Anda di halaman 1dari 34

Teori Kognitif Sosial

A.   Pendahuluan

Teori Kognitif Sosial (Social Cognitive Theory) merupakan penamaan baru dari Teori Belajar
Sosial (Social Learning Theory) yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Penamaan baru
dengan nama Teori Kognitif Sosial ini dilakukan pada tahun 1970-an dan 1980-an. Ide pokok
dari pemikiran Bandura (1962) juga merupakan pengembangan dari ide Miller dan Dollard
tentang belajar meniru (imitative learning). Pada beberapa publikasinya, Bandura telah
mengelaborasi proses belajar sosial dengan faktor-faktor kognitif dan behavioral yang
memengaruhi seseorang dalam proses belajar sosial. Teori ini sangat berperan dalam
mempelajari efek dari isi media massa pada khalayak media di level individu.

Selama tahun 1980-an, para ahli pendidikan menggeser minat kajian mereka dalam
memandang motivasi dalam proses kognitif dan pemrosesan informasi pada fungsi manusia.
Pergeseran ini merupakan ‘revolusi kognitif’ yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi
pembelajaran dan kehadiran komputer, yang melayaninya sebagai metafora gerakan signatura
dan model/bentuk akal/intelegensi (Pajares dan Schunk. 2001: 239).

Dewasa ini, konsep bangunan persepsi diri yang baik dalam individu masuk dalam
kontroversi self-esteem yang menjadi subjek dialog yang mendalam dan disertai banyak
perdebatan (McMillan, et. al. 1994: 141). Bersamaan dengan itu, isu-isu penting yang
menonjol dalam psikologi pendidikan telah memberi tanda perubahan dalam fokusnya seperti
fungsi manusia (human functioning), dan self-beliefs pebelajar yang sekali lagi menjadi
subjek penelitian dalam motivasi proses kognitif pada perilaku di dunia akademik. Perubahan
itu dipandang telah sukses setelah melalui analisis pernyataan pengetahuan yang terkait
dengan teori dan prinsip motivasi akademik sebagaimana dideskripsikan oleh Graham dan
Weiner pada Handbook of Educational Psychology tahun 1996. Mereka mengamati bahwa
the self is on the verge of dominating the field of motivation (Graham dan Weiner, 1998: 77).

Penelitian Bandura mencakup banyak masalah yang bersifat sentral untuk teori belajar sosial,
dan lewat penelitian-penelitian itu teorinya dipertajam dan diperluas. Penelitian ini meliputi
studi tentang imitasi dan identifikasi, perkuatan sosial, perkuatan diri dan pemonitoran, serta
perubahan tingkah laku melalui pemodelan.

Bersama Richard Wakters sebagai penulis kedua, Bandura menulis Adolescent Aggression
(1959), suatu laporan terinci tentang sebuah studi lapangan dimana prinsip-prinsip belajar
sosial dipakai untuk menganalisis perkembangan kepribadian sekelompok remaja pria
delinkuen dari kelas menengah, disusul dengan Social Learning and personality development
(1963), sebuah buku dimana ia dan Walters memaparkan prinsip-prinsip belajar sosial yang
telah mereka kembangkan beserta evidensi atau bukti yang menjadi dasar bagi teori tersebut.

Pada tahun 1969, Bandura menerbitkan Principles of behavior modification, dimana ia


menguraikan penerapan teknik-teknik behavioral berdasarkan prinsip-prinsip belajar dalam
memodifikasi tingkah laku dan pada tahun 1973, Aggression: A social learning analysis.
Dalam bukunya yang secara teoretis ambisius, Social Learning Theory (1977), ia telah
berusaha menyajikan suatu kerangka teoretis yang terpadu untuk menganalisis pikiran dan
tingkah laku manusia.

Sama seperti halnya kebanyakan pendekatan teori belajar terhadap kepribadian, teori belajar
sosial berpangkal pada dalil bahwa tingkah laku manusia sebagian besar adalah hasil
pemerolehan, dan bahwa prinsip-prinsip belajar adalah cukup untuk menjelaskan bagaimana
tingkah laku berkembang dan menetap. Akan tetapi, teori-teori sebelumnya selain kurang
memberi perhatian pada konteks sosial dimana tingkah laku ini muncul, juga kurang
menyadari fakta bahwa banyak peristiwa belajar yang penting terjadi dengan perantaraan
orang lain. Artinya, sambil mengamati tingkah laku orang lain, individu-individu belajar
mengimitasi atau meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain
model bagi dirinya.

Dalam bukunya terbutan 1941, Social larning and imitation, Miller dan Dollard telah
mengakui peranan penting proses-proses imitatif dalam perkembangan kepribadian dan telah
berusaha menjelaskan beberapa jenis tingkah laku imitatif tertentu. Tetapi hanya sedikit pakar
lain peneliti kepribadian mencoba memasukan gejala belajar lewat observasi ke dalam teori-
teori belajar mereka, bahkan Miller dan Dollard pun jarang menyebut imitasi dalam tulisan-
tulisan mereka yang kemudian. Bandura tidak hanya berusaha memperbaiki kelalaian
tersebut, tetapi juga memperluas analisis terhadap belajar lewat observasi ini melampaui
jenis-jenis situasi terbatas yang ditelaah oleh Miller dan Dollard.

Salah satu asumsi awal dan dasar teori kognisi sosial Bandura adalah bahwa manusia cukup
fleksibel dan mampu mempelajari berbagai sikap, kemampuan, dan perilaku, serta cukup
banyak dari pembelajaran tersebut yang merupakan hasil dari pengalaman tidak langsung.
Walaupun manusia dapat dan memang belajar dari pengalaman langsung, banyak dari apa
yang mereka pelajari didapatkan dengan mengobservasi orang lain. Bandura (1986)
menyatakan bahwa “apabila pengetahuan dapat diperoleh hanya melalui akibat dari tindakan
seseorang, proses kognitif dan perkembangan sosial akan sangat terbelakang, dan juga akan
menjadi sangat melelahkan”.

B.    Teori Kognisi Sosial

Dalam publikasi Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory,
Bandura mengembangkan pandangan human functioning. Dia menyerasikan peran sentral
kognitif, seolah mengalami sendiri (vicarious), pengaturan diri, dan proses reflektif diri
dalam adaptasi dan perubahan manusia. Orang dipandang sebagai sosok sistem
pengorganisasi diri, proaktif, reflektif diri, dan pengaturan diri daripada sebagai organisme
reaktif yang dibentuk dan dilindungi oleh kekuatan lingkungan atau didorong oleh impuls-
impuls paling dalam yang tersembunyi.

Dalam perspektif kognitif sosial, individu dipandang berkemampuan proaktif dan mengatur
diri daripada sebatas mampu berperilaku reaktif dan dikontrol oleh kekuatan biologis atau
lingkungan. Selain itu, individu juga dipahami memiliki self-beliefs yang memungkinkan
mereka berlatih mengukur pengendalian atas pikiran, perasaan, dan tindakan mereka.
Bandura (1977) memperlihatkan bahwa individu membuat dan mengembangkan persepsi diri
atas kemampuan yang menjadi instrumen pada tujuan yang mereka kejar dan pada kontrol
yang mereka latih atas lingkungannya (Pajares, dan Schunk, 2001: 239}
Adapun fondasi persepsi Bandura terhadap reciprocal determinism, memandang bahwa: (a)
faktor personal dalam bentuk kognisi, afektif, dan peristiwa biologis, (b) tingkah laku, (c)
pengaruh lingkungan membuat interaksi yang menjadi hasil dalam triadic reciprocality. Sifat
timbal balik penentu pada fungsi manusia ini dalam teori kognitif sosial memungkinkan
untuk menjadi terapi dan usaha konseling yang diarahkan pada personal, lingkungan, dan
faktor perilaku.

Teori kognitif sosial berakar pada pandangan tentang human agency bahwa individu
merupakan agen yang secara proaktif mengikutsertakan dalam lingkungan mereka sendiri dan
dapat membuat sesuatu terjadi dengan tindakan mereka. Adapun kunci pengertian agency
adalah kenyataan bahwa di antara faktor personal yang lain, individu memiliki self-beliefs
yang memungkinkan mereka melatih mengontrol atas pikiran, perasaan, dan tindakan
mereka, bahwa apa yang dipikirkan, dipercaya, dan dirasakan orang mempengaruhi
bagaimana mereka bertindak (Bandura, Albert. 1986: 25).

Human agency adalah kapasitas untuk mengarahkan diri sendiri melalui kontrol terhadap
proses berpikir, motivasi dan tindakan diri sendiri. Human agency dikonseptualisasikan
dalam tiga cara utama: 1) autonomous agency, di mana orang merupakan agen yang
sepenuhnya mandiri bagi tindakannya sendiri; 2) mechanical agency, di mana agency
tergantung pada faktor lingkungan; dan 3) emergent interactive agency, yang merupakan
model bagi teori kognitif sosial.

Emergent interactive agency didasarkan pada model timbal-balik tiga arah (triadic
reciprocality). Reciprocal artinya hubungan saling menyebabkan antara tiga faktor, yaitu:
perilaku (behavior), faktor kognitif dan personal (person), dan pengaruh lingkungan
(environment), yang masing-masing beroperasi secara mandiri sebagai faktor penentu bagi
faktor-faktor lainnya. Pengaruh-pengaruh tersebut bervariasi dalam kekuatannya dan tidak
terjadi secara berbarengan.

Perilaku manusia merupakan hasil interaksi timbal-balik antara peristiwa eksternal dan
faktor-faktor personal seperti kemampuan genetiknya, kompetensi yang dipelajarinya, pikiran
reflektif dan inisiatifnya. Orang bebas sebatas kemampuannya untuk menggunakan
pengaruhnya terhadap dirinya (self-influence) dan menentukan tindakannya sendiri.

1.    Esensi Teori

Bagi bandura, walaupun prinsip belajar cukup untuk menjelaskan dan meramalkan perubahan
tingkah laku, prinsip itu harus memperthatikan dua fenomena penting yang diabaikan atau
ditolak oleh paradigma behaviorisme. Definisi Belajar sosial (social kognitif) adalah perilaku
dibentuk melalui konteks sosial. Perilaku dapat dipelajari baik, sebagai hasil
reinformecement maupun reiforcement.

Pertama, Bandura berpendapat bahwa manusia dapat berfikir dan mengatur tingkah lakunya
sendiri, sehingga mereka bukan semata-mata bidak yang menjadi objek pengaruh lingkungan.
Sifat kausal bukan dimiliki sendirian oleh lingkungan, karena orang dan lingkungan saling
mempengaruhi. Kedua, Bandura menyatakan, banyak aspek fungsi kepribadian melibatkan
interaksi dengan orang lain. Dampaknya, teori kepribadian yang memadai harus
memperhitungkan konteks sosial di mana tingkah laku itu diperoleh dan dipelihara.

.
2.    Konsep-konsep Utama dari Teori Kognitif Sosial

Sudah jelas bahwa konsep utama dari teori kognitif sosial adalah pengertian tentang
obvervational learning atau proses belajar dengan mengamati. Jika ada seorang model di
dalam lingkungan seorang individu, misalnya saja teman atau anggota keluarga di dalam
lingkungan internal, atau di lingkungan publik seperti para tokoh publik di bidang berita dan
hiburan, proses belajar dari individu ini akan terjadi melalui cara memperhatikan model
tersebut. Terkadang perilaku seseorang bisa timbul hanya karena proses modeling.

Modeling atau peniruan merupakan “the direct, mechanical reproduction of behavior,


reproduksi perilaku yang langsung dan mekanis (Baran  dan Davis, 2000: 184). Sebagai
contoh, ketika seorang ibu mengajarkan anaknya bagaimana cara mengikat sepatu dengan
memeragakannya berulang kali sehingga si anak bisa mengikat tali sepatunya, maka proses
ini disebut proses modeling. Sebagai tambahan bagi proses peniruan interpersonal, proses
modeling dapat juga terlihat pada narasumber yang ditampilkan oleh media. Misalnya orang
bisa meniru bagaimana cara memasak kue bika dalam sebuah acara kuliner di televisi. Meski
demikian tidak semua narasumber dapat memengaruhi khalayak, meski contoh yang
ditampilkan lebih mudah dari bagaimana cara membuat kue bika. Di dalam kasus ini, teori
kognitif sosial kembali ke konsep dasar rewards and punishments (imbalan dan hukuman)
tetapi menempatkannya dalam konteks belajar sosial.

Baranowski, Perry, dan Parcel (1997:151) menyatakan bahwa reinforcement is the primary
construct in the operant form of learning (proses penguatan merupakan bentuk utama dari
cara belajar seseorang. Proses penguatan juga merupakan konsep sentral dari proses belajar
sosial.

Di dalam teori kognitif sosial, penguatan bekerja melalui proses efek menghalangi (inhibitory
effects) dan efek membiarkan (disinhibitory effects). Inhibitory Effects terjadi ketika
seseorang melihat seorang model yang diberi hukuman karena perilaku tertentu, misalnya
penangkapan dan vonis hukuman terhadap seorang artis penyanyi terkenal karena terlibat
dalam pembuatan video porno. Dengan mengamati apa yang dialami model tadi, akan
mengurangi kemungkinan orang tersebut mengikuti apa yang dilakukan sang artis penyanyi
terkenal itu.

Sebaliknya, Disinhibitory effects terjadi ketika seseorang melihat seorang model yang diberi
penghargaan atau imbalan untuk suatu perilaku tertentu. Misalnya disebuah tayangan kontes
adu bakat di sebuah televisi ditampilkan sekelompok pengamen jalanan yang bisa
memenangi hadiah ratusan juta rupiah, serta ditawari menjadi model iklan dan bermain dalam
sinetron karena mengkuti lomba tersebut. Menurut teori ini, orang juga akan mencoba
mengikuti jejak sang pengamen jalanan.

Efek-efek yang dikemukakan di atas tidak tergantung pada imbalan dan hukuman yang
sebenarnya, tetapi dari penguatan atas apa yang dialami orang lain tapi dirasakan seseorang
sebagai pengalamannya sendiri (vicarious reinforcement). Menurut Bandura (1986),
vicarious reinforcement terjadi karena adanya konsep pengharapan hasil (outcome
expectations) dan harapan hasil (outcome expectancies).

Outcome expectations menunjukkan bahwa ketika kita melihat seorang model diberi
penghargaan dan dihukum, kita akan berharap mendapatkan hasil yang sama jika kita
melakukan perilaku yang sama dengan model. Seperti dikatakan oleh Baranowski dkk (1997:
162), People develop expectations about a situation and expectations for outcomes of their
behavior before they actually encounter the situation (orang akan mengembangkan
pengharapannya tentang suatu situasi dan pengharapannya untuk mendapatkan suatu hasil
dari perilakunya sebelum ia benar-benar mengalamai situasi tersebut).

Selanjutnya, seseorang mengikat nilai dari pengharapan tersebut dalam bentuk outcome
expectancies (harapan akan hasil). Harapan-harapan ini memeprtimbangkan sejauh mana
penguatan tertentu yang diamati itu dipandang sebagai sebuah imabalan/penghargaan atau
hukuman. Misalnya, orang memang menganggap bahwa perilaku artis penyanyi yang
membintangi video porno memang pantas dihukum, tetapi teori kognitif sosial juga
mempertimbangkan kemungkinan perilaku yang sama yang dilakukan orang lain dalam video
porno tersebut mendapatkan imbalan misalnya berupa simpati atau bahkan tak diajukan ke
pengadilan karena dianggap sebagai korban, meski pada saat melakukan adegan video porno
tersebut ia dan si artis penyanyi yang dihukum itu sama-sama melakukannya dengan sadar.
Hal ini akan memengaruhi sejauh mana proses belajar sosial akan terjadi.

Konsep-konsep yang telah dikemukakan merupakan proses dasar dari pembelajaran dalam
teori kognitif sosial. Meskipun demikian, terdapat beberapa konsep lain yang dikemukakan
teori ini yang akan memengaruhi sejauh mana belajar sosial berperan. Salah satu tambahan
yang penting bagi teori ini adalah konsep identifikasi (indentification) dengan model di dalam
media.

Secara khusus teori kognitif sosial menyatakan bahwa jika seseorang merasakan hubungan
psikologis yang kuat dengan sang model, proses belajar sosial akan lebih terjadi. Menurut
White (1972: 252) identifikasi muncul mulai dari ingin menjadi hingga berusaha menjadi
seperti sang model dengan beberapa kualitas yang lebih besar. Misalnya seorang anak yang
mengidolakan seorang atlet sepak bola, mungkin akan meniru atlet tersebut dengan cara
menggunakan kostum yang sama dengan atlet tersebut atau mengonsumsi makanan yang
dikonsumsi atlet tersebut.

Teori kognitif sosial juga mempertimbangkan pentingnya kemampuan sang ‘pengamat’ untuk
menampilkan sebuah perilaku khusus dan kepercayaan yang dipunyainya untuk menampilkan
perilaku trsebut. Kepercayaan ini disebut dengan self-efficacy atau efikasi diri (Bandura,
1977a: 191) dan hal ini dipandang sebagai sebuah prasayarat kritis dari perubahan perilaku.
Misalnya dalam kasus tayangan tentang cara pembuatan kue bika di televisi yang telah
disebutkan di atas.

Teori kognitif sosial menyatakan bahwa tak semua orang akan belajar membuat kue bika,
khususnya bagi mereka yang terbiasa membeli kue bika siap saji dan mempunyai keyakinan
bahwa membuat kue bika sendiri merupakan hal yang sia-sia dan tak perlu karena
membelinya pun tidak mahal harganya. Dalam hal ini orang tersebut dianggap tidak
mempunyai tingkat efikasi diri yang cukup untuk belajar memasak kue bika dari televisi.

3.    Teori Kognitif Sosial dan Media Komunikasi

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa asumsi dari teori kognitif sosial adalah
bahwa proses belajar akan terjadi jika seseorang mengamati seorang model yang
menampilkan suatu perilaku dan mendapatkan imbalan atau hukuman karena perilaku
tersebut. Melalui pengamatan ini, orang tersebut akan mengembangkan harapan-harapan
tentang apa yang akan terjadi jika ia melakukan perilaku yang sama dengan sang model.
Harapan-harapan ini akan memengaruhi proses belajar perilaku dan jenis perilaku berikutnya
yang akan muncul. Namun, proses belajar ini akan dipandu oleh sejauhmana orang tersebut
mengidentifikasi dirinya dengan sang model dan sejauh mana ia merasakan efikasi diri
tentang perilaku-perilaku yang dicontohkan sang model.

Melalui dasar pemikiran ini, aplikasi dari teori kognitif sosial dengan penelitian di media
massa perlu diperjelas. Di dalam masyarakat masa kini, banyak model yang kita pelajari
adalah model yang kita lihat, dengar, atau baca di media massa. Model-model ini bisa jadi
merupakan orang-orang yang kita amati dalam siaran berita atau program dokumenter.
Mereka juga bisa saja karakter-karakter yang kita lihat dalam program-program
drama/sinetron/film layar lebar atau televisi atau juga karakter dalam buku novel. Bisa juga
mereka adalah para penyanyi atau penari yang kita dengar dan lihat melalui radio atau CD
dan VCD musik. Singkat kata, begitu banyaknya model yang ditampilkan media akan dapat
mengubah perilaku baik anak-anak maupun orang dewasa karena mereka mengamati media.

Dampak terbesar dari teori kognitif sosial adalah dalam penelitian tentang kekerasan dalam
media (media violence). Gunter (1994) melakukan tinjauan atas riset tentang dampak dari
kekerasan yang ditampilkan di media pada anak-anak dan orang dewasa, dan ia
menyimpulkan bahwa terdapat bukti-bukti campuran yang kuat yang menghubungkan efek
dari penggambaran kekerasan melalui media pada perilaku, sikap dan kognisi dari penonton.

Teori kognisi sosial, yang amat menekankan efek pada perilaku, mengatakan bahwa
penggamabaran kekerasan itu memicu baik peningkatan maupun penurunan dalam perilaku
kekerasan, tergantung pada perilaku yang mendapatkan imabalan maupun hukuman, dan juga
tergantung pada sejauh mana penonton mengidentifikasi diri mereka pada model kekerasan
dalam media. Tentu saja, riset awal Bandura (1962) dan Berkowitz (1964) mendukung
hubungan mendasar antara menonton perilaku kekerasan dan pemodelan perilaku dalam
interaksi.

Bagaimanapun, riset terakhir telah menambahkan kompleksitas untuk persamaan ini, dengan
alasan bahwa isu-isu seperti kecenderungan perilaku agresif yang sudah ada, proses kognitif
media, realita yang digambarkan mediam dan bahkan diet bisa memengaruhi sejauh mana
seseorang belajar tentang kekerasan dari media. (Miller, 2005: 254)

Aplikasi dari teori kognitif sosial pada studi tentang kekerasan melalui televisi
mempertimbangkan bagaimana media dapat memiliki konsekuensi yang tak diinginkan pada
khalayak pemirsanya. Bagaimanapun, para sarjana komunikasi dan peneliti riset aksi (action
research) juga mempertimbangkan aplikasi yang lebih berguna dari teori kognitif sosial ini.

Makin banyak saja para sarjana komunikasi yang menggunakan konsep hiburan dan
pendidikandalam mempertimbangkan bagaimana pesan-pesan program hiburan bisa
digunakan untuk menimbulkan perubahan perilaku dan sosial. Misalnya penelitian tentang
bagaimana telenovela yang disiarkan di banyak negara selain dapat menghibur juga dapat
menyampaikan isu tentang keluarga berencana, persamaan hak pria dan wanita, dan
reformasi pertanian. Banyak juga opera sabun Amerika yang memang dibuat dalam kerangka
kognitif sosial yaitu dengan menggunakan karakter-karakter yang menarik yang mendapatkan
penghargaan atau hukuman sebagai pemodelan dari perilaku secara nyata.
Teori Kognitif Sosial juga digunakan dalam aplikasi komunikasi kesehatan masyarakat.
Misalnya untuk kampanye tentang Demam Berdarah, atau Flu Burung digunakan artis
terkenal atau tokoh yang menarik yang karena mengikuti anjuran pemerintah untuk
pencegahan, bisa terhindar dari penyakit tersebut. Pemakaian artis terkenal atau tokoh yang
menarik akan memicu orang untuk lebih waspada terhadap kedua penyakit tersebut.

4.    Prinsip-prinsip Teori Albert Bandura

Adapun prinsip-prinsip yang mendasari teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Albert
Bandura, adalah sebagai berikut.

a.    Prinsip faktor-faktor yang saling menentukan

Bandura menyatakan bahwa diri seorang manusia pada dasarnya adalah suatu sistem (sistem
diri/self system). Sebagai suatu sistem bermakna bahwa perilaku, berbagai faktor pada diri
seseorang, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lingkungan orang tersebut, secara
bersama-sama saling bertindak sebagai penentu atau penyebab yang satu terhadap yang
lainnya.

Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses pembelajaran, yang
mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan mengamati
secara sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang lain. Dalam teori
menjelaskan hubungan timbal balik yang saling berkesinambungan antara kognitif, perilaku,
dan lingkungan.

Kondisi lingkungan sekitar kita sangat berpengaruh terhadap perilaku kita. Lingkungan
kiranya memberikan posisi yang besar dalam kehidupan sosial kita sehari hari. Lingkungan
dapat pula membentuk kepribadian kita. Dalam skema diatas dapat kita lihat, bahwa antara
behavioral, environment, dan perception sangatlah memberikan andil dalam proses
pembelajaran sosial kita.

Apa yang kita pikirkan akan mempengaruhi perilaku kita, dan perilaku pribadi kita akan
menimbulkan reaksi dari orang lain. Begitu pula dengan lingkungan, keadaan lingkungan
sekitar kita akan mempengaruhi perilaku kita. Keadaan lingkungan akan menimbulkan
reaksi-reaksi tersendiri dari individu tersebut. Yang dapat memberikan stimulus terhadap
individu untuk melakuka sesuatu berdasarkan apa yang mereka lihat, cermati, dalm
lingkungan tersebut.

Kemudian reaksi-reaksi yang ditunjukkan oleh individu tersebut akan memberikan penilaian
tersendiri terhadap dirinya sendiri, dan karakteristik dari individu tersebut akan memberikan
penilaian tersendiri dari orang lain. Dari keadaan lingkungan sekitar yang kita lihat dan
reaksi-reaksi dari individu akan memberikan pengaruh terhadap persepsi dan aksi kita akan
stimulus yang diperlihatkan di dalam lingkungan tersebut. Persepsi timbul karena ada
stimulus dari orang lain maupun dari lingkungan sekitar kita.

Dengan demikian, antara behavioral, environment, dan perception sangatlah bergantung satu
sama lain, ketiga komponen tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Namun antar ketiga
komponen itu saling memberikan pengaruh atau saling memberikan perannnya dalam
terlaksananya teori pembelajaran sosial. Komponen-komponen tersebut salimg berhubungan
antar komponen yang lain, dan saling timbal balik, menerima dan memberi. Tidak akan
tercipta pembelajaran sosial jika tidak ada lingkungan, individu, dan aksi reaksi sebagai
akibat dari adanya stimulus yang ada.

b.    Kemampuan untuk membuat atau memahami simbol/tanda/ lambang

Bandura menyatakan bahwa orang memahami dunia secara simbolis melalui gambar-gambar
kognitif, jadi orang lebih bereaksi terhadap gambaran kognitif dari dunia sekitar dari pada
dunia itu sendiri. Artinya, karena orang memiliki kemampuan berfikir dan memanfaatkan
bahasa sebagai alat untuk berfikir, maka hal-hal yang telah berlalu dapat disimpan dalam
ingatan dan hal-hal yang akan datang dapat pula “diuji” secara simbolis dalam pikiran.
Perilaku-perilaku yang mungkin diperlihatkan akan dapat diduga, diharapkan, dikhawatirkan,
dan diuji cobakan terlebih dahulu secara simbolis, dalam pikiran, tanpa harus mengalaminya
secara fisik terlebih dahulu. Karena pikiran-pikiran yang merupakan simbul atau gambaran
kognitif dari masa lalu maupun masa depan itulah yang mempengaruhi atau menyebabkan
munculnya perilaku tertentu.

c.    Kemampuan berpikir ke depan

Selain dapat digunakan untuk mengingat hal-hal yang sudah pernah dialami, kemampuan
berpikir atau mengolah simbol tersebut dapat dimanfaatkan untuk merencanakan masa depan.
Orang dapat menduga bagaimana orang lain bisa bereaksi terhadap seseorang, dapat
menentukan tujuan, dan merencanakan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut. Inilah yang disebut dengan pikiran ke depan, karena biasanya pikiran
mengawali tindakan.

d.  Kemampuan seolah-olah mengalami apa yang dialami orang lain

Orang-orang, terlebih lagi anak-anak mampu belajar dengan cara memperhatikan orang lain
berperilaku dan memperhatikan konsekuensi dari perilaku tersebut. Inilah yang dinamakan
belajar dari apa yang dialami orang lain.

e.    Kemampuan mengatur diri sendiri

Prinsip berikutnya dari belajar sosial adalah orang umumnya memiliki kemampuan untuk
mengendalikan perilaku mereka sendiri. Seberapa giat orang bekerja dan belajar, berapa jam
orang tidur, bagaiamana bersikap di muka umum, apakah orang mengerjakan pekerjaan
kuliah dengan teratur, dsb, adalah contoh prilaku yang dikendalikan. Perilaku ini tidak
dikerjakan tidak selalu untuk memuaskan orang lain, tetapi berdasarkan standar dan motivasi
yang ditetapkan diri sendiri. Tentu saja orang akan berpengaruh oleh perilaku orang lain,
namun tanggung jawab utama tetap berada pada diri se8ndiri.

f.     Kemampuan untuk berefleksi

Prinsip terakhir ini menerangkan bahwa kebanyakan orang sering melakukan refleksi atau
perenungan untuk memikirkan kemampuan diri mereka pribadi. Mereka umumnya mampu
memantau ide-ide mereka dan menilai kepantasan ide-ide tersebut sekaligus menilai diri
mereka sendiri. Dari semua penilaian diri sendiri itu, yang paling penting adalah penilaian
terhadap beberapa komponen atau seberapa mampu mereka mengira diri mereka dapat
mengerjakan suatu tugas dengan sukses.

5.    Pandangan tentang Individu

a.  Kemampuan Simbolisasi

Teori kognitif sosial menyepakati peran sentral pada proses kognitif, seolah-olah mengalami
sendiri (vicarious), pengaturan diri (self regulatory), dan refleksi-diri (self-reflective). Dengan
kemampuan luar biasa melakukan simbolisasi, manusia memiliki alat untuk memahami
lingkungan mereka serta menciptakan dan mengatur kegiatan lingkungan pada hampir setiap
aspek. Sebagian besar hal-hal eksternal memengaruhi perilaku afektif individu melalui proses
kognitif daripada secara langsung. Melalui simbol, individu memberikan makna, bentuk, dan
kontinuitas sesuai pengalaman mereka sehingga dapat berkomunikasi dengan orang lain pada
jarak dalam ruang dan waktu.

b.   Kemampuan Pengaturan-Diri (Self-Regulatory)

Setiap individu tidak hanya berperan sebagai pihak yang memiliki pengetahuan (knowers)
dan melakukan (performers), namun juga memiliki reaksi-diri sesuai kemampuan
mengarahkan-diri (self-direction). Pengaturan diri terhadap motivasi, afek, dan tindakan
sebagian beroperasi melalui standar internal dan reaksi untuk mengevaluasi perilaku diri
sendiri. Standar internal yang berfungsi sebagai dasar untuk mengatur perilaku individu
memiliki stabilitas atau kemantapan yang lebih besar. Individu tidak cepat berubah
menyangkut apa yang dia anggap benar atau salah, baik atau buruk.

Ketika mengadopsi standar moralitas, individu memiliki mekanisme sanksi internal atas
tindakan melanggar standar pribadi. Pelaksanaan kebebasan moral memiliki dua aspek,
pengekangan dengan menahan diri berperilaku tidak manusiawi dan proaktif dengan
berperilaku manusiawi.

c.    Kemampuan Refleksi-Diri (Self-Reflective)

Kemampuan merefleksikan diri merupakan atribut lain manusia yang menonjol dalam teori
kognitif sosial. Individu bukan hanya agen tindakan tetapi juga menguji dirinya sendiri (self
examiners). Ketika melakukan verifikasi yang melibatkan refleksi diri, individu
menghasilkan ide-ide serta bertindak terhadap ide tersebut, atau memrediksi kejadian. Empat
cara verifikasi pemikiran, yaitu enaktif atau kemampuan untuk menetapkan sesuatu,
vicarious seolah-olah mengalami sendiri, sosial, dan logis.

Verifikasi enaktif bergantung pada kesesuaian pikiran individu dan tindakan yang dilakukan.
Dalam verifikasi vicarious, individu mengamati transaksi individu lain dengan lingkungan
dan efek yang dihasilkan mengonfirmasi kebenaran pemikirannya. Dalam verifikasi sosial,
individu menguji pandangannya menggunakan apa yang dipercayai orang lain. Dalam
verifikasi logis, individu memeriksa kesalahan-kesalahan pemikiran mereka dengan
menyimpulkan dari pengetahuan.

d.    Kemampuan Memosisikan Sebagai Orang Lain (Vicarious)


Teori-teori psikologis secara tradisional menekankan belajar melalui efek dari tindakan orang
lain. Hampir semua perilaku, kognitif, dan afektif belajar dari pengalaman langsung dapat
dicapai dengan cara vicarious atau mengamati tindakan individu-individu lain dan
konsekuensinya bagi mereka. Pembelajaran sosial banyak terjadi dari lingkungan terdekat
seseorang. Namun, informasi tentang nilai-nilai kemanusiaan, gaya berpikir, dan pola
perilaku juga diperoleh dari simbol-simbol dari media massa. Akibatnya, konsepsi tentang
realitas dipengaruhi pengalaman vicarious melalui apa yang mereka lihat, dengar, dan baca,
tanpa koreksi melalui pengalaman langsung. Semakin besar ketergantungan individu
mengenai realitas pada simbol media massa, semakin besar adalah dampak sosialnya.

e.    Konstruksi Sosial Realitas

Representasi televisi terhadap realitas sosial mencerminkan ideologis dalam penggambaran


atas sifat manusia, hubungan sosial, dan norma-norma serta struktur masyarakat (Adoni  dan
Mane, 1984; Gerbner, 1972). Terpaan berat untuk dunia simbolik ini akhirnya membuat citra
televisi nampak otentik untuk urusan manusia. Televisi membentuk pandangan manusia
terhadap realitas kepercayaan dan konsep akibat penekanan atau penayangan simbol-simbol
tertentu.

Beberapa perselisihan tentang yang mewakili teori kultivasi telah muncul terhadap hasil
temuan dari studi korelasional dengan menggunakan indeks global yang didasarkan pada
seberapa lama menonton televisi (Gerbner, Gross, Morgan  dan Signorielli, 1981; Hirsch,
1980). Penggambaran media cetak juga membentuk konsepsi sosial yang serupa.
Penggambaran melalui pesan ini bisa mengakibatkan miskonsepsi sosial mengenai pekerjaan,
kelompok etnis minoritas, usia, aturan gender, dan aspek kehidupan lainnya yang dikultivasi
melalui simbolisasi stereotype.

f.    Dorongan Sosial Terhadap Perilaku Manusia

Tindakan orang lain juga dapat berfungsi sebagai petunjuk sosial untuk perilaku yang
dipelajari sebelumnya bahwa pengamat dapat melakukan tetapi belum melakukannya karena
belum cukup dibujuk, bukan karena pembatasan. Efek dorongan sosial dibedakan dari
pembelajaran observasional dan kurangnya pengendalian diri karena tidak ada perilaku baru
yang diakuisisi, dan proses kekurangan pengendalian diri tidak terlibat karena perilaku
elisitasi (berkelompok) secara sosial dapat diterima dan tidak dibebani oleh pembatasan.

Pengaruh model dalam mengaktifkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku orang lain
banyak didokumentasikan baik pada laboratorium dan studi lapangan (Bandura, 1986).
Dengan demikian, jenis model yang mendominasi dalam lingkungan sosial sebagian
menentukan kualitas manusia, di antara banyak alternatif, secara selektif diaktifkan.

g.    Arus Pengaruh Dual-Link Versus Banyak Pola

Mode yang berbeda dari pengaruh manusia terlalu beragam untuk memiliki jalur tetap dari
pengaruh atau kekuatan. Kebanyakan perilaku adalah hasil dari beberapa faktor penentu yang
beroperasi. Dalam kasus perilaku yang tidak khas, biasanya dihasilkan oleh konstelasi
penentu yang unik, sehingga jika salah satu dari mereka tidak hadir maka perilaku tidak akan
terjadi. Tergantung pada kualitas dan koeksistensi penentu lainnya, pengaruh media yang
mungkin subordinat, sama, atau lebih besar daripada pengaruh nonmedia.
Watt dan Van Den Berg (1978) menguji beberapa teori alternatif tentang bagaimana media
komunikasi berhubungan dengan sikap dan perilaku masyarakat. Penjelasan pembanding
termasuk konsepsi bahwa media mempengaruhi orang secara langsung; media mempengaruhi
opinion leaders yang kemudian mengafeksi orang lain; media tidak memiliki efek yang
independen; media membentuk agenda pulik untuk diskusi dengan mendesain apa yang
penting namun tidak mempengaruhi publik; dan akhirnya, media hanya merefleksikan sikap
dan perilaku publik daripada membentuk mereka.

h.    Difusi Sosial Melalui Model Simbolik

Diskusi sebelumnya banyak membahas model pada tingkat individu. Sebelumnya juga
dicatat, bahwa keunikan dari model ini adalah kemampuanya mengantarkan informasi
terbatas yang beragam ke banyak orang secara simultan melalui medium model simbolik.
Kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi komunikasi mengubah karakter, cakupan,
kecepatan dan lokus (area) dari pengaruh manusia (Bandura, 2001b). Teknologi yang
berkembang secara radikal inilah yang mengubah proses penyebaran (difusi) sosial. Video
memungkinkan satelit telekomunikasi menjadi “kendaraan” yang sangat penting dalam
menyebarkan simbol-simbol. Praktik-praktik sosial tidak hanya secara luas disebarkan
melalui masyarakat, tetapi ide, nilai-nilai, dan perilaku juga dimodelkan secara mendunia.

i.     Difusi Model Determinan

Pemodelan simbolik biasanya berfungsi sebagai pengantar yang penting dari inovasi kepada
area yang luas dan berpencar. Hal ini khususnya terjadi pada tingkat awal dari penyebaran.
Koran, majalah, radio dan televisi memberikan informasi kepada masyrakat tentang berita,
risiko dan keuntungan. Ditambah, internet memungkinkan akses komunikasi yang instan ke
seluruh dunia. Adopter awal, adalah mereka yang memiliki akses yang cukup baik terhadap
sumber media dan informasi.

j.     Adoption Determinants

Faktor-faktor yang menentukan individu untuk mengadopsi sebuah perilaku Insentif yang
diperoleh dari perilaku tersebut, baik secara material, sosial, maupun hasil evaluasi diri.
Adanya keinginan untuk memperoleh apresiasi sosial dan dorongan status. Seorang individu
tidak mutlak mengadopsi nilai-nilai dari luar, tetapi juga mengolah dan menyesuaikan dengan
konsep diri mereka.

6.   Triadic Reciprocai Causation

Kita melihat Skinner meyakini bahwa perilaku adalah fungsi dari lingkungan, yaitu perilaku
utamanya dapat berasal dari dorongan di luar diri seseorang. Ketika kemungkinan dalam
lingkungan berubah, maka perilaku berubah. Akan tetapi, apa yang memunculkan perubahan
dalam lingkungan? Skinner mengedepankan bahwa perilaku manusia dapat memberikan
suatu bentuk kontrol balik terhadap lingkungan, namun ia bersikeras bahwa, dalam analisis
final, perilaku ditentukan oleh lingkungan. Pakar teori lainnya, seperti Gordon Allport dan
Hans Eysenck menekankan pentingnya sifat atau disposisi personal dalam pembentukan
perilaku. Secara umum, para pakar teori ini memegang prinsip bahwa faktor pribadi
berinteraksi dengan lingkungan untuk membentuk perilaku.
a.    Sebuah Contoh Triadic Reciprocal Causation

Perhatikan contoh triadic reciprocal causation berikut Seorang anak memohon pada ayahnya
untuk memberikannya potongan kue yang kedua, yang berdasarkan sudut pandang ayahnya,
adalah suatu kejadian dalam lingkungan. Apabila sang ayah secara otomatis (tanpa berpilar)
memberikan potongan kue kedua pada anaknya, maka keduanya akan mengondisikan
perilaku satu sama lain berdasarkan logika dari Skinner.

Perilaku sang ayah akan dikontrol oleh lingkungannya; namun perilakunya kemudian akan
mempunyai efek kontrol balik terhadap lingkungannya, yaitu anaknya. Akan tetapi, dalam
teori Bandura, sang ayah mampu berpikir mengenai konsekuensi dari memberikan atau tidak
menghiraukan perilaku anaknya. Ia mungkin dapat berpikir, “Apabila saya memberikan
potongan kue yang kedua, ia akan berhenti menangis untuk sementara, namun di masa depan,
ia mungkin akan tetap bertahan sampai saya menyerah padanya. Oleh karena itu, saya tidak
akan memberikan kue yang kedua”. Oleh karena itu, sang ayah mempunyai dampak, baik
pada lingkungannya (anaknya) maupun perilakunya sendiri (menolak permohonan anaknya).

Selanjutnya, perilaku anak (lingkungan sang ayah) akan membantu membentuk kognisi dan
perilaku sang ayah. Apabila anaknya berhenti meminta, sang ayah mungkin akan mempunyai
pikiran yang lain. Misalnya, ia mungkin akan mengevaluasi perilakunya dengan berpikir,
“Saya adalah ayah yang baik karena saya melakukan hal yang benar. “Perubahan dalam
lingkungan juga membiarkan sang ayah melakukan perilaku yang berbeda. Oleh karena itu,
perilaku berikutnya akan ditentukan sebagian oleh interaksi timbal-balik dari lingkungan,
kognisi, dan perilakunya.

b.   Pertemuan secara Kebetulan dan Peristiwa Tidak Disengaja

Walaupun manusia dapat dan benar-benar melakukan sejumlah kontrol terhadap hidupnya,
mereka tidak dapat memprediksikan atau mengantisipasi semua kemungkinan atas perubahan
lingkungan. Bandura adalah satu satunya pakar teori kepribadian yang dengan serius
memperhitungkan pentingnya kemungkinan dari pertemuan yang kebetulan dan peristiwa
yang tidak disengaja.

Bandura (1998a: 95) mendefinisikan pertemuan yang kebetulan sebagai pertemuan yang
tidak sengaja dari orang-orang yang tidak saling mengenal satu sama lain. Kejadian yang
tidak disengaja adalah pengalaman dari lingkungan yang tidak terduga dan tidak disengaja.
Kehidupan sehari-hari manusia dipengaruhi dalam kadar yang besar atau kecil oleh orang-
orang yang kebetulan mereka temui dan oleh peristiwa-peristiwa acak yang tidak dapat
mereka prediksikan. Pasangan hidup seseorang, pekerjaan, dan tempat tinggal kemungkinan
besar merupakan hasil dari pertemuan yang tidak disengaja, yang tidak direncanakan dan
tidak terduga.

7.    Agen Manusia

Teori kognisi sosial mengambil sudut pandang yang bersifat agensi terhadap kepribadian,
yaitu manusia mempunyai kapasitas untuk melakukan kontrol atas hidup mereka (2002b).
Agen manusia adalah esensi dari kemanusiaan. Bandura (2001) yakin bahwa manusia bersifat
meregulasi diri sendiri, proaktif, merefleksikan diri, dan dapat mengatur diri sendiri serta
mempunyai kekuatan untuk memengaruhi tindakan mereka sendiri untuk menghasilkan
konsekuensi yang diinginkan.

Agensi manusia tidak berarti bahwa manusia mempunyai suatu homuncolus yaitu suatu agen
otonom yang membuat keputusan yang konsisten dengan pandangan mereka terhadap diri.
Tidak juga berarti bahwa manusia bereaksi secara otomatis terhadap peristiwa eksternal dan
internal Agen manusia bukanlah suatu benda, melainkan proses aktif dari mengeksplorasi,
memanipulasi, dan memengaruhi lingkungannya untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan.

Bandura (2001, 2004) mendiskusikan empat aspek inti dari agensi manusia: intensionalitas,
visi, reaktivitas diri, dan refleksi diri. Intensionalitas merujuk kepada tindakan yang
dilakukan seseorang secara bertujuan. Suatu intensi meliputi adanya perencanaan, tetapi juga
meliputi tindakan, Hal tersebut tidak hanya sebuah ekspektasi atau prediksi mengenai
tindakan di masa depan, namun juga komitmen yang proaktif untuk mewujudkannya (2001:
6). Intensionalitas tidak berarti bahwa semua rencana seseorang dapat membuahkan hasil
Manusia terus mengubah rencana mereka saat menyadari konsekuensi dari tindakan mereka.

Manusia juga mempunyai visi untuk dapat menentukan tujuan, mengantisipasi kemungkinan
hasil dari tindakan mereka, dan memilih perilaku yang akan menghasilkan pencapaian yang
diinginkan dan menghindari yang tidak diinginkan. Visi memberikan manusia kemampuan
untuk membebaskan diri dari kungkungan lingkungan. Apabila perilaku sepenuhnya
merupakan fungsi dari lingkungan, maka perilaku akan lebih bervariasi dan tidak konsisten
karena kita akan terus bereaksi terhadap beragam stimulus lingkungan. Apabila suatu
tindakan ditentukan hanya oleh penghargaan dan hukuman yang bersifat eksternal, maka
manusia akan berperilaku selayaknya penunjuk angin (Bandura, 1986: 335). Akan tetapi,
manusia tidak berperilaku layaknya penunjuk angin, selalu berganti arah untuk menyesuaikan
diri dengan apa pun pengaruh yang kebetulan mengintervensi mereka saat itu (Bandura,
2001: 7).

8.    Efikasi Diri

Efikasi diri bukan merupakan ekspektasi dari hasil tindakan kita. Bandura membedakan
antara ekspektasi mengenai efikasi dan ekspektasi mengenai hasil Efikasi merujuk pada
keyakinan diri seseorang bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan suatu
perilaku, sementara ekspektasi atas hasil merujuk pada prediksi dari kemungkinan mengenai
konsekuensi perilaku tersebut. Hasil tidak boleh digabungkan dengan keberhasilan dalam
melakukan perilaku tersebut; hasil merujuk pada konsekuensi dari perilaku, bukan
penyelesaian melakukan tindakan tersebut Sebagai contoh, seorang pelamar kerja harus
mempunyai kepercayaan diri bahwa dia dapat memberikan performa yang baik saat
melakukan wawancara kerja, mempunyai kemampuan untuk menjawab berbagai
kemungkinan pertanyaan, tetap santai dan terkontrol, serta menunjukkan perilaku bersahabat
dengan kadar yang tepat Oleh karena itu, dia mempunyai efikasi diri yang tinggi mengenai
wawancara keria.

Bandura mendefinisikan self-efficacy sebagai judgement seseorang atas kemampuannya


untuk merencanakan dan melaksanakan tindakan yang mengarah pada pencapaian tujuan
tertentu (Bandura, Albert. 1986: 397). Bandura menggunakan istilah self-efficacy mengacu
pada keyakinan (beliefs) tentang kemampuan seseorang untuk mengorganisasikan dan
melaksanakan tindakan untuk pencapaian hasil (Bandura, 1997: 3). Dengan kata lain, self-
efficacy adalah keyakinan penilaian diri berkenaan dengan kompetensi seseorang untuk
sukses dalam tugas-tugasnya. Menurut Bandura, keyakinan self-efficacy merupakan faktor
kunci sumber tindakan manusia (human egency), “apa yang orang pikirkan, percaya, dan
rasakan mempengaruhi bagaimana mereka bertindak (Bandura, 1997: 25).

Di samping itu, keyakinan efikasi juga mempengaruhi cara atas pilihan tindakan seseorang,
seberapa banyak upaya yang mereka lakukan, seberapa lama mereka akan tekun dalam
menghadapi rintangan dan kegagalan, seberapa kuat ketahanan mereka menghadapi
kemalangan, seberapa jernih pikiran mereka merupakan rintangan diri atau bantuan diri,
seberapa banyak tekanan dan kegundahan pengalaman mereka dalam meniru (copying)
tuntunan lingkungan, dan seberapa tinggi tingkat pemenuhan yang mereka wujudkan
(Bandura, 1997: 3).

Menurut teori kognitif sosial Bandura, keyakinan self-efficacy mempengaruhi pilihan orang
dalam membuat dan menjalankan tindakan yang mereka kejar. Individu cenderung
berkonsentrasi dalam tugas-tugas yang mereka rasakan mampu dan percaya dapat
menyelesaikannya serta menghindari tugas-tugas yang tidak dapat mereka kerjakan.
Keyakinan efikasi juga membantu menentukan sejauh mana usaha yang akan dikerahkan
orang dalam suatu aktivitas, seberapa lama mereka akan gigih ketika menghadapi rintangan,
dan seberapa ulet mereka akan menghadapi situasi yang tidak cocok (Schunk, 1981: 93).

Keyakinan efikasi juga mempengaruhi sejumlah stress dan pengalaman kecemasan individu
seperti ketika mereka menyibukkan diri dalam suatu aktifitas (Pajares, dan Miller, 1994:193).
Secara eksplisit, Bandura sebagaimana dikutip oleh Pajares, menghubungkan self-efficacy
dengan motivasi dan tindakan, tanpa memperhatikan apakah keyakinan itu benar secara
objektif atau tidak. Dengan demikian, perilaku dapat diprediksi melalui self-efficacy yang
dirasakan (keyakinan seseorang tentang kemampuannya), meskipun perilaku itu terkadang
dapat berbeda dari kemampuan aktual karena pentingnya self-efficacy yang dirasakan.

Efikasi personal didapatkan, ditingkatkan, atau berkurang melalui salah satu atau kombinasi
dari empat sumber: (1) pengalaman menguasai sesuatu (mastery experiences), , (2) modeling
sosial, (3) persuasi sosial, serta (4) kondisi fisik dan emosional (Bandura, 1997). Dengan
setiap metodenya, informasi mengenai diri sendiri dan lingkungan akan diproses secara
kognitif dan bersama-sama dengan kumpulan pengalaman sebelumnya, akan mengubah
persepsi mengenai efikasi diri.

Pengalaman Menguasai Sesuatu Sumber yang paling berpengaruh dari efikasi diri adalah
pengalaman menguasai sesuatu, yaitu performa masa lalu (Bandura, 1997). Secara umum,
performa yang berhasil akan meningkatkan ekspektasi mengenai kemampuan; kegagalan
cenderung akan menurunkan hal tersebut Pernyataan umum ini mempunyai enam dampak.
Pertama, performa yang berhasil akan meningkatkan efikasi diri secara proporsional dengan
kesulitan dari tugas tersebut. Pemain tenis dengan keterampilan yang tinggi akan mengalami
peningkatan efikasi diri yang sedikit saat mengalahkan lawan yang jelas-jelas inferior, tetapi
pemain tersebut akan lebih mengalami peningkatan efikasi diri dengan menunjukkan
performa yang baik menghadapi lawan yang lebih superior.

Kedua, tugas yang dapat diselesaikan dengan baik oleh diri sendiri akan lebih efektif daripada
yang diselesaikan dengan bantuan dari orang lain. Dalam olahraga, pencapaian dalam tim
tidak meningkatkan efikasi personal daripada pencapaian individu.
Ketiga, kegagalan sangat mungkin untuk menurunkan efikasi saat mereka tahu bahwa mereka
telah memberikan usaha terbaik mereka. Kegagalan yang terjadi ketika kita tidak sepenuhnya
berusaha, tidak lebih memengaruhi efikasi dibandingkan kegagalan saat kita memberikan
usaha terbaik kita.

Keempat, kegagalan dalam kondisi rangsangan atau tekanan emosi yang tinggi tidak terlalu
merugikan diri dibandingkan kegagalan dalam kondisi maksimal. Kelima, kegagalan sebelum
mengukuhkan rasa menguasai sesuatu akan lebih berpengaruh buruk pada rasa efikasi diri
daripada kegagalan setelannya. Dampak keenam dan yang berhubungan adalah kegagalan
yang terjadi kadang-kadang mempunyai dampak yang sedikit terhadap efikasi diri, terutama
pada mereka yang mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap kesuksesan.

Modeling Sosial Sumber kedua dari efikasi diri adalah modeling sosial, yaitu vicarious
experiertces. Efikasi diri meningkat saat kita mengobservasi pencapaian orang lain yang
mempunyai kompetensi yang setara, namun akan berkurang saat kita melihat rekan sebaya
kita gagal Saat orang lain tersebut berbeda dari kita, modeling sosial akan mempunyai efek
yang sedikit dalam efikasi diri kita. Seorang pengecut tua yang tidak aktif yang melihat
seorang pemain sirkus muda yang aktif dan pemberani berhasil berjalan di atas tambang
tinggi, akan diragukan untuk mempunyai peningkatan ekspektasi dalam melakukan ulang hal
tersebut

Secara umum, dampak dari modeling sosial tidak sekuat dampak yang diberikan oleh
performa pribadi dalam meningkatkan level efikasi diri, tetapi dapat mempunyai dampak
yang kuat saat memperhatikan penurunan efikasi diri. Melihat seorang perenang dengan
kemampuan yang setara gagal untuk melewati sungai yang bergejolak akan membuat orang
yang mengobservasi mengurungkan niat untuk melakukan hal yang sama. Dampak dari
pengalaman tidak langsung ini, bahkan mungkin dapat bertahan seumur hidup.

Persuasi Sosial Efikasi diri dapat juga diperoleh atau dilemahkan melalui persuasi sosial
(Bandura, 1997). Dampak dari sumber ini cukup terbatas, tetapi di bawah kondisi yang tepat,
persuasi dari orang lain dapat meningkatkan atau menurunkan efikasi diri. Kondisi pertama
adalah bahwa orang tersebut harus memercayai pihak yang melakukan persuasi.

Kata-kata atau kritik dari sumber yang terpercaya mempunyai daya yang lebih efektif
dibandingkan dengan hal yang sama dari sumber yang tidak terpercaya. Meningkatkan efikasi
diri melalui persuasi sosial dapat menjadi efektif hanya bila kegiatan yang ingin didukung
untuk dicoba berada dalam jangkauan perilaku seseorang. Sebanyak apa pun persuasi verbal
dari orang lain tidak dapat mengubah penilaian seseorang mengenai kemampuan dirinya
untuk berlari 100 meter dalam waktu di bawah 8 detik.

Menurut Bandura sebagaimana dipublikasikan dalam Wikipedia bebas 12 January 2009


menyatakan ada empat sumber utama yang mempengaruhi self-efficacy, yaitu penguasaan
atau pengalaman yang menetap, pengalaman yang dirasakan sendiri, bujukan sosial, dan
keadaan psikologis atau emosi. Keempat sumber tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, penguasaan atau pengalaman yang menetap. Penguasaan atau pengalaman yang
menetap adalah peristiwa masa lalu atas kesuksesan dan/atau kegagalan yang dirasakan
sebagai faktor terpenting pembentuk self-efficacy seseorang. Kesuksesan meningkatkan nilai
efikasi dan pengulangan kegagalan yang lebih rendah terjadi karena refleksi kurangnya usaha
atau keadaan eksternal yang tidak cocok. Perasaan efikasi yang kuat mungkin dapat
dikembangkan melalui pengulangan kesuksesan. Adapun dalam kegagalan, orang cenderung
menganggap asal kegagalan pada beberapa faktor eksternal seperti usaha yang tidak cukup
atau strategi yang tidak tepat.

Usaha dalam melaksanakan tugas merupakan faktor lain yang mempengaruhi efikasi. Ketika
seseorang mengeluarkan usaha yang besar dalam melaksanakan tugas yang dirasakan sulit,
kesuksesan tidak akan dengan kuat mempengaruhi self-efficacy seseorang di mana kegagalan
akan meruntuhkan self-efficacynya (Nichols, dan Miller, 1984:185-218). Sebaliknya,
performan yang rendah dengan derajat usaha yang lemah memiliki sedikit dampak pada
keyakinan self-efficacy seseorang, tetapi kesuksesan dengan sedikit usaha membawa
performansi mereka pada tingkat selfefficacy yang tinggi.

Kedua, pengalaman yang rasakan sendiri. Seseorang terkadang membuat judgement tentang
kemampuannya sendiri dengan memperhatikan orang lain yang mengerjakan tugas tertentu
yang serupa. Kesuksesan orang lain mengindikasikan bahwa mereka sendiri dapat
mengerjakan tugas yang sama, sementara kegagalan orang lain mungkin mengidentifikasi
mereka tidak mengerjakan tugas. Orang membuat perbandingan dengan orang lain dalam hal
usia, jenis kelamin, ras, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi, penandaan etnik, dan prediksi
kemampuan sendiri mereka dalam mengerjakan tugas.

Dalam penelitian tentang pengaruh pengalaman yang dialami sendiri terhadap self-efficacy,
Schunk dan Hanson (1985: 313-322) menyelidiki bagaimana self-efficacy anak-anak dan
prestasi mereka dipengaruhi oleh observasi mereka terhadap model teman sebaya (peer
models). Siswa yang memiliki pengalaman berupa kesulitan dalam pengurangan belajar
(learning subtraction) dikelompokkan secara random, dan setiap kelompok, baik yang
mengobservasi demonstrasi teman sebaya atas perolehan keterampilan pengurangan
(subtraction skills), yang mengobservasi model guru yang mendemonstrasikan operasi
pengurangan (subtraction operations), maupun yang tidak mengobservasi model sama sekali.
Hasil eksperimen menunjukkan bahwa baik model teman sebaya dan model guru
menghasilkan self-efficacy yang lebih tinggi dan prestasi yang lebih tinggi dibanding
kelompok kontrol yang tidak mengobservasi model sama sekali. Model teman sebaya
membawa self-efficacy yang lebih tinggi dan prestasi yang lebih tinggi dari pada model guru.

Meski tidak sebesar pengaruh seperti pada mastery experinece (past experience), modeling
ini berpengaruh sangat kuat pada self-efficacy ketika seseorang, terutama sekali, tidak
meyakini dirinya sendiri. Kesimpulan ini juga dicapai oleh Keyser dan Barling (1981: 205-
230). Dibandingkan dengan anak-anak lain, anak-anak yang lebih muda lebih
mempercayakan modeling sebagai sumber informasi berkenaan dengan keyakinan self-
efficacy mereka. Keyser dan Barling mengasumsikan bahwa pemenuhan performan sendiri
anak-anak mungkin tercapai lebih mempengaruhi sebagai sumber self-efficacy seperti anak
yang menjadi lebih tua. Argumen ini didukung oleh Wang dan Richarde (1987:647-658)
yang melaporkan bahwa performansi secara signifikan mempengaruhi keyakinan self-
efficacy kelas empat, dan tidak pada keyakinan self-efficacy kelas dua.

Ketiga, bujukan sosial. Penilaian diri (self-appraisals) atas kompetensi sebagian didasarkan
pada opini (penilaian) lain yang signifikan yang agaknya memiliki kekuatan evaluatif. Orang
yang dibujuk secara verbal yang memiliki kemampuan untuk memenuhi tugas yang diberikan
adalah lebih mungkin tetap melakukan tugas lebih lama ketika dihadapkan pada kesulitan dan
lebih tetap mengembangan perasaan self-efficacy. Peningkatan keyakinan yang tidak realistik
atas self-efficacy seseorang bergandengan dengan kegagalan ketika mengerjakan tugas, akan
tetapi, hanya akan kehilangan kepercayaan pembujuk dan lebih jauh mengikis self-efficacy
yang dirasakan seseorang. Persuasi sosial ini berkenaan dengan dorongan/keputusasaan.

Persuasi positif meningkatkan self-efficacy, sedangkan persuasi negatif menurunkan self-


efficacy. Secara umum lebih mudah menurunkan selfefficay seseorang dari pada
meningkatkannya. Dalam rangka menguji pengaruh penilaian yang akurat terhadap
keyakinan self-efficacy siswa, Schunk (1981: 93-105) melakukan studi terhadap anak-anak
usia 9 hingga 11 tahun. Umpan balik yang benar ditemukan untuk meningkatkan perasaan
self-efficacy anak-anak yang telah mengalami kegagalan yang amat sangat dalam
matematika. Selain itu, Keyser dan Barling mencatat bahwa kegiatan yang terus menerus
daripada menunda atau umpan balik yang sebentar-sebentar berkenaan dengan kecukupan
performan adalah berpengaruh pada keyakinan self-efficacy siswa (Keysers dan Barling,
1981: 39).

Keempat, keadaan psikologis atau emosi. Biasanya, dalam situasi yang penuh tekanan,
umumnya orang menunjukkan tanda susah, guncang, sakit, lelah, takut, muak, dan
seterusnya. Persepsi seseorang atas respon ini dapat dengan jelas mengubah self-efficacy
seseorang. Keputusan self-efficacy pribadi seseorang dipengaruhi oleh perasaan dibanding
dengan penggerakan yang sebenarnya atas pemunculan dalam situasi yang mengandung
resiko.

Selain itu, termasuk dalam aktivasi psikologis, suasana hati (mood) juga mempengaruhi
perasaan self-efficacy, karena suasana hati menggerakkan memori seseorang. Kesuksesan dan
kegagalan masa lampau disimpan sebagai memori. Suasana hati positif menggerakkan
pemikiran atas prestasi masa lalu, sedangkan suasana hati negatif menggerakkan memori atas
kegagalan masa lalu.

Kesuksesan di bawah suasana hati positif menghasilkan tingkat self-efficacy yang tinggi.
Kegagalan di bawah suasana hati negatif, bagaimana pun, membawa keyakinan self-efficacy
yang rendah. “Orang yang gagal di bawah suasana hati yang gembira menaksir terlalu tinggi
kemampuan mereka. Orang yang sukses di bawah suasana hati yang sedih menaksir terlalu
tinggi kemampuan mereka (Bandura, Albert. 1997: 113).

Bandura (1986) berhipotesis bahwa daya yang lebih efektif dari sugesti berhubungan
langsung dengan status dan otoritas yang dipersepsikan dari orang yang melakukan persuasi.
Status dan otoritas tentu saja tidak identik. Sebagai contoh, saran dari seorang psikoterapis
kepada pasien fobia bahwa mereka dapat naik ke dalam lift yang penuh, akan lebih mungkin
meningkatkan efikasi diri daripada dukungan dari pasangan atau anak seseorang. Akan tetapi,
apabila psikoterapis yang sama memberitahukan pasien-pasien bahwa mereka mempunyai
kemampuan untuk mengganti saklar lampu yang rusak, pasien ini mungkin tidak akan
mendapatkan peningkatan efikasi diri kegiatan ini. Selain itu, persuasi sosial juga paling
efektif saat dikombinasikan dengan performa yang sukses. Persuasi dapat meyakinkan
seseorang untuk berusaha dalam suatu kegiatan dan apabila performa yang dilakukan sukses
baik pencapaian tersebut maupun penghargaan verbal yang mengikutinya akan meningkatkan
efikasi di masa depan.

Kondisi fisik dan emosional Sumber terakhir dari efikasi adalah kondisi fisiologis dan
emosional dari seseorang (Bandura, 1997). Emosi yang kuat biasanya alun mengurangi
performa saat seseorang mengalami ketakutan yang kuat. kecemasan akut, atau tingkat stres
yang tinggi kemungkinan akan mempunyai ekpektasi efikasi yang rendah.
Teori kognitif sosial menganggap bahwa self-efficacy merupakan variabel kunci yang
mempengaruhi self-regulated learning (Schunk, 1986:11, Zimmerman, 1986: 307-313).
Dalam mendukung asumsi ini, persepsi self-efficacy pebelajar ditemukan berhubungan
dengan dua aspek kunci pengulangan timbal balik (reciprocal loop) pada umpan balik yang
diajukan, yaitu penggunaan strategi belajar dan evaluasi diri. Pebelajar dengan self-efficacy
tinggi memiliki kualitas strategi belajar yang lebih baik dan memiliki monitoring diri yang
lebih terhadap hasil belajar mereka daripada pebelajar yang memiliki self-efficacy rendah.
Beberapa penelitian menemukan bahwa persepsi self-efficacy pebelajar secara positif
berhubungan dengan hasil belajar sebagai ketekunan tugas, pilihan tugas, aktivitas studi yang
efektif, dan prestasi akademik (Thomas, et. al. , 1987: 344-364).

9.    Efikasi Kolektif

Bentuk ketiga dari agen manusia adalah efikasi kolektif. Bandura (2000) mendefinisikan
efikasi kolektif sebagai “keyakinan yang dimiliki manusia mengenai efikasi kolektif mereka
untuk mencapai hasil yang diinginkan” (him. 75). Dengan perkataan lain, efikasi kolektif
adalah kepercayaan orang-orang bahwa usaha mereka bersama akan membawa suatu
pencapaian kelompok. Bandura (2000) mengajukan dua teknik untuk mengukur efikasi
kolektif Pendekatan pertama adalah dengan mengombinasikan evaluasi individual dari dua
anggota mengenai kemampuan pribadi mereka untuk melakukan perilaku yang dapat
menguntungkan kelompok. Sebagai contoh, para aktor dalam suatu drama akan mempunyai
efikasi kolektif yang tinggi apabila mempunyai keyakinan terhadap kemampuan pribadi
mereka untuk dapat memainkan peranan dengan baik.

Pendekatan kedua yang diajukan oleh Bandura adalah untuk mengukur kepercayaan yang
dimiliki setiap orang mengenai kemampuan kelompok untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan. Sebagai contoh, para pemain bisbol mungkin memiliki kepercayaan yang rendah
terhadap masing-masing rekan satu timnya, namun memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa
tim mereka akan memberikan performa yang cukup baik. Kedua pendekatan yang sedikit
berbeda atas efikasi kolektif ini memerlukan teknik pengukuran yang berbeda.

Bandura berpendapat bahwa individu berusaha mengontrol kehidupan dirinya bukan hanya
melalui efikasi diri individual, tetapi juga efikasi kolektif. Efikasi kolektif adalah keyakinan
masyarakat bahwa usaha mereka secara bersama-sama dapat menghasilkan perubahan sosial
tertentu. Efikasi diri dan efikasi kolektif bersama-sama saling melengkapi untuk mengubah
gaya hidup manusia.

C.    Struktur Kepribadian

1.   Sistem Self (Self System)

Tidak seperti Skinner yang teorinya tidak memiliki konstruk self, Bandura yakin bahwa
pengaruh yang ditimbulkan oleh self sebagai salah satu determinan tingkah laku tidak dapat
dihilangkan tanpa membahayakan penjelasan  dan kekuatan peramalan. Dengan kata lain, self
diakui sebagai unsur struktur kepribadian. Saling determinis menempatkan semua hal saling
berinteraksi di mana pusat atau pemulanya adalah sistem self. Sistem self itu bukan unsur
psikis yang mengontrol tingkah laku, tetapi mengacu ke struktur kognitif yang memberi
pedoman mekanisme dan seperangkat fungs-fungsi persepsi, evaluasi, dan pengaturan
tingkah laku. Pengaruh self tidak otomatis atau mengatur tingkah laku secara otonom, tetapi
self menjadi bagian dari interaksi resiprokal.

a.    Regulasi Diri

Manusia mempunyai kemampuan berfikir, dan dengan kemampuan itu mereka memanipulasi
lingkungan, sehingga terjadi perubahan lingkungan akibat kegiatan manusia. Balikannya
dalam bentuk determinis resiprokal berarti orang dapat untuk mencapai tujuan, namun ketika
tujuan hampir tercapai strategi reaktif dan proaktif dalam regulasi diri.

Strategi reaktif dipakai untuk mencapai tujuan, namun ketika tujuan hampir tercapai strategi
proaktif menentukan tujuan baru yang lebih tinggi. Orang memotivasi dan membimbing
tingkahlakunya sendiri melalui strategi proaktif, menciptakan ketidakseimbangan, agar dapat
memobilisasi kemampuan dan usahanya berdasarkan antisipasi apa saja yang dibutuhkan
untuk mencapai tujuan. Ada tiga proses yang dipakai untuk mengevaluasi tingkahlaku
internal. Tingkahlaku manusia adalah hasil pengaruh resiprokal faktor eksternal dan faktor
internal.

b.   Faktor Eksternal dalam Regulasi Diri

Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dengan dua cara, pertama faktor eksternal
memberi standar untuk mengevaluasi tingkah laku. Faktor lingkungan berinteraksi dengan
pengaruh-pengaruh pribadi, membentuk standar evaluasi diri seseorang. Melalui orang tua
dan guru anak-anak belajar baik-buruk, tingkah laku yang dikehendaki dan tidak
dikehendaki. Melalui pengalaman berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas anak
kemudian mengembangkan standar yang dapat dipakai untuk menilai prestasi diri.

Kedua, faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dalam bentuk penguatan (reinforcement).
Hadiah intrinsik tidak selalu memberi kepuasan, orang membutuhkan intensif yang berasal
dari lingkungan eksternal. Standar tingkah laku dan penguatan biasanya kerja sama; ketika
orang dapat mencapai standar tingkah laku tertentu, perlu penguatan agar tingkah laku
semacam itu menjadi pilihan untuk dilakukan lagi.

c.    Faktor Internal dalam Regulasi Diri

Faktor internal dalam regulasi diri dengan faktor internal dalam pengaturan diri sendiri.
Bandura mengemukakan tiga bentuk pengaruh internal.

2.    Efikasi Diri (Self Effication)

Pembentukan self-efficacy sangat penting bagi human agency. Self-efficacy bukan sekedar
mengetahui apa yang harus dilakukan. Untuk melaksanakan suatu kinerja secara terampil,
orang perlu memiliki keterampilan yang dibutuhkan dan rasa percaya akan kemampuan diri
untuk menggunakan keterampilan tersebut. Keyakinan tentang self-efficacy berbeda dengan
ekspektasi tentang konsekuensi respon. Bandura (1986: 391) mendefinisikan self-efficacy
sebagai a judgement of one’s capability to accomplish a certain level of performance
(penilaian tentang kemampuan diri untuk melaksanakan suatu kinerja pada tingkat tertentu).

Ekspektasi konsekuensi respon adalah keyakinan tentang kemungkinan konsekuensi yang


akan dihasilkan oleh perilaku tersebut. Misalnya, keyakinan bahwa anda dapat meloncat
setinggi dua meter merupakan keyakinan (efficacy). Akan tetapi, antisipasi anda tentang
pengakuan masyarakat bahwa anda mampu meloncat setinggi dua meter adalah suatu
ekspektasi konsekuensi respon. Konsekuensi respon merupakan konsekuensi dari perbuatan
itu, bukan perbuatan itu sendiri.

Tingkat penguasaan (magnitude), generalitas, dan kekuatan adalah tiga dimensi penting dari
ekspektasi efikasi (Bandura, 1977). Ekspektasi efikasi dapat bervariasi menurut tingkat
kesulitan tugas yang harus dilaksanakan, misalnya keyakinan bahwa anda dapat
melaksanakan dengan baik tugas yang mudah tetapi tidak tugas yang sulit. Generalitas
artinya tingkat generalisasi ekspektasi penguasaan di luar situasi perlakuan tertentu. Yang
dimaksud dengan kekuatan adalah daya tahan ekspektasi tentang penguasaan pribadi
(personal mastery) meskipun mengalami berbagai kegagalan.

Bagaimana orang bertingkah laku dalam situasi tertentu tergantung kepada resiprokal antara
lingkungan dengan kondisi kognitif, khususnya faktor kognitif yang berhubungan dengan
keyakinannya bahwa dia mampu atau tidak melakukan tindakan yang memuaskan. Bandura
menyebut keyakinan atau harapan diri ini sebagai efiksasi diri, dan harapan hasilnya disebut
ekspektasi hasil.

a. Efiksasi diri atau ekspektasi (self effication-efficacy expectation) adalah persepsi


diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu.
Efikasi dari berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan
melakukan tindakan yang diharapkan.
b. Ekspektasi hasil (outcome expectations) adalah perkiraan atau estimasi diri bahwa
tingkah laku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil tertentu.
.

Efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat
atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Efikasi ini
berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang
seharusnya dapat dicapai. Sedangkan efikasi menggambarkan ekspektasi efikasi yang tinggi,
bahwa dirinya mampu melaksanakan operasi tumor sesuai dengan standar profesional.
Namun ekspektasi hasilnya bisa rendah, karena hasil operasi itu sangat tergantung pada daya
tahan jantung pasien, kemurnian obat antibiotik, sterilitas dan infeksi, dan sebagainya.

Orang bisa memiliki ekspektasi hasil yang realistik (apa yang diharapkan sesuai dengan
kenyataan hasilnya), atau sebaliknya, ekspektasi hasilnya tidak realistik (mengharap terlalu
tinggi dari hasil nyata yang dipakai). Orang yang ekspektasinya tinggi (percaya bahwa dia
dapat mengerjakan sesuai dengan tuntutan situasi) dan harapan hasilnya realistik
(memperkirakan hasil sesuai dengan kemampuan diri). Orang itu akan bekerja keras dan
bertahan mengerjakan tugas sampai selesai.

Perubahan tingkah laku, dalam system Bandura kuncinya adalah perubahan ekspektasi
(efikasi diri). Efikasi diri atau keyakinan kebiasaan diri itu dapat diperoleh, diubah,
ditingkatkan atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat sumber, yakni
pengalaman menguasai sesuatu prestasi (performance accomplishment), pengalaman vikarius
(vicarious experience), persuasi social (social persuation) dan pembangkitan emosi
(Emotinal/Physiological states).

3.    Fungsi dan Dampak Keyakinan Self-Efficacy

Keyakinan tentang self-efficacy turut menentukan cara orang berperilaku. Konsepsi tentang
self-efficacy turut menentukan pilihan perilaku, misalnya menentukan apa yang harus
dikerjakan. Keyakinan memiliki efikasi dapat mendorong orang untuk melakukan kegiatan,
sedangkan keyakinan bahwa tidak memiliki efikasi dapat membuat orang menghindari
kegiatan yang sesungguhnya dapat memperkaya pengalamannya. Keyakinan yang berlebihan
tentang efikasi itu bersifat disfungsional. Akan tetapi, keyakinan efikasi yang mungkin paling
fungsional adalah yang sedikit melewati apa yang dapat dilakukan orang pada suatu saat
tertentu.

Keyakinan efikasi juga turut menentukan berapa besar usaha yang harus dilakukan dan
berapa lama orang dapat bertahan dalam menghadapi kegagalan dan kesulitan. Keyakinan
yang kuat tentang self-efficacy dapat memperkuat daya tahan orang bila menghadapi tugas
yang sulit. Di samping itu, keyakinan efikasi mempengaruhi pikiran dan perasaan orang.
Orang yang memandang dirinya tidak memiliki efikasi dalam menghadapi berbagai tuntutan
lingkungan cenderung membesar-besarkan defisiensi pribadinya, menjadi mudah patah
semangat dan menyerah bila menghadapi kesulitan. Sebaliknya, orang yang memiliki
keyakinan kuat bahwa memiliki efikasi, meskipun mereka mungkin akan turun semangatnya
untuk sementara bila mengalami kegagalan, tetapi cenderung akan tetap memikirkan tugas
yang sedang dihadapinya itu dan akan memperbesar usahanya bila kinerjanya hampir
mencapai tujuan.

Dalam perjuangan yang membutuhkan daya tahan, keyakinan akan self-efficacy sangat
berperan. Teori behaviorisme tradisional harus menjawab pertanyaan bagaimana organisme
yang mampu memprediksi masa depannya tetapi tidak memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi dirinya sendiri. Sesungguhnya orang dapat menciptakan masa depannya
sendiri, bukan sekedar meramalkannya.

Keyakinan akan self-eficacy dapat mempengaruhi perkembangan keterampilan-keterampilan


yang diperlukan untuk tugas-tugas yang kompleks, sedangkan keyakinan akan inefficacy
dapat menghambat perkembangan tersebut.

Keyakinan akan efikasi dapat dihadapkan pada disinsentif dan kendala kinerja. Orang
mungkin memiliki subketerampilan yang diperlukan dan self-efficacy, tetapi tidak memiliki
insentif untuk menggunakannya. Juga, orang yang memiliki efikasi mungkin tidak memiliki
sumber keuangan dan materi yang memadai sehingga tidak dapat mengaplikasikannya.

Memiliki keyakinan efikasi yang akurat untuk keterampilan kognitif kadang-kadang sulit,
karena sering kali apa yang dibutuhkan tidak selalu tampak jelas dari apa yang dapat teramati
dengan mudah. Kadang-kadang keyakinan efikasi orang itu tidak akurat karena kegiatan
kognitifnya kurang tepat, misalnya tidak mampu mempersepsi umpan balik dan ingatannya
tidak baik.
.

4.   Sumber-sumber Informasi Self-Efficacy

Empat sumber informasi yang penting untuk self-efficacy adalah: (1) pengalaman melalui
perbuatan langsung (enactive attainment), (2) pengalaman tak langsung (vicarious
experience), (3) persuasi verbal (verbal persuasion), dan (4) keadaan fisiologis
(physiological state). Setiap metode perlakuan dapat dipergunakan dengan satu atau lebih
dari sumber-sumber ini.

a.    Pengalaman Keberhasilan

Pengalaman keberhasilan pribadi merupakan sumber ekspektasi efikasi yang paling


fundamental. Keberhasilan akan mempertinggi ekspektasi efikasi, sedangkan kegagalan yang
berulang-ulang akan memperendahnya. Bila sudah terbentuk, keyakinan efikasi yang tinggi
itu cenderung menggeneralisasi, terutama pada situasi yang serupa dengan situasi ketika
keyakinan itu dipertinggi.

b.   Pengalaman Tak Langsung

Ekspektasi efikasi dapat berubah setelah mengamati orang lain dan melihat konsekuensi
positif dan negatif dari perilaku orang itu baginya. Ekspektasi efikasi yang dibentuk melalui
modelling pada umumnya lebih lemah daripada ekspektasi yang dibentuk melalui
keberhasilan melaksanakan suatu tugas.

Modelling mempengaruhi keyakinan efikasi dalam dua cara. Pertama, pengamat menarik
inferensi dari keberhasilan dan kegagalan model. Melihat orang yang serupa dengannya
mencapai keberhasilan melalui usaha keras akan mempertinggi keyakinan pengamat terhadap
kemampuannya sendiri. Sebaliknya, melihat orang lain mengalami kegagalan, meskipun
usahanya keras, akan menurunkan keyakinan pengamat tentang efikasi-nya sendiri dan
motivasinya pun akan menjadi lemah.

Kedua, model yang kompeten akan mentransmisikan pengetahuan dan mengajarkan kepada
pengamat keterampilan dan strategi yang efektif untuk mengatasi berbagai tuntutan
lingkungan. Dengan belajar keterampilan yang lebih baik, keyakinan orang tentang self-
efficacy-nya akan meningkat.

c.   Persuasi Verbal

Persuasi verbal, seperti saran dan nasihat, dapat juga mempengaruhi self-efficacy. Persuasi
dapat berhasil baik bila membujuk orang untuk berusaha cukup keras agar mencapai
keberhasilan, yang pada gilirannya akan mempertinggi keyakinan efikasi-nya. Akan tetapi,
mempertinggi keyakinan efikasi yang tidak realistis, yang tidak didukung oleh pengalaman
keberhasilan, mungkin akan lebih banyak bahayanya daripada kebaikannya.

d.    Keadaan Fisiologis

Keadaan fisiologis dan afektif dapat berpengaruh terhadap efikasi dalam tiga cara. Pertama,
bila orang sedang tegang dan cemas, keadaan fisiologis atau tingkat emosinya dapat
berpengaruh negatif terhadap ekspektasi efikasi-nya. Tingginya tingkat emosi biasanya
memperburuk kinerja dan karenanya akan menurunkan tingkat ekspektasi efikasi. Pendekatan
yang menurunkan tingkat emosi dapat mempertinggi keyakinan efikasi maupun kinerja.
Dimilikinya keyakinan tentang self-efficacy untuk mengontrol pikiran akan mempengaruhi
emosi yang dibangkitkan secara kognitif.

Kedua, keadaan perasaan (mood) mempengaruhi penilaian tentang self-efficacy: perasaan


yang positif akan meningkatkan keyakinan efikasi, sedangkan perasaan tertekan akan
menghilangkan keyakinan tersebut. Ketiga, dalam kegiatan yang membutuhkan kekuatan dan
stamina, orang memandang rasa letih dan penatnya sebagai tanda-tanda melemahnya efikasi
fisik.

Informasi efikasi yang diperoleh dari sumber pengalaman langsung, pengalaman tak
langsung, persuasi, dan keadaan fisiologis, diproses secara kognitif. Terdapat perbedaan
antara informasi yang diperoleh dari peristiwa lingkungan dan informasi yang dipilih,
ditimbang, dan diintegrasikan ke dalam penilaian self-efficacy. Pemrosesan informasi efikasi
secara kognitif melibatkan dua proses: pertama, memilih informasi yang relevan dengan
efikasi, dan kedua, menimbang dan mengintegrasikan informasi tersebut.

Mengenai informasi tentang efikasi yang bersumber dari pengalaman langsung, tidak ada
hubungan sebab-akibat antara kualitas kinerja dan keyakinan self-efficacy. Kinerja yang baik
belum tentu mempertinggi self-efficacy. Faktor-faktor yang mempengaruhi kontribusi kinerja
terhadap self-efficacy adalah: (1) tingkat kesulitan tugas, (2) besarnya usaha yang dilakukan,
dan (3) besarnya bantuan eksternal yang diterima.

Mengenai informasi tentang efikasi yang diperoleh dari sumber pengalaman tak langsung,
pengamat akan memandang bahwa model yang tingkat kemampuannya sama, atau sedikit
lebih tinggi, merupakan sumber informasi komparatif yang paling valid. Sehubungan dengan
informasi efikasi persuasif, pengaruhnya terkait dengan tingkat kepercayaan penerima
informasi terhadap penilaian pelaku persuasi itu. Informasi efikasi fisiologis juga diproses
secara kognitif. Yang paling berpengaruh di sini adalah sumber dan tingkat rangsangan, serta
pengalaman masa lalu tentang bagaimana rangsangan itu mempengaruhi kinerja.

5.   Fungsi Tujuan (goal)

Personal agency, atau pengaturan perilaku secara sadar, beroperasi melalui dua sumber
motivasi kognitif: (1) pemikiran ke depan (forethought), dan (2) penetapan tujuan dengan
reaksi self-evaluative terhadap perilaku sendiri. Bandura (1989) mengemukakan bahwa
motivasi manusia tergantung pada bertambahnya atau berkurangnya ketidaksesuaian.
Motivasi itu menuntut adanya kontrol proaktif dan kontrol reaktif.

Pada awalnya orang memotivasi dirinya dengan menetapkan standar atau tingkat kinerja yang
menciptakan keadaan disequilibrium dan kemudian mereka berusaha mendapatkan kembali
keadaan equilibrium. Kontrol reaktif mencakup penyesuaian tingkat usaha untuk mencapai
hasil yang diinginkan. Tujuan untuk mencapai kepuasan diri dengan kinerjanya, dengan
menetapkan kondisi yang diinginkan, berfungsi sebagai motivator.

Di samping itu, tujuan juga penting untuk perkembangan self-efficacy. Tujuan merupakan
standar bagi orang untuk menilai kapabilitasnya. Yang lebih penting adalah sub-tujuan jangka
pendek dengan tingkat kesulitan yang dapat ditoleransi. Sub-tujuan seperti ini memberikan
insentif untuk bertindak, dan, bila telah tercapai, akan menghasilkan informasi efikasi dan
rasa percaya diri untuk terus berusaha. Keyakinan tentang inefficacy dapat mengakibatkan
orang memperendah tujuannya dan akibatnya menurunkan tingkat ketidakpuasannya terhadap
kinerja di bawah standar.

D.   Dinamika Kepribadian

Menurut Bandura, motivasi adalah konstruk kognitif yang mempunyai dua sumber, gambaran
hasil pada masa yang akan datang (yang dapat menimbulkan motivasi tingkah laku saat ini)
dengan harapan keberhasilan yang didasarkan pada pengalaman menetapkan dan mencapai
tujuan. Dengan kata lain, harapan mendapatkan renforcement pada masa yang akan datang
akan memotivasi individu untuk bertingkah laku tertentu.

Selain itu, dengan menetapkan tujuan yang diinginkan dan mengevaluasinya, maka seseorang
akan termotivasi untuk bertindak pada tingkat tertentu. Menurut Bandura, penguatan
(reinforcement) dapat menjadi penyebab belajar. Orang dapat belajar dengan penguat yang
diwakilkan (vicarious reinforcement), penguat yang ditunda (expectation reinforcement) atau
bahkan tanpa penguat (beyond reinforcement).

1.    Pembelajaran Melalui Observasi

Sebagian besar perilaku manusia dan keterampilan kognitifnya dipelajari melalui pengamatan
terhadap model. Fungsi observational learning adalah 1) modeling dapat mengajari observer
keterampilan dan aturan-aturan berperilaku. 2) modeling dapat menghambat ataupun
memperlancar perilaku yang sudah dimiliki orang. 3) perilaku model dapat berfungsi sebagai
stimulus dan isyarat bagi orang untuk melaksanakan perilaku yang sudah dimilikinya. 4)
modeling dapat merangsang timbulnya emosi. orang dapat berpersepsi dan berperilaku secara
berbeda dalam keadaan emosi tinggi. 5) symbolic modelling dapat membentuk citra orang
tentang realitas sosial karena menggambarkan hubungan manusia dengan aktivitas yang
dilakukannya.

Belajar mencakup pemrosesan informasi. Kekuatan modelling terletak pada kemampuannya


untuk mempengaruhi proses tersebut. Observational learning memerlukan empat macam
proses utama:

a.    Proses memperhatikan (attentional processes)

Jika orang belajar melalui modelling, maka mereka harus memperhatikan dan mempersepsi
perilaku model secara tepat. Tingkat keberhasilan belajar itu ditentukan oleh karakteristik
model maupun karakteristik pengamat itu sendiri. Karakteristik model yang merupakan
variabel penentu tingkat perhatian itu mencakup frekuensi kehadirannya, kejelasannya, daya
tarik personalnya, dan nilai fungsional perilaku model itu. Karakteristik pengamat yang
penting untuk proses perhatian adalah kapasitas sensorisnya, tingkat ketertarikannya,
kebiasaan persepsinya, dan reinforcement masa lalunya.

b.    Proses retensi (retention processes)


Agar efektif, modelling harus disimpan dalam ingatan. Retensi ini dapat dilakukan dengan
cara menyimpan informasi secara imaginal atau mengkodekan peristiwa model ke dalam
simbol-simbol verbal yang mudah dipergunakan. Materi yang bermakna bagi pengamat dan
menambah pengalaman sebelumnya akan lebih mudah diingat. Cara lain untuk mengingat
adalah dengan membayangkan perilaku model atau dengan mempraktekkannya.
Keterampilan dan struktur kognitif pengamat dapat memperkuat retensi. Motivasi untuk
belajar juga berperan dalam retensi, meskipun insentif lebih bersifat fasilitatif daripada
keharusan.

c.    Proses produksi

Pada tahap tertentu, gambaran simbolik tentang perilaku model mungkin perlu diterjemahkan
ke dalam tindakan yang efektif. Pengamat memerlukan gambaran kognitif yang akurat
tentang perilaku model untuk dibandingkan dengan umpan balik sensoris dari perbuatannya.
Modelling korektif merupakan cara yang efektif untuk memberikan umpan balik bila
pengamat melakukan kinerja yang tidak tepat.

Variabel pengamat yang mempengaruhi reproduksi perilaku mencakup kapasitas fisiknya,


apakah perbendaharaan responnya sudah mencakup komponen-komponen respon yang
diperlukan, dan kemampuannya untuk melakukan penyesuaian korektif bila mencobakan
perilaku baru.

d.    Proses motivasi.

Apakah orang mempraktekkan apa yang sudah dipelajarinya atau tidak, tergantung pada
motivasinya. Pengamat akan cenderung mengadopsi perilaku model jika perilaku tersebut: (a)
menghasilkan imbalan eksternal; (b) secara internal pengamat memberikan penilaian yang
positif; dan (c) pengamat melihat bahwa perilaku tersebut bermanfaat bagi model itu sendiri.
Antisipasi terhadap akibat yang positif dan negatif menentukan aspek-aspek yang mana dari
perilaku model itu yang diamati atau diabaikan oleh pengamat.

Bandura yakin bahwa observasi memberikan jalan pada manusia untuk belajar tanpa harus
melakukan perilaku apa pun. Manusia mengobservasi fenomena alami, tumbuhan, hewan, air
terjun, pergerakan bulan dan bintang-bintang, dan lainnya; tetapi yang terpenting bagi teori
kognitif sosial adalah asumsi bahwa mereka belajar melalui observasi perilaku orang lain.
Dalam hal ini, Bandura berbeda dengan Skinner, yang berargumen bahwa perilaku aktif
adalah dasar ilmu psikologi. Ia juga berbeda dari Skinner dalam keyakinannya bahwa
penguatan tidak terlalu penting dalam proses belajar. Walaupun penguatan dapat
memfasilitasi pembelajaran, Bandura mengatakan bahwa penguatan bukanlah kondisi yang
penting untuk hal tersebut. Sebagai contoh, manusia dapat belajar dengan mengobservasi
seorang model yang diberikan penguatan.

Menurut Bandura, kebanyakan belajar terjadi tanpa reinforsemen yang nyata. Dalam
penelitiannya, ternyata orang dapat mempelajari respon baru dengan melihat respon orang
lain, bahkan belajar tetap terjadi tanpa ikut melakukan hal yang dipelajari itu, dan model yang
diamatinya juga tidak mendapat reinforsemen dari tingkah lakunya. Belajar melalui observasi
jauh lebih efisien dibanding belajar melalui pengalaman langsung. Melalui observasi orang
dapat memperoleh respon yang tidak terhingga banyaknya, yang mungkin diikuti dengan
hubungan atau penguatan.
a.    Modeling

Inti dari pembelajaran melalui proses observasi adalah modeling. Pembelajaran melalui
modeling meliputi menambahi atau mengurangi suatu perilaku yang diobservasi dan
mengeneralisasi dari satu observasi ke observasi yang lainnya. Dengan perkataan lain.
modeling meliputi proses kognitif dan bukan sekadar melakukan imitasi Modeling lebih dari
sekadar mencocokan perilaku dari orang lain, melainkan merepresentasikan secara simbolis
suatu informasi dan menyimpannya untuk digunakan di masa depan (Bandura, 1986, 1994).

Inti dari belajar melalui observasi adalah modeling. Peniruan atau meniru sesungguhnya tidak
tepat untuk mengganti kata modeling, karena modeling bukan sekedar menirukan atau
mengulangi apa yang dilakukan orang model (orang lain), tetapi modeling melibatkan
penambahan dan atau pengurangan tinkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai
pengamatan sekaligus, melibatkan proses kognitif.

Penelitian terhadap tiga kelompok anak taman kanak-kanak: Kelompok pertama disuruh
mengobservasi model orang dewasa yang bertingkah laku agresif, fisik dan verbal, terhadap
boneka karet. Kelompok kedua diminta mengobservasi model orang dewasa yang duduk
tenang tanpa menaruh perhatian terhadap boneka karet didekatnya. Kelompok ketiga menjadi
kelompok control yang tidak ditugasi mengamati dua jenis model itu. Ketiga kelompok anak
itu kemudian dibuat mengalami frustasi ringan, dan setiap anak sendirian ditempatkan di
kamar yang ada boneka karet seperti yang dipakai penelitian. Ternyata tingkah laku setiap
kelompok cenderung mirip dengan tingkah laku model yang diamatinya. Kelompok pertama
bertingkah laku lebih agresif terhadap boneka dibanding kelompok lain. Kelompok kedua
sedikit lebih agresif dibanding kelompok kontrol.

Contoh lain, berdasarkan social learnig theory menyatakan bahwa tingkah laku manusia
bukan semata-mata bersifat refleks atau otomatis, melainkan juga merupakan akibat dari
reaksi yang tombul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif. Menurut
bandura, sebagian besar tingkah laku manusia dipelajari melalui peniruan (imitation) maupun
penyajian contoh perilaku (modelling). Dalam hal ini orang tua dan guru memainkan peranan
penting sebagai seorang model atau tokoh bagi anak untuk menirukan perilaku membaca.
Anggota keluarga yang sering dilihat oleh anak membaca atau memegang buku di rumah
akan merangsang anak untuk mencoba mengenal buku (Setianti, Fetiara dan Alfi
Purnamasari, Vol 5, No. 1 Januari 2008).

1) Modeling Mengubah Tingkahlaku Lama


Di samping dampak mempelajari tingkah laku baru, modeling mempunyai dua
macam dmpak terhadap tingkah laku lama. Pertama, tingkah laku model yang
diterima secara sosial dapat memperkuat respon yang sudah dimiliki pengamat.
Kedua, tingkah laku model yang tidak diterima secara sosial dapat memperkuat
atau memperlemah pengamat untuk melakukan tingkah laku yang tidak diterima
secara sosial, tergantung apakah tingkah laku model itu diganjar atau dihukum.
Kalau tingkah laku yang tidak dikehendaki itu justru diganjar, pengamat
cenderung meniru tingkah laku itu, sebaliknya kalau tingkah laku yang tidak
dikehendaki itu dihukum, respon pengamat menjadi semakin lemah.
.
2) Modeling Simbolik
Dewasa ini sebagian besar modeling tingkah laku berbentuk simbolik. Film dan
televisi menyajikan contoh tingkah laku yang tak terhitung yang mungkin
mempengaruhi pengamatnya. Sajian itu berpotensi sebagai sumber model tingkah
laku.
.
3) Modeling Kondisioning
Modeling dapat digabung dengan kondisioning klasik menjadi kondisioning
klasik vikarius (vicarious classical conditioning). Modeling pon emosional.
Pengamat mengobservasi model tingkah laku emosional yang mendapat
penguatan. Muncul respon emosional yang sama di dalam diri pengamat, dan
respon itu ditujukan ke obyek yang ada didekatnya (kondisioning klasik) saat dia
mengamati model itu, atau yang dianggap mempunyai hubungan dengan obyek
yang menjadi sasaran emosional model yang diamati.
Emosi seksual yang timbul akibat menonton film cabul dilampiaskan ke obyek
yang ada didekatnya saat itu (misalnya: menjadi kasus pelecehan dan perkosaan
anak). Symbolic modelling dapat membentuk citra orang tentang realitas sosial
karena menggambarkan hubungan manusia dengan aktivitas yang dilakukannya.
.

b.    Proses Yang Mengatur Pembelajaran Melalui Observasi

Bandura (1986) menemukan empat proses yang mengatur pembelajaran melalui observasi;
perhatian» representasi» produksi perilaku, dan motivasi. Perhatian Sebelum kita dapat
melakukan modeling terhadap orang lain, kita harus memperhatikan orang tersebut. Apa
faktor-faktor yang mengontrol perhatian? Pertama, karena kita mempunyai kecenderungan
untuk mengobservasi seseorang yang sering kita asosiasikan dengan diri kita, kita lebih
mungkin untuk memperhatikan orang-orang tersebut Kedua, model yang atraktif dan menarik
lebih mungkin untuk diobservasi daripada model yang tidak menarik sosok-sosok populer di
televisi, di bidang olahraga, di film lebih sering diperhatikan dengan cermat Selain itu, sifat
dasar dari perilaku yang ditiru memengaruhi perhatian kita-kita mengobservasi perilaku yang
kita rasa penting atau bernilai.

Representasi Agar sebuah observasi dapat mengarahkan pada pola respons yang baru pola
tersebut harus dapat direpresentasikan secara simbolis di dalam ingatan. Representasi
simbolik tidak perlu dalam bentuk verbal, karena beberapa observasi dipertahankan dalam
bentuk gambaran dan dapat dimunculkan tanpa adanya model secara fisik. Proses ini penting
terutama dalam tahapan bayi, saat kemampuan verbal belum berkembang.

Produksi Perilaku Setelah memperhatikan seorang model dan mempertahankan apa yang
telah diobservasi, kemudian kita memproduksi perilaku tersebut. Dalam proses mengubah
representasi kognitif ke dalam tindakan yang tepat, kita harus bertanya pada diri kita
beberapa pertanyaan mengenai perilaku yang akan ditiru. Pertama, kita akan bertanya,
“Bagaimana saya dapat melakukan hal ini?” Setelah secara simbolis mengulang respons-
respons yang relevan, kita mencoba perilaku baru tersebut Selama melakukannya, kita
memonitor diri lata dengan pertanyaan, “Apa yang sedang saya lakukan?” Terakhir, kita
mengevaluasi performa lata dengan bertanya, “Apakah saya melakukannya dengan benar”
Pertanyaan terakhir ini tidak selalu mudah untuk dijawab, terutama apabila perilaku yang
dilakukan mengutamakan kemampuan motorik, seperti menari balet atau loncat indah, ketika
kita tidak dapat melihat diri kita sendiri. Untuk alasan tersebut, beberapa atlet menggunakan
kamera video untuk membantu mereka mendapatkan atau meningkatkan kemampuan motorik
mereka.
Motivasi Pembelajaran melalui observasi paling efektif terjadi apabila pihak yang belajar ter
motivasi untuk melakukan perilaku yang ditiru. Perhatian dan representasi dapat berakibat
pada pengumpulan informasi untuk belajar, namun performa difasilitasi oleh motivasi untuk
melakukanan perilaku tertentu. Walaupun observasi dari orang lain mengajari kita bagaimana
melakukan sesuatu, kita dapat saja tidak mempunyai hasrat untuk melakukan tindakan
tertebat Seseorang dapat melihat orang menggunakan gergaji mesin atau penghisap debu dan
tidak termotivasi untuk mencoba salah satu aktivitas tersebut. Kebanyakan pengawas yang
ada di tepi jalan tidak ingin mengulang perilaku yang ditunjukkan oleh pekerja konstruksi
yang diobservasinya.

c.    Pembelajaran Aktif

Setiap respons yang dibuat oleh seseorang akan diikuti oleh suatu konsekuensi Beberapa dari
konsekuensinya ini dapat memuaskan, beberapa tidak memuaskan, dan yang lainnya bahkan
tidak mendapatkan perhatian secara kognitif sehingga hanya mempunyai efek yang kecil.
Bandura yakin bahwa perilaku manusia yang komplekx dapat dipelajari saat seseorang
memikirkan dan mengevaluasi konsekuensi perilaku mereka.

d.    Pembelajaran Langsung

Pembelajaran langsung dikembangkan berdasarkan teori belajar social dari Albert Bandura.
Pembelajaran langsung adalah model pembelajaran yang dirancang untuk mengajarkan
pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang diajarkan setahap demi setahap. Ciri
khas pembelajaran ini adalah adanya modeling, yaitu suatu fase di mana Dosen memodelkan
atau mencontohkan melalui demonstrasi bagaimana suatu keterampilan itu dilakukan. Pada
saat guru melakukan modeling siswa melakukan pengamatan terhadap keterampilan yang
dimodelkan itu. Selanjutnya asiswa diberi kesempatan untuk meniru model yang dilakukan
oleh guru melalui kesempatan latihan di bawah bimbingan guru.

2.   Belajar melalui Perbuatan (Enactive Learning)

Terdapat perbedaan antara pengetahuan dan keterampilan. Dalam banyak domain, orang
perlu melampaui struktur pengetahuannya untuk mengembangkan tindakan yang terampil.
Pengembangan keterampilan menuntut orang untuk memiliki konsepsi yang tepat mengenai
keterampilan yang ditargetkannya, yang cocok dengan upayanya untuk melaksanakan
keterampilannya tersebut.

Pengalaman merupakan kendaraan untuk menerjemahkan pengetahuan menjadi keterampilan.


Orang menerapkan informasi yang diperolehnya dari pengalaman itu untuk melakukan
penyesuaian dalam aspek ruang dan waktu dari kinerjanya, hingga apa yang dikerjakannya
itu mendekati kecocokan dengan konsepsi kognitifnya mengenai kinerja terampil itu.

a.    Fungsi Konsekuensi Respon

Teori kognitif sosial memandang belajar melalui konsekuensi respon sebagai suatu proses
kognitif. Melalui pengalaman, orang menyadari konsekuensi positif dan negatif dari
tindakannya. Akan tetapi, proses belajar itu tidak berhenti di sini, karena orang melihat
dampak responnya. Jadi, reinforcement tidak otomatis memperkuat suatu kecenderungan
untuk merespon, tetapi penguatan itu terjadi dengan mengubah variabel kognitif dari
informasi dan motivasinya. Misalnya, dengan menelaah pola-pola konsekuensi respon, orang
dapat melihat konsepsi dan aturan-aturan perilaku.

Jika konsekuensi respon itu dipandang bernilai tinggi, maka ini akan mendorong dan
memperkuat perilaku. Dengan kata lain, berlawanan dengan pandangan mekanistik,
konsekuensi menentukan perilaku terutama melalui intervensi berpikir. Istilah reinforcement
dapat menyesatkan karena mengandung konotasi merespon secara otomatis dan memperkuat
respon. Oleh karena itu, pengaturan perilaku (regulation of behaviour) merupakan konsep
yang lebih baik daripada reinforcement.

b.    Efisiensi Enactive Learning

Orang berbeda-beda dalam kemampuannya untuk memperoleh pengetahuan dari konsekuensi


respon. Mereka mungkin berbeda dalam pengetahuan dan pengalamannya sebelumnya,
sehingga berbeda pula dalam kekayaan aturan yang dapat dipilihnya atau dikembangkannya
untuk melaksanakan suatu perilaku jika aturan tersebut belum dimilikinya.

Belajar akan lebih efisien bila konsekuensi muncul langsung sesudah tindakan, teratur, dan
tanpa dibingungkan oleh kejaidian-kejadian lain. Belajar akan lebih sulit bila tindakan yang
sama tidak selalu menghasilkan konsekuensi yang sama. Belajar dari pengalaman perbuatan
tidak menjamin bahwa cara bertindak alternatif terbaik akan dikembangkan. Belajar dari
konsekuensi pengalaman berbuat akan mengembangkan keterampilan yang memadai tetapi
tidak optimal. Orang cenderung menerima solusi yang memadai bukannya terus mencari
solusi yang lebih baik.

Belajar dari konsekuensi pengalaman berbuat saja mungkin tidak akan efisien. Jika orang
kekurangan kompetensi, kompetensi tersebut dapat diajarkan secara verbal dengan
mengajarkan perilaku jenis mana yang fungsional. Di samping itu, orang dapat dibimbing
secara fisik untuk melakukan suatu perilaku dan ambil bagian dalam prosedur modeling
secara bertahap. Sebagaimana disebutkan di muka, teori kognitif sosial memandang
modeling, yang mengarah pada belajar dengan mengamati melalui proses simbolik, sebagai
cara utama mentransmisikan bentuk-bentuk perilaku baru.

3.    Faktor-faktor Penting dalam Belajar Melalui Observasi

Mengamati orang lain melakukan sesuatu tidak mesti berakibat belajar, karena belajar
melalui observasi memerlukan beberapa faktor atau prakondisi. Menurut Bandura, ada empat
proses yang penting agar belajar melalui obsevasi dapat terjadi, yakni:

a. Perhatian (attention process): Sebelum meniru orang lain, perhatian harus


dicurahkan ke orang itu. Perhatian ini dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan
modelnya, sifat model yang atraktif, dan arti penting tingkah laku yang diamati
bagi si pengamat.
b. Representasi (representation process): Tingkah laku yang akan ditiru, harus
disimbolisasikan dalam ingatan. Baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk
gambaran/imajinasi. Representasi verbal memungkinkan orang mengevaluasi
secara verbal tingkah laku yang diamati, dan menentukan mana yang dibuang dan
mana yang akan dicoba dilakukan. Representasi imajinasi memungkinkan dapat
dilakukannya latihan simbolik dalam pikiran, tanpa benar-benar melakukannya
secara fisik.
c. Peniruan tingkah laku model (behavior production process): sesudah mengamati
dengan penuh perhatian, dan memasukkannya ke dalam ingatan, orang lalu
bertingkah laku. Mengubah dari gambaran pikiran menjadi tingkah laku
menimbulkan kebutuhan evaluasi; “Bagaimana melakukannya?” “Apa yang harus
dikerjakan?” “Apakah sudah benar?” Berkaitan dengan kebenaran, hasil belajar
melalui observasi tidak dinilai berdasarkan kemiripan respons dengan tingkah
laku yang ditiru, tetapi lebih pada tujuan belajar dan efikasi dari pembelajaran.
.

Motivasi dan penguatan (motivation and reinforcement process): Belajar melalui pengamatan
menjadi efektif kalau pembelajaran memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat melakukan
tingkah laku modelnya. Observasi mungkin memudahkan orang untuk menguasai tingkah
laku tertentu, tetapi kalau motivasi untuk itu tidak ada, tidak bakal terjadi proses daripada
tingkah laku yang dihukum. Imitasi tetap terjadi walaupun model tidak diganjar, sepanjang
pengamat melihat model mendapat ciri-ciri positif yang menjadi tanda dari gaya hidup yang
berhasil, sehingga diyakini model umumnya akan diganjar.

Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karakteristik pribadi pengamat dengan
karakteristik modelnya. Ciri-ciri model seperti usia, status sosial, seks, keramahan, dan
kemampuan, pening dalam menentukan tingkat imitasi. Anak lebih senang meniru model
sesusilanya daripada model dewasa. Anak juga cenderung meniru model yang standar
prestasinya dalam jangkauannya, alih-alih model yang standarnya di luar jangkauannya.
Anak yang sangat dependen cenderung melimitasi model yang dependennya lebih ringan.
Imitasi juga dipengaruhi oleh interaksi antara ciri model dengan observernya. Anak
cenderung melimitasi orang tuanya yang hangat dan open (jawa), gadis lebih melimitasi
ibunya.

4.    Modeling untuk Proses Berpikir

Orang dapat belajar keterampilan berpikir dengan mengamati model. Akan tetapi, sering kali
proses berpikir yang tersirat tidak terungkapkan secara memadai oleh tindakan model.
Misalnya, seorang model dapat memecahkan suatu masalah secara kognitif, tetapi pengamat
hanya melihat hasil tindakannya tanpa memahami proses berpikir yang menghasilkan
tindakan tersebut. Satu pendekatan untuk mempelajari keterampilan kognitif adalah dengan
meminta model menuturkan apa yang dipikirkannya pada saat sedang melaksanakan kegiatan
untuk mengatasi masalahnya.

Keuntungan menggabungkan Modelling verbal dengan modelling non-verbal adalah


kemampuan modelling non-verbal untuk memperoleh dan mempertahankan perhatian, dan
keefektifan perilaku fisik untuk memberikan makna tambahan pada proses kognitif.
Keterampilan kognitif pengamat akan semakin meningkat bila model mendemonstrasikan
tindakan dan proses berpikirnya sekaligus, bukan hanya mendemonstrasikan tindakannya
saja.

.
5.    Peranan Reinforcement

Pandangan kognitif sosial adalah bahwa belajar melalui pengamatan tidak selalu memerlukan
imbalan ikstrinsik. Belajar seperti ini terjadi melalui pemrosesan kognitif pada saat dan
sebelum pengamat melakukan suatu respon. Dengan model operant conditioning dari
Skinner, yang hampir sama dengan belajar melalui pengamatan ini, dipandang berhasil
apabila respon yang sesuai dengan tindakan model diberi reinforcement, respon yang tidak
sesuai dihukum atau tidak diberi imbalan, dan perilaku orang lain menjadi stimulus bagi
respon yang cocok. Akan tetapi, penjelasan Skinner tersebut mengandung beberapa
kekurangan.

Pengamat mungkin tidak akan melakukan perilaku model dalam setting yang sama dengan
ketika perilaku itu dicontohkan. Baik pengamat maupun model mungkin tidak akan
memperoleh reinforcement. Perilaku model mungkin terjadi lagi beberapa hari atau bahkan
beberapa minggu kemudian. Maka model operant tidak dapat menjelaskan bagaimana
struktur respon baru itu dipelajari melalui pengamatan. Peranan utama insentif dalam
observational learning adalah sebelum, bukan setelah modelling. Misalnya, perhatian
pengamat dapat meningkat dengan antisipasi imbalan dari penggunaan perilaku model. Lebih
jauh, imbalan yang diantisipasi itu dapat memotivasinya untuk mensimbolisasikan dan
berlatih menggunakan kegiatan model. Insentif itu lebih bersifat fasilitatif daripada
keharusan.

6.    Pengetahuan Prediktif dan Pemikiran Ke Depan

Keberfungsian yang efektif menuntut orang mengantisipasi dan mengevaluasi kemungkinan


dampak bermacam-macam tindakan. Konsekuensi respon menciptakan ekspektasi atau
keyakinan bukannya hubungan stimulus-respon. Isyarat (cues) dan stimuli memperoleh nilai
prediktif melalui hubungannya dengan konsekuensi respon.

Manusia memperhatikan dengan seksama aspek-aspek lingkungannya yang dapat


memprediksi konsekuensi, dan mengabaikan aspek-aspek yang tidak demikian. Misalnya,
anak akan berperilaku lebih agresif bila orang tuanya lebih permisif. Pengetahuan tentang
konsekuensi respon dan nilai prediktifnya memungkinkan orang menentukan tindakan yang
dapat dilakukannya.

Terdapat tiga sumber informasi yang saling terkait, yaitu langsung, simbolik, dan tak
langsung yang memberikan informasi tentang konsekuensi yang dapat dipergunakan sebagai
dasar prediksi. Informasi langsung (enactive information) diperoleh dari pengalaman
langsung dengan konsekuensi respon. Informasi simbolik diperoleh dari penjelasan yang
menggambarkan keadaan tertentu di mana konsekuensi respon positif dan negatif akan
terjadi. Informasi tak langsung (vicarious information) diperoleh melalui pengamatan
terhadap konsekuensi respon yang dialami orang lain. Bertahannya nilai prediktif suatu
isyarat yang dipelajari secara verbal atau secara simbolik biasanya memerlukan konfirmasi
periodik melalui pengalaman langsung.

Untuk dapat membuat pertimbangan prediktif yang akurat diperlukan perhatian, ingatan, dan
sejumlah keterampilan kognitif yang integratif. Sering kali orang perlu dihadapkan pada
bermacam-macam isyarat lingkungan yang membingungkannya untuk dapat mengidentifikasi
isyarat yang memiliki relevansi prediktif. Kemudian mereka perlu membentuk faktor-faktor
yang relevan itu menjadi aturan-aturan tindakan yang dapat digeneralisasikan. Sebagian besar
aturan tindakan ditanamkan melalui pengajaran bukannya ditemukan melalui pengalaman
langsung.

Penjelasan verbal yang memberikan informasi tentang kondisi yang dapat menghasilkan
konsekuensi tertentu sangat bermanfaat untuk menanamkan aturan-aturan prediktif.
Ketepatan prediksi orang dapat berkurang bila dia salah membaca peristiwa. Misalnya,
mereka mungkin salah menilai ancaman, tidak dapat melihat atau salah mempersepsi aspek-
aspek penting dari lingkungannya atau berlebihan dalam menilai kecukupan pengetahuannya.

E.   Penutup

Berdasarkan penjelasan terdahulu dapat dinyatakan bahwa pebelajar perlu juga memiliki
keyakinan self-efficacy atas diri mereka sendiri pada praktik pembelajaran dan prestasi
pebelajar mereka (Tschannen-Moran, 1998: 202). Beberapa peneliti menganjurkan bahwa
guru harus memainkan peranan sebanyak persepsi kompetensi pebelajar pada kompetensi
aktual karena persepsi dapat lebih akurat memprediksi motivasi pebelajar dan pilihan
akademik mendatang (Hackett dan Betz, 1989: 261).

Penilaian keyakinan diri pebelajar dapat memberikan sekolah pemahaman penting tentang
motivasi akademi pebelajar, perilaku, dan pilihan akademik mendatang. Misalnya, persepsi
self-efficacy yang rendah yang tidak realisitik, tidak memiliki kemampuan atau keterampilan,
dapat menjadi bertanggung jawab untuk perilaku akademik yang tidak adaptif, penghindaran
tindakan atau karir, dan mengurangi minat sekolah dan prestasi.

Pebelajar yang tidak memiliki kepercayaan dalam keterampilan yang mereka miliki menjadi
kurang mungkin melibatkan dalam tugas, dan mereka akan lebih cepat menyerah dalam
menghadapi kesulitan. Sekolah seyogyanya bekerja mengidentifikasi keyakinan diri pebelajar
yang tidak akurat, mendesain, dan melakukan intervensí untuk menantang mereka dalam
pencapaian prestasi akademik. Misalnya, guru melakukan peer berbagi sifat yang sama pada
pebelajar mereka sebagai guru dan model belajar, melengkapi umpan balik yang menarik
pada usaha untuk meningkatkan persepsi efikasi dan performansi.

Teori kognitif sosial mengakui baik adanya kontribusi sosial terhadap cara manusia berpikir
dan bertindak, maupun pentingnya proses kognitif terhadap motivasi, emosi dan tindakan.
Kelebihan teori Bandura ini adalah 1) teori ini mampu menjelaskan cara pembentukan
perilaku manusia yang tidak dapat dijelaskan secara memadai oleh perspektif aliran
skinnerian tentang bagaimana prinsip-prinsip reinforcement beroperasi. 2) teori Bandura
tentang observational learning memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman
mengenai bagaimana klien belajar cara berpikir dan berperilaku yang positif maupun negatif.
3) teori kognitif sosial ini menjelaskan secara rinci berbagai proses konsep kognitif seperti
self-efficacy dan self-regulation, yang perlu dipertimbangkan secara seksama oleh para
konselor.

Daftar Pustaka
.
Alwisol. 2006. Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. UMM Press : Malang.
Alwisol. 2008. Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang : UPT Penerbitan Universitaas
Muhammadiyah.
Bandura, Albert. 1962. Social learning through imitation. Dalam M. R. Jones (Ed), Nebraska
symposium on motivation. Vol 10. Lincoln: University of Nebraska Press.
Bandura, Albert. 1977a. Self-Efficacy: Toward a unifying theory of behavior change.
Psychological Review, 84.
Bandura, Albert. 1977b. Social Learning Theory. New Jersey: Prentise Hall.
Bandura, Albert. 1986. Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive
Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Bandura, Albert. 1993. Perceived Self-efficacy in Cognitive Development and Function –
Dalam Educational Psychologist, 28 (2), 1178.
Bandura, Albert. 1997. Self-efficacy: The Exercise of Control. New York. W. H. Freeman.
Baran, S. J  dan D. K. Davis. 2000. Mass Communication Theory: Foundations, Ferment,
and Future. 2nd edition. Belmon, CA: Wadsworth.
Baranowsky, T, C. L. Perry  dan G. S. Parecel. 1997. How Individuals, environments, and
health behavior interact: Social Cognitive Theory.
Byrne, D. & Kelley, K. 1981. An Introduction to Personality. New Jersey: Prentice Hall, inc.
Davindoff. Linda L. 1981. Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.
Feist, Jest  dan Gregory, J. Feist. 2011. Theories of Personality. McGraw Hill : New York.
Graham, Sandra dan Bernard Weiner. 1998. Theories dan Priciples of Motivation” dalam ed.
D. C. Berliner dan R. C. Calfee, Handbook of Educational Psychology. New York:
Simon dan Schuster Macmillan.
Hackett. G dan N. E. Betz, 1989. An Exploration of the Mathematics Self-efficacy/-
mathematis performance Correspondence” dalam Journal for Research in Mathematics
Education Nomor. 20.
Hall, Calvis S.  dan Gardner Lindzey. 1993. Teori-teori Sifat dan Behavioristik. Yogyakarta. :
Penerbit Kanisius.
Hall, S. Calvin  dan Gardner Lindzey. 1978. Theories of Personality (Third Edition). John
Wiley  dan Sons : USA.
Glanz, F. M. Lewis, dan BK Rimer, Health Behavior abd Health Education: Theory,
Research, and Practice. 2nd edition. San Francisco: Jossey-Bass.
Keysers, V dan J. Barling. 1981. Determinats of childrent’s self-efficacy from a crosscultural
perspective”dalam International Journal of Psychology Nomor. 39.
Lent, R. W., & Hackett, G. 1987. Career Self-efficacy: Empirical Status and Future
Directions. Journal of Vocational Behavior, 30, 3472.
McMillan, et. al. 1994. The Tyranny of Self-Oriented Self-Esteem dalam Educational Horizon
Spring.
Miller. Katherine. 2005. Communication Theories: Perspective, Processes, and Contexts. 2nd
Edition. International Edition. Singapore: McGraw-Hill.
Nelson-jones, Richard. 1995. Counselling and Personality: Theory and Practice. Australia:
Allen and Unwin Pty Ltd.
Nichols, J. G.  dan A. T. Miller. 1984. Development and its discontents: The differentiation
of the concept of ability” dalam J. G. Nicholls (ed. ), Advances in motivation and
achievement, Vol. 3, Greenwich: CT: JAI Press.
Pajares, F. dan Miller, M. D. 1994. The Role of Self-efficacy Beliefs and Self-Concept Beliefs
in Mathematical Problem-Solving: A Path Analysis dalam Journal of Educational
Psychology Nomor. 86.
Pajares, Frank dan Dale H. Schunk. 2001. Self-Beliefs and School Success: Self-efficacy,
Self-Concept, and School Achievement dalam ed. R. Riding dan S. Rayner, Perception.
London: Ablex Publishing.
Rakhmat, Jalaluddin. 2003. Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Schunk, Dale H. 1981. Modeling and Attributional Effects on Children’s Achievement: A
Self-efficacy Analysis, dalam Journal of Educational Psychology Nomor. 73.
Schunk, Dale H. 1986. Verbalization and children’s self-regulated learning dalam
Contemporary Educational Psychology.
Schunk, Dale H. dan A. R. Hanson. 1985. Peer Model: Influence on children’s self-efficacy
and achievement. Journal of Educational Psychology.
Setianti, Fetiara dan Alfi Purnamasari, Efefektifitas Mendengarkan Pembacaan Cerita Untuk
Meningkatkan Minat Baca Anak Sekolah Dasar. Jurnal Humanistik Fakultas Psikologi
Ahmad Dahlan, Vol 5, No. 1 Januari 2008.
Soetardjo, Alfin Fadila Helmi. Jurnal dan Artikel Beberapa Perspektif Perilaku Agresif.
Thomas, J. W. et. al. , 1987. Relation-ships mong student characteristics, study activities,
and achievement as a fuction of course characteristics dalam Contemporary Educational
Psychology Nomor. 12.
Tschannen-Moran, Teacher efikasi: Its Meaning and Measure, dalam Review of Educational
research No. 68.
Wang Y. A. dan R. S. Richard. 1987. Development of memory monitoring and self-efficacy in
children dalam Psychological Reports Nomor 60.
Zimbardo, Philip G. 1977. Psychology and Life. Illinois: Scott, Foresman and Company.
Zimmerman, B. J. 1986. Development of self-regulated learning: Which are the key of
subprocesses? dalam Comtemporary Eductional Psychology Nomor. 16.
.
.

Anda mungkin juga menyukai