Anda di halaman 1dari 12

1.

Antropologi Seni

a. Pengertian Antropologi Seni


Jika kita mendengar “Antropologi Seni”, maka terdapat dua kata didalam nya yaitu,
antropologi dan seni. Antropologi seni adalah bagian dari antropologi budaya yang
merupakan bagian dari ilmu antropologi. Ada banyak pengertian antropologi menurut
para ahli seperti,
- Antropologi menurut David Hunter ialah ilmu yang lahir dari sebuah
keingintahuan yang tidak terbatas mengenai umat manusia.
- Antropologi menurut William A. Haviland, antropologi ialah studi mengenai umat
manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia
dan juga perilakunya serta dapat memperoleh pengertian yang lengkap mengenai
keanekaragaman manusia.
Sementara antropologi Seni merupakan bagian dari disiplin ilmu Antropologi pada
umumnya. Sebagai “anak” dari antropologi yang didalamnya juga menggunakan informasi
dari bidang lain seperti mitologi, bahasa, agama, kekerabatan, musik, seni rupa, seni tari, seni
pertunjukan dan lain sebagai nya. Antropologi seni merupakan bagian dari antropologi
budaya. Yang membedakan antara antropologi budaya dan antropologi seni adalah jika
antropologi budaya yaitu suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dari
kebudayaan didalamnya maupun di lingkungan sekitar, sedangkan antropologi seni adalah
ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dengan cara berkesenian nya dan karya seni itu
sendiri. Meski sejarahnya tidak lepas dari sejarah “induknya” yaitu keilmuan antropologi, ia
tetap menjadi bagian yang marjinal di dalam Antropologi sebab hanya dijadikan sebagai
pendekatan pelengkap bagi para Antropolog dalam suatu kegiatan penelitian dalam hal ini
khusus nya di bidang seni. Antropologi Seni berkembang di dalam disiplin (ilmu) antropologi
sebagai salah satu pendekatan yang digunakan dalam penelitian untuk mengkaji secara
khusus fenomena seni suatu masyarakat. Pada dasarnya didalam Antropologi Seni dibahas
mengenai bagaimana proses produksi benda kesenian oleh seniman yang sedang berlangsung,
aspek apa yang mempengaruhinya, dan apa yang menjadi tujuan penciptaan tersebut.
b. Objek Studi Antropologi seni
Objek antropologi seni adalah manusia dan segala perilaku berkesenian. Objek studi
antropologi seni menyoroti perilaku manusia dalam berkesenian, sementara kesenian
merupakan salahsatu unsur dari kebudayaan. Didalam antropologi seni ada tiga hal utama
yang dimaksud dengan berperilaku dalam berkesenian, yaitu bagaimana sebuah pandangan
sikap dan perilaku manusia dalam posisi nya sebagai seniman pencipta, seniman penyaji dan
sebagai penonton. Ketiga perilaku manusia dalam berkesenian tersebut dianalisis, interpretasi
dan disimpulkan mengenai bagaimana pikiran, pandangan hidup serta cara hidup di
masyarakat dimana mereka tinggal dan menetap. Kesenian timbul dan merupakan bagian
terpenting dari pengalaman hidup manusia dalam mencari, menikmati dan mengagumi
keindahan. Bentuk-bentuk keindahan yang beraneka-ragam itu timbul dari imajinasi yang
kreatif dan memberikan kepuasan batin bagi manusia. Dalam kesenian terpancarlah suatu
kegairahan jiwa yang dapat melepaskan ketegangan-ketegangan yang dirasakan manusia
dalam kehidupan sehari-hari dan membawanya masuk ke dalam suatu dunia yang penuh
keindahan dan kebesaran. Kepuasan batin dan kegairahan jiwa itulah yang menghayati suatu
karya seni dan semua itu tidak terlepas dari unsur kebudayaan itu sendiri.

Bisa dikatakan bahwa tidak ada suatu kebudayaan yang dimiliki oleh manusia di
dunia ini yang tidak mengenal suatu bentuk kesenian. Para ahli antropologi telah menemukan
bahwa di dalam kesenian terekspresikan nilai-nilai budaya dan perhatian suatu masyarakat.
Melalui kesenian, para ahli antropologi dapat mengetahui bagaimana suatu kelompok etnik
tertentu atau bangsa tertentu mengatur dan memaknai dunia nya, termasuk sejarah dan
perkembangannya. Salah satu bagian dari ilmu antropologi yang memusatkan perhatian pada
pendeskripsian dan penganalisaan tentang sistem kesenian dalam suatu masyarakat yang
dikenal sebagai antropologi kesenian. Antropologi kesenian merupakan suatu pendekatan
antropologi dalam melihat dan mengkaji kesenian sebagai salah satu unsur dari kebudayaan
yang bersama-sama dengan unsur-unsur lainnya yang satu sama lain saling berkaitan dan
saling mempengaruhi secara keseluruhan atau sebagian. Oleh karena itu, kesenian dilihat pula
keterkaitannya dengan berbagai pranata lain yang secara keseluruhan merupakan sebuah
kesatuan yang bulat yang merupakan gambaran dari masyarakat yang bersangkutan. Ahimsa-
Putra (2000:399-401) mengemukakan pendapat bahwa berbicara tentang wacana seni atau
kesenian dalam antropologi, khususnya antropologi budaya, dapat diartikan sebagai berbicara
tentang berbagai paradigma atau perspektif yang dimanfaatkan oleh para ahli antropologi
untuk menafsirkan, memahami, dan menjelaskan suatu fenomena kesenian. Hal itu berarti
bahwa pembicaraan perlu diarahkan pada ulasan dan pembahasan tentang berbagai anggapan
dasar, model dan konsep yang digunakan dalam proses memahami dan menafsirkan tersebut
serta berbagai implikasinya. Beberapa bentuk kajian yang memanfaatkan paradigma
antropologi yang digunakan dalam menganalisa kesenian tersebut, antara lain kajian yang
memandang fenomena kesenian sebagai suatu teks yang relatif berdiri sendiri (pendekatan
tekstual), kajian yang menempatkan fenomena kesenian dalam konteks yang lebih luas
(pendekatan kontekstual), yaitu konteks sosial-budaya masyarakat di mana fenomena
kesenian tersebut hidup, dan kajian sebagai pengaruh aliran pemikiran postmodernisme
(pendekatan postmodernistis).

c. Ruang lingkup Antropologi seni


Ada dua hal yang meliputi ruang lingkup dari antropologi seni, yaitu hal yang bersifat
tekstual dan kontekstual. Jika kita mengkaji hal yang bersifat tekstual tersebut merupakan
hal-hal yang fisikal, yaitu yang dapat dilihat seperti bentuk pertunjukan suatu kesenian atau
contoh lain seperti bentuk seni arsitektur vernakular di dalam suatu bangunan. Sementara hal-
hal yang bersifat kontekstual adalah hal yang bersifat nonfisikal, tidak dapat dilihat dalam
suatu karya pertunjukan ataupun karya seni lain nya, dan setelah dikaji serta dianalisis
memiliki fungsi, nilai dan makna yang bersifat sosial, kultural dan religius. Dalam ruang
lingkup antropologi, pendekatan kontekstual terhadap fenomena kesenian erat hubungannya
dengan pendekatan antropologi yang bersifat holistik. Dalam arti bahwa ketika memahami
suatu fenomena social dan budaya nya maka akan dilihat pula keterkaitan fenomena tersebut
dengan fenomena-fenomena lain dalam kebudayaan dan masyarakat yang bersangkutan.
Fenomena kesenian yang dianalisis tetap dilihat sebagai suatu teks yang harus dibaca dan
ditafsirkan, tapi teks tersebut kini ditempatkan dalam sebuah konteks tertentu, yaitu
dihubungkan dengan berbagai fenomena sosial-budaya. Hubungan itu dapat berupa hubungan
sebab dan akibat, fungsional, hubungan saling ketergantungan serta yang mempengaruhi,
atau dengan berbagai perubahan yang sedang terjadi. Misalnya seperti keterkaitan suatu
fenomena kesenian dengan situasi dan aktivitas sosial, politik, keagamaan, perkembangan
teknologi, dan sebagainya. Melalui cara pandang semacam itu diharapkan kita dapat lebih
mengetahui dan memahami bahwa proses kreatif dalam simbolisasi ide atau perasaan seorang
seniman yang dituangkan ke dalam suatu karya seni sebenarnya tidak lepas dari konteks
sosial-budaya di mana fenomena kesenian tersebut tumbuh dan berkembang.
d. Tujuan Antropologi seni
Tujuan dari mempelajari ilmu antropologi seni ialah untuk memahami perilaku
manusia dalam berkesenian yang meliputi cara berpikir, berucap, dan bertindak dalam
konteks berkesenian. Karena antropologi Seni merupakan bagian dari disiplin ilmu
antropologi sehingga utama nya mengkaji kesenian dilihat dari artefaknya, juga pada suatu
kebudayaan masyarakat yang dianggap memiliki pola-pola tertentu. Melalui ilmu antropologi
seni, kita dapat mengetahui bagaimana proses produksi benda kesenian oleh seniman nya,
aspek apa yang mempengaruhinya, dan apa yang menjadi tujuan penciptaan tersebut.
Meskipun dalam melihat fenomena kesenian suatu masyarakat, antara antropolog dan
seniman memiliki penafsiran yang berbeda, sebab keduanya memiliki kepentingan dan tujuan
yang berbeda pula, namun baik seniman dan antropolog kemudian mengakui bahwa keadaan
kesenian memiliki dasar nilainya sendiri, estetikanya sendiri, tujuan serta kepentingan
penciptaan sendiri, yang antara satu masyarakat dengan masyarakat lain berbeda-beda. Hal
itu dapat diketahui dengan menggunakan berbagai pendekatan, teori, dan metode yang biasa
digunakan dalam antropologi seni.

2. Paradigma, pendekatan, teori dan metode dalam antropologi seni


Didalam keilmuan, diperlukan sebuah sudut pandang yang mendasar dari suatu
disiplin ilmu, yaitu tentang apa yang menjadi pokok permasalahan yang semestinya
dipelajari, hal itu berkenaan dengan istilah yang disebut paradigma. Paradigma ini ialah
sebagai pembentuk pola pikir seseorang dan menjadi titik tolak pandangannya sehingga
terbentuk cita subjektif terhadap realita yang berujung pada ketentuan mengenai bagaimana
cara untuk menangani realita tersebut. Dengan paradigma inilah kita bisa menentukan
pendekatan, teori serta metode yang akan menjadi rangkaian tahapan untuk menentukan sikap
dan perbuatan seseorang dalam menentukan langkah apa saja yang harus dilakukan saat
melakukan proses penelitian. Guba dan lincoln membagi paradigma atas empat jenis, yaitu
paradigma positivisme, paradigma pospositivisme, paradigma kritisme, dan paradigma
konstruktivisme. Sementara pendekatan merupakan titik tolak atau sudut pandang terhadap
suatu proses penelitian yang sekaligus menginspirasi dan melatari teori, metode, atau teknik
yang digunakan. Pendekatan bukanlah suatu teori, bukan pula metode, ataupun teknik,
melainkan ketiga hal tersebut yang terkandung dalam pendekatan.
Contoh kasus yang diambil dari rencana proposal tesis penulis,

Judul:

“Kala Dalam ornamen Arsitektur Art deco Wolff Schoemaker di gedung Landmark
Kota Bandung”

a. Paradigma
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan paradigma postpositivisme,
pemilihan paradigma ini karena kembali pada paradigma postpositivisme itu sendiri yang
bersifat subjektif dan bergantung pada konteks nilai, kultur, tradisi, kebiasaan dan keyakinan.
Sementara didalam karya seni arsitektur Wolff Schoemaker sangatlah terlihat interaksi antara
lingkup pengaruh Timur dan Barat dengan memadukan penggayaan arsitektur Art deco
berdasarkan eropa modern serta ornamen nusantara (yang jika dilihat dari awal mula
pembentukan ornamen tersebut memiliki sifat yang sakral) merupakan ciri khas dari gaya
bangunan art deco yang didesain, dalam karya nya ia menunjukan bahwa arsitektur Art Deco
bisa melebur dengan lingkungan sekitarnya dan menciptakan suatu kebaruan dalam
arsitektur. Akulturasi budaya dalam arsitektur karya Schoemaker bisa terlihat pada beberapa
karya nya seperti ornamen “kala” pada pintu masuk bangunan yang ia desain. Kala jika
diartikan menurut harfiahnya sebagai monster yang jahat merupakan salah satu pengikut
Dewa Siwa yang setia karena dia selalu ditugaskan sebagai penjaga dari tempat suci yang
digunakan Dewa Siwa. (Zoetmulder, 1995).
Kala selalu diwujudkan dengan bentuknya yang besar dengan mata melotot dan
memiliki gigi taring yang panjang keluar. Pada dasarnya Kala merupakan seorang penjaga
yang ingin selalu memakan dari sesuatu kenegatifan dan ketidak sucian pada setiap orang
yang akan memasuki tempat Dewa Siwa. Kepala kala bersifat struktural, merupakan bagian
dari struktur pintu pada candi. Kepala kala pada era klasik tua dan klasik tengah memiliki
ekspresi yang lebih ramah dan menunjukan mimik wajah yang tersenyum, berbeda dengan
Kepala Kala pada era Klasik Muda yang lebih seram dan menakutkan. Paradigma
postpositivisme sangtalah sejalan dengan judul penelitian ini karena cara berpikir yg subjektif
Asumsi terhadap realitas atau “ there are multiple realities” yaitu realitas yang jamak.
Kebenaran subjektif dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan
keyakinan.
b. Pendekatan
Sementara pendekatan yang dilakukan penulis adalah pendekatan historis yang
memfokuskan penelitian ini pada asal-usul unsur kebudayaan. Dengan pendekatan historis ini
akan diketahui apakah satu unsur kebudayaan itu lahir berasal dari kebudayaan masyarakat
tertentu atau berasal dari kebudayaan masyarakat lain melalui proses difusi atau penyebaran.
Bagaimana sebuah ornamen “kala” yang biasa terdapat didalam pintu masuk candi di jawa
tengah dan jawa timur sebagai penangkal semua hal buruk dan pengusir roh jahat bisa
dimasukan kedalam ornamen arsitektur bergaya Art deco yang berasal dari eropa.
Konsepsi ornamen kala dalam ragam hias yang digunakan oleh Wolff schoemaker di
gedung Landmark memiliki kaitan erat dengan mitologi kepala Kala Rahu sebagai raksasa
penelan bulan dan matahari, Ornamen itu sendiri merupakan komponen produk seni yang
ditambahkan bertujuan sebagai hiasan. Tapi tak hanya itu, di samping tugasnya sebagai
penghias secara implisit dilihat dari segi estetika, untuk menambah keindahan dari arsitektur
sehingga lebih bagus dan menarik, dalam ornamen juga ditemukan pula nilai-nilai simbolik,
tanda atau maksud-maksud tertentu yang ada hubungannya dengan pandangan hidup serta
falsafah dari manusia atau masyarakat pembuatnya, sehingga benda-benda yang di terapi nya
memiliki arti, nilai dan makna yang mendalam, dengan disertai harapan-harapan tertentu,
demikian pula pada penerapanya di pintu masuk gedung Landmark.

c. Teori
Analisis terdahap makna Kala dan Makara dalam ornamen arsitektur Wolff
Schoemaker ini akan menggunakan teori Semiotik Charles Sanders Peirce tentang tanda yang
memperlihatkan pemaknaan tanda sebagai suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur,
yaitu tanda sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Yang dibagi berdasarkan
klasifikasi tanda yakni, Inconic Sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan kemiripan, Iconic
Legisign yakni tanda yang menginformasikan norma atau hukum dan Rhematic Indexical
Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada objek tertentu.

d. Metode Pengumpulan data


Metode yang digunakan dalam penelitian tentang makna Kala dalam ornamen
arsitektur ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif menjelaskan karakteristik ragam
hias kala dan makara berikut latar belakang historisnya. Kajian makna Kala dan makara akan
dianalisis menggunakan metode Content analysis Harold D. Lasswell, yaitu analisis terhadap
konsep awal penggunaan Kala dan makara dalam karya arsitektur Wolff Schoemaker dimulai
dari konsep bentuk yang diambil selanjutnya translasi yang diambil dari bentuk ornamen kala
dan makara kedalam langgam arsitektur Art deco karya nya lalu makna dari bentuk Kala dan
makara itu sendiri. Teknik pengumpulan data selanjutnya adalah observasi objek penelitian,
wawancara mendalam dengan ahli sejarah arsitektur serta studi dokumen.

3. Analisis teori struktural Claude Levi Strauss


Contoh Hasil penelitian dengan menggunakan analisis teori struktural Claude Levi Strauss,
Judul:
Strukturalisme Levi-Strauss sebagai paradigma penyelesaian konflik: Studi kasus
dua legenda rakyat nusantara.

A. Rumusan Masalah

Konflik dan persoalan hidup dalam masyarakat merupakan sebuah bahan kajian
akademis (scholarly discussion) yang sudah sangat tua usianya. Konflik-konflik yang
menyangkut tanah, etnik, suku, budaya, agama, bahkan filsafat hidup memiliki akar historis
yang panjang dan mendalam. Konflik-konflik itu tidak hanya terjadi di dunia modern ini
melainkan sudah terjadi dalam komunitas komunitas purba, bahkan sejak komunitas manusia
terbentuk. Setiap masyarakat memiliki cara mengelola dan mengatasi konflik agar tidak
meluas menjadi friksi, pertentangan, dan perang. Manajemen dan resolusi konflik menjadi
topik pembahasan akademis yang senantiasa menarik dan relevan untuk dibicarakan. Tradisi
lisan, termasuk cerita-cerita rakyat, dongeng, legenda, dan mitos, ternyata menyimpan begitu
banyak kearifan lokal dalam hal manajemen dan resolusi konflik itu. Jika kita ingin
memahami secara mendalam kearifan lokal sebuah komunitas, kita dapat mengkaji khazanah
tradisi lisannya. Ketika menghadapi berbagai konflik dan persoalan hidup yang sukar
dipahami dan dicarikan jalan keluar, tradisi lisan seringkali menjadi kiblat bagi komunitas
pendukungnya.

B. Pembahasan
Tulisan ini membahas pendekatan akademis yang dikemukakan oleh Claude Levi-
Strauss sebagai sebuah paradigma dalam memahami resolusi konflik masyarakat melalui
tradisi lisannya. Dua buah legenda Nusantara digunakan sebagai studi kasus untuk
menjelaskan teori strukturalisme Levi-Strauss. Claude Levi Strauss adalah pakar tradisi lisan
yang secara konsistens menegaskan kualitas logis di balik berbagai tradisi lisan yang
seringkali tampak tidak logis. Sastra lisan, khususnya mitos, jika dikaji secara mendalam,
sesungguhnya menjadi alat logika masyarakat dalam menjawab persoalan penting yang
mereka hadapi. Sebagai studi kasus, tulisan ini akan membahas dua buah legenda rakyat
nusantara, yaitu legenda Wato Wele-Lia Nurat (sebuah cerita rakyat masyarakat Lamaholot
Flores Timur) dan legenda Suku Tengger (cerita rakyat Bromo, Jawa Timur). Dua legenda
yang berasal dari wilayah yang berbeda di Nusantara ini dipilih sebagai studi kasus untuk
menunjukkan bahwa di balik setiap legenda, terkandung logika masyarakat setempat untuk
mengatasi sebuah konflik yang secara nyata mereka hadapi.

Cerita Wato Wele-Lia Nurat

Cerita rakyat Wato Wele-Lia Nurat berasal dari masyarakat Lamaholot, Flores Timur,
NTT.Legenda ini bercerita tentang manusia pertama yang diyakini muncul secara mistis.
Sampai saat ini kedua tokoh legendaries-mistis tersebut diyakini sebagai leluhur orang Flores
Timur. Proses kelahiran dan pertumbujan mereka yang terkesan mistis dan tidak masuk akal
membuat pendekatan Levi-Strauss patut digunakan untuk mengungkap ‘logika’ di balik
legenda tersebut. Berikut ini garis besar cerita tersebut yang diambil dari Taum (1997),
 Pada mulanya Ema Wato Wele/Bapa Madu Ma yang tinggal di Sina Jawa menyuruh
orang tuanya burung elang, terbang ke puncak Gunung Mandiri.
 Di puncak gunung itu sang elang menaruh telurnya dan dari satu butir telur itu lahir
manusia kembar, Wato Wele dan Lia Nurat.
 Wato Wele dan Lia Nurat dipelihara oleh hantu gunung hingga menjadi dewasa.
 Lia Nurat mengantar adiknya Wato Wele menempati bagian selatan Mandiri dan Lia
Nurat sendiri menghuni bagian utara gunung itu.
 Lia Nurat membuat api unggun di puncak Mandiri yang cahayanya sampai ke
perkampungan Paji.
 Sinar api unggun itu mengenai seorang gadis Paji bernama Hadung Boleng Teniban
Duli.
 Suku Suban Lewa Hama, saudara kandung Hadung Boleng, disuruh pergi ke puncak
gunung mencari asal api unggun dan bertemu dengan Lia Nurat. Lia Nurat berjanji
akan turun ke kampung Paji.
 Lia Nurat turun ke kampung Paji dan menikah dengan Hadung Boleng.
 Dari pernikahan itu lahir tujuh anak yang kelak menurunkan Suku Ile Jadi Baipito.
Mereka hidup berkecukupan.
 Kemakmuran mereka diketahui orangorang Suku Soge (Maumere). Raja Suku Soge
pun mengantar anaknya Uto Watak, untuk diperisteri Lia Nurat.
 Hadung Boleng tidak senang dengan kehadiran Uto Watak. Dia pun mengusir Uto
Watak.
 Raja Suku Soge sangat marah. Mereka datang menyerbu dan membunuh Lia Nurat.
 Setelah Lia Nurat meninggal, kehidupan Hadung Boleng dan ketujuh anaknya sangat
menderita.
 Suatu ketika Boleng bermimpi melihat pusat gunung. dengan itu, kehidupan mereka
kembali makmur.

C. Kesimpulan
Dari perspektif Levi-Strauss, tradisi lisan khususnya berbagai cerita naratif,
merupakan alat logika yang digunakan oleh pemilik cerita tersebut untuk menjawab berbagai
konflik dan persoalan hidup yang dihadapi. Tulisan ini memperlihatkan bahwa pandangan
Levi-Strauss itu dapat diterapkan pada berbagai khazanah tradisi lisan Nusantara.
Masyarakat Flores Timur menghadapi persoalan yang berat karena heterogenitas asal-
usul kesukuan. Dalam keterbatasan sumber daya alam, khususnya tanah pertanian sebagai
sumber kehidupan, mereka harus berbagi. Sejarah peperangan yang sangat panjang antara
Suku Paji dan Suku Demon tidak bisa diatasi dengan kisah naratif tentang perkawinan dan
penerimaan antara kedua suku. Akan tetapi, di atas segala-galanya, legenda Wato Wele-Lia
Nurat menjawab persoalan yang jauh lebih mendasar. Berdasarkan mitheme yang disusun
dengan perspektif Levi-Strauss, legenda dan mitos Wato Wele Lia Nurat sesungguhnya
mengungkapkan persoalan yang paling mendasar, yaitu penolakan terhadap perkawinan
incest.

4. Judul penelitian dengan menggunakan Teori semiotik Charles sanders peierce

Judul 1: Ekspresi Tropis dalam Modernitas A.F. Aalbers. Studi Kasus: De Driekleur
Judul 2: Bentuk dan pola ornamen pada candi kalasan dan prambanan.
Judul 3: Makna ornamen pada bangunan candi Hindu dan Budha di pulau Jawa

Judul penelitian yang dipilih penulis,


Makna ornamen pada bangunan candi Hindu dan Budha di pulau Jawa
a. Semiotika dalam arsitektur candi Hindu dan Budha di pulau Jawa

Jika melihat keagungan dan kemegahan bangunan candi maka tidak terlepas dari yang
namanya arsitektur. Arsitektur menganalogikan unsur-unsur pembentuk arsitektur itu sendiri
dengan unsur-unsur pembentuk bahasa. Dengan berbagai penyederhanaan, analogi itu dapat
diuraikan seperti, elemen-elemen arsitektur (jendela, pintu, atap dan ornamen) dianalogikan
dengan kata, jika gabungan beberapa kata yang mempunyai arti menjadi kalimat, maka
gabungan elemen arsitektur yang bisa memberi arti membentuk ruang atau fasad.

Fungsi candi sebagai tempat pemujaan dewa atau leluhur identik dengan elemen-
elemen ornamen yang menghiasi sebagian maupun seluruh bagian candi. Elemen ornamen
yang merupakan fasad pada bangunan candi tidak hanya sebagai elemen penghias visual saja,
tetapi mengandung arti tertentu sesuai prinsip Hindu-Buddha dan era didirikannya candi.
Makna tersebut yang seringkali tidak diketahui banyak orang, dan fenomena ini menjadi
menarik untuk diteliti lebih lanjut. Dalam perwujudannya, perletakan ornamen tidak dapat
diletakan sembarang. Terdapat alasan-alasan tertentu yang didasarkan pada prinsip-prinsip
agama Hindu dan Buddha. Contoh apabila melihat pada beberapa objek candi, dapat
ditemukan ornamen yang hanya terdapat di bagian tertentu saja, antara kepala, badan, kaki,
maupun keduanya bahkan pada seluruh elemen candi. Perletakan ornamen tersebut pun
menghasilkan makna yang spesifik, perbedaan penempatan ornamen akan mengakibatkan
perbedaan makna pula.
Fungsi ornamen pada candi sendiri ialah sebagai ragam hias simbolis, selain
mempunyai fungsi sebagai penghias suatu benda juga memiliki nilai simbolis tertentu di
dalamnya. Bentuk, motif dan penempatannya sangat ditentukan oleh norma-norma tertentu
terutama norma agama yang harus ditaati, untuk menghindari timbulnya salah pengertian
akan makna atau nilai simbolis yang terkandung didalamnya. Model teori yang bisa dipakai
dalam penelitian mengenai makna ornamen pada bangunan candi ini adalah dengan
menggunakan semiotik Charles Sanders Pierce. Pendekatan semiotik Pierce merupakan
kajian menganai pola perilaku manusia dalam komunikasi di setiap moda atau caranya.
Dalam arsitektur, pendekatan ini mengkatagorikan objek ke dalam 3 jenis tanda yaitu, indeks,
ikon, dan simbol. Disebut indeks jika objek tersebut mempunyai kaitan langsung antara
penanda dengan makna, disebut ikon jika terdapat kemiripan antara penanda dengan yang
direpresentasikan, dan disebut simbol jika hubungan antara penanda dan makna bersifat
konvensional.
b. Pembahasan
` Dalam perancangannya, arsitektur Hindu menggunakan mandala sebagai dasar
pembangunan bangunannya. Menurut Rahadhian (1999), mandala dianggap sebagai model
mikrokosmos, manifestasi dari makrokosmos yang transedental. Mandala dianggap sebagai
model dari pusat dunia atau “imago mundi” dan bangunan yang didirikan diatasnya dianggap
sebagai “axis mundi”. Axis mundi adalah tiang penghubung antara tiga alam yaitu alam
bawah, tengah, dan atas. Dan dalam prakteknya, axis mundi ini diwujudkan dengan bangunan
suci, dimana axis mundi diwujudkan dengan bangunan suci kuil yang tinggi seperti tiang
yang menghubungkan alam bawah dengan alam atas. Dalam ajaran Hindu, alam dibagi
menjadi 3 bagian yaitu Bhurloka, Bhuvarloka, dan Swarloka. Tiang penghubung (axis
mundi) menjadi penghubung dari ketiga alam tersebut, dan Gunung Meru menjadi abstraksi
dari penghubung ketiga alam tersebut.

Gambar 1. Pembagian 3 dunia pada arsitektur candi dalam ajaran Hindu dan Buddha

Sedangkan dalam ajaran Buddha dikenal tiga unsur berbeda yaitu tubuh, ucapan dan pikiran.
Selain itu kehidupan alam semesta ini juga biasanya diperlihatkan di dalam candi yang
terbagi menjadi tiga yaitu,
 Kamadatu merupakan bagian kaki pada candi, merepresentasikan kehidupan manusia
pada semesta ini. Manusia pada bagian ini masih memiliki hawa nafsu dan belum
bertekad untuk mencapai pencerahan atau keempurnaan
 Rupadatu merupakan bagian badan pada candi, merepresentasikan kehidupan manusia
yang telah bertekad untuk mencapai Kebuddha-an. Manusia pada bagian ini mulai belajar
dan menghentikan semua hawa nafsu mereka demi pencapaian kesempuranaan.
 Arupadatu merupakan bagian kepala pada candi, dianggap sebagai kehidupan dewa,
Boddhisatwa dan Buddha. Tingkatan ini merupakan tingkatan paling suci dan semua
hawa nafsu yang ada sudah dihilangkan secara total.
c. Analisis penulis dengan menggunakan model Semiotik Charles Sanders pierce

Ikon

Kirtimukha biasanya diletakkan di depan gerbang utama atau pintu masuk dari candi.
Memiliki tujuan sebagai penjaga gerbang dan mengusir makhuk jahat. Dalam ajaran agama
Hindu, Kala adalah putera Dewa Siwa yang bergelar sebagai dewa penguasa waktu. Kala
merupakan simbol bahwa siapa pun tidak dapat melawan hukum karma. Apabila sudah
waktunya seseorang meninggalkan dunia fana, maka pada saat itu pula Kala akan datang
menjemputnya. Kepala kala bersifat struktural, merupakan bagian dari struktur pintu pada
candi. Kepala Kala pada era Klasik Tua dan Klasik Tengah memiliki ekspresi yang lebih
ramah dan menunjukan mimik wajah yang tersenyum, berbeda dengan Kepala Kala pada era
Klasik Muda yang lebih seram dan menakutkan. Hal ini diakibatkan pengaruh India pada
Klasik Tua dan pengaruh kerajaan Mataram pada Klasik Tengah mengakibatkan Kepala Kala
berekspresi ramah, sedangkan pada Klasik Muda dipengaruhi oleh Hindu Tantra dan
Majapahit yang lebih ekspresif, dramatis dan puitik (bukan naturalis) dalam pembuatan
ornamen.
Ini masuk kedalam salahsatu dari tanda dan denotatum dari semiotika charles sanders
pierce yaitu aspek Ikon yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan
bentuk objek nya, sehingga:

 Jika melihat bentuk kepala kala Kirtimukha (R)


 Maka membuat nya merujuk pada muka raksasa (O)
 Ditafsirkan sebagai ornamen pada pintu masuk candi yang merupakan tingkatan
paling suci dan semua hawa nafsu (I)

Indeks

Anda mungkin juga menyukai