Anda di halaman 1dari 8

Materi Sastra Nusantara

1. Ciri Sastra
2. Bahasa yang digunakan dalam Khasanah sastra Nusantara
3. Ragam Bentuk dan isi
4. Tradisi dalam Sastra Nusantara
5. Transmisi dan Transformasi dalam Khasanah Sastra Nusantara
6. Tradisi lisan dan Tulis
7. Aspek fungsi dalam konteks pembelajaran

Ringkasan Materi Sastra Nusantara

A. ciri-ciri karya sastra  sebagai berikut:


1.      Bahasanya indah atau tertata dengan baik.
2.      Isinya menggambarkan manusia dengan berbagai persoalannya.
3.      Gaya penyajiannya menarik sehingga berkesan di hati pembacanya.

B.  Fungsi Sastra


Banyak fungsi atau manfaat dengan membaca karya-karya sastra, antara lain sebagai
berikut:
1.        Fungsi Reaktif, dengan membaca karya sastra, seseorang dapat memperoleh kesenangan atau
hiburan.
2.        Fungsi Didaktif, dengan membaca karya sastra, seseorang dapat memperoleh wawasan
pengetahuan tentang seluk-beluk kehidupan manusia. Seseorang juga dapat memperoleh
pelajaran tentang nilai-nilai kebenaran dan kebaikan di dalamnya.
3.        Fungsi Estetis, yaitu manfaat yang dapat memberikan keindahan bagi pembacanya, karena
sastra itu indah.
4.        Fungsi Moralitas, yaitu manfaat yang dapat membedakan moral yang baik dan tidak baik bagi
pembacanya, karena sastra yang baik selalu mengandung nilai-nilai moral yang tinggi.
5.        Fungsi Religiusitas, yaitu manfaat yang mengandung ajaran-ajaran agama yang harus dan
wajib diteladani oleh para pembacanya.
C.  Ragam Sastra
a.    Berdasarkan bentuknya, sastra dibagi menjadi empat yaitu prosa, puisi, prosa liris dan drama.
1.    Prosa, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan
panjang, menggunakan aturan-aturan atau kaidah-kaidah seperti dalam puisi.
2.    Puisi, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang singkat dan padat
serta indah. Khusus puisi lama, selalu terikat oleh aturan atau kaidah-kaidah tertentu, seperti:
a.    Jumlah baris tiap-tiap baitnya.
b.    Jumlah suku kata atau kata dalam tiap-tiap kalimat atau barisnya.
c.    Irama.
d.   Persamaan bunyi kata dan irama.
3.    Prosa Liris, yaitu bentuk sastra yang berbentuk puisi, namun ditulis dengan menggunakan
bahasa yang bebas.
4.    Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan
panjang, serta dilukiskan dengan menggunakan dialog atau monolog. Selain drama dalam bentuk
naskah, ada juga drama yang dipentaskan.

b.    Berdasarkan isi, sastra dapat dibagi menjadi empat macam yaitu :
1.    Epik, yaitu karya sastra yang isinya tidak mempertimbangakan hal baik atau buruk bagi
perasaan pembacanya.
2.    Lirik, yaitu karya sastra yang isinya selalu mengutamakan unsur-unsur subjektifitas dan dengan
rasa membagus-baguskan kata atau bahasanya.
3.    Didaktif, yakni karya sastra yang isinya selalu condong untuk tujuan mendidik para pembaca.
Isinya bisa masalah moral, tata krama, dan masalah-masalah agama.
4.    Dramatik, yakni karya sastra yang isinya selalu dilukiskan dengan menggebu-gebu, baik itu
masalah menyedihkan atau menggembirakan.

D.  Pembagian Periode Sastra


Berdasarkan sejarahnya, sastra dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu sastra lama dan
sastra baru.
1.    Sastra Lama
Sastra lama, sering juga disebut dengan kesusastraan klasik atau tradisional (Sastra
Melayu). Zaman berkembangnya kesusastraan  klasik ini ialah sebelum masuknya pengaruh
Barat  ke Indonesia atau bersamaan dengan masuknya agama Islam pada abad ke-13.
Peninggalan sastra lama terlihat pada dua bait syair pada batu nisan seorang muslim di Minye,
Aceh. Bentuk-bentuk kesusastraan yang berkembang adalah dongeng, mantra, pantun, dan
sejenisnya.

a.    Ciri-ciri sastra lama.


1)        Anonim.
2)        Istana sentries.
3)        Tema karangan bersifat fantastis.
4)        Karangan berbentuk tradisional.
5)        Proses perkembangannya statis.
6)        Bahasa klise.

b.   Kesusastraan lama dibagi menjadi empat:


1)        Kesusastraan Zaman Purba.
2)        Kesusastraan Zaman Hindu-Budha.
3)        Kesusastraan Zaman Islam.
4)        Kesusastraan Zaman Arab-Melayu.

c.    Jenis-Jenis Karya Sastra Lama


1.    Mantra
Mantra merupakan karya sastra lama yang berisi pujian-pujian  terhadap sesuatu yang
ghaib atau yang dikeramatkan, seperti dewa, roh dan binatang. Mantra biasanya diucapkan  oleh
pawang atau dukun  sewaktu melakukan upacara keagamaan ataupun ketika berdoa. Contohnya
mantra bertanam padi.

2.    Pantun
Pantun merupakan puisi lama  yang terdiri dari empat baris  dalam satu baitnya.  Baris
pertama dan kedua merupakan  sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempatnya adalah isi.
Bunyi terakhir pada kalimat-kalimanya  berpola a-b-a-b.
Dengan demikian, bunyi akhir pada kalimat ketiga dan bunyi akhir kalimat kedua sama
dengan bunyi akhir  pada kalimat keempat.

3.    Gurindam
Gurindam disebut juga  sajak  peribahasa atau sajak dua seuntai. Gurindam memiliki
beberapa  persamaan dengan pantun yakni pada isinya. Gurindam banyak mengandung nasehat
atau pendidikan, terutama yang berkaitan dengan masalah keagamaan.
Gurindam terdiri atas dua kalimat. Kalimat pertama berhubungan langsung dengan
kalimat keduanya. Kalimat pertama selalu menyatakan pikiran atau peristiwa, sedangkan kalimat
keduanya menyatakan keterangan atau penjelasannya. Pengarang terkenal gurindam adalah Raja
Ali Haji.

4.    Syair
Syair adalah bentuk puisi klasik  yang merupakan pengaruh kebudayaan Arab. Dilihat
dari jumlah barisnya, syair hampir sama dengan pantun, yakni sama-sama terdiri atas empat
baris. Perbedaannya terletak  pada persajakan. Pantun bersajak a-b-a-b, sedangkan syair bersajak
a-a-a-a. Selain itu, pantun memiliki sampiran, sedangkan syair tidak memilikinya.

5.    Dongeng Binatang


Dongeng binatang atau fabel adalah cerita yang tokoh-tokohnya berupa binatang  dengan
peran  layaknya manusia. Binatang-binatang itu dapat berbicara, makan, minum, berkeluarga 
sebagaimana halnya dengan manusia.
Fabel tidak hanya dikenal di masyarakat nusantara, melainkan hampir dikenal di seluruh
dunia. Bila pelaku popular fabel  pada masyarakat Melayu itu adalah Kancil, maka di Jawa Barat
adalah Kera, di Eropa adalah Serigala dan di Kamboja adalah Kelinci.
6.    Legenda
Legenda atau dongeng tentang asal-usul, terbagi ke dalam tiga jenis, yakni sebagai
berikut:
a)    Cerita asal-usul tumbuh-tumbuhan, misalnya asal usul padi, asal-usul pohon jagung, asal-usul
pohon pisang.
b)   Cerita asal-usul binatang, contohnya asal usul pertengkaran kucing dengan anjing, asal-usul
kuda tidak bertanduk, asal-usul ikan  berdarah merah.
c)    Cerita asal-usul terjadinya suatu  tempat, misalnya asal-usul dari gunung Tangkuban Perahu,
dan asal-usul Danau Toba.

7.    Dongeng pelipur lara


Dongeng pelipur lara ini bersifat  komedi, isinya dipenuhi dengan kisah-kisah lucu.

8.    Hikayat
Hikayat berasal dari India dan Arab. Hikayat berisikan cerita  para dewa, peri pangeran,
putri, ataupun kehidupan para bangsawan. Hikayat banyak dipenuhi  cerita-cerita ghaib  dan
berbagai kesaktian. Karena tokoh dan latarnya  banyak yang mengambil  dari sejarah, cerita
terselubung sering disebut cerita sejarah.

2.    Sastra Baru


Kesusastraan baru, yaitu dapat disebut juga sastra baru atau modern yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat baru Indonesia. Sastra baru juga dapat diartikan sastra yang telah
dipengaruhi oleh karya sastra asing sehingga sudah tidak asli lagi.

a.    Ciri-ciri sastra baru


1.    Pengenal dikenal masyarakat luas.
2.    Bahasanya tidak klise.
3.    Proses perkembangan dinamis.
4.    Tema karangan bersifat rasional.
5.    Bersifat modern.
6.    Masyarakat sentris.
b.   Kesusastraan Baru Dibagi menjadi:
1.    Kesusastraan  Zaman Balai Pustaka atau Angkatan ’20,
2.    Kesusastraan  Zaman Pujangga Baru atau Angkatan ’30,
3.    Kesusastraan  Zaman Jepang,
4.    Kesusastraan Zaman Angkatan 45,
5.    Kesusatraan  Zaman Angkataan 60, dan
6.    Kesusastraan Zaman Mutakhir atau Kesusastraan setelah tahun 1966 sampai sekarang.
c.    Jenis-Jenis  Karya Sastra Baru
1.    Puisi.
Puisi adalah bentuk karya sastra  yang menggunakan  kata-kata yang indah dan kaya
makna; Keindahan sebuah puisi  disebabkan oleh diksi, majas, rima dan irama. Kekayaan makna
yang terkandung dalam puisi dilatarkan  oleh pemadatan unsur-unsur bahasa. Bahasa yang
digunakan dalam puisi  berbeda dengan yang digunakan sehari-hari. Puisi menggunakan bahasa 
yang ringkas. Kata-kata yang digunakan  adalah kata-kata konotatif, yang mengandung banyak
penafsiran dan pengertian.

2.    Prosa.
Karya sastra yang berupa  cerita bebas. Bentuk prosa pada umumnya  merupakan
perpaduan  dari monolog dan dialog. Namun ada pula proses yang hanya  monolog dan ada pula 
yang terdiri atas dialog-dialog.

3.    Drama.
Drama merupakan karya sastra yang diproyeksikan di atas pentas. Berbeda dengan karya
sastra lainnya___seperti puisi dan prosa___drama terbentuk atas dialog-dialog. Karena
diproyeksikan untuk pementasan drama sering pula disebut sebagai seni pertunjukan atau teater.
Karena itu drama dapat pula diartikan  sebagai bentuk karya  sastra yang
menggambarkan  kehidupan dengan menyampaikan  pertikaian dan emosi  melalui kelakuan dan
dialog. Lakuan dan dialog dalam drama  tidak jauh berbeda dangan kelakuan dan dialog dalam
kehidupan sehari-hari.
E.  Pengaruh Sastra Nusantara terhadap Sastra Modern dan Kontemporer
Sastra nusantara memberikan inspirasi baru bagi penyair modern kontemporer antara
lain, Sutardji Calzoum Bachri. Upaya dan perjuangan Sutardji menerobos makna kata,
menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang
sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi
kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.
Menurut Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk penindasan dan kolonisasi,
dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai kekuatan pembebas, yang membuat kata-
kata kembali merdeka dari penjajahan makna.
Bagi Sutardji, menulis puisi “adalah mengembalikan kata pada mantra”. Mengembalikan
kata pada mantra adalah mengeluarkan kata dari konveksi makna dan membiarkannya
menemukan kekuatannya sendiri. Pada dasarnya, kata tidak ada hubungan intrinsik dengan
maknanya – suatu pandangan yang kemudian semakin dipertegas oleh teori teoretisi post-
modernis – diteruskannya dengan pandangan lain bahwa sampiran dalam pantun tidak ada
hubungan intrinsik apapun dengan isi puisi. Adalah menarik bahwa perlawanan yang dilancarkan
tidak dilakukan dengan berteori, tetapi laksanakan dalam praktik, yaitu praktiknya sebagai
seorang penyair.

Transmisi dan Transformasi dalam khasanah sastra Nusantara

Karya asal dan karya hasil transformasi memang dapat menjadi ‘penguat’ atau dapat juga
menjadi ‘pesaing’ terkait dengan proses distribusi karya. Banyak karya sastra mengalami
stagnansi dalam hal distribusi setelah mengalami transformasi. Setelah orang dapat menikmati
karya tersebut dalam bentuk film misalnya, dia tidak akan perlu lagi untuk membaca karya
aslinya yang mungkin dalam bentuk novel. Kondisi tersebut secara tidak langsung dapat
menghambat distribusi karya tersebut dalam bentuk awalnya (sebelum mengalami transformasi).
Mudahnya, orang akan cenderung menonton filmnya daripada membaca novelnya. Dalam
kondisi yang lain, tidak menutup kemungkinan, bentuk dari hasil transformasi dapat menjadi
pemicu untuk distribusi karya asalnya.

Kualitas muatan dari karya asal dan karya hasil transformasi juga harus mendapat perhatian yang
lebih. Transformasi dalam sastra hendaknya tidak mengurangi muatan (kualitas) dari karya
asalnya. Pengalihan yang terjadi dalam proses transformasi lebih pada bentuk, sehingga
hendaknya tetap diusahakan untuk mempertahankan muatan sastra yang terkandung dalam karya
asalnya.

Sastra Nusantara dalam konteks pembelajaran


Pemilihan bahan ajar dalam pembelajaran sastra merupakan salah satu tugas guru bidang studi
untuk menciptakan pembelajaran yang asyik dan menarik bagi siswa. Salah satu pakar sastra
yakni Rahmanto (1988: 27) mengemukakan ada tiga aspek penting dalam memilih bahan ajar
pada pembelajaran sastra. Ketiga aspek tersebut yaitu (1) bahasa, (2) kematangan jiwa
(psikologi), dan (3) latar belakang kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai