M. Shoim Anwar
Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, Jalan Ngagel Dadi III-B/37 Surabaya,
Telepon 031-8281181, 081330504032, Pos-el: shoimanwar@yahoo.com,
Naskah masuk: 15 Maret 2016, disetujui: 9 April 2016, revisi akhir: 1 Juli 2016
Abstrak: Setelah Perang Dunia I, manusia modern mengalami kegelisahan spiritual. Novel Siddhartha
karya Hermann Hesse merepresentasikan kegelisahan manusia modern tersebut dalam menemukan
kebahagiaan. Fokus permasalahan dan tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan usaha manusia
dalam menemukan kebahagiaan abadi dalam kerangka filosofis. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Sumber data adalah teks novel yang dianalisis secara interaktif-dialogis, dengan menggunakan
eksistensialisme sebagai basis teori. Tampak pada hasil penelitian bahwa dogma agama yang secara
formal telah dipelajari, bahkan dilakukan, dirasakan oleh tokoh utama Siddhartha belum mampu memberi
kepuasan dan kedamaian batin. Tokoh utama, sebagai subjek yang bebas atas dirinya sendiri, dari perspektif
eksistensialisme, berusaha keras untuk menawar kenyataan dan ingin mengubahnya sesuai dengan peran
kehendak. Pencarian spiritualitas secara personal dilakukan sang tokoh untuk menemukan dimensi baru
dari hakikat kehidupan. Alam dengan segenap isinya menjadi bagian penting dalam menemukan chiffer-
chiffer atau tanda-tanda kebesaran transendensi.
Kata kunci: novel, eksistensialisme, chiffer, transendensi
Abstract: After World War I, modern men experienced spiritual restlessness. Hermann Hesse’s
Siddhartha represents the restlessness of finding happiness. The focus and purpose of this study is
to describe the man’s efforts to find lasting happiness in a philosophical framework. This study
uses a qualitative approach. The data source for the study is the text of the novel, which is
analyzed in the interactive-dialogue by applying the theory of existentialism as a base theory. This
result of the research indicates that religious dogma that has been formally studied, even
practised, is unable to give satisfaction and inner peace for Siddhartha as the main character.
The main character, as a free subject of himself, from the perspective of existentialism, tried hard
to bid a reality and wanted to change it in accordance with the role of the will. The search for
spirituality is personally conducted by the main character to find a new dimension of the nature of
life. Nature, with all its contents, becomes an important part of finding chiffers or signs of great
transcendence.
Key words: novel, existentialism, chiffer, transcendence
1. PENDAHULUAN
Sebagai produk budaya, karya praktik budaya masa lampau, teraktualisasi
sastra merupakan teks yang tidak dapat untuk masa kini, serta menawarkan inspirasi
dilepaskan dari praktik kehidupan untuk masa mendatang. Aspek waktu dan
berbudaya. Karya sastra menyuguhkan situasi menempatkan karya sastra sebagai
wacana sejarah kehidupan, terilhami produk budaya yang mengikuti dan memiliki
37
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 37—52
38
M. SHOIM ANWAR: NOVEL SIDDHARTHA KARYA HERMANN HESSE: PENCARIAN CHIFFER-CHIFFER...
sebagai sarana ekspresi estetis bagi berasal dari renungan flosofi juga memiliki
pengarang, pemikiran, ideologi, serta kekuatan yang relatif mapan dari zaman ke
renungan spiritualitas yang zaman. Adanya pencarian terhadap
dikomunikasikan kepada pembaca. Dari sisi spiritualitas Timur yang dilakukan oleh or-
sosiologi pengarang semasa hidupnya, novel ang-orang Barat sehingga mereka nglakoni
ini memiliki kedudukan penting sebagai (melakukan aktivitas spiritual tertentu
simbol atau representasi kekeringan sesuai keyakinan batin) menunjukkan
spiritualitas yang melanda dunia Barat sejak bahwa nilai-nilai spiritualitas dapat berlaku
Perang Dunia Pertama. Pengarang secara umum, tanpa berorientasi pada
kelahiran Jerman (1877), yang kemudian agama tertentu.
pindah ke Swiss, menyaksikan dan Penelitian ini berangkat dari masalah
mengalami secara langsung gejolak kekeringan spiritualitas yang dialami tokoh
peperangan yang memakan banyak korban. utama dalam novel Siddhartha karya
Perang merupakan puncak kekeringan Hermann Hesse. Pertanyaannya adalah
spiritualitas manusia. Perang adalah bagaimana latar belakang kekeringan
penyakit spiritual sehingga dari sanalah spiritualitas dan jalan apa yang ditempuh
manusia menginginkan adanya untuk mencari kebahagiaan abadi secara
kebahagiaan abadi. filosofis. Berangkat dari permasalahan
Teks novel Siddhartha mencerminkan tersebut, penelitian ini akan
adanya kegelisahan spiritualitas tokoh mendeskripsikan aspek-aspek spiritualitas
utamanya. Dogma Buddhisme yang telah tokoh terkait kegelisahan menemukan
mapan berusaha dibongkar melalui transendensi, kehendak dan faktisitas,
renungan dan perjalanan spiritualitas sang kebebasan subjek, penderitaan manusia, dan
tokoh. Karena tidak bertolak dari dogma menuju transendensi.
agama secara formal, renungan spiritualitas Berdasarkan studi awal, pada konteks
itu bersentuhan dengan usaha untuk spiritualitas eksistensialisme yang
menemukan “sesuatu” sebagai akar filosofi dikembangkan Karl Jaspers, konsep chiffer
kehidupan yang membahagiakan. menjadi relevan untuk diterapkan dalam
Dari sisi tema dan filosofi, novel mengaji fenomena filosofis dalam novel
Siddhartha memiliki muatan universal. Siddhartha (Anwar, 2015: 39). Pencarian
Permasalahan spiritual dapat dialami tokoh utama untuk menemukan
manusia di mana saja dan kapan saja. kebahagiaan abadi beserta kegelisahan
Spiritualitas dapat melintasi batas geografi membuat tokoh memilih hidup menjauh
dan waktu. Bahkan, seiring dengan dari kesenangan duniawi. Cinta kedua
perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, orangtua serta guru-guru spiritual dengan
teknologi, dan seni, spiritualitas menjadi ajaran kebijaksanaannya dirasa tidak
semakin aktual karena menemukan mampu memberi kebahagiaan. Jatuh
relevansi. Kekeringan spiritualitas yang bangun dalam pengembaraan spiritualitas,
dibarengi dengan kegelisahan manusia ketika alam dan kehidupan dijadikan guru,
modern untuk menemukan kebahagiaan menjadi jalan hidup tokoh dalam
yang hakiki semakin terasa dari waktu ke menemukan chiffer atau tanda-tanda
waktu. kebesaran transendesi.
Sebagai nilai universal, spiritualitas dari Eksistensialisme adalah aliran filsafat
sisi filosofi dapat berkembang. Akan tetapi, yang berkembang setelah perang Dunia
dan ini yang sering terjadi, akar filosofi Pertama. Aliran filsafat tersebut merupakan
spiritualitas umumnya sudah ditemukan reaksi atas kekejaman das sein manusia
sejak masa lampau. Spiritualitas terkait dalam meraih kehendak meski harus
dengan agama formal sudah dinyatakan dilakukan dengan cara berperang.
“baku” karena dogmanya berkekuatan Akibatnya, hubungan antarmanusia
hukum tetap. Sementara spiritualitas yang menjadi demikian rawan karena orang lain
39
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 37—52
dianggap sebagai musuh yang saling sehingga data yang bersifat simbolis menjadi
mengobjekkan. Sartre menyatakan bahwa informatif.
hubungan subjek-objek itu adalah “relasi-
relasi intersubjektif tidak ada kemungkinan 2. METODE PENELITIAN
lain. Semua relasi antarmanusiawi
beralaskan suatu konflik: atau dengan terus Garis pemisah antara filsafat dan sastra
terang atau dalam bentuk kompromi” secara umum ditunjukkan bahwa para
(Bertens, 2001: 102). Di bagian lain Sartre pelaku dan situasi dalam karya sastra
menyatakan bahwa “orang lain itu adalah bersifat fiktif, sedangkan filsafat adalah
neraka”(Koeswara, 1987: 16). Hubungan prosa yang lugas. Akan tetapi, sejak awal
antarmanusia di satu sisi dianggap sebagai perkembangannya, dialog-dialog yang
kebersamaan, tapi di sisi lain dianggap dilakukan oleh Plato, khususnya dalam dia-
sebagai rival yang saling menjatuhkan. log Phaedrus, antara yang fiktif dan lugas
Dualisme pemikiran itulah yang (nyata) itu saling mengisi. Bahkan, mulai
menyebabkan eksistensialisme abad ke-20, banyak filsuf menuangkan
menempatkan manusia sebagai subjek yang gagasannya melalui karya sastra.
harus bertanggung jawab pada dirinya “Pengarang, tersirat atau tersurat, dapat
sendiri. Ketika hubungan antarmanusia memiliki sikap terhadap apa yang
menjadi rawan, aspek spiritualitas menjadi diwakilinya, atau dapat menuliskannya
jawaban untuk menyeimbangkan dengan maksud mengemukakan
kehidupan. Pada kondisi inilah pandangan-pandangan atas pertanyaan
eksistensialisme mengembangkan konsep yang juga dibahas dalam filsafat” (Skilleas,
chiffer sebagai pengakuhan atas kebesaran 2001: 3—7).
transendensi. Karya sastra merupakan konstruksi
Penelitian bidang ilmu sastra ini yang rumit dan memerlukan perhatian
menggunakan pendekatan kualitatif dengan saksama. Sulit untuk mengajukan jawaban
model deskriptif. Meski terkait dengan tunggal terhadap pertanyaan bagaimana
filsafat, penelitian ini bukan dalam konteks sastra dapat memberi sumbangan terhadap
sastra bandingan, melainkan kajian teks pemahaman masalah-masalah penting yang
sastra dengan memanfaatkan filsafat sebagai filosofis, melainkan menuntut jawaban yang
basis teori untuk menganalisis isinya. bersifat plural. Sastra seharusnya
Sumber data utama penelitian adalah novel menggerakkan cara berpikir kita karena
Siddhartha karya Hermann Hesse, sastra juga memiliki kepedulian terhadap
diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa permasalahan fundamental manusia
Indonesia oleh Sovia V.P., diterbitkan oleh (Skilleas, 2001: 147).
Penerbit Jejak, Yogyakarta, tahun 2007 Buku Theory of Literature yang ditulis
(cetakan ke-4). Data dikumpulkan secara oleh Rene Wellek dan Austin Warren yang
dokumentatif dari sumber-sumber pustaka. edisi pertamanya terbit 1948, pada bagian
Teknik analisis data dilakukan secara ketiga juga membahas hubungan antara
interaktif-dialogis dengan ciri kerangka kerja sastra dan filsafat. Sastra dan filsafat adalah
analisis isi seperti yang disampaikan oleh dunia pemikiran. Bahkan, filsafat dan
Krippendorff (1993: 23—26), yaitu peneliti pemikiran dalam konteks tertentu
berusaha menembus data yang bersifat menambah nilai artistik karya sastra karena
permukaan secara satu arah, konteks yang mendukung beberapa nilai artistik penting,
berhubungan dengan data dieksplisitkan, seperti kompleksitas dan koherensi.
peneliti menentukan konstruksi konteks Pemikiran teoretis dapat memperdalam
untuk menarik inferensi, target atau tujuan jangkauan sastrawan (Wellek, 1990: 152;
dinyatakan secara jelas, peneliti menarik Darma, 2004: 40 ).
inferensi dari data kepada aspek-aspek Aliran filsafat yang menonjol terkait
tertentu dari konteksnya dan menjustifikasi karya sastra sejak abad ke-20 adalah
40
M. SHOIM ANWAR: NOVEL SIDDHARTHA KARYA HERMANN HESSE: PENCARIAN CHIFFER-CHIFFER...
41
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 37—52
42
M. SHOIM ANWAR: NOVEL SIDDHARTHA KARYA HERMANN HESSE: PENCARIAN CHIFFER-CHIFFER...
seakan-akan mendekati dunia itu dari luar. sesuatu yang dicari. Meski dalam perjalanan
Dunia itu adalah “yang lain dari kita”, dia bisa menemukan kebahagiaan fisik
disimbolkan dengan kehadiran ayah, ibu, karena nikmat benda dunia, Siddhartha
teman, dan guru-guru yang tidak mampu segera meninggalkan itu semua. Untuk
memberinya “kebahagiaan abadi”. sementara dia menghayati perjalanan hidup
Selain welt, “dunia” empiris, pada sebagai suatu proses. Yang ingin ditemukan
dimensi lain dalam kehidupan terdapat bukanlah dunia nyata, melainkan apa yang
transendensi (tranzendenz), yaitu “Yang ada di balik semua itu sehingga ditemukan
Melingkupi segala sesuatu Yang kebahagiaan abadi. Kata “abadi” sangat
Melingkupi” atas eksistensi manusia. penting karena sebagai perlawanan dari
Transendensi menghilang kalau manusia kebahagiaan dunia yang “fana”. Abadi
mencoba untuk memahaminya. Untuk tentu terkait dengan transendensi,
pemikiran manusia nama yang paling tepat sedangkan fana terkait dengan dunia. Teks
untuk transendensi itu adalah “Ada” (das novel telah menyuguhkan permasalahan
sein). Transendensi adalah “keilahian”, yang sebagai titik tolak mengantarkan alur.
“sama sekali lain”, di mana dunia Kegelisahan spiritualitas inilah yang
dipandang sebagai ciptaan transendensi dihadirkan pengarang untuk memulai
untuk berbicara kepada manusia. pencarian terhadap transendensi melalui
Kegelisahan Siddhartha terkait dengan chiffer-chiffer-Nya.
transendensi yang untuk sementara belum
ditemukan dalam dunia empiris. 3.2 Kehendak dan Faktisitas
Kegelisahan tokoh Siddhartha telah Tema penting yang lain dalam filsafat
diletakkan mulai bagian awal cerita eksistensi Karl Jaspers adalah faktisitas, yaitu
merupakan fenomena yang khas berpikir fakta kehidupan yang tak dapat ditolak oleh
secara filosofi. Bila agama formal dimulai eksistensi (Jaspers, 1985: 13). Kelahiran, jenis
dari keyakinan dan menjalankan semua kelamin, orang tua, lingkungan sosial, masa
aturan berdasarkan ketentuan yang ada tua dan muda, lemah dan kuat adalah fakta
secara dogmatis, filsafat justru memulai dari yang hadir di sekitar eksistensi. Terhadap
“kegelisahan” untuk menemukan situasi batas umum itu manusia tidak dapat
“kebenaran” berdasarkan pemikiran dan menolak, tetapi faktisitas itu tidak membeku
renungan. pada dirinya sendiri. Ada faktor lain yang
Aku sudah tidak percaya lagi pada berusaha menawar keberadaan faktisitas,
doktrin dan ajaran serta merasa lelah yaitu kehendak. Kehendaklah yang
akan hal itu, aku tidak percaya pada kata- nantinya akan menyikapi faktisitas apakah
kata yang diberikan oleh para guru. Tapi diterima atau ditolak. Penolakan terhadap
baiklah, temanku, aku ingin faktisitas akan menguji perjalanan eksistensi.
mendengarkan ajarannya, walaupun Siddhartha, seperti terlihat pada kutipan
dalam hati aku percaya bahwa kita telah dari halaman 16—17 di atas, berusaha
merasakan rasa terbaik dari buahnya menawar faktisitas. Sebelum bagian akhir,
(Hesse, 2007: 43). tokoh Siddhartha berada dalam proses
Tokoh Siddhartha telah dipersiapkan menawar dari kejadian satu ke kejadian
oleh pengarang untuk mengarungi dunia lainnya. Dia berusaha menemukan dan
pemikiran dan renungan dalam membaca chiffer-chiffer dalam bergaul
menemukan transendensi melalui dunia bersama alam dan manusianya. Fakta yang
empirik. Proses pengembaraan fisik yang dihadapi, yang bagi orang lain sangat
dilakukan oleh Siddhartha, jatuh bangun diidam-idamkan, seperti bertemu Sang
dalam menjalani kehidupan yang diwarnai Buddha misalnya, bagi Siddhartha tetap
penderitaan, adalah usaha sadar. Ada belum dapat meghadirkan kedamaian dan
keyakinan bahwa dia akan menemukan kebahagiaan dalam dirinya. Sejak
43
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 37—52
memutuskan untuk meninggalkan ayah dan “meraih tujuanku sendiri atau mati”.
ibunya sang tokoh utama terus berada Siddhartha tidak ingin menerima
dalam ketegangan faktisitas. kemapanan atau faktisitas. Menerima
Ketegangan memang merupakan faktisitas memunculkan kemapanan karena
bagian yang tak terpisahkan dalam diri semua diterima dengan lapang dada dan
manusia. Bersitegang antara faktisitas dan dinikmati sebagai proses akhir. Penerimaan
kehendak akan melahirkan tiga dengan menyerahkan diri sepenuhnya,
kemungkinan: menerima, menolak, atau seperti laku para brahmana, samana,
membiarkan apa adanya. Menerima bahkan Kamala yang sementara menikmati
faktisitas berarti menikmati kehadiran dirinya sebagai pelacur, menjadikan fakta
sebagai eksistensi. Kehendak dikendalikan membeku pada dirinya sendiri.
sepenuhnya untuk tidak (lagi) menawar Sebaliknya, kehendak yang menolak
seperti halnya sikap Govinda ketika bertemu faktisitas akan menggiring eksistensi untuk
dengan Sang Buddha. Govinda merasa terus bergerak menemukan pijakan baru.
sudah mapan dan menerima eksistensinya Seperti air yang menguap, berubah jadi
ketika mengikuti prosesi atas segala ajaran asap tipis, mendung, terus menebal, menjadi
Sang Buddha sebagai “pendatang baru” titik-titik air, tumpah menjadi hujan, kembali
(Hesse, 2007: 55). Sebaliknya, meski sudah jadi hamparan air, serta kemudian menguap
bertemu dengan Sang Agung Gotama, lagi. Pada satu tahap kehidupan adalah
Siddhartha tetap menjalankan kehendaknya fakta, tetapi ketika kehendak menolak maka
sendiri sebagai proses pencarian spiritual. fakta tersebut kembali berproses. Segalanya
Oh Sang Terhormat, engkau tidak akan seperti terus dalam proses menjadi (a con-
dapat mengungkapkan pada setiap orang tinuum of becoming). “Perjuangan untuk
mengenai kata-kata atau aturan-aturan menjadi eksistensi tidak pernah selesai”
mengenai apa yang terjadi ketika saat- (Hamersma, 1985: 16). Kelahiran
saat pencerahan datang padamu! Siddhartha dari keluarga brahmana yang
Sebagian besar ini ajaran pencerahan taat adalah fakta. Akan tetapi, tokoh ini
dari Sang Buddha, sebagian besar yang menolak fakta dan meninggalkan kedua or-
diajarakan di dalamnya adalah untuk ang tuanya untuk mengembara, menjadi
hidup jujur dan terhormat, menghindari samana, hidup dengan Kamala, menjadi
kesesatan. Tapi ada satu hal yang sangat pedagang bersama Kamaswami, menjadi
jelas dan sangat berharga yang tidak juru sampan dengan Vasudewa, adalah
tercantum dalam ajaran tersebut, ajaran bentuk penawaran kehendak atas faktisitas.
tersebut tidak berisi tentang misteri yang Ada ketidakpuasan dari berbagai faktisitas
dialami oleh Sang Agung itu sendiri, yang telah dilalui. Bahkan, Siddhartha justru
seorang diri di antara ratusan dari ribuan. ingin belajar kepada Kamala sang pelacur
Inilah pemahamanku dan kesadaranku itu, “Dan jika ini tidak mengganggumu, aku
ketika mendengar ajaran tersebut. Inilah ingin memintamu, Kamala, untuk menjadi
alasan mengapa aku akan melanjutkan teman dan guruku” (Hesse, 2007: 84). Tentu
pencarianku, bukan untuk mencari ajaran bukan belajar menjadi pelacur, melainkan
lain atau yang lebih baik, karena aku tahu belajar untuk menemukan eksistensi.
hal itu tidak ada, tetapi untuk Akibatnya, terjadilah konflik
meninggalkan semua ajaran dan semua berkepanjangan pada diri Siddhartha, ketika
guru serta untuk meraih tujuanku sendiri nilai-nilai normatif berusaha diluluhkan
atau mati.” (Hesse, 2007: 59—60). dalam pengembaraan spiritual. “Konflik
terus menerus, itulah pada dasarnya, pada
Sebagai subjek yang bertanggung jawab hakikatnya hidup kita” (Drijarkara, 1981:
pada dirinya sendiri, Siddhartha memilih 84). Konflik dengan diri sendiri, juga dengan
untuk menuruti kehendaknya daripada orang lain, akan melahirkan penderitaan
mengikuti ajaran Buddha Gotama. Dia ingin dalam berbagai bentuk, khususnya
44
M. SHOIM ANWAR: NOVEL SIDDHARTHA KARYA HERMANN HESSE: PENCARIAN CHIFFER-CHIFFER...
45
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 37—52
bahkan kepada Sang Buddha pun dia tidak menyerap dan merenungi segala
ingin bergabung, melainkan memilih jalan pengalaman hidup untuk kemudian
sendiri. Siddhartha memang menaruh disimpulkan sendiri oleh Siddharta. “Di sini,
hormat secara penuh kepada mereka, bersama Kamala, terbentang nilai dan arti
bahkan sudah pernah mengikuti berbagai kehidupannya kini” (Hesse, 2007: 102).
ritual sejak dari keluarganya. Untuk Untuk memenuhi permintaan Kamala,
menegakkan posisinya sebagai subjek Siddhartha juga bergabung dengan
Siddhartha tidak menunjukkan perlawanan Kamaswami untuk menggeluti dunia bisnis.
fisik. Dengan penuh kelembutan dan adab Hubungan dengan Kamala dan
yang tinggi, Siddhartha membangun Kamaswami terjadi secara bergantian.
eksistensinya dengan lembut tetapi tegas. Siddhartha pun hidup bergelimang dengan
Ketika sang ayah melarang Siddhartha kesenangan dan nafsu duniawi. Akan
untuk jadi samana, kediriannya diwujudkan tetapi, karena menempatkan diri sebagai
dalam bentuk berdiri hingga malam, subjek, Siddhartha tidak larut secara
semacam perlawanan tersembunyi. Dia berkepanjangan. Dia merasakan kebodohan
ingin menentukan arah hidupnya sendiri. telah menyelimuti dirinya. Secara sadar dia
Berbagai pertanyaan tentang hakikat pun meninggalkan seluruh kehidupan
eksistensi menyeruak dalam diri Siddhartha tersebut. Dilepaskannya pakaian
dari awal hingga menjelang akhir cerita. Dia kemewahan dan berganti dengan jubah tua
bertanya tentang upacara, air penyucian, dan bergabung dengan Vasudeva untuk
korban, dewa, Prajapati, Sang Atman, menjadi pendayung sampan. Ada
keabadian, pengetahuan, kebahagiaan, kesadaran terhadap transendensi yang
kitab-kitab yang berisi ayat-ayat atau chiffer- menyeruak dalam dirinya. Eksistensinya
chiffer, dan berbagai hakikat eksistensi dan ditegakkan.
transendensi. Kemerdekaan dalam Itulah sebabnya mengapa ia harus
menjalankan diri sebagai subjek diemban mengalami tahun-tahun yang buruk ini,
secara penuh oleh Siddhartha, bukan hanya mengalami perubahan, kekosongan,
dalam tataran pemikiran dan perenungan, kehidupan yang tidak bermakna dan
melainkan sampai pada taraf laku, seperti sunyi hingga akhir, hingga ke titik
ikut bersemedi bersama para samana di keputusasaan yang pahit, hingga
hutan dan hanya mengenakan cawat dan Siddhartha si hedonis, Siddhartha si
selendang. Sehari dia hanya makan sekali, rakus dapat mati. Dia telah mati dan
wajahnya yang tampan dan memikat seorang Siddhartha baru terbangun dari
berubah jadi tirus, matanya cekung, kuku tidur. Dia juga akan menua dan harus
panjang, dagunya berjenggot, kaku dan mati. Siddhartha tidak abadi, setiap
kotor, hingga berjalan ke desa-desa benda berwujud tidak abadi. Tapi
memohon makanan untuk diri dan sekarang dia muda, seorang anak-anak,
gurunya. sang Siddhartha baru, dan dia penuh
Dalam menegakkan posisinya sebagai dengan kebahagiaan (Hesse, 2007: 148).
subjek, pengembaraan Siddhartha
Pengembaraan hidup Siddhartha
melampaui banyak hal. Ketika norma
adalah pencarian. Dia berangkat dari
umum tidak memperkenankan bergaul
sebuah titik kehidupan dan berjalan mencari
secara intim dengan pelacur, Siddhartha
hakikat kebenaran yang diyakini. Titik
justru hidup bersama dengannya, “menjadi
kehidupan yang pernah dipijaknya
muridnya, kekasih, dan temannya” hingga
dipertanyakan kembali dalam renungan
memiliki seorang anak. Hal tersebut
filosofi. Dia menjauh dari lingkaran doktrin.
dilakukan secara sadar. Akan tetapi,
Berbagai dalil kebenaran dicoba untuk
menjadi murid yang dimaksud bukan dalam
dibongkar. Perenungan dan pemikiran
proses seperti bersekolah, melainkan
disuburkan untuk mencari jawaban
46
M. SHOIM ANWAR: NOVEL SIDDHARTHA KARYA HERMANN HESSE: PENCARIAN CHIFFER-CHIFFER...
47
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 37—52
48
M. SHOIM ANWAR: NOVEL SIDDHARTHA KARYA HERMANN HESSE: PENCARIAN CHIFFER-CHIFFER...
49
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 37—52
Terhadap faktisitas yang kehadirannya perjalanan hidup yang dipilih dan ditempuh
seakan tak dapat ditolak, berdasarkan secara sadar tetap mencerminkan
pemikiran dan renungan, tokoh Siddhartha penderitaan. Penderitaan merupakan
berusaha keras untuk menawar kenyataan konsekuensi dari jalan hidupnya sebagai
dan ingin mengubahnya sesuai peran subjek yang bebas dalam menentukan dan
kehendak. Situasi batas dicoba diurai secara mengelola hidup. Dari penderitaan itulah
mandiri dalam meramu kehidupan. Dia sang tokoh menemukan jalan untuk
tidak menjadikan dirinya sebagai subjek membebaskan diri dari ketidakpuasan batin.
yang mapan, tetapi memilih pencarian Dunia materi yang dimiliki telah
dalam penderitaan untuk menemukan ditinggalkan karena ketenangan dan
kedamaian hati melalui chiffer-chiffer kebahagiaan yang hakiki tidak ditentukan
tansendensi. Jatuh bangun dan penderitaan oleh kepemilikan materi.
yang dialami adalah usaha untuk menolak Chiffer-chiffer transendensi ditemukan
faktisitas agar tidak membeku pada dirinya oleh tokoh utama melalui sungai yang
sendiri. mengalir. Sungai mengalir melambangkan
Kebebasan untuk menentukan dan perjalanan hidup yang mengangkut
menjadikan diri sebagai subjek yang utuh banyak sisi kehidupan. Dari sungai sang
telah ditempuh oleh Siddhartha sebagai tokoh belajar banyak hal dan memperluas
tokoh utama. Dia menolak dogma dan simbol sungai ke alam dengan segala isinya.
menjalani hidup sesuai naluri dan Wajah sungai yang hidup adalah cerminan
pandangannya dalam menemukan chiffer- transendensi. Cerita dibuka dengan tokoh
chiffer transendensi. Sang tokoh utama berada di tepi sungai dan diakhiri di
mengendalikan pikiran dan perilakunya tepi sungai pula, ada yang lama dan
secara filosofis, bukan dogmatis. Tokoh sekaligus ada yang baru sebagai simbol
menghayati dirinya seperti air yang Siddhartha yang tetap menjadi subjek bagi
mengalir. Dari perjalanan itulah ditemukan dirinya sendiri.
kejernihan hidup dengan berkaca pada alam
sebagai simbol kebesaran transendensi.
Meski tokoh Siddhartha menolak
Buddhisme terkait konsep penderitaan,
5. DAFTAR PUSTAKA
Anwar, M. Shoim. 2012. Representasi Korupsi dalam Novel Indonesia: Perspektif Kajian Budaya
(Disertasi). Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Anwar, M. Shoim. 2015. Sastra yang Menuntut Perubahan. Lamongan: Pustaka Ilalang.
Barker, Chris.2009. Cultural Studies (Penerjemah Nurhadi ). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Bertens, K. 2001. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa-Departemen Pendidikan Nasional.
Drijarkara, S.J. 1981. Percikan Filsafat. Jakarta: PT Pembangunan.
Hamersma, Harry. 1985. Filsafat Eksistensialisme Karl Jaspers. Jakarta: Gramedia.
Hassan, Fuad.1985. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hesse, Hermann. 2007. Siddhartha (Penerjemah Sovia V.P.) Yogyakarta: Jejak.
Hogan, Patrick Colm. 2000. Philosophical Approaches to the Study of Literature. Gainesville: Univer-
sity Press of Florida.
50
M. SHOIM ANWAR: NOVEL SIDDHARTHA KARYA HERMANN HESSE: PENCARIAN CHIFFER-CHIFFER...
Kleden, Iknas. 1981. “Intersubyektivitas Sebagai Gejala Kebudayaan?” dalam Tifa Budaya Sebuah
Bunga Rampai (Penyunting Kasijanto dan Sapardi Djoko Damono). Jakarta: Leppenas.
Krippendorff, Klaus. 1993. Analisis Isi, Pengantar Teori dan Metodologi
(Penerjemah Farid Wajidi). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Luxemburg, Jan van., Mieke Bal., Willem G.Weststeijn. 1986. Pengantar Ilmu Sastra (Penerjemah
Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia.
Skilleas, Ole Martin. 2001. Philosophy and Literature, An Introduction.
Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd.
Piedade, Joao Inocencio. 1986. “Problematika Manusia dalam Antropologi Filsafat” dalam Basis, Oktober-
1986-XXXV-10.
Poedjawijatna. 1986. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: PT Bina
Aksara.
Widyadharma, Pandita S. 1981. Riwayat Hidup Buddha Gotama. Tangerang: Perkumpulan
Padumuttara.
Wellek, Rene dan Austen Warren. 1990. Teori Kesusastraan (Penerjemah Melani Budianta). Jakarta:
Gramedia.
51
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 37—52
52