Anda di halaman 1dari 16

NOVEL SIDDHARTHA KARYA HERMANN HESSE:

PENCARIAN CHIFFER-CHIFFER TRANSENDENSI

Hermann Hesse’s Siddhartha: Search for Chiffers of Transcendence

M. Shoim Anwar

Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, Jalan Ngagel Dadi III-B/37 Surabaya,
Telepon 031-8281181, 081330504032, Pos-el: shoimanwar@yahoo.com,

Naskah masuk: 15 Maret 2016, disetujui: 9 April 2016, revisi akhir: 1 Juli 2016

Abstrak: Setelah Perang Dunia I, manusia modern mengalami kegelisahan spiritual. Novel Siddhartha
karya Hermann Hesse merepresentasikan kegelisahan manusia modern tersebut dalam menemukan
kebahagiaan. Fokus permasalahan dan tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan usaha manusia
dalam menemukan kebahagiaan abadi dalam kerangka filosofis. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Sumber data adalah teks novel yang dianalisis secara interaktif-dialogis, dengan menggunakan
eksistensialisme sebagai basis teori. Tampak pada hasil penelitian bahwa dogma agama yang secara
formal telah dipelajari, bahkan dilakukan, dirasakan oleh tokoh utama Siddhartha belum mampu memberi
kepuasan dan kedamaian batin. Tokoh utama, sebagai subjek yang bebas atas dirinya sendiri, dari perspektif
eksistensialisme, berusaha keras untuk menawar kenyataan dan ingin mengubahnya sesuai dengan peran
kehendak. Pencarian spiritualitas secara personal dilakukan sang tokoh untuk menemukan dimensi baru
dari hakikat kehidupan. Alam dengan segenap isinya menjadi bagian penting dalam menemukan chiffer-
chiffer atau tanda-tanda kebesaran transendensi.
Kata kunci: novel, eksistensialisme, chiffer, transendensi

Abstract: After World War I, modern men experienced spiritual restlessness. Hermann Hesse’s
Siddhartha represents the restlessness of finding happiness. The focus and purpose of this study is
to describe the man’s efforts to find lasting happiness in a philosophical framework. This study
uses a qualitative approach. The data source for the study is the text of the novel, which is
analyzed in the interactive-dialogue by applying the theory of existentialism as a base theory. This
result of the research indicates that religious dogma that has been formally studied, even
practised, is unable to give satisfaction and inner peace for Siddhartha as the main character.
The main character, as a free subject of himself, from the perspective of existentialism, tried hard
to bid a reality and wanted to change it in accordance with the role of the will. The search for
spirituality is personally conducted by the main character to find a new dimension of the nature of
life. Nature, with all its contents, becomes an important part of finding chiffers or signs of great
transcendence.
Key words: novel, existentialism, chiffer, transcendence

1. PENDAHULUAN
Sebagai produk budaya, karya praktik budaya masa lampau, teraktualisasi
sastra merupakan teks yang tidak dapat untuk masa kini, serta menawarkan inspirasi
dilepaskan dari praktik kehidupan untuk masa mendatang. Aspek waktu dan
berbudaya. Karya sastra menyuguhkan situasi menempatkan karya sastra sebagai
wacana sejarah kehidupan, terilhami produk budaya yang mengikuti dan memiliki

37
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 37—52

kemungkinan mendahului zaman. Karya pesan, berusaha mengomunikasikan


sastra berada dalam pengaruh dan sekaligus pemikiran dan pandangan hidupnya
berpotensi mempengaruhi perjalanan kepada pembaca dalam bentuk teks secara
praktik budaya (Anwar, 2012: 1). satu arah. Pembaca mungkin tidak dapat
Karya sastra juga selalu berada dalam mengklarifikasi pesan yang ditangkap secara
ruang ketegangan budaya. Masa lampau, timbal balik kepada pengarang. Klarifikasi
masa kini, dan masa mendatang berada dilakukan pembaca melalui teks dengan
dalam proses tawar-menawar untuk berbagai interpretasi.
representasi sebuah identitas. Tema-tema Pembaca tentu bukan objek yang
tertentu yang diproduksi karya sastra adalah menjadi sasaran mati seorang pengarang
bagian dari ketegangan identitas budaya. dalam kerangka ideologisasi. Pembaca
Identitas tersebut diproduksi, disodorkan, adalah subjek yang hidup dan memiliki
serta diatur hingga representasinya kembali peran besar dalam menentukan arah teks.
pada identitas sebagai sirkuit budaya. Studi Pembaca memiliki kemerdekaan untuk
sastra pada dasarnya juga studi identitas menerima, menolak, atau memilih pesan
yang berkaitan dengan ketegangan budaya. yang sesuai dengan kehidupannya.
Salah satu bentuk karya sastra adalah Pengarang dan pembaca telah memiliki
novel. Novel merupakan produk kreatif jarak. Di tangan pembacalah makna dan
yang memiliki berbagai muatan. Bagi pesan teks dikonstruksi. Pembaca dapat
sastrawan, di samping merupakan sarana mengontruksi makna yang mungkin tidak
ekspresi estetis, novel merupakan sarana dipikirkan oleh pengarang sebagai tujuan.
untuk mengungkap pemikiran, idealisme, Jika novel diibaratkan pisau, pembacalah
serta pengalaman hidup yang berusaha yang berhak menentukan untuk apa pisau
diabadikan sebagai catatan sejarah. Novel itu dipergunakan. Ini relevan dengan
juga memiliki muatan ideologi yang pernyataan Simon Lesser terkait estetika
disusupkan oleh pengarang dengan pembaca, “Sambil membaca karya itu kita
berbagai cara, termasuk masalah dapat bertatap muka dengan masalah-
spiritualitas yang menjadi kiblat pengarang. masalah kita sendiri yang paling mendesak,
Hubungan antara novel dan misi pengarang pun pula dengan problema yang biasanya
terjadi dalam berbagai konteks. pura-pura tidak kita maklumi” (Luxemburg,
Novel dalam kerangka ideologi memang dkk.,1986: 79). Dengan kata lain,
memiliki dua kemungkinan, yaitu sebagai “pemahaman selalu berasal dari posisi dan
sudut pandang orang yang memahami,
cerminan dan sebagai pemodelan. Novel
tidak sekadar melibatkan reproduksi makna
sebagai cerminan mengungkap
tekstual tetapi juga produksi makna baru
permasalahan dalam dunia nyata sehingga
oleh para pembaca” (Barker, 2009: 35,288).
keberadaannya sebagai wadah ideologis
semakin diperjelas. Sebaliknya, novel Meski pembaca dapat menjadi penentu
sebagai pemodelan adalah menampilkan terhadap makna teks, pembaca tidak berada
sesuatu yang mungkin belum ada dalam dalam posisi yang benar-benar bebas. Teks
dunia nyata sehingga unsur-unsur itu dapat senantiasa memiliki konstruksi
ditiru sebagai model ideologis oleh dunia antarbagiannya. Antara bagian awal,
nyata. Baik sebagai cerminan maupun tengah, dan akhir, atau antara bagian-
pemodelan, kerangka ideologi akan bagian dan keseluruhannya, pastilah
menyelimuti kehadirannya. memiliki jalinan makna yang dirangkai
Di samping merupakan ekspresi per- dalam perjalanan alur. Untuk itulah dalam
pembacaan teks harus dilakukan secara
sonal pengarang, ketika diluncurkan ke
dialogis secara terus menerus agar makna
masyarakat, novel juga merupakan sarana
teks dapat ditemukan secara utuh.
komunikasi antara pengarang dan
pembaca. Pengarang, sebagai penyampai Novel Siddhartha karya Hermann
Hesse (1922) tentu terkait dengan fungsinya

38
M. SHOIM ANWAR: NOVEL SIDDHARTHA KARYA HERMANN HESSE: PENCARIAN CHIFFER-CHIFFER...

sebagai sarana ekspresi estetis bagi berasal dari renungan flosofi juga memiliki
pengarang, pemikiran, ideologi, serta kekuatan yang relatif mapan dari zaman ke
renungan spiritualitas yang zaman. Adanya pencarian terhadap
dikomunikasikan kepada pembaca. Dari sisi spiritualitas Timur yang dilakukan oleh or-
sosiologi pengarang semasa hidupnya, novel ang-orang Barat sehingga mereka nglakoni
ini memiliki kedudukan penting sebagai (melakukan aktivitas spiritual tertentu
simbol atau representasi kekeringan sesuai keyakinan batin) menunjukkan
spiritualitas yang melanda dunia Barat sejak bahwa nilai-nilai spiritualitas dapat berlaku
Perang Dunia Pertama. Pengarang secara umum, tanpa berorientasi pada
kelahiran Jerman (1877), yang kemudian agama tertentu.
pindah ke Swiss, menyaksikan dan Penelitian ini berangkat dari masalah
mengalami secara langsung gejolak kekeringan spiritualitas yang dialami tokoh
peperangan yang memakan banyak korban. utama dalam novel Siddhartha karya
Perang merupakan puncak kekeringan Hermann Hesse. Pertanyaannya adalah
spiritualitas manusia. Perang adalah bagaimana latar belakang kekeringan
penyakit spiritual sehingga dari sanalah spiritualitas dan jalan apa yang ditempuh
manusia menginginkan adanya untuk mencari kebahagiaan abadi secara
kebahagiaan abadi. filosofis. Berangkat dari permasalahan
Teks novel Siddhartha mencerminkan tersebut, penelitian ini akan
adanya kegelisahan spiritualitas tokoh mendeskripsikan aspek-aspek spiritualitas
utamanya. Dogma Buddhisme yang telah tokoh terkait kegelisahan menemukan
mapan berusaha dibongkar melalui transendensi, kehendak dan faktisitas,
renungan dan perjalanan spiritualitas sang kebebasan subjek, penderitaan manusia, dan
tokoh. Karena tidak bertolak dari dogma menuju transendensi.
agama secara formal, renungan spiritualitas Berdasarkan studi awal, pada konteks
itu bersentuhan dengan usaha untuk spiritualitas eksistensialisme yang
menemukan “sesuatu” sebagai akar filosofi dikembangkan Karl Jaspers, konsep chiffer
kehidupan yang membahagiakan. menjadi relevan untuk diterapkan dalam
Dari sisi tema dan filosofi, novel mengaji fenomena filosofis dalam novel
Siddhartha memiliki muatan universal. Siddhartha (Anwar, 2015: 39). Pencarian
Permasalahan spiritual dapat dialami tokoh utama untuk menemukan
manusia di mana saja dan kapan saja. kebahagiaan abadi beserta kegelisahan
Spiritualitas dapat melintasi batas geografi membuat tokoh memilih hidup menjauh
dan waktu. Bahkan, seiring dengan dari kesenangan duniawi. Cinta kedua
perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, orangtua serta guru-guru spiritual dengan
teknologi, dan seni, spiritualitas menjadi ajaran kebijaksanaannya dirasa tidak
semakin aktual karena menemukan mampu memberi kebahagiaan. Jatuh
relevansi. Kekeringan spiritualitas yang bangun dalam pengembaraan spiritualitas,
dibarengi dengan kegelisahan manusia ketika alam dan kehidupan dijadikan guru,
modern untuk menemukan kebahagiaan menjadi jalan hidup tokoh dalam
yang hakiki semakin terasa dari waktu ke menemukan chiffer atau tanda-tanda
waktu. kebesaran transendesi.
Sebagai nilai universal, spiritualitas dari Eksistensialisme adalah aliran filsafat
sisi filosofi dapat berkembang. Akan tetapi, yang berkembang setelah perang Dunia
dan ini yang sering terjadi, akar filosofi Pertama. Aliran filsafat tersebut merupakan
spiritualitas umumnya sudah ditemukan reaksi atas kekejaman das sein manusia
sejak masa lampau. Spiritualitas terkait dalam meraih kehendak meski harus
dengan agama formal sudah dinyatakan dilakukan dengan cara berperang.
“baku” karena dogmanya berkekuatan Akibatnya, hubungan antarmanusia
hukum tetap. Sementara spiritualitas yang menjadi demikian rawan karena orang lain

39
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 37—52

dianggap sebagai musuh yang saling sehingga data yang bersifat simbolis menjadi
mengobjekkan. Sartre menyatakan bahwa informatif.
hubungan subjek-objek itu adalah “relasi-
relasi intersubjektif tidak ada kemungkinan 2. METODE PENELITIAN
lain. Semua relasi antarmanusiawi
beralaskan suatu konflik: atau dengan terus Garis pemisah antara filsafat dan sastra
terang atau dalam bentuk kompromi” secara umum ditunjukkan bahwa para
(Bertens, 2001: 102). Di bagian lain Sartre pelaku dan situasi dalam karya sastra
menyatakan bahwa “orang lain itu adalah bersifat fiktif, sedangkan filsafat adalah
neraka”(Koeswara, 1987: 16). Hubungan prosa yang lugas. Akan tetapi, sejak awal
antarmanusia di satu sisi dianggap sebagai perkembangannya, dialog-dialog yang
kebersamaan, tapi di sisi lain dianggap dilakukan oleh Plato, khususnya dalam dia-
sebagai rival yang saling menjatuhkan. log Phaedrus, antara yang fiktif dan lugas
Dualisme pemikiran itulah yang (nyata) itu saling mengisi. Bahkan, mulai
menyebabkan eksistensialisme abad ke-20, banyak filsuf menuangkan
menempatkan manusia sebagai subjek yang gagasannya melalui karya sastra.
harus bertanggung jawab pada dirinya “Pengarang, tersirat atau tersurat, dapat
sendiri. Ketika hubungan antarmanusia memiliki sikap terhadap apa yang
menjadi rawan, aspek spiritualitas menjadi diwakilinya, atau dapat menuliskannya
jawaban untuk menyeimbangkan dengan maksud mengemukakan
kehidupan. Pada kondisi inilah pandangan-pandangan atas pertanyaan
eksistensialisme mengembangkan konsep yang juga dibahas dalam filsafat” (Skilleas,
chiffer sebagai pengakuhan atas kebesaran 2001: 3—7).
transendensi. Karya sastra merupakan konstruksi
Penelitian bidang ilmu sastra ini yang rumit dan memerlukan perhatian
menggunakan pendekatan kualitatif dengan saksama. Sulit untuk mengajukan jawaban
model deskriptif. Meski terkait dengan tunggal terhadap pertanyaan bagaimana
filsafat, penelitian ini bukan dalam konteks sastra dapat memberi sumbangan terhadap
sastra bandingan, melainkan kajian teks pemahaman masalah-masalah penting yang
sastra dengan memanfaatkan filsafat sebagai filosofis, melainkan menuntut jawaban yang
basis teori untuk menganalisis isinya. bersifat plural. Sastra seharusnya
Sumber data utama penelitian adalah novel menggerakkan cara berpikir kita karena
Siddhartha karya Hermann Hesse, sastra juga memiliki kepedulian terhadap
diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa permasalahan fundamental manusia
Indonesia oleh Sovia V.P., diterbitkan oleh (Skilleas, 2001: 147).
Penerbit Jejak, Yogyakarta, tahun 2007 Buku Theory of Literature yang ditulis
(cetakan ke-4). Data dikumpulkan secara oleh Rene Wellek dan Austin Warren yang
dokumentatif dari sumber-sumber pustaka. edisi pertamanya terbit 1948, pada bagian
Teknik analisis data dilakukan secara ketiga juga membahas hubungan antara
interaktif-dialogis dengan ciri kerangka kerja sastra dan filsafat. Sastra dan filsafat adalah
analisis isi seperti yang disampaikan oleh dunia pemikiran. Bahkan, filsafat dan
Krippendorff (1993: 23—26), yaitu peneliti pemikiran dalam konteks tertentu
berusaha menembus data yang bersifat menambah nilai artistik karya sastra karena
permukaan secara satu arah, konteks yang mendukung beberapa nilai artistik penting,
berhubungan dengan data dieksplisitkan, seperti kompleksitas dan koherensi.
peneliti menentukan konstruksi konteks Pemikiran teoretis dapat memperdalam
untuk menarik inferensi, target atau tujuan jangkauan sastrawan (Wellek, 1990: 152;
dinyatakan secara jelas, peneliti menarik Darma, 2004: 40 ).
inferensi dari data kepada aspek-aspek Aliran filsafat yang menonjol terkait
tertentu dari konteksnya dan menjustifikasi karya sastra sejak abad ke-20 adalah

40
M. SHOIM ANWAR: NOVEL SIDDHARTHA KARYA HERMANN HESSE: PENCARIAN CHIFFER-CHIFFER...

eksistensialisme. Penjelasan Skilleas tentang Seluruh kenyataan yang mengelilingi


hubungan filsafat dan sastra, juga Hogan manusia merupakan bahasa sandi-sandi.
(2000: 118—129) terkait eksistensialisme, Bukan hanya alam, eksistensi manusia pada
cukup untuk menunjukkan bahwa ada dasarnya juga merupakan sandi. Sandi ini
keterkaitan yang erat antarkeduanya memang bukan perkara sederhana untuk
sebagai media menuangkan gagasan atau diterjemahkan. Eksistensi manusia yang
pemikiran. Paham eksistensi yang pada mencoba menempatkan dirinya sebagai
awalnya lebih banyak dituangkan dalam subjek, kerap kali juga berposisi sebagai
bentuk karya sastra akhirnya dikukuhkan objek. Manusia memiliki kebebasan untuk
sebagai cabang filsafat. memilih dan memutuskan agar dapat
Salah seorang filsuf eksistensialisme menjadi dirinya sendiri. Peran kehendak
adalah Karl Japers. Tema-tema pokok dalam menjadi motor yang sangat penting, tetapi,
bereksistensi menurut Japers disebut sebagai di sisi lain, menjadi diri sendiri selalu
situasi batas khusus, yaitu kematian, bergelut dengan proses yang tidak pernah
penderitaan, perjuangan, dan kesalahan final. Kegagalan dan penderitaan juga terus
(Hamersma, 1985: 13). Keempatnya secara megintai. Manusia ingin hidup, tapi
bersama-sama membuka suatu perspektif kematian tak dapat ditolak. Manusia ingin
terhadap keberadaan manusia yang meraih keberhasilan, tetapi kegagalan dapat
menjadi situasi batas lain lagi. Kematian, menghadangnya. Kalah dan menang dapat
penderitan, perjuangan dan kesalahan silih berganti. Seperti siang dan malam, ada
memperlihatkan bahwa keberadaan perputaran yang terus berjalan.
manusia tidak pernah dapat menjadi Kehadiran alam dengan segenap isi dan
lengkap. Bagi manusia hal ini tidak pernah peristiwanya, termasuk jatuh bangunnya
jelas mengapa dapat terjadi. Semua situasi eksistensi manusia, pada dasarnya
batas itu mendua, yakni kepada eksistensi merupakan naskah sandi, simbol, atau
diberikan kemungkinan untuk berkembang lambang kebesaran transendensi. Dalam
atau mundur, tergantung dari keputusan filsafat eksistensi Karl Jaspers, sandi-sandi
manusia sendiri sebagai subjek. yang ditulis oleh transendensi itu disebut
Bereksistensi, atau berdiri di hadapan chiffer. Kata chiffer berasal dari bahasa Arab
transendensi, mencapai puncaknya dalam sifr, artinya “kekosongan” atau “nol”, dalam
berbagai keputusan yang diambil dalam konsep Hindu setara dengan sunya. Jaspers
situasi batas. merujuk kata tersebut dari bahasa Jerman
Salah satu konsep penting dalam filsafat ziffer. Segala sesuatu dapat menjadi chiffer:
eksistensi Japers terkait metafisika adalah pemikiran, sejarah, alam, tetapi ada bidang-
chiffer, yakni simbol atau sandi yang bidang tertentu yang berbicara dengan
mengantarai eksistensi dan transendensi. sangat jelas sebagai chiffer, seperti semua
Eksistensi adalah cara manusia meng-”ada” situasi batas (nasib, kematian, penderitaan,
di atas dunia secara empirik, sedangkan perjuangan, kesalahan), kebebasan, seni,
transendensi terkait dengan “keilahian” dan cinta. Chiffe-chiffer itu merupakan suatu
yang melingkupi seluruh hidup manusia. “teks” yang “ditulis” oleh transendensi dan
Konsep chiffer yang diketengahkan oleh Jas- “dibaca” oleh eksistensi (Hamersma,
pers ini menjadi ciri penting bagi 1985:19; Poedjawijatna, 1986: 146).
eksistensialisme yang dikembangkannya. Manusia adalah chiffer paling unggul,
Jika pada umumnya para eksistensialis karena banyak dimensi kenyataan bertemu
sangat jarang menyinggung masalah dalam diri manusia. Manusia merupakan
transendensi, bahkan ateis, Jaspers justru suatu mikrokosmos yang merupakan pusat
mengembangkan konsep chiffer ini sebagai kenyataan. Alam, sejarah, kesadaran, dan
pengakuan bahwa ada yang lebih agung di kebebasan berkumpul dalam diri manusia.
atas keberadaan manusia. Kalau manusia melihat dirinya sebagai
chiffer, dia dekat dengan transendensi.

41
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 37—52

Chiffer-chiffer merupakan “jejak-jejak”, mencoba berlanjut pada pengembaraan


“cermin”, “gema”, atau “bayangan” spiritual yang bersifat personal. Gotama
transendensi. telah menjalankan dogma Buddhisme secara
Seni, dalam pandangan filsafat taat, Siddhartha justru menghindarkan
eksistensi Karl Jaspers, merupakan bagian hidupnya dari dogma demi menemukan
dari chiffer. Karena sastra adalah bagian dari sesuatu yang hakiki.
seni, mau tak mau sastra juga merupakan Siddhartha menghormati pandangan
chiffer. Akar filosofi ini mendudukkan sastra Buddhisme, dia juga sangat menghormati
sebagai simbolisasi transendensi. Kajian tokoh-tokoh agung, bahkan pada awalnya
sastra dari sisi filsafat, atau sebaliknya, dia juga terlibat di dalamnya. Akan tetapi,
menjadi sangat penting karena sama-sama renungan filosofis Siddhartha telah
dapat dimanfaatkan untuk mengungkap menjadikan dirinya untuk melangkah lebih
keagungan transendensi lewat perenungan jauh. Pada bagian awal novel ini sang tokoh
dan pemikiran. utama mulai dihantui kegelisahan. Ada
baiknya hal tersebut dikutip terlebih dahulu.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegelisahan menghantui Siddhartha. Dia
mulai merasakan bahwa cinta ayah dan
3.1 Kegelisahan Menemukan ibunya, bahkan cinta dari temannya
Transendensi Govinda, tidak akan membawanya
menuju kebahagiaan abadi, tidak
Novel Siddhartha karya Hermann Hesse
membawanya pada kesenangan dan
pada awalnya bertolak dari Buddhisme.
kepuasan, tidak mampu memenuhi
Simbol-simbol formal dan perilaku
keinginannya. Dia mulai merasa bahwa
Buddhisme bertebaran dalam novel ini.
ayahnya yang terhormat dan guru-guru
Tokoh utamanya, Siddhartha, juga
lainnya, para brahmin yang bijaksana,
dikisahkan sebagai anak seorang brahmin.
telah memberikan ajaran tentang
Dia hidup dalam lingkaran Buddhisme,
kebijaksanaan yang mereka miliki
melakukan berbagai ritual dengan sangat
padanya; mereka telah menuangkan
baik. Dihadirkan pula tokoh Sang Buddha
semuanya ke dalam bejana
Gotama yang telah dikenal sebagai figur
penampungannya; dan bejana itu tidak
sentral dalam Buddhisme dan terjadi dialog
penuh, pikirannya tidak merasakan
antarmereka. Teman Siddhartha, Govinda,
kepuasan, jiwanya tidak merasakan
bergabung dengan Sang Buddha Gotama,
kedamaian, hatinya tidak merasakan
tetapi Siddhartha merasa tidak perlu
kebahagiaan (Hesse, 2007: 16--17).
mengikutinya dan secara halus berkata,
“Namun diriku ingin melanjutkan Tampak ada kegelisahan pada diri
pencarianku” (Hesse, 2007: 56). Siddharta. Tokoh ini ingin menemukan
“sesuatu” dalam tataran spiritualitas. Cinta
Dalam berbagai hal, pengembaraan
dari ayah, ibu, teman, serta guru-guru yang
Siddhartha juga memiliki kemiripan dengan
memberikan ajaran kebijaksanaan dirasa
riwayat hidup Sang Buddha Gotama seperti
tidak mampu memberi kepuasan spiritual.
yang ditulis oleh Widyadharma (1981).
Ini adalah kegelisahan khas seorang tokoh
Tampaknya tidak dapat disangkal lagi,
yang ingin menemukan dimensi baru dalam
bahwa novel ini merupakan semacam
hidupnya. Kenikmatan duniawi dan relasi
“mitra dialog” dalam mencari kebahagiaan
antarsesama menjadi “kering” dan tidak
abadi. Perbedaan pemikiran dan jalan hidup
mampu memberi kedamaian. Dalam
antara Sang Buddha Gotama dan
pandangan eksistensialisme Jaspers (1985:
Siddhartha terjadi setelah keduanya
37), tokoh Siddhartha merasakan hidupnya
melakukan dialog panjang. Jika Gotama
hanya pada tataran welt, “dunia” tertentu
telah menemukan jalan hidup yang dicari
di dalam kenyataan yang melingkupi
dengan Buddhismenya, Siddhartha
hidupnya. Dia hidup dalam dunia, tetapi dia

42
M. SHOIM ANWAR: NOVEL SIDDHARTHA KARYA HERMANN HESSE: PENCARIAN CHIFFER-CHIFFER...

seakan-akan mendekati dunia itu dari luar. sesuatu yang dicari. Meski dalam perjalanan
Dunia itu adalah “yang lain dari kita”, dia bisa menemukan kebahagiaan fisik
disimbolkan dengan kehadiran ayah, ibu, karena nikmat benda dunia, Siddhartha
teman, dan guru-guru yang tidak mampu segera meninggalkan itu semua. Untuk
memberinya “kebahagiaan abadi”. sementara dia menghayati perjalanan hidup
Selain welt, “dunia” empiris, pada sebagai suatu proses. Yang ingin ditemukan
dimensi lain dalam kehidupan terdapat bukanlah dunia nyata, melainkan apa yang
transendensi (tranzendenz), yaitu “Yang ada di balik semua itu sehingga ditemukan
Melingkupi segala sesuatu Yang kebahagiaan abadi. Kata “abadi” sangat
Melingkupi” atas eksistensi manusia. penting karena sebagai perlawanan dari
Transendensi menghilang kalau manusia kebahagiaan dunia yang “fana”. Abadi
mencoba untuk memahaminya. Untuk tentu terkait dengan transendensi,
pemikiran manusia nama yang paling tepat sedangkan fana terkait dengan dunia. Teks
untuk transendensi itu adalah “Ada” (das novel telah menyuguhkan permasalahan
sein). Transendensi adalah “keilahian”, yang sebagai titik tolak mengantarkan alur.
“sama sekali lain”, di mana dunia Kegelisahan spiritualitas inilah yang
dipandang sebagai ciptaan transendensi dihadirkan pengarang untuk memulai
untuk berbicara kepada manusia. pencarian terhadap transendensi melalui
Kegelisahan Siddhartha terkait dengan chiffer-chiffer-Nya.
transendensi yang untuk sementara belum
ditemukan dalam dunia empiris. 3.2 Kehendak dan Faktisitas
Kegelisahan tokoh Siddhartha telah Tema penting yang lain dalam filsafat
diletakkan mulai bagian awal cerita eksistensi Karl Jaspers adalah faktisitas, yaitu
merupakan fenomena yang khas berpikir fakta kehidupan yang tak dapat ditolak oleh
secara filosofi. Bila agama formal dimulai eksistensi (Jaspers, 1985: 13). Kelahiran, jenis
dari keyakinan dan menjalankan semua kelamin, orang tua, lingkungan sosial, masa
aturan berdasarkan ketentuan yang ada tua dan muda, lemah dan kuat adalah fakta
secara dogmatis, filsafat justru memulai dari yang hadir di sekitar eksistensi. Terhadap
“kegelisahan” untuk menemukan situasi batas umum itu manusia tidak dapat
“kebenaran” berdasarkan pemikiran dan menolak, tetapi faktisitas itu tidak membeku
renungan. pada dirinya sendiri. Ada faktor lain yang
Aku sudah tidak percaya lagi pada berusaha menawar keberadaan faktisitas,
doktrin dan ajaran serta merasa lelah yaitu kehendak. Kehendaklah yang
akan hal itu, aku tidak percaya pada kata- nantinya akan menyikapi faktisitas apakah
kata yang diberikan oleh para guru. Tapi diterima atau ditolak. Penolakan terhadap
baiklah, temanku, aku ingin faktisitas akan menguji perjalanan eksistensi.
mendengarkan ajarannya, walaupun Siddhartha, seperti terlihat pada kutipan
dalam hati aku percaya bahwa kita telah dari halaman 16—17 di atas, berusaha
merasakan rasa terbaik dari buahnya menawar faktisitas. Sebelum bagian akhir,
(Hesse, 2007: 43). tokoh Siddhartha berada dalam proses
Tokoh Siddhartha telah dipersiapkan menawar dari kejadian satu ke kejadian
oleh pengarang untuk mengarungi dunia lainnya. Dia berusaha menemukan dan
pemikiran dan renungan dalam membaca chiffer-chiffer dalam bergaul
menemukan transendensi melalui dunia bersama alam dan manusianya. Fakta yang
empirik. Proses pengembaraan fisik yang dihadapi, yang bagi orang lain sangat
dilakukan oleh Siddhartha, jatuh bangun diidam-idamkan, seperti bertemu Sang
dalam menjalani kehidupan yang diwarnai Buddha misalnya, bagi Siddhartha tetap
penderitaan, adalah usaha sadar. Ada belum dapat meghadirkan kedamaian dan
keyakinan bahwa dia akan menemukan kebahagiaan dalam dirinya. Sejak

43
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 37—52

memutuskan untuk meninggalkan ayah dan “meraih tujuanku sendiri atau mati”.
ibunya sang tokoh utama terus berada Siddhartha tidak ingin menerima
dalam ketegangan faktisitas. kemapanan atau faktisitas. Menerima
Ketegangan memang merupakan faktisitas memunculkan kemapanan karena
bagian yang tak terpisahkan dalam diri semua diterima dengan lapang dada dan
manusia. Bersitegang antara faktisitas dan dinikmati sebagai proses akhir. Penerimaan
kehendak akan melahirkan tiga dengan menyerahkan diri sepenuhnya,
kemungkinan: menerima, menolak, atau seperti laku para brahmana, samana,
membiarkan apa adanya. Menerima bahkan Kamala yang sementara menikmati
faktisitas berarti menikmati kehadiran dirinya sebagai pelacur, menjadikan fakta
sebagai eksistensi. Kehendak dikendalikan membeku pada dirinya sendiri.
sepenuhnya untuk tidak (lagi) menawar Sebaliknya, kehendak yang menolak
seperti halnya sikap Govinda ketika bertemu faktisitas akan menggiring eksistensi untuk
dengan Sang Buddha. Govinda merasa terus bergerak menemukan pijakan baru.
sudah mapan dan menerima eksistensinya Seperti air yang menguap, berubah jadi
ketika mengikuti prosesi atas segala ajaran asap tipis, mendung, terus menebal, menjadi
Sang Buddha sebagai “pendatang baru” titik-titik air, tumpah menjadi hujan, kembali
(Hesse, 2007: 55). Sebaliknya, meski sudah jadi hamparan air, serta kemudian menguap
bertemu dengan Sang Agung Gotama, lagi. Pada satu tahap kehidupan adalah
Siddhartha tetap menjalankan kehendaknya fakta, tetapi ketika kehendak menolak maka
sendiri sebagai proses pencarian spiritual. fakta tersebut kembali berproses. Segalanya
Oh Sang Terhormat, engkau tidak akan seperti terus dalam proses menjadi (a con-
dapat mengungkapkan pada setiap orang tinuum of becoming). “Perjuangan untuk
mengenai kata-kata atau aturan-aturan menjadi eksistensi tidak pernah selesai”
mengenai apa yang terjadi ketika saat- (Hamersma, 1985: 16). Kelahiran
saat pencerahan datang padamu! Siddhartha dari keluarga brahmana yang
Sebagian besar ini ajaran pencerahan taat adalah fakta. Akan tetapi, tokoh ini
dari Sang Buddha, sebagian besar yang menolak fakta dan meninggalkan kedua or-
diajarakan di dalamnya adalah untuk ang tuanya untuk mengembara, menjadi
hidup jujur dan terhormat, menghindari samana, hidup dengan Kamala, menjadi
kesesatan. Tapi ada satu hal yang sangat pedagang bersama Kamaswami, menjadi
jelas dan sangat berharga yang tidak juru sampan dengan Vasudewa, adalah
tercantum dalam ajaran tersebut, ajaran bentuk penawaran kehendak atas faktisitas.
tersebut tidak berisi tentang misteri yang Ada ketidakpuasan dari berbagai faktisitas
dialami oleh Sang Agung itu sendiri, yang telah dilalui. Bahkan, Siddhartha justru
seorang diri di antara ratusan dari ribuan. ingin belajar kepada Kamala sang pelacur
Inilah pemahamanku dan kesadaranku itu, “Dan jika ini tidak mengganggumu, aku
ketika mendengar ajaran tersebut. Inilah ingin memintamu, Kamala, untuk menjadi
alasan mengapa aku akan melanjutkan teman dan guruku” (Hesse, 2007: 84). Tentu
pencarianku, bukan untuk mencari ajaran bukan belajar menjadi pelacur, melainkan
lain atau yang lebih baik, karena aku tahu belajar untuk menemukan eksistensi.
hal itu tidak ada, tetapi untuk Akibatnya, terjadilah konflik
meninggalkan semua ajaran dan semua berkepanjangan pada diri Siddhartha, ketika
guru serta untuk meraih tujuanku sendiri nilai-nilai normatif berusaha diluluhkan
atau mati.” (Hesse, 2007: 59—60). dalam pengembaraan spiritual. “Konflik
terus menerus, itulah pada dasarnya, pada
Sebagai subjek yang bertanggung jawab hakikatnya hidup kita” (Drijarkara, 1981:
pada dirinya sendiri, Siddhartha memilih 84). Konflik dengan diri sendiri, juga dengan
untuk menuruti kehendaknya daripada orang lain, akan melahirkan penderitaan
mengikuti ajaran Buddha Gotama. Dia ingin dalam berbagai bentuk, khususnya

44
M. SHOIM ANWAR: NOVEL SIDDHARTHA KARYA HERMANN HESSE: PENCARIAN CHIFFER-CHIFFER...

penderitaan batin. “Manusia adalah merupakan jalan yang bodoh, seseorang


makhluk yang oleh kodratnya harus harus menjauhkan dirinya sepanjang
menghadapi penderitaan (Hassan, 1985: jalan itu; mungkin itu lingkaran. Tapi
86). Itu pula yang terjadi di sepanjang biarlah dia apa adanya, aku akan
perjalanan hidup Siddhartha. Dalam mengikutinya” (Hesse, 2007: 143).
penderitaan manusia akan menemukan
Konflik spiritual yang dialami
dirinya sendiri.
Siddhartha dikelola dengan lebih
Sikap ketiga adalah membiarkan diri menceburkan diri dalam arusnya. Artinya,
apa adanya. Membiarkan diri ini bukan dia akan menjalani semua proses perjalanan
berarti menerima faktisitas secara lapang hidup apa adanya. Dia tidak putus asa
dada, melainkan ada keterpaksaan dalam karena semua dijalani secara lapang dada.
menerimanya. Ada faktor ketidakberdayaan Dia menuruti kehendak sebagai bentuk
karena kehendak tak mampu menggerakkan kebebasan subjek untuk menemukan
lagi. Ayah dan ibu Siddhartha ketika kebahagiaan abadi.
ditinggal pergi oleh putra tercintanya adalah
contohnya. Kedua orang tua ini tak dapat 3.3 Kebebasan Subjek
berbuat apa-apa sehingga dia menyerah dan
Dalam pandangan eksistensialisme
membiarkan kejadian apa adanya.
secara umum, manusia dilahirkan dalam
Siddhartha juga pernah mengalami nasib
keadaan bebas. Jaspers menegaskan bahwa
serupa, yakni ketika dia ditinggal pergi oleh
kebebasan itu sama dengan eksistensi, tidak
putranya. Siddhartha telah berusaha keras
ada eksistensi tanpa transendensi. Akan
untuk menyenangkan hati sang anak dengan
tetapi, manusia hanya bebas selama
berbagai cara, membiarkan sang anak
transendensi tersembunyi. Manusia tidak
berulah dan menghinanya, tetapi laki-laki
menciptakan dirinya, tetapi dia turut
kecil itu tetap melarikan diri. Siddhartha
menentukan nasibnya. Manusia itu
berusaha mencarinya, tetapi tetap tidak
menemukan dan sekaligus menentukan
ditemukan. Pada diri Siddhartha telah
dirinya. Manusia harus memilih karena dia
terjadi peristiwa masokhisme, membiarkan
tidak tahu, dan dia dapat memilih karena
dirinya dikuasai secara mutlak oleh orang
ada transendensi (Hamersma, 1985: 57).
lain, bahkan dijadikan objek oleh anaknya.
Dalam hal membaca chiffer-chiffer
Dalam kajian filsafat, seperti ditegaskan
transendensi juga demikian. Chiffer-chiffer
Erich Fromm, perkara masokhisme adalah
yang ditulis oleh transendensi itu pun
tindak sadisme (Kleden, 1993: 27).
ditentukan maknanya oleh eksistensi
Ketidakberdayaan Siddhartha menghadapi
manusia. Artinya, sebagai subjek manusia
sang anak akhirnya membiarkan peristiwa
diberi kebebasan untuk membaca dan
terjadi apa adanya.
menentukan makna chiffer-chiffer tersebut.
Ada sisi yang unik pada diri Siddhartha. Inilah yang membedakan manusia dengan
Di satu sisi dia menolak faktisitas, tetapi di makhluk lainnya. Manusia diberi
sisi yang lain dia membiarkan dirinya seperangkat akal pikiran, juga nafsu
dikuasai oleh kekuatan lain yang terus tentunya. Akal inilah yang membuat
menggelindingkan dirinya. Berbagai jalan manusia mampu memikirkan berbagai
hidup yang dilalui kerap diterima apa persoalan hidup, termasuk keberadaan
adanya. transendensi melalui chiffer-chiffer-Nya.
“Hidup sungguh-sungguh aneh,” Perspektif ini pula yang terjadi pada
pikirnya. “Aku harus menjadi seorang sebagian besar diri Siddhartha. Dia ingin
bodoh untuk menemukan Atman di menemukan dan menentukan makna
dalam diriku kembali. Aku harus berdosa eksistensinya. Dia tidak mau menundukkan
agar dapat hidup kembali. Ke mana dirinya pada orang lain, termasuk kepada
kiranya jalan menuntunku sekarang? Ini kedua orang tuanya, kepada para brahmin,

45
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 37—52

bahkan kepada Sang Buddha pun dia tidak menyerap dan merenungi segala
ingin bergabung, melainkan memilih jalan pengalaman hidup untuk kemudian
sendiri. Siddhartha memang menaruh disimpulkan sendiri oleh Siddharta. “Di sini,
hormat secara penuh kepada mereka, bersama Kamala, terbentang nilai dan arti
bahkan sudah pernah mengikuti berbagai kehidupannya kini” (Hesse, 2007: 102).
ritual sejak dari keluarganya. Untuk Untuk memenuhi permintaan Kamala,
menegakkan posisinya sebagai subjek Siddhartha juga bergabung dengan
Siddhartha tidak menunjukkan perlawanan Kamaswami untuk menggeluti dunia bisnis.
fisik. Dengan penuh kelembutan dan adab Hubungan dengan Kamala dan
yang tinggi, Siddhartha membangun Kamaswami terjadi secara bergantian.
eksistensinya dengan lembut tetapi tegas. Siddhartha pun hidup bergelimang dengan
Ketika sang ayah melarang Siddhartha kesenangan dan nafsu duniawi. Akan
untuk jadi samana, kediriannya diwujudkan tetapi, karena menempatkan diri sebagai
dalam bentuk berdiri hingga malam, subjek, Siddhartha tidak larut secara
semacam perlawanan tersembunyi. Dia berkepanjangan. Dia merasakan kebodohan
ingin menentukan arah hidupnya sendiri. telah menyelimuti dirinya. Secara sadar dia
Berbagai pertanyaan tentang hakikat pun meninggalkan seluruh kehidupan
eksistensi menyeruak dalam diri Siddhartha tersebut. Dilepaskannya pakaian
dari awal hingga menjelang akhir cerita. Dia kemewahan dan berganti dengan jubah tua
bertanya tentang upacara, air penyucian, dan bergabung dengan Vasudeva untuk
korban, dewa, Prajapati, Sang Atman, menjadi pendayung sampan. Ada
keabadian, pengetahuan, kebahagiaan, kesadaran terhadap transendensi yang
kitab-kitab yang berisi ayat-ayat atau chiffer- menyeruak dalam dirinya. Eksistensinya
chiffer, dan berbagai hakikat eksistensi dan ditegakkan.
transendensi. Kemerdekaan dalam Itulah sebabnya mengapa ia harus
menjalankan diri sebagai subjek diemban mengalami tahun-tahun yang buruk ini,
secara penuh oleh Siddhartha, bukan hanya mengalami perubahan, kekosongan,
dalam tataran pemikiran dan perenungan, kehidupan yang tidak bermakna dan
melainkan sampai pada taraf laku, seperti sunyi hingga akhir, hingga ke titik
ikut bersemedi bersama para samana di keputusasaan yang pahit, hingga
hutan dan hanya mengenakan cawat dan Siddhartha si hedonis, Siddhartha si
selendang. Sehari dia hanya makan sekali, rakus dapat mati. Dia telah mati dan
wajahnya yang tampan dan memikat seorang Siddhartha baru terbangun dari
berubah jadi tirus, matanya cekung, kuku tidur. Dia juga akan menua dan harus
panjang, dagunya berjenggot, kaku dan mati. Siddhartha tidak abadi, setiap
kotor, hingga berjalan ke desa-desa benda berwujud tidak abadi. Tapi
memohon makanan untuk diri dan sekarang dia muda, seorang anak-anak,
gurunya. sang Siddhartha baru, dan dia penuh
Dalam menegakkan posisinya sebagai dengan kebahagiaan (Hesse, 2007: 148).
subjek, pengembaraan Siddhartha
Pengembaraan hidup Siddhartha
melampaui banyak hal. Ketika norma
adalah pencarian. Dia berangkat dari
umum tidak memperkenankan bergaul
sebuah titik kehidupan dan berjalan mencari
secara intim dengan pelacur, Siddhartha
hakikat kebenaran yang diyakini. Titik
justru hidup bersama dengannya, “menjadi
kehidupan yang pernah dipijaknya
muridnya, kekasih, dan temannya” hingga
dipertanyakan kembali dalam renungan
memiliki seorang anak. Hal tersebut
filosofi. Dia menjauh dari lingkaran doktrin.
dilakukan secara sadar. Akan tetapi,
Berbagai dalil kebenaran dicoba untuk
menjadi murid yang dimaksud bukan dalam
dibongkar. Perenungan dan pemikiran
proses seperti bersekolah, melainkan
disuburkan untuk mencari jawaban

46
M. SHOIM ANWAR: NOVEL SIDDHARTHA KARYA HERMANN HESSE: PENCARIAN CHIFFER-CHIFFER...

berbagai pertanyaan. Keputusan-keputusan cenderung tak terbatas karena dia berada


sementara yang diambil kadang di posisi eksentris. Sementara kemampuan
mengejutkan. Bagaimana mungkin, manusia untuk mencapai keinginan itu
Siddhartha yang anak seorang brahmin dan sangat terbatas. Yang terjadi selanjutnya
sudah ditempa dalam aturan dan doktrin adalah ketidakseimbangan antara fakta dan
tiba-tiba menggelandang dan menjadikan kehendak. Kegagalan demi kegagalan itulah
pelacur sebagai guru. Perjalanan hidupnya yang menyebabkan manusia mengalami
bukan linier, melainkan penuh tikungan dan penderitaan. Penderitaan ini dapat
kejutan. “Aku sudah tidak percaya lagi disebabkan oleh banyak hal, tidak hanya
pada doktrin dan ajaran serta merasa berkaitan dengan pemenuhan keinginan,
merasa lelah akan hal itu—aku tidak tetapi juga terjadi karena relasi dengan pihak
percaya pada kata-kata yang diberikan lain. Pertentangan, keterasingan, kesia-siaan
oleh para guru” (Hesse, 2007: 43). Inilah adalah beberapa contoh lain yang
pendekatan filsafat. Kebebasan eksistensi menyebabkan penderitaan. Meski begitu,
sebagai subjek terus berproses. “Aku akan “dalam penderitaan, manusia lebih mudah
belajar dari diriku sendiri, menjadi murid menjadi dirinya sendiri daripada dalam
bagi diriku, Aku akan belajar tentang diriku, keberuntungan. Manusia yang selalu
tentang misteri dari Siddhartha” (Hesse, beruntung cenderung menjadi dangkal”
2007: 66). (Hamersma, 1985: 15).
Sebagai subjek, yang menjadi ciri khas Penderitaan juga menjadi akar dari
hakikat manusia adalah berada pada posisi Buddhisme. Dalam perjalananya,
eksentris, artinya manusia memiliki Siddhartha berjumpa Buddhsemadia
kemampuan untuk berada di luar pusat Gotama dan sempat mendengarkan
guna melihat dirinya sendiri secara lebih wejangannya seperti tampak pada kutipan
jelas (Plessner dalam Piedade, 1986: 368). berikut.
Dengan kata lain, manusia masuk dalam Gotama mengajarkan penderitaan,
relasi dengan dirinya sendiri. Berbeda sumber penderitaan, dan langkah-
dengan binatang yang memiliki pusat langkah menghadapi penderitaan.
sebagai organisme melulu dalam Khotbahnya mengalir tenang dan jelas.
lingkungan alamiahnya, manusia tidak Hidup adalah penderitaan, dunia
memiliki suatu titik tengah di kosmos, dipenuhi penderitaan, tapi kebebasan
sehingga terus menerus mengalami dari penderitaan telah ditemukan. Barang
ketidaknyamanan dan mendorong manusia siapa mengikuti langkah Buddha akan
untuk mencapai keinginan yang lebih tinggi. meraih kebebasan (Hesse, 2007: 52).
Pusat manusia masih terus menerus dalam
proses refleksi. Eksentrik membuat manusia Buddhisme, bagi Siddhartha, adalah
masuk ke kancah sejarah, di dalamnya doktrin. Sementara dia menolak segala
manusia menciptakan dirinya sendiri. Itu macam doktrin, tetapi Siddhartha tidak
membencinya. Kearifan telah ditegakkan
pula yang terjadi pada diri Siddhartha.
pada dirinya. Perbedaan dianggap makin
3.4 Penderitaan Manusia memperkaya pengalaman batin dalam
rangka menemukan jiwa dirinya sendiri.
Penderitaan merupakan tema penting Siddhartha tetap pada sikapnya semula,
dalam eksistensialisme. Eksistensi manusia maka penderitaan itu akan terus berproses.
yang berkehendak untuk mengubah Sang Buddha telah merampasku, pikir
faktisitas tidak selamanya berjalan sesuai Siddhartha, dia telah merampasku, tetapi
dengan yang diinginkan. Karena das sein dia memberiku lebih. Dia merampas
manusia pada dasarnya tidak pernah temanku, yang dulunya percaya padaku
lengkap, kegagalan akan sering mewarnai dan sekarang percaya padanya, yang
sepak terjang manusia. Keinginan manusia dahulunya merupakan bayanganku dan

47
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 37—52

sekarang menjadi bayangan Gotama. tetapi memiliki implikasi simbolis yang


Tapi dia memberiku Siddhartha, dia mewakili gambaran manusia-manusia
memberikan padaku, jiwaku (Hesse, 2007: dengan karakter tertentu. Tokoh Siddhartha
62). dalam novel dengan demikian tidak hanya
menyangkut tokoh itu sendiri, tetapi
Meskipun Siddhartha menolak doktrin
merupakan simbol yang menggambarkan
Buddhisme, laku yang ditempuh untuk
mencari jawaban dari penderitaan batin prototipe manusia secara umum dengan
ternyata masih memiliki kesamaan dengan karakter seperti itu.
cara-cara Buddhisme, seperti bersemadi dan Manusia yang dikisahkan dalam novel
mengenakan cawat. Artinya, Siddhartha tentu saja menyangkut aspek material dan
mengadopsi semangat penderitaan aspek spiritual. Keduanya merupakan
Buddhisme, tetapi dilakukan bukan dalam kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
rangka doktrin. Siddhartha ingin mengelola Meskipun begitu, pengarang dapat memberi
penderitaan itu dengan caranya sendiri. Dia tekanan tematis dari salah satu aspek yang
memilih penderitaan untuk membebaskan diinginkan. Dengan mencermati kisah
diri dari ketidakpuasan batin. secara utuh, tampak bahwa novel
Siddhartha lebih menekankan aspek spiritual
Tema penderitaan begitu kuat dalam
tokohnya. Tokoh Siddhartha adalah simbol
Siddhartha. Perjalanan hidup Siddhartha
perjalanan spiritual manusia yang ingin
adalah rekaman penderitaan yang luar
biasa. Akan tetapi, penderitaan yang menemukan hakikat transendensi dalam
dialaminya bukan semata-mata musibah eksistensi.
atau celaka, melainkan konsekuensi dari Sebagaimana telah diuraikan pada
pilihan hidup yang diambilnya. Siddhartha bagian-bagian di atas, motif spiritual yang
telah memilih keluar dari kemapanan sta- diemban oleh para tokoh novel ini sudah
tus sosial. Dia selalu merasa tidak puas. sangat jelas. Pencarian spiritual tersebut
Kegelisahan ini akan terus berulang sebagai mulai membuka jawaban terhadap chiffer-
motif atau obsesi sang tokoh. Kesenangan chiffer transendensi. Dalam dialog antara
yang dilakukan bersama Kamala dan Govinda, Siddhartha, dan juru sampan
Kamaswami hanya bersifat sementara. chiffer transendensi tersebut kembali
Kesenangan itu akhirnya ditinggalkan pula. dimunculkan, “Aku mencintai sungai ini
Riak-riak kesenangan yang dialami oleh lebih dari apa pun. Aku sering
Siddhartha adalah model kontradiktif yang mendengarkan ucapannya, sering
justru berfungsi untuk menguatkan hakikat menatapnya, dan aku selalu belajar darinya.
hidup yang kembali pada penderitaan. Seseorang dapat belajar banyak hal dari
Pengembaraan tokoh utama ini dari awal sebuah sungai” (Hesse, 2007: 76). Sungai
hingga akhir tidak lain merupakan rentetan diangkat sebagai chiffer transendensi untuk
penderitaan. Konsep penderitaan ini pula menuju titik kesadaran Siddhartha. Secara
yang sangat populer dalam kajian khusus bagian penyadaran ini terjadi saat
eksistensialisme, termasuk di dalamnya Siddhartha bergabung dengan si juru sam-
kesendirian, kegagalan, kesia-siaan, pan bernama Vasudeva pada bagian akhir
kesepian, dan berbagai bentuk lainnya. cerita. Berawal dari sungai, chiffer-chiffer
transendensi itu diperluas ke hal-hal lain
3.5 Menuju Transendensi seperti ikan, burung, mata air, suara-suara,
pohon, hujan, musik, batu, dan semua isi
Novel adalah sarana ekspresi pengarang alam dapat dijadikan bahan renungan.
tentang sepak terjang kehidupan manusia. Sungai ibarat perjalanan hidup yang di
Manusia yang dihadirkan dalam novel dalamnya terkandung berbagai sisi
adalah manusia simbolis yang mewakili kehidupan. Sungai memang tidak bermakna
karakter tertentu. Tokoh manusia itu tidak apa-apa ketika dilihat sebagai material,
hanya menggambarkan dirinya sendiri, tetapi sungai diperlakukan sebagai cermin

48
M. SHOIM ANWAR: NOVEL SIDDHARTHA KARYA HERMANN HESSE: PENCARIAN CHIFFER-CHIFFER...

bayangan transendensi. Aliran, kejernihan, Bukan suatu kebetulan jika cerita


suara yang dimunculkan, serta asal-usul diakhiri dengan perenungan tokoh-
datang dan perginya air dapat dikaitkan tokohnya di tepi sungai. Siddhartha dan
dengan konsep waktu. Siddhartha Vasudeva menjadi juru sampan adalah
menguraikan hal itu lewat pengalamannya simbol pengabdian pada kehidupan yang
berguru kepada orang suci. mengalir, semua dijalani dengan ikhlas dan
Dia mengetahui kalau suara sungai bahagia. Cinta merupakan kunci dalam
berbicara padanya. Dia belajar darinya. menjalani semua itu.”Satu-satunya hal
Kalau suara sungai itu mengasuh dan penting bagiku adalah kemampuan
mendidiknya. Baginya sungai adalah mencintai dunia, tanpa memandang
Tuhan. Selama bertahun-tahun dia tidak rendah, tanpa membencinya”. Di sini
tahu kalau setiap angin, awan, burung, manusia akan merasakan kedekatan
atau kumbang sama suci dan dengan transendensi, apa pun istilahnya,
mengetahuinya dan dapat mengajarkan termasuk konsep Om atau kesempurnaan
sama banyaknya seperti sungai yang dalam Buddhisme.
berharga ini. Namun seiring waktu, saat Chiffer-chiffer transendensi ternyata tidak
manusia suci ini masuk hutan, dia harus dicari dalam jarak yang jauh, tetapi
mengetahui segalanya, mengetahui lebih semuanya itu ada di dekat manusia, di mana
banyak dibanding aku dan kamu – tanpa saja berada, dan Siddhartha menemukan
seorang guru, tanpa kitab, hanya karena itu pada wajah sungai. Pengembaraannya
ia percaya pada sungai (Hesse, 2007: 213) yang jauh adalah bagian dari proses
kehidupan untuk menemukannya. Cerita
Alam, sebagai simbol kebesaran
dibuka dengan menampilkan tokoh
transendensi, adalah wahana tempat
manusia berkaca. Alam adalah guru Siddhartha di tepi sungai. Di tepi sungai pula
sehingga “suara sungai berbicara padanya”. tokoh utama ini menemukan pencariannya
pada akhir cerita. Siddhartha ibaratnya
Tentu pernyataan itu menyiratkan adanya
tidak ke mana, dia menjalani serangkaian
dialog batin sang tokoh. Tokoh yang matang
penderitaan dan pergi ke tempat yang jauh
secara spiritual yang mampu melakukan
pada hakikatnya adalah untuk menemukan
dialog dengan alam, “tanpa seorang guru,
tanpa kitab”. Bukan alam yang tampak dirinya sendiri sebagai subjek. Chiffer
secara fisik saja yang menjadi mitra dan transendensi juga ada pada diri manusia itu
sumber perenungan, melainkan lebih dari sendiri.
itu, ada yang lebih agung di balik wujud
alam yang kasat mata. 4. SIMPULAN
Air sungai yang mengalir, seperti pernah
Novel Siddhartha karya Hermann Hesse
dikatakan oleh Heraclitos, adalah phanta
mengangkat tema kegelisahan spiritualitas
rhei, adalah kehidupan yang berjalan.
tokoh utama, Siddhartha, dalam mencari
Sungai yang mengalir dari hulu hingga hilir
kebahagiaan abadi. Meskipun diwarnai
mengangkut berbagai hal, berganti dari
ajaran Buddha, tokoh utama tidak
waktu ke waktu. Kehidupan yang mengalir
menerima dogma-dogma Buddhisme karena
juga demikian. Berbagai peristiwa silih
dianggap tidak mampu menciptakan
berganti dihadapi oleh manusia. “Wajah
kepuasan dan kedamaian batin. Pencarian
sungai yang sedang mengalir, ratusan,
spiritualitas secara personal dilakukan
ribuan, yang semuanya datang dan pergi,
untuk menemukan dimensi baru dari hakikat
tetapi semuanya kelihatannya sekaligus ada
kebahagiaan dan ketenangan batin. Dengan
di sana, yang semuanya berubah secara
kegelisahan itulah tokoh bergerak dalam
tetap dan menjadi sebuah wajah baru,
pencarian secara filosofis terhadap
namun semuanya masih tetap Siddhartha”
kebesaran tansedensi.
(Hesse, 2007: 218).

49
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 37—52

Terhadap faktisitas yang kehadirannya perjalanan hidup yang dipilih dan ditempuh
seakan tak dapat ditolak, berdasarkan secara sadar tetap mencerminkan
pemikiran dan renungan, tokoh Siddhartha penderitaan. Penderitaan merupakan
berusaha keras untuk menawar kenyataan konsekuensi dari jalan hidupnya sebagai
dan ingin mengubahnya sesuai peran subjek yang bebas dalam menentukan dan
kehendak. Situasi batas dicoba diurai secara mengelola hidup. Dari penderitaan itulah
mandiri dalam meramu kehidupan. Dia sang tokoh menemukan jalan untuk
tidak menjadikan dirinya sebagai subjek membebaskan diri dari ketidakpuasan batin.
yang mapan, tetapi memilih pencarian Dunia materi yang dimiliki telah
dalam penderitaan untuk menemukan ditinggalkan karena ketenangan dan
kedamaian hati melalui chiffer-chiffer kebahagiaan yang hakiki tidak ditentukan
tansendensi. Jatuh bangun dan penderitaan oleh kepemilikan materi.
yang dialami adalah usaha untuk menolak Chiffer-chiffer transendensi ditemukan
faktisitas agar tidak membeku pada dirinya oleh tokoh utama melalui sungai yang
sendiri. mengalir. Sungai mengalir melambangkan
Kebebasan untuk menentukan dan perjalanan hidup yang mengangkut
menjadikan diri sebagai subjek yang utuh banyak sisi kehidupan. Dari sungai sang
telah ditempuh oleh Siddhartha sebagai tokoh belajar banyak hal dan memperluas
tokoh utama. Dia menolak dogma dan simbol sungai ke alam dengan segala isinya.
menjalani hidup sesuai naluri dan Wajah sungai yang hidup adalah cerminan
pandangannya dalam menemukan chiffer- transendensi. Cerita dibuka dengan tokoh
chiffer transendensi. Sang tokoh utama berada di tepi sungai dan diakhiri di
mengendalikan pikiran dan perilakunya tepi sungai pula, ada yang lama dan
secara filosofis, bukan dogmatis. Tokoh sekaligus ada yang baru sebagai simbol
menghayati dirinya seperti air yang Siddhartha yang tetap menjadi subjek bagi
mengalir. Dari perjalanan itulah ditemukan dirinya sendiri.
kejernihan hidup dengan berkaca pada alam
sebagai simbol kebesaran transendensi.
Meski tokoh Siddhartha menolak
Buddhisme terkait konsep penderitaan,

5. DAFTAR PUSTAKA
Anwar, M. Shoim. 2012. Representasi Korupsi dalam Novel Indonesia: Perspektif Kajian Budaya
(Disertasi). Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Anwar, M. Shoim. 2015. Sastra yang Menuntut Perubahan. Lamongan: Pustaka Ilalang.
Barker, Chris.2009. Cultural Studies (Penerjemah Nurhadi ). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Bertens, K. 2001. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa-Departemen Pendidikan Nasional.
Drijarkara, S.J. 1981. Percikan Filsafat. Jakarta: PT Pembangunan.
Hamersma, Harry. 1985. Filsafat Eksistensialisme Karl Jaspers. Jakarta: Gramedia.
Hassan, Fuad.1985. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hesse, Hermann. 2007. Siddhartha (Penerjemah Sovia V.P.) Yogyakarta: Jejak.
Hogan, Patrick Colm. 2000. Philosophical Approaches to the Study of Literature. Gainesville: Univer-
sity Press of Florida.

50
M. SHOIM ANWAR: NOVEL SIDDHARTHA KARYA HERMANN HESSE: PENCARIAN CHIFFER-CHIFFER...

Kleden, Iknas. 1981. “Intersubyektivitas Sebagai Gejala Kebudayaan?” dalam Tifa Budaya Sebuah
Bunga Rampai (Penyunting Kasijanto dan Sapardi Djoko Damono). Jakarta: Leppenas.
Krippendorff, Klaus. 1993. Analisis Isi, Pengantar Teori dan Metodologi
(Penerjemah Farid Wajidi). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Luxemburg, Jan van., Mieke Bal., Willem G.Weststeijn. 1986. Pengantar Ilmu Sastra (Penerjemah
Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia.
Skilleas, Ole Martin. 2001. Philosophy and Literature, An Introduction.
Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd.
Piedade, Joao Inocencio. 1986. “Problematika Manusia dalam Antropologi Filsafat” dalam Basis, Oktober-
1986-XXXV-10.
Poedjawijatna. 1986. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: PT Bina
Aksara.
Widyadharma, Pandita S. 1981. Riwayat Hidup Buddha Gotama. Tangerang: Perkumpulan
Padumuttara.
Wellek, Rene dan Austen Warren. 1990. Teori Kesusastraan (Penerjemah Melani Budianta). Jakarta:
Gramedia.

51
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 37—52

52

Anda mungkin juga menyukai