Hikmatul Luthfi
Dosen STISIP Widyapuri Mandiri Sukabumi
luthfi_smi@yahoo.com
Abstrak
Kesimpulan besar dari penelitian ini adalah bahwa sastra seperti puisi dapat
menjadi media alternatif pengupayaan perdamaian atau resolusi konflik dengan
nilai-nilai perdamaian yang ada di dalamnya. Hal ini terbukti dengan terdapatnya
konsep-konsep perdamaian dalam puisi Abu al-Qasim al-Shabi, baik itu
perdamaian berbasis tuntutan keadilan, kesucian kehidupan, humanisme, dan
keterlibatan melalui tanggung jawab dan pilihan individu.
Sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai sumber primer
penulis menggunakan karya puisi Abu al-Qasim terutama puisi Ila> T{aghat
al-‘A@lam. Sementara, sebagai sumber sekunder penulis menggunakan buku-
buku teori sastra Islam, teori perdamaian dan konflik, dokumen-dokumen, kajian
tentang sastra, perdamaian dalam Islam. Adapun jenis penelitian ini menggunakan
penelitian kualitatif (library research) dan disajikan dengan deskriptif analitis,
sedangkan metode penelitian yang dipakai unuk membacanya adalah
hermeneutika Dilthey yang dikenal dengan hermeneutika rekonstruktif atau
reproduktif.
I. PENDAHULUAN
A. Diskursus Hermeneutika Sastra, Islam, dan Resolusi Konflik
1. Pengertian Sastra, Perdamaian, dan Hubungannya dengan Islam
Salah satu cabang kesenian yang selalu ada dalam peradaban manusia adalah
sastra. Kelahiran sastra di tengah peradaban manusia dianggap sebagai salah satu
realitas sosial budaya. Sastra selain dinilai sebagai sebuah karya seni yang
memiliki budi, imajinasi dan emosi, juga dianggap sebagai suatu karya kreatif
yang dapat dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual di samping sebagai
konsumsi emosional.1
Keberadaan sastra tidak dapat dianggap remeh, melalui berbagai bentuk
kreatifnya, sastra mampu mendeskripsikan segala sesuatu di luar diri kita secara
koheren dan lengkap, misalnya jiwa, karakter, kehidupan, kebudayaan, dan
peradaban bangsa lain, merupakan sesuatu yang saling kait-mengait dengan
1 M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, (Bandung: Angkasa Bandung, 2012), 1.
2
kehidupan yang kita pijaki. Unsur holistik dan universal sastra inilah yang
menjembatani perbedaan, seraya menunjukkan persamaan sifat kemanusiaan yang
fundamental.
Nabi Muhamad SAW bersabda:
“Sesungguhnya sebagian bayan2 adalah sihir dan sebagian puisi adalah
hikmah atau kebijaksanaan”.3
Berdasarkan hadits ini dan juga dalam al-Qur’an,4 ‘Abdullah al-H}amid
berpendapat bahwa sikap Islam dari awal hingga saat ini hanya satu, tidak ada
konsep na>sikh da mansu>kh dalam hal ini, yaitu secara umum memandang
sastra sebagai suatu karya kemanusiaan yang baik. Yang ditolaknya hanyalah puisi
yang buruk secara Islam. Islam tidak menolak puisi secara keseluruhan.5
Yusuf Qardawi dalam bukunya, Al-Isla>m wa al-Fann, mengatakan bahwa
Islam sangat memberi perhatian besar kepada keindahan, bahkan Islam memberi
perhatian pada bimbingan indra perasaan, karena Dia-lah yang menjadikan
manusia dapat menikmati dan menghayati berbagai keindahan di alam ini.6
Syair atau sastra pada umumnya, atau seni secara lebih umum, memiliki
sasaran dan fungsi. Ia bukan sesuatu yang liar. Sebaliknya, ia adalah karya yang
semestinya sarat kandungan pesan dan komitmen pada kebenaran.7
Jika al-Qur’a>n dikatakan oleh Yusuf Qardawi dalam bukunya Islam Bicara
Seni, sebagai agama dan ilmu pengetahuan, serta sastra dan seni, dan juga
pemenuh hajat ruhani, pemuas logika, pembangun jiwa, pemberi kenikmatan rasa,
dan pengasah lisan.8 Alangkah indahnya jika sastra kita akui sebagai penyambung
lidah al-Qur’a>n, yang akan membantu menjabarkan isi dari kalam Tuhan yang
perlu diperhatikan manusia.
Sastra yang dalam ungkapan arab di sebut al-Adab, pada awalnya
merupakan undangan untuk menyantap makanan. Tradisi semacam ini
2Baya>n adalah mengungkapkan suatu makna lewat berbagai ragam kalimat, tetapi maksud yang
ingin disampaikan jelas.
3إن من البيان سحرا وإن من الشعر حكما, Ibn Kathi>r, Tafs>ir al-Qur’a>n al-‘Az{i>m (Semarang: Taha
Putra, t.t.), 578-580; dan Ah}mad Badawi, Min Bala>ghat al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-
Nahd}ah, 1950), 75.
6Yu>suf al-Qard}a>wi>, Islam Bicara Seni (Solo: Era Intermedia, 1998), 51.
9Syawqi@ Dhayf, Ta>rikh al-Adab al-‘Arabi> : al-‘Ashru al-Ja>hili> (Kairo: Da>r al-
Ma’a>rif, 2001), 7-10.
12Ah}mad H{asan Zayya>t, Ta>rikh Adab al-Arabi> (Bairu>t : Da>r al-Ma’rifah, 1996), 8.
Lihat pula Ah}mad al-Iskandari >dan Must}afa ‘Anna>ni>, al-Wasit} fi al-Adab al-Arabi> wa
Ta>ri>khuh (Kairo : Da>r al-Ma’rifah, 1916), 10.
4
13Hal itu dikemukakan Shashi Tharoor di sela acara Ubud Writers dan Readers Festival. Shashi
adalah penulis India yang lama berkarir di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tahun 2006, dia menjadi
calon dari India untuk posisi Sekretaris Jenderal PBB dan menjadi calon terkuat kedua dari tujuh
calon.
15Milhemet hova : perang wajib; milhemet mitsvah : perang sebagai pemenuhan suatu hal positif
di depan Tuhan; dan milhemet reshut: perang opsional.
16Marc Gopin, Between Eden and Armageddon: The Future of World Religions, Violence and
Peacemaking (New York: Oxford University Press, 2000), 75.
6
subyektivitas kita yaitu implikasi yang kadang-kadang jelas bersih dan kadang-
kadang rancu.
Tentang Tuhan dan Perang dalam Alkitab, yaitu, Tuhan Israel digambarkan
sebagai "orang perang" dalam pertempuran besar melawan Firaun dan tentaranya
di Laut Merah. "Tuhan adalah orang perang, Tuhan Namanya ."17 "Tuhan adalah
orang perang, Tuhan adalah nama-Nya." "Tuhan adalah seorang pria perang ".-
bahwa Dia berjuang untuk Mesir" Tuhan adalah nama-Nya "- bahwa Dia memiliki
belas kasih pada makhluk-Nya, seperti yang menyatakan, "Tuhan, Tuhan, Tuhan,
penyayang dan baik ."18
Yang luar biasa di sini adalah para Rabi melakukan penafsiran ulang
gambaran yang kejam dalam Alkitabiah tentang Tuhan sebagai pahlawan perang.
Penekanan pada paruh kedua dari ayat ini, berfungsi untuk membatasi gambar
kekerasan. Tuhan menghukum keras siapa yang bersalah sekaligus mendengar
doa-doa dari semua makhluk, melayani kebutuhan mereka dan memiliki belas
kasihan kepada mereka. Belas kasihan Tuhan bersifat universal-bukan hanya
untuk orang Yahudi-bahkan saat ia menghukum Mesir. Jadi, dikotomi perilaku
ilahi yang ingin ditekankan oleh para Rabi dalam hal ini adalah tidak antara
Yahudi dan kafir, tetapi antara orang benar dan orang fasik.19
Menurut analisis konflik, perang tidak terjadi dalam kekosongan tanpa rantai
kausal yang mengarah ke sana. Lagipula, perang tidak terpisahkan dari interaksi
manusia lainnya. Perang yang pertama kemungkinan sesuatu yang jauh yang
kemudian menjadi kenyataan, dan lalu menghilang atau tumbuh, atu juga
dilancarkan tapi kemudian tiba-tiba berhenti karena sejumlah faktor sosial
ekonomi yang kompleks, psikodinamik, dan faktor politik. Dengan kata lain,
apakah perang terjadi, bagaimana hasil, bagaimana, dan mengapa itu berakhir
adalah fenomena manusia yang cukup kompleks yang tidak dapat dipisahkan dari
berbagai pilihan manusia dan perilaku yang mengarah ke sana atau yang
berinteraksi dengannya dengan cara yang kompleks. Tak terhitung faktor-faktor
yang berkontribusi membawa orang ke keadaan perang, seperti politik, ekonomi,
psikologis.
Hal ini jelas bahwa dalam analisis konflik, perang sering ada di sepanjang
kontinum. Dari persahabatan tertanam hilangnya komunikasi untuk damai, terjadi
perselisihan paham yang serius, kemudian ke skala kecil terisolasi konflik, konflik
skala besar terisolasi berubah menjadi konflik kronis, terisolasi pertumpahan
darah, pertumpahan darah besar yang terorganisir, dan bahkan genosida.
Terlalu sedikit perhatian yang diberikan, bagaimana cara untuk menghindari
konflik yang berubah menjadi perang, nilai-nilai agama mana yang dapat
17(Exod. 15:3).
19Marc Gopin, Between Eden and Armageddon: The Future of World Religions, Violence and
Peacemaking (New York: Oxford University Press, 2000), 76-78.
7
mencegah konflik dan pertumpahan darah, atau apa yang harus dilakukan ketika
perang atau tindakan kekerasan telah selesai dalam kaitannya dengan
perkabungan, kesembuhan, dan perdamaian/ rekonsiliasi. Hukum moral serta
nilai-nilai sebagai tahap penting dari hubungan manusia. Sumber para Rabi diisi
dengan saran-saran tentang hal ini, tetapi interpretasi mereka yang entah
bagaimana terputus di literatur sekunder dari diskusi perang. Ini adalah
penyimpangan-meskipun mungkin tidak sadar-dari panorama kompleks Yudaisme
rabinik.20
Yahudi berpikir bahwa hermeneutika baru penting bagi masa depan dan
merupakan analisis baru yang muncul dalam dunia kontemporer tentang sifat
konflik, pencegahan, dan resolusi, khususnya karena wawasan ini diterapkan
untuk kelompok etnis dan ekspresi budaya mereka yang unik. Kegiatan di masing-
masing kebudayaan sering melibatkan ekspresi ritual yang unik, suatu konstelasi
unik dari nilai-nilai yang bekerja sama untuk mengurangi ketegangan,
memfasilitasi komunikasi, dan akhirnya mendamaikan pihak. Di beberapa tradisi,
seni ini adalah sangat berkembang, sedangkan di yang lainnya berkembang baik,
sangat tertanam dan tidak diartikulasikan pada saat ini.
Faktanya adalah bahwa semua tradisi monoteistik yang tiga, memiliki sistem
ekstensif etika antarpribadi. Sumber-sumber dalam Yudaisme, misalnya, yang
membahas masalah perang, sebenarnya hanya menempati segelintir halaman dari
Mishnah, Talmud, dan kemudian koleksi halachic. Di sisi lain ada ribuan sumber
para Rabi tentang berbagai nilai-nilai etis, yang secara khusus dirancang untuk
mencegah perselisihan ekonomi, kesalahpahaman, tidak hormat, tidak
berperasaan, konflik, kebencian, balas dendam, kekerasan, dan pertumpahan
darah.
Yang lebih penting untuk tujuan kita daripada perdamaian sebagai nilai
metafisik setidaknya tiga puluh delapan referensi ke mitsvah dari perdamaian
(redifat shalom) sebagai praktik, yang memiliki strategi pragmatis untuk
mencegah atau menyelesaikan konflik. Sebagai contoh, Bab Perdamaian dari
Talmud Babilonia, memiliki berbagai wawasan etis yang mencakup teknik
resolusi konflik, diplomasi, empati, dan gerakan unilateral untuk membangkitkan
respon dalam pihak lain untuk literatur konflik.21
Alat penting lain dari resolusi konflik adalah membangun kepercayaan.
Mungkin ini sangat baik, jauh dalam respon tradisional dan kebudayaan Yahudi ke
seluruh dunia adalah persepsi atau intuisi bahwa tindakan adalah satu-satunya hal
yang bisa dipercaya dan oleh karena itu adalah satu-satunya alat nyata dari
perdamaian.
20Lihat Marc Gopin, Between Eden and Armageddon: The Future of World Religions, Violence
and Peacemaking (New York: Oxford University Press, 2000); abu Nimer, Nonviolence and Peace
Building in Islam: Theory and Practice (Gainesville: University Press of Florida, 2003).
21Lihat Marc Gopin, Between Eden and Armageddon: The Future of World Religions, Violence
and Peacemaking (New York: Oxford University Press, 2000).
8
22Lihat Marc Gopin, Between Eden and Armageddon: The Future of World Religions, Violence
and Peacemaking (New York: Oxford University Press, 2000); abu Nimer, Nonviolence and Peace
Building in Islam: Theory and Practice (Gainesville: University Press of Florida, 2003).
9
23Para penulis dan khatib Muslim yang bertujuan memasukan orang ke dalam agama Islam atau
yang hanya berbicara atas dasar pernyataan kepercayaan dikesampingkan dari kategori ini.
24J. Patout, War and its Discontents: Pacifism and Quietism in the Abrahamic Tradition
(Washington, D.C.: Georgetown University Press, 1996), 165.
25Khwaga Ghulam, Islam, the Religion of Peace (New Delhi: Islam and Modern Age of Society,
1994), 175.
10
5) Sebagai bagian kecil dari kehidupan nabi Muhammad dan kitab suci,
kekerasan mestinya tak lebih penting bagi kaum Muslim sekarang disbanding
dulu. Hadits dan tradisi keislaman merupakan sumber yang kaya untuk nilai-
nilai bina damai dan jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari Muslim, ia
hanya akan mengarah pada nirkekerasan dan perdamaian.26
Kajian-kajian rintisan yang mengesankan oleh Abdul Aziz Sachedina (2000)
menjelaskan penggunaan argument di atas untuk menegaskan perlunya paradigm
Islam pluralis yang baru dalam menghadapi yang lain. Terkait realitas korupsi
dan manipulasi agama, dalam mewujudkan tujuan perubahan politik di Negara-
negara Muslim, Sachedina menyerukan untuk “menemukan kembali keprihatinan
moral umum Islam pada kedamaian dan keadilan”.27
Jenis wacana hermeneutika yang baru ini, berdasarkan pluralism,
nirkekerasan, dan perdamaian, lebih dibutuhkan untuk mebina hubungan antar-
agama. Sachedina menegaskan bahwa “Teologi Islam abad-21 harus
berkomunikasi melampaui bahasa tradisi tertentu”.28 Ini adalah seruan ke arah
penemuan pendekatan dan narasi teologis baru, berdasarkan pluralisme, bukan
ekslusivitas. Pendekatan tersebut didasarkan pada dua kondisi: pertimbangan
sejarah, serta interaksi antara tradisi dan sumber normative dengan realitas
social dan politik kaum Muslim. Hanya dengan itulah penafsiran Islam bisa
berguna dalam menghadapi masa depan, dan juga bermanfaat untuk memahami
masa kini dan masa lalu.29
26Muhamad Abu Nimer, Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam Teori dan Praktik, terj. Rizal
Pangabean dan Ihsan Ali Fauzi ( Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010), 47.
27Abd al-Aziz Sachedina, “The Justification for Violence in Islam.” Dalam War and Its
Discontents: Pacifism and Quietism in the Abrahamic traditions, ed. J. Patout Burns (Washington,
D.C.: Georgetown University Press, 2000), 6.
28Abd al-Aziz Sachedina, “The Justification for Violence in Islam.” Dalam War and Its
Discontents: Pacifism and Quietism in the Abrahamic traditions, ed. J. Patout Burn, 43.
29Abd al-Aziz Sachedina, “The Justification for Violence in Islam.” Dalam War and Its
Discontents: Pacifism and Quietism in the Abrahamic traditions, ed. J. Patout Burns, 47.
30 Ala Dawud Muhammad Naji, “Syi’r abi al-Qasim fi Dhaw’i Nazariyyat al-Talaqqi,” (Yordania:
Risalah al-Majistir fi Jami’ah al-Syarq al-Awsat, 2012), 10.
11
Gemar bersyair-ria sejak jaman batu orang Arab merasa tak lengkap bila tak
mengiringi jerit revolusi 2011 dengan sebuah puisi. Puisi patriotik karya penyair
Tunisia bernama Abu> al-Qa>sim al-Sha>bi yang berjudul Ila> T{aghat
al-‘A@lam.. Sebuah puisi bertenaga layaknya karya-karya penyair legendaris
Indonesia Chairil Anwar dan WS Rendra. Puisi Ila> T{aghat al-‘A@lam.
(Kepada Tirani Dunia) dikumandangkan di jalan-jalan oleh demonstran bersama
kobaran api Revolusi Arab 2011 di Tunisia dan Mesir. Berisi sindiran kepada
penguasa lalim dan ancaman untuk menenggelamkan mereka.
13
II. PEMBAHASAN
A. Etika Agama dalam Puisi Ila> T{aghat al-‘A@lam karya Abu> al-
Qa>sim al-Sha>bi
1. Keadilan
حــبيب الظــلما عــدو اليــاه # ألي أييهّـ ــا الظ ــال السم ــتبد
Penyebab konflik tidak hanya karena motif agama, namun dapat terjadi
karena ketidakadilan dan penghilangan hak ekonomi. Pihak ketiga harus memiliki
pengetahuan yang luas mengenai keadaan yang dibutuhkan dalam menyelesaikan
konflik.32 Dengan mengkaji bait puisi di atas maka kita akan mengetahui bahwa
konflik yang terjadi banyak disebabkan karena ketidakadilan.
Bait puisi di atas berarti: “Ingatlah Hai kamu, tirani culas/Kamu pecinta
kegelapan dan musuh kehidupan.”
Walaupun puisi itu lahir berpuluh-puluh tahun yang lalu namun sejatinya
pesannya universal tak lekang oleh waktu. Bahwa keadilan baik itu keadilan
sosial, ekonomi dan lain sebagainya dijunjung tinggi dan didambakan oleh setiap
orang tanpa memandang ras, suku, golongan dan agama.
Keadilan sosial adalah salah satu dari sekian nilai yang mengaitkan Islam
dengan kedamian. Seruan utama agama Islam adalah untuk mewujudkan realitas
sosial yang adil. Karena itu, tindakan atau pernyataan Muslikm apa pun harus
dinilai dari kontribusi potensialnya terhadap pencapaian tujuan tersebut.dalam
islam, bertindak karena Tuhan sama dengan mengupayakan keadilan. Islam
menyerukan hal tersebut kepada yang kuat maupun yang lemah. Adalah
kewajiban Muslim utnuk mengupayakan keadilan dan melawan penindasan di
tingkat interpersonal maupun struktural.
Dalam Islam keadilan ilahiyah diabadikan dalam wahyu dan kebijaksanaan
Tuhan disampaikan oleh Nabi Muhammad. Keadilan yang bersumber dari
kebijaksanaan Tuhan bisa diterapkan sepanjang masa dan untuk seluruh manusia.
Tetapi peraturan public, hokum, dan pendapat sarjana yang diperoleh lewat
penalaran manusia (ijtihad) meniscayakan penyesuaian dan perbaikan seiring
dengan perubahan yang terus terjadi di dunia.33
32Lihat Marc Gopin, Between Eden and Armageddon: The Future of World Religions, Violence
and Peacemaking (New York: Oxford University Press, 2000), 13-34.
33Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice (New York: Jhon Hopkins University Press,
1984), 3.
14
2. Kesucian Kehidupan
37Khalid Kishtainy, “Violence and Nonviolent Struggle in Arab History.” Dalam Arab Nonviolent
Political Struggle in the Middle East, ed. Ralph Crow, Philip Grant, dan Saad Ibrahim, (Boulder:
Lynne Rienner, 1990), 12.
16
38QS. 49:13.
39Tanggung jawab individu, pilihan dan pengadilan Tuhan di hari Pembalasan juga tercermin
dalam ayat 18:29, 34:28, 88:21-22, dan 109:6.
40Lihat Fahmi Howeidy, al-Islam wa al-Demugratiah (Islam and Democracy) (Kairo: Cairo
Center for Translation and Publication, 1993).
17
mengadili manusia. Bina-damai dan resolusi konflik dalam Islam karena itu
berdasar pada kerangka keyakinan agama yang kuat terkait tanggung jawab
individu atas tindakannya dan keterlibatan aktif mereka dalam konteks sosial yang
lebih luas.
III. Simpulan
Sastra seperti puisi dapat menjadi media alternatif pengupayaan perdamaian
atau resolusi konflik dengan nilai-nilai perdamaian yang ada di dalamnya. Nilai-
nilai tersebut dapat digali di antaranya dengan penggunaan teori hermeneutik.
Transformasi hermeneutika untuk perumusan perdamaian menjadi penting
dilakukan seperti menggunakan agama-agama samawi sebagai paradigma. Hal
tersebut berguna untuk pembangunan perdamaian atau juga resolusi konflik
khususnya konflik dengan berlatar belakang agama.
Adapun nilai-nilai atau konsep-konsep perdamaian yang ada dalam puisi
Abu> al-Qa>sim al-Sha>bi khususnya puisi Ila Tagat al ’Alam yang dapat
dijadikan pengupayaan perdamaian adalah perdamaian berbasis tuntutan keadilan,
kesucian kehidupan, universalitas dan kemuliaan manusia dan keterlibatan melalui
tanggung jawab dan pilihan individu. Konsep-konsep tersebut merupakan konsep
perdamaian positif, yaitu perdamaian jangka panjang.
18
DAFTAR PUSTAKA
Khan, Abdul Ghaffa>r. My Life and Struggle. Delhi: Hind Pocket Books, 1969.
Lakey, George. The Sociological Mechanisms of Non-violent Action. Oakville:
Peace Research Institute, 1968.
Lexy J, Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya, 2000.
Mans}ur, Sa’i>d Husayn. al-Tajdi>d fi al-Shi‘ri Khali>l Mut}ra>n. Kairo:
al-Hai’ah al-Mis}riyyah al-‘Ammah, 1977.
Merton, Thomas. Ghandi on Nonviolence. New York: New Directions, 1965.
Muzakki, Ahmad. Kesusastraan Arab. Jogjakarta, Arruz Media, 2006.
Nardin, Terry, Ed. The Ethics of War and Peace: Religious and Secular
Perspective. Princeton: Princeton University Press, 1996.
Nazir, Muhamad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.
Nimer, Abu. Nonviolence and Peace Building in Islam: Theory and Practice.
Gainesville: University Press of Florida, 2003.
Parker, Dewitt H. The Principles of Aesthetics. New York: Appleton Century
Crofts Inc, 1964.
Randle, Michael. Challenge to Nonviolence. Bradford: University of Bradford,
2002.
Read, Herbert. The Meaning of Art. New York: Praeger, 1972.
Roberts, Keith A. Religion in Sociological Perspective. Homewood Illionis: The
Dorsey Press, 1984.
al-S}ahifi>, Isma‘il. Khali>l Mut}ra>n. Bairu>t: Mansyu>ra>t Da>r al-
Adab, 1979.
Semi, M. Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya, 1988.
________. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa, 1993.
Sharp, Gene. The Politics of Nonviolent Action: Power and struggle. Boston: P.
Sargent, 1973.
Saiyidain, Khwaga Ghulam. Islam, the Religion of Peace. New Delhi: Islam and
Modern Age of Society, 1976.
Al-Fāhid, Abd. Iqbal: His Art and Though. London: Murray, 1959.
Wahid, Abdurrahman dan Daisaku, Ikeda. Dialog Peradaban untuk Toleransi dan
Perdamaian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Wellek, Rene dan Warren, Austin. Theory of Literature. London: Penguin Books,
1973.
al-Zayya>t, Ah}mad H}asan. Ta>ri>kh al-Adab al-Arabi>. Kairo: Dar Al-
Nah}d}ah, t.t.
20