BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra merupakan ungkapan kehidupan manusia yang memiliki nilai dan
disajikan melalui bahasa yang menarik. Karya sastra bersifat imajinatif dan
kreatif dengan subjek pembaca sebagai penikmat hasil karya. Pada hakikatnya
karya sastra ditulis bukan semata-mata untuk menghibur, melainkan ada
pengalaman faktual yang ingin diungkapkan pengarang kepada pembaca.
Sebuah karya sastra juga berfungsi sebagai pijakan untuk mengembangkan ilmu
pengajaran agar lebih berkembang. Karya sastra dapat tercipta karena adanya
kegelisahan manusia dalam melihat kehidupan masyarakatnya. Karya sastra
tidak akan tercipta dengan baik tanpa ada pengaruh dari lingkungan masyarakat
disekelilingnya. Melalui masyarakat, karya fiksi dapat diciptakan dengan
menuangkan pengalaman dan pengetahuan yang berkembang di masyarakat.
Sebuah karya sastra yang lahir pastinya mengandung fakta sosial dan memiliki
maksud tersembunyi yang ingin disampaikan kepada pembaca. Karya sastra
yang lahir dengan cara menuangkan kualitas emosionalitas merupakan ciri khas
pengarang dalam menumbuhkan aktivitas kreatifnya dalam mengangkat keadaan
disekitarnya sebagai suatu permasalahan yang ada di masyarakat. Kegiatan
dalam menumbuhkan proses kreatif imajinatif mengindikasikan perwujudan
kualitas karya sastra yang sebenarnya. Menurut Sugihastuti (2007: 81) karya
sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan
gagasan-gagasan dan pengalamannya. Peran karya sastra yakni sebagai media
dalam menghubungkan pikiran-pikiran pengarang untuk disampaikan kepada
pembaca. Karya sastra yang tercipta pastinya akan melalui berbagai macam
problematika sebagai bentuk dinamika kehidupan manusia. Dalam menciptakan
sebuah karya sastra pengarang tidak akan pernah bisa meninggalkan kebudayaan
masyarakatnya. Kebudayaan dalam karya sastra sudah dianggap sebagai suatu
identitas yang melekat dalam mempengaruhi terciptanya sebuah karya sastra.
Proses kreatif yang dituangkan ke dalam karya sastra oleh setiap pengarang
memiliki berbagai macam tujuan. Terutama dalam mengangkat tema sosial dan
budaya dalam suatu daerah. Terciptanya sebuah karya sastra disebabkan oleh
banyak faktor yang mempengaruhi pikiran pengarang terhadap masyarakat.
Dalam memuat teks sastra para sastrawan juga memiliki identitas tulisannya
1
2
sendiri pada setiap karyanya. Terutama dalam segi isi atau bentuknya yang
mengandung nilai estetika dalam menggabungkan imajinasi dan fakta sosial
yang ada. Suatu teks sastra setidaknya harus mengandung tiga aspek utama
yaitu, decor (memberikan suatu kepada pembaca), delectare (memberikan
kenikmatan melalui unsur estetik), dan movere (mampu menggerakkan
kreativitas pembaca) (Winarni, 2013: 2). Melalui tiga aspek tersebut karya sastra
dapat dinikmati dengan baik terutama untuk mempengaruhi pembaca agar lebih
kreatif. Tiga aspek yang diungkapkan oleh Winarni dapat ditemukan dalam
novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany yang mengangkat tema kebudayaan.
Dengan adanya tiga aspek tersebut, sebuah karya sastra akan menginspirasi
berbagai macam kelompok pembaca yang ada. Kebudayaan merupakan bagian
dari kehidupan manusia yang saling mengikat. Kebudayaan terbentuk karena
adanya kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan masyarakatnya secara turun-
temurun. Menurut Alfian (2013: 44) kebudayaan dalam arti luas adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan
masyarakat yang diperoleh melalui belajar. Istilah kebudayaan digunakan untuk
menunjukkan hasil fisik karya manusia, meskipun hasil fisik karya manusia
sebenarnya tidak lepas dari pengaruh pola berpikir (gagasan), dan pola perilaku
tindakan manusia. Budaya dianggap sebagai perwujudan identitas suatu
masyarakat. Melalui identitas tersebut, masyarakat akan dengan mudah
mengenali satu sama lainnya. Kebudayaan yang ada secara tidak langsung akan
menarik minat peneliti untuk menguak nilai-nilai antropologi yang terkandung di
dalamnya. Berbicara mengenai kebudayaan pada dasarnya tidak bisa melepaskan
unsur-unsur di dalamnya. Unsur-unsur di dalamnya akan mengarah ke dalam
suatu disiplin ilmu yang berkaitan langsung dengan perilaku masyarakat atau
manusianya dalam kehidupan sehari-hari. Disiplin ilmu yang memiliki
keterikatan dengan kebudayaan yakni ilmu antropologi. Antropologi merupakan
sebuah cabang ilmu yang berkaitan dengan manusia sebagai objeknya yang di
dalamnya terdapat berbagai macam ide dan aktivitas kehidupan manusia. Dalam
memahami ilmu antropologi hal yang pertama kali ditangkap oleh pikiran adalah
nilai kebudayaannya. Sebagai cabang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
manusia, antropologi memiliki cakupan yang sangat luas dan memiliki banyak
keterkaitan dengan cabang ilmu lainnya. Akan tetapi pada kesempatan ini
peneliti hanya sebatas pada cakupan ilmu antropologi yang membahas
kebudayaan dalam karya sastra. menurut antropologi, kebudayaan adalah
3
seluruh istem gagasan dan rasa tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia
dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar
(Koentjaraningrat, 2014: 72). Hasil menonjol yang telah dicapai antropologi
sejauh ini adalah kepustakaan yang melimpah dan beragam yang
menggambarkan cara hidup masyarakat-masyarakat manusia yang mencakup
lingkup sangat luas baik dahulu maupun sekarang (Kaplen dan Manners, 2012:
41). Ruang antropologi yang menyangkut kebudayaan memang sangatlah luas.
Berbeda dengan antropologi sastra, disiplin ilmu ini hanya membahas budaya
yang terdapat dalam karya sastra. Dengan adanya antropologi, wujud dan unsur-
unsur budaya yang terdapat dalam sebuah karya sastra dapat diungkap, namun
hanya sebatas yang terdapat dalam karya sastra. Berdasarkan pandangan
pendekatan tersebut, penelitian ini akan difokuskan pada pengkajian antropologi
sastra. Menurut Endraswara (2013:18) antropologi satra adalah upaya
memahami sastra lewat latar belakang budaya. Melalui latar belakang budaya
yang terdapat dalam sebuah karya sastra, masyarakat akan dengan mudah
mengetahui seluk-beluk kehidupannya. Antropologi dan sastra merupakan
disiplin ilmu yang memiliki kedekatan yang sangat kompleks. Antropologi
sastra dengan sendirinya berkaitan dengan tradisi, adat-istiadat, mitos, dan
peristiwa-peristiwa kebudayaan pada umumnya, sebagai peristiwa yang khas
yang pada umumnya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa masa lampau.
Meskipun demikian, dalam perkembangan berikut, seperti dinyatakan melalui
definisi kebudayaan secara luas, yaitu keseluruhan aktivitas manusia, maka ciri-
ciri antropologis karya sastra dapat ditelusuri melalui keseluruhan aktivitas
tersebut, baik yang terjadi pada masa yang sudah lewat maupun sekarang bahkan
juga pada masa yang akan datang (Ratna, 2011: 73-74). Oleh karena itu,
penelitian antropologi sastra berarti hanya mengarah kepada aktivitas-aktivitas
yang dilakukan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Terutama kebudayaan
masyarakat yang dituangkan ke dalam cerpen. Pengkajian menggunakan
antropologi sastra terhadap cerpen geleng geleng rapai geleng, fokus penelitian
ini sebagai sumber data antropologi. Secara garis besar geleng geleng rapai
geleng berperan besar dalam mempengaruhi penciptaan cerpen ini. Sehingga
mempengaruhi peneliti untuk mengangkat rapai geleng ke dalam kajian
antropologi sastra. Antropologi sastra dan antropologi budaya merupakan dua
disiplin ilmu yang sama-sama membahas kebudayaan sebagai objek
penelitiannya, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan dasar dalam proses
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakan tersebut di atas, maka penulis akan merumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana Antrpologi sastra bekerja dalam karya sastra?
2. Bagaimana Antropologi Sastra dalam cerpen yang berjudul “Geleng
geleng rapai geleng” karya Raihan Khaira?
C. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui Antropologi Sastra Bekerja dalam Karya Sastra
2. Untuk mengetahui Antropologi Sastra dalam cerpen yang berjudul
“Geleng geleng rapai geleng” Karya Raihan Khaira
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Antropologi Sastra
Secara etimologi Antropologi sastra terdiri dari dua kata, yaitu antropologi dan
sastra. Secara singkat antropologi (anthropos + logos) berarti ilmu tentang
manusia. Hal ini sependapat dengan koentjaningrat (2015:9) beliau mengatakan
antropologi berarti ilmu tentang manusia. Tetapi secara luas yang di maksud
dengan antropologi sastra adalah ilmu pengetahuan yang dalam hal ini karya
sastra yang dianalisis dalam kaitanya dengan masalah-masalah antropologi.
Dalam hubungan ini jelas karya sastra menduduki posisi dominan, sebaliknya
unsur-unsur antropologi itu sebagai pelengkap.
Sejumlah defenisi yang dituturkan oleh nyoman dalam buku nya yang berjudul
Antropologi sastra (2011:9), di antaranya:
Defenisi diatas memiliki pengertian yang hampir sama. masalah yang terpenting
adalah prioritas kedudukan terhadap karya sastra, bukan antropologi. Meskipun
demikian dikaitkan dengan dominasi sastra itu sediri.
6
7
Fungsi antropologi sastra sama halnya dengan sosiologi dan psikologi sastra,
yaitu untuk memperkenalkan kekayaan khazanah kultular bangsa sehingga
masing-masing budaya menjadi milik bagi yang lain. Budaya cenderung ke arah
penafsiran. Penafsiran budaya cenderung memandang fenomena budaya sebagai
sebuah teks. Teks tersebut dapat ditafsirkan oleh pembaca itu sendiri.
Sebagai sebuah analisis, maka yang dinilai adalah unsur-unsur itu juga
bagaimana pengarang menceritakan, menarasikan, sehingga kerinduan yang
dimaksudkan terwujud secara baik, estetetis. Secara antropologis karya sastra
sebagai media untuk mengungkapkan kehidupan contohnhya mengungkapkan
aspek-aspek kebudayaan kehidupan orang Jawa, minang, Bali dan sebagainya.
Antropologi sastra dengan demikian memilik kaitan erat dengan kajian budaya,
disatu pihak sebagai salah satu pendekatan interdisipliner, sebagai interdisplin
ilmu dalam rangka menopang eksistensi karya sastra, sosiologi sastra, dan
antropologi sastra di anggap telah mewakili keseluruhan aspek ekstrinsiknya.
8
“Bi..”
Fais tersadar ketika setitik air mata jatuh dan mengalir di pipinya. Betapa kini ia
merindukan kehadiran abi di sampingnya. Sudah bertahun-tahun ia lalui tanpa
abi yang selalu mengantarkannya ke sekolah, yang sering meminta bantuannya
untuk menyiram tanaman di kebun, yang selalu memarahinya jika menyisakan
makanan. Sangat banyak kenangan yang Fais lalui bersama abi. Termasuk syair-
9
syair indah di pagi hari yang selalu abi nyanyikan serta dentuman hangat benda
itu yang masih sangat jelas diingatannya.
“Benda ini namanya rapai. Ada sebuah tarian etnis Aceh yang menggunakan
rapai seperti ini, disebut Tari Rapai Geleng. Gerakan tarian tersebut awalnya
lambat, lalu semakin cepat sesuai dengan syairnya, diikuti dengan gerakan tubuh
yang meliuk ke kiri dan ke kanan dengan posisi duduk bersimpuh. Semakin
cepat syairnya dinyanyikan, maka gerakannya juga semakin cepat. Begitupun
sebaliknya. Pada setiap titik puncaknya, semua gerakan tadi berhenti, termasuk
seluruh nyanyian syair. Nah, supaya menghasilkan suara, rapai ini harus
dipukul,” abi melanjutkan dengan memukul rapai itu dan menyanyikan syair-
syairnya.
“Beu reujang rayek banta sidang, jak tulong prang musoh nanggroe..” Fais
terbawa suasana hatinya. Salah satu syair itu terlantunkan begitu saja dari
mulutnya. Rindu pada abi yang selalu menyanyikan syair itu sebelum Fais tidur
dan bahkan sampai Fais berpetualang di alam mimpinya.
Fais, murid SMA yang jauh dari desa, tinggal dengan umi dan adiknya.
Bertahun-tahun sudah umi menjadi single parent setelah abi kembali kepada
Allah. Untungnya, rezeki seperti tak pernah berniat untuk meninggalkan mereka.
Setelah mereka ditimpa kesedihan dan kepedihan, berbagai mukjizat tak henti-
hentinya datang. Umi diajak bergabung di sebuah perusahan sukses, sementara
Fais dan adiknya lulus beasiswa sekolah terbaik di kota.
Ya, disinilah Fais sekarang. Sebuah kota yang sangat modern dengan berbagai
fasilitas yang sudah canggih. Gedung tinggi dimana-mana. Kota yang selalu
berpasangan dengan suara berisik kendaraan. Kota yang ingin bersahabat dengan
oksigen, tetapi sudah direbut karbondioksida. Kota yang setiap paginya selalu
diramaikan dengan karyawan-karyawan kantor yang terburu-buru berangkat
kerja.
Rumah berlantai dua milik keluarga Fais berada di tengah-tengah kota itu,
sangat jarang berpenghuni karena selalu disibukkan dengan kegiatan masing-
masing. Rumah yang indah biarpun tidak memiliki taman di halamannya.
Rumah itu luas dan memiliki banyak kamar.
Ada satu kamar yang baru kali ini Fais sadari kehadirannya. Ruangan yang luas,
tapi berisi barang-barang tak terpakai, atau bisa disebut gudang. Wajar saja, dulu
10
saat pindah ke sana, Fais tengah disibukkan dengan ujian nasional, yang
membuatnya tidak dapat membantu umi dan adiknya memberesi rumah. Nah,
disitulah Fais sekarang. Di dalam gudang yang dipenuhi debu dan sarang laba-
laba. Di tangannya kini terdapat sebuah rapai yang penuh kenangannya bersama
abi. Air mata jatuh setitik lagi dari sudut matanya. Buru-buru ia menyapunya,
dan membersihkan debu yang terdapat di rapai itu.
Rapai itu dipukul sekali. Fais merasa betapa tenang hatinya saat ini. Dilanjutkan
pukulan kedua, ketiga, dan seterusnya. Pukulan yang berlanjut itu menghasilkan
sebuah musik yang pas. Pita suaranya mulai bergetar menghasilkan syair-syair
lama yang penuh makna. Permainan itu terus berlanjut. Fais menikmatinya
sendiri.
“Mendadak umi sangat rindu abi. Melihatmu memainkan rapai itu, umi ingat
pada abi yang tak pernah libur memainkannya setiap hari. Pagi-pagi selalu umi
lewati dengan syair-syair yang abi nyanyikan diiringi dentuman rapai. Abi
pernah berangan-angan, ingin terus mengiringi bumi Aceh, nusantara, bahkan
dunia dengan suara pukulan rapai lima puluh tahun atau seratus tahun kedepan.
Sangat ingin dirinya melestarikan rapai ini, sampai ke cucu-cucunya nanti,” umi
lalu tersenyum hangat, membayangkan kembali kejadian yang sudah lama itu.
Fais masih ingat apa yang telah abi ajarkan. Bagaimana cara memainkan rapai
agar terdengar pas jika dimainkan berbarengan. Ia masih ingat saat abi
mengajaknya ke acara maulid di desanya dulu. Sekitar lebih kurang sebelas
pemuda dua puluh tahunan memainkan rapai dengan sangat kompak. Banyak
masyarakat yang menontonnya. Disetiap puncak tarian yaitu ketika sedang
dalam gerakan yang cepat dan syair yang dinyanyikan cepat pula, lalu tiba-tiba
berhenti, disitulah suara riuh tepukan tangan penonton terdengar.
Umi wajar saja merindukan hal itu. Pasti di luar sana ada juga beberapa orang
yang merindukan hal yang sama. Termasuk Fais sendiri. Ntah kenapa tiba-tiba
saja di kepalanya terpikir untuk menarikan rapai geleng bersama teman-
temannya. Apa salahnya mencoba?
“InsyaAllah umi, Fais akan mencoba,”
“Fais, apakah kamu tidak keberatan jika kami semua bergabung denganmu?”
tanya Ikram. “Aku pribadi sih, tertarik dengan rapai geleng setelah mendengar
cerita darimu. Aku juga ingin mengetahui dan merasakan bagaimana memainkan
rapai. Sejauh ini, aku tidak pernah bermain alat musik lain selain gitar dan piano,
apalagi alat musik tradisional. Jadi aku sangat penasaran. Bagaimana?”
Tentu saja Fais tidak keberatan. Fais sangat bersyukur bertemu dengan Ikram
dan teman-temannya. Mereka bahkan tidak keberatan membantunya mengajak
teman-teman yang lain. Ini semua diluar dugaannya. Ia tidak berpikir masih ada
orang yang memiliki rasa ingin tahu terhadap alat musik lama itu. Mentari yang
awalnya sedikit mendung, mendadak cerah seolah ikut bersemangat. Akhirnya
sudah berjumlah sebelas orang. Mereka memutuskan untuk berlatih di setiap hari
minggu, dan akan segera menampilkannya di acara maulid yang diadakan di
kantor walikota.
Hari ini acara maulid diadakan. Langit cerah dan berawan ikut memeriahkan.
Suasana kantor walikota sudah sangat ramai dengan anak-anak yang sudah
ditinggal oleh orangtuanya. Nasi kotak sudah tersusun rapi di atas meja. Suara-
suara lantunan zikir kepada nabi SAW dilantunkan. “Ya Nabi Salam ‘Alaika, Ya
Rasul Salam ‘Alaika..”
Rapai dipukul mengikuti syair. Gerakan badan juga sesuai dengan tempo syair
dinyanyikan. Badan penari meliuk-liuk ke kiri dan ke kanan, tapi masih tetap
dalam posisi duduk. Kepala diangguk-anggukkan sesuai dengan tempo. Saat
tempo sedang cepat, diikuti gerakan yang cepat pula, lalu tiba-tiba syair berhenti
13
dinyanyikan, dan penari juga ikutan berhenti gerakan. Sesaat terdengar suara
gemuruh tepukan tangan penonton dari bawah panggung. Fais mencoba
menyembunyikan senyumnya, tapi bibirnya tetap memaksa untuk tersenyum.
Saat syair kembali dinyanyikan, mereka kembali menari.
2. “Rapai itu dipukul sekali. Fais merasa betapa tenang hatinya saat ini.
Dilanjutkan pukulan kedua, ketiga, dan seterusnya. Pukulan yang berlanjut
itu menghasilkan sebuah musik yang pas. Pita suaranya mulai bergetar
menghasilkan syair-syair lama yang penuh makna. Permainan itu terus
berlanjut. Fais menikmatinya sendiri.
2. RELIGI
Unsur religi dalam cepen Geleng geleng rapai geleng merupakan aspek yang
menonjol dalam pengenalan budaya Aceh kepada pembaca. Unsur ini
berkaitan dengan unsur religi karena dalam cerpen tersebut mengemukakan
syair-syair religi. Unsur religi dalam cerpen ini terdapat pada syair-syair dan
acara hari besar islam serta istilah islam yang terdapat pada kutipan cerpen
sebagai berikut:
“Fais, murid SMA yang jauh dari desa, tinggal dengan umi dan adiknya.
Bertahun-tahun sudah umi menjadi single parent setelah abi kembali
kepada Allah. Untungnya, rezeki seperti tak pernah berniat untuk
meninggalkan mereka. Setelah mereka ditimpa kesedihan dan kepedihan,
berbagai mukjizat tak henti-hentinya datang. Umi diajak bergabung di
sebuah perusahan sukses, sementara Fais dan adiknya lulus beasiswa
sekolah terbaik di kota.”
3. “Di zaman yang sangat modern ini, tidak ada lagi yang memainkan
rapai. Mungkin saja mereka bahkan tidak mengetahui bagaimana rapai itu.
Rapai sudah dianggap sangat kuno, apalagi dengan munculnya banyak alat
musik yang lebih canggih. Dulu sekali, menjelang maulid begini, suara
pukulan rapai terdengar dimana-mana. Ingin rasanya umi
mendengarkannya lagi,”
Hari ini acara maulid diadakan. Langit cerah dan berawan ikut
memeriahkan. Suasana kantor walikota sudah sangat ramai dengan anak-
anak yang sudah ditinggal oleh orangtuanya. Nasi kotak sudah tersusun
rapi di atas meja. Suara-suara lantunan zikir kepada nabi SAW
dilantunkan. “Ya Nabi Salam ‘Alaika, Ya Rasul Salam ‘Alaika.”
3. ADAT ISTIADAT
Jika dilihat dari kajian Antropologi, maka Cerpen Geleng geleng rapai
geleng sangat kental dengan penggambaran budaya aceh. Hal itu biasa
terlihat dari kebiasan-kebiasaan orang Aceh yang melakukan tari rapai
geleng.
Pertama, terdapat ulasan mengenai Cerpen geleng geleng rapai geleng yang
mengungkapkan bahwa di dalamnya kebiasaan-kebiasaan masa lampau
yang berulang-ulang masih dilakukan dan terjadi perbenturan nilai budaya
dalam peradaban manusia. Hal ini sebagaimana tertulis dalam kutipan
cerpen sebagai berikut:
“Benda ini namanya rapai. Ada sebuah tarian etnis Aceh yang
menggunakan rapai seperti ini, disebut Tari Rapai Geleng. Gerakan tarian
tersebut awalnya lambat, lalu semakin cepat sesuai dengan syairnya, diikuti
dengan gerakan tubuh yang meliuk ke kiri dan ke kanan dengan posisi
duduk bersimpuh. Semakin cepat syairnya dinyanyikan, maka gerakannya
juga semakin cepat. Begitupun sebaliknya. Pada setiap titik puncaknya,
semua gerakan tadi berhenti, termasuk seluruh nyanyian syair. Nah, supaya
menghasilkan suara, rapai ini harus dipukul,” abi melanjutkan dengan
memukul rapai itu dan menyanyikan syair-syairnya.
Rapai dipukul mengikuti syair. Gerakan badan juga sesuai dengan tempo
syair dinyanyikan. Badan penari meliuk-liuk ke kiri dan ke kanan, tapi
masih tetap dalam posisi duduk. Kepala diangguk-anggukkan sesuai dengan
tempo. Saat tempo sedang cepat, diikuti gerakan yang cepat pula, lalu tiba-
tiba syair berhenti dinyanyikan, dan penari juga ikutan berhenti gerakan.
Sesaat terdengar suara gemuruh tepukan tangan penonton dari bawah
panggung. Fais mencoba menyembunyikan senyumnya, tapi bibirnya tetap
memaksa untuk tersenyum. Saat syair kembali dinyanyikan, mereka kembali
menari.”
20
4. SEJARAH
Sejarah menggambarkan sejarah kehidupan Abi atau Ayah dari Fais. Tokoh
Fais merupakan tokoh utama yang mempengaruhi jalannya cerita. Sedangkan
Abi sosok yang dikenang oleh fais semasa hidupnya.
1. Kebiasaan Abi semasa hidupnya. Hal ini tertuang dalam kutipan berikut:
“Fais tersadar ketika setitik air mata jatuh dan mengalir di pipinya. Betapa
kini ia merindukan kehadiran abi di sampingnya. Sudah bertahun-tahun ia
lalui tanpa abi yang selalu mengantarkannya ke sekolah, yang sering meminta
bantuannya untuk menyiram tanaman di kebun, yang selalu memarahinya jika
menyisakan makanan. Sangat banyak kenangan yang Fais lalui bersama abi.
Termasuk syair-syair indah di pagi hari yang selalu abi nyanyikan serta
dentuman hangat benda itu yang masih sangat jelas diingatannya.”
“Ada satu kamar yang baru kali ini Fais sadari kehadirannya. Ruangan yang
luas, tapi berisi barang-barang tak terpakai, atau bisa disebut gudang. Wajar
saja, dulu saat pindah ke sana, Fais tengah disibukkan dengan ujian nasional,
yang membuatnya tidak dapat membantu umi dan adiknya memberesi rumah.
Nah, disitulah Fais sekarang. Di dalam gudang yang dipenuhi debu dan
sarang laba-laba. Di tangannya kini terdapat sebuah rapai yang penuh
kenangannya bersama abi. Air mata jatuh setitik lagi dari sudut matanya.
Buru-buru ia menyapunya, dan membersihkan debu yang terdapat di rapai
itu.”
“Fais masih ingat apa yang telah abi ajarkan. Bagaimana cara memainkan
rapai agar terdengar pas jika dimainkan berbarengan. Ia masih ingat saat abi
mengajaknya ke acara maulid di desanya dulu. Sekitar lebih kurang sebelas
pemuda dua puluh tahunan memainkan rapai dengan sangat kompak. Banyak
masyarakat yang menontonnya. Disetiap puncak tarian yaitu ketika sedang
dalam gerakan yang cepat dan syair yang dinyanyikan cepat pula, lalu tiba-
tiba berhenti, disitulah suara riuh tepukan tangan penonton terdengar.”
21
BAB III
SIMPULAN
4. Kajian antropologi sastra dalam cerpen geleng geleng rapai geleng karya
Raihan Khairi menumkan Beberapa bahasa yang digunakan adalah bahasa
Aceh, dari segi religi masyarakatnya cerpen ini sangat kental nilai agama
dari segi peralatan kehidupan sehari-hari dan yang terakhir adalah kegiatan
hari besar keagamaan yaitu Maulid Nabi.
21
22
DAFTAR PUSTAKA
http://cerpenmu.com/cerpen-budaya/geleng-geleng-rapai-geleng.html
http://www.jendelasastra.com/dapur-sastra/dapur-jendela-sastra/lain-lain/kajian-
antropologi-novel-putri-karya-putu-wijaya
http://bambangprast.blogspot.com/2017/10/antropologi-sastra-dalam-cerpen-
robonya.html
https://eprints.uns.ac.id/24419/1/s841408015_pendahuluan.pdf
22