Anda di halaman 1dari 17

Christine Magdalena Mandalahi

1805310
UAS Tinjauan Seni

Seni Bukan Untuk Nafsu Elite

Seni rupa di Indonesia saat ini sama seperti putaran roda yang selalu ada di atas
dan selalu ada di bawah, naik turun sesuai pergerakan sang pengayuh pedal. Siapa
pengayuh pedalnya? Masyarakat itu sendiri yang menentukan keberadaan seni itu
sendiri bisa berkembang maju atau mundur, termasuk para seniman yang harus
berinovasi lebih maju. Apa memang hanya masyarakat dan seniman? Belum tentu,
melainkan peran pemerintah dan lembaga seni maupun pendidika suatu keharusan
mereka dalam berkontribusi memajukan seni budaya Indonesia. Pertanyaan kembali
tergesit, apakah seni sudah merata kepada masyarakat luas dalam keilmuan seni
maupun praktisi seni dan karya seni itu sendiri bisa dimiliki berbagai kelas-kelas
sosial. Permasalahan ini dapat di rasakan dari permasalah seni tinggi dan seni rendah
yang diadaptasi oleh keberadaan situasi seni di Barat. Para kaum elite di Barat yang
mengingikan sebuah lukisan. Pandangan ini bermula bagaimana orang-orang
terdahulu menggunakan seni sebagai medium untuk kultus kekuasaan mereka. Saat
itu teknologi tidak ada, sehingga mengandalkan seniman-seniman terpelajar.
Terpenuhinya kebutuhan sekunder dan primer, kaum borjuis lebih menghamburkan
uangnya kepada seniman untuk memotret diri dengan lukisan sebagai pemenuhan
tersier pada saat itu. Seni pun tumbuh subur di kalangan atas hingga melahirkan
dikotomi seni tinggi dan seni rendah.
Apakah di Indonesia juga seperti itu? Kebenaran masih samar-samar dan masih
sangat subjektif pada kondisi seni rupa Indonesia yang masih dalam tahap
perkembangan. Faktor penghambat kemajuan seni rupa Indonesia adalah kurangnya
sumber daya manusia dalam menyalurkan ilmu seni. Faktor itu pun diatasi dengan
pembangunan perguruan tinggi seni supaya menghasilkan fasilitator. Apa benar saat
ini perguruan tinggi seni rupa di Indonesia jalur non pendidikan dengan yang
pendidikan cenderung berpihak pada berbagai seni yang dibutukan, diperuntukan, dan
didistribusikan untuk kalangan masyarakat kelas menengah dan tinggi? Jawabannya
tidak. Perguruan tinggi seni rupa di Indonesia jalur non dan jalur pendidikan saat ini

1
sedang berupaya dalam meningkatkan seni lebih meluas ke berbagai lapisan
masyarakat. Bagaimana cara dan bukti apa yang bisa menguatkan jawaban tersebut?

Seni yang Sebenarnya


Definisi setiap orang jika di tanya tentang seni pasti berbeda-beda apalagi
perkembangan zaman ke zaman bisa mengubah sudut pandang seni. Saya akan
mengambil definisi seni sesuai dengan peristiwa yang akan saya ulas. Seni menurut
Thomas Munro adalah alat buatan manusia untuk menimbulkan efek-efek psikologis
atas manusia lain yang melihatnya. Psikologi merupakan suatu disiplin ilmu yang
mempelajari lebih dalam mengenai mental, pikiran, dan perilaku manusia. Hubungan
psikologi dan seni sama-sama meemberikan ruang keluhan terhadap permasalahan
atau peristiwa yang sedang dialami. Ilmu psikologi membahas tentang jiwa sedangkan
ilmu seni adalah hasil perilaku dari jiwa tersebut. Seni diartikan kembali sebagai
saluran emosi -ekpresi serta bisa karena kondisi psikologi seniman- yang bisa
diperlihatkan kepada manusia lain dan bisa dirasakan pula oleh mereka.
Seni menurut Brade adalah pemanfaatan budi dan akal untuk menghasilkan karya
yang membahagiakan jiwa spiritual manusia. Ilmu seni dianggap bidang subjektif,
dimana menyusun dan memandang karya ilmu seni dengan cara yang unik yang
mencerminkan pengalaman individu, pengetahuan, preferensi, dan emosi.
Pengalaman keindahan meliputi hubungan antara penampil dan obyek ilmu seni.
Dalam hal artistik, ada keterikatan emosional dan logika yang mendorong fokus ilmu
seni. Seorang seniman harus benar benar paham dengan objek ilmu seni untuk
memperkaya penciptaannya. Sebagai karya ilmu seni berlangsung selama proses
kreatif, begitu juga Ilmu seniman. Keduanya tumbuh dan berubah untuk memperoleh
makna baru. Efeknya juga memberikan ketenangan jiwa dari pembuat serta bisa
dirasakan oleh apresiator. Adapula fungsi selain dari personal dan sosial, seni
difungsikan fisik. Pada buku Dharsono (2017, hlm.31.) yang dimaksud dengan fungsi
fisik adalah kreasi yang secara fisik dapat digunakan untuk kebutuhan praktis sehari-
hari. Semacam seni terapan yang memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat
luas dengan desain yang sesuai kebutuhan dan tetap menampilkan keindahan.
Kant secara eksplisit menitik beratkan estetika kepada teori keindahan dan seni.
Teori keindahan adalah dua hal yang dapat dipelajari secara ilmiah maupun filsafati.
Estetika sebagai filsafat dari keindahan, disampingnya ada pendekatan ilmiah tentang
keindahan. Pertama menunjukkan identitas obyek artistik dan yang kedua obyek

2
keindahan. Terdapat dua teori tentang keindahan, yaitu yang bersifat subyektif dan
obyektif. Keindahan subyektif ialah keindahan yang ada pada mata yang memandang.
Ciptaan estetika pada benda tidak nampak, seniman lebih mengarap karya dengan
hasil terjemahan pada apa yang ia amati. Keindahan obyektif menempatkan
keindahan pada benda yang dilihat. Benda yang digambarkan terlihat nyata oleh
seniman sang pembuat.

Seperti Manusia, Seni pula Berkembang


Mulai dari sejarah singkatnya, awal seni sudah muncul secara bersamaan dengan
munculnya peradaban manusia. Keberadaan seni rupa di Indonesia sudah ada sejak
zaman prasejarah. Salah satu temuan karya tertua itu ada pada lukisan dinding di gua
Sulawesi. Lukisan yang menampakan simbol-simbol cap tangan yang berumur 39.900
tahun. Ada juga berbagai artefak-artefak yang memiliki bentuk seni yang bukan untuk
mengutamakan keindahan tetapi fungsi. Seni zaman prasejarah lebih difungsikan
sebagai sarana untuk berkomunikasi dan bersifat religius. Memenuhi kebutuhan
hidupnya, maka manusia purba menciptakan berbagai alat-alat untuk bisa berburu,
mengolah makanan, bercocok tanam, memelihara hewan ternak, tempat penyimpanan
mayat dan sebagai perhiasan. Penggunaan bermacam material dari sumber alam dan
beberapa teknik manual oleh tangan sendiri dibentuk sedemikian rupa dengan hasil
yang bisa terpakai. Perkembangan mulai berlanjut pada zaman seni rupa klasik yang
di salurkan oleh agama Hindu-Budha. Bukti arkeologi seperti prasasti-prasasti,
patung-patung dewa, relief-relief, dan candi-candi merupakan kenyataan akan karya
seni rupa klasik Hindu-Budha. Berlanjut dari penyebaran agama yang damai dengan
mengakulturasikan kebudayaan tradisional pribumi. Sejarah seni rupa yang di
pengaruhi agama Islam berjalan dan sudah meninggalkan bentuk representasi
manusia, dewa-dewa, dan binatang yang dianggap haram bagi agama Islam. Seni
kaligrafi menjadi seni baru bagi Indonesia, muncul pada perkembangan seni rupa
yang di bawa oleh Islam.
Kemunculan penjajahan oleh kolonial Belanda mendatangkan seni rupa modern,
yang di mana memunculkan seniman-seniman seni rupa modern di Indonesia berkat
pengalaman dan pendidikan seni oleh program kolonialisasi Belanda. Seni modern
Indonesia diawali dengan lukisan yang tampak sesuai dengan wujud yang bercorak
realistis yang dipengaruhi budaya Barat. Raden Saleh sebagai orang pertama dalam
pelopor seni rupa modern di Indonesia. Beliau diberikan pembelajaran ke luar negri

3
oleh Belanda karena potensi menggambar dan melukisnya. Masa itu mulailah
penggunaan material cat dan kuas digunakan dalam melukis dengan tiga teknik yaitu
teknik basah, teknik kering, dan teknik campur.
Sejak saat penjajahan yang telah di lalui oleh negara Indonesia, berdirinya sebuah
pendidikan formal seni rupa Indonesia. Kesadaran para kelompok seniman dan tokoh-
tokoh Nasional dalam memperkuat perkembangan seni budaya Indonesia. Mengelolah
sebuah lembaga dan tempat untuk menampung masyarakat muda supaya
memunculkan minat dan bakat dalam seni. Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI)
sebagai pelopor pertama tempat di mana pembelajaran seni rupa berada yang
didirikan pada tanggal 18 Januari 1948 yang berada di Yogyakarta, di direktur oleh
R.J. Katams. Seterusnya di buat lagi sebuah perguruan tinggi yang dinamakan Balai
Perguruan Tinggi Guru Gambar (sekarang jurusan seni rupa ITB) bertempat di
Bandung yang di buat pada tahun 1950. Perkembangan kurikulum dalam sejarah
pendidikan di Indonesia penting sebagai motor penggerak pembaharuan atau
pengadaan berbagai komponen pendidikan yang lain, seperti buku pelajaran, sarana
belajar lain, metodologi mengajar, penilaian dan ujian, dan kurikulum lembaga
pendidikan guru. Dengan demikan, guru gambar menuntut terbentuknya jurusan
pendidikan seni rupa di perguruan tinggi Institusi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(sekarang menjadi UPI), membekali ilmu-ilmu seni rupa kepada mahasiswa-
mahasiswa agar menjadi penerus guru dan dosen yang berprofesional dan bermutu.
Perjalanan sejarah yang sudah cukup panjang, seni mengalami perubahan-
perubahan dan pergeseran-pergeseran, baik dalam tujuan maupun hakikatnya, sejalan
dengan perkembangan peradaban dan intelektualitas umat manusia. Berbagai literatur
atau sumber kepustakaan banyak menjelaskan bahwa pada awalnya seni sangat erat
kaitannya dengan ekspresi jiwa manusia terkait dengan suatu keyakinan yang bersifat
magis dan keindahan-keindahan alam. Artinya suatu kepercayaan yang bersifat
religio magis diekspresikan dalam dunia seni sebagai simbol ketaatan. Hal ini
sebagaimana yang tergambar pada zaman Yunani kuno. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa seni mengandung nilai-nilai spiritual dan metafisik (Himyari Yusuf,
2014, hlm.90). Makin ke sini, paradigma seni yang bersifat religio magis sudah
mengalami pergeseran yang melonjak jauh dari realitas gambaran seni pada zaman
modern dan zaman postmodern. Zaman modern dan postmodern menampilkan
keunikan tersendiri. Keunikan yang ada disebabkan oleh pengamat dan para filosof
yang mempunya sudut pandang yang bervariasi mengenai seni. Perubahan pandang

4
ini menimbulkan berbagai permasalahan dalam dunia seni.
Proses seni di lingkungan masyarakat tidak bisa lepas dari masalah-masalah yang
ada di lingkungan masyarkat dan sering dialami oleh masyarakat. Kejenuhan seni
yang itu itu saja menimbulkan sebuah keresahan tersendiri apalagi bagi seniman, pula
masyarakat luas. Timbul suatu kejenuhan menyebabkan kebebasan dalam
berkesenian, menciptakan hal baru yang diwarnai dengan masalah baru. Sejarah seni
rupa dari tahun ke tahun selalu mengalami sebuah pergeseran. Selalu ada
pembaharuan aliran, jenis, teknik, material, alat, praktik, fungsi, macam, dan
pengartian seni itu sendiri. Sejak adanya penemuan teknologi fotografi pada
pertengahan abad 19 lalu, paradigma seni rupa pun mulai mengalami pergeseran yang
sangat drastis. Pergerakan seni modern diawali oleh gerakan post impressionism yang
mengubah warna alam tiruan sampai terbentuk berbagai aliran dengan menerapkan
kebebasan dalam pengkaryaan. Perkembangannya di zaman modern mengalami
pembagian seni menjadi bidang seni rupa dan desain. Beragam aliran baru dalam seni
lukis juga bermunculan berbagai gerakan dan pendidikan seni dan desain dengan
metode baru yang lebih konstruktif. Beragam inovasi, metode, dan perkembangan
teknologi yang mengharuskan seni mengikuti zaman supaya seni tidak dianggap hal
yang kuno.

Seni Tinggi dan Seni Rendah


Pada abad pertengahan di Eropa terjadi pembedaan kelompok ars yaitu artes
liberates atau kelompok seni tinggi yang terdiri dari bidang tata bahasa, dialektika,
retorika, aritmatika, geometri, musik dan astronomi. Sementara artes serviles atau
kelompok seni rendah yang mengandalkan tenaga kasar dan berkonotasi
"pertukangan". Dari tujuh bidang keahlian, hanya musik yang masuk seni tinggi,
sedangkan lukis, patung, arsitektur, pembuatan senjata dan alat-alat transportasi
termasuk katagori seni rendah. (Hendar Suhendar & Edy Waluyo, 2018, hlm.32)
Kelompok-kelompok di atas menampilkan golongan masyarakat yang berlapis-
lapis yang mengakibatkan terjadinya stratifikasi sosial. Sistem stratifikasi sosial
adalah perbedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat, yaitu kelas
tinggi, kelas sedang, dan kelas rendah. Pitirin A. Sorokin menyatakan bahwa social
stratification adalah pembedaan penduduk kedalam kelas-kelas secara bertingkat
(secara hierarkhis). Perwujudanya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas
yang lebih rendah. Kelas sosial masyarakat ada di bentuk oleh faktor kekayaan,

5
kekuasaan (wewenang), kehormatan, serta pendidikan.
Kemudian Leonardo da Vinci (1452-1519), pelukis Italia dari masa Renaissance,
mempelopori perjuangan dan berhasil memasukkan atau menaikkan seni lukis ke
dalam status seni tinggi. Sebagai orang yang serba bisa dan memiliki kemampuan
sebagai arsitek dan ilmuwan itu, Leonardo beragumentasi bahwa melukis juga
memerlukan pengetahuan teoritis seperti matematika, perspektif, dan anatomi, serta
mempunyai tujuan moral seperti puisi lewat penggambaran sikap dan ekspresi wajah
dalam lukisan. (Hendar Suhendar & Edy Waluyo, 2018, hlm.32)
Masa renaissance sebuah gerakan budaya yang berkembang pada periode abad
ke-14 sampai abad ke-17. Masa renaissance sendiri merupakan tranformasi intelektual
menjembatani abad pertengahan dengan periode modern awal. Renaissance dipenuhi
oleh revolusi kegiatan intelektual dalam berbagai bidang yaitu sosial, politik, ilmu
pengetahuan, sastra, seni, musik, agama dan aspek lain di bidang intelektual.
Perjalanan Da Vinci menjadi sebuah contoh bahwa bila seni “mahal” yang
tercipta akan sebuah kerja keras sang seniman dalam membuat suatu karya seni atau
produk. Kenapa? Perjalanan nya dalam menciptakan karya-karya yang luar biasa
didapatkan dengan banyak menghabiskan waktu mengobseravasi temuannya mencari
sumber objek. Upayanya dihasilkan bersamaan dengan multi disiplin dari ilmu, seni,
humaniora, dan sosiologi dan ilmu pengetahuan. Bukan hanya itu saja, tetapi hasilnya
yang memiliki nilai dan estetika yang tinggi diminiati oleh kaum elite yang tidak tahu
sebenarnya untuk apa. Aliran seni rupa Leonardo da Vinci dikategorikan sebagai High
Renaissance, yang mengangkat kembali filsafat Yunani dan Romawi klasik yang
sebelumnya dihilangkan kaum Goth. Aliran ini masih menggunakan mite dan cerita
Rasul. Selain dari reputasi perjalanan seniman dalam melahirkan karya masterpiece,
dukungan seni “mahal” tercipta oleh reputasi kurator dan galeri yang memandang
karya itu terbilang kontroversial oleh publik dan menarik bagi mereka. Serta karya itu
terbilang sangat lama dan bersejarah. Biasanya karya-karya di lelang kepada para
kurator dengan pertimbangan dari metode penilaian harga karya oleh galeri atau
museum dengan menjustifikasi akusisi karya dan mutlak untuk dimasukkan ke dalam
database koleksi.
Kontrol pasar juga menjadi hal yang utama. Lembaga nirlaba (museum, yayasan,
dll) adalah merupakan bagian penting dari kumpulan pembeli, tetapi cara unik mereka
beroperasi dan membangun koleksi telah diabaikan. Ini adalah topik untuk di bahas
lebih dalam. Bahkan mereka yang memiliki pengetahuan ekonomi paling dasar pun

6
tahu bahwa pasar adalah tentang permintaan dan penawaran. Pasokan seni yang
diproduksi oleh seniman, dan bagaimana pasar memengaruhi ini. Dua masalah
tampak sangat relevan.
Pertama, aspek yang tidak biasa dari sisi penawaran pasar ini adalah hubungan
antara harga dan hasil artistik. Sebagian besar pasar, harga turun saat perusahaan
menawarkan lebih banyak pasokan, misalnya, jika Audi memutuskan untuk membuat
10.000 lebih banyak mobil, pengurangan menyebabkan kelangkaan harga jatuh. Ini
mungkin tidak benar di dunia seni karena cara kerjanya jaringan. Informasi tentang
seniman (terutama seniman yang relatif tidak dikenal) cenderung untuk dilalui
jaringan kolektor. Para kolektor membicarakan pekerjaan yang mereka miliki. Karier
seniman cenderung seperti itu lepas landas ketika massa kritis dari kolektor tersebut
berbicara tentang karya seniman itu. Tapi begitulah mungkin jika seniman membuat
jumlah pekerjaan yang cukup. Hasilnya, karier seorang seniman dapat terhenti jika
pasokan pekerjaan mereka terlalu sedikit.
Sementara ada beberapa yang terkenal mengecualikan untuk aturan ini (Vija
Celmins atau Tomma Abts misalnya) secara umum tidak diketahui seniman yang
menghasilkan sedikit tidak menjadi terkenal. Kedua, bagaimana pasar mempengaruhi
jenis karya seni yang dibuat? Di sebagian besar pasar, pelanggan memandu produksi
dengan cara yang sepenuhnya tepat: orang menginginkan komputer yang lebih cepat,
dan perusahaan membuatnya. Ini berfungsi karena dua alasan: pertama, konsumen
tahu apa yang mereka inginkan, dan kedua, satu-satunya konstituen relevan yang
penting adalah orang yang membeli barang tersebut. Sebagai dibahas panjang lebar di
atas, keduanya mungkin tidak berlaku untuk pasar seni. Kolektor mungkin tidak
sangat mampu mengevaluasi pekerjaan baru, dan ketakutan adalah bahwa preferensi
mereka dapat mempengaruhi apa yang dibuat: misalnya, apakah ledakan dalam suatu
jenis lukisan abstrak menyebabkan beberapa seniman untuk membuat jenis lukisan ini
meskipun mereka mungkin lebih cocok untuk melakukan sesuatu lain? Ini adalah
masalah yang membutuhkan lebih banyak pekerjaan, tetapi sekali lagi ada di luar
ruang lingkup artikel ini.
Alasan lain setelah dari semua pembahasan di atas, karya seni itu tidak bisa
dipahami publik. Malah publik bertanya-tanya dan memberikan sebuah interpretasi
dari masing-masing terhadap karya seni. Apakah karya seni tersebut menceritakan
kepahitan yang mendalam atau sebuah lelucon terhadap sebuah isu politik atau sosial.
Isu itu pun diolah dari ide kreatifitas seniman, menjadi penunjang sebuah karya

7
menjadi tinggi. Misalnya yang tengah menjadi suatu kekagetan para seniman modern
dan masyarakat dunia terhadap karya kontemporer pisang yang di lakban di dinding
pada tahun 2019 yang dihargai sekitar Rp.1,7 miliar. Maksdunya itu apa ya? Nah,
orang awam saja pun mempertanyakan apa hal itu. Mengapa bisa ya, pisang tersebut
dijadikan seni. Kalau begitu sih saya juga bisa. Kejadian itu sempat booming sehingga
galeri-galeri terkemuka ingin menjual karya tersebut. Bukan hanya faktor
kontroversial, tetapi ide dalam pembuatannya yang tidak terpikirkan dan itu langka.
Dimana ada seni tinggi, maka seni bawah pun terjadi. Seni rupa bawah tersebut
diproduksikan, disalurkan, dan di pakai langsung pada lapisan sosial menengah-
bawah, yaitu di kota besar sampai ke perdesaan. Sanento Yuliman mengungkapkan
pada artikelnya bahwa:
“Jelaslah seni rupa ini berhubungan dengan ekonomi lemah dan taraf hidup
rendah, dipraktekkan oleh golongan kurang mampu dan kurang terpelajar (dalam
arti pendidikan formal, modern). Seni rupa ini bertalian dengan teknologi
sederhana. Peralatan umumnya di bikin sendiri, atau bikinan lokal. Bahan baku
pun lokal, atau dari daerah tetangga, meskipun terdapat juga bahan impor.”

Kehadiran seni rupa bawah hadir untuk memenuhi kebutuhan kalangan menengah
ke bawah. Mereka lebih mengutamakan seni terapan daripada seni murni. Masyarakat
golongan bawah masih mengunakan praktisi tradisional sederhana di era modern ini.
Golongan proletar (menengah-bawah) ini mereka tidak mempunyai kecukupan
kekayaan dan pengetahuan, yang memnyebabkan hambatan dalam pemenuhan
mencapai tahap modern. Mereka dijadikan sebuah budak seniman kaum terpandang
untuk membantu pertukangan (mengerjakan) karya seni yang terbilang besar dan
memakan waktu yang lama.
Para perupa, yang dalam sistem yang lebih luas ini berada di dasar masyarakat
dan harus hidup dengan menjual hasil kerjanya, sekarang harus bekerja, masih dengan
tangan mereka, tetapi tidak dengan irama yang lebih mekanis dan tempo yang jauh
lebih cepat daripada nenek moyang mereka: mereka kini menjadi “perajin”. Dalam
kondisi ini berbagai perubahan –penyesuaian dengan kemiskinan dan kaitan sosial-
budaya baru– terjadi dalam tradisi pekerjaan mereka (Sanento Yuliman, t.t., hlm.4)
Seni “bawah” yang dihasilkan menggunakan alat atau perlengkapan yang
sederhana dengan penggunaan teknik yang tradional. Seni ini mirip dengan seni pada
zaman prasejarah, yang dulunya seni untuk dijadikan fungsi untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Keperluan yang primer menjadi hal yang utama dari pemenuhan
kebutuhan hidup berkepanjangan. Seni apa yang dipakai oleh golongan proletar? Seni

8
terapan yang fungsional misalnya, kriya kayu dipakai oleh masyarakat bawah untuk
membuat peralatan rumah tangga dan bangunan untuk tempat tinggal. Sandang di
buat dari kapas yang di olah menjadi benang, di rajut dengan menggunakan mesin
tradisional dengan desain yang membentuk mengikuti lekungan badan sesuai dengan
proporsi.
Tentu saja seni rupa tradisional tidak hanya mengenal kisah muram. Batik adalah
bidang seni rupa Indonesia yang di masa kini berkembang ke berbagai arah,
menghasilkan berbagai jenis barang. Tetapi batik adalah medan dimana usaha kecil
dan lemah (“bawah”) berhadapan dengan usaha besar dan kuat (“atas”). Proses
menuju usaha besar, dalam perbatikan seperti dalam bidang industri rupa lainnya,
seringkali merupakan proses beralihragamnya perupa tradisional yang mandiri (self-
employed), menjadi buruh. Muncul dan tumbuhnya para pendesain terdidik yang
cenderung secara eksklusif memikul tugas penggagasan dan penciptaan,
menunjukkan, bahwa para buruh itu akan semakin susut peranannya hingga menjadi
“tenaga kerja” semata-mata tidak diperlukan peran sertanya dalam pengambilan
keputusan tentang segi-segi rupa barang yang dibuatnya. (Sanento Yuliman, t.t.,
hlm.6)
Asal seni bawah terwujud karena seni rupa ini banyak di produksi, di cetak, dan
di konsumsi oleh semua kalangan. Seni ini tidak terlalu mementingkan sebuah seni
yang bermakna ekspresi dirinya sendiri, melainkan kemauan masyarakat untuk
pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder. Kejadian ini dilahirkan pada revolusi
industri. Terciptanya mesin pencetak dan mesin pembuat. Alat-alat gadget seperti
laptop, komputer, dan lainnya dimanfaatkan sebagai untuk merancang desain pada
berbagai macam produk. Jika populer diminati dan banyak masyarakat luas, maka
hasilnya di cetak banyak lalu disebarluaskan dengan harga yang sudah ditentukan.
Belum sampai di situ, bagaimana jika desain itu ternyata memiliki rancangan ide yang
kreatif dan inovasi, apakah bisa disebarluaskan. Tentu akan, akan tetapi penjualan
yang akan jauh mahal dengan faktor alat yang mahal, juga pengelolaannya yang
membutuhkan perhitungan, penelitian dan proses percobaan terlebih dahulu.
Balik lagi pada persoalan seni tinggi dan seni rendah yang sudah ada pada dunia
Barat. Persoalan ini melibatkan manusia-manusia yang berkaitan dengan aktifitas
seni, yang artikan sebagai sosiologi seni oleh Arnold Hause (1975). Sosiologi seni
membahas atau mengkaji orang-orang dengan keterlibatan spesifik dalam aktifitas
seni, dan masyarakat lain diluar aktifitas seni dalam fenomena budaya yang kemudian

9
mempengaruhi aktifitas seni. Kajian utamanya tentang masyarakat sebagai penikmat,
pemerhati, pengkaji, peneliti, pendidik (konsumen), dan pengelola seni yang
merupakan komponen-komponen proses penciptaan seni. (Moh. Thamrin, 2018,
hlm.180).
Seniman sebagai pencipta seni, misalnya, menciptakan karya mungkin saja
memiliki kaitan dengan latar belakang sosialnya, terkait golongan atau kelas tertentu,
terpengaruh pengetahuan dan pengalaman pribadi, atau pun masyarakat tertentu.
Pembahasan kompleks ini meliputi kaitan-kaitan antar seluruh pelaku seni seperti:
seniman, pemerhati (kritikus, peneliti, pengajar), lembaga seni (galeri, sanggar,
pendidikan seni, perusahaan seni, maecenas), pekerja seni dan pelaku seni lainnya,
hal-hal termasuk juga fenomena tertentu yang menjadi objek-objek karya seni, dan
juga pengaruh yang diberikan sebuah produk atau karya seni. Dalam kaitan dengan
produk atau sebuah karya seni, dapat dianalisa kemungkinan adanya pengaruh dari
subjek atau pelaku tertentu yang mendominasi dalam proses penciptaan karya seni.
Termasuk juga analisa kecenderungan pasar dan pengaruhnya karya-karya seni yang
kemudian tercipta atau hadir ditengah masyarakat.(Moh. Thamrin, 2018, hlm.180).
Seni tinggi dan seni bawah masih ungkapan subyektif. Menurut Cilfford Geertz
(1994), kategori tersebut sangat subjektif karena seni sangat berkaitan dengan konteks
sosial suatu masyarakat dan mewujud karena faktor yang berbeda-beda sehingga dua
kategori tersebut tercampur secara umum dalam kehidupan sehari-hari. Karya-karya
seni yang terkesan “mahal” pun kemudian menghiasi dinding-dinding dan sudut
ruangan galeri pribadi para elite, entah demi kesenangan estetik ataukah kultus
kekuasaan mereka. Inilah yang mengabadikan pandangan seni sebagai sesuatu yang
mahal. Pengekslusifan seni memberikan resiko akan kehilangannya “nilai” dari seni
itu.
Dalam era kebebasan yang merupakan karakteristik dari posmodernis, para
seniman bebas berkreasi dalam karya seninya. Di samping karena tidak ada ketentuan
yang mengikat, juga karena tidak ada lagi sesuatu yang memiliki mandat sejarah.
Artinya era ini adalah era kebebasan seniman dalam dunia seni, tidak ada lagi yang
mengikat dan tidak ada lagi yang mendikte seniman dalam berkreasi. Pertanyaannya
adalah, adakah hubungan kebebasan itu dengan teori yang dibangun oleh Karl Marx.
Jawabannya tentu tidak, karena secara factual Marx mengkritik habis-habisan seni
Posmo yang tidak lagi mencerminkan tujuan hidup dan ekspresi jiwa manusia, bahkan
secara ekstrim Posmo mematikan dunia seni. Menurut Marx seni tidak pernah mati

10
dan tidak dapat dimatikan, karena seni merupakan keindahan bagi kehidupan
manusia. (Himyari Yusuf, 2014, hlm.103)
Seni tinggi dan seni bawah di Indonesia tidak terlalu jelas terlihat, bahkan tidak
diterapkan sampai saat ini. Harga karya seni itu memang mahal, sebab merupakan
harga yang pantas di bayar lebih oleh para pemerhati seni dan lembaga seni yang
memiliki pengetauan akan seni yang tinggi bukan sebagai barang kepuasan para kaum
elite. Karya “mahal” bahwa seniman dalam perjalanan cerita mencipkatakan karya
seni. Tidak ada seni yang tinggi maupun bawah. Seni adalah seni itu benar. Seni harus
bisa dimiliki dan dirasakan oleh semua masyarakat. Sudah saatnya, di kotomi seni di
dekonstruksi dan terbuka dengan segala macam keberagaman.

Pentingnya Ilmu Pendidikan Seni


Dalam pertumbuhan dan perkembangan seorang anak kita tidak bisa memaksakan
kecerdasan dalam satu bidang saja. Kecerdasan setiap anak pasti berbeda-beda. Ada
yang cerdas dalam bidang akademik, ada yang cerdas dalam bidang seni. Setiap anak
memiliki potensi yang berbeda-beda dan tugas orangtua beserta pengajar untuk
mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik.
Di Indonesia, pengajaran menggambar di sekolah berawal pada masa penjajahan
Belanda sejalan dengan diperkenalkannya sistem persekolahan. Pengajaran
menggambar di sekolah yang disponsori oleh pemerintah kolonial waktu itu, juga
menekankan pada pelatihan keterampilan menggambar dengan harapan para lulusan
dapat dimanfaatkan keterampilannya kelask saat bekerja untuk pemerintah. Setelah
masa penjajahan sirnah, metode pembelajaran di ubah dengan menanamkan
kebudayaan lokal. Program pendidikan yang berakar pada budaya-lokal ditunjukan
oleh tokoh pendidik yang aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Berbagai rancangan kurikulum sampai pembentukan penilaian terus berubah dan
dikembangkan dari peride ke periode baru yang lebih modern mengikuti zamanya.
Tujuan pendidikan seni rupa di sekolah mengupayakan anak-anak lebih
mengembangkan kesensitifan dan kekreatifan, memberikan fasilitas berekspresi lewat
seni rupa, dan melengkapi anak dalam membentuk pribadinya yang sempurna agar ia
dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Perlunya guru seni atau bidang kesenian sebagai fasilitator, maka terciptanya
perguruan tinggi seni rupa di Indonesia jalur non dan jalur pendidikan. Menurut
Peraturan Pemerintah nomor 17/2010 Pasal 84 mengenai Fungsi dan Tujuan

11
Perguruan Tinggi (PT), pada dasarnya perguruan tinggi mempunyai tujuan
yang terdiri atas dua dimensi yaitu yang berkenaan dengan insan peserta didik dan
yang berkaitan dengan produk yang dihasilkannya. Berkenaan dengan peserta
didiknya, PT mempunyai tujuan membentuk insan yang: 1. beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; 2. sehat,
berilmu, dan cakap; 3. kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri dan berjiwa
wirausaha; serta 4. toleran, peka sosial dan lingkungan, demokratis, dan bertanggung
jawab. Sedangkan yang berkaitan dengan produknya, tujuan PT adalah menghasilkan
produk-produk ilmu pengetahuan, teknologi, seni, atau olahraga yang memberikan
kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa, negara, umat manusia, dan lingkungan.
Perguruan Tinggi pada dasarnya harus mempunyai visi-misi yang mampu
mengarahkan seluruh unsur-unsur pendukungnya berkinerja dengan baik dalam
rangka menghasilkan insan mulia yang bermanfaat bagi kemaslahatan masyarkat
dengan segala dinamikannya. Dengan demikian terpenuhinya harapan masyarakat
atas kemanfaatan produk-produk keilmuan perguruan tinggi yang ditangani oleh
insan-insan mulia alumninya, pada hakekatnya perguruan tinggi telah menunjukan
kinerja dan mutu yang berkualitas.
Arya Pageh Wibawa (2017) menjelaskan tentang paradigma pendidikan seni ke
depan diharapkan mampu menggunakan berbagai pendekatan dimana peserta didik
dapat menumbuhkembangkan pandangan dan sikap toleran terhadap keberagaman
budaya di Indonesia. Pendidikan seni diharapkan menjadi mata kuliah yang wajib
diberikan di perguruan tinggi agar mahasiswa memiliki sikap peka rasa, estetika,
kreatif dan inovatif serta memiliki karakter yang adaptif terhadap perubahan dan
memiliki etika dalam berkarya. (Arya Pageh Wibawa, 2017, hlm.48). Terutama dalam
bidan kesenian, perguruan tinggi perlu menanamkan ilmu kritis mengenai seni rupa
dewasa ini, supaya bisa dielaborasikan dengan baik dan hasil-hasilnya bisa
tersalurkan kepada masyarakat luas. Masing-masing visi, misi, dan tujuan perguruan
tinggi seni di Indonesia sama-sama memnpunyai adil dalam pengabdiannya kepada
masyarakat luas di bidang seni budaya secara profesional untuk kemajuan bangsa.
Menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas yang tetap berpegang dengan
pedoman agama masing-masing yang bisa menuntaskan permasalahan zaman ke
zaman. Dukungan pemerintah dan lembaga seni juga merupakan “orang” penting
dalam mengedepankan seni budaya Indonesia.

12
Gambar 1. Pameran Ars Tropika

Bukti nyata kontribusi seni dengan budaya yang di dukung oleh pemerintah
berupa pameran seni rupa “Ars Tropika” di Museum Basoeki Raya pada tahun 2018.
karya-karya lukisan yang dihasilkan oleh tiga puluh perupa dari berbagai daerah di
Indonesia dan tujuh perupa Indonesia dari koleksi negara. Memamerkan hasil lukisan
bertema nuansa tropis Indonesia yang unik dan berbagai macam gaya terpampang di
dinding.

Gambar 2. Pameran Poster dan Produk ITB

Pameran Poster dan Produk Program Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat


dan Inovasi (Riset ITB, PM-ITB, dan P3MI) diusung oleh perguruan tinggi negeri
ITB dalam memamerkan hasil studi berbasis ilmu seni, kemanusiaan, dan
pengetahuan sains. Nantinya penelitian-penelitian yang dilakukan oleh sivitas
akademika dan lembaga penelitian lainnya dapat melahirkan inovasi yang

berujung pada produk-produk yang nantinya bermanfaat bagi bangsa dan

negara. Kegiatan ini menampilkan kegiatan inovasi ITB yang didukung oleh

kemenristek/BRIN.

13
Gambar 3. Salah Satu Proyek Pameran BaPer

Babarengan Pameran (BaPer) merupakan sebuah acara tahunan yang


diselenggarakan oleh CMYK.ID. Kegiatan ini memiliki visi dan misi untuk
menumbuhkan ekosistem industri kreatif yang ada di kota Bandung. Dengan
bertumbuhnya ekosistem tersebut, kegiatan ini diharapkan dapat ikut memberikan
kontribusi bagi pertumbuhn industri kreatif baik di dalam negeri maupun di kancah
internasional. Pameran BaPer 2019 memiliki fokus pada pengembangan ide kreatif
yang berkaitan dengan aspek pariwisata di kota Bandung. Dengan dukungan dari
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandung, kegiatan pameran ini dilaksanakan
pada 26 April 2019 dan berakhir pada 28 April 2019 di 23 PASKAL Shopping
Center. (FPSD UPI, 2019). Gambar proyek di atas merupakan suatu proyek website
yang dibuat oleh perwakilan mahasiswa DKV FPSD-UPI yang menampilkan
pendataan lokasi wisata budaya kota Bandung. Bermanfaat dalam memperkenalkan
lokasi wisata budaya di Kota Bandung.
Semua bukti-buti yang sudah mewakili membuka mata masyarkat dan
pemerintahan, pentingnya sebuah seni bisa tetap dikedepankan lagi. Seni Budaya
Indonesia pun menjadi lebih banyak di kenal oleh semua masyarakat di dunia. Masih
banyak lagi beberapa pameran, karya seni, dan produk seni yang bisa menjadi sebuah
pembuktian bahwa seni budaya Indonesia sudah bisa diharapkan lebih.

14
Akhir dari Pembabakan
Seni senantiasa hadir di tengah-tengah kehidupan manusia di masyarakat, baik
sebagai ekspresi pribadi maupun ekspresi sekelompok manusia atau masyarakat.
Perguruan tinggi seni sudah banyak menghasilkan orang-orang hebat dalam
menciptakan karya seni yang tetap memiliki nilai dengan fungsi yang berbeda-beda
dalam penerapannya. Masyarakat dan seni merupakan sebuah interaksi yang
berkesinambungan yang sama-sama saling membutuhkan. Seni dihasilkan seniman
yang asalnya dari masyarakat yang tidak tahu, setelah minat dan bakat di olah maka
tercipta seniman itu berasal. Seniman pendidikan maupun seniman non pendidikan,
jikalau mereka terus melakukan pengkaryaan yang konsisten dengan berbagai
ekperimen seni yang ada.
Maka semua itu akan menjadi seni yang bernilai “tinggi” dan “mahal”. Belajar
dan berlatih sudah harus dilakukan oleh seniman. Lembaga dan pemerintahan harus
bisa lebih terjun ke lapangan seni budaya dan bisa memfasilitasi masyarakat dan
seniman dalam mengembangakan kesenian yang lebih besar sampai menuju kancah
Internasional. Pengembangan hasil-hasil seni rupa perlu diimbangi dalam lingkup seni
itu sendiri dan sertai berbagai ilmu-ilmu yang ada. Dengan galeri terbuka dan
penerimaan karya seni rupa yang diciptakan oleh masyarakat menengah-bawah,
semua kalangan bisa mengapresiasi karya seni dan semua masyakat menengah-bawah
pun bisa termotivasi dalam berkarya dan mau belajar. Dalam pendidikan seni rupa
harus bisa mengembangkan keragaman kesenian yang bisa dijangkau oleh semua
masyarkat tanpa kecuali. Bila semua itu disegerakan, hasil akhirnya seni tidak akan
terkotak-kotakan.

15
Daftar Gambar

Gambar 1..............................................................................................................13
Gambar 2..............................................................................................................13
Gambar 3..............................................................................................................14

Daftar Pustaka

1. Buku dan Jurnal


Hendar Suhendar & Edy Waluya. (2018). Desain Produk. Jakarta: Kemdikbud
Kartika, Dharsono Sony. (2017). Seni Rupa Modern. Bandung: Rekayasa Sains
Wibawa, Arya Pageh. (2017). Paradigma Pendidikan Seni Di Era Globalisasi
Berbasis Wacana. (Jurnal Vol. XVI Nomor 01). Denpasar: ISI Jurnal. Doi:
https://media.neliti.com/media/publications/266338-paradigma-pendidikan-seni-d
i-era-globali-c4af3bbf.pdf
Yusuf, Himyari. (2014). Pemikiran Seni Karl Marx dalam Pandangan Mikhail
Liftschitz. (Jurnal Al-AdYaN/Vol.IX, N0.2). Yogyakarta: UGM Press

2. Peraturan Perundangan
Peraturan Pemerintah nomor 17 Tahun 2010 Pasal 84 mengenai Fungsi dan
Tujuan Perguruan Tinggi (PT)

3. Laporan Seminar
Mappalahere, Moh. Thamrin. (2018). “Masyarakat Dan Seni Lukis (Suatu Kajian
Sosiologi Seni Makna Estetis Seni Lukis Dalam Interaksi Sosial Budaya
Masyarakat Kota Makassar)”. (Seminar Nasional Dies Natalis UNM Ke 57).
Makassar: FSD UNM.

4. Artikel Surat Kabar


Adam, Georgina. (2013, 2 Mei). “Why is Art so Expensive”. BBC Culture
SISFOFITB. (2019, 12 Desember). “Pameran Poster dan Produk Program Penelitian,
Pengabdian kepada Masyarakat dan Inovasi Tahun 2019”. hlm.1
Saprudin, Byes. (2019, 28 April). “Kolaborasi Membangun Kekayaan Pariwisata
Kota Bandung dalam BaPer 2019”. FPSD UPI Edu.

16
Yuliman, Sanento. (1992, 4 Januari). “Dua Seni Rupa”. Tempo, hlm.4-6.

17

Anda mungkin juga menyukai