Anda di halaman 1dari 14

SOCIAL COGNITIVE THEORY

PENDAHULUAN

Teori Kognitif Sosial (Social Cognitive Theory) merupakan penamaan baru


dari Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory) yang dikembangkan oleh Albert
Bandura. Penamaan baru dengan nama Teori Kognitif Sosial ini dilakukan pada
tahun 1970-an dan 1980-an. Ide pokok dari pemikiran Bandura (1962) juga
merupakan pengembangan dari ide Miller dan Dollard tentang belajar meniru
(imitative learning). Pada beberapa publikasinya, Bandura telah mengelaborasi
proses belajar sosial dengan faktor-faktor kognitif dan behavioral yang memengaruhi
seseorang dalam proses belajar sosial. Teori ini sangat berperan dalam mempelajari
efek dari isi media massa pada khalayak media di level individu.

Selama tahun 1980-an, para ahli pendidikan menggeser minat kajian mereka
dalam memandang motivasi dalam proses kognitif dan pemrosesan informasi pada
fungsi manusia. Pergeseran ini merupakan ‘revolusi kognitif’ yang dipengaruhi oleh
kemajuan teknologi pembelajaran dan kehadiran komputer, yang melayaninya
sebagai metafora gerakan signatura dan model/bentuk akal/intelegensi (Pajares dan
Schunk. 2001: 239).

Sama seperti halnya kebanyakan pendekatan teori belajar terhadap


kepribadian, teori belajar sosial berpangkal pada dalil bahwa tingkah laku manusia
sebagian besar adalah hasil pemerolehan, dan bahwa prinsip-prinsip belajar adalah
cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang dan menetap. Akan
tetapi, teori-teori sebelumnya selain kurang memberi perhatian pada konteks sosial
dimana tingkah laku ini muncul, juga kurang menyadari fakta bahwa banyak
peristiwa belajar yang penting terjadi dengan perantaraan orang lain. Artinya, sambil
mengamati tingkah laku orang lain, individu-individu belajar mengimitasi atau meniru
tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain model bagi
dirinya.

Salah satu asumsi awal dan dasar teori kognisi sosial Bandura adalah bahwa
manusia cukup fleksibel dan mampu mempelajari berbagai sikap, kemampuan, dan
perilaku, serta cukup banyak dari pembelajaran tersebut yang merupakan hasil dari
pengalaman tidak langsung. Walaupun manusia dapat dan memang belajar dari
pengalaman langsung, banyak dari apa yang mereka pelajari didapatkan dengan
mengobservasi orang lain. Bandura (1986) menyatakan bahwa “apabila
pengetahuan dapat diperoleh hanya melalui akibat dari tindakan seseorang, proses
kognitif dan perkembangan sosial akan sangat terbelakang, dan juga akan menjadi
sangat melelahkan”.

Dalam publikasi Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive


Theory, Bandura mengembangkan pandangan human functioning. Dia
menyerasikan peran sentral kognitif, seolah mengalami sendiri (vicarious),
pengaturan diri, dan proses reflektif diri dalam adaptasi dan perubahan manusia.
Orang dipandang sebagai sosok sistem pengorganisasi diri, proaktif, reflektif diri,
dan pengaturan diri daripada sebagai organisme reaktif yang dibentuk dan dilindungi
oleh kekuatan lingkungan atau didorong oleh impuls-impuls paling dalam yang
tersembunyi.

Dalam perspektif kognitif sosial, individu dipandang berkemampuan proaktif


dan mengatur diri daripada sebatas mampu berperilaku reaktif dan dikontrol oleh
kekuatan biologis atau lingkungan. Selain itu, individu juga dipahami memiliki self-
beliefs yang memungkinkan mereka berlatih mengukur pengendalian atas pikiran,
perasaan, dan tindakan mereka. Bandura (1977) memperlihatkan bahwa individu
membuat dan mengembangkan persepsi diri atas kemampuan yang menjadi
instrumen pada tujuan yang mereka kejar dan pada kontrol yang mereka latih atas
lingkungannya (Pajares, dan Schunk, 2001: 239}

Adapun fondasi persepsi Bandura terhadap reciprocal determinism,


memandang bahwa: (a) faktor personal dalam bentuk kognisi, afektif, dan peristiwa
biologis, (b) tingkah laku, (c) pengaruh lingkungan membuat interaksi yang menjadi
hasil dalam triadic reciprocality. Sifat timbal balik penentu pada fungsi manusia ini
dalam teori kognitif sosial memungkinkan untuk menjadi terapi dan usaha konseling
yang diarahkan pada personal, lingkungan, dan faktor perilaku.

Teori kognitif sosial berakar pada pandangan tentang human agency bahwa
individu merupakan agen yang secara proaktif mengikutsertakan dalam lingkungan
mereka sendiri dan dapat membuat sesuatu terjadi dengan tindakan mereka.
Adapun kunci pengertian agency adalah kenyataan bahwa di antara faktor personal
yang lain, individu memiliki self-beliefs yang memungkinkan mereka melatih
mengontrol atas pikiran, perasaan, dan tindakan mereka, bahwa apa yang
dipikirkan, dipercaya, dan dirasakan orang mempengaruhi bagaimana mereka
bertindak (Bandura, Albert. 1986: 25).

Teori belajar sosial atau social learning Theory Bandura didasarkan oleh tiga
konsep yaitu :

1. Determinis Resiprokal (reciprocal deterministic):

Pendekatan yang menjelaskan bahwa perilaku manusia dalam bentuk


interaksi timbal balik yang terus menerus antara determinan kognitif,
behavioral, dan lingkungan. Detirministik resiprokal inilah yang menjadi
dasar ari teori belajar bandura dalam memahami tingkah laku.

2. Beyond Reinforcement:

Bahwa setiap perilaku tidak selalu menggunakan reinforcement dalam


pembentukannya. Menurut Bandura, reinforcement penting dalam
menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak,
bukan sebagai satu-satunya pembentuk tingkah laku. Karena baginya
orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati
kemudian mengulangi apa yang diamatinya.

3. Kognisi dan Self Regulation:

Bandura menempatkan manusia sebagai sesorang yang dapat


mengatur dirinya sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku
dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif,
mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri.

Bandura (1977) mengutarakan empat langkah/tahap dalam pembelajaran


sosial yaitu (dalam Bastable, 2002):
1. Fase pertama (fase perhatian) yaitu kondisi yang diperlukan agar
pembelajaran terjadi. Dari hasil penelitian ditunjukkan bahwa model peran
yang berstatus dan berkompetensi tinggi lebih mungkin diamati meskipun
karakteristik peserta didik sendiri mungkin lebih perlu diperhatikan. Tingkat
keberhasilan belajar itu ditentukan oleh karakteristik model maupun
karakteristik pengamat itu sendiri.
a. Karakteristik model yang merupakan variabel penentu tingkat perhatian
itu mencakup frekuensi kehadirannya, kejelasannya, daya tarik
personalnya, dan nilai fungsional perilaku model itu.
b. Karakteristik pengamat yang penting untuk proses perhatian adalah
kapasitas sensorisnya, tingkat ketertarikannya, kebiasaan persepsinya,
dan reinforcement masa lalunya.
2. Fase kedua (fase peringatan/retensi) berkaitan dengan penyimpanan dan
pemanggilan kembali apa yang diamati. Retensi ini dapat dilakukan
dengan cara menyimpan informasi secara imaginal atau mengkodekan
peristiwa model ke dalam simbol-simbol verbal yang mudah dipergunakan.
Materi yang bermakna bagi pengamat dan menambah pengalaman
sebelumnya akan lebih mudah diingat.
3. Fase ketiga (fase peniruan) dimana peserta didik meniru perilaku yang
diamati. Latihan mental, penerapan langsung, dan umpan balik yang
korektif memperkuat peniruan tersebut. Pada tahap tertentu, gambaran
simbolik tentang perilaku model mungkin perlu diterjemahkan ke dalam
tindakan yang efektif.
4. Fase keempat (fase motivasi) yaitu apakah peserta didik termotivasi unutk
melakukan jenis perilaku tertentu atau tidak. Pengamat akan cenderung
mengadopsi perilaku model jika perilaku tersebut:
a. Menghasilkan imbalan eksternal
b. Secara internal pengamat memberikan penilaian yang positif
c. Pengamat melihat bahwa perilaku tersebut bermanfaat bagi model itu
sendiri.

KOMPONEN MODEL TEORI


Sudah jelas bahwa konsep utama dari teori kognitif sosial adalah pengertian
tentang obvervational learning atau proses belajar dengan mengamati. Jika ada
seorang model di dalam lingkungan seorang individu, misalnya saja teman atau
anggota keluarga di dalam lingkungan internal, atau di lingkungan publik seperti para
tokoh publik di bidang berita dan hiburan, proses belajar dari individu ini akan terjadi
melalui cara memperhatikan model tersebut. Terkadang perilaku seseorang bisa
timbul hanya karena proses modeling.

Modeling atau peniruan merupakan “the direct, mechanical reproduction of


behavior, reproduksi perilaku yang langsung dan mekanis (Baran dan Davis, 2000:
184). Sebagai contoh, ketika seorang ibu mengajarkan anaknya bagaimana cara
mengikat sepatu dengan memeragakannya berulang kali sehingga si anak bisa
mengikat tali sepatunya, maka proses ini disebut proses modeling. Sebagai
tambahan bagi proses peniruan interpersonal, proses modeling dapat juga terlihat
pada narasumber yang ditampilkan oleh media. Misalnya orang bisa meniru
bagaimana cara memasak kue bika dalam sebuah acara kuliner di televisi. Meski
demikian tidak semua narasumber dapat memengaruhi khalayak, meski contoh yang
ditampilkan lebih mudah dari bagaimana cara membuat kue bika. Di dalam kasus ini,
teori kognitif sosial kembali ke konsep dasar rewards and punishments (imbalan dan
hukuman) tetapi menempatkannya dalam konteks belajar sosial.

Baranowski, Perry, dan Parcel (1997:151) menyatakan bahwa reinforcement


is the primary construct in the operant form of learning (proses penguatan
merupakan bentuk utama dari cara belajar seseorang. Proses penguatan juga
merupakan konsep sentral dari proses belajar sosial.

Di dalam teori kognitif sosial, penguatan bekerja melalui proses efek


menghalangi (inhibitory effects) dan efek membiarkan (disinhibitory effects).
Inhibitory Effects terjadi ketika seseorang melihat seorang model yang diberi
hukuman karena perilaku tertentu, misalnya penangkapan dan vonis hukuman
terhadap seorang artis penyanyi terkenal karena terlibat dalam pembuatan video
porno. Dengan mengamati apa yang dialami model tadi, akan mengurangi
kemungkinan orang tersebut mengikuti apa yang dilakukan sang artis penyanyi
terkenal itu.
Sebaliknya, Disinhibitory effects terjadi ketika seseorang melihat seorang
model yang diberi penghargaan atau imbalan untuk suatu perilaku tertentu. Misalnya
disebuah tayangan kontes adu bakat di sebuah televisi ditampilkan sekelompok
pengamen jalanan yang bisa memenangi hadiah ratusan juta rupiah, serta ditawari
menjadi model iklan dan bermain dalam sinetron karena mengkuti lomba tersebut.
Menurut teori ini, orang juga akan mencoba mengikuti jejak sang pengamen jalanan.

Efek-efek yang dikemukakan di atas tidak tergantung pada imbalan dan


hukuman yang sebenarnya, tetapi dari penguatan atas apa yang dialami orang lain
tapi dirasakan seseorang sebagai pengalamannya sendiri (vicarious reinforcement).
Menurut Bandura (1986), vicarious reinforcement terjadi karena adanya konsep
pengharapan hasil (outcome expectations) dan harapan hasil (outcome
expectancies).

Outcome expectations menunjukkan bahwa ketika kita melihat seorang model


diberi penghargaan dan dihukum, kita akan berharap mendapatkan hasil yang sama
jika kita melakukan perilaku yang sama dengan model. Seperti dikatakan oleh
Baranowski dkk (1997: 162), People develop expectations about a situation and
expectations for outcomes of their behavior before they actually encounter the
situation (orang akan mengembangkan pengharapannya tentang suatu situasi dan
pengharapannya untuk mendapatkan suatu hasil dari perilakunya sebelum ia benar-
benar mengalamai situasi tersebut).

Selanjutnya, seseorang mengikat nilai dari pengharapan tersebut dalam


bentuk outcome expectancies (harapan akan hasil). Harapan-harapan ini
memeprtimbangkan sejauh mana penguatan tertentu yang diamati itu dipandang
sebagai sebuah imabalan/penghargaan atau hukuman. Misalnya, orang memang
menganggap bahwa perilaku artis penyanyi yang membintangi video porno memang
pantas dihukum, tetapi teori kognitif sosial juga mempertimbangkan kemungkinan
perilaku yang sama yang dilakukan orang lain dalam video porno tersebut
mendapatkan imbalan misalnya berupa simpati atau bahkan tak diajukan ke
pengadilan karena dianggap sebagai korban, meski pada saat melakukan adegan
video porno tersebut ia dan si artis penyanyi yang dihukum itu sama-sama
melakukannya dengan sadar. Hal ini akan memengaruhi sejauh mana proses belajar
sosial akan terjadi.
Konsep-konsep yang telah dikemukakan merupakan proses dasar dari
pembelajaran dalam teori kognitif sosial. Meskipun demikian, terdapat beberapa
konsep lain yang dikemukakan teori ini yang akan memengaruhi sejauh mana
belajar sosial berperan. Salah satu tambahan yang penting bagi teori ini adalah
konsep identifikasi (indentification) dengan model di dalam media.

Secara khusus teori kognitif sosial menyatakan bahwa jika seseorang


merasakan hubungan psikologis yang kuat dengan sang model, proses belajar
sosial akan lebih terjadi. Menurut White (1972: 252) identifikasi muncul mulai dari
ingin menjadi hingga berusaha menjadi seperti sang model dengan beberapa
kualitas yang lebih besar. Misalnya seorang anak yang mengidolakan seorang atlet
sepak bola, mungkin akan meniru atlet tersebut dengan cara menggunakan kostum
yang sama dengan atlet tersebut atau mengonsumsi makanan yang dikonsumsi atlet
tersebut.

Teori kognitif sosial juga mempertimbangkan pentingnya kemampuan sang


‘pengamat’ untuk menampilkan sebuah perilaku khusus dan kepercayaan yang
dipunyainya untuk menampilkan perilaku trsebut. Kepercayaan ini disebut dengan
self-efficacy atau efikasi diri (Bandura, 1977a: 191) dan hal ini dipandang sebagai
sebuah prasayarat kritis dari perubahan perilaku. Misalnya dalam kasus tayangan
tentang cara pembuatan kue bika di televisi yang telah disebutkan di atas.

Teori kognitif sosial menyatakan bahwa tak semua orang akan belajar
membuat kue bika, khususnya bagi mereka yang terbiasa membeli kue bika siap saji
dan mempunyai keyakinan bahwa membuat kue bika sendiri merupakan hal yang
sia-sia dan tak perlu karena membelinya pun tidak mahal harganya. Dalam hal ini
orang tersebut dianggap tidak mempunyai tingkat efikasi diri yang cukup untuk
belajar memasak kue bika dari televisi.

 Prinsip Teori Albert Bandura


Adapun prinsip-prinsip yang mendasari teori belajar sosial yang dikemukakan
oleh Albert Bandura, adalah sebagai berikut.
1. Prinsip faktor-faktor yang saling menentukan
Bandura menyatakan bahwa diri seorang manusia pada dasarnya
adalah suatu sistem (sistem diri/self system). Sebagai suatu sistem
bermakna bahwa perilaku, berbagai faktor pada diri seseorang, dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lingkungan orang tersebut, secara
bersama-sama saling bertindak sebagai penentu atau penyebab yang
satu terhadap yang lainnya.
Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses
pembelajaran, yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang
mempelajari perilaku dengan mengamati secara sistematis imbalan dan
hukuman yang diberikan kepada orang lain. Dalam teori menjelaskan
hubungan timbal balik yang saling berkesinambungan antara kognitif,
perilaku, dan lingkungan.
Kondisi lingkungan sekitar kita sangat berpengaruh terhadap perilaku
kita. Lingkungan kiranya memberikan posisi yang besar dalam kehidupan
sosial kita sehari hari. Lingkungan dapat pula membentuk kepribadian kita.
Dalam skema diatas dapat kita lihat, bahwa antara behavioral,
environment, dan perception sangatlah memberikan andil dalam proses
pembelajaran sosial kita.
Apa yang kita pikirkan akan mempengaruhi perilaku kita, dan perilaku
pribadi kita akan menimbulkan reaksi dari orang lain. Begitu pula dengan
lingkungan, keadaan lingkungan sekitar kita akan mempengaruhi perilaku
kita. Keadaan lingkungan akan menimbulkan reaksi-reaksi tersendiri dari
individu tersebut. Yang dapat memberikan stimulus terhadap individu
untuk melakuka sesuatu berdasarkan apa yang mereka lihat, cermati,
dalm lingkungan tersebut.
Kemudian reaksi-reaksi yang ditunjukkan oleh individu tersebut akan
memberikan penilaian tersendiri terhadap dirinya sendiri, dan karakteristik
dari individu tersebut akan memberikan penilaian tersendiri dari orang lain.
Dari keadaan lingkungan sekitar yang kita lihat dan reaksi-reaksi dari
individu akan memberikan pengaruh terhadap persepsi dan aksi kita akan
stimulus yang diperlihatkan di dalam lingkungan tersebut. Persepsi timbul
karena ada stimulus dari orang lain maupun dari lingkungan sekitar kita.
Dengan demikian, antara behavioral, environment, dan perception
sangatlah bergantung satu sama lain, ketiga komponen tersebut tidak
dapat berdiri sendiri. Namun antar ketiga komponen itu saling memberikan
pengaruh atau saling memberikan perannnya dalam terlaksananya teori
pembelajaran sosial. Komponen-komponen tersebut salimg berhubungan
antar komponen yang lain, dan saling timbal balik, menerima dan
memberi. Tidak akan tercipta pembelajaran sosial jika tidak ada
lingkungan, individu, dan aksi reaksi sebagai akibat dari adanya stimulus
yang ada.
2. Kemampuan untuk membuat atau memahami simbol/tanda/ lambing
Bandura menyatakan bahwa orang memahami dunia secara simbolis
melalui gambar-gambar kognitif, jadi orang lebih bereaksi terhadap
gambaran kognitif dari dunia sekitar dari pada dunia itu sendiri. Artinya,
karena orang memiliki kemampuan berfikir dan memanfaatkan bahasa
sebagai alat untuk berfikir, maka hal-hal yang telah berlalu dapat disimpan
dalam ingatan dan hal-hal yang akan datang dapat pula “diuji” secara
simbolis dalam pikiran.
Perilaku-perilaku yang mungkin diperlihatkan akan dapat diduga,
diharapkan, dikhawatirkan, dan diuji cobakan terlebih dahulu secara
simbolis, dalam pikiran, tanpa harus mengalaminya secara fisik terlebih
dahulu. Karena pikiran-pikiran yang merupakan simbul atau gambaran
kognitif dari masa lalu maupun masa depan itulah yang mempengaruhi
atau menyebabkan munculnya perilaku tertentu.
3. Kemampuan berpikir ke depan
Selain dapat digunakan untuk mengingat hal-hal yang sudah pernah
dialami, kemampuan berpikir atau mengolah simbol tersebut dapat
dimanfaatkan untuk merencanakan masa depan. Orang dapat menduga
bagaimana orang lain bisa bereaksi terhadap seseorang, dapat
menentukan tujuan, dan merencanakan tindakan-tindakan yang harus
diambil untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Inilah yang disebut dengan
pikiran ke depan, karena biasanya pikiran mengawali tindakan.
4. Kemampuan seolah-olah mengalami apa yang dialami orang lain
Orang-orang, terlebih lagi anak-anak mampu belajar dengan cara
memperhatikan orang lain berperilaku dan memperhatikan konsekuensi
dari perilaku tersebut. Inilah yang dinamakan belajar dari apa yang dialami
orang lain.
5. Kemampuan mengatur diri sendiri
Prinsip berikutnya dari belajar sosial adalah orang umumnya memiliki
kemampuan untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri. Seberapa giat
orang bekerja dan belajar, berapa jam orang tidur, bagaiamana bersikap di
muka umum, apakah orang mengerjakan pekerjaan kuliah dengan teratur,
dsb, adalah contoh prilaku yang dikendalikan. Perilaku ini tidak dikerjakan
tidak selalu untuk memuaskan orang lain, tetapi berdasarkan standar dan
motivasi yang ditetapkan diri sendiri. Tentu saja orang akan berpengaruh
oleh perilaku orang lain, namun tanggung jawab utama tetap berada pada
diri sendiri.
6. Kemampuan untuk berefleksi
Prinsip terakhir ini menerangkan bahwa kebanyakan orang sering
melakukan refleksi atau perenungan untuk memikirkan kemampuan diri
mereka pribadi. Mereka umumnya mampu memantau ide-ide mereka dan
menilai kepantasan ide-ide tersebut sekaligus menilai diri mereka sendiri.
Dari semua penilaian diri sendiri itu, yang paling penting adalah penilaian
terhadap beberapa komponen atau seberapa mampu mereka mengira diri
mereka dapat mengerjakan suatu tugas dengan sukses.

APLIKASI PENERAPAN TEORI

Denpasar, 21/2 (BeritaJateng.net) – Koordinator Bali Tobacco Control


Innitiative (BTCI) Made Kerta Duana mengatakan perilaku merokok, khususnya
kelompok remaja setiap tahunnya meningkat, karena itu perlu dilakukan secara
berkelanjutan melakukan sosialisasi tentang resiko dari mengisap rokok.
“Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2010 perilaku merokok pada
remaja 15 tahun ke atas cenderung meningkat.

Saat ini diperkirakan 36,3 persen remaja Indonesia adalah perokok aktif,”
katanya di Denpasar, Sabtu. Ia mengatakan faktor resiko munculnya perilaku
merokok pada remaja sangat dipengaruhi masifnya iklan promosi dan sponsorship
yang secara tidak langsung mendorong remaja dan anak-anak menjadi perokok
pemula. “Selain itu masiah banyaknya iklan masuk sekolah atau kampus dengan
berkedok beasiswa akan menambah kekhawatiran anak dan remaja sangat dekat
dengan rokok dan tidak melihatr rokok sebagai sebuah ancaman kesehatan,”
katanya.

Ia mengatakan fasilitas pendidikan termasuk perguruan tinggi, dalam regulasi


pengendalian tembakau telah diatur sebagai kawasan tanpa rokok (KTR). Akan
tetapi implementasi kebijakan KTR belum dilaksanakan sepenuhnya di tempat
belajar mengajar terutama perguruan tinggi. “Sebagai institusi yang mendidik calon
profesional di masa mendatang, perguruan tinggi atau pun kampus yang ada
sebaiknya menjadi institusi pendidikan panutan untuk implementasi kebijakan KTR,”
ujarnya. “Kami di BTCI memiliki komitmen menyelamatkan generasi muda dari
ancaman merokok. Salah satunya adalah melakukan sosialisasi dan KTR tersebut,”
katanya.

Kerta Duana mengakui banyak kendala yang di hadapi masyarakat dalam


melakukan sosialisasi KTR tersebut, sebab kesadaran warga akan bahaya merokok
belum sepenuhnya di mengerti. “Kami terus berupaya melakukan sosialisasi KTR
dan bahaya yang diakibatkan dari merokok itu, salah satunya penyakit paru-paru
akut hingga menyebabkan kanker,” katanya. (ant/BJ)

 Analisis menggunakan Social learning Theory


Seperti yang diungkapkan oleh Leventhal & Clearly (dalam Cahyani, 1995)
terdapat 4 tahap dalam perilaku merokok sehingga menjadi perokok yaitu:
1. Tahap Preparatory.
Seseorang mendapatkan gambaran yang menyenangkan mengenai
merokok dengan cara mendengar, melihat, atau dari hasil bacaan. Hal-hal
ini menimbukan minat untuk merokok.
2. Tahap Initiation.
Tahap perintisan merokok yaitu tahap apakah seseorang akan
meneruskan ataukah tidak terhadap perilaku merokok.
3. Tahap becoming a smoker
Apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok sebanyak 4 batang per
hari maka mempunyai kecenderungan menjadi perokok.
4. Tahap maintenance of smoking.
Tahap ini merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara
pengarturan diri (selfregulating). Merokok dilakukan untuk memperoleh efek
fisiologis yang menyenangkan.

Kasus banyaknya perilaku merokok pada para remaja menjelaskan bahwa


perilaku seseorang dapat berubah dengan adanya pengamatan dan observasi
terhadap sesuatu yang sudah biasa ia lihat dan dilakukan oleh orang-orang
terdekatnya lakukan. Maka dari itu kasus ini membuktikan bahwa mereka mulai
mempelajari sesuatu dengan melakukan peniruan dari suatu model.

Variabel-variabel yang berhubungan dengan konsep social learning theory :

1. Faktor personal : Pengetahuan para remaja terhadap kesehatan diri yang


rendah, dan pengaruh gaya hidup yang bebas.
2. Pengaruh lingkungan : Lingkungan yang membuat ia berpersepsi bahwa
perilaku merokok itu adalah suatu hal yang lumrah, mulai dari keluarga,
teman-teman dan orang-orang di lingkungannya.
3. Faktor Behaviour : adanya kebiasaan menonton iklan-iklan rokok baik dari
televise, spanduk dijalan dan lainnya sehingga penasaran ingin mencoba
rokok dan akhirnya menjadi terbiasa. Self Efficacy merupakan salah satu
konsep penting pada service learning theory yaitu persepsi para remaja
bahwa mereka memiliki kemampuan yang sama dalam iklan-iklan yang telah
mereka amati sehingga mereka mulai mempraktekkannya.
DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. 2006. Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. UMM Press : Malang.

Alwisol. 2008. Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang : UPT Penerbitan Universitaas

Muhammadiyah.

Bandura, Albert. 1962. Social learning through imitation. Dalam M. R. Jones (Ed), Nebraska

symposium on motivation. Vol 10. Lincoln: University of Nebraska Press.


Bandura, Albert. 1977a. Self-Efficacy: Toward a unifying theory of behavior change.

Psychological Review, 84.

Bandura, Albert. 1977b. Social Learning Theory. New Jersey: Prentise Hall.

Bandura, Albert. 1986. Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive

Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Bandura, Albert. 1993. Perceived Self-efficacy in Cognitive Development and Function –

Dalam Educational Psychologist, 28 (2), 1178.

Bandura, Albert. 1997. Self-efficacy: The Exercise of Control. New York. W. H. Freeman.

Baran, S. J dan D. K. Davis. 2000. Mass Communication Theory: Foundations, Ferment,

and Future. 2nd edition. Belmon, CA: Wadsworth.

Baranowsky, T, C. L. Perry dan G. S. Parecel. 1997. How Individuals, environments, and

health behavior interact: Social Cognitive Theory.

Byrne, D. & Kelley, K. 1981. An Introduction to Personality. New Jersey: Prentice Hall, inc.

Davindoff. Linda L. 1981. Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.

Feist, Jest dan Gregory, J. Feist. 2011. Theories of Personality. McGraw Hill : New York.

Graham, Sandra dan Bernard Weiner. 1998. Theories dan Priciples of Motivation” dalam ed.

D. C. Berliner dan R. C. Calfee, Handbook of Educational Psychology. New York:

Simon dan Schuster Macmillan.

Anda mungkin juga menyukai