Anda di halaman 1dari 8

Christine Magdalena Mandalahi

1805310
UAS Kritik Seni

Disadarkan Oleh Alam Semesta

Gambar 1. Roberto Villanueva, Archetypes: Cordillera’s Labyrinth, 1989. Runo


reeds, stone, wood, etc., 150' wide 2,000' long feet.
Seni kontemporer ini dibandingkan dengan karya seniman lainnya, terlihat bahwa
ia menciptakan seni yang memanfaatkan unsur alam. Seniman membuat lubang
cekung bundar, sedalam pertengahan betis kaki dan berdiameter dua belas kaki.
Pusatnya merupakan hasil pengalian tanah sehingga terbentuk lubang yang sangat
pendek. Pemberian batu tipis berwarna pada tepi dijejerkan melingkari lubang.
Pusatnya juga ditutupi dengan bebatuan tipis warna biru, merah, dan putih yang
pudar. Bekas pembakaran kayu masih ditempatkan ditengah pusat labirin. Pinggiran
pusat tempat suci diberi jarak tidak terlalu jauh, ditanamkan tujuh batu sedang yang
tebal. Tujuh batu berukuran sedang didepannya di taruh batu kotak asimetris pendek
dengan ketebalan yang sedang. Bentuk kedua batu itu melingkari dengan mengikuti
bentuk pusat yang bundar dan berjarak antara satu sama lain. Batu-batu tersebut
nampak seperti kursi batu monolitik. Terdapat tiga tiang yang diberi jarak yang
berbeda. Tiang pertama sebelah kiri di ikat dengan tali dan nampak di bungkus kain
bekas (atau serat) ditambahkan pada atas tiang dua tanduk runcing. Tiang pendek
tertancap bersebalahan dengan tiang kiri. Tiang terakhir yang berjarak jauh dengan
tiang kiri, tertancap di sebelah kanan. Tiang tinggi yang terbuat dari pakis dan ditutupi
dengan simbol-simbol pola dasar. Penambahan dua patung relief di antara tongkat
sebelah kiri yang ukurannya sepantar dengan kursi batu sampingnya. Pusat itu
dilingkarkan pagar berbentuk spiral oleh material bambu dan alang-alang yang di ikat
dan ditancapkan pada tanah. Bentuknya menyerupai detail labirin. Keseluruhan
berdiameter empat puluh lima meter dan panjang spiral 600 meter, didirikan di
halaman Pusat Kebudayaan Filipina (PKF) - Cultural Center of The Philippines
(CCP)- pada musim panas 1989.
Pemakaian semiotika sebagai simbol nampak pada karya instalasi kontemporer.
Semiotika, “ilmu tentang tanda-tanda “ dan tentang kode kode yang dipakai untuk
memahaminya, adalah satu “ sains yang imperialistik “, sains yang dapat diterapkan
untuk berbagai bidang kehidupan yang berbeda. Beberapa semiotika bahkan
mengatakan bahwa semiotika adalah satu disiplin utama yang dapat dipakai untuk
menerangkan setiap aspek komunikasi. (Hasbullah Mathar, hlm.1). Unsur-unsur dan
prinsip-prinsip tidak lupa digunakan pada karya seni konseptual.
Bentuk spiral sentripetal terdiri dari bambu dan buluh runo (alang-alang) kering,
diakhiri dengan konstruksi batu bundar yang bisa disebut dap-ay. Dap-ay adalah
sebuah gundukan tanah yang sisi-sisinya di topang batu, persis seperti terasering
sawah. Dap-ay diciptaan kembali dalam karya instalasi seninya yang
merepresentasikan masyarakat komunal pra-kolonial di Cordilleran. Bentuk spiral
sentipental (gerakan melingkar) di wujudkan bentuk labirin. Bentuk spiral sentipental
serupa dengan bentuk uma ti biyag, cara penduduk Cordilleran menanam padi. Spiral
adalah simbol kuno di gunaka banyak budaya, termasuk suku asli Ifugao. Labirin
yang menuntun penonton melalui koridor bambu yang tinggi dan berliku dengan
beberapa putaran jalur. Koridor tersebut berakhir di sebuah pusat, yaitu Cordillera
dap-ay, atau tempat ritual. Kursi batu monolitis representasi tempat duduk untuk para
roh penjaga kuno pada saat ritual di mulai. Pusatnya disimbolkan sebagai ruang sakral
yang dihuni oleh sosok roh yang dikeluarkan saat ritual itu berlangsung dengan
kekuatan si senimannya sendiri. Tiang-tiang digunakan pada ritual kuno dalam
menyerap energi dari roh-roh. Patung yang di ukir memiliki perbedaan ukuran irama.
Semua menggunakan warna-warna alami dari sumber daya alam. Penggunaan
benda-benda alam memberikan bentuk yang nyata. Kesederhanaan pada karya
instalasi terlihat pada penggunaan teknik tradisonal. Teknik pembuatan labirin
merupakan teknik dalam membangun pagar yang sama dilakukan oleh masyarakat
Ifugaos (Provinsi di Filipina). Mereka menjaga keseimbangan yang halus antara
teknik dan alam. Penggunaan teknik tradisonal dari nenek moyang pada pembentukan
labirin pun menjadi teknik yang baik mengatasi kerusakan pada seni berkonsep
lingkungan. Pendekatan yang kontras dengan penggunaan umum mesin yang merusak
Bumi secara kasar sebagai masalah konstruksi di Manila. Kesedarhanaan pada bahan
material yang menggunakan sumber daya alam dan bahan bekas. Semua benda alam
dimanfaatkan sebagai tekstur alami. Tekstur bambu dan alang-alang yang terikat
berjajar spiral. Tekstur pada bebatuan, material bekas seperti batang pakis dan akar
pohon serta serat-serat alami yang tak terpakai. Pemakaian material alam menunjukan
masyarakat Ifugao hidup bergantung pada alam. Penempatan di ruang terbuka ingin
memperlihatkan kesuburan tanah Filipina.
Proporsi karya seni itu realistis, mewujudkan seseorang sebenarnya bisa berjalan
di sekitar labirin. Pagar berpola garis-garis vertikal membentuk proporsi kelihatan
tinggi. Bentukan pada karya instalasi ini memberikan kesan tiga dimensi.
Menampakkan ruang nyata yang terlihat oleh indera penglihat dan bisa dirasakan
benda dan ruang dengan indera peraba. Objek spiral di dominasi oleh kebentukan
simetris dan beberapa bentuk simetris pada pusat lingkaran di tengah labirin. Benda
kursi batu, tiang-tiang, dan patung memiliki bentuk asimetris. Pusat dan labirin sama-
sama menjadi center of interest pada karya instalasi tersebut. Pemakaian irama
interval ruang dengan pemberian jarak antar objek dan perpaduan irama kesunyian
ruang dan dapat di amati dengan waktu yang lama sebelum pembongkaran. Gelap
terang yang dihasilkan oleh arah cahaya matahari menyinari karya instalasi. Hasilnya
pencahayaan menghasilkan bayangan gelap dan karya instalasi yang nampak jelas
pada bagian-bagian yang disinari.
Karya tersebut membangun reputasi Roberto sebagai praktisi "seni singkat". Inti
dari seni fana, seperti yang dia jelaskan pada tahun 1992, adalah menciptakan karya
seni dengan berkolaborasi dengan alam melalui "peminjaman” bahan dari lingkungan
alam (bumi, angin, api, dan elemen lain yang memiliki siklus organik). Karya seninya
pada waktyunya akan "lenyap" dengan mengembalikan materialnya kembali ke Bumi,
dengan ritual komunal yang menandai awal dan akhir.
Pendekatan khasnya terhadap seni lingkungan berasal dari budaya pra-kolonial
dan praktik kontemporer. Budaya pra-kolonial muncul oleh datangnya agama Hindu
dan Budha di Filipina yang membuat suatu sistem kerajaan. Menurut M. Dwi
Marianto (2000, hlm.189-193), seni kontemporer adalah karya seni yang ide dan
pembahasannya lebih banyak dipengaruhi refleksi kondisi yang diwarnai keadaan
zaman, di mana ‘budaya global’ menyeruak dengan menebarkan banyak pengaruh,
yang mendorong terjadinya perubahan dan perkembangan dalam masyarakat. Jadi
ringkasnya, seni kontemporer harus dipandang dalam konteks tempat dan kondisi dari
karya seni yang bersangkutan.
Karya instalasi ini merupakan seni bumi unsur dari seni konseptual. Menurut
Dharsono (2017, hlm.156), seni konseptual merupakan gerakan dalam seni rupa yang
menepatkan ide, gagasan atau konsep menjadi yang terpenting dalam seni. Tercipta
dari kesadaran pencipta akan permasalahan seperti perekonimian (kaum elite pada
pemberian pasar seni) dan sistem politik. Seni bumi diartikan oleh Dharsono (2017,
hlm.157) bahwa :
“Seni Bumi; ‘Seni Bumi’ adalah seni yang memanfaatkan kekayaan alam, bentuk
amorf, bentuk abstrak, kerucut, ketahanan alam, geologi, cuaca, berbagai ilusi
yang ditimbulkan untuk kepentingan seninya.”
Roberto Villanueva mencoba mengembalikan fungsi komunal seni dan kekuatan
hidup primitif yang dimilikinya, yang masih mempertahankan budaya pegunungan
Cordillera. Konsep utama Tempat Suci adalah gabungan teknik tradisional dan
kebijaksanaan kuno yang berfokus pada penyembuhan bumi. Penggunaan bahan
organik dan lokasi alam, serta interaksi komunitas, Roberto Villanueva menciptakan
seni bumi yang menyatu dengan kehidupan masyarakat. Dia juga berusaha untuk
memulihkan dan memahami ketegangan animistik di jantung budaya Filipina.
Penciptaan karya ini sendiri sebagai tempat ritual dan tujuan tradisional lainnya. Ke
tertarikan pada gagasan kuno terbentuk pada pagar berlabirin. Konsep yang di pakai
pada kebudayaan Egyptian (Mesir Kuno) dalam pembuatan labirin di dalam piramida.

Gambar 2. Rekonstruksi labirin mesir kuno 2200 SM  batu dan kayu.
Tanah dimiliki secara komunal dalam masyarakat suku, Roberto tidak percaya
untuk mengkomodifikasi tanah atau sumber daya alam lainnya. Membuat Archetypes
yang dia inginkan hanya untuk "meminjam" dari sumber daya alam. Tidak seperti
Double Negative (1970) dari Michael Heizer sebuah karya yang merupakan
konstruksi yang sangat kokoh, meskipun seniman pada awalnya ingin melihat
kerusakan alaminya. Akhirnya Heizer menjual ke museum pada tahun 198 dan
memasuki domain seni tinggi. Roberto sama sekali menghindari pelembagaan
karyanya. Heizer menggunakan dinamit untuk membuat palung, karena masalah
lingkungan, Roberto menghindari permesinan. Dia dan rekan-rekannya di Ifugao
menghabiskan waktu dua minggu untuk membangun struktur dengan teknik
tradisional dan dengan hati-hati menafsirkan geografi tempat itu.

Gambar 3. Double Negative (1969). Michael Heizer. 240,000-ton displacement of


rhyolite and sandstone 
Archetype membangun reputasi Roberto sebagai praktisi seni fana. Peristiwa
terakhirnya, “Membongkar Labirin,” yang menarik perhatian pada kekuatan alam
yang tak terlihat. Tahun 1990 sesudah karya Roberto berjaya, menakuti masyarakat
Baguio adanya bencana gempa dan letusan Gunung Pinatubo. Kedua peristiwa
tersebut menghancurkan sebagian besar wilayah Luzon. Letusan Pinatubo
menyuntikkan sekitar dua pulu juta ton sulfur dioksida ke stratosfer bumi,
menyebabkan perubahan iklim di seluruh dunia. Masuknya banyak polutan aerosol
tetap di stratosfer selama dua tahun, mengakibatkan penurunan suhu global rata-rata
sekitar satu derajat Fahrenheit. Diskusi terkait bencana di antara seniman Baguio dan
upaya bantuan mereka, mengingatkan kembali karya seni Roberto. Seni fana bukanlah
perkembangan tunggal. Ritual panggilan hujan Roberto, misalnya, tidak dapat
dipisahkan dari kreativitas intuitif atau intuisi, sebuah gagasan yang di gapai oleh
seniman Baguio di akhir 1980-an.
Berpikir kreatif merupakan suatu kebiasaan dari pikiran yang dilatih dengan
memperhatikan intuisi, menghidupkan imajinasi, mengungkapkan kemungkinan-
kemungkinan baru, membuat sudut pandang yang menakjubkan dan membangkitkan
ide-ide yang tidak terduga (Usman, 2014). Kreativitas Roberto merupakan
kemunculan yang secara di sengaja bisa menhadirkan peristiwa yang terjadi.
Sebenarnya Roberto ingin memberikan sebuah persembahan melalui seni dengan
penggunaan alami yang tela di jaga. Dampak negatif memunculkan ketakutan Roberto
terhadap bencana tersebut. Penciptaan kembali dap-ay dan fungsinya dalam karya
seni merepresentasikan masyarakat komunal pra-kolonial di Cordilleras. Ini tidak
hanya kontras dengan individualisme modern tetapi juga mendorong orang untuk
bersatu dengan melihat kembali ke "akar utama kita," dan melindungi bumi sebagai
milik bersama.
Roberto semakin melihat fungsi seniman sebagai pembuat ketenangkan jiwa,
mengasuh orang, memotivasi komunitas menuju tujuan kolektif. Mengakomodasi
semua orang, tidak menolak siapa pun, dan menengahi antara dunia yang terlihat dan
yang tak terlihat. Alih-alih melampaui batas estetika Barat, Roberto menciptakan
mode estetika yang berbeda dari model Barat, mode yang merespon kolonialisme dan
eksploitasi orang dan sumber daya alam Filipina.
Melalui penempaan identitas kolektif dan peningkatan kesadaran tentang tanah
air, Roberto berharap Archetypes dapat membantu memperlambat perubahan
lingkungan antropogenik. Antropegenik merupakan suatu aktivitas manusia dalam
menghabiskan sumber daya alam dan kehancuran ekosistem. Seni kontemporer yang
dibuatnya suguh memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan masyarakat.
Kerendahan hati seniman merupakan sebuah usaha dalam mempertahankan seni yang
seutuhnya. Penyadaran tersebut di bantu dengan pangilan-pangilan alam semesta,
dengan menojolkan diri berupa sebuah bencana. Ancaman dari alam bagi umat
manusia yang semakin hari dan zaman semakin memperburuk lingkungan. Seniman
ini memberikan peringatan pula bagi para seniman, supaya para seniman sama-sama
mengupayakan kelestarian lingkungan dengan mengingat kembali budaya tradisional.
Akhir kata seni boleh mengikuti zaman, asal semua dapat dipertimbangkan lebih
matang kedepannya. Ingat, semua ciptaan yang di beri bukan untuk hawa nafsu
duniawi. Pada akhirnya semua kembali ke tanah yang sama.

Referensi
1. Sumber Buku dan Jurnal
Albar, Muhammad Wasith. (2018). Analisis Semiotik Charles Sander Pierce Tentang
Taktik Kehidupan Manusia: Dua Karya Kontemporer Putu Sutawijaya.
(Jurnal Lensa Budaya, Vol. 13, No.2). Depok: FIPB UI.
D.Lee, De-nim. (2019). Eco-Art History in East and Southeast Asia. British:
Cambridge Scholars Publishing.
Edyy, Saiful dkk. (2016). Dampak Aktivitas Antropegenik Terhadap Degradasi
Hutan Mangrove di Indonesia. (Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, Volume
2, No.2). Palembang: Universitas Sriwijaya.
Kartika, Dharsono Sony. (2007). Kritik Seni. Bandung: Rekayasa Sains.
___________________ . (2017). Seni Rupa Modern (Edisi Revisi). Bandung:
Rekayasa Sains.
Mathar, Hasbullah. (2015) Semiotika Visual. (Jurnal Kajian tentang ilmu tanda dalam
kebudayaan kontemporer, Vol.2, No.1). Bandung: UIN Press.
Susetiawan. (1997). Industrialisasi dan Hubungan Perburuhan di Indonesia. (JSP,
Volume 1. No.1). Yogyakarta: FISIP UGM.
2. Artikel Surat Kabar
Utama, Lazuardhi & Adrianjara, Dinia. (2016). “10-06-1991: Evakuasi Selamatkan
Warga Filipina”. Viva, hlm.1.
The Museum of Contemporary Art. (t.t.). “Visit: Double Negative”. Moca, hlm.1.

Anda mungkin juga menyukai