Anda di halaman 1dari 20

9

BAB II

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan Teori

1. Hakikat Puisi

Puisi merupakan salah satu genre sastra yang memiliki

nilai estetika tertinggi. Melalui puisi, ekspresi pengalaman batin

penyair mengenai kehidupan manusia, alam, dan Tuhan,

disampaikan dengan media bahasa yang disusun secara padat, dan

indah. Puisi menyampaikan rasanya melalui bahasa yang padat dan

utuh. Oleh karena itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia puisi

berarti; (1) ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra,

rima, serta penyusunan larik dan bait; (2) gubahan dalam bahasa

yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat, sehingga

mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan

membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama dan

makna khusus; (3) sajak. Dari penjelasan di atas puisi adalah seni

tertulis dengan bahasa sebagai medianya.

Menurut Gumiati dan Mariah (2010 : 5) “secara

etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani yaitu poema

yang artinya membuat, atau poesis yang artinya pembuatan karena

dengan puisi pada dasarnya seseorang telah membuat atau

menciptakan suatu dunia tersendiri yang mengungkapkan pesan-

9
10

pesan mendalam berdasarkan pengalaman penyair, baik berupa

pengalaman jasmaniah maupun batiniah”. Oleh karena itu, puisi

dapat dihubungkan dengan peristiwa yang terjadi pada manusia

baik yang bersifat natural maupun yang bersifat supernatural.

Seperti yang diungkapkan oleh Shelly (dalam Gumiati dan Mariah,

2010 : 5) “puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah

dalam hidup kita, misalnya peristiwa-peristiwa yang sangat

mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat, seperti

kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan

kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai, puncak

pengalaman itu merupakan momen yang baik untuk direkam dalam

bentuk puisi”. Sehingga, puisi bukan sarana sebagai alat

komunikasi yang sederhana melainkan sebagai pengalaman yang

unik dan vitamin batin, kerja otak kanan yang membuat halus sikap

hidup insani, yang menjadikan politik dan sikap berpolitik lebih

santun dan beradab. Sedangkan, menurut (Waluyo,1987:25), “puisi

adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan

perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan

mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan

pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batin”. Oleh karena

itu, puisi bukanlah metode komunikasi yang sederhana tetapi

merupakan pengalaman yang unik dan puisi itu vitamin batin, kerja
11

otak kanan yang membuat halus sikap hidup manusia, yang

menjadikan politik dan sikap berpolitik lebih santun dan beradab.

Pendapat di atas di perkuat oleh I.A Richards (dalam

Henry Guntur Tarigan,2011:9) “seorang kritikus sastra telah

menunjukan kepada kita bahwa suatu puisi mengandung suatu

makna yang merupakan perpaduan dari tema penyair (yaitu

mengenai inti puisi pokok itu), perasaannya (yaitu sikap penyair

terhadap bahan atau obyeknya) nadanya (yaitu sikap sang penyair

terhadap pembaca atau penikmatnya), dan amanat ( yaitu maksud

dan tujuan sang penyair)”. Dari penjelasan di atas puisi merupakan

cerminan realita kehidupan, karena tidak ada satupun karya sastra

yang tidak bertolak dari realita. Realita dalam puisi merupakan

replika dari sejumlah kejadian yang ada dalam kehidupan manusia,

karena sebuah karya tidak lahir dari kekosongan keadaan, ia

tercipta dari fenomena-fenomena sosial yang terjadi pada

zamannya.

Dengan demikian, puisi adalah salah satu karya yang

mengungkapkan perasaan dan penglihatan serta pendengaran

pengarang yang di ungkapkan melalui tulisan secara indah dan

jelas. Sehingga, sebuah puisi bisa menjadi alat alternatif untuk

menggambarkan keadaan yang sedang terjadi atau akan terjadi

dalam masyarakat. Sehingga, pembaca mendapatkan manfaat dari

sebuah karya sastra yang dibacanya.


12

2. Kritik Sosial Dalam Karya Sastra

2.1 Hakikat Kritik Sosial

Kritik sastra muncul karena masalah sosial yang terjadi di

masyarakat. Masalah sosial tersebut karena ketidak sesuaian

manusia atau kelompok sosial. Selain dari faktor masalah sosial

kritik sastra lahir dari pembaca yang menganggap adanya

ketidak sesuaian terhadap norma yang berlaku. Menurut Andre

Hardjana,1981 dalam buku (Zulfahnur,2018:1.16)

“mendefinisikan kritik sastra sebagi hasil usaha pembaca dalam

mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat

pemahaman dan penafsiran secara sistemik yang dinyatakan

dalam bentuk tulisan.”Oleh karena itu, kritik sosial hadir karena

ketidak sesuaian norma-norma yang berlaku dimasyarakat.

Dengan demikian, kritik sosial dapat memiliki cara

untuk menyampaikan pendapat melalui lisan ataupun tulisan.

Cara menyampaikan pendapat dalam karya sastra yang secara

lisan bisa diungkapkan melalui lagu atau ungkapan seperti

sumpah serapah. Hal ini seperti diungkapkan oleh (Mursal

Esten,2013:32) bahwa “kritik sastra tidak hanya diarahkan

kepada pengarang dari ciptasastra yang sedang dibicarakan.”

Dengan demikian, karya sastra dapat dijadikan sebagai

sarana media untuk menyampaikan suatu gagasan mengenai

permasalahan dan keadaan masyarakat. Sebagaimana


13

diungkapkan oleh (Faruk,2017:46) bahwa “sebagai bahasa

karya sastra sebenarnya dapat dibawa ke dalam keterkaitan

yang kuat dengan dunia sosial tertentu yang nyata, yaitu

lingkungan sosial tempat karya sastra itu hidup dan berlaku”.

Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

munculnya kritik sosial karena permasalahan yang ada di

masyarakat, sehingga kritik sosial merupakan ungkapan hati

masyarakat mengenai apa yang dilihat masyarakat lihat, apa

yang dirasakan masyarakat dan apa yang didengar masyarakat

yang dituangkan dalam bentuk sindiran, ejekan, bahkan celaan

dengan maksud menyadarkan objek sasaran.

2.2 Keterkaitan Kritik Sosial Dengan Karya Sastra

Karya sastra merupakan komunikasi penulis yang

bertujuan untuk memberikan nilai yang bertujuan untuk

memberikan nilai estetika pada suatu karya yang di lihat dari

dunia sosial. Di dunia sosial sesuatu yang dianggap

menyimpang akan menjadi bahan kritik untuk menegakkan

keadilan . Sehingga, tema yang diangkat mengenai masalah

sosial. Menurut (Waluyo,1987: 119) “tema dalam karya

sastra tentang adanya ketidakadilan dalam masyarakat, dengan

tujuan untuk mengetuk nurani pembaca agar keadilan sosial

ditegakkan dan diperjuangkan”.


14

Oleh karena itu, kritik sosial adalah upaya yang akan di

lakukan seseorang untuk memberikan penilaian terhadap

persoalan sosial yang terjadi di masyarakat. Kenyataan sosial

yang dikritik adalah yang dianggap menyimpang dalam norma

yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian, kritik sosial

dapat mengupayakan suatu perubahan terhadap permasalahan

yang ada dimasyarakat. Menurut H.B Jassin.1959:44 dalam

(Endasawara, 2013: 3) “bahwa kritik kesusastraan adalah

pertimbangan baik atau buruk sesuatu hasil kesusastraan,

dengan alasan-alasan mengenai isi dan bentuk hasil

kesusastran”. Berdasarkan uraian di atas, kritik sastra yang

dilakukan penyair dalam karya sastra menjadi sah dan tidak

sah yang tidak dipermasalahkan keberadaannya. Selain itu,

kritik sosial yang diungkapkan melalui karya sastra (puisi)

bisa mencakup segala macam kehidupan sosial di negeri ini,

sebagai contoh hubungan manusia dengan manusia, manusia

dengan lingkungannya, manusia lain, kelompok sosial,

penguasa dan institusi.

Sehingga menurut (W. S Rendra,2001: 15) “kita dapat

dan perlu memahami kritik sosial para penyair sebagai

masukan untuk menyegarkan kehidupan kemasyarakatan,

kebangsaan dan kenegaraan”.


15

Dengan demikian dari beberapa pendapat di atas, dapat

disimpulkan bahwa puisi merupakan gambaran dari peristiwa

yang sedang terjadi atau sudah terjadi di tengah masyarakat.

Gambaran yang terjadi disekitar masyarakat tersebut kemudian

dituangkan oleh penyair melalui alam imajinasinya ke dalam

bentuk puisi. Dengan hal ini, puisi dapat memberikan solusi

untuk menggambarkan situasi dan kondisi yang terjadi dalam

masyarakat.

Oleh karena itu, kritik sosial merupakan suatu media

untuk mengatasi masalah sosial. Selain itu, kritik sosial

merupakan tanggapan dan sanggahan mengenai hal-hal yang

dirasa menyimpang terhadap aturan hukum atau norma yang

terdapat di masyarakat. Karya sastra tanpa kritik sastra seperti

api unggun tanpa angin, tidak akan membara dan tidak akan

memberi kehangatan dalam karya sastra.

3. Masalah Sosial Sebagai Sumber Munculnya Kritik Sosial

Ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan dan

masyarakat disebut masalah sosial merupakan sehingga dapat

membahayakan kelompok sosial, serta dapat menghambat

terpenuhinya keinginan-keinginan pokok masyarakat.

Timbulnya masalah sosial timbul bermula dari kekurangan-

kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang

bersumber pada faktor-faktor ekonomis, biologis, psikologis, dan


16

kebudayaan. kehidupan bermasyarakat memiliki norma yang

bersangkut untuk mengatur kehidupan masyarakat sehingga,

penyimpangan yang terjadi terhadap norma-norma tersebut

merupakan gejala yang tidak normal yang akan menyebabkan

masalah sosial.

Masalah sosial adalah Masalah-masalah yang berasal dari

faktor ekonomi antara lain kemiskinan, pengangguran, dan

sebagainya. Sementara itu, persoalan yang menyangkut perceraian,

kejahatan, kenakalan anak-anak, dan keagamaan bersumber dari

faktor perbedaan kebudayaan. Sedangkan, pendidikan, politik,

pelaksanaan hukum, agama, pengisian waktu-waktu terluang,

kesehatan masyarakat dan seterusnya termasuk kategori warisan

sosial.

Hubungan antara aspek-aspek tersebut selalu ada karena

aspek-aspek dalam masyarakat, di dalam keadaan yang wajar,

merupakan suatu integrasi yang mempunyai hubungan yang saling

mempengaruhi.menurut Soekanto (2017: 319) ada beberapa

persoalan yang dihadapi oleh masyarakat yang pada umumnya

sama, yaitu:

a. Masalah Kemiskinan Soekanto (2017: 320) berpendapat

bahwa kemiskinan merupakan suatu keadaan dimana seorang

tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf,

kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan


17

tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.

Keadaan kaya dan miskin secara berdampingan tidak

merupakan masalah soial sampai saatnya perdagangan

berkembang dengan pesat dan timbul nilai-nilai sosial yang

baru.

Berkembangnya perdagangan ke seluruh dunia dan

ditetapkannya taraf kehidupan tertentu sebagai suatu

kebiasaan masyarakat, kemiskinan muncul sebagai masalah

sosial. Pada waktu itu individu sadar akan kedudukan

ekonomisnya sehingga mereka mampu untuk mengatakan

apakah dirinya kaya atau miskin. Kemiskinan dianggap

sebagai masalah sosial apabila perbedaan kedudukan

ekonomis para warga masyarakat ditentukan secara tegas.

Pada masyarakat yang bersahaja susunan dan organisasinya,

mungkin kemiskinan bukan merupakan masalah sosial karena

mereka menganggap bahwa semuanya telah ditakdirkan

sehingga tidak adanya usaha-usaha untuk mengatasinya.

Masyarakat tidak akan terlalu memperhatikan keadaan

tersebut kecuali apabila mereka betul-betul menderita

karenanya. Faktor-faktor yang menyebabkan mereka

membenci kemiskinan adalah kesadaran bahwa mereka telah

gagal untuk memperoleh lebih daripada apa yang telah

dimilikinya dan perasaan akan adanya ketidakadilan.


18

b. Masalah Birokrasi Menurut Soekanto (2017: 342)

pengertian birokrasi merujuk pada suatu organisasi yang

dimaksudkan untuk mengerahkan tenaga dengan teratur dan

terus-menerus untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dengan

kata lain, birokrasi merupakan organisasi yang bersifat

hirarkis, yang ditetapkan secara rasional untuk

mengordinasikan pekerjaan orang-orang untuk kepentingan

pelaksanaan tugas-tugas administratif. Biasanya digunakan

istilah bureaucratism untuk menunjuk pada birokrasi yang

justru menghambat roda pemerintahan, yang berarti birokrasi

tersebut menyimpang dari tujuannya.

Pokok pengertian birokrasi terletak pada kenyataan

bahwa organisasi tersebut menghimpun tenaga-tenaga demi

jalannya organisasi tanpa terlalu menekankan pada tujuan-

tujuan pokok yang hendak dicapai. Max Weber (dalam

Soekanto, 2017: 344) menguraikan tentang beberapa ciri

birokrasi yang biasanya terdapat pada organisasi-organisasi

yang teratur dan sengaja dibentuk. Menurut Weber, birokrasi

paling sedikit harus mencakup 5 unsur, yakni: (1) organisasi;

(2) pengerahan tenaga; (3) sifat yang teratur; (4) bersifat

terus-menerus; (5) mempunyai tujuan. Berdasarkan

pemaparan di atas, masalah sosial dapat dipahami sebagai


19

penyimpangan terhadap norma-norma sosial yang ada dan

diakui suatu kelompok sosial.

4. Cara Menyampaikan Kritik Sosial

Tema dan sasaran disesuaikan untuk cara menyampaikan

kritik sosial pengarang dengan berbagai macam cara.

Pengungkapan tersebut disesuaikan dengan tema dan sasarannya.

Menurut (Nurgiyantoro,2013: 460) “membagi bentuk penyampaian

pesan (kritik) menjadi dua, pesan moral langsung dan tidak

langsung”. Bentuk penyampaian secara langsung dilukiskan yang

bersifat uraian. Hal tersebut, memudahkan pembaca dalam

memahami pesan yang terkandung. Bentuk penyampaian secara

tidak langsung bersifat tersirat di dalam cerita, berpadu secara

koherensif dengan unsur-unsur cerita lainnya. Pesan yang

terkandung melalui bentuk penyampaian ini bergantung pada

penafsiran pembaca. Sedangkan menurut, Sarwadi (dalam

Abdullah, 2014: 13-14) menyatakan bahwa sastrawan dapat

menyampaikan kritiknya terhadap kehidupan sosial menggunakan

berbagai macam cara. Cara tersebut meliputi lima hal berikut ini

yaitu :

a. Kritik yang Bersifat Lugas

Kritik yang bersifat lugas yaitu kritik yang penyampaiannya

secara langsung. Tidak dengan lambang atau kiasan dan tidak

bersifat konotatif. Namun kata langsung dalam kritik ini bukan


20

kata-kata dalam kehidupan sehari-hari, melainkan kritik

langsung dalam cipta sastra, yaitu sebagai kata tidak langsung

dalam kehidupan sehari-hari sebab kritik ini dijelmakan dalam

wujud keindahan.

b. Kritik yang Bersifat Simbolik

Kritik yang bersifat simbolik, yaitu kritik yang dalam

penyampaiannya menggunakan bahasa kiasan atau lambang-

lambang mewakili makna sebenarnya. Penyampaian kritik

secara simbolik sifatnya lebih terbuka.

c. Kritik yang Bersifat Humor

Kritik yang bersifat humor, yaitu kritik yang mengemukakan

kritik-kritiknya secara humor. Pembaca akan tersenyum

bahkan mungkin tertawa saat membaca karya sastra yang sarat

humor tersebut. Penyampaian kritik dengan humor sekaligus

berfungsi untuk menghibur para pembaca.

d. Kritik yang Bersifat Interpretatif

Kritik yang bersifat interpretatif, yaitu kritik yang

menyampaikan kritiknya dengan cara halus. Pemaknaan kritik

dengan cara interpretatif membutuhkan pengalaman, wawasan,

dan pengetahuan pembaca.

e. Kritik yang Bersifat Sinis

Sastra kritik yang bersifat sinis, yaitu sastra kritik yang

mengemukakan kritik-kritiknya dengan bahasa yang


21

mengandung makna atau ungkapan kemarahan, kejengkelan,

jijik, atau tidak suka terhadap kehidupan yang dipandang pahit,

penuh penderitaan, penindasan, atau penyelewengan.

5. Kajian Semiotika

5.1 Hakikat Semiotika

Menurut (Kurniawan, 2013:123) “ kata semiotika (ada yang

menyebut semiologi) berasal dari bahasa yunani, “semeion” yang

berarti tanda. Dengan demikian, semiotika berasal dari kata

semeion, yang berarti tanda.

Menurut Nurgiantoro (2013: 67) “semiotika adalah tanda, tanda

adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat

berupa pengalaman, pikiran, perasaan dan lain-lain.”. Dari kedua

pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa semiotika adalah ilmu

yang sistematis yang mempelajari tanda-tanda yang bermanfaat

terhadap kehidupan. Sedangkan menurut Roland Barthes dalam

buku (Zaimar,2014: 33) “ada tiga tataran dalam penelitian

semiotika yaitu: a) tataran peristiwa, disebut juga hubungan unsur

teks secara sintagmatik, b) tataran tindakan, disebut juga

hubungan unsur teks secara paradigmatic, c) tataran pengujaran”.

Dengan demikian, semiotika adalah ilmu yang sistematis yang

mempelajari tanda-tanda, bukan hanya tanda-tanda dalam bahasa

tetapi tanda-tanda dalam kehidupan.


22

Menurut (Endaswara,2013:35) “Tokoh penting dalam

semiotika adalah Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders

Peirce. Saussure dan Pierce merupakan dua orang ahli yang saling

tidak mengenal, tetapi memiliki konsep yang hampir sama.

Saussure menggunakan istilah semiologi, sedangkan Peirce

menggunakan istilah semiotika, tetapi Istilah semiotika lebih

populer digunakan”.

Saussure menggambarkan bahwa model tanda itu terdiri dari

dua aspek, yaitu penanda (signifiant) dan petanda (signifie).

Sehingga, penanda dan petanda memiliki konsep yang tidak bisa

dipisahkan. Contohnya, ketika mendengar kata “meja”, maka

yang tergambar pada pemikiraan adalah sebuah mebel, yang

digunakan untuk menaruh sesuatu, yang biasanya di pakai untuk

menulis yang biasanya berpasang dengan kursi, dan biasanya

berbentuk persegi panjang serta, memiliki empat kaki. Secara

langsung saat kita berbicara seperti itu hal tersebut akan

tergambar dalam pikiran.

Model de Saussere hanya menghubungan suatu tanda kebahasaan

terhadap konsep suatu benda. Karakteristik tanda dari Saussure

ini bersifat statis. Menurut Pierce dalam buku (Ratna, 2015: 101)

“ ada beberapa faktor yang menentukan adanya tanda dilihat dari

faktor yang menentukan”


23

Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Representamen, ground, tanda itu sendiri, sebagai

perwujudan gejala umum:

a. qualisigns, terbentuk oleh kualitas: warna hijau,

b. sinsigns, tokens, terbentuk melalui ralitas fisik: rambu

lalu lintas,

c. legisigns, types, berupa hukum: suara wasit dalam

pelanggaran.

2. Object (designatum, denotatum, referent), yaitu apa yang di

pedomankan yaitu :

a. ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa, misalnya

foto,

b. indeks, hubungan tanda dan objek karena sebab akibat,

seperti: asap dan api,

c. simbol, hubungan tanda dan objek karena kesepakatan,

seperti bendera.

3. Interpretant, tanda-tanda baru terjadi dalam batin penerima :

a. rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep

b. dicisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta pernyataan

deskripsi

c. argument, tanda tampak sebagai nalar: proposisi.


24

5.2 Semiotika dalam Karya Sastra

Karya sastra merupakan karya yang mempunyai tanda-

tanda yang tanda-tanda tersebut memiliki makna sesuai dengan

porsinya masing-masing.Menurut (Pradopo2013: 108-109)

“karya sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua yang

mempergunakan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat

pertama”. Dengan demikian, perasaan , pikiran, dan keinginan

pengarang dapat diungkapkan melalui karya sastra dengan

bahasa yang khas, yaitu bahasa yang memuat semiotika yang

terdapat tanda-tanda. Menurut (Endraswara, 2013:37)

“semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda, dan

produksi makna”.

Dengan demikian, semiotika dalam sastra bukanlah suatu

aliran, melainkan bahasa alam yang dipakai dalam sastra yang

di kaitkan dengan tanda-tanda sehingga dapat membaca tanda-

tanda tersebut. Sedangkan menurut (Luxemburg, 2017: 44-45)

“Pada dasarnya karya sastra merupakan bagian dari

kebudayaan karena karya sastra lahir dari cerminan budaya

masyarakat”. Dengan kata lain, sastra itu kebudayaan bisa

dipahami dengan ada karena budaya. Menganalisis karya sastra

dengan semiotik merupakan usaha untuk memaknai karya


25

sastra, dengan mencari tanda-tanda penting yang

memungkinkan timbulnya bahasa.

B. Hasil Penelitian Yang Relevan

Hasil dari proses penelitian atau analisis merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari unsur-unsur lainnya, baik yang berkaitan

langsung maupun tidak langsung dengan pemasalahan yang dibahas

oleh seorang peneliti. Sebuah karya ilmiah mutlak membutuhkan

refrensi atau sumber acuan guna menopang penelitian yang

dikerjakannya. Tinjauan pustaka dapat bersumber dari makalah, skripsi,

jurnal, internet atau yang lainnya. Adapun penelitian yang relevan ini

untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti meniru karya

orang lain dan sebagainya. untuk mengindari hal-hal tersebut, penulis

akan memaparkan mengenai perbedaan diantara masing-masing judul

dan masalah yang di bahas. Sejauh yang peneliti ketahui, belum ada

yang meneliti terkait persoalan “Kritik Sosial Dalam Keenam Puisi Di

Kumpulan Puisi MAJOI karya Taufiq Ismail”.

Dalam hal ini penulis, memaparkan bagaimana kedua puisi di

dalam antologi puisi MAJOI karya Wiji Thukul yang terdapat suatu

gambaran tentang dinamika hubungan manusia dengan lingkungan

sosial yang mempengaruhi juga dalam proses pembentukan karakter

seseorang yang tidak hanya berdampak pada sisi materi, namun

menyentuh pada sisi yang lebih dalam lagi dalam kehidupan manusia,

yaitu sisi moril. Berkaitan dengan masalah yang diteliti dalam


26

penelitian terhadap kedua puisi dikumpulan Puisi MAJOI Karya Taufiq

Ismail ini, dapat dibandingkan dengan tesis Penelitian yang peneliti

gunakan sebagai tinjauan pustaka adalah penelitian yang dilakukan oleh

Idal, Yanuar Asri dan Zulfhadli, mereka adalah mahasiswa penulis

skripsi dari Universitas Negeri Padang Prodi Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia tahun 2012 yang berjudul “Kritik Sosial Dalam

Kumpulan Puisi Majoi Karya Taufiq Ismial” penelitian tersebut

membahas bentuk-bentuk kritik sosial, dan faktor penyebab terjadinya

kritik sosial.

Penelitian terakhir yang relevan dengan penelitian ini adalah

“Analisis Pemakaian Afiks pada Kumpulan Puisi Malu (Aku) Jadi

Orang Indonesia Karya Taufiq Ismail” penelitian yang di akukan oleh

Ni Wayan Kencanawati, Nyoman Suparwa, dan Made Sri Satyawati

Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Udayana 2017.

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang penulis paparkan di atas,

maka tesis yang berjudul “Kritik Sosial Dalam Kedua Puisi dikumpulan

Puisi MAJOI Karya Taufiq Ismail” belum pernah ada menggunakan isi

dijudul yang sama dan disini penulis membahas apa saja yang di kritik,

sasaran yang di kritik dan bagaimana kritik itu di sampaikan dengan

pendekatan semiotika diamana pertama membuat satuan isi puisi, kedua

membuat skema aktan dan mengalisis tokot dan setting.


27

C. Kerangka Berpikir

Karya sastra adalah strukturasi pengalaman manusia, karya sastra

selalu berhubungan dengan berbagai konflik dalam realitas sosial.

Dimensi ini mengacu pada pemikiran bahwa pengarang lahir, hidup dan

tumbuh dalam masyarakat. Pengarang menulis berdasarkan kekayaan

pengalaman hidupnya, intelektualnya yang diperoleh dari masyarakat.

Karya sastra juga merupakan perpaduan unsur-unsur intrinsik yang

membentuknya. Memahami puisi sebagai suatu karya sastra adalah suatu

proses memahami hubungan unsur-unsur yang membangun puisi itu

sendiri. Dalam pemahaman keenam puisi di kumpulan puisi Majoi karya

Taufiq Ismail, peneliti memerlukan unsur batin puisi. Setelah itu, peneliti

akan mengkaji muatan kritik sosial yang terdapat dalam puisi dan yang

menjadi kebutuhan pokok penelitian. Seperti telah diungkapkan dalam

landasan teoretis, karya sastra adalah suatu aspek budaya yang dapat

dipakai untuk mengkomunikasikan kehendak (pesan) pengarang kepada

pembaca. Dari segi komunikasi sasaran, pembaca adalah yang

menentukan makna dan nilai karya sastra. Tanpa pembaca, karya sastra

adalah sesuatu benda mati tanpa makna dan tanpa arti. Dari paparan di

atas, peneliti menggunakan pendekatan resepsi sastra untuk mengetahui

bagaimana tanggapan pembaca mengenai kumpulan puisi Majoi karya

Taufiq Ismail. Berdasarkan uraian tersebut, tampak sudah kerangka


28

berpikir dalam penelitian ini. Dalam hal ini, peneliti mencari apa yang di

kritik, siapa yang dikritik dan bagaimana kritik itu disampaikan. Setelah

itu, peneliti akan menggunakan pendekatan resepsi sastra yang

merupakan proses pencapaian dari karya sastra tersebut.

Untuk memperjelas aktivitas penelitian ini, peneliti meringkas

sebagai berikut yaitu, Membaca dua puisi yaitu “MAJOI dan 12 Mei

1998” karya Taufiq Ismail, mencatat masalah apa saja yang terdapat

dalam dua puisi yaitu “MAJOI dan 12 Mei 1998” karya Taufiq Ismail ,

menjawab semua rumusan masalah sesuai yang terdapat dalam dua puisi

yaitu “MAJOI dan 12 Mei 1998” karya Taufiq Ismail, mengkaji semua

jawaban rumusan masalah dengan kritik sastra dan teori semiotika dalam

dua puisi yaitu “MAJOI dan 12 Mei 1998” karya Taufiq Ismail, dan

menyimpulkan hasil kajian rumusan masalah kedalam dua puisi yaitu

“MAJOI dan 12 Mei 1998” karya Taufiq Ismail

Anda mungkin juga menyukai