Anda di halaman 1dari 25

SIMULACRA SEBAGAI KRITIK ATAS MODERNISME

(Studi Analisis Atas Pemikiran Jean P. Baudrillard)


Raja Cahaya Islam
Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung,
Jl.A.H. Nasution No. 105 Bandung 40614.
Email : rajamuharammah@gmail.com
____________
Abstrak
Modernisme merupakan salah satu gerakan atau mainstream dari salah satu
bagian sejarah filsafat. Modernisme itu sendiri sebagai gerakan filsafat telah memberikan
sumbangsihnya bagi peradaban manusia, terkhusus bagi gerakan filsafat. Namun,
meskipun modernisme memberi manfaat yang besar bagi manusia, bukan berarti
modernisme itu sendiri tak memiliki cacat sedikit pun. Dan dampak negatif inilah yang
dikritik oleh para filsuf posmodernisme, terkhusus oleh Jean P. Baudrillard dengan
pemikirannya yang khas, yakni simulacra. Penelitian ini bertujuan untuk membedah
pemikiran Jean P. Baudrillard yakni Simulacra, sebagai sebuah kritik terhadap gerakan
modernisme. Metode yang digunakan adalah deskriptif analitis. Adapun rumusan
masalahnya adalah: pertama, apa yang dimaksud dengan filsafat modernisme? Kedua,
apa yang dimaksud dengan simulacra Jean P. Baudrillard? Ketiga, bagaimana simulacra
mengkritik filsafat modernisme? Adapun hasil dari penelitian ini antara lain: pertama,
modernisme itu sendiri memiliki ciri antara lain: otonomi subjek, kritik, progresifitas,
dan subordinasi non-materi dan distingsi realitas (modernisme); kapitalisme, revolusi
saintifik dan negara modern (modernitas atau konteks hidupnya modernisme); kedua,
simulacra merupakan realitas yang tak memiliki acuan referensialnya; ketiga, simulacra
melahirkan kritik terhadap modernisme, dalam bentuk: Implosi, pos realitas, hilangnya
oposisi biner, dan kematian subjek.

Kata Kunci: Modernisme, Posmodernisme, Dekonstruksi, Simulacra

88
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1
(2017)

A. PENDAHULUAN/INTRODUCTION dengan dirubuhkannya tahta Tuhan, lalu


digantikan oleh manusia3. Dalam artian,
Di dalam lintas sejarah filsafat, terdapat manusia kini menjadi pusat kajian dari
beberapa pembagian periode yang menandai filsafat.4 Periode antroposentris (manusia
suatu batas dari mainstream pemikiran. Di sebagai pusat) ini ditandai oleh lahirnya
dalamnya terentang berbagai kategori periode kepercayaan diri manusia berhadapan dengan
yang memilah-milah perbedaan-perbedaan alam dan Tuhan. Rasio dan indra manusia
pola dan sistem dari suatu pemikiran sejarah mulai dilirik, bahkan dijadikan acuan
tertentu. Pembagian itu dimulai dari periode referensial bagi pengembangan potensi
kosmosentris, teosentris, antroposentris dan manusia.5 Manusia kini merajai segala kajian-
yang terakhir ialah logosentris. kajian ilmiah. Manusia kini menjadi ukuran
Setiap periode ini memiliki karakter dan bagi segala kebenaran, dan otomatis dogma
ciri yang khas, yang mana ia membedakan agama ‘dienyahkan’ dari perjalanan manusia
dirinya dengan setiap periode. Periode mengarungi peradabannya sendiri. Singkat
kosmologi ditandai dengan terpusatnya kajian kata manusia menjadi Tuhan baru.6
dan fokus pemikiran filsafat kepada alam. Dari masa pencerahan ini, muncullah
Lalu, alam ini dianggap sebagai pusat dari istilah modernisme. Modernisme ini memiliki
segala sesuatu. Maksudnya, dalam ciri khasnya tersendiri, salah satunya
pencariannya mengenai hakikat (arche) dari pertentangan dan perebutan—mana yang
realitas, para filsuf antik ini meyakini bahwa lebih—pusat antara subjek atau objek.
segala sesuatu berasal atau dimulai dan Pemusatan subjek diwakili aliran rasionalisme
berakhir di dan dari alam.1 (dalam wilayah epistemologi) dan idealisme
Setelah periode kosmosentris, muncullah (dalam wilayah ontologi). Sedangkan
periode teosentris. Periode ini ditandai oleh pemusatan wilayah objek diwakili oleh
beralihnya pusat realitas, yang pada mulanya empirisme (dalam wilayah epistemologi) dan
dipusatkan kepada alam, lalu beralih kepada materialisme (dalam wilayah ontologi). Perlu
Tuhan. Pada mainstream filsafat zaman ini, diketahui bahwa pertentangan ini didasari oleh
yang ditandai oleh kejayaan umat Kristiani, suatu dalil yang mengiringi, yakni oposisi
filsafat ditundukan di bawah dogma agama. biner. Oposisi biner ialah pemusatan salah satu
Maka dari itu, maksud dari pusat segala pihak di antara pihak yang beroposisi.7 Ketika
sesuatu mesti dikembalikan dan berakhir pada Tuhan dijadikan pusat, maka selain Tuhan
Tuhan berarti: bahwa rasionalitas filsafat merupakan yang-lain atau bukan pusat (pada
mulai dibatasi oleh doktrin agama, bahkan fase teosentris). Ketika manusia dijadikan
tunduk ‘sepenuhnya’ di hadapan agama.2 pusat, maka selain manusia—misalnya
Setelah Abad pertengahan berakhir, alam—dijadikan yang-lain (pada fase
muncullah fajar baru dari sejarah filsafat antroposentris). Ketika yang maskulin
Barat. Fajar baru tersebut ialah munculnya menjadi pusat, maka yang feminin menjadi
zaman Pencerahan, yakni pencerahan yang yang-lain. Ketika ras Aria menjadi pusat,
dimulai pada abad ke-15. Zaman ini ditandai maka non-ras Aria menjadi yang-lain.

1 5
Burhanuddin Ssalam, Pengantar Filsafat, (Bandung: F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari
Bina Pustaka, tanpa tahun), 107. Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Gramdedia
2
Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Pustaka Utama, 2007), 7.
6
Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), 4. Hizkia Yosie Polimpung, Ontoantropologi: Fantasi
3
Hal ini ditandai dengan sang bapak filsuf modern, Realisme Spekulatif Quentin Meillassoux,
yakni Rene Descartes. Descartes dengan adagiumnya (Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2017), 24.
7
yang terkenal, cogito ergo sum atau aku berpikir maka I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan
aku ada, menandai keterpusatan manusia. bagi Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2016), 29.
4
Ibid, 3.

89
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1 (2017)

Selain oposisi biner, modenitas—yang Muncullah aliran-aliran yang


mana merupakan bentuk manifestasi dari menganalisis bahasa, misalnya strukturalisme.
modernisme—memiliki ciri lain yakni Ferdinand de Saussure lah menjadi
munculnya diferensiasi di segala bidang pelopornya. Saussure di sini menandaskan
kehidupan, dan inilah yang dinamakan dengan bahwa subjek tak mungkin dapat mengakses
eksplosi. Sehingga segala sesuatu menjadi objek dalam artian positivitas objektif. Ia
fragmen-fragmen. Lain itu, ada pula menyadari bahwa relasi antara bahasa dan
kecenderungan lainnya, yakni mulai realitas tidak bersifat relasional, namun
munculnya narasi-narasi berikut referensi- terputus. Maksudnya, realitas kebahasaan
referensi besar, dan bentuk-bentuk finalitas tidak inheren merujuk kepada objek tertentu12
dari teori sosial seperti kenyataan, makna, (lebih jauh Saussure mengatakan bahwa yang
revolusi dan sebagainya.8 diakses oleh manusia sebenarnya bukan objek,
Terlepas dari kondisi modernisme akan tetapi struktur; yang mana ia merupakan
tersebut, pertentangan biner sebagai bentuk hubungan-hubungan).13 Saussure
penentuan mengenai mana yang menjadi pusat meyakini bahwa bahasa itu bersifat arbitrer.
realitas (apakah subjek atau objek) terus Dengan keyakinan akan kearbitreran bahasa,
mengiringi arus gerak filsafat modern; jika Saussure dibaptis sebagai penganut
14
bukan sebagai inti masalah filsafat modern! Di Kantianisme dalam wilayah bahasa.
sini pertanyaan mesti diajukan. apakah sejarah Strukturalisme Saussure ini membawa
filsafat berakhir pada zaman antroposentris filsafat kepada kajian tentang bahasa,
atau modernisme? Tentu saja tidak, terkhusus wacana tentang tanda.15
mainstream pemikiran filsafati terus berlanjut, Menurutnya, bahasa atau sistem pertandaan
klaim mengenai manusia sebagai pusat pun itu diliputi oleh dua sisi. Dan dua sisi ini tak
ternyata tak dapat bisa dipertahankan. Para bisa dipisahkan satu sama lainnya, yakni
filsuf, yang mulai memasuki abad petanda dan penanda. Petanda berarti konsep
posmodernisme, mulai menyadari bahwa ada atau referensi dari penanda, sedangkan
yang menenggarai antara subjek maupun penanda ialah citra akustik atau fonem (bunyi
subjek, yakni bahasa. Di sinilah dikenal istilah suara, atau bisa juga diartikan sebagai
linguistic turn. Linguistic turn, ialah gerakan materialitas tanda).16
di mana filsafat mulai memerhatikan bahasa.9 Relasi antara petanda dan penanda ini
Diperhatikan dalam artian, bahwa sebelum bersifat stabil, karena di dalam relasi ini
sang filsuf menelaah objek, ternyata ia mesti terdapat struktur. Struktur inilah yang
melewati terlebih dahulu bahasa. Tapi sang menciptakan kestabilan antara penanda dan
filsuf tak sekedar melewati, ia bahkan terjebak petanda. Namun, keberstrukturan ini terdapat
di dalamnya.10 sifat arbitrer, dalam artian bahwa dalam suatu
Di sinilah mulai muncul kesadaran bahwa ruang kontkes kebudayaan tertentu terdapat
bahasa ternyata mengungkung manusia. sistem pertandaannya tersendiri.17
Radikalnya, manusia tak mungkin mengakses Maksudnya, relasi antara penanda dan petanda
realitas tanpa tercampuri oleh bahasa, bahkan yang arbitrer di setiap kebudayaan berbeda
realitas positivitas objektif dihilangkan karena satu sama lainnya. Akan tetapi, perlu
terdapatnya realitas bahasa.11 ditegaskan kembali, bahwa relasi sistem

8 13
Ibid, 26. Lisa Lukman, Proses Pembentukan Subjek:
9
Ibid, 79. Antropologi Filosofis Jacques Lacan, (Yogyakarta:
10
Kevin O’Donnell, Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 55.
14
Kanisius, 2009), 62-63. Christopher Norris, Membongkar Teori
11
Opcit, 84. Dekosntruksi Derrida, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media,
12
Alfathri Adlin, dalam Kata Pengantar Yasraf Amir 2009), 30-31.
15
Piliang Semiotika dan Hipersemiotika, (Bandung: Opcit, Yasraf Amir Piliang, 21.
16
Matahari, 2012), 23. Ibid, 23.
17
Jean Piaget, Strukturalisme, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1995), 65.

90
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1
(2017)

pertandaannya (dalam suatu kebudayaan) menganggap alam sebagai pusat, teosentris


bersifat stabil.18 menganggap Tuhan sebagai pusat,
Apakah strukturalisme benar-benar antroposentris menganggap manusia sebagai
berhasil mengatasi masalah yang ada pada pusat, dst. Klaim-klaim ini lalu didekonstrusi
modernisme? Tidak, karena strukturalisme ini oleh Derrida.
pun akhirnya dikritik oleh postrukturalisme. Dekonstruksi itu, salah satunya,
Salah satu postrukturalis yang mengkritik mencoba menggugat klaim dasar dari
strukturalisme ialah Jacques Derrida. logosentrisme, yakni oposisi biner. Oposisi
Sebagaimana diketahui strukturalisme biner—sebagaimana pernah disebutkan
menganggap bahwa relasi antar penanda dan sebelumnya—ialah ketika ada suatu oposisi
petanda itu bersifat stabil. Postrukturalisme yang berlawanan, maka salah satu darinya
tidak memercayai asumsi ini. Derrida disubordinatkan dan yang lainnya
22
menganggap bahwa relasi tersebut bersifat disuperiorkan.
tidak stabil, dalam artian penanda dan petanda Penggugatan terhadap oposisi biner ini
bukan bagaikan dua sisi koin, penanda tidak sangat beralasan, karena dengan subordinasi
selalu meniscayakan petanda absolut. Petanda pihak lain, maka pihak yang-lain tersebut
selalu ditunda, dan yang bisa ditemukan dalam dianggap sebagai yang asing, buruk, atau
ketertundaan tersebut hanyalah jejak (trace).19 suatu kesalahan. Otomatis, klaim oposisi biner
Dengan demikian, penanda selalu ini bisa dibilang eksploitatif. Dengan
meniscayakan penanda lagi dan bukan petanda dekonstruksilah, entitas-entitas yang
secara langsung.20 Dengan klaim ini Derrida disubordinasikan diangkat kembali, diakui
tidak bermaksud menganulir-sementara kembali, dan diperbincangkan kembali.23
petanda dalam relasi pertandaan (karena Tak berhenti di situ, jika Derrida masih
petanda selalu ditunda). Implikasinya penanda mengandaikan petanda absolut, meskipun ia
akan selalu mensyaratkan penanda terus ditunda, Jean P. Baudrillard memiliki posisi
menerus secara ad infinitum. yang lebih radikal.24 Secara semiotis
Derrida berasumsi bahwa asumsi Baudrillard sama sekali tidak memercayai
strukturalisme, yang menganggap terdapat adanya petanda. Yang ada hanyalah penanda,
petanda yang absolut, berdiri di atas asumsi dan penanda ini sama sekali tidak merujuk
logosentrisme. Logosentrisme ini selalu kepada acuan referensial apapun. Maka dari
meniscayakan kestabilan, keutuhan, itu yang tersisa hanyalah penanda murni.25
positivitas dan ujung dalam memandang Penanda murni atau penanda yang tak
segala realitas. Nah logosentrisme ini, klaim memiliki acuan referensial inilah, yang
Derrida, telah dimulai dari zaman filsafat dibaptis Baudrillard sebagai Simulacra.
Yunani antik dan berpuncak pada filsafat Simulacra ialah kenyataan atau realitas yang
modern; maka dari itu strukturalisme tak lain tidak memiliki acuan referensial apapun.26
dari bagian modernisme.21 Sebagaimana Pertanyaannya, bagaimana mungkin ini bisa
disebutkan di awal tulisan ini, para filsuf dari terjadi?
kosmosentris dan berpuncak pada Baudrillard ternyata, berangkat dari
antroposentris mencari pusat absolut yang tak analisanya terhadap situasi postmodern,
bisa diganggu gugat. Misalnya, kosmosentris masyarakat kontemporer, atau masyarakat

18 23
Opcit, 47. Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta:
19
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2011), Xvi-xvii.
24
LKIS, 2011), 50. Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika,
20
Opcit, Yasraf Amir Piliang, 124. (Bandung: Matahari, 2012), 124.
21 25
Akhyar Yusuf Lubis, Postmodernisme: Teori dan Ibid, 128.
26
Metode, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 35. Jean Baudrillard, Simulation, (United States of
22
Ibid, 36. America: Semiotext[e], 1983), 2.

91
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1 (2017)

kapitalisme lanjut. Setelah perang dunia II berada di mana-mana, atau dalam bahasanya
selesai, teknologi yang pada mulanya yang hiperbolis Baudrillard mengatakan
dipergunakan untuk membantu perang mulai bahwa seksualitas terdapat di mana-mana
dipergunakan. Selain itu, perkembangan kecuali di dalam seksualitas itu sendiri.31
teknologi jarak (telpon dan internet) jauh Singkatnya di sinilah letak ‘kematian’ segala
mulai ditemukan dan digencarkan, berikut sesuatu. Kematian seksualitas, kematian
juga kapitalisme yang mulai menemukan kekuasaan, kematian moralitas, kematian
tangan kanannya, yakni media massa.27 Tuhan, kematian realitas.
Simulacra ini—salah satunya— Pengaruh simulacra dalam realitas
bekerja dalam ruang-ruang virtual. Misalnya, kontemporer digambarkan Baudrillard dengan
dengan ditemukannya teknologi komputer, analogi peta. Suatu peta dibuat, tentunya mesti
hal-hal yang pada mulanya dianggap sebagai merujuk kepada referensinya, yakni suatu
sesuatu yang non-riil, berubah menjadi teritorial tertentu. Sehingga, peta dibuat
sesuatu yang riil. Yang non-riil ini, di dalam setelah teritorial. Namun tidak demikian
ruang virtual dicarikan substitusinya sehingga dengan tatanan simulacra. Dalam tatanan
ia menjadi riil.28 simulacra, peta dibuat terlebih dahulu, sebeluh
Tak berhenti di situ, realitas yang non- teritorial tertentu. Dengan demikian, peta
riil ini bahkan memengaruhi apa-apa yang ada tersebut sama sekali tidak merujuk kepada
di dalam realitas riil atau konkret. Bahkan, teritorial tertentu atau dalam bahasa lain, peta
lebih radikal lagi, kenyataan non-riil tersebut tersebut tidak memiliki referensi. Tak sampai
bercampur baur dengan yang riil, sehingga di situ, peta tersebut justru malah
implikasinya tak ada lagi distingsi yang jelas memengeruhi suatu teritorial.32
antara keduanya. Dengan ketidak jelasan Analogi peta ini bisa dilihat dalam
inilah, seseorang tak akan pernah bisa realitas hari ini. Dalam kapitalisme lanjut,
membedakan mana yang nyata dan mana yang yang mana terdapat kapitalisme finansial,
tidak nyata—hyperreal.29 simtom simulacra sangat terpampang dengan
Selain ketakbisa dibedakannya jelas. Kini kapitalisme tidak hanya
realitas, implikasi lain dari tatanan simulacra memproduksi komoditas per se, kapitalisme
ini ialah hilangnya esensi segala sesuatu. finansial ini bekerja dalam indeks harga.
Antara yang esensial dan yang non-esensial Indeks harga ini sebenarnya tidak merujuk
pun menjadi hilang. Moralitas pun apalagi. Di kepada komoditas apapun. Tapi ketika ia
dalam tatanan simulacra ini, tidak akan (baca: indeks harga) tidak merujuk kepada
ditemukan perbedaan antara yang baik dan suatu komoditas, justru ia memengaruhi
yang buruk, yang indah dan yang tidak indah, produksi di dalam sistem kapitalisme. Di
yang benar dan yang salah. Segala sesuatunya sinilah tatanan simulacra yang dimaksud oleh
telah bercampur baur, sehingga yang Baudrillard. Simulacra ini, singkatnya
ditemukan ialah kekosongan atau tanpa memengaruhi realitas konkret atau riil.33
referensi.30 Contoh lainnya ialah di dalam media
Secara sederhana kekosongan ini ialah massa. Media massa, bagi Baudrillard sudah
hilangnya batas-batas realitas. Misalnya, tegas tak merujuk lagi kepada realitas konkret
Baudrillard, seksualitas tidak hanya ada pada sebagai referensi. Perang-perang yang
seksualitas itu sendiri, namun seksualitas disiarkan di dalam televisi, ungkap

27
Kevin O’Donnell, Postmodernisme, (Yogyakarta, 31
Jean Baudrillard, Lupakan Postmodernisme: Kritik
Kanisius, 2009), 18-19. atas Pemikiran Foucault & Autokritik Baudrillard,
28
Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas (Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2015), 8-11.
32
Kebudayaan dalam Era Post Metafisika, (Yogyakarta, Jean Baudrillard, Simulation, (United States of
Jalasutra, 2004), 59-60. America, Semiotext[e], 1983), 1-2.
29 33
Jean Baudrillard, Simulation, (United States of Diakses dari: https://indoprogress.com/2014/11/apa-
America, Semiotext[e], 1983), 3. yang-kamu-lakukan-setelah-orgy-nihilisme-
30
Opcit, Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas baudrillard-reversibilitas-dan-perlawanan-simulakrais/
Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Hal. 345.

92
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1
(2017)

Baudrillard, sama sekali tidak terjadi di dalam telah dibuktikan bahwa Derrida masih
realitas konkret. Ia merupakan simulasi di menyisakan reruntuhan modernisme, yakni
dalam media. Hal tersebut bisa dilihat di masih mengakui adanya petanda meskipun ia
dalam tulisannya yang berjudul, The Gulf War tak terengkuh. Posisi inilah yang diradikalisasi
Did not Tak Place.34 oleh Baudrillard. Maka dari itu kajian atas
Ketika Baudrillard mengatakan bahwa simulacra Baudrillard menjadi penting.
simulacra memengaruhi realitas konkret, Kajian yang dilakukan terhadap
sekaligus mengacaukan distingsi realitas, pemikiran Baudrillard telah banyak dilakukan,
bukan berarti simulacra ini benar-benar baik di dalam skripsi, artikel, maupun dalam
menggantikan realitas konkret. Baudrillard buku-buku. Namun, di antara kajian yang
masih meyakini hal tersebut, namun ia telah dilakukan, masih saja sedikit yang telah
menyoroti bagaimana simulacra bekerja mengkaji secara mendalam konsep
dalam memengaruhi realitas konkret— simulacranya, terkhusus simulacra yang
sebagaimana disebutkan di muka. berposisi sebagai kritik atas filsafat
Keberpengaruhan lainnya yang bisa modernisme. Kebanyakan, kajian yang telah
disoroti adalah, bagaimana masyarakat dilakukan terhadap Baudrillard hanya meliputi
kontemporer hari ini sangat terpengaruhi oleh pemikirannya mengenai masyarakat
internet, ruang virtual, atau realitas simulacra. konsumer. Paling banter, simulacra
Isu-isu dan sebagainya yang tersebar di Baudrillard hanya dipergunakan sebagai pisau
internet, terkhusus media sosial bisa analisis saja, dan tidak membahas simulacra
memengaruhi massa, bahkan bisa membuat an sich.
mereka membenci seorang individu atau Misalnya, di dalam buku Menggugat
kelompok. Inilah kenyataan yang sedang Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran
digambarkan oleh Baudrillard. Postmodernisme Jean Baudrillard (2012)
Di sini penulis berposisi untuk karya Medhy Aginta Hidayat. Dalam buku
mendudukan Baudrillard dalam jajaran filsuf tersebut, memang isi dari pemikiran
yang mengkritik modernisme dan Baudrillard dipaparkan dengan gamblang,
kecenderungan oposisi binernya—yang dalam dimulai dari konsep simulacra dan
bahasa Baudrillard sendiri disebut sebagai hyperrealitynya. Namun, buku tersebut masih
eksplosi35. Maka dari itu, filsafat modernisme lebih memfokuskan diri kepada realitas
beserta nenek moyangnya, yang mana masyarakat postmodern saja, sedangkan
berfondasi logosentrisme—sebagaimana kajian simulacra tidak dibahas secara
klaim Derrida—bisi dibilang telah usang mendalam. Terbukti dari penulisnya yang
dimakan usia, karena Baudrillard sendiri telah mengklaim bahwa pemikiran Baudrillard
membuktikan bahwa kini filsafat, berikut hanya diperlakukan sebagai pisau analisis
seluruh realitas, sedang bergerak menuju terhadap kebudayaan postmodern.
implosi; yakni meleburnya segala sesuatu Telaah atas kebudayaan tersebut
dalam kekacauan sekaligus de-diferensiasi tercakup di dalamnya kajian tentang seni dan
segala sesuatu. Dan hal tersebut, tandas media massa. Seni yang dimaksud ialah
Baudrillard, merupakan efek dari simulacra.36 pastiche, kitsch, parodi dan camp. Yang mana
Lantas mengapa tidak menggunakan Derrida keempat bentuk seni tersebut merupakan
saja? Penulis sebenarnya menginsafi representasi dari arus seni posmodern. Nah,
pertanyaan tersebut, hanya saja, sebagaimana analisa Baudrillard dipergunakan dalam

34 36
Medhy Aginta Hidayat, Menggugat Modernisme: Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat:
Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan
Baudrillard, (Yogyakarta, Jalasutra, 2012), 88-89. Matinya Posmodernisme, (Bandung, Mizan, 1998), 17.
35
I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan
Bagi Filsafat, (Yogyakarta, Kanisius, 2016), 26.

93
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1 (2017)

menganalisis keempat bentuk seni tersebut. proses simulacra (simulacra Baudrillard tidak
Analisa tersebut adalah simulacra. terlalu ditekankan lebih fokus). Ia menyoroti
Begitu juga kajian Medhy atas media bagaimana laptop diposisikan sebagai
massa, seperti televisi dan film. Misalnya, teknologi yang membaurkan realitas maya
Medhy memaparkan pernyataan dan sikap dengan realitas konkret.
Baudrillard terhadap perang teluk, berikut Kemudian di dalam artikel Yasraf Amir
juga konteks masyarakat dalam dunia Piliang dengan judul Konsumsi, Selera, dan
pertelevisian, yang mana mereka dianggap Perubahan Sosial dalam buku kumpulan
hanya sebagai—menggunakan bahasa artikel yang berjudul Menggeledah Hasrat:
Baudrillard—mayoritas yang diam (Silent Sebuah Pendekatan Multi Perspektif (2006)
Majority). Namun, yang dipaparkan oleh yang di editori oleh Alfathri Adlin, hanya
Medhy hanyalah efek-efek dari dunia membahas wilayah nilai simbol dalam
pertelevisian. pemikiran Baudrillard; yang mana
Kajian atas film pun demikian, Medhy sebagaimana diketahui bersama, merupakan
Aginta ini memaparkan mengenai perfilman efek dari simulacra. Di sana pun Yasraf lebih
postmodern. Mulai dari mainstream film mendeskripsikan konsep hyperrelity, sebagai
postmodern dan semacamnya. Analisanya ini hasil dari simulacra Baudrillard, dalam
pun sama, yakni berangkat dari simulacra dan menganalisa fenomena kebudayaan. Sehingga
hyperrealitynya Baudrillard. Singkat kata pendekatan Yasraf bertendensi ke cultural
Medhy hanya menggunakan simulacra studies dibanding filsafat.
sebagai pisau analisis. Metode yang digunakan penulis untuk
Namun, pada satu sisi sang penulis meneliti pemikiran simulacra Baudrillard
mencoba memberikan paparan mengenai adalah metode deskripsi. Maka dari itu,
kritik atas modernisme, namun konteks dengan menggunakan metode ini, penulis
pelancaran kritik hanya dibatasi pada wilayah mencari dan melakukan studi kepustakaan atas
manifestasi dari modernisme atau dalam kata pemikiran Baudrillard, secara kualitatif.
lain kritik: yang dilancarkan hanya tertuju Dengan metode tersebut, penulis akan
pada konteks dari modernisme (baca: memaparkan terlebih dahulu objek kritik
modernitas). simulacra, yakni dengan mendeskripsikan
Kemudian di dalam artikel Yasraf filsafat modernisme itu sendiri. Setelah itu
Amir Piliang dengan judul Realitas-realitas penulis akan mencari seluk beluk dan hal
semu Masyarakat Konsumer: Estetika ihwal tentang simulacra, berikut hal-hal yang
Hiperrealitas dan Politik Konsumerisme berkaitan dengannya. Hal-hal yang berkaitan
dalam buku kumpulan artikel yang berjudul itu dimulai dari pencarian data mengenai:
Ecstasy Gaya Hidup (1997) yang di editori bagaimana Baudrillard dapat melahirkan teori
oleh Idi Subandy Ibrahim, cenderung lebih simulacra, berikut implikasi-implikasinya.
memfokuskan pemikiran Baudrillard kepada Lalu, akan dipaparkan pula asal-usul
sisi estetis hyperreality, dan bukan kepada bagaimana teori simulacra itu terbentuk.
simulacra itu sendiri. Sebagaimana kasus Mencari asal-usul keterbentukan
Medhy, Yasraf dalam buku ini membatasi simulacra itu tentu saja, dengan merunut
pada simulacra sebagai alat analisis saja. kebelakang teori dari Baudrillard. Otomatis,
Adapun di dalam skripsi Putri Dwi strukturalisme dan postrukturalisme pun akan
Adhitya yang berjudul Simulacra Laptop pun ikut diteliti demi merangkai teori simulacra
demikian, Putri pun—mengulang masalah secara utuh. Demikian juga keterpengaruhan
yang sebelumnya disebutkan—hanya konteks di mana Baudrillard hidup, sehingga
menggunakan simulacra sebagai pisau analisis ia dapat melahirkan teori tersebut.
saja terhadap para pengguna laptop. Ia bahkan
menggunakan analisa simulacra secara
sosiologis. Lebih jauh, ia tidak terlalu
menyoroti simulacra, namun ia hanya B. HASIL DAN PEMBAHASAN
menyoroti hyperreality sebagai hasil dari

94
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1
(2017)

Kritik Simulacra atas Modernisme Secara semiotis Saussure membagi dua


bentuk sistem pertandaan di dalam bahasa.
1. Berangkat dari Dekonstruksi Derrida Kedua bentuk itu antara lain: petanda dan
a. Kritik atas Logosentrisme penanda. Petanda adalah konsep, sedang
penanda adalah fonem atau bunyi. Kedua
Jacques Derrida merupakan salah satu bentuk tersebut saling bertautan satu sama
filsuf dari jajaran postrukturalisme, yang lainnya, bagaikan dua sisi koin yang tak dapat
cukup ampuh dalam membongkar asumsi dilepaskan satu sama lain. Jadi sistem bahasa
modernisme. Namun, yang akan disoroti lebih itu tak lepas dari kedua hal tersebut; petanda
mendalam dalam kritiknya terhadap dan penanda itu adalah kesatuan. Dan konsep
modernisme ialah, kritiknya atas antara petanda dan penanda ini, hanya bekerja
strukturalisme Ferdinand de Saussure. di dalam ruang lingkup bahasa yang sama
Sebagaimana disebutkan di pembahasan sekali tidak merujuk kepada realitas.
sebelumnya, Saussure dengan Apakah proyek Saussure ini telah
strukturalismenya hendak membongkar berhasil? Sayangnya Derrida tidak
asumsi yang melandasi kaum filsuf analitik mempercayai keberhasilan proyek yang
(dalam arti tertentu). Jika para filsuf analitik dilancarkan oleh Saussure. Karena bagi
masih mengasumsikan bahwa bahasa Derrida, Saussure masih memiliki asumsi-
merupakan jembatan atau alat manusia dalam asumsi modernisme yang melatari konstruksi
mengakses realitas, strukturalisme memiliki strukturalismenya. Jadi Saussure masih gagal
pemahaman yang lain. Strukturalisme untuk melampaui modernisme.
beranggapan bahwa dunia kita sebenarnya Derrida, meyakini bahwa Saussure
adalah bahasa itu sendiri. Dan bahasa itulah tercebur dalam logosentrisme. Logosentrisme
yang mengungkung dan menutup kita dalam ialah asumsi metafisik yang meyakini bahwa
pengaksesan kita terhadap realitas. Struktur terdapat fondasi absolut dibalik realitas yang
bahasa itu juga yang membentuk pandangan berubah-ubah ini. Fondasi itulah yang disebut
dunia kita akan realitas; jika memang realitas dengan Logos. Logos ini termanifestasi dalam
itu dapat diakses. berbagai bentuk seturut para filsuf
Saussure menghimbau bahwa struktur menafsirkannya, mulai dari Idea, Cogito,
bahasa kita itu bersifat arbitrer atau manasuka. Subjek Transendental, dan semacamnya, yang
Dengan ini juga sebenarnya Saussure intinya bentuk-bentuk tersebutlah yang
mengkritik filsafat analitik. Tapi dengan ke memungkinkan ‘pengada-pengada’ atau
arbitreran suatu bahasa, Saussure tidak berbagai entitas itu hadir.37
memaksudkan kekacauan bahasa. Karena, Kecenderungan Logosentrisme Saussure,
bagi Saussure, struktur pertandaan itu bersifat dibuktikan salah satunya dari anggapannya
konvensional. Dengan konvensi ini, bahwa petanda ialah fondasi dari penanda.
kearbitreran suatu bahasa dapat terkontrol. Lalu asumsi Saussure yang menganggap
Namun, dengan terkontrolnya bahasa oleh bahwa petanda dan penanda itu tak mungkin
konvensi, Saussure juga tidak bermaksud bisa dipisahkan. Dan ketakterpisahannya ini,
bahwa bahasa itu tak mengalami perubahan. Derrida sebut sebagai kehadiran. Jadi, makna
Fakta sejarah menunjukkan bahwa perubahan absolut itu hadir di dalam kesatuan antara
bahasa itu terjadi. Jadi Saussure mengatakan petanda dan penanda.38
bahwa dinamika bahasa itu sangat mungkin, Bagi Derrida, asumsi Saussure mengenai
tapi dinamika itu—sekali lagi—terkontrol logosentrisme sekaligus asumsi kehadiran
oleh konvensi. merupakan ilusi saja. Mengapa? Derrida

37 38
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: Ibid, 56.
LKIS, 2011), 73-74.

95
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1 (2017)

menunjukkan, bahwa sebenarnya Saussure Derrida mencontohkan bagaimana


telah menemukan ketidakhadiran dalam differance ini bekerja. Derrida mengambil teks
konstruksi sistem pertandaannya, namun Platon untuk dijadikan bahan kerjanya. Ia
Saussure akhirnya menarik asumsi mengambil kata pharmakon di dalam teks
ketakhadiran itu. Hal tersebut terbukti ketika Platon. Di dalam salah satu buku Platon,
Saussure mengatakan bahwa makna itu hanya pharmakon diartikan sebagai obat, namun
mungkin, karena terdapat sistem perbedaan dalam teksnya yang lain justru ia berarti racun.
yang ada di dalam sistem bahasa.39 Pharmakon sebenarnya berkaitan dengan
Saussure mengatakan bahwa— naskah Platon yang membicarakan mengenai
misalnya—kata ‘anjing’ itu bermakna bukan tulisan. Tulisan dalam salah buku Platon
karena kata tersebut merujuk kepada realitas, dianggap sebagai racun, karena dipercaya
jadi tak ada korespondensi logis antara kata bahwa tulisan itu akan mengurangi
dengan realitas, bagi Saussure, makna atas kemampuan menginat seseorang. Sekaligus
kata ‘anjing’ itu muncul lantaran relasi juga kejamakan penafsiran akan muncul jika
perbedaan kata ‘anjing’ dengan kata ‘non- tulisan dijadikan acuan. Hal tersebut berbeda
anjing’. Kata ‘non-anjing’ itu misalnya dengan ujaran, ujaran akan mengatasi
‘kucing’ dan semacamnya. Atau kata ‘apel’ kejamakan penafsiran, karena jika saja
tidak merujuk kepada buah tertentu, tapi kata terdapat penafsiran yang berbeda, maka
‘apel’ itu bermakna hanya karena kata tersebut penafsira tersebut akan diatasi secara
berelasi dengan kata ‘apes’, ‘apek’ dan langsung. Begitu juga ujaran, akan
semacamnya.40 meningkatkan kemampuan seseorang untuk
Derrida dalam posisi tertentu sepakat mengingat. Di sini tulisan dianggap sebagai
dengan Saussure, terkhusus dengan konsep pharmakon yang berarti racun.44
Saussure mengenai relasi perbedaan di dalam Tapi di sisi lain, Platon menggunakan
bahasa. Hanya saja, Derrida menolak pharmakon yang berarti obat. Hal tersebut
kehadiran yang dibayangkan oleh Saussure.41 menunjukkan, bahwa terdapat ambiguitas
Bagi Derrida, sistem perbedaan dalam dalam struktur bahasa yang digunakan Platon.
bahasa tidaklah meniscayakan kehadiran. Dan hal yang memungkinkan ambiguitas itu
Dengan upaya tersebut, Derrida menyodorkan adalah differance.45
konsep differance. Differance ini ialah Jadi di dalam sistem pertandaan ini,
pembaptisan atas relasi perbedaan yang ada di differance selalu kehadiran makna. Sehingga
dalam struktur bahasa. Secara sederhana pada akhirnya hanya akan ada jejak atau trace.
difference bisa diartikan sebagai sistem Jejak tersebut menandai ketidakhadiran
penundaan.42 Apa yang dimaksud dengan makna. Karena makna tersebut selalu
sistem penundaan ini? tertunda.46
Sistem penundaan ini bekerja di dalam Di dalam lanskap semiotika. Kerja
relasi perbedaan. Hanya saja di dalam relasi differance ini dapat dijabarkan seperti ini:
perbedaan ini, makna tak pernah hadir. Jadi relasi petanda dan penanda, makanya tidak
makna selalu tidak hadir di dalam struktur bersifat relasional. Petanda akan senantiasa
bahasa. Dan struktur differance ini senantiasa ditunda, atau dalam bahasa lain kehadiran itu
‘melekat’ dan hadir di dalam struktur bahasa.43 akan senantiasa ditunda. Penanda, maka dari
itu, tidak mensyaratkan petanda secara

39 43
Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis: Kajian Ibid.
44
Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer, Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta:
(Yogyakarta: Resist Book, 2012), 5. LKIS, 2011), 89.
40 45
Alfathri Adlin, dalam Kata Pengantar Yasraf Amir Ibid, 95.
46
Piliang Semiotika dan Hipersemiotika, (Bandung: Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis: Kajian
Matahari, 2012), 23. Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer,
41
Opcit. (Yogyakarta: Resist Book, 2012), 6.
42
Ibid.

96
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1
(2017)

langsung, akan tetapi penanda selalu kompleksitas tersebut lah suatu teks terbentuk
mensyaratkan penanda lainnya, dan begitu menjadi seolah-olah utuh. Di sini juga Derrida
seterusnya secara tak terbatas.47 hendak berbicara mengenai kematian dari
Dengan istilah differance yang digunakan sang pengarang (author). Ketika kita
Derrida, sebenarnya menunjukkann dimensi membaca suatu teks, sebenarnya pengarang
tekstualitas. Dalam artian, Derrida juga sedang telah mati. Ia tidak hadir di dalam teks
meruntuhkan asumsi fonosentrisme. Yakni tersebut. Sehingga, boleh dikatakan bahwa,
keterpusatan kepada ujaran. Ujaran ini penafsiran terbuka lebar.51
diandaikan di dalam strukturalisme Saussure. Konsep-konsep yang ditawarkan Derrida
Mengapa? Karena sistem ujaran dianggap ini sebenarnya, berkaitan erat dengan proyek
menyatukan relasi antara penanda dengan dekonstruksinya. Dekonstruksi merupakan
petanda. Singkat kata Derrida hendak konsep yang terkenal dilahirkan oleh Derrida.
menunjukan bahwa tidak ada apapun di balik Dengan dekonstruksi inilah Derrida hendak
teks.48 membongkar asumsi metafisik yang ada di
Dengan ungkapan bahwa tidak ada apa- dalam sejarah filsafat Barat.52
apa di balik teks, Derrida tidak memaksudkan Sebenarnya, dekonstruksi ini memiliki
bahwa segalanya adalah teks. Namun, yang misi lainnya yang juga penting. Yakni
dimaksud Derrida adalah bahwa segala membongkar oposisi biner yang terdapat di
sesuatu itu berdimensi layaknya teks. Dimensi dalam logika modernisme. Oposisi biner ini
teks ini sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, melekat di dalam tradisi modernisme,
bahwa segala sesuatunya terlingkup oleh sebagaimana kita lihat di dalam pembahasan
sistem tanda yang saling berkaitan dengan sebelumnya. Misalnya dengan pemisahan
tanda-tanda lain.49 subjek dan objek dalam lintasan filsafat
Secara implisit Derrida sebenarnya telah modern.53
menunjukkan tekstualitas tersebut. Hal Dengan dekonstruksi, Derrida hendak
tersebut bisa dilihat dari kata differance yang meruntuhkan oposisi yang ada di dalam
digunakan oleh Derrida. Kejelasan differance struktur filsafat. Dengan strategi tersebut
hanya mungkin jika dituliskan di dalam teks. Derrida mencoba menjungkirkan dan
Mengapa? Karena kata tersebut tidak mungkin membuka bahwa setiap oposisi, dan oposisi
jelas jika diucapkan, karena bunyi pengucapan yang disuperiorkan itu selalu mensyaratkan
kata tersebut mirip dengan kata difference. satu sama lainnya. Misalnya, subjek yang
Dengan strategi tersebutlah Derrida hendak senantiasa dianggap sebagai superior
menunjukkan dimensi teks.50 ditunjukkan oleh Derrida bahwa subjek
Lalu, Derrida juga secara implisit sedang sebenarnya mensyaratkan objek yang
menunjukkan dimensi intertekstualitas. Teks disubordinasikan. Petanda juga, dengan
bagi Derrida bersifat intertekstual. Dalam begitu, selalu mensyaratkan penanda dalam
artian, teks itu sendiri berkaitan atau berelasi posisi superiornya. Lalu, dengan
dengan teks lainnya. Dengan begitulah menjungkirkan sistem oposisi tersebut,
Derrida juga membuktikan kerja dari Derrida sebenarnya tak hendak
differance. Misalnya begini: kita tak akan mengembalikan oposisi baru. Namun, Derrida
pernah menemukan makna asli di dalam teks hanya membongkar struktur tersebut tanpa
tertentu. Mengapa? Karena terdapat jaringan hendak merekonstruksi; karena dengan
teks yang begitu rumit dan kompleks. Dengan

47 50
Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika, Ibid, 110-111.
51
(Bandung: Matahari, 2012), 124. Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer,
48
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: (Yogyakarta: Jalasutra, 2001), 107.
52
LKIS, 2011), 76-77. Ibid, 108.
49 53
Ibid, 77. Ibid.

97
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1 (2017)

konstuksi, sistem metafisik akan kembali yang selalu tertunda. Tidak ada yang disebut
lagi.54 dengan kehadiran, karena yang ada adalah
Terlepas dari itu semua, pertanyaan yang ketidak hadiran yang menghasilkan jejak.
mengemuka adalah, apakah makna itu benar- Dengan begitu, penanda tidak langsung
benar tidak ada? Makna dalam konteks ini mengacu kepada petanda, tapi penanda
diartikan sebagai makna absolut. Derrida mengisyaratkan penanda lainnya secara tak
menjawab, bahwa makna absolut itu tetap ada, terbatas. Singkat kata petanda berada ‘di
namun ia selalu ditunda.55 Jadi dalam sana’.
konstruksi filsafat Derrida, makna itu tidak Baudrillard memiliki posisi yang sedikit
berujung kepada nihilisme. Lebih, dari itu berbeda dengan Derrida, meskipun kita akan
Derrida sebenarnya sedang ‘menjauhkan’ melihat bahwa Baudrillard juga terpengaruh
objektifitas di dalam kerangka filsafat. olehnya. Namun sebelum dijabarkan
Nah, posisi ini nantinya diradikalisasi oleh perbedaan posisi antara Derrida dan
Jean P. Baudrillard. Di dalam konstruksi Baudrillard, kita lihat terlebih dahulu
filsafatnya Baudrillard, yang dinamakan bagaimana relasi Baudrillard dengan
makna itu benar-benar tidak ada. Ketiadaan Saussure.
makna ini akan muncul di dalam konsepnya Saussure pernah mengatakan bahwa relasi
mengenai simulacra. antar tanda di dalam sistem pertandaan itu
bersifat arbitrer, tak ada relasi logis khusus
b. Radikalisasi Dekonstruksi antara penanda dan petanda. Relasi tersebut
bersifat manasuka. Lalu, sempat disebutkan
Baudrillard pada posisi tertentu memiliki juga bahwa Saussure sama sekali tidak
kecenderungan yang sama dengan Derrida. merujuk kepada realitas eksternal di dalam
Namun, ia juga memiliki posisi tersendiri yang sistem bahasanya. Dalam artian, manusia itu
mana membedakan dirinya dengan Derrida. Ia dikungkung oleh realitas bahasa, dan tak
mengadopsi pemikiran Derrida mengenai pernah bisa melepaskan dirinya.
relasi pertandaanya, yakni mengenai Tapi satu hal yang perlu diketahui adalah,
differance. bahwa masih ada referensi yang melingkupi
Sebagaiman disebutkan di pembahasan sistem pertandaannya Saussure. Jadi relasi
sebelumya, differance merupakan bentuk petanda dan penanda itu masih mencoba
perlawanan Derrida atas strukturalisme merujuk kepada realitas yang diacunya.
Saussure. Ketika Saussure mengatakan bahwa Misalnya, penanda ‘matahari’ dengan konsep
terdapat relasi yang tak bisa dipisahkan antara mengenai ‘matahari’, membentuk acuan
petanda dan penanda, Derrida tidak referensialnya kepada matahari sebagai
memercayai hal tersebut. realitas.56
Bagi Derrida, hal tersebut adalah Baudrillard pada posisi ini tidak
kecenderungan dari asumsi kehadiran. memercayai hal tersebut. Jadi relasi
Kehadiran dapat diartikan sebagai kesatuan pertandaan itu tidak mengacu kepada realitas.
petanda dan penanda. Derrida, menunjukkan Bagi Baudrillard, justru sistem relasi
bahwa hal tersebut adalah suatu hal yang tak pertandaan itu justru membentuk realitas.
mungkin, karena relasi tersebut selalu ditunda, Bukan sebaliknya.57
karena di dalamnya terdapat apa yang disebut Baudrillard jadi menghimbau bahwa
dengan differance. matahari sebagai realitas eksternal itu ada,
Tapi dengan penundaan itu Derrida masih dikarenakan terdapatnya relasi pertandaan
mengisyaratkan makna absolut. Namun, yang terjadi antara penanda dan petanda.
makna absolut itu mesti dipahami sebagai Singkat kata sistem pertandaan itulah yang

54 56
Ibid. Chris Horrocks and Zoran Jevtic, Introducing
55
Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika: Baudrillard, (UK: Icon Books, 1999), 44.
57
Kode, Gaya dan Matinya Makna, (Bandung: Matahari, Ibid, 44
2012), 124.

98
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1
(2017)

membentuk realitas. Referen merupakan merupakan ilusi. Maksudnya, sebagaimana


refleksi dari tanda atau pertandaan.58 dikatakan di awal, bahwa bagi Baudrillard
Kemudian, Baudrillard menggaris bawahi bukanlah tanda (petanda dan penanda) yang
bahwa, sifat yang arbitrer di dalam sistem nantinya mengacu atau mereferensi kepada
pertandaan itu tidak hanya terjadi, realitas. Tapi realitas itu sendiri merupakan
sebagaimana yang dibayangkan oleh bentuk refleksi sekaligus yang
Saussure. Dalam artian, kearbitreran tidak mengonstitusikan realitas. Semua itu bekerja
hanya terjadi pada relasi antara petanda dan atas dasar simulacra. Lalu, apa yang dimaksud
penanda, namun relasi yang mengisyaratkan oleh Baudrillard bahwa kearbitreran itu sendiri
terdapatnya suatu pengasumsian mengenai adalah bukanlah apa-apa, ialah pernyataan
relasi setara antara penanda dan petanda juga Baudrillard mengenai kekosongan referen itu
bersifat arbitrer.59 Padahal relasi setara itu sendiri.
sendiri pada dirinya tak bermakna sama sekali Pada posisi ini, Baudrillard berbeda
atau dalam bahasa lain bukanlah apa-apa.60 dengan Derrida. Dalam artian, bahwa Derrida
Saussure dengan mengalamiahkan relasi masih mengakui makna di dalam sistem
antara petanda dan pendanda, justru sedang dekonstruksinya. Meskipun makna itu sendiri
mereduksi segala potensialitas dari suatu selalu ditunda. Baudrillard sama sekali tidak
‘makna’. Yang mana justru makna itu sendiri mengakui makna itu sendiri, mengapa?
tidak bergantung kepada penyamaan dan Karena bagi Baudrillard, acuan referensial itu
perelasian antara petanda dan penanda.61 sama sekali tidak ada, bahkan tidak mungkin
Dalam sistem pertandaan Baudrillard, suatu ada.65
penanda makanya bisa saja mereferensi
kepada suatu ragam petanda; sehingga
memunculkan suatu ambivalensi.62 2. Simulacra dan Penghancuran
Kritik ini sebenarnya bisa ditarik pada Modernisme
pemikiran sentral Baudrillard itu sendiri,
yakni pemikirannya mengenai simulacra. a. Simulation and Order of Simulacra
Simulacra ini diterjemahkan Baudrillard
sebagai: suatu realitas yang tak memiliki Jean P. Baudrillard, merupakan salah satu
acuan referensial apapun.63 filsuf dari sekian banyak filsuf yang mencoba
Tak ada yang disebut dengan acuan membongkar modernisme. Sebagaiman
referensial. Realitas eksternal pun tidak ada. dijelaskan di dalam pembahasan sebelumnya,
‘Yang ada’ hanyalah simulasi, yang mana kita telah bertemu dengan Derrida bersama
merupakan realitas tanpa acuan referensial dekonstruksinya yang mencoba menggempur
apapun. Yang riil itu sendiri diproduksi oleh habis modernisme. Penggempuran itu
mekanisme simulacra, mekanisme simulacra dilancarkan lewat kritiknya atas
itu ialah miniatur sel, martriks dan memory logosentrimse, terkhusus kepada
banks.64 strukturalisme Saussure.
Dalam artian ini, kita bisa melihat apa Pada posisi tertentu, Baudrillard memiliki
yang dimaksud oleh Baudrillard bahwa sistem pandangan yang sama dalam mengkritik
pertandaan yang ada pada Saussure itu modernisme bersamaan dengan Derrida.

58 63
Ibid. Jean Baudrillard, Simulation, (United State of
59
Jean Baudrillard, Selected Writing: The Political America: Semiotext[e], 1983), 2.
64
Economy of the Sign, (Stanford: Stanford University Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation,
Press, 1988), 81. Diperoleh dari situs B. Conrad Williams:
60
Opcit, 42. http://www.bcondradwilliams.com/files/7313/9690/Ba
61
Opcit. udrillard-Jean-Simulacra-And-Simulation2.pdf, 2.
62 65
Ibid, 82. Ibid, 21.

99
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1 (2017)

Namun, Baudrillard pada posisi yang lain bukan fantasi, yang metafisik dan yang fisik,
memiliki posisi yang berbeda dengannya. bukan lagi menjadi persoalan di dalam
Keberbedaan posisi itu terlihat, ketika Derrida simulacra. Karena, perbedaan di dalam
masih mengandaikan makna ‘absolut’, namun distingsi tersebut sudah tidak ada. Akhirnya
makna itu selalu ditunda. Sedangkan tidak ada lagi yang disebut dengan riil.70 Masa
Baudrillard mengatakan bahwa makna dari simualcara ini ditandai oleh meleburnya
absolut, bahkan makna itu sendiri telah hilang. segala diferensiasi. Tak ada lagi oposisi biner,
Kehilangan makna itu muncul dari pemikiran tak ada lagi imitasi, reproduplikasi, bahkan tak
Baudrillard mengenai Simulacra. ada lagi yang disebut dengan parodi71.
Simulacra diartikan sebagai suatu realitas Baudrillard melanjutkan, terdapat
yang tak memiliki acuan referensialnya.66 perbedaan antara memalsukan dan
Baudrillard menggambarkan simulacra ini mensimulasikan. Perbedaan tersebut
dengan sebuah peta. Analogi peta ini ia digambarkan oleh Baudrillard dengan suatu
dapatkan dari alegorinya Borges. Analogi itu analogi lagi: Seseorang yang ingin
seperti ini: sebuah peta tentunya digambarkan memalsukan bahwa dirinya sedang sakit, bisa
berdasarkan suatu teritori tertentu. Jadi peta di saja langsung pergi ke tempat tidur lalu
sini merupakan suatu representasi dari suatu mengaku bahwa ia sedang sakit. Di dalam
referen, yakni teoritorial. Teritorial ini pemalsuan ini, perbedaan antara tidak riil dan
menjadi acuan, bagi sebuah peta.67 riil itu masih ada. Karena proses pemalsuan
Di dalam alegorinya Borges, sebuah peta merupakan bentuk penutupan terhadap yang
tersebut dibuat sangat detail. Bahkan dengan riil oleh yang tidak riil.72
kedetailannya peta tersebut hampir tak Sedangkan apa yang terjadi pada
terbedakan dengan realitas aslinya.68 Jadi pensimulasian itu berbeda lagi. Di dalam
seakan-akan peta yang merupakan pensimulasian, fenomena sakit itu tidak hanya
representasi ini, hampir melampaui sifat dari berangkat ke kasur untuk tidur, atau mengaku
representasi itu sendiri. sedang sakit. Lebih dari itu, pensimulasian
Namun, bagi Baudrillard alegori dari adalah proses memunculkan dan
Borges itu sudah tak memadai lagi, karena memproduksi simptom itu sendiri. Proses
baginya kita hidup di dalam tatanan simulasi produksi dan pemunculan simptom ini
atau simulacra. Tatanan simulasi ditandai oleh akhirnya, menghilangkan perbedaan antara
hilangnya apa yang disebut dengan yang riil dan tidak riil. Karena, sulit sekali
representasi, sekaligus hilangnya the origin. untuk mendeteksi seseorang itu sakit atau
Simulasi ini merupakan suatu tatanan yang tak tidak. Bahkan psikologi dan medis tak akan
memiliki acuan referensialnya. Di dalam mampu untuk mendeteksi apakah sakit itu di
tatanan simulasi ini, bukan lagi teritori tertentu dalam tatanan simulasi.73
yang mendahului sebuah peta. Namun, Disneyland merupakan contoh dari
sebaliknya. Peta dibuat terlebih dahulu tatanan simulacra. Di dalam Disneyland akan
sebelum teritori.69 ditemukan berbagai ilusi dan fantasi di mana-
Perbedaan antara peta dan teritori mana. Di sana akan ditemukan, bajak laut,
menjadi tak relevan lagi di dalam tatanan dunia masa depan dan berbagai macam ilusi
simulacra ini. Lebih, jauh perbedaan antara lainnya.74 Disneyland, bagi Baudrillard, ingin
yang riil dan tidak riil, yang fantasi dan yang menununjukkan bahwa dirinyalah yang ‘asli’,

66
Jean Baudrillard, Simulation, (United States of Lih, Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang
America: Semiotext[e], 1983), 2. Menakutkan: Mesin-mesin Kekerasan dalam Jagat
67
Ibid, 1. Raya Chaos, (Bandung: Mizan, 2001), 18.
68 72
Ibid. Opcit, 5.
69 73
Ibid, 2. Ibid.
70 74
Ibid, 2-3. Ibid, 23.
71
Parodi merupakan mempermainakan suatu gaya dari
ciri khas seorang seniman sehingga ia tampak absurd.

100
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1
(2017)

sedangkan America dan Los Angles yang baru dengan upaya dan cara imitasi terhadap
mengitarinya hanyalah ilusi belaka.75 realitas.79
Tapi yang menjadi soal di dalam Kedua, tahap industri. Tahap kedua
Disneyland adalah, bahwa persoalan mana tatanan simulacra, ditandai dengan munculnya
yang lebih asli, apakah dunia fantasi tersebut revolusi industri, yang mana terdapatnya
atau America merupakan persoalan yang reproduksi tak terbatas. Produksi dalam
keliru. Kekeliruan itu muncul, gara-gara tatanan ini menjadi bersifat mekanik.80 Walter
simulacra. Jadi pada tatanan Disneyland itu, Benjamin, pernah berbicara mengenai hal
kenyataan dan ilusi sudah tumpang tindih, fenomena reproduksi mekanik ini. Seni pada
bahkan tak terbedakan sama sekali sekaligus zaman industri kini dapat direproduksi. Seni
memang tak ada sama sekali perbedaan. Yang reproduksi ini terlihat dari fotografi dan film.
riil sudah tak menjadi yang riil.76 Lalu, Walter Benjamin mengatakan, bahwa
Sebenarnya, lanjut Baudrillard, simulacra reproduksi mekanikal ini berdampak pada
ini memiliki tahap-tahapnya sendiri. Dalam hilangnya aura dari seni itu sendiri.81
artian, di dalam konteks Disneyland, Di dalam tatanan simulacara ini, tak ada
Disneyland merupakan puncak dari ujung lagi apa yang disebut dengan alamiah.
tahapan simulacra. Namun, sebelum Segalanya, bagi Baudrillard telah menjadi
Disneyland muncul, simulacra telah ada. Di hukum nilai komersial. Dengan hukum nilai
sini Baudrillard membagi tahapan tatanan komersial ini, hendak juga ditegaskan bahwa
simulacra ini ke dalam tiga tahap.77 segalanya itu bersifat setara, dengan
Pertama, tahap Renaissance atau tahap kesetaraan ini maka segalanya dapat
munculnya modern. Di dalam era feodal dipertukarkan, dan pertukaran ini ditandai
sistem pertandaan yang ada, bersifat hirarkis. dengan nilai pasar. Logika reproduksi ini,
Hal tersebut dapat terlihat di mana terdapat bergerak di dalam hukum nilai komersial
simbol-simbol tertentu yang menunjukkan tersebut.82
pada status sosial. Misalnya, baju yang “Here we are in the third-order
dikenakan seseorang sebenarnya simulacra; no longer that of the counterfeit of
menunjukkan juga status sosialnya.78 Seorang an original as in the first-order, nor that of
Raja dengan demikian tidak akan pure series asa in the second” ungkap
menggunakan baju yang dipakai oleh seorang Baudrillard.83 Pada fase ini, bukan lagi
rakyat. reproduksi yang menjadi titik bagi
Era modern muncul untuk mendobrak fundamental.84 Pada tatanan ini model
tatanan hirarki di dalam suatu tanda. Cara menjadi titik awal dari segala sesuatu. Atau
mendobrak tatanan hirarki itu dengan cara dalam bahasa lain, segala sesuatunya
merepresentasikan alam itu sendiri. Dalam ditentukan oleh model-model. Transportasi,
artian, orang modern mencoba untuk arsitektural dan kota kini dibentuk oleh model-
mengimitasi realitas. Dengan begini, orang- model tersebut.85 Perlu diketahui juga bahwa
orang yang nantinya menjadi borjuis, model yang mengondisikan realitas ini,
mencoba untuk menciptakan suatu budaya

75 80
Ibid, 25. Ibid, 79.
76 81
Ibid. Ibid.
77 82
Richard J. Lane, Jean Baudrillard, (London: Ibid.
83
Routledge, 2000), 86. Jean Baudrillard, Simulation, (United States of
78
Douglas Kellner, Jean Baudrillard: From Marxism America: Semiotext[e], 1983), 100-101.
84
to Postmodernisme and Beyond, (Stanford: Stanford Ibid, 101.
85
University Press, 1989), 78. Opcit, 80.
79
Ibid.

101
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1 (2017)

merupakan realitas yang tak memiliki origin budaya yang menghinggapi masyarakat
atau referennya.86 kontemporer.91
Jelaslah, bahwa Disneyland berada pada Kebudayaan simulacra itu sebenarnya di
tatanan ketiga dalam tahap dan tatanan mana terjadinya tumpang tindih realitas.
simulasi. Karena di dalam Disneyland kita Tumpang tindih realitas itu terjadi, ketika yang
menemukan ilusi dan fantasi saling fantasi dan yang non-fantasi saling berbaur
berseliweran satu sama lain, di dalam satu sama lain. Ilusi dan fakta menjadi campur
‘realitas’.87 Baudrillard melanjutkan, bahwa baur. Pertanyaannya kemudian adalah,
pada tatanan ini modal sebagaimana yang ada bagaimana ini bisa terjadi? Hal tersebut
di dalam logika Marx tidak lagi menjadi terjadi, karena terdapat suatu teknologi yang
esensial, tetapi kode dan simulacra yang memungkinkan fenomena itu terjadi.
diutamakan. Pada tahap ini, kita tak lagi hidup Teknologi itulah yang dapat ‘mematerialisasi’
di tatanan kapitalis, namun dalam tatanan apa-apa yang dulunya dianggap sebagai ilusi
cybernetik-neokapitalis.88 atau imaji, sehingga ia menjadi konkret.
Baudrillard bahkan dengan ironis Dengan ‘mematerialisasi’ ini, Baudrillard
mengatakan, kita hidup di dalam kotak hitam bermaksud bahwa kini realitas yang ilusi dan
kode. Maksud dari kotak hitam kode ini ialah konkret tak lagi dapat dibedakan satu sama
ketika kita tak pernah mengetahui apa yang lainnya. Inilah tatanan simulacra.92
terjadi di dalam masyarakat kontemporer. Lewat teknologi simulasi, kini malaikat,
Baudrillard juga mengatakan, bahwa kita iblis, ikan yang bisa terbang, pacar ideal,
hidup pada akhir evolusi dialektis, tak ada bahkan Tuhan itu sendiri dapat dibuat nyata.
finalitas dan tak ada determinasi.89 Namun, dengan membuat nyata berbagai
Di dalam konteks politik, ketika tak ada entitas tersebut, realitas itu tetap saja berbeda
lagi pedoman, tak ada referensi dan tak ada dengan realitas yang konkret. Ia sama sekali
lagi kebenaran, maka yang menjadi ukuran tidak terikat—misalnya—kepada hukum-
adalah referendum dan poling. Di dalam hukum alam yang ada di dalam realitas.
referendum dan poling—sebagai representasi Realitas ini pun berbeda dengan realitas
dari model—segala sesuatunya telah metafisika. Jadi realitas simulacra ini
ditentukan terlebih dahulu sebelum realitas. merupakan realitas yang tidak fisikal sekaligus
Jadi ketika berhadapan dengan referendum ini, juga tidak metafisikal.93
para responden tinggal dan harus merespon
cara-cara yang telah ditetapkan.90 Di sinilah b. Implosi
apa yang disebut oleh Baudrillard dengan
akhir dari realitas. Karena model telah Bagi Baudrillard, realitas modern
menggantikan realitas, sekaligus ditandai dengan apa yang disebut dengan
menutupinya. eksplosi. Eksplosi merupakan tatanan
Sebenarnya selain membicarakan fragmenter, yang memilah-milah realitas ke
simulacra di dalam wilayah filosofis, dalam batas-batasnya. Misalnya, pemilahan
Baudrillard juga membicarakan simulacra di yang terjadi di dalam oposisi biner, subjek-
dalam konteks kebudayaan. Dalam artian, objek, riil-fantasi, budaya rendah-budaya
simulacra juga merupakan suatu fenomena tinggi.94

86
Richard J. Lane, Jean Baudrillard, (London: O’Byrne dan Hugh J. Silverman, (United States of
Routledge, 2000), 86. America: Lexington Books, 2015), 22.
87 92
James Walter, Baudrillard and Theology, (New Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas
York: T & T Clark, 2012), 31. Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, (Yogyakarta:
88
Akhyar Lubis, Postmodernisme: Teori dan Metode, Jalasutra, 2004), 69.
93
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2014), H186-187. Ibid.
89 94
Ibid, 187. Bambang Sugiharto, Posmodernisme: Tantangan
90
Ibid, 187. bagi Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2016), 26.
91
Drew A. Hyland, dalam Subjects and Simulation:
Between Baudrillard and Lacoue-Labarthe, ed. Anne

102
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1
(2017)

Sedangkan yang terjadi di dalam realitas Di dalam dunia tanpa tapal batas ini,
posmodern, bukan lagi ekplosi yang terjadi, ternyata terdapat beberapa dampak yang
namun implosi. Implosi diartikan sebagai signifikan, antara lain: pertama, homogenisasi
ledakan ke dalam, yakni ketika terjadi apa masyarakat. Homogenisasi masyarakat ini
yang disebut dengan dediferensiasi. Ia bergerak lewat media elektronik dan teknologi
merupakan suatu bentuk yang berlawanan komunikasi jarak jauh, seperti televisi internet
dengan realitas yang ada di dalam modern. dan telepon, dan semacamnya.98
Dengan implosi dimaksudkan, bahwa segala Kedua, menciptakan suatu komunitas
sesuatunya melebur satu sama lain. Segala baru yang berbeda dengan komunitas
oposisi yang ada di dalam modern, kini telah tradisional; komunitas ini biasa disebut
melebur satu sama lain. Tak ada lagi yang dengan komunitas virtual. Kedua bentuk
dinamakan—misalnya—budaya tinggi dampak signifikan ini akhirnya berefek pada
maupun budaya rendah di dalam tatanan tiadanya pengindahan batas-batas apapun,
simulasi.95 baik itu nasionalitas, agama, budaya, etnik,
Sekat-sekat geografis, sekat-sekat lokasi spasial dan semacamnya. Akhirnya
identitas, sekat-sekat kelompok atau kolektif, yang tersisa hanyalah suatu ruang tanpa batas
kini telah melebur satu sama lain. Dan itu sendiri atau ruang implosi.99
kehilangan batas ini atau implosi ini terjadi, Desa Global, kira-kira itulah nama yang
karena diakibatkan oleh tatanan simulacra. cocok dengan era ruang virtual ini.
Ruang simulcra ini, salah satunya, Maksudnya, kita tak perlu bergerak sedikit
termanifestasi di dalam ruang virtual. Nah, di pun dari ruang kursi konkret kita, namun kita
dalam ruang virtual inilah yang implosi dapat mengakses segala penjuru dunia.100
terjadi. Misalnya ruang internet.96 c. Pos Realitas
Batas-batas yang terjadi pada dunia
modern semacam realitas material dan non- Tatanan yang digambarkan oleh
material pun luruh di dalam implosi ini. Sekat- Baudrillard sebagai tatanan simulacra ini
sekat antara yang baik dan yang buruk pun memiliki akibat tersendiri. Akibat yang
sebenarnya ikut luruh di dalam wilayah ini. ditimbulkan ialah kematian dari realitas.
Ruang metafisika dan fisika pun lebur. Tak Kematian realias ini digambarkan oleh
ada lagi batas-batas yang jelas di antara Baudrillard sebagai posrealitas. Posrealitas ini
berbagai oposisi yang digadang-gadangkan diartikan sebagai, sesuatu yang melampaui
oleh modernisme. batas-batas realitas. Namun, ia masih disebut
Dampak dari implosi ini juga sebenarnya dan dianggap sebagai realitas dalam batas-
terlihat dari kegamangan setiap orang dalam batasnya tertentu, tapi sekaligus bukan
identitasnya. Kini bayangan seseorang realitas. Fenomena posrealitas ini bisa dilihat
mengenai identitasnya pun sebenarnya hilang. di dalam berbagai fenomena yang terjadi di era
Lantaran segala batas yang dahulu menempel kontemporer. Misalnya di dalam dimensi
pada dirinya hilang. Misalnya saja, batas sosial.
seseorang memiliki identitas suatu negara Di dalam tatanan simulacra, yang
tertentu tidak bisa diacu pada batas geografis. terbentuk di dalam era virtualitas, apa yang
Mengapa? Karena di dalam ruang virtual ini, selama ini disebut sebagai dimensi sosial kini
batas geografis telah kehilangan tak bisa dipergunakan lagi bahkan tak bisa
relevansinya.97 diandalkan lagi. Karena di dalam tatanan
posrealitas, yang dinamakan dengan sosial itu

95 98
Ibid. Ibid.
96 99
Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, Ibid.
100
(Yogyakarta: Kanisius, 2002), 86. Ibid.
97
Ibid, 87.

103
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1 (2017)

telah menemukan ajalnya. Ajal dari sosial ini Jika di dalam ruang sosial ‘tradisional’
adalah disebut dengan possosial. terdapat apa yang disebut dengan norma
Di dalam era possosial, batas ruang dan sosial, tabu sosial, hukum sosial dan
waktu yang selama ini melingkupi dimensi semacamnya, yang mana merupakan hasil dari
sosial ‘tradisional’ telah tiada. Kini manusia konvensi masyarakat; maka di dalam possosial
berinteraksi tanpa perlu dibatasi ruang dan ini beberapa hal tersebut tidak ada. Di dalam
waktu itu. Di dalam ruang virtual, manusia possosial tidak lagi ditemukan apa yang
dapat berkomunikasi satu sama lain dengan disebut dengan norma bahkan tabu, juga
jarak jauh meskipun tubuh mereka terpaut hukum. Setiap komunitas yang ada di
lokasi masing-masing. Misalnya, manusia possosial, yang juga disebut dengan
yang hidup di Indonesia, dapat berkomunikasi komunitas—jika masih ada yang disebut
dengan manusia yang hidup di Eropa sana. Hal komunitas—virtual, merupakan komunitas
tersebut dimungkinkan dengan adanya ruang yang individualistik. Dalam artian, mereka
virtual atau ruang simulacra. sendirilah yang menentukan tabu, norma dan
Dengan begitu, maka kategori-kategori hukum itu sendiri.
yang ada di dalam ilmu sosiologi pun bisa Di dalam masyarakat modern, terdapat
dikatakan melebur. Misalnya diferensiasi apa yang disebut dengan demokrasi. Dan
sosial atau stratifikasi sosial, semua tidak demokrasi itu mensyaratkan apa yang disebut
dapat dipergunakan lagi. Mengapa? Karena dengan ruang publik. Ruang publik ini
kategori-kategori tersebut hanya dapat berfungsi sebagai alat menyuarakan suara
berfungsi di dalam realitas sosial yang rakyat. Di dalamnya masyarakat dapat
‘tradisional’, dan hal tersebut berbeda jika di berbicara dengan bebas, tanpa adanya unsur
dalam realitas virtual. paksaan dari siapapun. Mereka bebas untuk
Selanjutnya, Baudrillard pernah bertanya, mengadukan masalah, sekaligus memberikan
apa yang disebut dengan relasi sosial? solusi kepada masalah-masalah yang ada di
Bukankah yang disebut dengan relasi sosial itu dalam masyarakat.
telah mati atau tidak pernah ada? Realitas Namun, dengan kebebasannya itu
sosial dengan begitu telah mati. Yang ada masyarakat tidak bisa berlaku sebebas-
hanyalah simulacra sosial atau possosial itu bebasnya, mereka diatur juga oleh norma-
sendiri.101 norma sosial dan etika. Dengan begitu ruang
Buktinya, setiap orang yang hidup di aspirasi tadi tidak menjadi kacau atau chaos.
dalam ruang virtual itu, tidak memiliki Norma dan etika tersebut pada akhirnya
identitas yang jelas atau biasa disebut dengan menjadi sarana kontrol sosial, dalam
anonim. Di ruang virtual ini juga, maka dari memotori tindak laku bebas masyarakat.
itu status sosial tidak begitu berguna sama Realitas possosial memiliki posisi yang
sekali (dalam arti tertentu). Orang bahkan bisa berbeda dengan realitas sosial ‘tradisional’. Di
mengubah identitasnya semaunya. Setiap dalam possosial, yang dinamakan ruang
orang juga bisa memiliki beragam identitas kebebasan berekspresi itu memang terjamin.
sekaligus, atau memiliki identitas yang Bahkan keteraksesan terhadap ruang publik
jamak.102 lebih mudah dijangkau. Setiap orang dapat
Lalu, apa implikasi yang akan berekspresi dengan bebasnya, tanpa ada
ditimbulkan oleh possosial ini? Implikasinya halangan dan ‘ancaman’ apapun. Setiap orang
wilayah sosial virtual dan konkret menjadi tak memiliki hak demokratisnya untuk
terbedakan lagi. Ruang konkret bahkan telah berpendapat apapun, baik itu mengadukan
‘tergantikan’ sepenuhnya oleh ruang virtual. masalah dan mengajukan solusi masalah,
Kini aktivitas manusia hanya dipergunakan di sebagaimana terdapat di dalam realitas sosial
dalam ruang semu ini. ‘tradisional’. Hanya saja, ruang kebebasan

101 102
Jean Baudrillard, In the Shadow of the Silent Ibid.
Majorities…or the End of the Social and Other Essays,
(New York: Semiotext[e], 1983), 70-71.

104
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1
(2017)

berpendapat ini sangat berbeda dengan yang disembunyikan, para tentara perang hanya
ada di dalam ruang sosial tradisional. pura-pura mati saja, segala informasi disensor
Perbedaan itu terletak dari terdapatnya anarki dan segala informasi ditutup. Dan itu semua
kebebasan yang terjadi di ruang possosial. hanya terjadi di dalam ruang virtual, yang
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? dalam hal ini ialah TV.105
Sebagaimana sempat disebutkan sebelumnya, Dengan penyorotan gambar para tentara
bahwa norma dan etika itu tak berlaku lagi di di TV, dengan pengeboman yang terjadi, dan
dalam ruang possosial. Setiap orang berhak berbagai macam gambar yang menunjukkan
untuk membentuk dan menciptakan hukum mengenai perang, ternyata merupakan realitas
dan norma masyarakat. Betapapun anarkis dan ‘tersendiri’ yang sama sekali tidak mengacu
kacaunya hukum tersebut, setiap orang kepada referennya. Di dalamnya, hanya
mampu dan bisa melakukannya. Ruang publik terdapat suatu perang seolah-olah (as if), dan
di dalam ruang possosial akhirnya, perang seolah-olah itu telah mengaburkan
menimbulkan chaos. realitas perang itu sendiri. Kini, pertanyaan
Ruang possosial ini hendaknya dipahami mengenai mana sesungguhnya perang yang
sebagai ruang yang terdistorsi. Distorsi asli atau bukan, bukan lagi menjadi pertanyaan
tersebut mengacu kepada keterlampauann dari yang relevan untuk dijawab. Pertanyaan
realitas sosial yang asli atau konkret. Ruang tersebut akan menjadi misteri, bahkan bukan
yang terdistorsi ini akhirnya mengakibatkan lagi misteri tapi sama sekali bukan pertanyaan
kegalauan dan turbulensi psikis. Di karenakan yang menyoal realitas, karena realitas itu
di dalam ruang tersebut, seorang manusia tak sendiri telah mati.
dapat membedakan mana yang nyata mana Selesainya realitas atau posrealitas ini,
yang bukan nyata. Mana yang riil dan mana makannya bisa didudukkan sebagai kritik atas
yang bukan riil. Realitas yang riil itu kini pembagian realitas di dalam zaman modern.
melebur dengan realitas yang non-riil. Contoh Zaman modern menandai dirinya dengan
saja, Baudrillard pernah mengatakan bahwa pemisahan realitas, yakni realitas metafisika
perang Teluk itu tak pernah terjadi. dan realitas fisika.
Baudrillard mengatakan, bahwa kita tak August Comte, sebagai seorang filsuf
akan pernah mengetahui bahwa perang itu positivisme (menawakan paradigma saintifik),
terjadi, kita tak pernah tahu bagaimana Iraq berbicara bahwa kita sudah semestinya
menyerang musuhnya, kita tak pernah tahu meninggalkan observasi-observasi metafisik.
bahwa America ikut ambil bagian di dalam Karena metafisika bukan menjadi persoalan
perang tersebut.103 lagi di dalam sains. Mengapa? Karena,
Pihak Iraq yang meledakkan rumah metafisika tidak dapat diverifikasi secara
masyarakat sipil, merupakan suatu bentuk ilmiah. Sedangkan observasi yang bersifat
pembentukan kesan bahwa negara tersebut fisikal dianggap sebagai ilmiah, karena ia
berperang dengan cara kotor. Pihak America dapat diverifikasi.
yang menyamarkan satelit informasi tak lain Sayangnya klaim yang diangkat oleh
dari pembentukan kesan bahwa negara August Comte, menemukan kebuntuannya di
tersebut berperang dengan cara ahli.104 dalam posrealitas. Di dalam posrealitas ini
Segala fenomena tersebut bagi atau di dalam tatanan simulacra ini, pemilahan
Baudrillard, terjadi di dalam realitas virtual itu dan demarkasi antara metafisika dan fisika
sendiri atau posrealitas. Realitas perang itu sudah tidak dimugnkinkan. Karena simulacra
sendiri sebenarnya disembunyikan, semua ini melampaui kedua pemilahan tersebut. Di
tank disembunyikan, pesawat terbang dalam realitas simulacra, metafisika yang pada

103 104
Jean Baudrillard, The Gulf War did not Take Place, Ibid, Hal. 62.
105
(Bloomington: Indiana University Press, 1995), 61. Ibid, 63.

105
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1 (2017)

mulanya tidak bisa diverifikasi secara ilmiah, tersisa, yakni pikiran. Pikiran, selanjutnya, tak
ternyata dan akhirnya, bisa diverifikasi. bisa dihilangkan lagi, karena jika dihilangkan
Buktinya di dalam ‘metafisika’ tersebut bisa ia hanya akan menghasilkan kontradiksi.
diindra oleh manusia. Misalnya Tuhan. Tuhan Dengan pembedaan itu pulalah Descartes
sudah tak lagi dianggap sebagai entitas atau memilah realitas ke dalam dua bagian. Yakni
zat yang tak bisa diindrai, di dalam ruang realitas yang material, dan realitas yang non-
virtual Tuhan yang bisa diindra itu sangat material. Pemilahan ini sebenarnya,
mungkin. merupakan efek juga bahkan bagian dari,
Begitu juga dengan malaikat, surga dan pemilahan res cogitan dan res extensanya
neraka yang pada mulanya dianggap sebagai Descartes.
ilusi yang tidak nyata. Kini mendapat status Sifat dari realitas material ini menurut
ontologi ‘ke-nyataan’ di dalam tatanan Descartes, ialah realitas yang memiliki
simulacra. Bentuk-bentuk metafisis ini pada kualitas ruang dan waktu. Ruang dan waktu
akhirnya menemukan substitusinya di dalam inilah yang melingkupi realitas material,
realitas virtual (realtias simulacra itu sendiri). sekaligus membatasi sifat materialitasnya.
Maksudnya, tanpa kualitas ruang dan waktu
tersebut, maka realitas itu tak bisa lagi disebut
d. Hilangnya Oposisi Biner sebagai realitas material. Selain, kualitas
tersebut, realitas material memiliki sifat
Di dalam realitas modernisme, oposisi lainnya, yakni bergerak.106 Sebenarnya sifat
biner merupakan suatu konsep yang penting, gerak ini, secara implisit telah termasuk ke
bahkan menjadi sentral di dalam kancah dalam kualitas ruang dan waktu. Karena,
pemikiran para filsufnya. Oposisi gerak hanya dimungkinkan di dalam suatu
termanifestasi dalam berbagai konstruksi ruang dan waktu tertentu.
filsafat, yang dicoba dibangun oleh para filsuf. Selain itu, realitas material ini ialah
Di dalam Rene Descartes misalnya, kita realitas yang dapat dimatematisasi. Dengan
menemukan oposisi yang menjadi sentral di ketermatematisasian ini, dimaksudkan bahwa
dalam pemikirannya. Oposisi di dalam realitas material itu memiliki: tinggi, lebar,
Descartes ialah pemilahan antara res cogitan ukuran dan semacamnya, yang mana dapat
dan res extensa. Ia memilah yang mana subjek dihitung dengan perhitungan geometris.107
dan yang mana subjek secara ketat. Dengan beberapa sifat itulah Descartes,
Bahkan, di dalam keketatan berpikir menggambarkan realitas material. Lalu apa
Descartes, ia mencoba memilah dirinya yang dimaksud dengan realitas non-material?
sendiri. Pemilahan itu termanifestasi di dalam Bagi Descartes, realitas non-material
pembagian antara tubuh dan pikiran. Bagi ialah realitas yang tak memiliki sifat-sifat
Descartes, pikiran ialah diri atau aku, yang dimiliki oleh realitas material. Dalam
sedangkan tubuh bukanlah aku dalam arti artian, realitas non-material ini tak memiliki
tertentu. Mengapa demikian? Descartes, di keluasan dan ia tidak mengembang. Ia tak
dalam argumentasinya mencoba untuk memiliki kualitas ruang dan waktu. Tidak pula
menghilangkan beberapa atribut yang dikira memiliki sifat gerak.108
dapat mengantarkan dirinya menuju realitas Dengan ini, Descartes juga menunjukkan
aku yang sesungguhnya—sebagaimana bahwa realitas non-materi ini tak bisa
dibahas di pembahasan sebelumnya di dalam dimatematisasi. Mengapa? Karena ia sama
bab mengenai modernisme. sekali tidak menempati suatu ruang dan gerak
Descartes pada akhirnya menemukan tertentu. Perhitungan matematis hanya
bahwa ada suatu hal yang ketika segala dimungkinkan jika suatu benda menemati
atributnya dihilangkan, ada sesuatu yang

106 107
T. Z. Lavine, Petualangan Filsafat: dari Socrates Ibid, 113.
108
ke Sartre, (Yogyakarta: Jendela, 2002), 104. Ibid.

106
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1
(2017)

kedua ruang tersebut. Jika tidak maka, ia tak dalam ruang simulacra ini, realitas yang
dapat dihitung.109 ‘hidup’ di dalamnya memiliki hukum alamiah
Dengan oposisi Descartes inilah, ia yang berbeda dengan realitas konkret, tapi
mempengaruhi rentang sejarah filsafat kadar kenyataannya mirip dengan realitas
selanjutnya. Maksudnya, para filsuf setelah konkret.114
Descartes akhirnya tercebur ke dalam Dalam hal ini kita bisa meninjau bahwa
pemilahan-pemilahan tersebut. Hingga tatanan simulacra ini juga merupakan suatu
akhirnya para filsuf selanjutnya pun memilah bentuk dari kebudayaan—selain suatu
realitas ke dalam dua bagian, yakni realitas tinjauan filsafat an sich. Dalam artian, bahwa
material dan realitas non-material. simulacra yang dimaksud oleh Baudrillard
Baudrillard pada posisi ini tidak juga merupakan kondisi suatu zaman atau
menyetujui pemilahan tersebut. Karena bagi periode yang menandai hilangnya distingsi
Baudrillard, di dalam tatanan simulacra segala realitas.115
distingsi realitas itu tidak ada lagi. Simulacra Dalam tatanan kebudayaan ini bisa dilihat
itu sendiri diartikan sebagai tatanan realitas bahwa realitas simulacra sedang menjangkiti
yang tak memiliki acuan referensialnya.110 masyarakat kontemporer. Hal tersebut bisa
Dengan itu Baudrillard melanjutkan dilihat misalnya, di dalam apa yang disebut
bahwa, semuanya telah melebur di dalam dengan ruang vitrual. Ruang virtual ini bisa
tatanan simulacra, kini metafisika tidak ada didefinisikan sebagai ruang yang tidak abstrak
lagi, begitu juga dengan realitas konkret itu juga tidak konkret, namun ia nyata.
sendiri.111 Segala oposisi biner pun telah Maksudnya ialah, bahwa ruang virtual ini
hilang.112 tidak berada secara konkret di dalam realitas,
Dalam tatanan simulacra ini, kini namun ia nyata.116
pertanyaan mana realitas yang fundamental Dengan beradanya ruang ini, manusia-
dan mana yang bukan fundamental merupakan manusia kontemporer benar-benar kesulitan
pertanyaan yang tak lagi relevan untuk untuk membedakan antara realitas konkret,
dipertanyakan. Maka, distingsi Platonik dan realitas non-konkret. Atau dalam bahasa
(bahkan Cartesian) yang mengatakan bahwa lain, manusia kontemporer sulit membedakan
realitas konkret merupakan imitasi dari dunia mana realitas yang fiktif dan non-fiktif.
idea, juga tidak lagi menjadi soal di dalam Persoalannya kemudian adalah, bagaimana
tatanan ini; karena ia ia tidak ada.113 ruang virtual itu menjadi mungkin? Atau
Jika Descartes membayangkan bahwa dalam bahasa lain, dari mana asal ruang virtual
realitas material itu memiliki ruang, gerak dan tersebut?
dapat dimatematisasi, sedangkan realitas non- Kemajuan dari teknologi lah yang
material tak memiliki sifat-sifat tersebut. menjadikan ruang virtual itu mungkin. Hal
Maka di dalam simulacra pemilahan itu tak tersebut bisa dilihat dari munculnya berbagai
terjadi. Di dalam simulacra, sifat-sifat tersebut teknologi simulasi, seperti komputer dan
melebur satu sama lainnya. Di dalam tatanan internet. Kedua bentuk teknologi tersebut
ini, fantasi dan metafisika memiliki sifat-sifat sebenarnya telah membantu manusia untuk
yang sama dengan realitas konkret. Lalu di mengatasi kesulitan-kesulitan yang terjadi di

109 115
Ibid. Drew A. Hyland, dalam Subjects and Simulation:
110
Opcit, 2. Between Baudrillard and Lacoue-Labarthe, ed. Anne
111
Ibid, 3. O’Byrne dan Hugh J. Silverman, (United States of
112
Ibid, 4 America: Lexington Books, 2015), 22.
113 116
Ibid. Robshields, Virtual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011),
114
Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas Hal. 27.
Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2004), 71.

107
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1 (2017)

dalam hidupnya. Misalnya internet— Descartes pun sebenarnya menjadi lebur pula.
sekaligus teknologi komputer sebenarnya. Karena para filsuf setelah Descartes,
Internet dan komputer telah membantu sebenarnya terpengaruh oleh pemikiran dari
manusia untuk melampaui keterbatasan waktu Descartes ini.
dan ruang. Ruang dan waktu di dalam tatanan
internet kini telah dilipat. Manusia, kini tak e. Kematian subjek
perlu lagi bersusah payah untuk—
contohnya—menunggu lama dalam Konsep sentral modernisme pun, akhirya
mengirimkan pesan kepada manusia lain, yang mati juga di tangan Baudrillard. Konsep
berlokasi ratusan kilometer. Manusia yang sentral tersebut ialah konsep mengenai
menggunakan komputer dan berinternet, otonomi subjek. Otonomi subjek ini dikritik
sekarang ini tinggal mengklik tombol ‘kirim’ habis oleh Baudrillard, dengan teori
dan pesan yang ia kirim itu akan sampai dalam simulacranya terkhusus oleh teorinya
beberapa menit, bahkan detik saja. Selain mengenai mayoritas yang diam.
fenomena pengiriman pesan pun, masih Mayoritas yang diam ialah suatu
banyak lagi contoh dari internet, yang mana masyarakat yang mana dikungkung oleh apa
mempermudah manusia melampaui yang disebut dengan citra dan imaji. Para
kesulitannya. subjek ini, di dalam tatanan simulacra hanya
Namun efek lain dari manfaat tersebut bisa diam melongo tak bisa berkutik.118 Subjek
ialah hilangnya distingsi antara realitas fisik akhirnya hanya bisa menelan secara buta
dan realitas non-fisik. Kini dengan teknologi tatanan simulacra ini: citra dan imaji
maju tersebut, realitas-realitas yang dulunya distorsif.119
dianggap sebagai fiksi yang tak mungkin hadir Hal tersebut bisa dilihat di dalam konteks
atau mewujud, kini hadir di dalam suatu ruang, yang dicoba digambarkan oleh Baudrillard. Di
yang manusia sendiri dapat merasakannya dalam tatanan ini, apa yang disebut dengan
sebagaimana ia merasakan ruang fisikal.117 imaji dan citra, berseliweran dengan cepat.
Teknologi yang maju tersebut kini, Imaji tersebut misalnya, terlihat di dalam
mencoba untuk mensubtitusikan realitas- teknologi-teknologi virtual yang dapat
realitas imajiner tersebut ke dalam realitas menyajikan kenyataan secara nyata—tanpa
yang nyata. Tapi kadar kenyataan ini berbeda mesti menjadi konkret.
dengan realitas konkret, mengapa? Karena, TV salah satunya. TV dengan fungsinya
ruang virtual ini memiliki hukum yang sebagai penyedia informasi, gambaran
berbeda dengan hukum-hukum yang ada pada ‘realitas’ dan penghibur masyarakat
realitas konkret atau fisikal. Tapi, ruang posmodern, menjadi alat yang mencekoki
virtual ini memiliki kenyataan yang hampir subjek-subjek atau masyarakat dengan citra-
sama, persis, bahkan tak terbedakan dengan citra dangkal.120 Apa yang disebut dengan
realitas fisikal. citra dangkal tersebut, berangkat dari konsep
Dengan simulacra ini, yang juga—salah simulacra Baudrillard itu sendiri, yakni
satunya—memiliki bentuk ruang virtual, realitas yang mendistorsi referensinya atau
Baudrillard ingin menghantam oposisi yang dalam bentuknya yang lain, realitas yang tak
ada di dalam filsafat modern, terkhusus memiliki acuan referensial. Alih-alih
filsafatnya Rene Descartes. Dengan merepresentasikan realitas, simulacra ini atau
hancurnya pemilahan yang Descartes bangun, TV ini malah menciptakan realitas baru yang
sebenarnya secara implisit pemilahan yang sangat berbeda dengan realitas yang nyata.
terjadi pada pemikiran para filsuf setelah Tapi realitas ini bukan berarti menjadi suatu

117 119
Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat: Realitas
Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, (Yogyakarta: Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya
Jalasutra, 2004), 72-73. Posmodernisme, (Bandung: Mizan, 1998), 236.
118 120
Jean Baudrillard, In The Shadow of The Silent Ibid, 236-237.
Majorities, (New York: Semiotext[e], 1983), 3.

108
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1
(2017)

realitas, karena ia bukan menjadi realitas lagi disampaikan oleh Baudrillard sebagai
dalam artian tertentu. Maksudnya, ia hanyalah mayoritas yang diam;123 sekaligus juga
sekadar realitas yang melampaui dirinya menyampaikan maksud Deleuze mengenai
sendiri atau yang disebut dengan posrealitas. subjek yang rhizomatik. Subjek-subjek ini tak
Dengan berseliwerannya citra dengan bisa berkutik dan memberi jarak atas realitas
cepat. Para subjek ini tak bisa berkutik lagi, citraan itu atau realitas simulacra itu.
alih-alih mencoba untuk melakukan Singkat kata, subjek Cartesian pun
perenungan dan refleksi secara mendalam atas menjadi hancur. Jika tidak hancur, bisa disebut
informasi yang berdatangan tersebut. bahwa, subjek Cartesian yang tertutup itu
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena, merupakan subjek ilusi atau fantasi saja.
kecepatan dari informasi itu sendiri, dengan Mengapa? Karena subjek-subjek posmodern
pergantiannya yang begitu cepat, para subjek ialah subjek yang diam, tidak aktif seperti
tak akan sempat menyelesaikan perenungan misalnya menyangsikan realitas, membangun
terhadap suatu informasi, sebelum ia dicekoki pengetahuan absolut, merepresentasi realitas
lagi oleh informasi baru, dan pola ini berjalan dan bentuk-bentuk tendensi modernisme
begitu seterusnya tanpa henti.121 lainnya. Mereka tak bisa menyangsikan
Hal inilah yang menyebabkan subjek- realitas untuk mendapatkan pengetahuan
subjek ini kehilangan identitasnya pula. absolut, karena pertanyaannya apa yang
Mengapa? Karena, mereka akan sia-sia disebut dengan pengetahuan absolut itu
mencari origin di dalam realitas citraan ini. sendiri? Jika kenyataan atau realitas simulacra
Identitas asli—itu pun kalau ada—telah itu sendiri, sama sekali bersifat distorsif. Lalu,
tergerus habis oleh kecepatan informasi, dan subjek-subjek juga akan kesulitan memilah
kematian referensi. realitas itu.
Gilles Deleuze dengan gamblang
menyebutkan bahwa identitas subjek di dalam f. Simpulan
tatanan ini sebagai subjek rhizomatik.
Rhizoma ialah akar serabut. Dengan analogi Simpulan hendaknya merupakan jawaban
akar serabut ini, Deleuze hendak mengatakan atas pertanyaan penelitian, dan diungkapkan
bahwa subjek itu tak memiliki suatu bukan dalam kalimat stastistik. Paparannya
ketunggalan identitas. Subjek sebenarnya dalam bentuk alinea yang mengalir yang berisi
memiliki banyak sekali identitas, bagaikan kaitan satu isi dengan isi yang lain. Gunakan
akar serabut yang menjalar kemana-mana.122 istilah-istilah yang bermakna substantif dalam
Jadi sia-sialah jika seorang subjek mengatakan bidang ilmu dan hindari istilah-istilah teknis
bahwa ia memiliki suatu identitas yang utuh, statistik/metodologis
karena keutuhan itu sendiri sebenarnya Jean P. Baudrillard adalah seorang filsuf
dipengaruhi oleh ‘identitas utuh’ lainnya yang yang mencoba mengkritisi paradigma
begitu banyak. Dalam artian, bahwa suatu modernisme. Kritik tersebut diajukan lantaran
identitas dibentuk oleh banyak identitas, paradigma yang digunakan oleh modernisme
sehingga keaslian identitas itu tidak ada. telah dianggap tak terpakai lagi. Kritik ini
Subjek-subjek ini pada akhirnya, di dilancarkannya lewat suatu konsep yang
hadapan citra-citra yang bergerak dengan menjadi khas dalam pemikiran Baudrillard.
begitu cepat, hanya bisa diam. Dengan Konsep tersebut ialah konsep mengenai
diamnya inilah mereka dibentuk secara pasif. simulacra.
Dan ini pulalah, apa yang ingin dan hendak

121 123
Ibid, 237. Opcit.
122
Haryatmoko, Membongkar Rezim Kebenaran:
Pemikiran Kritis Post-Strukturalis, (Yogyakarta:
Kanisius, 2016).

109
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1 (2017)

Simulacra, sebagaimana Baudrillard Eksplosi diartikan sebagai terpecahnya dan


katakan, ialah suatu kenyataan yang tak terfragmentasinya segala aspek yang ada di
memiliki acuan referensialnya: hyperrealitas. dalam realitas. Batas-batas realitas menyata
Simulacra ini merupakan kenyataan yang lewat eksplosi. Namun, di dalam tatanan
melampaui pemilahan dan distingsi yang ada simulacra, batas-batas dan fragmen-fragmen
pada modernisme. Simulacra itu merupakan itu menjadi lenyap. Implosi diartikan sebagai
kenyataan yang mendistorsi realitas, sehingga ledakan ke dalam, di mana segala sesuatunya
ia berubah menjadi realitas itu sendiri, namun melebur menjadi tak jelas. Batas-batas realitas
realitas simulacra ialah realitas yang mati. menjadi hilang, batas-batas moral menjadi
Kematian realitas itu ditandai dengan hilang, batas-batas kepantasan menjadi hilang,
peleburan segala distingsi biner: metafisika batas-batas geografis, kebudayaan, identitas,
dan fisika. sexualitas hilang dan lenyap di dalam implosi.
Simulacra, ini bisa dilihat termanifestasi Dan implosi inilah yang merupakan akibat
salah satunya di dalam apa yang disebut dari simulacra.
dengan realitas virtual. Realitas virtual ialah Muncullah apa yang disebut dengan
semacam ruang yang dihasilkan oleh posrealitas. Posrealitas merupakan nama lain,
teknologi canggih kontemporer. Di dalam dari kematian realitas. Kematian realitas ini
ruang itu, hal-hal yang dulunya dianggap tentunya mesti dipahami sebagai kematian
sebagai ilusi, dapat menjadi kenyataan. aspek-aspek kehidupan manusia. Misalnya,
Makannya, pemilahan metafisika dan fisika aspek sosial. Sosial di dalam tatanan simulacra
pun menjadi usang. Mengapa? Karena telah mati, dengan kematian itu muncullah apa
metafisika yang dulunya dianggap tidak nyata, yang disebut dengan possosial. Possosial
kini di dalam realitas virtual metafisika itu ialah, tatanan sosial yang melampaui tatanan
menjadi nyata, ia mendapatkan substitusinya sosial tradisional. Pemalmapuan itu berarti
di dalam ruang virtual. Namun, ketika juga bahwa tak ada lagi kategori-kategori
metafisika itu mewujud di dalam ruang virtual, sosial tradisional, seperti hirarki sosial,
hal tersebut sama sekali tidak membuatnya stratifikasi sosial, interaksi sosial, norma
menjadi fisikal. Karena, realitas virtual sosial, tabu sosial dan semacamnya. Kini
memiliki hukum-hukum tersendiri yang kategori-kategori tersebut tak dapat
berbeda dengan ruang fisikal. diterapkan. Mengapa? Di dalam possosial,
Dengan konsep simulacra Baudrillard misalnya di dalam virtual sosial, manusia tidak
membongkar asumsi-asumsi yang ada di memiliki lagi aturan norma sosial yang
modernisme. Hal tersebut bisa dilihat dari seharusnya merupakan hasil konvensi dari
konsep simulacra, yang menjadi acuan sentral masyarakat. Setiap orang kini, dapat membuat
kritiknya. Dengan simulacra, distingsi dan normanya sendiri tanpa perlu mengacuhkan
oposisi biner yang menjadi jantung orang lain. Identitas-identitas individu pun
modernisme, menjadi luruh. Mengapa? Di bersifat anonim. Tak ada lagi batas teretentu di
dalam simulacra, pemilahan fisika dan dalam realitas possosial. Tabu menjadi hilang,
metafisika menjadi tak ada lagi. Karena di segala sesuatu menjadi boleh.
dalam simulacra, metafisika yang dulu Akhirnya, apa yang disebut dengan
dianggap sebagai sesuatu yang tak nyata, kini otonomi subjek yang ada di dalam
menjadi nyata di dalam tatanan simulacra. modernisme tidak ada lagi. Karena apa? Yang
Namun, dengan status ‘nyata-nya’, tidak mesti ada adalah mayoritas yang diam, atau subjek-
menjadikan metafisika itu berubah menjadi subjek yang diam. Subjek-subjek yang diam
fisika. Karena, metafisika yang mewujud itu ini adalah subjek yang setiap harinya dicekoki.
memiliki hukum sendiri yang berbeda dengan tanpa bisa berkutik, oleh citra-citra terdistorsif
hukum-hukum fisika. yang terdapat di dalam tatanan simulacra dan
Simulacra ini akhirnya, menandai apa virtual. Citra-citra tersebut bergerak dengan
yang disebut Baurillard dengan implosi. cepat tanpa mau berhenti untuk direfleksikan
Modernisme, ditandai oleh eksplosi, dan dan direnungkan terlebih dahulu oleh subjek.
implosi merupakan lawan dari eksplosi. Subjek-subjek ini merupakan subjek yang

110
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1
(2017)

pasif, bukan lagi subjek yang aktif. Subjek Chris Horrocks and Zoran Jevtic,
Cartesian, dengan demikian, telah kehilangan Introducing Baudrillard, UK: Icon Books,
dayanya. Subjek tertutup Cartesian sudah 1999.
tidak ada, buktinya subjek-subjek ini sudah tak Hamersma, Harry, Tokoh-tokoh Filsafat
bisa memilah lagi realitas secara oposisif Barat Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka
sebagaimana ada dalam Descartes. Karena, Utama, 1992.
toh realtias itu sendiri melebur dan tak jelas. Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern: dari
TV bisa menjadi contoh yang baik bagi Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta:
fenomena subjek yang diam ini. Kini subjek- Gramdedia Pustaka Utama, 2007.
subjek yang terbentuk menjadi masyarakat Haryatmoko, Membongkar Rezim
terserap habis dengan penyodoran citra-citra Kebenaran: Pemikiran Kritis Post-
dan imaji-imaji ilusif dari TV. Ironisnya, kini Strukturalis, Yogyakarta: Kanisius, 2016.
TV telah menjadi bagian dari kehidupan para Hidayat, Medhy Aginta, Menggugat
subjek yang diam ini. Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran
Postmodernisme Jean Baudrillard,
Yogyakarta, Jalasutra, 2012.
DAFTAR PUSTAKA Hyland, Drew A., dalam Subjects and
Simulation: Between Baudrillard and Lacoue-
Adian, Donny Gahral, Arus Pemikiran Labarthe, ed. Anne O’Byrne dan Hugh J.
Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2001. Silverman, United States of America:
Adlin, Alfathri, dalam Kata Pengantar Lexington Books, 2015.
Yasraf Amir Piliang Semiotika dan Kellner, Douglas, Jean Baudrillard: From
Hipersemiotika, Bandung: Matahari, 2012. Marxism to Postmodernisme and Beyond,
Al-Fayyadl, Muhammad, Derrida, Stanford: Stanford University Press, 1989.
Yogyakarta: LKIS, 2011. Lane, Richard J., Jean Baudrillard,
Baudrillard, Jean, In the Shadow of the London: Routledge, 2000.
Silent Majorities or the End of the Social and Lavine, T. Z., Petualangan Filsafat: dari
Other Essays, New York: Semiotext[e], 1983. Socrates ke Sartre, Yogyakarta: Jendela,
Baudrillard, Jean, Lupakan 2002.
Postmodernisme: Kritik atas Pemikiran Lubis, Akhyar Yusuf Postmodernisme:
Foucault & Autokritik Baudrillard, Teori dan Metode, Jakarta: Rajawali Pers,
Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2015. 2014.
Baudrillard, Jean, Selected Writing: The Lukman, Lisa, Proses Pembentukan
Political Economy of the Sign, Stanford: Subjek: Antropologi Filosofis Jacques Lacan,
Stanford University Press, 1988. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Baudrillard, Jean, Simulacra and Norris, Christopher, Membongkar Teori
Simulation, Diperoleh dari situs B. Conrad Dekosntruksi Derrida, Jogjakarta: Ar-ruzz
Williams: Media, 2009.
http://www.bcondradwilliams.com/files/7313 O’Donnell, Kevin, Postmodernisme,
/9690/Baudrillard-Jean-Simulacra-And- Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Simulation2.pdf, 2. Piaget, Jean, Strukturalisme, Jakarta:
Baudrillard, Jean, Simulation, United States Yayasan Obor Indonesia, 1995.
of America: Semiotext[e], 1983. Piliang, Yasraf Amir, Posrealitas: Realitas
Baudrillard, Jean, The Gulf War did not Kebudayaan dalam Era Post Metafisika,
Take Place, Bloomington: Indiana University Yogyakarta, Jalasutra, 2004.
Press, 1995. Piliang, Yasraf Amir, Semiotika dan
Budiman, Hikmat, Lubang Hitam Hipersemiotika, Bandung: Matahari, 2012.
Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2002. Polimpung, Hizkia Yosie,
Ontoantropologi: Fantasi Realisme Spekulatif

111
Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1 (2017)

Quentin Meillassoux, Yogyakarta: Cantrik Walter, James, Baudrillard and Theology,


Pustaka, 2017. New York: T & T Clark, 2012.
Piliang, Yasraf Amir, Sebuah Dunia yang
Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Internet
Milenium Ketiga dan Matinya Polimpung, Hizkia Yosie. “Apa Yang Kamu
Posmodernisme, Bandung, Mizan, 1998. Lakukan Setelah Orgy? Nihilisme
Robshields, Virtual, Yogyakarta: Jalasutra, Baudrillard Reversibilitas dan Perlawanan
2011. Simulakrais,” 2014. Diakses tanggal 25
Ssalam, Burhanuddin Pengantar Filsafat, Mei 2018.
Bandung: Bina Pustaka, tanpa tahun. https://indoprogress.com/2014/11/apa-
Sugiharto, Bambang, Postmodernisme: yang-kamu-lakukan-setelah-orgy-
Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: nihilisme-baudrillard-reversibilitas-dan-
Kanisius, 2016. perlawanan-simulakrais/
Suryajaya, Martin, Materialisme Dialektis:
Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat
Kontemporer, Yogyakarta: Resist Book, 2012.

112

Anda mungkin juga menyukai