadi sangat manis./selama aku
bersamaMu, kematian bahkan lebih manis/dibandingkan dengan kehidupan itu sendiri...//
/*****/
Di masa-masa sebelum kesusastraan Indonesia modern atau setidaknya sebelum era Balai
Pustaka, sastra Islam pernah berjaya di Nusantara. Sastra-sastra Melayu seperti Syair Perahu
(karya Hamzah Fanshurii), Tajussalatin (Nuruddi ar ranirri), Gurindam Duabelas (Raja Ali Haji)
atau serat-serat dan suluk di Jawa seperti Suluk Wujil, Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Malang
Sumirang, Serat Sasangka jati, Pepali Ki Ageng Selo,tembang-tembang karangan Sunan
Kalijaga dan sebagainya, menunjukkan jatidiri sastra Islam sudah ada dan mencapai kejayaan
sebelum kesusastraan Indonesia modern.
Namun, tak bisa dipungkiri justru saat era kesusastraan Indonesia modern, sastra Islam di
Indonesia mengalami masa-masa surut, terpinggirkan bahkan marginal. Di era kolonial karena
kepentingan politik dan konspirasi terselubung pemerintah kolonial Belanda, menjadikan sastra
Islam minggir dan marginal. Menurut Maman S Mahayana (2008), kehadiran Balai Pustaka
walaupun berjasa meletakkan tradisi penulisan sastra modern Indonesia, namun mengandung
muatan kepentingan politik dan ideologi, di antaranya proses peminggiran sastra Islam. Proses
peminggiran tersebut ditandai dengan pemaksaan penggunaan aksara latin yang diberlakukan
pada semua wilayah jajahannya di seantero Nusantara. Akibatnya, sastra Islam yang sudah
berurat berakar dalam khasanah kesusastraan Melayu menjadi tergusur.
Di dasawarsa 1970an-1980an hingga awal 1990, wacana sastra Islam sempat menguat
dalam sastra Indonesia modern dengan bergulirnya warna sufistik dalam sastra Indonesia modern
dengan semangat kembali ke akar tradisi Islam. Namun, sayang sekali semangat untuk
meneguhkan jatidiri sastra Indonesia dengan nafas dan semangat serta nilai keIslaman tersebut
hanya hangat-hangat tai ayam dan melempem saat ada gelombang trend sastra perempuan dalam
konstelasi sastra Indonesia.
Surutnya keberadaan sastra Islam di Indonesia ini juga diakibatkan oleh karena minimnya
kajian-kajian atas sastra Islam. Universitas-universita yang memiliki program atau jurusan sastra,
seperti UI,Undip, UGM, Unpad, Unesa, UM dan sebagainya tidak banyak yang melakukan
penelitian atau kajian atas teks-teks sastra Islam. Mereka lebih tertarik mengkaji dan meneliti
sastra-sastra Barat dengan berbagai teori Barat, mulai dari Derrida hingga Foucult, tidak dari
karya-karya Persia, Kairo, Lahore, New Delhi atau Turki.
Pemaparan sejarah sastra Indonesia di kurikulum sekolah pun menunjukkan adanya
keterputusan. Sastra Islam tidak pernah khusus dibicarakan di pengajaran, baik dalam konteks
sastra lama atau sastra modern. Sastra Indonesia tiba-tiba saja melompat ke sastra zaman
kolonialisme dan paskakemerdekaan dengan mengabaikan keberadaan Sastra Islam Sastra-sastra
Islam seperi karya Cik Pante Kullu, al Batani, al Banjari, Syeikh Yusuf, Ranggawarsito, Sunan
Bonang tidak pernah intens ditelaah dan dijadikan pengajaran di bangku sekolahan.
Di kalangan para pemeluk Islam pun, banyak yang memiliki sikap prohibisionisme dan
sinis dalam memandang teks-teks sastra. Mereka secara tidak adil menilai sastra sebagai
menyesatkan dan merusak moral. Mereka acapkali menghujat teks-teks sastra Islam yang
berpotensi nyleneh, otokritik dan kontroversial. Bahrum Rangkuti pernah mengatakan bahwa
citra Islam dalam kesustraan Indonesia modern belum sampai pada hal yang ideal karena
bertalian dengan corak daan sifat pemikiran para ustad, ulama dan pemeluk agama Islam di
Indonesia yang acapkali tidak siap berhadap-hadapan dengan arus pemikiran yang kontraversial.
Kendala yang rawan ini menyebabkan terasingnya teks-teks Islam dari Pakistan, Persia, Turki
yang sarat pemikiran baru dan aliran seni baru acapkali dianggap keblabasen oleh masyarakat
muslim Indonesia. Bahkan masih banyak anggapan di kalangan pemeluk Islam Indonesia,
utamanya yang terlampau fanatik, bahwa buku-buku bacaan termasuk sastra lebih banyak
mudhoratnya karena cenderung menggambarkan syahwat. Mereka juga mengacu surah Asy-
Syura yang melukiskan para penyair/sastrawan adalah pengembara di tiap-tiap lembah bersama
para syaitan.
Bagaimanapun juga keberadaan sastra Islam di Indonesia harus tetap
diperjuangkan. Sudah saatnya sastra Islam menjadi salah satu alternatif terpenting dalam genre
sastra Indonesia. Para pemerhati kebudayaan Islam di Indonesia harus menciptakan ruang yang
selapang-lapangnya bagi penciptaan sastra Islam. Para sastrawan islam pun harus menyadari
bahwa menulis sastra Islam berada pada dua tarik menarik, yaitu pada aspek dakwah dan aspek
estetika. Aspek dakwah dalam sastra Islam bisa menyebabkan estetika teks sastranya lemah
karena terjebak pada propaganda, sebaliknya jika terlampau mementingkan estetika akan
menyebabkan kaburnya semangat syiar. Tampaknya akan lebih tepat jika sastra Islam lebih
mentransformasikan pengalaman batin dan pandangan hidup ketauhidan yang mendalam yang
melahirkan hikmah. Apalagi dalam abad digital ini ada kecenderungan manusia makin abai
dengan perasaan religiusitasnya, sedang di sisi yang lain sastra sebagai seni sekaligus sistem nilai
selalu mencoba tampil dengan cara dan cirinya sendiri.
*) Penulis adalah penyair yang tinggal di Ngawi

TJAHJONO WIDARMANTO

Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Tulisannya berupa puisi, esai, artikel dan
cerpen dipublikan berbagai media di antaranya Koran Tempo, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Horison, BASIS, Kedaulatan
Rakyat, Minggu Pagi, Jurnal Faktual, Majalah Karas, Majalah Kandaga, Maghrib. Id, Telembuk.com, Asyikasyik.com,
Lampung Pos, cendana News, Sabana, dll..
Empat belas buku puisi yang telah terbit yaitu: QASIDAH LANGIT QASIDAH BUMI (2023), SULUK
PANGRACUTAN DARI KAMPUNG PARA ARWAH (2023), BERSEPEDA DARI BARAT KE UTARA SAMPAI TUMBUH BULU
DI TULANG RUSUKKU (2021), KITAB IBU dan KISAH HUJAN (2019), PERBINCANGAN TERAKHIR DENGAN TUAN
GURU (2018), PERCAKAPAN TAN dan RIWAYAT KULDI PARA PEMUJA SAJAK (2016), SEJARAH YANG MERAMBAT DI
TEMBOK-TEMBOK SEKOLAH (2014), UMAYI ( 2012), MATA AIR DI KARANG RINDU (2013), MATA IBU (2010), KUBUR
PENYAIR (2002), KITAB KELAHIRAN (2003), dan DI PUSAT PUSARAN ANGIN (1997),
Buku nonfiksinya yang telah terbit: PENGANTAR JURNALISTIK; Panduan Penulis dan Jurnalis (2016),
MARXISME DAN SUMBANGANNYA TERHADAP TEORI SASTRA: Menuju Pengantar Sosiologi Sastra (2014), MASA
DEPAN SASTRA: Mozaik Telaah dan Pengajaran Sastra (2013), NASIONALISME SASTRA (bunga rampai esai,
2011),dan DRAMA: Pengantar & Penyutradaraannya (2012), KATA dan BENTUK KATA (2020).
Beberapa kali menerima penghargaan di bidang kesastraan, antara lain: Penghargaan Seniman dan
Budayawan Berprestasi Jatim dari Pemrov. Jatim (2002), Sayembara Penulisan Buku pengayaan Tingkat Nasional
dari perpusbuk (2003, 2007, 2010, 2016, 2017), Penghargaan Sutosoma, Kategori Guru Sastra Berdedikasi dari
Balai bahasa Jatim (2013), Penghargaan Sastrawan Pendidik Tingkat Nasional dari Pusat Pembinaan bahasa
(2013), Sayembara Buku Puisi Terbaik Nasional versi HPI 2016, dll.
Selain menulis juga menjadi guru di SMA 2 Ngawi dan menjadi pembicara, instrukstur, narasumber dalam
berbagai kegiatan workshop sastra dan literasi. Sekarang beralamat di Perumahan Chrisan Hikari B.6 Jl. Teuku
Umar Ngawi. Telp/WA. 081359328104. E-Mail: cahyont@yahoo.co.id.

Anda mungkin juga menyukai