Anda di halaman 1dari 11

Materi Diskusi Ilmu Sosial Budaya Dasar

TOKOH-TOKOH SUDUT PANDANG KEBUDAYAAN DIFERENSIAL

OLEH:
Kelompok Genap

1. Nyoman Putra Prasetya Wardhana (1908561084)


2. I Ketut Agus Pranata Muliawan (1908561086)
3. Kadek Dwi Pryandana Suyasa (1908561090)
4. I Gusti Agung Gde Abhirama Adnyana (1908561094)
5. I Wayan Gede Adi Palguna (1908561098)
6. I Kadek Krisna Dwi Payana (1908561100)
7. Putu Vidi Nararia Ningrat (1908561106)

TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
NO TEORI TOKOH TEORI ISI TEORI
1. TEORI ROLAND BARTHES Salah satu ungkapan Barthes yang paling terkenal adalah “pegarang sudah mati”.
POSTSTRUKTURALISME
Ungkapan tersebut adalah sebagai simbol bahwa dalam kondisi posmodern,
pengarang dengan semangat Cartesian, tidak memiliki tempat dalam diskursus.
Ungkapan tersebut adalah sebuah metafora untuk menggambarkan bahwa tidak ada
lagi semangat dan jiwa pengarang dalam karyanya. Pengarang tidak lagi bicara.
Karya atau teks posmodern, dalam hal ini, tidak dapat lagi dikategorikan menjadi
teks atau karya dalam pengertian modernisme, yaitu karya yang memiliki arti yang
tunggal dan utuh. Hal ini disebabkan bahasa yang digunakan tidak lagi bahasa
tunggal dan subyektif pencipta, akan tetapi aneka ragam bahasa masa lalu dengan
asal-usul yang tidak pasti. Hal ini dijelaskan Barthes, sebagaimana yang ditulisnya,

“…sebuah teks bukanlah sebaris kata-kata yang menghasilkan makna


tunggal teologis (pesan atau wahyu Pengarang – Tuhan), akan tetapi ruang
multi-dimensional yang di dalamnya aneka ragam tulisan-tulisan, tak satu
pun di antaranya yang orisinal, bercampur, dan bertumpang tindih. Teks
adalah sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari pusat-pusat
kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya.”

JULIA KRISTEVA Julia Kristeva adalah seorang pemikir pos-strukturalis Prancis. Dalam bukunya
Revolution in Poetic Language dan Desire in Language: A Semiotic Approach to
Literature and Art, ia memperkenalkan istilah intertekstualitas. Dalam kedua buku
ini, Kristeva membawa istilah intertekstualitas, sebagai satu konsep kunci dari
paham pos-strukturalisme, yang sekaligus menantang model berpikir struktur,
sinkronik, dan bersistem dari paham strukturalis. Apa yang dilihat Kristeva dalam
suatu teks dan karya seni, tidaklah sesederhana relasi-relasi antara bentuk dan
makna atau penanda (signifer) dan petanda (signified), sebagaimana yang
dipertahankan oleh semiotika konvensional. Sebaliknya, Kristeva melihat
pentingnya dimensi ruang dan waktu dalam analisis teks.

JACQUES DERRIDA Derrida mendemonstrasikan bahwa tulisan – kalau dinilai secara benar- merupakan
prakondisi bahasa, dan bahkan ada sebelum ucapan oral. Kalau tulisan lebih dari
sekadar grafis atau prasasti dalam pengertiannya yang normal, maka tidaklah benar
bahwa tulisan adalah representasi palsu, atau topeng dari ucapan. Tulisan, menurut
Derrida, pada kenyataannya melepaskan diri dari ucaan dengan sengaja membuat
asumsi kebenaran alamiah (logos)nya, dan dari predikat sebagai topong dari logos.
Tulisan adalah sebuah permainan bebas unsur-unsur dalam bahasa dan komunikasi.
Tulisan adalah proses perubahan makna secara terus-menerus, dan perubahan ini
menempatkannya pada posisi di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos). Dalam
hal ini, Derrida melihat tulisan sebagai jejak (trace) – bekas tapak kaki yang
mengharuskan kita menelusurinya untuk mencari si empunya kaki. Adalah proses
berpikir, menulis, berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebuk Derrida
sebagai difference
MICHEL FOUCAULT Foucault adalah seorang pos-strukturalis asal Prancis. Ia membicarakan
permasalahan diskursus (wacana) dengan cara yang baru. Bukunya yang berjudul
The Archaeology of Knowledge, dianggap sebagai buku yang berbicara mengenai
diskursus secara inovatif. Di dalam buku tersebut, Foucault menjelaskan diskursus
tidak dalam konteks kontinuitas sejarah, tetapi di dalam konteks diskontinuitas. Apa
yang dilihat Foucault di dalam satu rentang waktu adalah sesuatu yang terputus atau
sesuatu yang kontradiktif.
Foucault mengemukakan bahwa di dalam satu masyarakat, peristiwa berbeda
(misalnya praktik bahasa), badan pengajaran yang berbeda, gagasan filsafat, opini
sehari-hari, berbagai institusi, praktik komersial, penggunaan ruang dan objek, serta
pennggunaan tubuh, semuanya berlandaskan pada pengetahuan implisit yang
khusus pada masyarakat tersebut yang disebutnya savoir (knowledge atau
pengetahuan)
2. TEORI FRANTZ FANON The Wretched of the Earth (2000), buku karyanya, disebut sebagai pegangan bagi
POSTKOLONIALISME
revolusi hitam yang sukses di negerinya; Aljazair. Buku ini adalah kecaman bagi
kulit putih dan barat agar sadar bahwa kolonalisme telah berakhir. Bukunya telah
menginspirasi praktik-praktik revolusi dan re-organisasi sosial. Fanon adalah
seorang psikiater kulit hitam yang sukses keluar dari kolonisasi mental yang
dikonstruksi oleh kolonialisme, bahkan mengorganisir dan menginspirasi gerakan-
gerakan dekolonisasi Afrika.
EDWARD SAID Said, menemukan adanya relasi antara pengetahuan kolonial, yang dilahirkan oleh
orientalisme, dengan kuasa kolonial di negara-negara koloninya. Pada awalnya
orientalisme ini seperti gerakan ilmu pengetahuan biasa yang mengkaji masyarakat,
budayanya, struktur bahasanya, dll. Tetapi dalam praktiknya pengetahuan ini
digunakan untuk melanggengkan kolonialisme.
Kata Said ‘orientalisme adalah gaya barat menundukkan timur. Sejarawan,
antropolog, sosiolog, sastrawan dan ilmuwan barat dengan kekuatan wacana
mengkonstruksi timur sebagai inferior'. Dengan kata lain, orientalisme adalah
diskursus yang bukannya memvisualisasikan dan merepresentasikan kebenaran
tentang kebudayaan non-Barat, tetapi mengadilinya berdasarkan pengetahuan Barat.

HOMI K. BHABHA Menurut Bhabha, poskolonialitas adalah 'ruang antara' atau kondisi liminalitas
menuju merdeka sepenuhnya. Diintrodusir dari istilah psikologi untuk
menunjukkan ruang antara alam sadar dan alam bawah sadar. Dalam konsepsi
sastra poskolonial, nalar kita berada dalam 'ruang antara', ruang liminalitas, antara
pra kemerdekaan menuju kemerdekaan sepenuhnya.
Bhaba mengatakan bahwa setiap momen harus sebagai rangkaian sebuah revisi
dimana ada keterbukaan dan kontingensi dalam keyakinannya untuk mendapatkan
kebebasan. Bagi korban kolonialisme, strategi budaya sebagai cara dari
kebertahanan (survival) yang lebih banyak diperoleh dari warisan. Ada jarak antara
warisan dan pemahaman ofisial (ideologi) dan penyediaan ruang tampilan individu
untuk pertahanan dan individualitas.

GAYATRI SPIVAK Spivak mengenalkan dirinya masuk menjadi intelektual poskolonial melalui artikel
pendeknya berjudul 'Can the Subaltern Speak?' dan bukunya A Critique of
Postkolonial Reason. Naskah ini telah banyak dikutip sebagai contoh teks teori
poskolonial.
Tulisan-tulisan Spivak yang terpenting adalah konsepsi yang berkisar pada kajian
subaltern. Berangkat dari pengamatan tentang bagaimana perempuan-perempuan
selatan terpinggirkan dan tidak bisa bersuara. Perempuan, petani desa, kaum
terpinggirkan lainnya inilah yang disebut oleh Spivak sebagai subaltern. Konsepsi
ini sebenarnya pernah disebutkan oleh Gramsci untuk merujuk petani desa di Italia
yang tersubordinasi oleh kekuatan negara. Spivak sendiri menganggap bahwa suara
dan perwakilan perempuan dimarjinalkan.

3. TEORI POSTFEMINISME LINDA NICHOLSON Linda Nicholson, seorang profesor sejarah dan studi perempuan di Washington
University di St Louis, mengklaim bahwa gagasan tubuh manusia dipisahkan
menjadi dua jenis kelamin tidak historis konsisten. Dia berpendapat bahwa alat
kelamin pria dan alat kelamin perempuan dianggap inheren sama dalam masyarakat
Barat sampai abad ke-18. Pada saat itu, alat kelamin perempuan dianggap sebagai
alat kelamin pria tidak lengkap, dan perbedaan antara kedua dikandung sebagai
masalah derajat. Dengan kata lain, ada gradasi bentuk fisik, atau spektrum. Oleh
karena itu, cara pandang seperti ini terhadap seks, yang mempertimbangkan
perempuan dan laki-laki dan alat kelamin yang khas mereka sebagai pilihan alami
hanya mungkin, muncul menjadi ada melalui sejarah, akar tidak biologis

Fraser membagi gelombang kedua feminisme menjadi tiga babak berdasarkan


tuntutannya, antara lain (1) the personal is political, (2) Arah redistribusi sosial-
politis yang bergerak menjadi penyadaran identitas, dan (3) hubungan berbahaya
(dangerous liaison) antara feminisme dan neoliberalisme. Fraser mengkritik bahwa
akar keadaan ini terjadi ketika “the personal is political” tidak dilanjutkan dalam
konteks sosio-ekonomi, melainkan hanya berlandaskan pada kultural, dan lebih
NANCY FRASER spesifik ke permasalahan identitas. Akibatnya, agenda gelombang feminisme kedua
yang menuntut keadilan dalam permasalahan sosio-ekonomi belum selesai, tapi
didahului oleh agenda kultural, yang bermain dalam kerangka identitas.
4. TEORI ARTURO ESCOBAR Arturo Escobar (1995) dalam teks pasca-pembangunan klasiknya, Encountering
POSTDEVELOPMENTALIS
Development, menjelaskan bagaimana wacana pembangunan yang dominan
M
bermain keluar. Wacana ini didasarkan pada modernisasi dan gagasan kemajuan
bangsa Barat, yang menciptakan konsep ‘Dunia Ketiga’. Dunia Ketiga tersebut
dikatakan terdiri dari populasi yang kurang beruntung dan membutuhkan 'bantuan'.
Agar Dunia Ketiga menjadi modern dan 'progresif,' maka Dunia Pertama (sebagai
negara yang model modernitas dan kemajuan) memiliki kewajiban untuk
memberikan bantuan kepada Dunia Ketiga tersebut.

MAJID RAHNEMA Rahnema (1991), dalam karya-karyanya yang membahas masalah kemiskinan,
menyatakan bahwa tidak ada 'solusi' untuk 'kemiskinan' dalam modernitas; akan
tetapi mencari alternatif tidaklah mudah karena struktur kekuasaan yang ada itulah
yang telah ‘menjaga keberadaan kemiskinan’ sehingga kekuasaan dapat tercipta dan
dipertahankan.

5. TEORI POSTMODERNISME Doktrin penghapusan nilai yang terkenal yang di dengungkan pertama kali oleh
Nietzsche (1844-1900) adalah doktrin nihilisme. Dalam karyanya Will to Power,
Nietzsche menggambarkan nihilisme sebagai situasi dimana “manusia berputar dari
FRIEDRICH NIETZSCHE pusat ke arah titik X”, artinya “nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan
sendirinya. Dalam pandangan Nietzsche proses nihilisme adalah devaluasi nilai
tertinggi, yang membawa pada kesimpulan doktrin “kematian Tuhan”.

MARTIN HEIDEGGER Heidegger disebut sebagai Bapak Posmodernisme. Heidegger (1889-1976) dengan
nada yang sama dengan Nietzsche mendefinisikan nihilisme sebagai “suatu proses
dimana pada akhirnya tidak ada lagi yang tersisa”. Dalam pandangan Heidegger,
nihilisme menunjukkan penghapusan “being” dengan sedemikian rupa sehingga
menjelma menjadi nilai. Di sini realitas tidak lagi dipahami dalam bentuk suatu
susunan di mana sang pencipta berada pada puncak hirarki yang absolut. Keduanya
menuju suatu titik di mana manusia tidak lagi berpegang pada struktur nilai, nilai
tidak lagi mempunyai makna. Suatu konsep tentang apapun tidak lagi berdasarkan
pada sesuatu yang metafisis, relijius ataupun mengandung unsur ketuhanan (divine).
FRANCOIS LYOTARD Posmodern menurut Lyotard adalah kondisi hilangnya kredibilitas metanarasi dan
berkembangnya perhatian pada pengembangan ‘pengetahuan-pengetahuan baru’
yang serta-merta meruntuhkan metanarasi itu.

JEAN BAUDRILLARD Konsep-konsep penting dalam pemikiran Baudrillard adalah mengenai simulasi dan
hiperealitas. Bagi Baudrillard, simulasi adalah suatu proses atau strategi intelektual.
Pernyataan Baudrillard tentang simulasi adalah sebagai berikut.
“Simulasi bukan lagi wilayah, sebuah wujud, atau substansi referensial. Ia
adalah penciptaan lewat model-model sesuatu yang real, yang tanpa asal-
usul atau realitas: sebuah hipereal. Wilayah tidak lagi mendahului peta, tidak
juga mempertahankannya. Mulai kini, adalah peta yang mendahului wilayah
–precession of simulacra. (Piliang, 2003: 1).”

JACQUES LACAN Lacan merupakan salah satu tokoh penganut posmodernisme yang mencoba untuk
mengembangkan kembali konsep psikoalanisa milik Sigmund Freud.
Bagi Jacquez Lacan, pembentukan subjek di dalam rentang sejarah dapat dijelaskan
sebagai suatu fenomena psikoanalisis. Di dalam bukunya, Ecrits, Lacan
menjelaskan bahwa proses pembentukan manusia sebagai subjek dalam suatu
masyarakat tidak terlepas dari pengalaman kelahiran sang manusia tersebut, dalam
kaitannya dengan cerita-cerita, mitos-mitos, dan bahasa-bahasa yang
mendahuluinya. Bagi Lacan, manusia lahir tak ubahnya seperti apa yang disebutnya
hommelette – seperti telor pecah yang tak bisa menemukan bentuknya yang pasti.
Akan tetapi, sekali ia –pada tahap balita– masuk ke dalam satu sistem sosial
(pertama-tama dalam sistem keluarga, dan yang berkaitan dengan seksual), maka ia
akan dibentuk oleh mitos, tabu, atau hukum yang dikenalnya melalui bahasa
simbolik, yang selanjutnya akan mematrikan posisi subjektivitasnya di dalam
proses kehidupan sosialnya seterusnya

Anda mungkin juga menyukai