Anda di halaman 1dari 6

PENDEKATAN SASTRA

Karya sastra, baik berupa novel, drama, cerpen, sekumpulan cerpen, puisi, dongeng, dan
tembang, dapat disebut sebagai obyek penelitian sastra. Namun, ada juga pendapat yang
menyatakan bahwa obyek penelitian sastra yang sesungguhnya adalah unsur yang benar-benar
merupakan sasaran, unsur-unsur yang dianalisis, seperti tema, penokohan, plot, latar, gaya
bahasa, wacana naratif, emansipasi wanita, nasionalisme, dan sebagainya.
Berdasar sejumlah pembahasan tersebut, maka penelitian sastra mempertimbangkan ciri-
ciri, sebagai berikut:
1. Hipotesis dan asumsi tidak diperlukan sebab analisis bersifat deskripsi, bukan generalisasi.
Gejala sastra tidak berulang, makna tidak tetap yang justru merupakan hakikat.
2. Populasi dan sampel tidak mutlak diperlukan, kecuali dalam penelitian tertentu, misalnya
penelitian yang melibatkan sejumlah karya atau sejumlah konsumen.
3. Kerangka penelitian tidak bersifat tertutup, korpus data bersifat terbuka, deskripsi dan
pemahaman berkembang terus.
4. Tidak diperlukan obyektivitas dalam pengertian yang umum sebab peneliti terlibat secara terus-
menerus, obyektivitas terjadi pada saat penelitian dilakukan.
5. Obyek yang sesungguhnya bukan bahasa, tetapi wacana, teks, sebab sebagai hakikat diskursif
bahasa sudah terikat dengan sistem model kedua dengan berbagi sistem komunikasi.
Pada umumnya pendekatan disamakan dengan metode. Pendekatan didefinisikan sebagai
cara-cara menghampiri obyek, sedangkan metode adalah cara-cara mengumpulkan,
menganalisis, dan menyajikan data. Tujuan metode adalah efisiensi, dengan cara
menyederhanakan. Melalui pemanfaatan metode dan teori yang baru, tujuan pendekatan adalah
pengakuan terhadap hakikat ilmiah obyek ilmu pengetahuan itu sendiri. Maka, pendekatan lebih
dekat dengan bidang studi tertentu.
Pendekatan juga mengarahkan penelusuran sumber-sumber sekunder, sehingga peneliti
dapat memprediksikan literatur yang harus dimiliki, perpustakaan, dan toko-toko buku yang akan
menjadi obyek sasaran. Model-model pendekatan perlu dibedakan secara jelas. Pendekatan
dalam ilmu sastra di Indonesia perlu mendapat perhatian yang lebih serius dengan pertimbangan
bahwa dalam penelitian sastra Indonesia seolah-olah lebih bersifat praktis daripada teoritis. Hal
ini disebabkan oleh keberadaan sastra Indonesia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan
kebudayaan di satu pihak, kurangkanya pemahaman mengenai teori sastra di pihak lain.
Atas dasar sejumlah hal tersebut, maka model pendekatan sastra perlu dikemukakan, antara
lain:

1. Pendekatan biografis
Menurut Wellek dan Warren (1962, hlm. 75) “model biografis dianggap sebagai
pendekatan yang tertua”. Pendekatan biografis merupakan studi yang sistematis mengenai proses
kreativitas. Subyek kreator dianggap sebagai asal-usul karya sastra, arti sebuah karya sastra
dengan demikian secara relatif sama dengan maksud, niat, pesan, dan bahkan tujuan-tujuan
tertentu pengarang. Penelitian harus mencatumkan biografi, surat-surat, dokumen penting
pengarang, foto-foto, bahkan wawancara langsung dengan pengarang. Karya sastra pada
gilirannya identik dengan riwayat hidup, pertanyaan-pertanyaan pengarang dianggap sebagai
suatu kebenaran, biografi mensubordinasikan karya. Maka, pendekatan biografis sesungguhnya
merupakan bagian penulisan sejarah, sebagai historiografi.
Manusia sebagai makhluk sosial, meskipun sering ditolak, dalam kasus-kasus tertentu
biografi masih bermanfaat. Pada ilmu sastra, biografi pengarang membantu untuk memahami
proses kreatif, genesis karya seni. Biografi memperluas sekaligus membatasi proses analisis.
Pada ilmu sosial, umumnya biografi dimanfaatkan dalam kaitannya dengan latar belakang proses
rekontruksi fakta-fakta, membantu menjelaskan pikiran-pikiran seorang ahli, seperti sistem
ideologis, paradigma ilmiah, pandangan dunia, dan kerangka umum sosial budaya yang ada di
sekitarnya.
Berkaitan dengan pemahaman sosiologi ilmu pengetahuan, Berger dan Luckmann (1973,
hlm. 85-86) menyatakan bahwa “pada dasarnya hanya sebagian kecil dari keseluruhan
pengalaman yang berhasil tersimpan dalam kesadaran manusia”. Biografi merupakan
sedimentasi pengalaman-pengalaman masa lampau, baik personal, sebagai pengalaman
individual, maupun kolektif, sebagai pengalaman intersubyektif, yang pada saat-saat tertentu
akan muncul kembali. Moral, religi, karya seni dalam berbagai bentuknya, dan sebagainya,
merupakan hasil seleksi sedimentasi pengalaman masa lampau. Semakin kaya dan beragam isi
sedimentasi yang berhasil untuk direkam, makin lengkaplah catatan biografi yang berhasil
dilakukan.

2. Pendekatan sosiologis
Pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses
pemahaman mulai dari masyarakat ke individu. Pendekatan sosiologis menganggap karya sastra
sebagai milik masyarakat.
Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra
dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh a) karya sastra
dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, c) pengarang
memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan
kembali oleh masyarakat.
Pendekatan sosiologis, khususnya untuk sastra Indonesia, baik lama maupun modern
menjajikan lahan penelitian yang luas. Setiap hasil karya, baik dalam skala angkatan maupun
individual, memiliki aspek-aspek sosial tertentu yang dapat dibicarakan melalui model-model
pemahaman sosial. Ilmu pengetahuan lain, seperti sosiologi, sejarah, antropologi, dan ilmu sosial
justru menunggu hasil-hasil analisis melalui pendekatan sosiologis yang akan digunakan untuk
membantu memahami gender, feminis, status peranan, wacana sosial, dan sebagainya.

3. Pendekatan psikologis
Wellek dan Warren (1962, hlm. 81-82) menunjukkan “empat model pendekatan psikologis,
yang dikaitkan dengan pengarang, proses kreatif, karya sastra, dan pembaca”. Meskipun
demikian, pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama, yakni
pengarang, karya sastra, dan pembaca, dengan pertimbangan bahwa pendekatan psikologis lebih
banyak berhubungan dengan pengarang dan karya sastra. Apabila perhatian ditujukan pada
pengarang maka model penelitiannya lebih dekat dengan pendekatan ekspresif, sebaliknya
apabila perhatian ditujukan pada karya, maka model penelitiannya lebih dekat dengan
pendekatan obyektif.
Pendekatan psikologis cenderung memanfaatkan data-data personal. Proses kreatif
merupakan salah satu model yang banyak dibicarakan dalam rangka pendekatan psikologis.
Karya sastra dianggap sebagai hasil aktivitas penulis, yang sering dikaitkan dengan gejala-gejala
kejiwaan, seperti obsesi, kontemplasi, kompensasi, sublimasi, bahkan sebagai neurosis.
Sampai saat ini teori yang paling banyak diacu dalam pendekatan psikologis adalah
diterminisme psikologi Sigmund Freud (1856-1939). “Menurutnya, semua gejala yang bersifat
mental, tidak sadar yang tertutup oleh alam kesadaran” (Schellenberg, 1997, hlm. 18). Pada
proses penelitian, sebagai psikoanalisis Freud bertumpu pada a) bahasa pasien dan keterlibatan
sastra, dan b) memakai obyek mimpi, fantasi, dan mite, yang dalam sastra ketiganya merupakan
sumber imajinasi.

4. Pendekatan antropologis
Antopologi adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam masyarakat. Oleh karena
itu, antropologi dibedakan menjadi antropologi fisik dan antropologi kebudayaan, yang sekarang
berkembang menjadi studi kultural. Pada kaitannya dengan sastra, antropologi kebudayaan pun
dibedakan menjadi dua bidang, yaitu antropologi dengan obyek verbal dan nonverbal.
Pendekatan antropologi sastra lebih banyak berkaitan dengan obyek verbal.
Menurut Poyatos (1988, hlm. 11) “secara historis pendekatan antopologis dikemukakan
tahun 1977 dalam kongres Folklore and Literary Anthropology yang berlangsung di Calcutta”.
Pada kongres ini sejumlah ilmuwan berbicara mengenai hubungan antara sastra dan antropologi,
yakni Fernando Fayatos, Thomas G. Winner, Stephane Sarkany, Lucy Jane Borscharow, Vincent
Erickson, Irene Portis Winner, Regina Zilberman, Katherine Trumpener James Nyce, Annamaria
Lammel, Ilona Nagy, Wenner Enninger, Gyula David, William Boelhower, dan Francisco
Loriggio.
Pokok-pokok bahasan yang ditawarkan dalam pendekatan antropologis adalah bahasa
sebagaimana dimanfaatkan dalam karya sastra, sebagai struktur naratif, di antaranya:
a. Aspek-aspek naratif karya sastra dari kebudayaan yang berbeda-beda.
b. Penelitian aspek naratif sejak epik yang paling awal hingga novel yang paling modern.
c. Bentuk-bentuk arkhais dalam karya sastra, baik dalam konteks karya individual maupun generasi.
d. Bentuk-bentuk mitos dan sistem religi dalam karya sastra.
e. Pengaruh mitos, sistem religi, dan citra primordial yang lain dalam kebudayaan populer.

5. Pendekatan historis
Pendekatan historis menelusuri arti dan makna bahasa sebagaimana yang sudah tertulis,
dipahami pada saat ditulis, oleh pengarang yang benar-benar menulis, dan sebagainya. Di dalam
hubungan ini perlu juga menghubungkan dengan karya-karya lain. Pendekatan historis
memusatkan perhatian pada masalah bagaimana hubungannya terhadap karya yang lain,
sehingga dapat diketahui kualitas unsur-unsur kesejarahannya. Pendekatan historis
mempertimbangkan relevansi karya sastra sebagai dokumen sosial.
Pendekatan historis pada umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah sastra tradisional,
sejarah sastra dengan implikasi para pengarang, karya sastra, dan periode-periode tertentu,
dengan obyek karya-karya sastra individual. Dengan mempertimbangkan indikator sejarah dan
sastra, maka beberapa masalah yang menjadi obyek sasaran pendekatan historis, di antaranya:
a. Perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai akibat proses penerbitan ulang.
b. Fungsi dan tujuan karya sastra pada saat diterbitkan.
c. Kedudukan pengarang pada saat menulis.
d. Karya sastra sebagai wakil tradisi zamannya.

6. Pendekatan mitopoik
Secara etimologis mythopoic berasal dari myth atau mitos. Mitos dalam pengertian
tradisional memiliki kesejajaran dengan fabel dan legenda. Namun, dalam pengertian modern
menurut antropologi Frazerian dan psikologi Jungian (dalam Rohrberger dan Woods, 1971, hlm.
11-13) “mitos memiliki hubungan dengan masa lampau sebagai citra primordial dan arketipe”.
Apabila pada awalnya mitos diartikan sebagai imajinasi yang sederhana dan primitif untuk
menyusun suatu cerita, maka dalam pengertian modern mitos adalah struktur cerita itu sendiri.
Karya sastra jelas bukan mitos, tetapi sebagai bentuk estetis karya sastra adalah minefestasi
mitos itu sendiri.
Pendekatan mitopoik dianggap paling pluralis sebab memasukkan hampir semua unsur
kebudayaan, seperti sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, agama, filsafat, dan seni. Dengan
kata lain, dalam pendekatan mitopoik peneliti harus sadar bahwa keragaman data harus dipahami
secara metodologis sehingga diperoleh makna yang tunggal.
Kekayaan masalah-masalah kebudayaan Indonesia, termasuk karya sastranya, memberikan
peluang yang menjanjikan bagi perkembangan pendekatan mitopoik. Pemahaman sastra
Indonesia adalah pemahaman menyeluruh terhadap aspek-aspek kebudayaan yang
melatarbelakanginya. Maka, cara penilitian ini dengan sendirinya sudah dimulai sejak lama.

7. Pendekatan ekspresif
Pendekatan ekspresif memiliki sejumlah persamaan dengan pendekatan biografis dalam hal
fungsi dan kedudukan karya sastra sebagai manifestasi subyek kreator. Dikaitkan dengan proses
pengumpulan data penelitian, pendekatan ekspresif lebih mudah dalam memanfaatkan data
biografis dibandingkan dengan pendekatan biografis dalam memanfaatkan data pendekatan
ekspresif. Pendekatan biografis pada umumnya menggunakan data primer mengenai kehidupan
pengarang, oleh karena itu disebut sebagai data historiografi. Sebaliknya pendekatan ekspresif
lebih banyak memanfaatkan data sekunder, data yang telah diangkat melalui aktivitas pengarang
sebagai subyek pencipta, jadi sebagai data literatur.
Pendekatan ekspresif tidak semata-mata memberikan perhatian terhadap bagaimana karya
sastra tersebut diciptakan, namun bentuk-bentuk apa yang terjadi dalam karya sastra yang
dihasilkan. Apabila wilayah studi biografis terbatas pada diri pengarang dengan kualitas pikiran
dan perasaannya, maka wilayah studi ekspresif adalah diri penyair, pikiran, dan perasaan, serta
hasil-hasil ciptaannya. Melalui indikator kondisi sosiokultural pengarang dan ciri-ciri kreativitas
imajinatif karya sastra, maka pendekatan ekspresif dapat dimanfaatkan untuk menggali ciri-ciri
individualisme, nasionalisme, komunisme, dan feminisme dalam karya, baik karya sastra
individual maupun karya sastra dalam kerangka periodisasi.

8. Pendekatan mimetis
Menurut Abrams (1976, hlm. 8-9) “pendekatan mimetis merupakan pendekatan estetis
yang paling primitif”. Akar sejarahnya terkandung pada pandangan Plato dan Aristoteles.
Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri
tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan. Secara
hierarkis karya seni berada di bawah kenyataan. Pandangan ini ditolak Aristoteles dengan
argumentasi bahwa karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia. Di samping itu, karya seni
juga berusaha membangun dunianya sendiri.
Pendekatan mimetis memiliki sejumlah persamaan dengan pendekatan sosiologis, bedanya
pendekatan sosiologis tetap bertumpu pada masyarakat, sedangkan pendekatan mimetis
bertumpu pada karya sastra. Pendekatan mimetis dipandang sebagai pendekatan yang paling
beragam dan memiliki sejarah perkembangan yang paling panjang. Meskipun demikian,
pendekatan ini sering dihindari sebagai akibat keterlibatan tokoh dalam dunia politik. Di
Indonesia, misalnya selama hampir tiga dasawarsa, selama kekuasaan Orde Baru, pendekatan ini
seolah-olah terlarang. Baru setelah zaman reformasi pendekatan ini dimulai lagi. Di Indonesia
pendekatan mimetik perlu dikembangkan dalam rangka menopang keragaman khazanah
kebudayaan. Pemahaman terhadap ciri-ciri kebudayaan kelompok yang lain dapat meningkatkan
kualitas solidaritas sekaligus menghapus berbagai kecurigaan dan kecemburuan sosial.

9. Pendekatan pragmatis
Pendekatan pragmatis memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Subyek
pragmatis dan subyek ekspresif, sebagai pembaca dan pengarang berbagi obyek yang sama, yaitu
karya sastra. Perbedaannya, pengarang merupakan subyek pencipta, tetapi secara terus-menerus
fungsi-fungsinya dihilangkan, bahkan pada gilirannya pengarang dimatikan. Sebaliknya,
pembaca yang sama sekali tidak tahu tentang proses kreativitas diberikan tugas utama bahkan
dianggap sebagai penulis (rewritten).
Pada tahap tertentu pendekatan pragmatis memiliki hubungan yang cukup dekat dengan
sosiologi, yaitu dalam pembicaraan mengenai masyarakat pembaca. Pendekatan pragmatis
memiliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyarakat, perkembangan, dan
penyebarluasannya, sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan. Melalui indikator pembaca
dan karya sastra, tujuan pendekatan pragmatis secara keseluruhan berfungsi untuk menopang
teori resepsi, teori sastra yang memungkinkan pemahaman hakikat karya tanpa batas.
Pendekatan pragmatis mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai
kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-
masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatis, antara lain berbagai tanggapan
masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai pembaca eksplisit maupun
implisit, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis.

10. Pendekatan obyektif


Pendekatan obyektif dapat dibilang sebagai pendekatan yang terpenting sebab pendekatan
apa pun yang digunakan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri. Pendekatan
obyektif semata-mata memusatkan perhatian pada unsur-unsur yang dikenal dengan analisis
intrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur
ekstrinsik, seperti aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lain, termasuk
biografi. Oleh karena itu, penedakatan obyektif dikenal juga dengan sebutan analisis otonomi,
analisis ergocentric, atau pembacaan mikroskopi. Pemahaman dipusatkan pada analisis terhadap
unsur-unsur mendalam dengan mempertimbangkan keterjalinan antarunsur di satu pihak dan
unsur-unsur dengan totalitas di pihak lain.
Dengan adanya penolakan terhadap unsur-unsur ekstrinsik, maka masalah mendasar yang
harus dipecahkan dalam pendekatan obyektif ialah harus dicari dalam karya tersebut, seperti citra
bahasa, stilistika, dan aspek-aspek lain yang berfungsi untuk menimbulkan kualitas estetis. Pada
sastra fiksi, misalnya yang dicari adalah unsur-unsur seperti plot, tokoh, latar, kejadian, sudut
pandang, dan sebagainya. Melalui pendekatan obyektif, unsur-unsur intrinsik karya akan
dieksploitasi semaksimal mungkin.

Referensi
Abrams, M. H. (1976). The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition.
Oxford: Oxford University Press.
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1973). The Social Construction of Reality: a Treatise in the
Sociology of Knowledge. London: Penguin Books.
Poyatos, F. (1988). Literary Anthropology: a New Interdisciplinary Approach to Peoplem, Signs, and
Literature. Amsterdam dan Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
Rohrberger, M., & Woods, Jr, S. H. (1971). Reading and Writing About Literature. New York:
Random House.
Schellenberg, J. A. (1997). Tokoh-tokoh Psikologi Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Wellek, R., & Warren, A. (1962). Theory of Literature. New York: A Harvest Book Harcourt, Brace
& World Inc.
Karya: Rizki Siddiq Nugraha 2017 Pendekatan dalam Penelitian Sastra. Tinta pendidikan Indonesia

Anda mungkin juga menyukai