Anda di halaman 1dari 4

Sastra Profetik; Membangun Kesadaran Profetis melalui Karya Sastra

Oleh: Ahmad Sholeh1

Hakikat dasar sastra


Pada hakikatnya sastra adalah karya seni berisi ungkapan ekspresi, kegelisahan,
pemikiran, perenungan yang dihasilkan dari refleksi manusia terhadap keadaan dan
realita kehidupan. Sastra adalah bahasa kebebasan, sastra adalah bahasa yang
mengandung nilai estetika (keindahan), sebagaimana diungkapkan Dr. Nur Sahid,
M.Hum. (wakil ketua majelis LSBO Muhammadiyah), karya sastra sebagai karya seni
adalah bagian dari unsur-unsur kebudayaan yang bersumber pada rasa, terutama rasa
keindahan yang ada pada manusia2.
Sejatinya sebuah karya sastra tidak bisa dilepaskan dari realita kehidupan
penulisnya, lingkungannya, dan kebudayaan masyarakatnya. Karena sastra adalah media
bagi penulis untuk menyampaikan pesan kritis kepada pembaca dengan bahasa yang
estetik (indah).
Mursal Esten menyatakan bahwa, sastra atau keusastraan adalah pengungkapan
dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia atau masyarakat
melalui bahasa sebagai medium dan mempunyai efek yang positif terhadap kehidupan
manusia (kemanusiaan)3. Dari pendapat Esten tersebut, dapat kita garis bawahi karya
sastra yang sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia atau realita sosial.
Senada dengan pendapat Endaswara (2012:36), yang menyatakan, “sastra itu cermin
pemikiran hidup. Sebagai refeleksi pemikiran, sastra juga menyuarakan sebuah
kebenaran hidup. Kalau begitu, sastra, pemikiran, dan hidup tidak bisa dipisahkan.”
Gagasan sastra profetik
Munculnya gagasan sastra profetik tidak bisa kita pisahkan dari penggagas nya,
Kuntowijoyo dialah seorang intelektual yang juga berperan dalam ilmu sosial profetik.
Muhammad Iqbal adalah salah satu tokoh filsuf Islam yang memengaruhi pemikiran
Kuntowijoyo dalam menggagas ilmu sosial profetik. Kata profetik sendiri berasal dari
1
Penulis adalah Ketua Umum PK IMM Ulil Albab FKIP UHAMKA JakTim, Mahasiswa P. Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP UHAMKA.
2
Kuntowijoyo. Maklumat Sastra Profetik; Kaidah etika dan Struktur sastra. (Yogyakarta: Multi pressindo, 2013)
hlm. VII.
3
Sastra, “Sastra” diunduh dari: http://roma-sastra.blogspot.com/ pada tanggal 7 Januari 2014.
kata prophet atau nabi, istilah profetik ini lebih kemudian diartikan dengan peran
kenabian, dalam paradigma profetik setiap manusia memiliki tugas dan peran kenabian
dalam menyelaraskan kehidupan manusia, selain memiliki hubungan dengan Tuhan
(Habluminallah) manusia juga memiliki hubungan dengan manusia (Hambluminannas).
Ilmu sosial profetik yang digagas pak Kunto merupakan manifetasi dari surat Q.S
Ali Imran ayat 110 yang artinya: “kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah”. Inilah yang disebut oleh Kuntowijoyo dengan peran profetik, dimana
manusia memiliki peran kenabian, yaitu humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi
munkar), dan transendensi (tu’minubillah). Inilah yang menjadi gagasan pak Kunto
dalam membumikan ajaran Allah dalam ranah kesusatraan, beliau berpendapat bahwa
dalam konsep Islam yang kaffah umat muslim dituntut untuk menjadikan Islam sebagai
landasan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari . Selain ibadah yang rukun (sahadat,
shalat, zakat, puasa dan haji), maka dalam menciptakan karya sastra pun haruslah
diniatkan sebagai ibadah (Kuntowijoyo, 2013:14).
Sastra profetik memiliki kaidah-kaidah yang menjadi acuan dalam
mengekspresikan, dan menuliskan pesan dalam karya. Yang pertama, epistemologi
strukturalisme transendental: yaitu rujukan dari sebuah karya sastra yang bersumber pada
kitab suci atau wahyu (firman Tuhan atau sabda Nabi) yang kemudian ditarik kedalam
sebuah realita yang terjadi (dari teks ke konteks). Yang kedua, sastra sebagai ibadah:
ibadah selama ini hanya dimaknai sebagai hubungan manusia dengan tuhan
(transendental), padahal peradigma tersebut kurang tepat karena pada hakikatnya manusia
beribadah dengan humanisasi, liberasi, dan transendensi. Maka dalam konteks
kesusatraanpun harus diniatkan sebagai ibadah yang bertujuan untuk ketiga aspek
tersebut, entah itu sebagai kritik sosial, budaya, politik maupun menjadi nasihat-nasihat
atau pesan-pesan Tuhan. Yang ketiga, keterkaitan antar-kesadaran: dalam kehidupan
beragama tentu manusia memiliki kesadaran ketuhanan artinya kesadaran bahwa adanya
Sang Khaliq, Sang Pencipta yang Maha Agung. Selain kesadaran ketuhanan umat
beragama juga harus memiliki kesadaran kemanusiaan, artinya kehidupan kita ini tidak
lepas dari peran kita sebagai makhluk sosial. Kedua kesadaran ini memiliki keterkaitan
antara satu sama lain, artinya ketika manusia memiliki kesadaran ketuhanan yang
tercerminkan dari ibadahnya maka manusia tersebut memiliki tanggung jawab moral dan
sosial kepada masyarakat.
Dengan sastra seorang penyair atau yang lebih dikenal dengan sastrawan harus
bisa menghadirkan nilai-nilai ‘Tuhan’ ke ruang publik melalui karya-karyanya.
Mengamati problematika keagamaan saat ini adalah gemarnya umat beragama memaknai
agama dengan simbol-simbol keagamaan. Agama yang simbolik seperti ini akan
melunturkan substansi dari agama itu sendiri, karena hilangnya nalar religius. Pada
realitanya umat beragama bahkan umat Islam sendiri masih tergerus oleh paradigma
sekuler yang membatasi antara kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrawi
(transendensi). Masdar Hilmy (2008:184) menyatakan bahwa, pernghadiran Tuhan dalam
ruang publik akan lebih berbobot jika dilakukan dalam tataran substantif, bukan simbolik.
Maka dalam sastra profetik haruslah dimunculkan misi-misi tranformatif-liberatif sebagai
bentuk penyadaran nyata kepada penikmat sastra tentang bagaimana seharusnya
memaknai agama (baca: Islam) sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Sastra sebagai gerakan profetik
Sebagai sebuah gerakan, sastra tidak bisa dilakukan sendiri atau secara individual
saja. Namun harus dilakukan secara kolektif untuk menciptakan sebuah gerakan yang
massif dan teroganisir. Tujuan dari gerakan ini adalah menciptakan perubahan dengan
penyadaran mendasar dengan karya-karya sastra yang secara tidak langsung
menginternalisasikan ideologi agama yang bersifat humanisasi (amar ma’ruf), liberasi
(nahi munkar), dan transendensi (tu’minubillah) kedalam karya sastra. Tentu tujuan
utamanya adalah menumbuhkan kesadaran manusia perihal ketuhanan dan kemanusiaan.
Pada dasarnya kesadaran profetis akan muncul ketika seseorang memiliki kesadaran
ketuhanan dan kesadaran kemanusiaan. Abdul Halim Sani dalam manifesto gerakan
intelektual profetik (2011:102) menjelaskan bahwa,
Kesadaran dalam Islam bersifat independen, tidak dipengaruhi oleh struktur, basis
sosial, dan kondisi material. Yang menentukan kesadaran bukanlah individu,
seperti dalam kesadaran kritis, dimana menjadikan individu bersikap aktif dalam
menentukan jalannya sejarah. Kesadaran kritis yang ditentukan oleh individu ini
dapat terjatuh dalam paham eksistensialisme dan individualisme. Sedangkan
kesadaran profetis, meyakini bahwa yang menentukan bentuk kesadaran adalah
Tuhan, dan ketentuan kesadaran ini untuk menebarkan nama Tuhan di dunia.
Sehingga, rahmat diperoleh manusia. Bentuk kesadaran ini adalah ruh illahiah
untuk melakukan transformasi sosial.
Dalam konsep sastra profetik sastrawan memiliki kebebasan untuk berkarya
dengan tidak mengingkari hak dan otoritas Tuhan sebagai Sang Pencipta dan juga tidak
kebablasan dalam memaknai HAM, karena hak asasi manusia haruslah manusiawi bukan
dehumanisasi. Dengan demikian karya sastra tidak lagi memuat kepalsuan dengan
bahasa-bahasa yang puitis, karena pada hakikatnya karya sastra bukanlah ungkapan naïf
seorang sastrawan, apalagi bertolak belakang dari realita yang ada melainkan menjadi
cerminan, kritik dan koreksi atas keadaan.

DAFTAR PUSTAKA

Endaswara, Suwardi. 2012. Metode Penelitian Filsafat Sastra; Rancangan,


Pemikiran, dan Analisis. Yogyakarta: Layar Kata.
Hilmy, Masdar. 2008. Islam Profetik; Substansi Nilai-nilai Agama dalam ruang
Publik. Yogyakarta: Kanisius.
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodologi, dan Etika.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
. 2013. Maklumat Sastra Profetik; Kaidah Etika dan Struktur Sastra.
Yogyakarta: Multi Pressindo.
Sani, Abdul Halim. 2011. Manifesto Gerakan Intelektual Profetik. Yogyakarta:
Samudra Biru.
Sastra. http:// roma-sastra.blogspot.com/, 7 Januari 2014 pukul 10.15 WIB.

Anda mungkin juga menyukai