Anda di halaman 1dari 22

1

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Karya sastra merupakan ungkapan kehidupan manusia yang memiliki nilai dan
disajikan melalui bahasa yang menarik. Karya sastra bersifat imajinatif dan
kreatif dengan subjek pembaca sebagai penikmat hasil karya. Pada hakikatnya
karya sastra ditulis bukan semata-mata untuk menghibur, melainkan ada
pengalaman faktual yang ingin diungkapkan pengarang kepada pembaca.
Sebuah karya sastra juga berfungsi sebagai pijakan untuk mengembangkan ilmu
pengajaran agar lebih berkembang. Karya sastra dapat tercipta karena adanya
kegelisahan manusia dalam melihat kehidupan masyarakatnya. Karya sastra
tidak akan tercipta dengan baik tanpa ada pengaruh dari lingkungan masyarakat
disekelilingnya. Melalui masyarakat, karya fiksi dapat diciptakan dengan
menuangkan pengalaman dan pengetahuan yang berkembang di masyarakat.
Sebuah karya sastra yang lahir pastinya mengandung fakta sosial dan memiliki
maksud tersembunyi yang ingin disampaikan kepada pembaca. Karya sastra
yang lahir dengan cara menuangkan kualitas emosionalitas merupakan ciri khas
pengarang dalam menumbuhkan aktivitas kreatifnya dalam mengangkat keadaan
disekitarnya sebagai suatu permasalahan yang ada di masyarakat. Kegiatan
dalam menumbuhkan proses kreatif imajinatif mengindikasikan perwujudan
kualitas karya sastra yang sebenarnya. Menurut Sugihastuti (2007: 81) karya
sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan
gagasan-gagasan dan pengalamannya. Peran karya sastra yakni sebagai media
dalam menghubungkan pikiran-pikiran pengarang untuk disampaikan kepada
pembaca. Karya sastra yang tercipta pastinya akan melalui berbagai macam
problematika sebagai bentuk dinamika kehidupan manusia. Dalam menciptakan
sebuah karya sastra pengarang tidak akan pernah bisa meninggalkan kebudayaan
masyarakatnya. Kebudayaan dalam karya sastra sudah dianggap sebagai suatu
identitas yang melekat dalam mempengaruhi terciptanya sebuah karya sastra.
Proses kreatif yang dituangkan ke dalam karya sastra oleh setiap pengarang
memiliki berbagai macam tujuan. Terutama dalam mengangkat tema sosial dan
budaya dalam suatu daerah. Terciptanya sebuah karya sastra disebabkan oleh
banyak faktor yang mempengaruhi pikiran pengarang terhadap masyarakat.
Dalam memuat teks sastra para sastrawan juga memiliki identitas tulisannya
1
2

sendiri pada setiap karyanya. Terutama dalam segi isi atau bentuknya yang
mengandung nilai estetika dalam menggabungkan imajinasi dan fakta sosial
yang ada. Suatu teks sastra setidaknya harus mengandung tiga aspek utama
yaitu, decor (memberikan suatu kepada pembaca), delectare (memberikan
kenikmatan melalui unsur estetik), dan movere (mampu menggerakkan
kreativitas pembaca) (Winarni, 2013: 2). Melalui tiga aspek tersebut karya sastra
dapat dinikmati dengan baik terutama untuk mempengaruhi pembaca agar lebih
kreatif. Tiga aspek yang diungkapkan oleh Winarni dapat ditemukan dalam
novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany yang mengangkat tema kebudayaan.
Dengan adanya tiga aspek tersebut, sebuah karya sastra akan menginspirasi
berbagai macam kelompok pembaca yang ada. Kebudayaan merupakan bagian
dari kehidupan manusia yang saling mengikat. Kebudayaan terbentuk karena
adanya kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan masyarakatnya secara turun-
temurun. Menurut Alfian (2013: 44) kebudayaan dalam arti luas adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan
masyarakat yang diperoleh melalui belajar. Istilah kebudayaan digunakan untuk
menunjukkan hasil fisik karya manusia, meskipun hasil fisik karya manusia
sebenarnya tidak lepas dari pengaruh pola berpikir (gagasan), dan pola perilaku
tindakan manusia. Budaya dianggap sebagai perwujudan identitas suatu
masyarakat. Melalui identitas tersebut, masyarakat akan dengan mudah
mengenali satu sama lainnya. Kebudayaan yang ada secara tidak langsung akan
menarik minat peneliti untuk menguak nilai-nilai antropologi yang terkandung di
dalamnya. Berbicara mengenai kebudayaan pada dasarnya tidak bisa melepaskan
unsur-unsur di dalamnya. Unsur-unsur di dalamnya akan mengarah ke dalam
suatu disiplin ilmu yang berkaitan langsung dengan perilaku masyarakat atau
manusianya dalam kehidupan sehari-hari. Disiplin ilmu yang memiliki
keterikatan dengan kebudayaan yakni ilmu antropologi. Antropologi merupakan
sebuah cabang ilmu yang berkaitan dengan manusia sebagai objeknya yang di
dalamnya terdapat berbagai macam ide dan aktivitas kehidupan manusia. Dalam
memahami ilmu antropologi hal yang pertama kali ditangkap oleh pikiran adalah
nilai kebudayaannya. Sebagai cabang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
manusia, antropologi memiliki cakupan yang sangat luas dan memiliki banyak
keterkaitan dengan cabang ilmu lainnya. Akan tetapi pada kesempatan ini
peneliti hanya sebatas pada cakupan ilmu antropologi yang membahas
kebudayaan dalam karya sastra. menurut antropologi, kebudayaan adalah
3

seluruh istem gagasan dan rasa tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia
dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar
(Koentjaraningrat, 2014: 72). Hasil menonjol yang telah dicapai antropologi
sejauh ini adalah kepustakaan yang melimpah dan beragam yang
menggambarkan cara hidup masyarakat-masyarakat manusia yang mencakup
lingkup sangat luas baik dahulu maupun sekarang (Kaplen dan Manners, 2012:
41). Ruang antropologi yang menyangkut kebudayaan memang sangatlah luas.
Berbeda dengan antropologi sastra, disiplin ilmu ini hanya membahas budaya
yang terdapat dalam karya sastra. Dengan adanya antropologi, wujud dan unsur-
unsur budaya yang terdapat dalam sebuah karya sastra dapat diungkap, namun
hanya sebatas yang terdapat dalam karya sastra. Berdasarkan pandangan
pendekatan tersebut, penelitian ini akan difokuskan pada pengkajian antropologi
sastra. Menurut Endraswara (2013:18) antropologi satra adalah upaya
memahami sastra lewat latar belakang budaya. Melalui latar belakang budaya
yang terdapat dalam sebuah karya sastra, masyarakat akan dengan mudah
mengetahui seluk-beluk kehidupannya. Antropologi dan sastra merupakan
disiplin ilmu yang memiliki kedekatan yang sangat kompleks. Antropologi
sastra dengan sendirinya berkaitan dengan tradisi, adat-istiadat, mitos, dan
peristiwa-peristiwa kebudayaan pada umumnya, sebagai peristiwa yang khas
yang pada umumnya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa masa lampau.
Meskipun demikian, dalam perkembangan berikut, seperti dinyatakan melalui
definisi kebudayaan secara luas, yaitu keseluruhan aktivitas manusia, maka ciri-
ciri antropologis karya sastra dapat ditelusuri melalui keseluruhan aktivitas
tersebut, baik yang terjadi pada masa yang sudah lewat maupun sekarang bahkan
juga pada masa yang akan datang (Ratna, 2011: 73-74). Oleh karena itu,
penelitian antropologi sastra berarti hanya mengarah kepada aktivitas-aktivitas
yang dilakukan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Terutama kebudayaan
masyarakat yang dituangkan ke dalam cerpen. Pengkajian menggunakan
antropologi sastra terhadap cerpen geleng geleng rapai geleng, fokus penelitian
ini sebagai sumber data antropologi. Secara garis besar geleng geleng rapai
geleng berperan besar dalam mempengaruhi penciptaan cerpen ini. Sehingga
mempengaruhi peneliti untuk mengangkat rapai geleng ke dalam kajian
antropologi sastra. Antropologi sastra dan antropologi budaya merupakan dua
disiplin ilmu yang sama-sama membahas kebudayaan sebagai objek
penelitiannya, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan dasar dalam proses
4

pengambilan datanya. Dalam antropologi budaya, proses pengambilan datanya


berkaitan langsung dengan kebudayaan yang ada pada kelompok masyarakat
tersebut, cakupannya pun sangat luas sekali dan lebih jauh sampai ketingkat
dasarnya. Sedangkan untuk antropologi sastra, proses pengambilan datanya
hanya sebatas dalam karya sastra yang mengangkat tema kebudayaan sebagai
objeknya, cakupannya pun sangat terbatas. Pengkajian antropologi sastra
memiliki batasan dalam mengungkap kebudayaan yang terdapat dalam karya
sastra. Dalam pengkajian ini kebudayaan yang diungkap hanya pada wujud dan
unsur budaya yang terdapat dalam karya sastra yang cerpen. Melalui cerpen
tersebut, antropologi sastra akan berusaha mengungkap kebiasaan adat dan
perilaku manusia yang terkandung di dalamnya. Manusia adalah makhluk sosial
yang dapat menciptakan berbagai macam kebudayaan. Fakta tentang
kebudayaaan merupakan bentuk dari sebuah proses manusia yang diperoleh
melalui aktivitas dalam kehidupan. Munculnya sebuah kebudayaan tidak lepas
dari masyarakatnya yang hidup berkelompok dan kemudian menciptakan tradisi
melalui kebiasaan maupun sastra lisan sebagai penunjangnya. Terkait dengan
sastra lisan sebagai bentuk budaya yang diwariskan melalui mitos-mitos maupun
cerita rakyat yang berkembang, secara tidak langsung akan menjadi sebuah
lahan penelitian dalam bidang antropologi. Karya sastra yang berlatar belakang
kebudayaan dalam hal ini akan berkembang dengan baik, tidak terkecuali karya
sastra seperti cerpen yang tercipta karena adanya kegelisahan pengarang dalam
memandang lingkungannya. Dengan demikian, terciptanya cerpen akan
mempengaruhi para peneliti untuk mengambil data dari sebuah cerpen sebagai
objek dalam penelitian antropologi sastra.
5

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakan tersebut di atas, maka penulis akan merumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana Antrpologi sastra bekerja dalam karya sastra?
2. Bagaimana Antropologi Sastra dalam cerpen yang berjudul “Geleng
geleng rapai geleng” karya Raihan Khaira?
C. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui Antropologi Sastra Bekerja dalam Karya Sastra
2. Untuk mengetahui Antropologi Sastra dalam cerpen yang berjudul
“Geleng geleng rapai geleng” Karya Raihan Khaira
6

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Antropologi Sastra

Secara etimologi Antropologi sastra terdiri dari dua kata, yaitu antropologi dan
sastra. Secara singkat antropologi (anthropos + logos) berarti ilmu tentang
manusia. Hal ini sependapat dengan koentjaningrat (2015:9) beliau mengatakan
antropologi berarti ilmu tentang manusia. Tetapi secara luas yang di maksud
dengan antropologi sastra adalah ilmu pengetahuan yang dalam hal ini karya
sastra yang dianalisis dalam kaitanya dengan masalah-masalah antropologi.
Dalam hubungan ini jelas karya sastra menduduki posisi dominan, sebaliknya
unsur-unsur antropologi itu sebagai pelengkap.

Antropologi sastra di sejajarkan denga psikologi sastra, dan sosiologi sastra


dua interdisiplin yang sudah lama berkembang di Indonesia.

Sejumlah defenisi yang dituturkan oleh nyoman dalam buku nya yang berjudul
Antropologi sastra (2011:9), di antaranya:

1. Antropologi sastra adalah aspek-aspek antropologis (dari) sastra


sebagaimana psikologi sastra dan sosiologi sastra.

2. Analisis terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan unsur-unsur


antropologisnya.

3. Analisis terhadap karya sastra melalui sudut pandang antropologi.

4. Analisis karya sastra dengan mengunakan pendekatan antropologi.

Defenisi diatas memiliki pengertian yang hampir sama. masalah yang terpenting
adalah prioritas kedudukan terhadap karya sastra, bukan antropologi. Meskipun
demikian dikaitkan dengan dominasi sastra itu sediri.

Antropologi sastra menyangkut masalah budaya yang merupakan bagian dari


unsur ekstrinsik karya sastra. Untuk memahami unsur ekstrinsik, kajian
dilakukan melalui unsur intrinsik terlebih dahulu. Pada dasarnya pengkajian
unsur ekstrinsik tidak terlepas dari unsur intrinsik. Kedua unsur tersebut
bersama-sama membangun struktur karya sastra. Maka untuk memahami unsur
antropologi selain melalui penokohan, dapat juga dideteksi melalui latar.

6
7

Fungsi antropologi sastra sama halnya dengan sosiologi dan psikologi sastra,
yaitu untuk memperkenalkan kekayaan khazanah kultular bangsa sehingga
masing-masing budaya menjadi milik bagi yang lain. Budaya cenderung ke arah
penafsiran. Penafsiran budaya cenderung memandang fenomena budaya sebagai
sebuah teks. Teks tersebut dapat ditafsirkan oleh pembaca itu sendiri.

Aspek antropologis sastra meliputi keseluruhan karya sekaligus menunjukan


bahwa karya antropologi sastra merupakan model pendekatan yang penting.
kajian antropologi sastra adalah usaha untuk mencoba memberikan identitas
terhadap karya sastra dengan menganggapnya sebagai mengandung aspek
tertentu yaitu hubungan ciri-ciri kebudayaannya. Cara yang dimaksudkan
tentunya mengacu pada defenisi antropologi sastra. Ciri-cirinya seperti memiliki
kecenderungan kemasa lampau, citra primordial, citra arketipe. Ciri-ciri lain,
misalnya mengandung aspek-aspek kearifan lokal dengan fungsi dan
kedudukannya masing-masing, berbicara mengenai suku-suku bangsa dengan
subkategorinya, seperti trah, klen dan kasta. Bentuk kecenderungan yang
dimaksudkan juga muncul sebagai peguyuban tertentu, seperti masyarakat
pecinaan, pesantren. Daerah-daerah tertentu; kampung Bali, Minangkabau,
Jawa, Mandar, Bugis, Papua. Kelompok-kelompok tertentu; priayi, santri, atau
bangsawan.

Sebagai sebuah analisis, maka yang dinilai adalah unsur-unsur itu juga
bagaimana pengarang menceritakan, menarasikan, sehingga kerinduan yang
dimaksudkan terwujud secara baik, estetetis. Secara antropologis karya sastra
sebagai media untuk mengungkapkan kehidupan contohnhya mengungkapkan
aspek-aspek kebudayaan kehidupan orang Jawa, minang, Bali dan sebagainya.
Antropologi sastra dengan demikian memilik kaitan erat dengan kajian budaya,
disatu pihak sebagai salah satu pendekatan interdisipliner, sebagai interdisplin
ilmu dalam rangka menopang eksistensi karya sastra, sosiologi sastra, dan
antropologi sastra di anggap telah mewakili keseluruhan aspek ekstrinsiknya.
8

B. Cerpen “Geleng geleng rapai geleng” Karya Raihan Khaira


Pemuda itu duduk bersila seraya menyenderkan kepalanya di salah satu sisi
rangkang. Ia menarik nafas, lalu dihembuskan perlahan. Wajahnya menunjukkan
ketertarikannya dengan udara segar pagi ini. Sang surya bersinar cerah, namun
cahayanya dihalangi oleh hamparan awan-awan putih gading yang rapi tersusun
di bawahnya. Ditambah dengan suara merdu desiran ombak yang seirama,
beserta deretan kepiting yang kelihatan sangat sibuk berkejar-kejaran. Tak henti-
hentinya pemuda itu bertasbih. Betapa bersyukur dirinya merasakan semua
keindahan ini.

“Bi..”

Pemuda itu membantu anaknya menaiki rangkang, dan didudukkan di


sebelahnya. Bocah kecil itu menunjukkan sebuah benda berbentuk seperti
tempayan yang di bagian atasnya tertutup kulit. Pemuda itu menerimanya, lalu
mulai memukulnya perlahan. Benda tersebut akan menghasilkan suara degungan
yang besar jika dipukul di tengah-tengah, dan akan menghasilkan suara yang
nyaring dan tajam jika dipukul pada bagian pinggir. Ia menghayati setiap
pukulannya sampai matanya terpejam santai, lalu mulai melantunkan sebuah
syair.

Meunyo ka hana raseuki


Nyang bak bibi rhot u lua
Bek susah sare bek seudeh hate
Tapike laen tamita
Mmmm ~

Bocah kecil itu menikmatinya. Biarpun terkadang abinya melupakan sedikit


bagian dari syair tersebut, itu tetap enak di pendengarannya. Ia menghayati
setiap katanya, biarpun tidak dapat dipahami otaknya. Suasana pagi ini sangat
sesuai dengan syair-syair lembut dan dentuman benda itu. Ingin rasanya
merasakan hal ini sepanjang hari.

Fais tersadar ketika setitik air mata jatuh dan mengalir di pipinya. Betapa kini ia
merindukan kehadiran abi di sampingnya. Sudah bertahun-tahun ia lalui tanpa
abi yang selalu mengantarkannya ke sekolah, yang sering meminta bantuannya
untuk menyiram tanaman di kebun, yang selalu memarahinya jika menyisakan
makanan. Sangat banyak kenangan yang Fais lalui bersama abi. Termasuk syair-
9

syair indah di pagi hari yang selalu abi nyanyikan serta dentuman hangat benda
itu yang masih sangat jelas diingatannya.

“Benda ini namanya rapai. Ada sebuah tarian etnis Aceh yang menggunakan
rapai seperti ini, disebut Tari Rapai Geleng. Gerakan tarian tersebut awalnya
lambat, lalu semakin cepat sesuai dengan syairnya, diikuti dengan gerakan tubuh
yang meliuk ke kiri dan ke kanan dengan posisi duduk bersimpuh. Semakin
cepat syairnya dinyanyikan, maka gerakannya juga semakin cepat. Begitupun
sebaliknya. Pada setiap titik puncaknya, semua gerakan tadi berhenti, termasuk
seluruh nyanyian syair. Nah, supaya menghasilkan suara, rapai ini harus
dipukul,” abi melanjutkan dengan memukul rapai itu dan menyanyikan syair-
syairnya.

“Beu reujang rayek banta sidang, jak tulong prang musoh nanggroe..” Fais
terbawa suasana hatinya. Salah satu syair itu terlantunkan begitu saja dari
mulutnya. Rindu pada abi yang selalu menyanyikan syair itu sebelum Fais tidur
dan bahkan sampai Fais berpetualang di alam mimpinya.

Fais, murid SMA yang jauh dari desa, tinggal dengan umi dan adiknya.
Bertahun-tahun sudah umi menjadi single parent setelah abi kembali kepada
Allah. Untungnya, rezeki seperti tak pernah berniat untuk meninggalkan mereka.
Setelah mereka ditimpa kesedihan dan kepedihan, berbagai mukjizat tak henti-
hentinya datang. Umi diajak bergabung di sebuah perusahan sukses, sementara
Fais dan adiknya lulus beasiswa sekolah terbaik di kota.

Ya, disinilah Fais sekarang. Sebuah kota yang sangat modern dengan berbagai
fasilitas yang sudah canggih. Gedung tinggi dimana-mana. Kota yang selalu
berpasangan dengan suara berisik kendaraan. Kota yang ingin bersahabat dengan
oksigen, tetapi sudah direbut karbondioksida. Kota yang setiap paginya selalu
diramaikan dengan karyawan-karyawan kantor yang terburu-buru berangkat
kerja.

Rumah berlantai dua milik keluarga Fais berada di tengah-tengah kota itu,
sangat jarang berpenghuni karena selalu disibukkan dengan kegiatan masing-
masing. Rumah yang indah biarpun tidak memiliki taman di halamannya.
Rumah itu luas dan memiliki banyak kamar.

Ada satu kamar yang baru kali ini Fais sadari kehadirannya. Ruangan yang luas,
tapi berisi barang-barang tak terpakai, atau bisa disebut gudang. Wajar saja, dulu
10

saat pindah ke sana, Fais tengah disibukkan dengan ujian nasional, yang
membuatnya tidak dapat membantu umi dan adiknya memberesi rumah. Nah,
disitulah Fais sekarang. Di dalam gudang yang dipenuhi debu dan sarang laba-
laba. Di tangannya kini terdapat sebuah rapai yang penuh kenangannya bersama
abi. Air mata jatuh setitik lagi dari sudut matanya. Buru-buru ia menyapunya,
dan membersihkan debu yang terdapat di rapai itu.

Rapai itu dipukul sekali. Fais merasa betapa tenang hatinya saat ini. Dilanjutkan
pukulan kedua, ketiga, dan seterusnya. Pukulan yang berlanjut itu menghasilkan
sebuah musik yang pas. Pita suaranya mulai bergetar menghasilkan syair-syair
lama yang penuh makna. Permainan itu terus berlanjut. Fais menikmatinya
sendiri.

”Nanggroe Aceh nyoe teumpat lon lahe


Bak ujong pante pulo Sumatra
Dilee baroe kon lam jaroe kaphe
Jinoe hana le ka aman seuntosa..”
Permainannya terhenti karena ia menyadari kehadiran umi di sebelahnya. Umi
tersenyum, lalu Fais berjalan keluar mengikuti uminya.

“Mendadak umi sangat rindu abi. Melihatmu memainkan rapai itu, umi ingat
pada abi yang tak pernah libur memainkannya setiap hari. Pagi-pagi selalu umi
lewati dengan syair-syair yang abi nyanyikan diiringi dentuman rapai. Abi
pernah berangan-angan, ingin terus mengiringi bumi Aceh, nusantara, bahkan
dunia dengan suara pukulan rapai lima puluh tahun atau seratus tahun kedepan.
Sangat ingin dirinya melestarikan rapai ini, sampai ke cucu-cucunya nanti,” umi
lalu tersenyum hangat, membayangkan kembali kejadian yang sudah lama itu.

Umi menarik nafas, lalu membuangnya perlahan. Tiba-tiba saja senyumnya


menghilang, diikuti raut wajah yang menunjukkan kesedihan. Ia melanjutkan
perkataannya, “Tapi mustahil rasanya. Di zaman yang sangat modern ini, tidak
ada lagi yang memainkan rapai. Mungkin saja mereka bahkan tidak mengetahui
bagaimana rapai itu. Rapai sudah dianggap sangat kuno, apalagi dengan
munculnya banyak alat musik yang lebih canggih. Dulu sekali, menjelang
maulid begini, suara pukulan rapai terdengar dimana-mana. Ingin rasanya umi
mendengarkannya lagi,”
“Umi, doakan Fais supaya bisa mewujudkannya!” kata Fais penuh semangat.
“Kamu yakin, neuk?”
11

Fais masih ingat apa yang telah abi ajarkan. Bagaimana cara memainkan rapai
agar terdengar pas jika dimainkan berbarengan. Ia masih ingat saat abi
mengajaknya ke acara maulid di desanya dulu. Sekitar lebih kurang sebelas
pemuda dua puluh tahunan memainkan rapai dengan sangat kompak. Banyak
masyarakat yang menontonnya. Disetiap puncak tarian yaitu ketika sedang
dalam gerakan yang cepat dan syair yang dinyanyikan cepat pula, lalu tiba-tiba
berhenti, disitulah suara riuh tepukan tangan penonton terdengar.

Umi wajar saja merindukan hal itu. Pasti di luar sana ada juga beberapa orang
yang merindukan hal yang sama. Termasuk Fais sendiri. Ntah kenapa tiba-tiba
saja di kepalanya terpikir untuk menarikan rapai geleng bersama teman-
temannya. Apa salahnya mencoba?
“InsyaAllah umi, Fais akan mencoba,”

Ternyata, tidak mudah mengajak teman-temannya bergabung. Sesuai dugaan,


mereka menolaknya karena dianggap terlalu kuno. Hampir semua teman-
temannya sudah diajak, tapi belum ada seorangpun yang berminat. Beberapa
orang yang menolak bergabung, mendukung Fais. Benar, usahanya belum gagal.
Fais memutuskan untuk terus mengajak.

Banyak pertanyaan yang diajukan kepada Fais. Sebelumnya, Fais sudah


menduga teman-temannya akan bertanya banyak hal. Jadi ia sudah menyiapkan
segala jawaban, agar membuat teman-temannya tertarik. Tapi itu sama sekali
tidak mempengaruhi. Rasa putus asa sudah menghampirinya.

“Kamu kenapa?” beberapa siswa menghampirinya. Dari seragamnya, terlihat


mereka dari sekolah yang berbeda. “Kamu terlihat sangat murung. Ada apa?
Ceritakan pada kami. Mungkin kami dapat membantumu,”
Fais baru menyadari dirinya sudah terduduk sangat lama di halte bus sendirian.
Beberapa orang itu terlihat tulus ingin membantunya. Mereka lalu berkenalan.
Mereka adalah Thariq, Abrar, Ikram, dan Ibrahim, beruntungnya lagi mereka
sebaya dengan Fais. Fais pun mulai menceritakan segalanya. Kenangannya
bersama abi yang mengajarkannya bermain rapai, saat ia menemukan kembali
rapai itu di sudut gudang rumahnya, tentang tekadnya yang ingin mewujudkan
impian abi, dan rasa putus asanya ketika teman-temannya tak ada yang berminat
bergabung bersamanya menarikan rapai geleng. Fais terkadang berhenti,
menarik nafas, dan menghela panjang ketika menceritakannya. Wajahnya
12

menerawang. Teman-teman barunya terus mendengar tanpa mengomentari


sedikit pun. Sampai akhirnya Fais selesai bercerita.

“Fais, apakah kamu tidak keberatan jika kami semua bergabung denganmu?”
tanya Ikram. “Aku pribadi sih, tertarik dengan rapai geleng setelah mendengar
cerita darimu. Aku juga ingin mengetahui dan merasakan bagaimana memainkan
rapai. Sejauh ini, aku tidak pernah bermain alat musik lain selain gitar dan piano,
apalagi alat musik tradisional. Jadi aku sangat penasaran. Bagaimana?”

Tentu saja Fais tidak keberatan. Fais sangat bersyukur bertemu dengan Ikram
dan teman-temannya. Mereka bahkan tidak keberatan membantunya mengajak
teman-teman yang lain. Ini semua diluar dugaannya. Ia tidak berpikir masih ada
orang yang memiliki rasa ingin tahu terhadap alat musik lama itu. Mentari yang
awalnya sedikit mendung, mendadak cerah seolah ikut bersemangat. Akhirnya
sudah berjumlah sebelas orang. Mereka memutuskan untuk berlatih di setiap hari
minggu, dan akan segera menampilkannya di acara maulid yang diadakan di
kantor walikota.

Hari ini acara maulid diadakan. Langit cerah dan berawan ikut memeriahkan.
Suasana kantor walikota sudah sangat ramai dengan anak-anak yang sudah
ditinggal oleh orangtuanya. Nasi kotak sudah tersusun rapi di atas meja. Suara-
suara lantunan zikir kepada nabi SAW dilantunkan. “Ya Nabi Salam ‘Alaika, Ya
Rasul Salam ‘Alaika..”

Tiba saatnya penampilan rapai geleng diperkenalkan ke seluruh masyarakat. Fais


dan teman-teman berdiri bersaf di atas panggung. Ibrahim sebagai syeh bersiap
dengan mikrofonnya. Fais memukul rapai sekali sebagai pertanda untuk hormat,
lalu mereka duduk berbanjar. Ibrahim mulai menyanyikan sebait syair yang
berisi puji-pujian kepada Allah.

Alhamdulilah pujoe keu Tuhan


Nyang peujeuet alam langet ngon donya
Teuma seulaweuet ateueh janjongan
Pang ulee alam rasul ambiya

Rapai dipukul mengikuti syair. Gerakan badan juga sesuai dengan tempo syair
dinyanyikan. Badan penari meliuk-liuk ke kiri dan ke kanan, tapi masih tetap
dalam posisi duduk. Kepala diangguk-anggukkan sesuai dengan tempo. Saat
tempo sedang cepat, diikuti gerakan yang cepat pula, lalu tiba-tiba syair berhenti
13

dinyanyikan, dan penari juga ikutan berhenti gerakan. Sesaat terdengar suara
gemuruh tepukan tangan penonton dari bawah panggung. Fais mencoba
menyembunyikan senyumnya, tapi bibirnya tetap memaksa untuk tersenyum.
Saat syair kembali dinyanyikan, mereka kembali menari.

Suara tepukan tangan dan teriakan-teriakan penonton mengakhiri pertunjukan


rapai geleng. Fais dan teman-temannya disambut dengan hangat oleh sang
walikota. “Kalian hebat! Teruslah lestarikan budaya Aceh, saya sangat bangga
pada kalian!” serunya. Ia memeluk Fais dan teman-temannya, serta memberi
mereka penghargaan, yang pastinya tidak pernah akan bisa Fais lupakan. Fais
lalu memeluk uminya yang sedari tadi menontonnya dengan penuh keharuan,
“Umi bangga dengan Fais, terima kasih neuk!”

Walikota dengan semangat yang menggebu-gebu mengajak seluruh masyarakat


untuk menjadi seperti Fais dan teman-temannya, yang memainkan alat musik
kuno di zaman yang sudah modern ini. Alangkah kayanya Aceh akan budaya,
tapi sudah banyak ditinggalkan karena pengaruh globalisasi. Pasti diantara
banyak penonton tadi, hanya beberapa yang mengetahui tentang kesenian rapai
geleng. Ini adalah hal yang bagus dicontoh sebagai generasi penerus nanggroe.
Lestarikanlah semua budaya yang berasal dari daerah kita, baik kesenian, tradisi,
makanan, dan lain-lain, agar anak cucu kita dapat ikut merasakannya.
14

C. Kajian Antropologi Cerpen “Geleng geleng rapai geleng” Karya Raihan


Khairi.
1. BAHASA
Bahasa yang digunakan dalam cerpen terdiri dari bahasa sehari-hari Aceh.
Bahasa yang mencerminkan ciri khas budaya masyarakat tertentu akan
tampak dari istilah-istilah kedaerahan yang dimiliki budaya lain. Dalam
cerpen Geleng geleng rapai geleng istilah bahasa yang digunakan
menggambarkan kebudayaan Aceh. Bahasa keseharian sebagaimana tertulis
dalam kutipan sebagai berikut:

1. “Pemuda itu membantu anaknya menaiki rangkang, dan didudukkan di


sebelahnya. Bocah kecil itu menunjukkan sebuah benda berbentuk seperti
tempayan yang di bagian atasnya tertutup kulit. Pemuda itu menerimanya,
lalu mulai memukulnya perlahan. Benda tersebut akan menghasilkan suara
degungan yang besar jika dipukul di tengah-tengah, dan akan menghasilkan
suara yang nyaring dan tajam jika dipukul pada bagian pinggir. Ia
menghayati setiap pukulannya sampai matanya terpejam santai, lalu mulai
melantunkan sebuah syair.

Meunyo ka hana raseuki


Nyang bak bibi rhot u lua
Bek susah sare bek seudeh hate
Tapike laen tamita
Mmmm ~ “

2. “Rapai itu dipukul sekali. Fais merasa betapa tenang hatinya saat ini.
Dilanjutkan pukulan kedua, ketiga, dan seterusnya. Pukulan yang berlanjut
itu menghasilkan sebuah musik yang pas. Pita suaranya mulai bergetar
menghasilkan syair-syair lama yang penuh makna. Permainan itu terus
berlanjut. Fais menikmatinya sendiri.

”Nanggroe Aceh nyoe teumpat lon lahe


Bak ujong pante pulo Sumatra
Dilee baroe kon lam jaroe kaphe
Jinoe hana le ka aman seuntosa..”
Permainannya terhenti karena ia menyadari kehadiran umi di sebelahnya.
Umi tersenyum, lalu Fais berjalan keluar mengikuti uminya.”
15

3. “Tiba saatnya penampilan rapai geleng diperkenalkan ke seluruh


masyarakat. Fais dan teman-teman berdiri bersaf di atas panggung. Ibrahim
sebagai syeh bersiap dengan mikrofonnya. Fais memukul rapai sekali
sebagai pertanda untuk hormat, lalu mereka duduk berbanjar. Ibrahim mulai
menyanyikan sebait syair yang berisi puji-pujian kepada Allah.

Alhamdulilah pujoe keu Tuhan


Nyang peujeuet alam langet ngon donya
Teuma seulaweuet ateueh janjongan
Pang ulee alam rasul ambiya “
16

2. RELIGI

Unsur religi dalam cepen Geleng geleng rapai geleng merupakan aspek yang
menonjol dalam pengenalan budaya Aceh kepada pembaca. Unsur ini
berkaitan dengan unsur religi karena dalam cerpen tersebut mengemukakan
syair-syair religi. Unsur religi dalam cerpen ini terdapat pada syair-syair dan
acara hari besar islam serta istilah islam yang terdapat pada kutipan cerpen
sebagai berikut:

1. Pada istilah bertsabih (berdzikir)

“Sang surya bersinar cerah, namun cahayanya dihalangi oleh hamparan


awan-awan putih gading yang rapi tersusun di bawahnya. Ditambah
dengan suara merdu desiran ombak yang seirama, beserta deretan kepiting
yang kelihatan sangat sibuk berkejar-kejaran. Tak henti-hentinya pemuda
itu bertasbih. Betapa bersyukur dirinya merasakan semua keindahan ini.”

2. Penyebutan nama Allah yang ber arti Tuhan

“Fais, murid SMA yang jauh dari desa, tinggal dengan umi dan adiknya.
Bertahun-tahun sudah umi menjadi single parent setelah abi kembali
kepada Allah. Untungnya, rezeki seperti tak pernah berniat untuk
meninggalkan mereka. Setelah mereka ditimpa kesedihan dan kepedihan,
berbagai mukjizat tak henti-hentinya datang. Umi diajak bergabung di
sebuah perusahan sukses, sementara Fais dan adiknya lulus beasiswa
sekolah terbaik di kota.”

3. “Di zaman yang sangat modern ini, tidak ada lagi yang memainkan
rapai. Mungkin saja mereka bahkan tidak mengetahui bagaimana rapai itu.
Rapai sudah dianggap sangat kuno, apalagi dengan munculnya banyak alat
musik yang lebih canggih. Dulu sekali, menjelang maulid begini, suara
pukulan rapai terdengar dimana-mana. Ingin rasanya umi
mendengarkannya lagi,”

4. “InsyaAllah umi, Fais akan mencoba,”


17

5. Pada Acara Maulid Nabi

Hari ini acara maulid diadakan. Langit cerah dan berawan ikut
memeriahkan. Suasana kantor walikota sudah sangat ramai dengan anak-
anak yang sudah ditinggal oleh orangtuanya. Nasi kotak sudah tersusun
rapi di atas meja. Suara-suara lantunan zikir kepada nabi SAW
dilantunkan. “Ya Nabi Salam ‘Alaika, Ya Rasul Salam ‘Alaika.”

6. Pada acara Maulid Nabi

“ Tiba saatnya penampilan rapai geleng diperkenalkan ke seluruh


masyarakat. Fais dan teman-teman berdiri bersaf di atas panggung.
Ibrahim sebagai syeh bersiap dengan mikrofonnya. Fais memukul rapai
sekali sebagai pertanda untuk hormat, lalu mereka duduk berbanjar.
Ibrahim mulai menyanyikan sebait syair yang berisi puji-pujian kepada
Allah.

Alhamdulilah pujoe keu Tuhan


Nyang peujeuet alam langet ngon donya
Teuma seulaweuet ateueh janjongan
Pang ulee alam rasul ambiya. “
18

3. ADAT ISTIADAT

Jika dilihat dari kajian Antropologi, maka Cerpen Geleng geleng rapai
geleng sangat kental dengan penggambaran budaya aceh. Hal itu biasa
terlihat dari kebiasan-kebiasaan orang Aceh yang melakukan tari rapai
geleng.

Pertama, terdapat ulasan mengenai Cerpen geleng geleng rapai geleng yang
mengungkapkan bahwa di dalamnya kebiasaan-kebiasaan masa lampau
yang berulang-ulang masih dilakukan dan terjadi perbenturan nilai budaya
dalam peradaban manusia. Hal ini sebagaimana tertulis dalam kutipan
cerpen sebagai berikut:

1. Testimoni sejarah dalam cerpen

“Benda ini namanya rapai. Ada sebuah tarian etnis Aceh yang
menggunakan rapai seperti ini, disebut Tari Rapai Geleng. Gerakan tarian
tersebut awalnya lambat, lalu semakin cepat sesuai dengan syairnya, diikuti
dengan gerakan tubuh yang meliuk ke kiri dan ke kanan dengan posisi
duduk bersimpuh. Semakin cepat syairnya dinyanyikan, maka gerakannya
juga semakin cepat. Begitupun sebaliknya. Pada setiap titik puncaknya,
semua gerakan tadi berhenti, termasuk seluruh nyanyian syair. Nah, supaya
menghasilkan suara, rapai ini harus dipukul,” abi melanjutkan dengan
memukul rapai itu dan menyanyikan syair-syairnya.

2. Penampilan di Acara Maulid Nabi yang tertuang dalam kutipan berikut:

“Tiba saatnya penampilan rapai geleng diperkenalkan ke seluruh


masyarakat. Fais dan teman-teman berdiri bersaf di atas panggung.
Ibrahim sebagai syeh bersiap dengan mikrofonnya. Fais memukul rapai
sekali sebagai pertanda untuk hormat, lalu mereka duduk berbanjar.
Ibrahim mulai menyanyikan sebait syair yang berisi puji-pujian kepada
Allah.

Alhamdulilah pujoe keu Tuhan


Nyang peujeuet alam langet ngon donya
Teuma seulaweuet ateueh janjongan
Pang ulee alam rasul ambiya
19

Rapai dipukul mengikuti syair. Gerakan badan juga sesuai dengan tempo
syair dinyanyikan. Badan penari meliuk-liuk ke kiri dan ke kanan, tapi
masih tetap dalam posisi duduk. Kepala diangguk-anggukkan sesuai dengan
tempo. Saat tempo sedang cepat, diikuti gerakan yang cepat pula, lalu tiba-
tiba syair berhenti dinyanyikan, dan penari juga ikutan berhenti gerakan.
Sesaat terdengar suara gemuruh tepukan tangan penonton dari bawah
panggung. Fais mencoba menyembunyikan senyumnya, tapi bibirnya tetap
memaksa untuk tersenyum. Saat syair kembali dinyanyikan, mereka kembali
menari.”
20

4. SEJARAH
Sejarah menggambarkan sejarah kehidupan Abi atau Ayah dari Fais. Tokoh
Fais merupakan tokoh utama yang mempengaruhi jalannya cerita. Sedangkan
Abi sosok yang dikenang oleh fais semasa hidupnya.

1. Kebiasaan Abi semasa hidupnya. Hal ini tertuang dalam kutipan berikut:

“Fais tersadar ketika setitik air mata jatuh dan mengalir di pipinya. Betapa
kini ia merindukan kehadiran abi di sampingnya. Sudah bertahun-tahun ia
lalui tanpa abi yang selalu mengantarkannya ke sekolah, yang sering meminta
bantuannya untuk menyiram tanaman di kebun, yang selalu memarahinya jika
menyisakan makanan. Sangat banyak kenangan yang Fais lalui bersama abi.
Termasuk syair-syair indah di pagi hari yang selalu abi nyanyikan serta
dentuman hangat benda itu yang masih sangat jelas diingatannya.”

“Ada satu kamar yang baru kali ini Fais sadari kehadirannya. Ruangan yang
luas, tapi berisi barang-barang tak terpakai, atau bisa disebut gudang. Wajar
saja, dulu saat pindah ke sana, Fais tengah disibukkan dengan ujian nasional,
yang membuatnya tidak dapat membantu umi dan adiknya memberesi rumah.
Nah, disitulah Fais sekarang. Di dalam gudang yang dipenuhi debu dan
sarang laba-laba. Di tangannya kini terdapat sebuah rapai yang penuh
kenangannya bersama abi. Air mata jatuh setitik lagi dari sudut matanya.
Buru-buru ia menyapunya, dan membersihkan debu yang terdapat di rapai
itu.”

“Fais masih ingat apa yang telah abi ajarkan. Bagaimana cara memainkan
rapai agar terdengar pas jika dimainkan berbarengan. Ia masih ingat saat abi
mengajaknya ke acara maulid di desanya dulu. Sekitar lebih kurang sebelas
pemuda dua puluh tahunan memainkan rapai dengan sangat kompak. Banyak
masyarakat yang menontonnya. Disetiap puncak tarian yaitu ketika sedang
dalam gerakan yang cepat dan syair yang dinyanyikan cepat pula, lalu tiba-
tiba berhenti, disitulah suara riuh tepukan tangan penonton terdengar.”
21

BAB III
SIMPULAN

1. Antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra yang di dalamnya


terkandung unsur-unsur antropologi. Dalam hubungan ini jelas karya
sastra menduduki posisi dominan, sebaliknya unsur-unsur antropologi
sebagai pelengkap.

2. Hal terpenting dalam menentukan atau mengategorikan sebuah karya


sastra, apakah termasuk dalam sosiologi sastra, psikologi sastra ataupun
antropologi sastra yaitu dengan ciri-ciri yang lebih kuat yang muncul
dalam pembahasan isi karya sastra itu sendiri.

3. Sebagai sebuah pendekatan baru dalam dunia sastra, maka antropologi


sastra memiliki tugas yang sangat penting untuk mengungkapkan aspek-
aspek kebudayaan, khususnya kebudayaan masyarakat tertentu. Karya
sastra, dalam bentuk apapun, termasuk karya-karya yang dikategorikan
sebagai bersifat realis tidak pernah secara eksplisit mengemukakan
muatan-muatan yang akan ditampilkan, ciri-ciri antropologi yang
terkandung di dalamnya.

4. Kajian antropologi sastra dalam cerpen geleng geleng rapai geleng karya
Raihan Khairi menumkan Beberapa bahasa yang digunakan adalah bahasa
Aceh, dari segi religi masyarakatnya cerpen ini sangat kental nilai agama
dari segi peralatan kehidupan sehari-hari dan yang terakhir adalah kegiatan
hari besar keagamaan yaitu Maulid Nabi.

21
22

DAFTAR PUSTAKA

http://cerpenmu.com/cerpen-budaya/geleng-geleng-rapai-geleng.html

http://www.jendelasastra.com/dapur-sastra/dapur-jendela-sastra/lain-lain/kajian-
antropologi-novel-putri-karya-putu-wijaya

http://bambangprast.blogspot.com/2017/10/antropologi-sastra-dalam-cerpen-
robonya.html

https://eprints.uns.ac.id/24419/1/s841408015_pendahuluan.pdf

22

Anda mungkin juga menyukai