Anda di halaman 1dari 7

  

Telaah Seni Berdasarkan Perspektif


Antropologi Pengantar

Seni mulai berkembang menjadi isu, terlihat pada awal tahun 1980-an ketika orang EropaBarat
bepergian ke daerah asing. Dalam menjalankan kegiatan itu, mereka sebenarnya turutmengamati
gejala-gejala yang hadir pada masyarakat seperti tarian, ukiran, nyanyian dansebagainya. Tidak
sedikit dari mereka menghubungkan hal-hal seperti di atas sebagai bagian darisuatu ritual,
agama, struktur sosial, bahkan magis. Ketika orang Eropa Barat memilih untuk tinggal lebih
lama di tempat okupasinya, semakin banyak juga mereka mendapatkan pengetahuan akan
realitas yang terdapat di masyarakat. Termasuk salah satunya adalah mengetahui aspek-aspek
simbolik yang ada seperti artefak-artefak, tanda-tanda, barang seni dansebagainya. Bahkan tidak
sedikit juga para penjelajah/etnografer membawa artefak/barang tadiuntuk dipamerkan di suatu
museum, sehingga orang lain pun dapat melihat. Museum erathubungannya dengan antropologi
terlihat ketika akhir abad ke  –  19 dan awal abad ke – 20, dimana koleksi-koleksi etnografi
mulai dipamerkan di lembaga museum terkenal sepertiSmithsonian Peabody, British Museum,
Pitt Rivers Museumdan Berlin Museum 1. Tulisan sayakali ini dimaksudkan untuk mengangkat
sudut pandang atau perspektif antropologi dalam rangkamemahami realitas yang ada. Termasuk
dalam melibatkan perhatian terhadap salah satu realitaskebudayaan, seperti kesenian dan
berbagai persoalan yang melekat padanya.
Apa itu Seni?
Istilah ―seni di antara pemilik bahasa sebenarnya tidak memiliki gejala yang setara 2, dan
kemungkinannya adalah karena bahasa. Bahasa diyakini sebagai sistem penandaan di
manakemudian mereka justru memakai dan mengelompokannya secara berlainan. Sekarang ini,
kata seni seringkali disepadankan dengan ―art”. Kata ―seni sendiri merupakan bahasa Melayu,
dan bagi Orang Melayu memiliki pandangan umum tentang seni sebagai sesuatu yang indah.
Padaawalnya, seni tidak hanya memiliki sesuatu yang indah, tetapi juga sesuatu yang kecil.
Karenasesuatu menjadi terlihat kecil itu diidentifikasikan sebagai suatu yang rumit, halus dan
indah yangdihasilkan berdasarkan teknik tertentu.Sementara, kata“art”, mengarah pada sesuatu
yang berkenaan dengan muatan pendidikan keterampilan, seperti grammar, logic,
rhetoric,geometric, aritmathic, music danastronomy. Orang-orang yang terampil dari hal di atas
tadi dikatakan sebagai artist  atau artisan. Namun, kata “art” sendiri rupanya telah mengalami
penyempitan arti, menjadi sesuatu yang berhubungan dengan melukis, menggambar, memahat
dan membuat patung. Baik seni dan kata “art”
sekarang ini dimengerti karena adanya ―penyamarataan 3atas pola-pola atau ciri-ciri
yangserupa, serta sifat tindakan dan hasil tindakan yang lazim kita kategorikan sebagai
seni.Kesenian juga sering dikaitkan dengan―estetika‖. Dalam hal ini estetika dapat dipahami
sebagai kualitas atau sifat tertentu yang terdapat pada suatu bentuk /form tadi. Estetika di
sinisebenarnya merupakan persepsi manusia tentang pengalamannya terhadap realitas. Sifat
padaelemen-elemen tersebut kemudian diberikan penilaian, misalnya apakah itu baik, buruk
dansebagainya. Estetika atau keindahan itu terdapat pada gejala atau wujud kesenian. Secara
umum,orang memang berpendapat bahwa kesenian adalah hasil ekspresi jiwa manusia akan
keindahan.Sebenarnya, tidak semua hasil karya seni dapat dinyatakan demikian, karena ada juga
karya seniyang lebih mengutamakan peran budaya yang mengandung sistem budaya dari
masyarakat yang bersangkutan.

Seni Sebagai Wujud Kebudayaan


Koentjaraningrat (1990) berpendirian, pada dasarnya wujud kebudayaan dari masing-masing
kelompok etnik dapat berupa sistem ide, sistem sosial, serta benda-benda karya manusia.Dalam
hal ini, seni termasuk ke dalam wujud kebudayaan sebagai hasil karya manusia yang paling
konkret meliputi hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto.Selanjutnya, berkaitan dengan
peran budaya dalam karya seni, menurut Melalatoa(Sempulur, 1997) menerangkan, bahwa
kesenian masyarakat yang bersangkutan bermaksudmenjawab dan menginterpretasikan
permasalahan kehidupan sosialnya, mengisi kebutuhan,mencapai tujuan bersama seperti
kemakmuran, persatuan, kemuliaan, kebahagiaan dan rasa amanketika berkoneksi dengan yang
gaib (supernatural). Kesenian sebagai hasil ekspresi keindahanmengandung pesan-pesan budaya
dalam bermacam-macam bentuk, seperti seni lukis, seni rias,seni patung, seni sastra, seni tari,
seni vokal dan lain sebagainya.Kaplan dan Manners (2002) kemudian turut mengemukakan
pemikirannya mengenai apayang bisa disebut kebudayaan. Keduanya mengatakan kebudayaan
atau kultur sebagai suatugolongan fenomen yang diberikan muatan makna tertentu oleh
antropolog dalam rangkamenghadapi segala persoalan untuk dipecahkan. Fenomena yang
disebutkan dalam hal ini, salahsatunya adalah perilaku manusia yang tradisional dan
terlembagakan. Seorang antropolog secaraleluasa dapat meneliti sistem budaya atau adat dari
suatu kebudayaan tertentu. Dalam usahanyatersebut mencoba untuk mengaitkan perhatian
terhadap nilai-nilai budaya, norma dan hukum, pengetahuan dan keyakinan dari manusia yang
menjadi warga masyarakat. Termasuk denganmeneliti pada tindakan, aktivitas-aktivitas dan hasil
karya manusia itu sendiri yang melingkupi benda peralatan dan khususnya benda-benda
kesenian.

Berbicara mengenai kebudayaan lokal, hal-hal yang harus kita ketahui adalah bahwa nilaidan
norma tadi dijadikan petunjuk hidup dan tingkah lakunya. Perilaku berfungsi untuk
pemacusemangat hidup pemiliknya agar menjadi manusia yang baik, etos kerja tangguh dan
semangat berkarya. Kemudian, pada kebudayaan masyarakat lokal, materi atau benda yang
dihasilkantersebut berdasarkan kepada pengetahuan, keterampilan, tradisi dan kepercayaan yang
diterimadan diwariskan. Salah satu contoh hasil kebudayaan lokal yang saya angkat di sini
misalnya, keris.
Sebagai benda seni, keris bisa dilihat berdasarkan elemen formal/kebentukan (material,teknik,
garap tempa), ruang (sebaran keris di nusantara, identitas daerah, adat istiadat, upacara,ikon dan
jati diri), serta berdasarkan waktunya (tangguh umur absolute dan umur relatif).Keris menurut
(UNESCO, 2003) merupakan karya budaya sebagai hasil representasi,ekspresi, pengetahuan,
teknologi yang diwariskan dari generasi ke generasi dan secara terusmenerus diciptakan kembali,
dipupuk oleh masyarakat dan kelompok dalam beradaptasi denganlingkungan, berinteraksi
dengan alam, latar belakang sejarah, serta mampu memberikan jati diridan bersifat
berkesinambungan/berlanjut. Dari pernyataan tadi, kita dapat menyimpulkan bahwakeris saat ini
sudah diakui dunia sebagai salah satu warisan kebudayaan. Di dalamnya terbentangmakna
mengenai sistem budaya (nilai-nilai, norma-norma, aturan), sistem sosial (aktivitasmanusia yang
berpola terkait dengan pembuatan senjata) dan kebudayaan fisik (senjata dan benda peralatan
lainnya). Dari sebuah benda seperti keris misalnya, sudah mampu merepresentasikankebudayaan
lokal, di dalamnya mencakup sistem peralatan hidup, sistem pengetahuan danteknologi,
keindahan/estetika dan sistem kepercayaan (magis-religius).
Pendekatan Antropologi Terhadap Seni : Evolusionisme, Difusionisme, Fungsionalisme,Fungsionalisme
Struktural dan Strukturalisme Pada bagian ini, saya akan menjelaskan mengenai
 Pendekatan atau bisa disebut sebagai orientasi teori
Antropologi terhadap kebudayaan (seni). Kali ini saya akan mengangkat beberapa pendekatan
yang mengarah pada apa yang sebenarnya menjadi ciri utama dalam antropologisejak masa awal
pertumbuhannya sebagai suatu bidang studi tersendiri.Pendekatan yang pertama adalah
Evolusionisme. Tokoh pertama yang merumuskantentang konsep Evolusionisme adalah Edward
Burnett Tylor pada abad ke-19. Paradigma ini berangkat dari asumsi dasar bahwa kebudayaan itu
mengalami perubahan atau perkembangandari yang sederhana menuju ke yang lebih kompleks.
Selain Tylor, seorang Julian H. Steward.muncul sebagai evolusionis periode mutakhir
menyebutkan bahwa kebudayaan itu berinteraksidengan lingkungan. Karena sebelumnya, Tylor
tidak menyinggung tentang pengaruh lingkungan,maka dengan pernyataan ini tentulah faktor
eksternal turut mengambil bagian dalam proses perubahan kebudayaan. Selain itu, sebuah
perkembangan lainnya dilakukan oleh Steward adalahdengan melakukan penelitian lapangan dan
studi komparatif untuk mengumpulkan data mengenaigejala-gejala kehidupan manusia seperti
halnya dilakukan terhadap artefak-artefak kesenian.
 
Soemardjan (1980) mengatakan bahwa perkembangan kesenian pada umumnyamengikuti proses
perubahan yang terjadi dalam kebudayaan suatu masyarakat. Sebagai salah satuunsur
kebudayaan, maka kesenian akan mengalami hidup statis karena diliputi oleh
suasanatradisionalistik. Sebaliknya, kesenian akan selalu berkembang apabila kebudayaannya
juga selalu bersikap terbuka terhadap perubahan dan inovasi. Karenanya, kebudayaan itu bersifat
dinamis,akan selalu berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Dalam setiap kebudayaan
akan selaluada kebebasan kepada para individunya untuk memperkenalkan variasi-variasi dalam
cara hidup, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk
maupunkarena penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.Sempulur (1997) turut
menyebutkan, permasalahan kemudian muncul ketika ada wacanauntuk mempertahankan
kesenian tradisional sebagai upaya untuk melestarikan kebudayaantradisional. Ini merupakan hal
yang dilematis, di satu sisi kata ― mempertahankan dimengerti sebagai usaha memelihara
sesuatu yang telah ada agar tetap eksis dan tidak berubah. Dengan pengertian tersebut, bukankah
akan menghambat kreativitas manusia?. Sementara, perkembanganzaman tentu akan
mempengaruhi pola perilaku manusia, maka kesenian tradisional jelas akanmengalami
perubahan dari berbagai segi, termasuk dari segi artistiknya dan maknanya. Serta,apakah seni
atau sesuatu yang sederhana itu ada pada masyarakat yang sederhana juga?.Pendekatan kedua
adalah Difusi. Difusi kebudayaan berarti penyebaran kebudayaan.Mengapa bisa dikatakan
penyebaran kebudayaan, karena seringkali adanya persamaan-persamaan unsur  – unsur
kebudayaan ditemukan di berbagai tempat yang berbeda, bahkan jauh sekali jaraknya.
Persamaan – persamaan tersebut bisa berwujud benda-benda bersifat sama, atau yangdikenal
sebagai Kulturkreis. Dengan adanya keadaan seperti itu, Koentjaraningrat (1990)kemudian
menjelaskan dengan alasan yang baik bahwa hal-hal tersebut dikarenakan di berbagaitempat itu
memiliki atau sedang melakukan proses evolusi dalam tingkatan yang sama.
Mengenai penyebaran kebudayaan ini, sebenarnya berangkat dari suatu asumsi dasar bahwa
kebudayaanmanusia memiliki satu pangkal, yang tempatnya berada di suatu lokasi tertentu. Ada
anggapan bahwa pangkal kebudayaan itu merupakan induk kebudayaan yang kemudian
berkembang,menyebar karena dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, yakni kondisi lingkungan dan
waktu. Untuk mendapatkan gambaran yang konkret, maka harus melakukan penelitian lapangan
disertai denganmengaplikasikan metode komparatif. Misalnya, teori difusi menurut aliran
Jerman telahmenetapkan dua kriteria, yakni kualitas (semakin/hampir sama fungsinya,
hubungannya semakindekat), serta kuantitas (semakin banyak unsur-unsur yang sama, semakin
dekat kebudayaannya).Proses difusi kebudayaan sangat memungkinkan terjadinya
kontak/pertemuan kebudayaan(akulturasi). Konsep akulturasi seni tentunya memperhatikan
keberadaan antara seni budaya aslidan seni budaya asing bercampur bahkan sampai menciptakan
perubahan dalam seni. Ketika perubahan itu masuk ke ranah masyarakat, lantas mereka tidak
langsung menerima begitu saja.Masih ada beberapa proses yang dilakukan masyarakat seperti
halnya, menerima karena seleksi,menerima dengan re-interpretasi dan bahkan
menggabungkannya, sehingga sifatnya menjadihibrid dan silang.
 
Pendekatan ketiga adalah Fungsionalisme kebudayaan. Dalam antropologi
sendiri,Fungsionalisme dikatakan sebagai perspektif teoretik bertumpu pada masyarakat
yangdimodelkan sebagai organisme. Hal demikian adalah sebuah pemikiran yang datang dari
seorangMalinowski. Masyarakat seperti halnya suatu organisme, yakni dapat tumbuh dan
berkembang,dengan adanya pertambahan kompleksitas dan progresif. Pandangan lainnya
tentangFungsionalisme kebudayaan bahwa kebudayaan memiliki fungsi. Fungsi di sini dikatakan
sebagaikebutuhan dasar dari suatu organisme itu yang semuanya harus dipenuhi agar bisa tetap
lestari.Pendekatan selanjutnya kemudian muncul dari seorang ahli bernama Radcliffe - Brown
,yang pemikirannya dipengaruhi oleh ahli sosiologi Emile Durkheim. Brown lebih
banyak menyajikan teorisasi, dan salah satunya mengenai Fungsionalisme Struktural.
Brownmenjelaskan fungsi pada struktur sosial. Struktur sosial disini dapat dimaknai sebagai
relasi-relasiantar individu, sama juga memiliki kebutuhan dan kondisi yang mendukung untuk
tetap bertahan.Seni juga bisa dianalogikan sebagai organisme yang memiliki kebutuhan dan
fungsinyauntuk mencapai keteraturan dan bertahan.
Pertama adalah relasinya antara seni dengan pelakunya. Pelaku di sini saya
menggambarkannya terdiri dari struktur sosial. Struktur sosialyang saya maksud dimengerti
sebagai suatu kelompok tertentu yang memiliki kesatuan ―style seni. Mereka ini lah sebagai
suatu konfigurasi kelompok-kelompok yang mantap dalammelestarikan seni melalui tindakan
sosial, interaksi sosial, dan perilaku peran yang dipusatkanuntuk mempertahankan kesenian tadi.
Kedua, kita juga perlu mengaitkan seni dengan fungsisosialnya. Seperti yang telah dijelaskan di
atas, bahwa bentuk-bentuk seni tadi seringkali terkaitdengan fakta-fakta etnisitas (lokalitas).
Karena dari seni tersebut dalam penyelenggaraannyamelibatkan masyarakat, juga tarian-tarian
yang ada misalnya, memiliki hubungan dengan ritual,agama, struktur sosial, bahkan magis.
 Ketiga, saya mencoba mengaitkan seni dalam pembentukanlapisan sosial. Hal demikian
misalnya terlihat sejak masa penjajahan, ternyata tanda-tanda pelapisan sosial sudah tampak.
Perbedaan penduduk / masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelassecara bertingkat (hirarkis)
turut menentukan perbedaan ketertarikannya terhadap kesenian sesuaidengan kemampuan dan
aksesnya.Pendekatan terakhir yang saya jelaskan adalah Strukturalisme. Beberapa asumsi dasar
dari pemikiran Strukturalisme Levi Strauss ini menurut Lane (Kaplan dan Manners, 2002)
adalah pertama, bahwa berbagai aktivitas sosial dan hasilnya seperti seni secara formal dapat
dinyatakansebagai bahasa-bahasa. Lebih tepatnya dijelaskan sebagai perangkat tanda dan simbol
yangmenyampaikan pesan tertentu. Kedua adalah ada anggapan bahwa dalam diri manusia
terdapatkemampuan dasar yang diwariskan secara genetis, sehingga kemampuan ini ada pada
semuamanusia yang normal, seperti adanya kemampuan untuk structuring, untuk
menstruktur,menyusun struktur dan menempelkan suatu struktur pada gejala-gejala yang
dihadapinya. Sepertitadi, keris sebagai benda seni sekaligus warisan dunia di mana keterampilan,
tadisi dankepercayaan orang tersebut diterima dan diwariskan. Asumsi ketiga dengan menuruti
anggapande Saussure bahwa suatu istilah ditentukan maknanya oleh karena adanya relasi-relasi
pada satutitik tertentu, yaitu sinkronis. Dalam hal menjelaskan suatu gejala kebudayaan seperti
kesenian,

penganut Strukturalisme tidak mengacu pada adanya hubungan kausalitas yang merupakan
relasidiakronis, tetapi lebih kepada hukum-hukum transformasi atau alih rupa tadi. Seperti
orangmelakukan pararel pada sesuatu non seni (kebutuhan sosial, politik dan agama). Asumsi
dasar yang ke-empat menjelaskan relasi-relasi yang terdapat pada struktur dalam dapat
disederhanakanmenjadi oposisi berpasangan (biner), misalnya oposisi seni dan tari, seni dan
drama serta lainnya.Sebagai penutup, antropologi sebagai suatu disiplin berkembang pesat
setelah PerangDunia II dan ini diperbolehkan atau bahkan mendorong kemunculan spesialisasi
baru.Ketertarikan baru antropologi terhadap kesenian telah muncul tahun 1980-an, ditandai
dengan bermunculannya teori-teori tentang seni oleh Orang Eropa dan Amerika. Antropologi
keseniansebagai spesialisasi baru menggunakan pendekatan interdisipliner, yakni kerjasama di
antara beberapa ilmu seperti antropologi dan ilmu kesenian untuk mencapai suatu maksud
tertentu,meninggalkan sudut pandang yang terbataas sehingga melebur ke dalam satu pandangan
menyeluruh.
 

Anda mungkin juga menyukai