Anda di halaman 1dari 34

1

I. PENDAHULUAN

A. Pengertian Sejarah Seni Rupa Indonesia


I
lmu sejarah ialah pengetahuan atau uraian tentang peristiwa yang pernah terjadi pada
masa lampau dalam kurun waktu tertentu. Peristiwa atau kejadian sejarah tersebut
diperlihatkan atau dapat diamati lewat bukti-bukti tertulis maupun melalui artifak.
Ilmu sejarah adalah ilmu yang menceritakan kisah-kisah peninggalan di masa
lampau, tentang manusia dan tentang peninggalan manusia. Dari peninggalan
berupa benda-benda itulah perkembangan peradaban manusia dapat diketahui.
Karena itu, sejarah suatu bangsa dapat diketahui melalui bukti-bukti atau benda-
benda peninggalannya.
Menyimak perkataan “Sejarah Seni Rupa Indonesia” itu sendiri, maka kata-kata
itu dapat mengandung dua cakupan pengertian. Pertama, yang berarti seni rupa di
Indonesia dalam rentang waktu mulai dari masa prasejarah sampai sekarang (meliputi
seni regional) yang dilahirkan oleh kelompok-kelompok masyarakat Indonesia dalam
berbagai tingkat dan golongan - berlanjut sampai kepada perkembangan mutakhir di
abad ke-21. Pengertian ini sangat longgar, karena cakupannya sangat luas, yakni
meliputi semua kreasi yang mengandung unsur estetis (mulai dari gambar/lukisan,
patung, bangunan, ornamen, dan semua benda-benda kriya/kerajinan tangan) dalam
segala bentuk dan tingkat keterkaitannya dengan kehidupan sosial, budaya, ekonomi,
politik, dan religi.
Pengertian kedua, agak lebih sempit dan sederhana, yaitu mengandung
pengertian seni rupa yang konseptual dan kualitatif serta fungsionalnya berbeda atau
terlepas dari konteks sejarah seni rupa prasejarah Indonesia - tanpa secara mutlak harus
diartikan sebagai deskripsi atau diskontinuitas. Dalam perbedaan tersebut tercakup pula
adanya proses untuk mewujudkan ciri-ciri dan kualitas ke-Indonesiaan sebagai
konsekuensi logis terjadiya perubahan dan perkembangan disegala bidang kehidupan,
termasuk pembaruan-pembaruan karena adopsi, adaptasi atau pengaruh kaidah-kaidah
baru dalam dunia seni rupa.
Istilah yang mencakup dua pengertian tersebut dipergunakan di sini secara
profesional untuk mengaitkan hal-hal yang akan dibicarakan selanjutnya. Periodesasi
seni rupa prasejarah dan seni rupa modern Indonesia, juga relatif bersifat sementara.
Peristilahan ini hanya dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman kita, yang
tekanannya pada dimensi waktu.
B. Sumber-sumber Sejarah Seni Rupa Indonesia
Salah satu persoalan yang dihadapi oleh prasejarah seni rupa Indonesia ialah
langkanya sumber-sumber tertulis yang dapat memberikan data atau petunjuk-petunjuk
otentik mengenai kaidah-kaidah keindahan (estetik) dalam ukuran waktu tertentu.
Bagaimana perkembangannya serta hubungan kausal atau korelasi apa yang mendasari
kontinuitas atau diskontinuitasnya ? Apakah perkembangannya mengikuti pola atau
pola-pola yang ajeg di masa lampau ? Sejauh mana penguasa memainkan peranannya ?
Dalam kondisi bagaimana seni rupa rakyat lahir dan tumbuh ke-eksistensial dengan seni
rupa istana ? Bagaimana prosedur dan pembentukan gayanya ? Apa dan bagaimana
kandungan simboliknya ? Bagaimana cara mewariskan keahlian mencipta itu dari satu
generasi ke generasi lainnya ?
2

Karena bangsa Indonesia tidak memiliki tradisi pencatatan historis untuk


peristiwa-peristiwa penting maupun kejadian-kejadian kultural terutama tulisan-tulisan
mengenai kesenirupaan tersebut, maka data yang diperlukan sebagian besar harus digali
dari dokumentasi zaman kolonial. Pada akhirnya benda-benda prasejarah seni rupa
Indonesia itu sendiri merupakan material fakta yang sangat penting.
Dalam rangka inventarisasi benda-benda seni tersebut, maka koleksi museum,
koleksi istana dan koleksi perorangan dapat dimanfaatkan melalui dokumentasi
fotografi kemudian disusun secara sistematis berdasarkan jenis, asal, periode dan
kredibilitasnya sebagai pendukung fakta atau contoh representatif.
B. Pentingnya Belajar Sejarah
Ahli sejarah mengungkapkan bahwa peristiwa yang terjadi pada masa lampau
merupakan kenyataan sejarah yang tidak dapat diubah, peristiwa yang terjadi pada
waktu sekarang merupakan kenyataan yang sedang dihadapi, dan peristiwa yang terjadi
pada waktu yang akan datang merupakan kenyataan yang dapat direncanakan pada
waktu sekarang. Ketiga peristiwa itu merupakan rangkaian yang berkaitan erat satu
sama lainnya. Keterikatan rangkaian itulah yang mendorong manusia mempelajari
sejarah masa lalu dan menggunakannya untuk membuat rencana dimasa depan.
Mengapa perlu belajar sejarah ? Manusia tidak terlepas dari masa lalu. Karena
itu, manusia harus melihat kemajuan-kemajuan yang telah dicapai pada masa lalu guna
memacu perkembangan masa sekarang dan masa yang akan datang. Selain itu, dengan
mempelajari pola kehidupan masa lalu, kita dapat belajar tentang kompleksitas
kehidupan masa kini.
Pendapat lain mengatakan bahwa sejarah selalu ditentukan oleh pemikiran yang
paling menonjol pada zamannya. Dan untuk menandai suatu zaman, kita perlu
memahami pemikiran yang berkembang yang paling signifikan dan menonjol pada
zaman yang bersangkutan. Demikian pula dengan konsep pemikiran pada masyarakat
prasejarah.
Sejarah suatu bangsa hanya dapat diketahui melalui bukti-bukti atau benda-
benda peninggalannya. Bagi masyarakat primitif, seni sama pentingnya dengan
kebutuhan primer lainnya. Salah satu dari bukti-bukti peninggalan itu, yakni benda-
benda budaya. Dengan mempelajari sejarah suatu bangsa, kita dapat mengetahui sejarah
bangsa tersebut. Demikian pula dengan sejarah seni rupa Indonesia, khususnya seni
rupa prasejarah dan seni rupa Hindu-Budha. Karena itu, peninggalan sejarah itu disebut
pula benda-benda bersejarah sebagai suatu refleksi dari budaya atau rohani manusia.
Dengan mempelajari sejarah suatu bangsa, kita dapat mengetahui sejarah bangsa
tersebut. Demikian pula dengan sejarah seni rupa Indonesia, khususnya seni rupa
prasejarah dan seni rupa Hindu-Budha.
Dengan mempelajari sejarah seni rupa prasejarah kita dapat memperoleh
informasi tentang esensi kehidupan sosial, yang sekaligus sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari totalitas kehidupan masyarakat prasejarah di Indonesia. Sedangkan
bagi kalangan senirupawan, selain untuk memahami karya-karya seni masa lalu juga
bermanfaat sebagai acuan dalam berkarya (sebagai sumber ide di dalam
mengembangkan suatu gagasan baru).
Apabila dibandingkan dengan volume intensitas yang dicurahkan dan perhatian
oleh sejarawan Indonesia dalam meneliti dan mengungkapkan berbagai bidang dan
3

aspek kehidupan bangsa Indonesia di masa lampau, maka bidang kesenian, khususnya
seni rupa dirasakan belum mendapat kesempatan menjadi objek studi historis dalam
intensitas dan ekstensitas yang menamadai. Minat mahasiswa sejarah dan sarjana
sejarah untuk memusatkan perhatiannya dalam bidang ini juga sangat kecil bila dilihat
gersangnya tiulisan yang datang dari mereka.
Kesenjangan tersebut dapat dipahami dalam korelasinya dengan beberapa faktor.
Pertama, bidang seni rupa sebagai obyek penelitian historis adalah rendah urutannya
dalam slakala perioritas penanganan historisnya, baik dalam tingkat nasional maupun
pada jurusan sejarah setiap lembaga pendidikan tinggi. Porsi perkuliahan dan seminar-
seminar yang membahas sejarah kesenian sangat minim atau terbatas hanya pada
jurusan tertentu saja. Kenyataan ini adalah salah satu hambatan dalam membuka minat
dan perhatian terhadap bidang seni sebagai obyek yang menarik bagi penelitian
sejarah.
Kedua, bidang seni rupa terlihat ada kesan ketertutupan bagi pengamat historis,
karena belum dapat dilihat dengan jelas apa persoalannya, di mana fokus perhatian
harus diarahkan, bagaimana skop temporal dan spatialnya, apa sumber-sumbernya,
metode apa yang haurs diterapkan, teori-teori dan kategori-kategori mana yang harus
dimobilisir disiplin-sdisiplin apa saja yang diperlukan bantuannya, dan pengertian-
pengertian dasar mana yang dapat diaplikasikan secara efektif.
Kenyataan ini tampaknya juga diperlukan suatu kerja awal untuk mengungkap
dan melihat dunia seni rupa Indonesia bagi pendekatan kritis ilmu sejarah. Dalam
praktiknya, kerja awal ini tidak dapat mengesampingkan adanya kerja sama berbagai
pihak.. Karean itu, mereka yang terdidik dalam ilmu dan menaruh perhatian besar pada
bidang seni rupa Indonesia, kiranya dapat mulai berinisiatif mengambil langkah-
langkah pendahuluan yang diperlukan dengan melakukan eksplorasi dan inventarisasi
sumber-sumber sejarah seni rupa Indonesia.
D. Tujuan mempelajari sejarah seni rupa Indonesia lama
1. Membina kemampuan menghayati, menganalisa, dan
menerangkan karya-karya seni rupa Indonesia guna memperluas wawasan dan
pengetahuan tentang seni rupa Indonesia lama.
2. Meningkatkan pemahaman terhadap sejarah pertumbuhan
dan perkembangan seni rupa Indonesia lama dari awal sampai masa Hindu-
Budha.
E. Peranan seni rupa prasejarah dalam perkembangan seni rupa berikutnya
Peninggalan-peninggalan artifak dalam material batu biasanya meliputi benda-
benda keperluan ritual, perhiasan, sampai kepada alat-alat fungsional untuk kebutuhan-
kebutuhan seperti berburu, berperang, dan sebagainya. Dalam konteks yang lebih luas,
batu telah berperan sebagai monumen yang menjelaskan masa puncak keemasan suatu
peradaban manusia yang tertuang dalam wujud-wujud budaya material. Peradaban
seperti itu, dapat kita lihat dalam karya-karya arsitektural-monumental seperti candi,
kuil, istana, menhir, dolmen, arca batu, makam kuno, dan masih banyak lagi lainnya.
Hal ini didukung oleh sejarah bahwa sejak awal perpindahan dari daratan Asia Selatan,
penduduk Indonesia memiliki kecakapan pemanfaatan berbagai material (mulai dari
batu, kayu, sampai kepada logam). Material tersebut, kemudian mereka olah menjadi
alat-alat pendukung kehidupan manusia. Kemahiran itu didukung pula oleh kekayaan
4

alam Indonesia, seperti tersedianya berbagai macam material batu, kayu, logam, dan
sebagainya. Dengan kata lain bahwa potensi kekayaan itu, selain sebagai sumber bahan
baku, juga menjadi sumber inspirasi artistik yang didukung oleh kecakapan
pemanfaatan material yang tersedia.
Perkembangan sejarah tersebut menunjukkan adanya perkembangan dalam
konsep bentuk. Hal ini banyak ditentukan oleh faktor lingkungan sosial dan geografis.
Terutama pada masyarakat yang sering berhubungan dengan masyarakat luar,
perkembangan bentuk menunjukkan adanya pengaruh, terutama terhadap teknik dan
teknologi yang sangat berperan dalam hal bentuk. Misalnya bentuk peralatan yang
mereka gunakan dalam menunjang kehidupan sehari-hari. Berdasarkan penjelasan di
atas dapat disimpulkan bahwa seni primitif pada umumnya merupakan jalinan dari dua
hal, yakni peranan emosional yang integral dengan sikap hidup, dan kemampuan teknis
yang berpengaruh terhadap bentuk. Yang disebut terakhir adalah dipengaruhi pula oleh
lingkungan alam dan sumber alam. Suatu hal yang cukup menarik dari seni primitif
tersebut ialah bahwa seni primitif ini sifatnya abadi, tidak terbatas oleh ruang dan waktu
serta mampu bertahan sepanjang masa. Betapapun sejarah menunjukkan adanya
perkembangan dalam gaya, namun hal ini tidak terlalu menyimpang dari aslinya.
Sebagai contoh dapat kita lihat seni rupa etnik Batak, Kalimantan, seni Asmat di Irian
Jaya, Tana Toraja di Sulawesi Selatan. Bentuk ekspresi seni primitif sering menjadi daya
pikat bagi seniman modern dalam rangka mencari nilai-nilai baru, terutama dalam
menemukan konsep seninya. Karena itu, kita tidak perlu heran jika sering
muncul/dijumpai adanya tanda-tanda persamaan antara seni rupa primitif tersebut
dengan seni rupa modern sekarang ini, terutama dalam seni patung etnik masyarakat
suku terasing.
Perlu diingat bahwa konsep seni pada masa prasejarah jauh berbeda dengan
konsep atau pandangan seni modern. Bagi masyarakat prasejarah seni bukanlah
kemewahan melainkan terkait dnegan benda-benda pakai dan untuk berbagai keperluan
ritual. Karena itu, seni prasejarah adalah seni ritual-magis yang dipergunakan sebagai
alat untuk mencapai sesuatu tujuan dengan cara yang irrasional seperti misalnya
dipergunakan untuk mencari persahabatan dengan sesuatu kekuatan di luarnya, mencari
pelindungan ataupun secara magis diharapkan dapat mempengaruhi sesuatu keadaan.
Selain itu, seni prasejarah juga bersifat simbolik dimana setiap bentuk selalu memiliki
arti perlambangan tertentu. Hal ini logis, karena masyarakat prasejarah adalah
masyarakat yang animistik. Mereka percaya akan adanya roh atau anima dimana-mana.
Roh nenek moyang dianggap sebagai roh yang baik dan sebagai pemegang ‘mana’ yang
paling tinggi. Karena itu, dipuja dan bahkan sering dimintai perlindungan.untuk
keselamatan mereka. Praktik pemujaan mereka terhadap nenek moyang sangat populer
di masa prasejarah. Karena itu pula lahirlah berbagai bentuk arca nenek moyang serta
bentuk-bentuk pemujaan lainnya seperti punden berundak-undak. Pemujaan nenek
moyang ini ternyata kemudian merupakan salah satu gejala ‘local-genius’ bangsa
Indonesia.
F. Pembagian Sejarah Kebudayaan Indonesia
1. Berdasarkan Asal Mula Pertumbuhannya
Secara umum sejarah kebudayaan Indonesia bermula dari zaman prasejarah,
yakni dari masa Neolitikum awal atau masa akhir Mesolitikum pada kira-kira 4000
tahun yang lalu. Masa ini lazimnya dibagi ke dalam empat periode; yakni: zaman
5

prasejarah, zaman purba; zaman madya, dan zaman baru atau zaman modern
Zaman prasejarah; sejak permulaan adanya manusia dan kebudayaan sampai
kira-kira abad ke-5 Masehi.
Zaman purba; sejak datangnya pengaruh India, yakni pada abad-abad pertama
tarikh Masehi sampai lenyapnya kerajaan Majapahit (+ 1500 M).
Zaman madya; sejak datangnya pengaruh Islam di Indonesia, yakni
menjelang akhir zaman Majapahit sampai akhir abad ke-19.
Zaman baru; Sejak masuknya anasir-anasir Barat dan teknologi modern
Indonesia, yakni kira-kira tahun 1900 Masehi sampai saat ini.

Gbr. 1 Pembagian zaman prasejarah berdasarkan Ilmu Geologi


(Soekmono, 1991).

Zaman sejarah
Zaman besi
Zaman perunggu Zaman logam
Alluvium Zaman tembaga
(holocen)
Neoloithicum Zaman
Prasejarah Mesolitihicum Zaman batu

Diluvium Palaeolithicum
(pleistocen)

Pembagian sejarah berdasarkan arkeologi ialah pembagian yang


dilakukan berdasarkan bahan-bahan yang ditinggalkan oleh suatu kebudayaan
sebagai fakta sejarah. Karena itu pula, maka terdapat pembagian prasejarah
seperti diuraikan berikut ini.
Zaman batu, meliputi: zaman batu tua (Paleolitikum), zaman batu tengah
(Mesolitikum), dan zaman batu muda (Neolitikum).
Zaman logam, meliputi: zaman perunggu; dan zaman besi. Sedangkan
zaman tembaga (tidak ditemukan di Asia, termasuk di Indonesia).
Catatan:
Permulaan adanya kebudayaan, permulaan adanya prasejarah bersamaan
dengan zaman geologi quartair atau permulaan diluvium.
Zaman prasejarah berakhir dan mulainya zaman sejarah bila telah
ditemukan bukti-bukti tertulis (budaya tulis) pada setiap bangsa. Karena itu,
setiap bangsa berlainan masanya. Dengan kata lain bahwa setiap bangsa
memiliki masa prasejarah, masa sejarah masing-masing yang saling berbeda
antara bangsa yang satu dengan bangsa-bangsa lainnya. Masa prasejarah di
Indonesia berbeda dengan masa prasejarah di Eropa.
Salah satu dari bukti-bukti peninggalan masa lalu ialah benda-benda
budaya. Karena itu, peninggalan sejarah tersebut disebut pula benda-benda
bersejarah sebagai suatu refleksi dari budaya atau rohani manusia. Sedangkan
karya-karya seni rupa Indonesia lama yang berlangsung mulai dari masa
6

prasejarah hingga masa Hindu-Budha sangat erat kaitannya dengan sistem religi
yang dianut oleh suatu masyarakat.
2. Berdasarkan periodesasi menurut ciri peninggalannya
Sejarah seni rupa Indonesia dapat dibedakan atas:
1. Seni rupa Prasejarah
2. Seni rupa Hindu-Budha (klasik)
3. Seni rupa Islam
4. Seni rupa modern
Adapun materi bahan ajar yang akan disajikan pada bagian ini dibatasi pada
seni rupa prasejarah dan seni rupa Hindu-Budha. Sedangkan seni rupa Islam dan seni
rupa modern akan dibicarakan tersendiri pada bagian lain.

II. PRASEJARAH INDONESIA

Pembabakan seni rupa prasejarah di Indonesia dibedakan atas dua periode, yakni
zaman batu dan zaman perunggu. Pembabakan ini didasarkan atas kemampuan teknik
dan teknologi masyarakat prasejarah waktu itu, terutama di dalam menciptakan alat-
peralatan yang diperlulukan dalam mendukung kelangsungan hidupnya. Hal ini dapat
ditunjukkan dengan bukti-bukti artifak yang mereka ciptakan pada masa tersebut.
Secara berturut-turut, akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Zaman Batu (Megalitik)
2. Zaman batu ini dapat pula dibedakan atas tiga periode, yakni:
a. Zaman batu tua (Paleolitik).
b. Zaman batu tengah (Mesolitik).
c. Zaman batu muda (Neolitik).
Adapun peninggalan artefak terpenting dari zaman batu tersebut antara lain;
kapak genggam (berbagai macam bentuk), patung-patung nenek moyang (patung
arwah), bangunan megalitik (menhir, dolmen, sarkopak), gambar-gambar/lukisan
pada dinding gua. Sedangkan seni hias prasejarah biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi
menyatu dengan benda-benda artifak tersebut.
Salah satu peninggalan yang paling kuno dari kesenian Indonesia adalah
lukisan pada dinding gua-gua, seperti ditemukan di Irian Jaya, di Kepulauan Kei dan
Seram serta di .Sulawesi Selatan. Lukisan-lukisan tersebut antara lain berupa gambar
tangan dan telapak kaki, gambar-gambar manusia, gambar-gambar binatang, seperti
babi hutan, cecak, kadal, kura-kura, kerbau, dan lain sebagainya.
Dalam beberapa gua di Indonesia seperti disebutkan di atas terdapat bukti
bahwa gambar telapak tangan dengan jari terpotong, atau gambar seekor binatang
ditusuk-tusuk dengan tombak. Van Heekeren yang meneliti gua-gua di dekat Maros
7

Sulawesi Selatan menyatakan bahwa baik lukisan babi hutan tertombak panah
maupun ratusan gambar tangan yang terdapat di sana diduga bersamaan waktu
dengan perkembangan kebudayaan Toala yang berasal dari sekitar tahun 2000
sebelum Masehi Sedangkan pakar lain seperti Dr. Josef Roder yang banyak
melakukan penelitian di daerah Irian Jaya menemukan umur lukisan-lukisan di gua-
gua tersebut (paling tua 1000 tahun sebelum Masehi), bahkan banyak diantaranya
baru dibuat 3-4 abad yang lalu.
Lukisan babi hutan di gua Leang-leang Kabupaten Maros Sulawesi Selatan
dengan kontur warna merah meggambarkan seekor babi hutan yang sedang meloncat
dan dengan luka di lehernya. Menilik wujud dan tempatnya, yakni di dalam gua, maka
diduga lukisan tersebut bernilai magis, yakni untuk mempengaruhi keadaan agar
betul-betul demikianlah yang akan terjadi ketika orang-orang nanti berburu. Mungkin
pula dilakukan suatu upacara sebelum mereka pergi berburu dengan cara menusuk-
nusukkan tombak pada gambar tersebut dengan harapan dapat melukai binatang
buruannya kelak. Maka sebelum mereka pergi berburu terlebih dahulu menusukkan
ujung tombak atau panahnya pada gambar tersebut dengan harapan agar nantinya
binatang buruan itu sungguh dapat dibunuh.
Lukisan serupa banyak persamaannya dengan lukisan prasejarah di Eropa,
seperti ditemukan di gua-gua Lascaux atau Altamira. Sedangkan lukisan telapak
tangan dengan jari terpotong seperti ditemukan di gua Leang-leang Sulawesi Selatan
juga ada persamaannya dengan gambar-gambar tangan yang ada di gua Abba Irian
Jaya. Rupanya orang-orang primitif dari manapun juga memiliki titik tolak (cara
berpikir) yang hampir sama. Berikut ini dilampirkan materi bacaan tentang tinjauan
seni rupa prasejarah di Indonesia, termasuk lukisan pada gua-gua di Sulawesi Selatan.

1. Tinjauan Seni Rupa Prasejarah

Manusia hidup dalam masa Prasejarah dalam jangka waktu yang sangat
panjang sampai mencapai jutaan tahun. Pada masa ini manusia hidup tergantung pada
alam, dan dengan sarana akalnya manusia mulai memikirkan, bahkan sudah mulai
membuat alat-alat yang dapat membantu pekerjaannya dalam menjalani hidupnya di
alam yang luas ini. Walaupun alat-alat yang dibuat pada masa itu masih sangat
sederhana sebab masih sedik merubah bentuk aslinya yang ada di alam. Oleh karena
orientasi kehidupan pada masa prasejarah ini masih sederhana seperti mengumpulkan
makanan dan berburu, maka alat-alat yang dibuatnyapun merupakan pemenuhan atas
aktivitas mengumpulkan makanan dan berburu itu. Misalnya alat untuk mencari
umbi-umbian sebagai bahan makanan atau alat untuk berburu, alat-alat ini dibuat
dengan material alam seperti batu inti yang di pecah, atau tulang binatang yang diasah
sehingga tajam dan dapat digubnakan sebagai pisau.
Kehidupan manusiapun pada masa ini belum sepenuhnya menetap, mereka
masih berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya tergantung pada situasi
dan kondisi setempat, bila tempat tinggal mereka tidak subur lagi, maka mereka
pindah dan mencari tempat tinggal baru. Menurut beberapa ahli Arkeolog bahwa
kadang-kadang dalam perjalanan menuju tempat yang baru ini, mereka singgah dan
bertempat tinggal sementara disuatu tempat, mungkin tempat itu adalah gua atau
dataran terbuka, sehingga sering ditemukan beberapa peralatan dan sisa makanannya
pada tempat yang diperkirakan sebagai tempat persinggahannya ini, bahkan menurut
ahli Arkeolog ini, dalam masa perpindahan ini sering terjadi kematian, apalagi anak-
8

anak dan para wanita yang mengalami kesulitan dalam perjalanan ini, maka tidaklah
mengherankan bila sering di temukan rangka manusia yang terpisah jauh dari temuan
lainnya.
Manusia-manusia prasejarah inipun belum membuat rumah sebagai tempat
tinggal tetap, pada umumnya mereka masih tinggal di gua-gua atau didawerah
terbuka, tempat yang mereka cari adalah terutama yang dekat dengan sumber air,
sebab air memegang peranan penting dalam kehidupan mereka, selain untuk minum,
membersihkan badan, alat transportasi melalui sungai, juga memudahkan mencari
binatang buruan, sebab binatang-binatang pun butuh air untuk minum.
Pada masa kehidupan di gua-gua ini menonjol sekali adanya aktivitas
penguburan dan lukisan-lukisan sebagai bukti berkembangnya corak kepercayaan
pada masa kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan ini. Kemudian dengan
daya kerja otaknya maka manusia mulai mengalami berbagai kemajuan dalam proses
hidupnya, mereka mulai membuat alat-alat yang lebih praktis untuk dimanfaatkan
dalam kehidupan mereka, sedikit demi sedikit mereka mulai melepaskan diri dari
tekanan alam, mereka tidak hanya seluruhnya bergantung pada alam, tapi telah ada
upaya-upaya untuk menguasai alam. Misalnya umbi-umbian yang awalnya dicari
dihutan, kini mulai ditanam sendiri, binatang-binatang buruan mulai dijinakkan,
membuat perladangan sederhana, mulai bercocok tanam dan bertempat tinggal
menetap.1 Mereka sudah memiliki hasil budaya tinggi, mereka telah mengenal budaya
bercocok tanam, memelihara hewan, juga membuat benda-benda dari material tanah
berupa periuk, tempayan dan lain-lainnya, mungkin untuk pakaian mereka juga telah
menenun dan membuat pakaian dari kulit kayu, dan yang paling mengesankan lagi
adalah mereka telah memiliki kecenderungan yang tinggi untuk mengekspresikan
dirinya dalam karya-karya yang saat ini kita sebut Lukisan, walaupun dengan bahan
pewarna dari alam dan bidang dinding gua atau batu dan kayu pada permukaan dari
alat-alat kebutuhan hidup mereka, namun itu telah menjadi bukti bahwa merekapun
telah memanfaatkan insting dan intuisi berkeseniannya.
Sejalan dengan itu, perkembangan tahap demi tahap semakin memperlihatkan
kemajuannya, apalagi setelah di temukannya biji logam, maka pertanian, peternakan
dan pembuatan alat-alat mengalami kemajuan tekniknya. Alat-alat tidak hanya di buat
dari batu, tulang dan tanah serta dari logam. Karena logam beradasrkan sifat
materialnya lebih mudah dibentuk daripada batu, maka akhirnya logam memegang
peranan penting. Bahkan lama-kelamaan logam mulai menggeser kedudukan batu,
batupun hanya berfungsi sebagai benda pusaka saja yang kehilangan nilai praktisnya.
Maa ini lalu dikenal sebagai masa perundagian seabagai puncak dari karya budaya
prasejarah.
Perkampungan juga semakin besar, beberapa kampung bersatu membentuk
satu kampung lagi yang lebih besar. Dengan semakin besarnya kelompok masyarakat,
maka sudah tentu pembagian tugas sangat diperlukan. Mereka sudah mulai
membentuk kelompok-kelompok sesuai dengan tugas atau kerja. Di sini terbentuk
kelompok pandai besi, perunggu, petani, pedagang, peternak, dan pemburu. Karena
setiap kelompok mempunyai penghasilan yang berbeda, maka terjadilah komunikasi
yang timbal balik antara sikonsumen dan produsen. Perdagangan telah dilakukan
dengan sistem barter. Dengan demikian terbentuklah kelompok-kelompok yang

1 1
Tinjauan ini berdasar pada hasil bacaan dari beberapa buku sejarah seni rupa prasejarah Indonesia.,
termasuk lihart juga Kusnadi, Dkk. Tentang “Sejarah Seni Rupa Indonesia” , Proyek penelitian dan
pencatatan kebudayaan daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ; (1979, hlm.7)
9

terampil dalam masyarakat. Masyarakat yang camping dan undagi ini disebut
perundagian.2
a. Lukisan di Gua dan batu karang
Sejak jaman prasejarah tradisi berekspresi dalam bentuk lukisan sudah dikenal,
dimana tradisi melukis ini bukan hanya sekedar mengekspresikan unsur keindahan
saja, tapi ada berbagai nilai yang tersirat dalam lukisan itu, mulai dari warna, bentuk
dan teknik merupakan simbol dari berbagai makna-makna yang ingin disampaikan.
Hal ini bila dihubungkan dengan kepercayaan mereka ternyata memiliki kaitan yang
erat, bisa jadi sebuah lukisan dibuat dengan ritual tertentu dan untuk kepentingan
ritual pula sebab merekapun mulai percaya pada adanya kekuatan yang menguasai
mereka yang berada di luar dirinya, dan kekuatan itu berpengaruh besar terhadap
kelangsungan hidupnya, kemakmurannya, keamanan dan kebahagiaan hidupnya.
Pada masa berburu dan mengumpul makanan pada umumnya lukisan
digambarkan di dinding-dinding gua tempat mereka bertempat tinggal, pada masa
kemudian barulah mereka mulai melukiskan pada tempat yang mereka anggap
mengandung daya magis, sehingga akhirnya semakin indah lukisannya dianggap
semakin besar pula daya magisnya, dan akhirnya benda tersebut berubah fungsi
menjadi benda untuk upacara keagamaan.
Pola hias geometrik adalah pola hias yang paling banyak di gunakan dalam seni
hias di Indonesia dari jaman-kejaman, pola geometrik adalah pola hias tradisional
yang selalu memegang peranan, pola hias ini mengandung arti sosial, geografis, dan
relegius.3 Untuk lukisan di gua-gua yang terdapat diberbagai tempat di Indonesia
kebanyakan menggambarkan cap tangan atau lukisan-lukisan makhluk hidup seperti
berbagai jenis binatang. Lukisan gua ini ternyata telah lama menjadi perhatian para
peneliti. Pada tahun 1937-1938 Roder telah melakukan penelitian pada lukisan-
lukisan prasejarah yang terdapat di dinding-dinding gua di daerah Irian jaya dan
Seram. Di daerah utara Irian di sekitar teluk sarieri, danau sentani terdapat lukisan-
lukisan yang bersifat abstrak. Lukisan ini berupa garis-garis lengkung, lingkaran-
lingkaran, pilin4.
Di Seram pola hias geometrik juga didapatkan di beberapa tempat, yakni berupa
pola hias berbentuk lingkaran, garis-garis silang, titik-titik. Lukisan tersebut di beri
warna merah yang dianggap mengandung kekuatan melindungi dari bahaya. Selain di
Seram di kepulauan Kei juga terdapat berbagai lukisan Prasejarah.5

Gambar I.
Lukisan cap telapak tangan di gua leang-leang Kabupaten Maros
Sulawesi Selatan

2
2.Lihat R.P. Soejono, 1975, dalam Kusnadi Dkk. (Sejarah Seni Rupa Indonesia)
3
Lihat R. P. Soejono “Penyelidikan Sarkofagus di Pulau Bali”, Prasaran pada kongres Ilmu
Pengetahuan Nasional II, (1962; Hlm.242-243) Seksi D. Djakarta.
4
Lihat lagi R. P. Soejono “Prehistori Irian Barat”. Penduduk Irian Barat. Proyek Penelitian Universitas
Indonesia, (1963; Hlm. 7) no C. II Djakarta.
5
Lihat H. R. Van Heekeren, “The Stone Age of Indonesia”. (1972; hlm. 127-130), V.K.I. Deel 61.
Second Rev. Edition. ‘s-Gravenhage.
10

b. Lukisan Prasejarah Sumpa Bita (Pangkep)

Kalau di Leang-leang terdapat lukisan babi rusa sebagai pasangan dari cap
tangan, maka di sumpa Bita yang menjadi pasangan cap tangan adalah lukisan
perahu-perahu yang mirip peti-peti mayatnya orang Toraja, perahu ini dilukiskan
berjejer dengan goresan kuat warna merah, tak jauh beda dengan jejeran babi rusa di
Leang-leang, penulis menduga bahwa hal ini tidak lepas dari kondisi geografisnya, di
sumpa bita terdapat beberapa aliran sungai yang memungkinkan orang membuat
perahu untuk mencari ikan atau kebutuhan trasportasi, dan leang-leang dipenuhi
hutang yang terdapat banyak babi, walau sungai-sungai dari sumpa bita ini juga
mengalir ke dekat leang-leang.
Selain itu, secara konotatif penggambaran perahu tersebut tidak lepas dari
anggapan mereka bahwa nenek moyang mereka mendatangi wilayah itu dengan
menggunakan perahu, dan bagi mereka perahu merupakan kendaraan bagi roh
mereka setelah meninggal, jadi perahu adalah penggambaran nilai-nilai rokhaniah
seperti juga babi rusa. Ini digambarkan bukan sekedar kebutuhan berekspresi saja,
tapi lebih dari itu adalah demi kepentingan upacara.
Di duga bahwa sebelum mereka berangkat berburu, bekerja atau mencari
bahan makanan, lebih dahulu diadakan ritual upacara untuk keselamatan,
11

pengorbanan dan keberhasilan dan mencapai tujuannya yaitu memperoleh bahan


makanan. Salah satu rangkaian upacara tersebut adalah menancapkan tombak pada
tubuh lukisan binatang Babi rusa yang ada di dinding gua, dan pada ritual-ritual ini
pula lukisan cap tangan dibuat dan pengorbanan dengan memotong jari-jari dimulai
oleh sang istri sebagai bukti kerelaan melepas suaminya dan kesetiaan menunggunya,
di sisi lain ada kecenderungan dengan upacara ini lukisan itupun dapat mengusir roh
jahat yang sering mengganggu ketentraman hidup manusia.
Dalam pengorbanan, kesetiaan, dan kerelaannya merupakan sesuatu yang
transenden yang lahir dari pertemuan perasaan cinta antara laki-laki dan perempuan,
antara dunia atas dan dunia bawah. Nilai trandensen inilah yang kemudian yang
mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan mereka.
Warna merah yang terdapat pada sela-sela jari cap tangan merupakan simbol
warna bumi atau dunia tengah sebagai tempat manusia berpijak untuk menggapai
dunia atas, warna inipun telah terdapat pada beberapa lukisan gua prasejarah din
berbagai tempat di Indonesia, menurut tapsiran beberapa peneliti sejarah warna ini
dipercaya dapat menolak bahaya roh jahat yang akan mengganggu. Untuk lukisan
babi rusa (leang-leang) dan perahu (sumpa Bita) memiliki teknik yang sama, yakni
dengan goresan yang kuat ditonjolkan dengan warna garis merah sebagai simbol
ketegasan atau kelaki-lakian.
Ada kemungkinan lukisan-lukisan ini dibuat untuk kepentingan atau
keperluan upacara pengoebanan dan perburuhan, dengan harapan upacara ini dapat
menjadi medi yang menhubungkan hidup mereka dengan yang gaib atau yang tak
berwujud, jadi dengan ritual upacara ini mereka telah meyakini bahwa ada kekuatan
supranatural yang berada diluar dirinya tapi punya kekuasaan menentukan perjalanan
hidupnya. Maka untuk mencapai kemakmuran dan kebahagiaan hidup itu orang
harus berkorban.
Walaupun wujud visual lukisan dinding gua ini sederhana, namun kaya akan
nuansa jiwa dan rohaniah, ini merupakan indeks bahwa orang-orang prasejarah lebih
mementingkan unsur kejiwaan dan rohaniah serta keyakinan ketimbang unsur-unsur
fisik material dalam hidupnya.
Secara umum lukisan ini dibuat untuk kepentingan upacara pengorbanan dan
perburuhan, sekaligus lukisan ini menceritakan kisah hidupnya ketika itu, mereka
12

berekspresi disadari atau tidak disadarinya mereka telah menyampaikan pada kita
bahwa merekapun pernah ada dan telah memiliki kemampuan berekspresi dalam
bentuk lukisan. Dan kita sadari bahwa obyek-obyek yang dipilih sebagai media
ungkap rasanya, seperti cap tangan, perahu dan babi rusa, bukanlah sekedar objek
yang asal-asalan, tetapi memiliki nilai konotatif yang sangat dalam.
Untuk lebih memudahkan pemahaman Saudara terhadap materi ini,
perhatikanlah baik-baik gambar peraga/slide/transfaransi berikut ini.

Transfatransi 1, 2: Kria batu (Kapak genggam berbagai macam bentuk)


Transfaransi 3: Kria tanah liat (gerabah) Mesolitik-Neolitik
Transfaransi 4, 5: Patung-patung Megalitik
Transfaransi 6, 7, 8: Bangunan Megalitik ( menhir, dolmen, sarkopak
Transfaransi 9, 10: Lukisan dinding gua Mesolitik-Megalitik)
Transfaransi 11: Lukisan dinding prasejarah (tema arwah/totem)
Transfaransi 12, 13: Ragam hias Prasejarah

prasasti canggal
13

Batu Gajah

Nekara dan Kebudayaan Dongson


Nekara adalah semacam berumbung yang terbuat dari perunggu yang berpinggang di abgian tengahnya, sisi
atasnya tertutup. Diantara nekara-nekara yang ditemukan di Indonesia hanya beberapa saja yang utuh. Nekar-
nekara tersebut ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali, di Pulau Sangeang dekat Sumbawa, pualu Roti, Leti, Selayar,
kepulauan Kei, dan Alor. Nekara terbesar ditemukan di Pejeng, Bali. Tingginya 186 cm dan garis tengahnya 160 cm.
Nekara dari Selayar dan kepuauan Kei dihiasi gambar gajah, burung merak, dan harimau.
Kebudayaan Dongsong atau perunggu Asia Tenggara berpusat di Dongson.
Gong Nekara Selayar
Selayar adalah salah satu wilayah di Sulawesi Selatan yang pernah memiliki beberapa kerajaan di masa lampau,
Selayar menyimpan banyak peninggalan sejarah, salah satu diantaranya adalah Gong Nekara ( The bronze drum) di
Kampung Matalalang (area istana kerajaan Bontobangung), Kelurahan Bontobangung, Kecamatan Bontoharu
jaraknya kurang lebih 3 km dari Benteng ibukota Selayar, diperkirakan dibuat pada tahun 1200-an.
14

Sisi bagian atas tertutup, dan bagian bawahnya terbuka. Tinggi 92 cm dengan keliling dilingkaran tengah bagian
bahu paling cembung 418 cm. ornamen kodok pada bagian pinggir tutupnya. Motif hias ahrimau, merak, gajah yang
tak ada di wilayah timur Indonesia.
Ada yang menyebutkan bahwa nekara ini berasal dari Tiongkok dibawa oleh pedagang. Namun ada juga yang
mengatakan ada kaitan dengan Dongson, sebuah wilayah di Vietnam yang terkenal dengan kebudayaan logamnya.
Sementara Dinas Pariwisata Selayar mengatakan dibawa dari Thailand.
Menurut masyarakat Selayar bahwa Gong nekara Selayar merupakan salah satu benda pusaka simbol kerajaan) di
Selayar. .
Amiruddin, 2008. “Gong Nekara di Bontobangung Kabupaten Selayar,” Bagian I, Surat Kabar FAJAR, 2 Mei 2008
halaman 1 dan 11.
Amiruddin, 2008. “Gong Nekara di Bontobangung Kabupaten Selayar,” Bagian II, Surat Kabar FAJAR, 2 Mei 2008
halaman 1 dan 11,m a

manuasia purnba
15
16

Rangkuman
Kekayaan warisan budaya material misalnya bagi bangsa Indonesia
menunjukkan bahwa para leluhur kita memiliki dorongan artistik yang kuat dan
vitalitas teknik menangani material. Kelompok-kelompok kesukuan masa lalu
misalnya telah menghasilkan barang-barang untuk keperluan ritual, seperti patung-
patung dewa, patung nenek moyang yang secara kuat menyimbolkan sistem
kepercayaan mereka. Sementara itu, sistem kebudayaan yang lebih kompleks seperti
kesultanan/kerajaan telah menghasilkan kekayaan artefak yang menunjukkan rekayasa
menangani material yang canggih. Karya-karya arsitektural-monumental seperti arca,
menhir, sarkopak, makam kuno, dan masih banyak lagi lainnya. Karya-karya seperti
itu, tinggalannya cukup banyak dan tersebar di seluruh nusantara.
Kebutuhan terhadap produk artefak yang menggambarkan nilai-nilai simbolik
dan memiliki kualitas artistik itu mendorong adanya rekayasa, yakni berupa ekspresi
dan perfeksi teknologi. Dalam suatu tradisi, hal itu dicapai melalui rentang waktu yang
panjang yang dipindahkan dan dipercanggih dari generasi terdahulu ke generasi
berikutnya.
Gambar telapak tangan sebagai obyek lukisan dinding gua mungkin pertama
kali dikenal ketika manusia mencoba menggambarkan sesuatu dengan warna.; Warna-
warna tersebut seperti merah dari darah binatang (babi atau kerbau), hitam dan putih.
Sedangkan warna hijau kemungkinan dari tumbuhan atau getah pohon dengan cara
mencelupkan tangannya ke dalam warna-warna tersebut kemudian mencapkannya
pada dinding gua.
Apa yang mendorong manusia purba untuk melukiskan hal-hal seperti itu ?
Jelas bukan untuk pameran seperti dilakukan oleh seniman sekarang. Dick. Hartoko
(1984) mengemukakan selain sebagai bukti sejarah bahwa mereka pernah ada di sana,
di dalamnya terkandung pula makna ritual serta simbolik tertentu, dan bagi manusia
purba terdapat suatu keyakinan daripadanya.
Dengan demikian, hubungan antara lambang dan apa yang dilambangkannya
sangat erat kaitannya. Ini menunjukkan bahwa manusia dapat memandang jauh ke
depan, dapat meramalkan apa yang akan terjadi lewat imaji atau daya khayalnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa bagi masyarakat primitif, seni sama pentingnya dengan
kebutuhan primer lainnya.
Demikian pula dengan lukisan/gambar-gambar dengan garis linear, dan
dengan kemaluan yang dipanjangkan, diduga berkisar pada mythe-mythe kesuburan.
Sampai sekarang motip seperti itu masih dijumpai pada karya tenun tradisional pada
17

daerah-daerah tertentu dimana mythe itu kuat. Obyek-obyek seperti di sebutkan di


atas banyak ditemukan di Indonesia sebagai aspek kesenian yang kuat, terutama di
daerah Tapanuli, pulau-pulau Indonesia Timur seperti Sumba, Sumbawa, Roti, dan
lain-lain, Kalimantan, pada kesenian rakyat Jawa.. Lukisan-lukisan telapak tangan di
gua-gua umpamanya diperbandingkan oleh sejarawan. Di Istana Bogor, ditemukan
patung telapak tangan yang disebut ‘Hand of Good’. Ini tidak berarti bahwa
pemikiran zaman kini sama dengan pemikiran manusia purba dahulu sebagai
simbolisme tangan sebagai magis. Namun keduanya memiliki simbol yang sama,
yakni untuk mengungkapkan sesuatu. Kalau pada gua-gua prasejarah, telapak tangan
adalah paling banyak ditemukan, sedangkan telapak kaki sangat sedikit. Namun
ketika masuknya pengaruh Hindu di Indonesia, hal ini berubah. Telapak kaki sekarang
yang menjadi simbol magis khususnya telapak kaki raja-raja. Misalnya pada prasasti
(Batu Tulis) dekat Bogor Jawa Barat, ada telapak kaki (batu bertulis) yang dikatakan
sebagai telapak kaki raja Purnawarman dari Taruna Negara. Sedangkan seni hias
prasejarah menjadi dasar dari tradisi seni lukis Indonesia yang berpengaruh pada
zaman-zaman berikutnya (Periode Hindu dan Islam).
Adapun ciri-ciri tradisi seni hias Indonesia yang bersumber dari seni seni lukis
prasejarah, antara lain:
a) Memperlihatkan komposisi bidang hiasan yang apdat dan mewah sesuai
dengan lingkungan budaya agraris.
b) Kecenderungan untuk mengadakan stilisasi bentuk flora dan fauna yang
menimbulkan kesan dekoratif.
c) Kecenderungan menampilkan bentuk-bentuk ornamen geometri (meander,
swastika, tumpal, pilin, pilin berganda, lingkaran, dan sebagainya).
d) Kecenderungan menampilkan motif-motif hias perlambangan sesuai
dengan pandangan hidup religi dan kosmis-magis.
e) Kecenderungan pada penggunaan warna dasar sesuai dengan lingkungan
alam dan pandangan kepercayaan.
Sedangkan motif yang banyak dimanfaatkan sebagai obyek antara lain burung
(burung sebagai lambang roh orang yang telah meninggal). Bagi masyarakat Dayak,
burung Enggang dianggap sebagi lambang dunia atas.binatang reptil (buaya, kadal,
ular, kura-kura (dianggap sebagai lambang dunia bawah), serta sebagai penjelmaan
roh nenek moyang, kuda, kerbau, dan gajah (sebagai kendaraan roh orang yang
meninggal). Kerbau juga sebagai lambang kesuburan, dan penolak bala.

Tugas dan Pertanyaan:


1. Buat pengertian dan jelaskan apa yang dimaksud dengan seni rupa prasejarah.
(Boleh berdasarkan kamus/literatur, kemudian jelaskan kembali).
2. Berikan cotoh-contoh atau bukti-bukti peninggalan seni rupa prasejarah di
Indonesia, tunjukkan tempatnya serta periodenya (minimal 3 contoh).
3. Jelaskan konsep apa yang mendasari lahirnya seni rupa prasejarah tersebut.
4. Tuliskan sifat-sifat yang menjadi ciri seni rupa prasejarah tersebut dan bandingkan
dengan karya-karya seni rupa modern (masa kini).
5. Setelah Saudara mempelajari sejarah seni rupa prasejarah, apa manfaat yang
Saudara rasakan terutama dalam posisi atau status Saudara sebagai mahasiswa Seni
Rupa atau masyarakat akademis.
18

Bahan Pustaka
Ankersmit, F.R., 1987. Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang
Filsafat Sejarah, (diindonesiakan oleh Dick Hartoko), Cetakan I, Jakarta; PT
Gramedia.
Dick Hartoko, 1984. Manusia dan Kebudayaan, Knisius, Yogyakarta.
Effendhie. Machmoed, 1999. Sejarah Budaya, Untuk SMU Kelas 3, Cetakan I, Jakarta;.
Depdikbud.
HR Van Heekeren, 1957, hal. 96-98.
J. Daeng, Hans, 2000. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis,
(Pengantar Dr. Irwan Abdullah), Cetakan I, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Karso, dkk., 1996. Sejarah Nasional dan Umum, Edisi I, Untuk SMU Berdasarkan
Kurikulum 1994 Jilid 3 Kelas 3 Cawu I,2,3, Cetakan I, Bandung;. Angkasa.
Soedarso SP, 1990/1991. Seni Rupa Indonesia dalam Masa Prasejarah
Soekmono, 1993 Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1, 2, 3 Yogyakarta:
Kanisius.
------------, Perjalanan Seni Rupa Indonesia, Depdikbud.
1. Peninggalan Prasejarah di Sulawesi Selatan
Untuk memperoleh gambaran mengenai keberadaan ,,, terlebih dahulu perlu
ditelusuri latar belakang sejarahnya, khususnya mengenai tradisi megalitik di
Indonesia. Hal ini penting karena erat kaitannya dengan pembahasan selanjutnya.
Taradisi megalitik di Indonesia muncul setelah adanya tradisi bercocok tanam, atau
masa neolitik. Pada umumnya bangunan-bangunan megalitik waktu itu
dipergunakan sebagai sarana pemujaan yang didasarkan atas kepercayaan mengenai
adanya hubungan antara yang hidup dengan yang mati. Masyarakat prasejarah
mempercayai adanya pengaruh kuat dari roh orang yang telah meninggal terhadap
kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Karena itu, jasa dari seorang
kerabat yang telah meninggal seringkali diabadikan dengan mendirikan bangunan
batu besar, yang kemudian dianggap sebagai medium penghormatan (ritual), tempat
bersemayam roh dan sekaligus sebagai lambang si mati (Wahyono dkk., 1991: 29).
Bentuk-bentuk bangunan megalitik tersebut antara lain berupa menhir, meja
batu, dan lain-lain. Bentuk-bentuk peninggalan monumental, khususnya tradisi
megalitik di Indonesia ditandai oleh bentukan-bentukan batu yang berkaitan dengan
pemujaan maupun upacara-upacara penguburan. Walaupun tradisi ini sudah punah,
namun beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk beberapa daerah di Indonesia
seperti Nias, Toraja, Flores, dan Sumba masih hidup. R. Von Heine Geldern
membedakan tradisi megalitik menjadi dua, yakni:
1) Megalitik tua (sekitar 2500 sampai 1500 tahun sebelum Masehi).
2) Megalitik muda pada sekitar 1000 tahun sebelum Masehi (Wahyono
dkk., 1991: 30-31).

2. Tradisi megalitik di Sulawesi Selatan


19

Budaya megalitik di Sulawesi Selatan, secara tidak langsung merupakan


cabang dari induk budaya megalitik yang menyebar di Indonesia pada masa
perunggu-besi. Peninggalan tradisi megalitik tersebut, terutama tampak dalam
tradisi yang berkaitan dengan sistem penguburan. Bukti-bukti arkeologis yang
ditemukan menunjukkan bahwa pada periode neolitik telah berkembang pembuatan
peti mati yang terbuat dari kayu (masyarakat Sulawesi Selatan menyebutnya dengan
nama allung atau erong). Selain itu, juga ditemukan makam berundak yang tersebar
di beberapa kompleks pemakaman kuno.
Fenomena ini menunjukkan bahwa di Sulawesi Selatan tradisi dan sistem
penguburan yang diperlakukan secara khusus telah berlangsung sejak zaman
neolitik dan berlanjut hingga pada periode pra-Islam. Selain wadah orang mati, juga
ditemukan patung-patung yang terbuat dari kayu dan arca batu (tipe prasejarah), alat
perkakas berupa kapak batu, kapak lonjong dan kapak persegi terbuat dari perunggu.
Berdasarkan bukti-bukti arkeologis periode prasejarah dan neolitik tersebut,
kuat dugaan bahwa nisan makam kuno raja-raja di Sulawesi Selatan yang tersebar di
beberapa wilayah pemakaman kuno merupakan tipe nisan lokal, terutama jika
dilihat dari segi material, teknik, dan ornamennya. Fenomena ini diperkuat oleh
bukti sejarah melalui temuan arkeologis yang telah diidentifikasi oleh Suaka Budaya
BCB Propinsi Sulawesi Selatan, seperti nisan bentuk menhir dan makam berundak
tipe prasejarah yang diperkirakan berasal dari periode neolitik.

2. Peninggalam arkeologi di Kabupaten Soppeng

Penelitian arkeologi di lembah Sungai Walanae sudah dilakukan sejak tahun


1947. Temuan-temuan penting dari lembah tersebut adalah alat-alat serpih batu
(flake tools) dari masa palaeolitik sampai masa neolitik dalam jumlah yang banyak
sekali. Selain itu, juga ditemukan fosil-fosil vertebrata. Temuan alat-alat serpih batu
tersebut merupakan bukti kuat tentang adanya peradaban manusia sejak prasejarah
di Kabupaten Soppeng. Dari temuan tersebut, pakar prasejarah Belanda yang
meneliti lembah tersebut menganggap bahwa Soppeng pada masa prasejarah sebagai
pusat industri alat serpih batu (Montana, dkk., 1996/1997: 5).
Mattulada dalam Yabu M (2002) mengemukakan bahwa sejarah masa
Hindu-Buda di wilayah ini secara konkrit belum tampak (belum ditemukan hasil
budaya materi dari masa itu). Namun secara tersirat sebenarnya budaya dari masa
klasik dapat dikatakan keberadaannya, misalnya dari tradisi La Galigo yang
menceritakan nenek moyang orang Bugis-Makassar adalah Batara Guru yang
menurunkan Sawerigading. Dengan demikian budaya materi dari masa klasik
memang belum tampak, tetapi budaya non-materi sudah tercermin dalam tradisi La
Galigo. Tidak disebutnya nama kerajaan atau kedatuan Soppeng dalam
Negarakertagama (1365) seperti halnya dengan kerajaan Bontayan (Bantaeng),
Luwuk, Makassar, Butun, Banggawi (Banggai), dan Salaya (Selayar), tidak berarti
bahwa kedatuan Soppeng belum berdiri. Mungkin karena kedatuan itu belum
terkenal, atau daerah itu masih di bawah kekuasaan suatu kerajaan terdekat yang
lebih berpengaruh. Boleh jadi pula letak geografis - dimana Soppeng yang letaknya
jauh dari pantai. Sedangkan rentang kronologi keberadaan kerajaan Soppeng
berkisar antara abad XIV-XIX.. Pada tahun 1610 M, Raja Soppeng yang bernama
BeoE memeluk agama Islam (raja Soppeng pertama yang memeluk Islam).
Budaya megalitik juga banyak ditemukan di situs Lawo Kabupaten Soppeng.
20

Penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi ujung Pandang tahun 1995
melaporkan bahwa di situs Lawo Kabupaten Soppeng ditemukan sejumlah
peninggalan penting yang terbuat dari abtu. Diantaranya adalah berupa lesung batu
dan batu dakon berbagai ukuran (Soegondho dan Bernadeta AKW, 1995).
21

Gambar 1
Bentuk-bentuk lesung batu di situs Lawo Kabupaten Soppeng
22

Gambar 2
Bentuk-bentuk batu dakon di situs Lawo Kabupaten Soppeng
B. Zaman Perunggu (Seni Dongson)
Gelombang perpindahan kedua yang datang dari daratan Asia ke Indonesia
(500 tahun sebelum Masehi) membawa serta kebudayaan perunggunya ke tempat
tinggal mereka yang baru itu. Peninggalan artifaknya antara lain; berbagai jenis kapak
persegi. Untuk lebih memudahkan pemahaman Saudara, perhatikan gambar
peraga/slide/transfaransi berikut ini.

Transfaransi 1: Kria Perunggu/Seni Dongson (genderang perunggu)


Transfaransi 2, 3: Kapak perunggu
Transfaransi 4: Patung perunggu
Transfaransi 5:
Transfaransi 6, 7, 8: Ragam hias Prasejarah/Tradisi
Transfatransi 9, 10:

Gbr.
Ragam hias geometri dan binatang pada benda perunggu
(Van der Hoop, 1949).

1 Lukisan Dinding

Pada umumnya tempat tinggal pada masa berburu yaitu di gua-gua, pada
bagian dindingnya dilukisi dengan hiasan-hiasan yang dianggap mengandung daya
magis. Yang pada akhirnya berubah fungsi menjadi benda yang berkaitan dengan
keagamaan. Hasil lukisan ini berupa adegan perburuan yang diharapkan atau
dilambangkan agar mendapatkan hasil buruan yang sesuai dengan keinginan
mereka. Kepercayaan ini disebut kontak magis (Howell, 1982 dalam D.D. Bintarti,
1987; 278). Maka pada zaman prasejarah hiasan atau lukisan tidak hanya merupakan
23

suatu keindahan yang dipergunakan sebagai hiasan belaka tetapi juga mengandung
makna-makna tertentu. Seperti yang diungkapkan Wiyoso bahwa…hiasan-hiasan
memiliki makna yang dalam yang melambangkan sesuatu yang mereka anggap tak
dapat digambarkan dalam wujud sebenarnya, hal ini mungkin disebabkan oleh
kekuatannya
atau kehebatannya sehingga akhirnya ditabukan. Pemikiran tentang adanya sesuatu
diluar jangkauan manusia membuat mereka juga menciptakan sesuatu sebagai
manifestasinya (1979: 9-10).
Sejalan dengan pandangan ini Primadi Tabrani (1999;3) mengatakan bahwa
keindahan dalam seni kria tidak hanya sekedar memuaskan mata saja namun
melebur dengan kaidah adat, tabu, kepercayaan, agama. Selain bermakna juga
sekaligus indah. Jadi seni hias yang dihasilkan pada masa prasejarah berkaitan
dengan cara pola pikir mereka yakni selain dipergunakan sebagai hiasan pada benda
pakai juga memiliki fungsi nilai spiritual yang diyakini dapat mendatangkan
kekuatan.
Setelah mereka menetap seni hias berkembang, menjadi goresan, pahatan,
ukiran, atau cap. Karya seninya meningkat yang berhubungan dengan kepercayaan
nenek moyangnya, dalam bentuk pemujaan yang berkaitan dengan sesuatu yang
berhubungan dengan nenek moyang. Tradisi ini disebut tradisi megalitik. Pemujaan
ini digambarkan dalam bentuk batu besar, yang dianggap sebagai perwujudan tahta,
maupun altar yang diberi hiasan sebagai lambang. (Soejono, 1977 dalam D.D
Bintarti 1987; 279).

2. Gerabah

Pada masa ini benda-benda mulai dipergunakan pada masa bercocok tanam
dan mengalami perkembangan dalam teknik pada masa perundagian. Contoh gerabah
yang dipergunakan adalah tempat air, tempat masak, bekal kubur, dll. Pada masa itu
sangat sederhana pembuatannya dan pola hias yang dipergunakan adalah pola
anyaman dan goresan dengan pola garis sejajar atau pola lingkaran (H,R. Van
Heekeren, 1972;180-189, dalam Wiyoso, 1979;11). Pada masa perundagian teknik
ini mengalami perkembangan, dengan bentuk aneka ragam, dan pola hias yang
berbentuk melingkar, pola hias garis sejajar atau bersilang, pola anyaman, pola
24

tumpal, meander, tangga.

3. Benda Perunggu

Pada masa perundagian mereka mengenal yang berkaitan dengan teknologi


yang baru yakni logam sebab logam mudah dihias dan dibentuk dibanding dengan
batu, tanah liat. Contoh hasil karya mereka adalah senjata, perhiasan, benda upacara,
juga keperluan sehari-hari. Pada masa ini benda dari tanah liat dan batu tetap
dipergunakan. Contoh benda logam memperlihatkan ttruan lukisan dalam gua/ceruk
seperti gambar rusa, anjing, burung dan ular. (Haskins, 1963 dalam DD Bintarti;
280). Pola hias yang digambarkan, dilukiskan digoreskan dipahatkan/dicapkan
(impresi). Pada umumnya berupa bentuk manusia, binatang, geometri, senjata,
rumah, perahu, tumbuhan, bulan dan matahari.
Claire Holt menggambarkan bahwa motif-motif penting tertentu dari seni masa
prasejarah di Indonesia sampai sekarang masih dimanfaatkan oleh para seniman
(desainer, pelukis dan pematung). Manifestasinya dapat dilihat pada motif tekstil,
pada kriya logam, juga pada arsitektur,. Tampaknya bahwa motif-motif dekoratif
tersebut, selalu muncul sepanjang masa, yang dikonfirmasikan dengan
kelanggengan lingkungan alam Indonesia. Di samping itu, tak luput pula dari
adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam masa yang
relatif berbeda (Claire Holt, 1999. Melacak Jejak Perkembangan Seni Di Indonesia,
Cet. I, Bandung, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), hlm. xxii).
Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa tradisi seni hias di Indonesia,
telah dikenal oleh nenek moyang kita sejak zaman batu. Bukti-bukti peninggalan
dapat kita lihat pada bangunan purbakala dari masa prasejarah hingga masa klasik.
Kemudian semakin berkembang ketika ditemukannya teknologi menuang logam
dan masuknya Islam di Indonesia.(Claire Holt, 1999. Melacak Jejak Perkembangan
Seni Di Indonesia, Cet. I, Bandung, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI),
hlm. 10).
Dalam kaitan ini Rohendi Rohidi (1999:28) menjelaskan bahwa kebutuhan
estetik, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, terserap dalam segala
kegiatan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan primer, kebutuhan
sekunder maupun kebutuhan integratif lainnya Karena itu, kesenian termasuk di
25

dalamnya seni hias, tercipta, lahir, dan berkembang serta dibakukan melalui tradisi-
tradisi sosial dalam suatu masyarakat, sebagaimana halnya dengan unsur-unsur
kebudayaan lainnya (Rohendi, Rohidi 1999. Ekspresi Seni Orqang Miskin: Adaptasi
simbolik terhadap kemiskinan, Cet. I, Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia.
Selanjutnya dijelaskan bahwa kesenian merupakan salah satu kebutuhan manusia
(kebutuhan integratif) yang muncul karena adanya dorongan dalam diri manusia.
Secara hakiki, manusia senantiasa ingin merefleksikan keberadaannya sebagai
makhluk sosial, yang bermoral, berakal, dan berperasaan.
2. Pola Hias
2.1 Pola hias Manusia

Pola hias manusia sangat penting karena merupakan bagian dari dirinya. Pola
hias ini melalui beberapa variasi, bentuk tubuh manusia. Yang kedua bentuk bagian
dari manusia (tangan, kaki, muka). Pola manusia digambarkan dalam keadaan
bervariasi. Misalnya sikap berdiri, duduk, dsb. Pola hias yang menonjol adalah
penggambaran bentuk alat kelamin baik wanita maupun laki-laki. Seperti pada
bangunan megalitik di Sulawesi Tengah, Bali, Nias dan Lampung. Bagian tubuh
manusia memegang peranan penting seperti bagian tangan kaki dan muka. Lukisan
cap tangan digambarkan pada dinding gua di Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Kemudian lukisan ini cap kaki ditemukan pada benda megalitik. Pola hias muka
ditemukan pada benda logam, batu, maupun pada benda tanah liat yang berfungsi
sebagai bekal kubur . Fungsi pola hias manusia sebagai penolak kekuatan jahat,
konsep kelahiran kembali, berkabung (Soejono, 1977 , DD Bintarti, 1987: 281).

2.2 Pola hias binatang

Pola hias binatang contohnya anjing yang dianggap kawan dalam berburu
hewan liar. Binatang ini juga memgang peranan penting dalam kepercayaan pada
beberapa suku bangsa di Indonesia, seperti Nias, Bone, Lombok, Dayak, Bali. Juga
dikaitkan dengan peristiwa yang berupa perkawinan, kelahiran, penyakit, dan
kematian (Kruyt). Binatang lain yakni burung enggang berparuh melengkung jenis
kakatua, jenis bangau, merak dsb, binatang melata (kadal, cecak, biawak, buaya),
kuda, kerbau, gajah, kijang, harimau, katak, babi, ayam, dan ikan. Pola ini memiliki
26

arti/lambang dari roh nenek moyang, pelindung dari kekuatan jahat dan pengusir roh
jahat, kendaraan roh yang meninggal. Pola hias ini banyak terdapat di peti mati suku
Batak, Mentawai, Sumbawa, Kei, Bali (Hans Scharer, Van Heekeren, Frans Boaz).

2.3 Pola geometris

Pola geometris merupakan pola hias yang terpanjang usianya, bersifat


universal, dipergunakan pada setiap benda. Pola ini dikelompokkan menjadi garis
(horizontal, vertikal, sejajar, lengkung); Lingkaran (lingkaran memusat, lingkaran
titik ditengah, lingkaran kosong ditengah); tumpal, pilin , huruf E, huruf F, pita-pita
bergelombang, dsb. Pola ini berkembang terus hingga sekarang. Pola ini berfungsi;
memperindah juga mengandung arti sosial, geografis maupun religius (Frans Boaz,
1955:88-143, dalam DD Bintarti). Sejalan dengan pandangan tersebut (Wiyoso
Yudoseputro, 1979:10) mengatakan bahwa pola-pola geometris adalah pola-pola
lukisan pada zaman prasejarah yang pada umumnya dapat kita jumpai pada artefak
anyaman, tumpal, meander, lingkaran, tangga, titik-titik, garis lurus, pilin berganda,
swatika, huruf S, dan sebagainya.
Menurut R.P. Soejono (1962: 242-243) dalam Wiyoso Yudoseputro, pola hias
geometris adalah pola hias yang paling banyak dan paling sering dipergunakan dalam
seni hias di Indonesia dari zaman ke zaman. Pola geometris ini mengandung arti
sosial, geografis, dan religius.
Seni hias di Indonesia memiliki keseragaman terutama pola geometris yang
memiliki sifat universal. Pola ini hampir selalu memiliki peranan penting dari masa
ke masa. Di Cina juga dapat kita temui pada zaman neolitik, artefaknya dapat kita
jumpai pada semacam bejana dengan hiasan pilin berganda, kemudian juga pada batu
giok yang berasal dari dinasty Chou (800 SM) dengan hiasan berupa mirip pilin
berganda (William Willetts, tth, 42-60).

2.3 Pola hias bentuk-bentuk Alam

Pola tumbuhan digambarkan dalam bentuk pohon, daun, atau bunga. Pola
hias ini digambarkan pada moko, nekara, lukisan gua di Sulawesi Tenggara. Pola ini
berkembang pada kain tenun, rumah atau peti kubur. Pohon dianggap sebagai
lambang dari pohon hidup yang menguasai dunia, seperti yang terdapat pada suku
27

Dayak dan Sumatera Selatan (Van der Hoop, 1949; 100-278). Pola hias bulan,
bintang, matahari juga ditemukan pada benda perunggu, lukisan pada dinding gua
dan batu. Pola hias ini melambangkan tempat asal nenek moyang dan lambang
kehidupan. Pada tradisi megalitik banyak bangunan dan penguburan yang
dihadapkan pada matahari (Van der Hoop ).
Apa yang dipaparkan di atas memperlihatkan pola hias berkaitan dengan
aktivitas manusia sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan kepercayaan. Konsep
keindahan pada masa itu disesuaikan dengan tujuan pembuatan seni hias tersebut.
Karena itu hampir semua pola hias yang dibuat mengandung kekuatan magis yang
dianggap dapat melindungi mereka dan menambah kesejahteraan. Seni hias
prasejarah banyak ditemukan pada kain (batik, ulos, ikat, tenun, dsb), juga kuburan,
dinding rumah adat, peralatan perang, dsb. Menurut Wiyoso (1986; 80-86) bahwa
tanda persamaan pertama yang mencolok yang hampir dapat di jumpai di tiap daerah
dan tiap zaman ialah kepadatan dan kepenuhan hiasan bidang yang sudah dimulai
sejak zaman prasejarah. Sedangkan pola hias fauna adalah pola hias berasal dari
tumbuhan. Pola hias ini biasanya mengalami stilasi dan dilakukan pengulangan pada
bidang yang dihiasinya.
Seni hias benda perunggu dari kesenian Dongson hampir memenuhi semua
permukaan bidang. Pengaruh seni Dongson ini juga tampak pada hiasan bidang-
bidang rumah adat di beberapa daerah di Indonesia, contohnya di Batak, Minang,
Dayak dan Toraja. Juga seni hias ukiran kayu pada unsur-unsur konstruktif bangunan
istana dan masjid seperti soko, balok dan rusuk yang mencerminkan kepekaan rasa
dalam menghias bangunan sekaligus menjadi tanda kepribadian seni hias Indonesia
yang diwariskan secara turun temurun. Hiasan bidang pada dinding rana/partisi
(gebyok, bhs. Jawa) sekalipun gaya seni hias Hindu sangat mewarnai, hiasan itu tetap
mencerminkan kepribadian seni hias Indonesia. Semuanya serba penuh, padat,
mewah serta kaya akan warna-warna yang semarak. Juga kita.akan meraskan hal
yang sama bila masuk ke dalam rumah tradisional di Kudus yang mewarisi seni ukir
kayu Klasik Islam.
Ciri kedua pada umumnya dan yang terulang kembali pada zaman
Islamialah kegemaran menggunakan motif hias yang bersumber pada ragam hias
geometris dan ragam hias tumbuhan. Seperti di jelaskan terdahulu bahwa ragam hias
28

geometri sudah dikenal sejak zaman prasejarah. Motif ini selalu muncul kembali
dalam perkembangan seni dekoratif Indonesia dengan pola dan susunannya yang
baru.
Pada masa Islam motif-motif hias geometri ini bertahan, sebagai bentuk
penerus tradisi seni hias zaman Hindu maupun sebagai hasil pengembangan. Hal ini
tampak jelas pada ornamen batik yang berkembang pesat pada masa Islam. Adanya
ragam hias tumbuhan yang sudah lama dikenal di Indonesia. Hal ini amatlah dapat
dipahami karena lingkungan alam Indonesia yang kaya dengan tumbuhan selalu
menjadi sumber daya cipta para seniman untuk berkarya. Sesuai dengan pandangan
kosmologi bangsa Indonesia, maka jenis tumbuhan yang hadir sebagai hiasan
memiliki arti perlambangan. Pada masa Hindu arti perlambangan ini disesuaikan
dengan ikonografi dalam kesenian Hindu dan Budha. Pada masa Islam nilai-nilai
perlambangan tersebut tetap dipelihara dan dikembangkan terus dalam menentukan
disain ornamental.

3. Gaya Seni Hias

Istilah gaya (style) dapat dihubungkan dengan aspek wilayah, zaman dan
individu. Contohnya penggunaan istilah gaya untuk batik, misalnya seni hias candi
Jawa tengah dengan seni hias candi Jawa Timur, berhubungan dengan aspek wilayah.
Istilah gaya Majapahit dan Renaissance Style berhubungan dengan aspek zaman atau
periode (Raharjo: 334). Pengertian tersebut menunjukkan bahwa gaya memiliki
pengertian yang luas, karena juga berkaitan dengan ciri bentuk atau teknik dalam
karya, seniman, aliran atau gerakan, periode atau wilayah (Wolf, 1951:682).
Kesamaan gaya pada wilayah atau periode dipengaruhi atau ditentukan oleh
kesamaan waktu, juga dapat diartikan gaya merupakan pola pengulangan yang
dilakukan seniman dalam menyajikan konsep keindahan. Bagi ahli sejarah seni rupa,
pengertian gaya adalah obyek yang pokok atau esensial di dalam penelitian dan
pengamatan karya seni (Djoko Soekirman, 2000: 80).
Karya seni di sini dapat kita kaitkan dengan tulisan ini, yakni batik. Suatu
karya seni yang dapat dikatakan memiliki gaya karena memiliki bentuk, hiasan,
selaras/harmonis, sesuai dengan kegunaan dalam material yang dipergunakan (Djoko
Soekirman, 2000: 82). Seperti yang dikutip dari Plato oleh Soekirman:… suatu
29

barang atau benda hasil karya seni dapat dikatakan sempurna bilamana memenuhi
“kegunaannya”, “keindahannya”, “kesesuaian” akan “warna”, dan “bahannya”.
Bila dihubungkan dengan Benyamin Rowland yang dikutip
Balasubrahmanyam (1971: 305) yang mengatakan bahwa gaya adalah kekhususan-
kekhususan menampakan visual yang terdapat pada karya arsitektur, seni arca dan
seni lukis, seni hias yang diciptakan sedemikian rupa sehingga membuatnya typical
untuk ditetapkan waktunya dalam sejarah. Sedangkan Meyer Schapuro memberi
tekanan pada aspek ketetapan bentuk (constant form) sebagai ciri gaya (dalam
Raharjo: 335).
Beberapa pengertian di atas memperlihatkan bahwa gaya merupakan bentuk
pengulangan cara membentuk dan menyajikan hasil karya seni oleh seniman
individual atau kelompok dalam waktu tertentu, juga dipengaruhi, oleh kesamaan
ruang atau wilayah geografis dan waktu, individu dan kelompok.. Sekalipun
mungkin saja muncul suatu gaya yang baru sama sekali yang belum pernah ada
sebelumnya dan ini pernah terjadi pada pembabakan sejarah seni rupa Barat yang
linear.
Pembentukan kebudayaan setempat yang dipengaruhi oleh kebudayaan dari
luar mempengaruhi gaya seni setempat. Contohnya berbagai gaya seni hias di dunia
adalah bukti adanya toleransi berbagai gaya seni hias Islam dan dari Timur dan Barat
adalah bukti yang tidak dapat kita abaikan.
Wiyoso Yudoseputro (1986: 9), mengemukakan bahwa perkembangan seni
rupa Islam di setiap negara dapat melahirkan berbagai gaya yang dalam urutan kurun
waktu selalu berubah. Perubahan gaya seni rupa sukar diikuti pada perkembangan
seni rupa Islam di Indonesia. Sebutan “gaya seni Islam di Indonesia” adalah untuk
membedakan gaya seni rupa Islam di negara luar. Gaya seni yang timbul karena
peranan tradisi seni dari zaman sebelumnya dari yang pernah berkembang
sebelumnya.
Penggunaan motif tumbuh-tumbuhan dengan stilasi bentuk berdasarkan pola
hias yang padat dan penuh merupakan gaya seni hias Islam kuno di Indonesia
membedakan dengan gaya seni hias Islam di Indonesia. Pembinaan kesenian yang
bersumber dari istana menghasilkan pedoman dan kaidah seni, seperti yang telah
disinggung di depan. Kaidah-kaidah tersebut adalah hasil dari pengalaman dan
30

peningkatan daya cipta para seniman istana.


Surutnya kekuasaan kerajaan akibat peperangan yang tiada hentinya maka
timbul kerajaan-kerajaan kecil yang berdiri sendiri. Ini berarti timbulnya pusat
kesenian-kesenian baru. Penyimpangan dari tradisi gaya seni klasik yang tunggal
yang semula berada di pusat melahirkan gaya seni baru berdasarkan tanggapan dan
tafsiran kaidah serta nilai seni Klasik. Contohnya gaya seni batik Solo (JawaTengah)
memperlihatkan corak yang lain dibandingkan dengan pola hias batik Ciamis, Garut,
Cirebon (Jawa Barat).
Begitulah munculnya gaya-gaya seni klasik di setiap daerah merupakan
penerus dari pusat kesenian setempat, selain Jawa Tengah juga Jawa Barat dan Jawa
Timur, bahkan Madura, Sulawesi juga tempat-tempat lainnya. Pengaruh kesenian
asing pada masa kerajaan Islam dengan gaya seni klasik yang beragam juga
didukung oleh pertimbangan baru dalam ussaha memperkaya gaya klasik itu. Salah
satu contohnya adalah seni hias Cirebon yang merupakan hasil perpaduan antara
tradisi seni hias Cina dengan seni hias Islam Cirebon dipengaruhi oleh masukan-
masukan maupun kebutuhan masyarakat, dan pengaruh dari luar. Hal ini jelas
menunjukkan adanya keterpaduan antara kebudayaan Indonesia dan kebudayaan dari
pihak luar.

4. Tinjauan Seni Hias Batik Pra-Islam

Van Der Hoop dalam bukunya Ragam Hias Indonesia (1949;13),


mengatakan bahwa: fungsi ragam hias adalah untuk menciptakan pesona dan juga
merupakan daya tarik dalam perkembangan perbendaharaan tekstil Indonesia
modern. Jadi ragam hias sangat efektif untuk menciptakan citra budaya yang
diinginkan untuk mewakili nuansa Indonesia atau citra tradisional khususnya.
Awal pembuatan batik sudah dimulai sejak zaman prasejarah, kain simbut
dari Priangan adalah contoh batik asli yang dibuat dari bahan kanji ketan sebagai
penutup kain (Wiyoso Yudoseputro, 1986;96, , Nian S. Djumena, 1990; 86-87,
Biranul Anas, 1997;15-16).
Sebutan batik yang paling tua terdapat dalam sebuah naskah Sunda yang
ditemukan di selatan Cirebon dan bertanggal 1440 Saka/1518 M. (Denys Lombard,
1996, 193). Kata batik belum disebut disana, tetapi yang ada adalah kata tulis yang
31

sejak itu lazim dipakai untuk pembubuhan malam ke atas kain. Selain itu disebut-
sebut nama teknis dari sembilan motif, yang beberapa diantaranya kemudian muncul
kembali. Istilah batik untuk pertama kali disebut dalam tulisan Eropa di
Daghregister di Batavia, tertanggal 8 April 1641. Tetapi sudah tentu yang
dibicarakan oleh duta Belanda di istana Mataram pastilah kain batik, ketika pada
tahun 1622 diberikannya pakaian Sultan Agung sebagai ‘dilukis biru putih menurut
cara negerinya.’ Dari pelabuhan pesisir, teknik itu pasti cepat masuk Mataram dan di
kedua daerah inilah teknik itu masih ada, dan lebih berkembang daripada kapanpun
sebelumnya-yaitu di Cirebon dan Pekalongan di satu pihak, di Yogya dan Solo di
pihak lain. Di ibukota-ibukota Jawa Tengah motif dan warna selalu mengikuti
kaidah-kaidah yang ketat. Sebaliknya di pesisir seperti yang diungkap Lombard
bahwa daya khayal masih tetap bertahan dengan produksi yang terus menerus
diperbaharui dan yang sangat cocok dengan selera khas dari siapapun.
Pada abad ke-7 dan ke-8 sudah ada misi diplomatik dan perdagangan ke
Cina, kemungkinan seni batik juga diperoleh dari Cina. Melihat gambar-gambardi
buku tentang keramik T’ang oleh Margaret Medley (1979), …saya tertarik oleh
beberapa bejana yang seolah-olah dibatik. Medley mengatakan bahwa:’Sistem
pembatikan yang dipakai, ialah; bejana keramik diulasi malam dulu sebelum dilukisi
dengan glasir. Dalam proses pembakaran keramik itu, malam itu menjadi cair.
Keramik 3 warna berasal dari masa T’ang dan banyak pecahan keramik seperti ini
ditemukan disekitar prambanan (Abu Ridho, James watt, 1979) (seperti yang dikutip
oleh Satyawati Sulaeman, 1986; 160-161)
Maka misis-misi dari Jawa melihat pembatikan keramik itu yang mungkin
berdasarkan pembatikan atas bahan tekstil. Masih ada kemungkinan seni itu
dipelajari di Cina dan batik masih dipakai oleh istana dan belum jadi barang
produksi untuk rakyat. Meskipun begitu, raja-raja mungkin belum memakai batik
untuk pakaian kebesaran , karena arca-arca mungkin memakai semacam tenunan
emas atau kain yang dilukisi emas seperti yang di Bali. Adanya pemakaian tekstil
impor dari Cina ternyata juga dari pola tekstil pada beberapa dinding candi Sewu.
Pada dinding ruang arca Siwa di candi Siwa di Prambanan, ada pola yang mirip
dengan pola-pola itu, tetapi mungkin memperlihatkan pola tekstil lokal Cina (Seperti
yang dikutip oleh Satyawati dari Woodward, 1977).
32

D. Perkembangan Seni Hias Batik Islam

Kata Batik berasal dari bahasa Jawa. Berasal dari akar kata”tik”. Mempunyai
pengertian hubungan dengan suatu pekerjaan halus, lembut dan kecil, yang
mengandung unsur keindahan. Secara etimologis berarti menitikkan malam dengan
canting, sehingga membentuk corak yang terdiri atas susnan titikan dan garisan.
Batik ialah lukisan atau gambar pada mori yang dibuat dengan menggunakan
alat bernama canting (Hamzuri, 1994;VI). Sedangkan yang lain berpendapat
membatik pada dasarnya sama dengan melukis di atas sehelai kain putih. Sebagai
alat melukis dipakai canting dan sebagai bahan melukis digunakan cairan malam (S.
Djumena, 1990;1).
Wiyososo Yudoseputro (1986;98) mengatakan bahwa membuat hiasan batik
disebut juga menulis yang berarti gambar yang ditulis dengan menggunakan alat
yang disebut canting yang diterapkan pada kain dengan menggunakan malam
sebagai media sekaligus sebagai penutup kain batik.
Pendapat-pendapat tersebut mencoba memasukkan teknologi ke dalam batik
yakni suatu teknik batik dengan menggunakan alat canting yang diberi lilin panas,
kemudian dituangkan di atas permukaan kain. Yang berarti ditekankan pada teknik
pembuatan seni hias atau motif di atas selembar kain. Jadi membatik adalah menutup
kain dengan malam serta menggunakan canting untuk menghasilkan ragam hias yang
direncanakan oleh baik perajin maupun desainer atau konsumen.

1. Nilai Teknis

Teknik batik identik dengan proses celup rintang, menyertakan zat pewarna,
malam perintang, dan kain sebagai obyeknya (Indonesia Indah 8, 1997: 17).
Kemampuan inilah yang harus dimiliki para seniman batik yang dipelajari dari para
empu. Pekerjaan membatik meliputi beberapa tahap pengerjaan, yang biasanya
dikerjakan oleh beberapa orang sesuai dengan keahliannya masing-masing. Tahap
pertama adalah membersihkan kain mori, memberi perekat dan melemaskan,
kemudian dibersihkan kembali. Tahap kedua adalah memberi motif pada bidang
tertentu, umumnya hal ini dikerjakan oleh seorang wanita, bila sudah ahli ia akan
33

membatik tanpa menggunakan pola, orang yang membatik demikian jelas sudah
mahir dan disebut “ngrujak”. Sedang orang yang belum mahir hanya “nerusi” atau
“ngisen-ngiseni”. Selanjutnya adalah proses mbabar yakni proses penyelesaian dari
batikan menjadi kain, selesai batikan di bliriki, meningkat pengerjaan selanjutnya,
yaitu proses menjadi kain. Salah satu bahan untuk mbabar adalah bahan nila yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan tarum (Jawa tom). Sudah sejak jaman purbakala
tarum dipergunakan untuk model batikan dengan campuran bahan yang lain
(Hamzuri, 1997;21).
Untuk mendapatkan hasil yang sempurna ketrampilan proses di atas harus
dikuasai sepenuhnya oleh para seniman batik, selain pengetahuan tentang disain
batik, para seniman batik klasik juga harus menguasai arti perlambang dalam batik.

2. Nilai Estetika
Dalam KBBI (1997; 270) dijelaskan estetika merupakan cabang filsafat yang
menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia
terhadapnya. Apa yang dipaparkan di atas jelas berkaitan dengan keindahan. Keindahan
yang berkaitan dengan tesis ini adalah keindahan dalam arti terbatas, yakni keindahan
benda-benda yang dicerap dengan penglihatan, yakni berupa keindahan dari bentuk dan
warna secara kasat mata (Dharsono, 1999;2). Keindahan pada dasarnya adalah sejumlah
kwalita pokok tertentu yang terdapat dalam sesuatu hal. Kwalita yang paling sering
disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry),
keseimbangan (balance) dan perlawanan (contrast).
2.1 Estetika batik
Sejak zaman prasejarah, kita sudah mengenal keindahan dalam seni hias, yang
bersumber pada kesenian zaman batu atau zaman perunggu, yang memperlihatkan seni
hias asli Indonesia. Seni hias asli Indonesia bersumber dari ragam hias geometris.
Ragam hias ini nyata sekali kehadirannya dalam seni hias batik. Karena bentuknya yang
geometris, maka hiasan ini sesuai diterapkan pada batik berdasarkan pembagian bidang.
Pembagian bidang ini berdasarkan pertimbangan ornamentik pada hiasan batik. Maka
motif geometris cocok diterapkan pada batik. Selain itu ragam hias ilmu ukur yang
sering kita jumpai adalah tumpal, banji, meander, swastika dan motif pilin. Sedangkan
motif flora dalam batik adalah stilasi dari bentuk buah, bunga serta daun. Motif-motif
ini juga sering dipadukan dengan motif geometris.
34

Pada zaman Hindu motif batik diperkaya dengan motif-motif baru selain
pengembangan dan penyempurnaan berbagai motif geometris dan motif tumbuhan.
Motif hias fauna dan geometris yang tampak pada hiasan relief candi adalah sumber
perkenalan dalam mencari motif hias pada zaman Islam. Beberapa motif flora dan fauna
serta motif perlambangan agama Hindu/Budha tampil kembali pada hiasan batik dengan
ciptaan yang baru. Pengaruh kebudayan asing, salah satunya adalah Cina sudah terasa
sejak zaman Majapahit, pada seni hias batik sudah muncul kembali. Motif wadasan dan
motif awan.

3. Nilai Guna
Sebagai karya seni kerajinan yang berpusat di istana, batik memiliki nilai guna
sebagai busana yang dipakai pada setiap upacara kerajaan dan upacara agama.
Mengenai hal ini setiap corak batik memiliki arti perlambang sesuai dengan
kegunaannya. Selain itu juga batik memiliki arti lambang dalam status sosial. Batik
untuk busana kebesaran raja berbeda dengan batik yang digunakan oleh para
bangsawan.
Seiring dengan kemajuan zaman nilai guna ini bergeser, batik tidak lagi hanya
digunakan oleh para raja namun rakyatpun dapat menggunakannya. Bahkan saat ini
dengan kemajuan teknologi batik juga dapat dicetak oleh teknologi dan dinamakan batik
printing. Penggunaannya lebih luas, untuk perangkat interior, perlengkapan makan, dll.
Sedangkan perlambang sudah tidak digunakan lagi, kecuali dalam upacara adat.

Anda mungkin juga menyukai