Anda di halaman 1dari 34

TRADISI SUFISME DALAM KARYA-KARYA

K.H. A. MUSTOFA BISRI


aku adalah jasad ruhmu
fayakun kunmu

aku adalah a-k-u


k-a-u
mu

Rembang, 30.9.1995 (Bisri, 1996:34-35; 2000:12)

Berbicara mengenai sastra sufi di Indonesia hampir selalu mengundang polemik.

Polemik tersebut bahkan tidak beranjak dari hal yang itu-itu juga, yaitu pro dan

kontra mengenai apa yang disebut sebagai “pengkotak-kotakan sastra” serta

masalah definisi dan kriteria sastra sufi.

Untuk menyamakan persepsi tentang sastra sufi, perlu dijelaskan apa yang

dimaksud dengan sastra sufi dalam tulisan ini. Sastra sufi dianggap sebagai karya

sastra yang memiliki kriteria dan identitas yang lebih spesifik dibandingkan

dengan istilah sastra religius atau sastra Islam. Sastra religius dianggap terlalu

luas dan longgar untuk segala karya sastra yang sesuai dengan nilai-nilai dan

ajaran keagamaan tertentu. Setiap karya sastra dapat diidentifikasi sebagai sastra

religius sejauh karya sastra tersebut, minimal, tidak bertentangan dengan nilai-

nilai religiusitas. Sementara istilah sastra Islam hingga kini belum memberikan

kriteria yang definitif berkaitan dengan sejumlah keharusan yang dapat diterapkan
untuk mengidentifikasi sebuah karya sastra, seperti apakah penulisnya harus orang

Islam, batas-batas formal instrinsiknya, ataupun kriteria lain, yaitu kaitan

keselarasannya dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan

sejumlah kriteria yang cukup jelas apa yang dimaksud dengan sastra sufi.

Beberapa Wacana mengenai Sastra Sufi

Secara umum, sebuah karya sastra baru dianggap memenuhi penyebutan sastra

sufi jika karya itu terutama dan pertama adalah karya sastra yang mempersoalkan

prinsip Tauhid (prinsip keesaan Tuhan), prinsip ke-Ada-an Tuhan, prinsip fana-

baka, prinsip penetrasi Tuhan dan kehendak bebas manusia, serta derivasi yang

berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut (Nicholson, 1987). Artinya, jika sebuah

karya tidak mengandung prinsip-prinsip tersebut, maka karya itu tidak termasuk

sastra sufi. Dari konsep ini dapat diambil simpulan bahwa sastra sufi dipastikan

berdimensi religius Islami, namun tidak berarti sastra religius otomatis sastra sufi.

Prinsip tauhid sangat penting karena merupakan landasan utama dalam memahami

sastra sufi sebagai sebuah gagasan bagaimana “menomorsatukan” Tuhan. Tentu

ada beberapa gagasan tentang Tauhid. Madjid (1985:95-100) mengatakan

penegakan Tauhid adalah monoteisme yang keras dan tidak mengenal kompromi.

Dengan kata lain, Tauhid adalah proses pembebasan manusia dari segala sesuatu

yang lebih rendah dari Tuhan, atau proses pembebasan manusia dari belenggu

tuhan-tuhan.
Schimmel (1986) mengatakan bahwa untuk setiap wilayah geografis dan

kebudayaan sufisme memberikan karakter berbeda-beda. Akan tetapi, dalam

karyanya yang terkenal itu itu, Schimmel bergerak secara internal atas wacana-

wacana tasawuf itu sendiri. Oleh karena itu diikuti beberapa gagasan yang

dikembangkan oleh Nasr (1980:22) yang mengatakan bahwa sufisme secara

hakiki memobilisasi tiga unsur makna, yaitu kodrat Tuhan, kodrat manusia, dan

kebajikan ruhani, yang hanya dengan itu maka terlaksananya Tuhan menjadi

mungkin, dan hanya dengan itu maka manusia dapat menyiapkan diri menjadi

bermartabat karena mencapai pangkat ahsan taqwim, menjadi alamat Nama-Nama

Tuhan dan Sifat-Sifat Tuhan sepenuhnya.

Dengan demikian, sufisme dapat dilihat sebagai “wadah” suatu ide pemikiran

dalam memahami eksistensi dan esensi Tuhan. Berdasarkan pemahaman itu,

praktik sufisme adalah sebuah ide dalam melihat dan memahami alam semesta

dan manusia, sampai seberapa jauh peranan Tuhan di muka bumi, dan sampai

seberapa jauh doktrin-doktrin (wacana) tersebut mempengaruhi perilaku manusia

berhadapan sesama manusia (masyarakat) serta berhadapan dengan dunia.

Implikasi pengejawantahan wacana-wacana tersebut teraktualisasikan dalam

berbagai bentuk peradaban dan kebudayaan, apakah itu berupa praktik-praktik

pendidikan, politik, ekonomi, sosial, budaya, ataupun ekspresi-ekspresi

kemanusiaan berupa karya arsitektur, kesenian, dan sastra. Pada gilirannya, hal-

hal yang diaktualisasikan tersebut mempengaruhi perkembangan kesadaran


manusia karena terjadi semacam akumulasi objektif yang menuntut manusia untuk

kembali merealisasikan kesadaran menjadi sesuatu yang lahiriah (objektif).

Dari catatan tersebut dapat dijelaskan seberapa jauh hubungan praktik sufisme dan

sastra. Sejauh yang diketahui, banyak praktik dan gagasan sufistik ditulis dalam

bentuk sastra. Hal ini dimungkinkan karena sufisme merupakan dimensi terdalam

dan tertinggi dari kesadaran hati dan pikiran sehingga praktik kesastraan

merupakan sarana yang paling tepat untuk ungkapan-ungkapan sufistik tersebut.

Tidak mengherankan jika sebagian besar sufi mengungkapkan gagasan

sufismenya ke dalam bentuk puisi dan atau prosa (Madjid, 1989). Itu pula

sebabnya banyak pemikiran sufistik hadir dalam karya sastra. Tidak tertutup

kemungkinan bahwa wacana sufistik tersebut menjadi “pedoman” dalam perilaku

sosial-politik yang dimanfaatkan oleh setiap orang yang meresepsinya.

Sastra sufi dalam tataran nilai bukan saja sebagai wacana gerakan kesastraan,

tetapi lebih luas dari itu merupakan wacana gerakan sosial, politik, dan di atas

semua itu adalah wacana gerakan kebudayaan (Arberry, 1985:6-10). Dalam

konteks tersebut, sastra sebagai salah satu praktik sosial politik dan ideologis,

dapat dipahami bahwa praktik tersebut pada dasarnya tidak bebas dari

kemungkinan pemanfaatan berbagai intensi dan kepentingan, berhadapan dengan

berbagai kepentingan dan ideologiu lain yang saling berebut pengaruh, bukan saja

dalam konstelasi internal kesastraaan itu sendiri, melainkan juga pesan


tersembunyi dari karya sastra yang dihasilkan sastra sufi berhadapan dengan

formasi ideologis di luar dirinya.

Dapat dikatakan bahwa sebagai wacana sejauh ini sufisme dianggap kandungan

terdalam ajaran Islam. Dengan demikian, berbicara mengenai sastra sufi pada

tingkat tertentu toidak dapat dilepaskan dari wacana keislaman secara umum.

Tradisi Sufisme dalam Karya Sastra Indonesia

Sastra merupakan bagian dari tradisi tekstual yang secara turun-temurun

diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga memungkinkannya

mentransmisikan dirinya baik secara internal maupun eksternal sesuai dengan

konteks formasi sosial masyarakat yang menyertainya. Fakta-fakta sejarah telah

menunjukkan bahwa sebagian besar wacana sufisme disampaikan dalam karya

sastra, khususnya puisi. Tradisi karya sastra sufi di Indonesia dipengaruhi oleh

dua pemikir sufi, yaitu Ibn Arabi, pembawa sufisme dengan orientasi filosofis dan

Al-Ghazali sebagai sufisme dengan orientasi suni (Salam, 2004:28-29).

Dalam tradisi sufisme, Schimmel (1986:3) membedakan kedua tradisi besar

tersebut dalam dua tipe, yaitu Mistik Kepribadian (Mysticism of Personality) dan

Mistik Ketakterhinggaan (Mysticism of Infinity). Mistik Kepribadian (Mysticism

of Personality) adalah suatu aliran mistik yang menekankan aspek personal bagi

manusia dan Tuhan. Paham ini menekankan hubungan manusia dan Tuhan

sebagai hubungan antara makhluk (kawula) dan Khalik (Tuhan). Paham ini
percaya bahwa creatio ex nihilo (tuhan menciptakan alam dari kehampaan

menjadi ada, alam merupakan sesuatu yang baru). Paham ini bisa pula disebut

transendentalis mistik, yaitu paham mistik yang mempertahankan adanya

perbedaan yang esensial antara manusia sebagai makhluk dan Tuhan sebagai

Khalik. Tuhan dipandang sebagai Zat yang transenden mengatasi alam semesta.

Sedangkan Mistik Ketakterhinggaan (Mysticism of Infinity) adalah pemahaman

mistisisme Islam yang memandang Tuhan sebagai realitas yang absolut dan tidak

terhingga. Paham ini menempatkan manusia bagaikan percikan ombak lautan

yang serba Ilahi. Dalam tataran yang lebih ekstrem, paham ini bahkan

mengatakan bahwa Tuhan adalah transenden dan imanen sekaligus. Tuhan bukan

saja transenden, mengatasi manusia dan alam semesta, tetepi juga bersemayam

dalam alam semesta dan dalam diri manusia.

Tradisi puisi sufi di Indonesia dikembangkan oleh Hamzah Fansuri (Hadi,

1995:13). Melalui puisi-puisinya, Fansuri mencoba mengekspresikan gagasan

tentang hakikat keberadaan Tuhan, hakikat Rahman dan Rahim, ataupun hakikat

Cinta Tuhan. Secara umum, gagasannya memperlihatkan kecenderungan

wujudiyah, yaitu kecenderungan Tuhan yang omni-present. Puisi-puisinya secara

lengkap memaparkan tahap-tahap eksistensi makhluk hingga sampai ke Tuhan.

Gagasan-gagasan sufisme Fansuri mendapat tantangan dari Nuruddin Arraniri.

Arraniri menganggap ajaran yang menyamakan Zat Tuhan sama dengan alam

semesta, atau alam semesta merupakan emanasi Tuhan, adalah sesat (lebih

lengkap lihat Daudy, 1983:201-239).


Dalam wacana keislaman di Jawa, Geertz mengatakan bahwa masyarakat Jawa

sebagian besar memiliki tradisi Qodiriyyah dan Naqsabandiyyah (Geeertz,

1981:248). Padahal secara teoretis, karena proses asimilasi dengan kepercayaan

tradisional Jawa, kedua tradisi tersebut terafiliasi dalam sufisme filosofis. Shihab

(2001) dalam disertasinya mengatakan bahwa secara umum kecenderungan

sufisme di Indonesia, berafiliasi dan didominasi oleh sufisme suni. Hal ini

berdasarkan pada asumsi bahwa peran penting proses Islamisasi Jawa adalah

peran Wali Sanga. Menurut Shihab, berdasarkan kajiannya terhadap ajaran-ajaran

Wali Sanga, sufisme Wali Sanga adalah sufisme suni.

Doktrin sufisme suni adalah Khalik dan makhluk bukan sesuatu yang dapat

menjadi satu. Sufisme suni lebih menekankan pada aspek transendensi Tuhan.

Tuhan mengatasi (bukan di luar atau di dalam) segala sesuatunya. Posisi manusia

sederajat dan sama saja karena segala sesuatunya ada dalam kendali Tuhan.

Ajaran ini menyakini bahwa pada dasarnya pemimpin dan rakyat adalah dua

fungsi entitas yang berbeda yang tidak dapat disamakan (Dhofier, 1984:143).

Konsep ini berbeda dengan doktrin wahdatul wujud yang meyakini bahwa Tuhan

dan manusia yang fana pada dasarnya mengalami persatuan. Doktrin wahdatul

wujud menekankan aspek imanensi Tuhan, Tuhan dapat hadir dan “menjadi”

dalam manusia. Doktrin ini sebagian besar menjadi osmosis dengan mistisisme

Jawa sehingga sering disebut sebagai Islam Abangan. Salah satu pengarang
Indonesia yang karya-karyanya mengintegrasikan doktrin sufisme suni adalah

K.H. A. Mustofa Bisri.

Konsep Berkesenian K.H. A. Mustofa Bisri

Sebelum membahas mengenai wacana dan tradisi sufisme dalam karya-karya

Mustofa Bisri (Gus Mus) ada baiknya kita lihat bagaimana pandangan Gus Mus

mengenai sufisme dalam sastra. Dalam sebuah perbincangan dengan Aguk

Irawan pada 5 Agustus 2004, K.H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) menyampaikan

pendapatnya mengenai seni bagi kaum sufi. Mustofa Bisri mengemukakan bahwa

seni bagi kaum sufi adalah untuk Tuhan. Sufi itu pendekatannya adalah

keindahan, adalah cinta. Seperti kisah Rabi’ah al Adwiyah, dia tidak peduli pada

apa pun kecuali pada Allah Jadi, apapun yang dia ekspresikan hanya untuk Allah,

tidak untuk siapa-siapa. Sedangkan bagi orang awam, seni itu untuk manusia, dan

manusia itulah yang untuk Allah. Para penyair-penyair sufi senantiasa

mengekspresikan cinta kasih itu kepada Tuhan. Berbeda dengan ulama fiqh,

mereka melihat Tuhan dengan pendekatan khouf (takut). Hal ini akan

menyebabkan implementasi yang berbeda. Seseorang yang beribadah karena

Allah, dan tidak melakukan kemungkaran karena cinta pada Allah, perilakunya

akan kelihatan lebih bebas dari pada mereka yang beribadah dan tidak melakukan

kemungkaran karena takut pada Allah. Sebab, jika orang itu hanya mau dijajah

oleh Allah, maka ia akan menjadi orang yang sangat bebas, sehingga ia kreatif.
Menurut Gus Mus kebebasan seseorang itu akan berhenti ketika berbenturan

dengan kebebasan orang lain. Kebebasan dibatasi juga oleh kebebasan. Jadi

misalkan seseorang mendengarkan radio, karena ia mendengarkan dengan

telinganya sendiri dan membeli radio dengan uangnya sendiri. Namun, orang lain

juga bebas beristirahat, bebas untuk tidak mendengarkan apa pun. Maka dalam

keadaan itu, seseorang yang mendengarkan radio tadi harus berhenti.

Dalam perbincangan tersebut, Gus Mus juga menyampaikan konsepnya dalam

berkesenian. Konsep Gus Mus dalam berkesenian tetap la ilaha illaallah. Hal ini

bukan berarti dalam mengekspresikan seni ia tidak bebas dan masih terikat oleh

agama. Konsep berkeseniannya ini justru menunjukkan kebebasannya dalam

berkesenian. Hal ini terbukti dari tidak ada sesuatupun yang mengikatnya.

Artinya, ia tidak peduli apakah puisinya disebut sebagai puisi kritik sosial, religius

atau apa pun. Dalam melukis pun, ia tidak terikat dengan bentuk khat, apakah itu

diwani dan sebagainya. Masyarakat bebas untuk menilai, menyukai atau tidak

menyukai. Menurutnya, ia bebas melukis matahari dengan warna hijau, karena

tidak ada seorang pun yang bisa melarang kebebasannya. Dan setiap orang harus

dapat menjadi khalifah atas karyanya, sebab itu merupakan kunci dari

kemerdekaan sesungguhnya. Hal ini bukan berarti art to art (seni untuk seni),

tetapi seni untuk manusia!

Dalam kesempatan yang sama, Mustofa Bisri mengatakan bahwa dalam menilai

sastra sebagai sastra religius atau tidak dapat ditinjau melalui dua pendekatan.
Pertama, dengan melihat karyanya, menurutnya karya sastra yang Islami adalah

karya yang tidak berbicara semau-maunya. Di akhir surat Syu’ara ada istitsna

(pengecualian): illa al-ladzina amanu wa’amilu al-shalihati wa dzakaru allaha

katsiraw wantasharu min ba’di ma dhulimu. Yang dimaksud tidak sesat adalah

penyair-penyair yang berbicara tentang keimanan. Kalau tidak, misalkan

berbicara tentang kuda saja, atau ceweq saja, soal macam-macam yang tidak

ketahuan kepentingannya pada manusia, itu dikecam oleh Tuhan. Kedua, dengan

melihat pekerjanya. Kalau dilihat dari penyairnya, jika penyair itu muslim,

seharusnya karya yang dihasilkan religius. Muslim yang sejati adalah segala

sesuatu yang dilakukan harus selalu Islami, tanpa harus diniati untuk menuliskan

yang islami, sebab Islam itu fitrah. Namun, jika kita tidak tahu siapa penyairnya,

kita bisa melihat karyanya. Misal, sebelum Rendra masuk Islam, dia sudah

menulis puisi-puisi yang membela orang-orang lemah dari kezaliman. Puisi-puisi

tersebut bisa dikatakan puisi Islami, walaupun pengarangnya bukan muslim,

sebab karyanya merupakan pembelaan terhadap orang-orang yang terzalimi. Jika

tidak dipengaruhi apa-apa, seorang penyair yang nonmuslim pun akan meulis

secara Islami, sebab itu merupakan fitrah. Karena karya cipta itu mengerahkan

seluruh cipta karsa, semua akan keluar secara otomatis sebagai identitasnya.

Konsep berkesenian Gus Mus ini diekspresikan melalui sajaknya berikut.

Persaksian

aku bersaksi
tiada kekasih
kecuali kau

aku bersaksi tiada kekasih


kecuali kasihmu
aku bersaksi tiada rindu
kecuali rinduku
kepadamu

aku bersaksi
hanya kepadamu
kasihku,
hanya kepadamu

(Bisri, 2000:65)

Wacana dan Tradisi Sufisme dalam Karya-Karya K.H. A. Mustofa Bisri

Mencermati konsep berkesenian Gus Mus, seperti yang telah terurai di atas, dapat

dikatakan bahwa Gus Mus termasuk salah satu penyair di Indonesia yang konsep

berkeseniannya mengikuti kaum sufi dalam menyikapi seni, terlepas dari rasa

suka atau tidak sukanya ia disebut sebagai penyair religius atau penyair sufi.

Secara umum, sebuah karya sastra baru dianggap memenuhi penyebutan sastra

sufi jika karya itu terutama dan pertama adalah karya sastra yang mempersoalkan

prinsip Tauhid, prinsip ke-Ada-an Tuhan, prinsip fana-baka, prinsip penetrasi

Tuhan dan kehendak bebas manusia, serta derivasi yang berkaitan dengan prinsip-

prinsip tersebut. Karya-karya Gus Mus memenuhi kriteria penyebutan sastra sufi

di atas. Untuk memperkuat pernyataan tersebut, bisa dilihat dari beberapa karya

Gus Mus yang senantiasa mengintegrasikan wacana dan tradisi sufisme dengan

kebebasannya dalam berkesenian dan mengekspresikan cinta kasih hanya untuk

Allah berdasarkan konsep berkesenian la ilaha illaallah.


Secara umum, kecenderungan sufisme dalam karya sastra Indonesia, khususnya

Jawa, didominasi oleh sufisme suni. Kecenderungan ini juga nampak

mendominasi karya-karya Gus Mus, sebagaimana beberapa kutipan berikut.

SAJAK CINTA

….

Aku adalah ombak samuderamu


Yang lari-datang bagimu
Hujan yang berkilat dan berguruh mendungmu

Aku adalah wangi bungamu


Luka berdarah-darah durimu
Semilir sampai badai anginmu

Aku adalah kicau burungmu


Kabut puncak gunungmu
Tuah tenungmu

Aku adalah titik-titik hurufmu


huruf-huruf katamu
kata-kata maknamu

aku adalah sinar silau panas


dan baying-bayang hangat mentarimu
bumi pasrah langirmu

aku adalah jasad ruhmu


fayakun kunmu

aku adalah a-k-u


k-a-u
mu

Rembang, 30.9.1995 (Bisri, 1996:34-35; 2000:12)

Dalam kutipan di atas, pada beberapa kalimat mengesankan adanya penyatuan diri

antara Tuhan dan manusia. Hal ini dapat dilihat dari kalimat /Aku adalah ombak

samuderamu/, /aku adalah wangi bungamu/, /aku adalah kicau burungmu/, /aku

adalah titik-titik hurufmu/ , /aku adalah sinar silau panas/ /dan bayang-bayang
hangat mentarimu/, /aku adalah jasad ruhmu/. Beberapa kalimat tersebut

menunjukkan bahwa antara aku dan Tuhan merupakan satu kesatuan yang sama,

sebab ombak merupakan wujud (gerak) dari samudera, wangi merupakan bau dari

bunga, kicau merupakan suara dari burung, titik-titik merupakan unsur-unsur

pembentuk struktur dari huruf, jasad merupakan bentuk perwujudan (verbal) dari

ruh (yang ghoib). Namun, akhir sajak tersebut merupakan kunci yang

menunjukkan bahwa Tuhan dan manusia merupakan entitas yang berbeda.

Frasa /fayakun kunmu/ mengindikasikan bahwa aku (manusia) adalah “fayakun

kunmu” artinya, adanya aku (manusia) karena kehendak-Mu (Tuhan), karena

Tuhan mengatakan “kun” (jadilah!) kemudian “Fayakun” (“Maka jadilah

manusia”). Dengan demikian, frasa ini menunjukkan dua entitas yang berbeda

antara Tuhan dan manusia, sebab Tuhanlah yang menciptakan manusia, dan

manusia ada karena Tuhan. Sajak di atas diakhiri dengan penegasan dua entitas

yang berbeda antara aku dan kau, antara manusia dan Tuhan, melalui frasa /aku

adalah a-k-u/ /k-a-u/ /mu/. Kata “aku” dan “kau” merupakan dua kata yang terdiri

dari tiga huruf yang sama. Pada awalnya seolah-olah merupakan satu entitas yang

sama. Namun, karena huruf-huruf tersebut dirangkai dengan penyusunan berbeda

sehingga menghasilkan dua kata yang berbeda, “a-k-u” dan “k-a-u”, dua entitas

yang berbeda. Dengan demikian, frasa /aku adalah a-k-u/ /k-a-u/ /mu/

mengindikasikan bahwa sesungguhnya aku adalah aku, bukan kau, tetapi aku

adalah kaumu (orang kedua bagi dirimu).


Puisi yang berjudul “Ittihad” berikut juga menunjukkan adanya Tuhan dan

manusia merupakan dua entitas yang berbeda.

Ittihad

lalu atas izinmu


kita pun bertemu

dan senyummu
menghentikan jarak dan waktu

lalu atas izinku


kita pun menyatu

Ramadhan 1422 (Bisri, 2002:33).

Sesuai dengan judulnya, puisi di atas membicarakan tentang “Ittihad” atau

penyatuan. Yang dimaksud menyatu dalam hal ini bukanlah penyatuan antara

manusia dan Tuhan dalam bentuk fisik, tetapi dalam bentuk batin. “Ittihad”

berasal dari kata “tauhid” yang artinya “satu”. Tauhid bukanlah “men-satu-kan”

Tuhan, atau “menyatu” dengan Tuhan, sebab Tuhan adalah satu dengan

sendirinya. Tetapi tauhid adalah menggerakkan diri, menyatu ke Allah yang

Satu. Atau dapat dikatakan merupakan kesadaran wahid (proses perjalanan

menuju Allah). Hal ini diindikasikan melalui frasa /lalu atas izinku/ /kita pun

menyatu/. Frasa tersebut menegaskan bahwa penyatuan tersebut merupakan

“usaha” manusia, atau proses perjalanan manusia untuk menyatu (mendekat) pada

Allah. Sedangkan “bertemu”nya manusia dan Tuhannya tetap karena kehendak-

Nya sebagaimana tertulis dalam frasa /lalu atas izinmu/ /kita pun bertemu/.

Proses perjalanan manusia untuk menyatu (mendekat) pada Allah juga

diekspresikan melalui beberapa karyanya berikut.


FRAGMEN

***
bahkan kujenguk surga
kulihat kerendahanhati sang maha penguasa
ketika meminta pendapat hamba-hambanya
dan keberanian mereka
menyatakan pendapat apa adanya
menjelang penciptaan bapa kita:
apakah paduka hendak mencipta
malapetaka di dunia?

***
ada rahasia yang tak pernah terbuka
ada tanya yang terus memburu jawabnya:
kenapa ia tetap menciptakannya?
kenapa lalu semua diminta menghormatinya?
atau ah, apa hak kita bertanya?

***
sebelumnya, seperti kemudian juga,
kulihat iblis bermain-main seenaknya
di rongga-rongga tanah liat berbentuk manusia
ada ruang kosong dimana-mana, katanya
aku dari api bisa
selalu keluar-masuk ke dalamnya
aku dari api, tanah liat ini bisa
kubikin buta-bisu-tuli-kaku selamanya
aku dari api, bisa kubakar apa saja
wahai, alangkah congkak lagaknya!
Tapi kemudian tuhan meniupkan cahya
memenuhi tiap-tiap rongga yang ada
tanah liat pun bergerak bernyawa
hidup dan merdeka!

***

di rongga-rongga tanah liatku


aku mencoba menyelam
o, alangkah asyiknya!
Tapi tiba-tiba pusaran gelombang panas api
mencoba menyedotku
oleng aku dalam pengap gelap
tanah liat yang bisa segera membatu
maka kucari cahaya
o, cahaya!
apungkan aku dalam samuderamu!
apungkan,
aku ingin berlayar saja
lebih dulu

***
cahaya membetot diriku
dan akhirnya kulihat langit
dari langit meluncur kilau basmalah
kilau hamdalah
maka
dari ba-basmalah
dan ha-hamdalah
kupasang tiang alif
kusiapkan kayuh laam
kukembangkan layar miim
dan kulayari laut firmanmu
yang aduhai luas dan agung

***
kini aku siap mengarungi
bahkan urat nadiku sendiri
hingga daerah paling angker
dalam diriku

***
1416 (Bisri, 1996:70-72).

“Fragmen” berarti cuplikan atau petikan (sebuah cerita, lakon, dan sebagainya),

dalam konteks ini “Fragmen” yang dipakai sebagai judul sajak dapat diartikan

sebagai cuplikan atau petikaan sebuah cerita mengenai kehidupan manusia.

Mengingat bentuknya sebagai cuplikan atau petikan, maka peristiwa-peristiwa

yang dipaparkan tidak disajikan secara utuh (menyeluruh), namun hanya bersifat

fragmentaris belaka. Hal ini seperti yang dikemukakan Mustofa Bisri dalam

“Pengantar” kumpulan puisi Wekwekwek (Bisri, 1996:xi) bahwa “Fragmen”

merupakan petikan dari sebuah sajak yang sampai sekarang belum -dan entah

kapan akan- selesai.


Larik pertama “bahkan kujenguk surga” mengekspresikan adanya peristiwa yang

telah terjadi, yaitu peristiwa akan diciptakannya manusia. Dalam bait ini

ditunjukkan kerendahan hati Sang Pencipta, sekaligus keberanian malaikat untuk

menyampaikan pendapat melalui larik “kulihat kerendahanhati sang maha

penguasa” “ketika meminta pendapat hamba-hambanya” “dan keberanian

mereka” “menyatakan pendapat apa adanya”. Sang Maha Penguasa seharusnya

telah mengetahui segalanya (baik yang belum terjadi, sedang terjadi, maupun

yang telah terjadi), sehingga sebenarnya ia tidak perlu meminta pendapat hamba-

hambaNya. Tetapi, dalam hal ini (seperti diekspresikan dalam sajak di atas) Ia

tetap meminta pendapat hamba-hambaNya. Hal ini menunjukkan bahwa Ia sangat

rendah hati. Begitu pula malaikat yang diekspresikan berani mengungkapkan

pendapatnya dengan menyampaikan pertanyaan “apakah paduka hendak

mencipta” “malapetaka di dunia?”. Kerendahan hati Sang Maha Penguasa dan

keberanian malaikat menyampaikan pendapatnya yang diekspresikan dalam sajak

di atas merupakan sebuah kritik bagi manusia, bagi para penguasa yang seringkali

sombong dan merasa tidak perlu meminta pendapat orang lain (bawahannya) juga

bagi rakyat yang seringkali tidak berani menyampaikan pendapat.

Bait kedua dari sajak di atas mengekspresikan bahwa sampai saat ini ada rahasia

yang tidak pernah terbuka sehubungan dengan proses penciptaan manusia

tersebut. Setelah meminta pendapat malaikat tentang rencana penciptaan

manusia, Allah tetap menciptakan manusia sesuai rencana semula, bahkan setelah

tercipta diminta untuk menghormatinya. Padahal, malaikat saat itu menanyakan


untuk apa Tuhan menciptakan manusia yang akan membuat malapetaka di

dunia?.

Realitas mengenai tetap diciptakannya manusia dan makhluk lain diminta untuk

menghormatinya tersebut menjadikan timbulnya berbagai pertanyaan yang tetap

tidak akan terjawab dan menjadi rahasia. Hal ini seperti tersebut dalam Surat Al-

Baqarah ayat 30 yang artinya: “Ia berkata: “Sesungguhnya Aku amat mengetahui

apa yang kamu tidak ketahui”. Dengan jawaban itu, menurut Hamka (1982:162)

Allah tidak membantah pendapat dari malaikatnya, hanya menjelaskan

bahwasanya pendapat dan ilmu mereka tidaklah seluas dan sejauh pengetahuan

Allah. Bukannya Allah memungkiri bahwa kerusakan akan timbul dan darah pun

akan tertumpah tetapi ada maksud lain yang lebih jauh dari hal itu, sehingga

kerusakan hanyalah sebagai pelengkap saja, dan pembangunan serta pertumpahan

darah hanyalah satu tingkat perjalanan hidup saja di dalam menuju kesempurnaan.

Berdasarkan penjajaran dan pembacaan dua teks (teks puisi dan teks Al-Qur’an)

ditemukan adanya kalimat yang hipogramatik, yaitu “apakah paduka hendak

mencipta”, “malapetaka di dunia?”. Kalimat tersebut merupakan teks

transformasi dari Surat Al-Baqarah ayat 30 yang artinya:

Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu berkata kepada malaikat: “sesungguhnya


Aku hendak jadikan seorang khalifah di bumi”. Mereka berkata: “Apakah
Engkau mau jadikan padanya makhluk yang akan berbuat bencana padanya
dan akan menumpahkan darah, padahal kami berbakti dengan memuji-Mu
dan memuliakan-Mu?” Ia berkata: “Sesungguhnya Aku amat mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui” (QS. 2:30).
Bait ketiga sajak “Fragmen” berisi tentang kecenderungan iblis untuk selalu

menjerumuskan manusia, karena ia merasa terbuat dari api sedangkan manusia

terbuat dari tanah. Sebelum manusia berada di bumi (Adam saat masih berada di

surga) sampai saat ini, iblis telah menunjukkan bahwa ia dapat bermain-main

seenaknya, hal ini mengiaskan bahwa iblis dapat dengan mudah dan

berkecendrungaan untuk selalu menjerumuskan manusia. Hal ini dilakukan

terutama pada saat manusia dalam keadaan kosong. Iblis yang merasa terbuat dari

api mengatakan bahwa ia dapat keluar-masuk ke dalam jiwa manusia yang

kosong, dapat membuat manusia menjadi seperti orang buta, bisu, tuli, dan kaku

selamanya, serta dapat membakar apa saja. Kenyataan ini menunjukkan sifat iblis

yang congkak. Untuk mengantisipasi kekosongan jiwa manusia, kemudian Tuhan

memberikan petunjuk yang dapat menerangi jalan hidupnya. Dengan demikian,

manusia dapat hidup secara merdeka, tidak merasa tertekan oleh sesuatupun,

termasuk iblis.

Sebelum dilaknat Allah untuk meninggalkan surga, iblis menunjukkan sifatnya

untuk memusuhi dan menjerumuskan manusia, yaitu dengan sikapnya menolak

untuk menghormati manusia karena ia merasa lebih mulia. Sejak saat itu, sampai

sekarang iblis selalu berkecenderungan untuk menjerumuskan manusia dengan

seenaknya, maksudnya dengan berbagai cara dan segala tipu dayanya. Hal ini

tersirat dalam baris pertama dan kedua dalam bait ketiga “sebelumnya, seperti

kemudian juga”, “kulihat iblis bermain-main seenaknya”. Larik ini sekaligus

merupakan kalimat yang bersifat hipogramatik, karena mengacu pada Surat Al-
A’raf ayat 17 yang artinya: “Kemudian, aku akan datangi mereka dari hadapan

mereka dan dari belakang mereka, dan dari kanan mereka, dan dari kiri mereka;

dan tidak akan Engkau dapati kebanyakan dari mereka itu berterima-kasih”.

Bait keempat sajak “Fragmen” berisi tentang proses pencarian kebenaran dalam

kehidupan manusia, sebuah proses perjalanan menuju Tuhan (kebenaran hakiki).

Dalam menjalani hidupnya, si aku berusaha untuk menyelami diri sendiri

(mencoba untuk mencari jati diri): “aku mencoba menyelam”. Dalam proses

pencarian kebenaran tersebut, si aku tiba-tiba dikelilingi oleh pusaran gelombang

panas api: “tapi tiba-tiba pusaran gelombang panas api”, “mencoba menyedotku”.

Pusaran gelombang panas api ini mengiaskan godaan-godaan setan yang setiap

saat selalu berusaha untuk menariknya ke dunia yang menyesatkan. Si aku jadi

terombang-ambing dalam keadaan yang pengap dan gelap, yaitu keadaan yang

tidak menentu dan menyesakkan jiwa. Sebelum benar-benar terseret dan

terbelenggu dalam kesesatan tersebut, sebelum membatu, maka aku berusaha

untuk mencari petunjuk yang dapat menerangi jalan hidupnya, yang dikiaskan

melalui: “maka kucari cahaya”. Tanda cahaya dalam hal ini mengiaskan tentang

petunjuk yang dapat menerangi sesuatu. Si aku merasa belum mantap dan ingin

mempelajari petunjuk tersebut terlebih dahulu. Realitas ini dikiaskan dengan

tanda apungkan berarti jangan tenggelamkan (biarkan mengambang). Hal ini

menunjukkan keadaan yang belum mantap (terapung, mengambang). Untuk

memantapkan dirinya, si aku justru mengapungkan dirinya ke dalam samudra.

Samudra dalam hal ini melambangkan sumber dari segala sumber petunjuk.
Dalam rangka memantapkan diri untuk mendapatkan suatu pengalaman hidup,

sehingga tidak lagi merasa mengambang si aku ingin berlayar lebih dahulu,

artinya berusaha untuk mempelajari dan memperoleh petunjuk tersebut.

Realitas yang diekspresikan dalam bait keempat ini mengingatkan pembaca akan

suatu proses kehidupan yang biasa dialami oleh setiap manusia dalam proses

pencarian jati dirinya. Dalam proses ini selalu ada setan yang berusaha untuk

menjerumuskan ke arah kesesatan, serta ada hati kecil yang berusaha untuk tetap

mencari kebenaran tersebut. Dalam situasi demikian, seseorang harus dapat

menentukan pilihan yang tepat agar tidak terjerumus ke arah kesesatan.

Bait kelima berisi suatu kutipan mengenai proses menemukan pegangan hidup. Si

aku telah menemukan pegangan hidup, hal ini tersirat dari “cahaya membetot

diriku”. Tanda cahaya menyiratkan suatu petunjuk yang membetot, menarik kuat-

kuat, diriku. Hal ini berarti si aku telah menemukan petunjuk, sampai si aku

menemukan harapan. Tanda langit mengiaskan adanya harapan yang terbentang

(masa depan). Harapan yang terbentang akan dapat teraih, hal ini tersirat dalam

larik “dari langit meluncur kilau basmalah”, “kilau hamdalah”. Basmalah

merupakan tanda dimulainya suatu pekerjaan, dan hamdalah merupakan tanda

berakhirnya suatu pekerjaan. Dengan meluncurkan kilau basmalah dan hamdalah

menandakan bahwa telah tercapainya sesuatu dengan gemilang.


Dalam bait ini dipaparkan bahwa si aku menemukan pegangan hidup (cahaya)

yang berwujud Al-Qur’an. Hal ini tersirat dari penyebutan dalam teks puisi

tersebut, yang menyimbolkan urutan dalam Al-Qur’an, yaitu diawali dengan

basmalah, hamdalah (kalimat pertama pada surat pertama di Al-Qur’an), dan

rangkaian huruf alif, laam, dan miim.

Larik “kupasang tiang alif”, “kusiapkan kayuh laam”, “kukembangkan layar

miim” mengingatkan kita akan rangkaian kalimah Alif-laam-miim dalam Al-

Quran. Menurut Ibnu Abbas (dalam Hamka, 1992:31), ketiga huruf itu adalah

isyarat kepada tiga nama: Alif untuk nama Allah; Laam untuk Jibril, dan Miim

untuk Muhammad. Tanda “kupasang tiang alif” berarti menegakkan ajaran Allah,

menegakkan kebenaran diperlukan alat, sarana (kayuh, alat untuk mengarungi

lautan). Kayuh tersebut bentuknya seperti huruf laam, dan laam berkonotasi pada

Jibril. Maka kusiapkan kayuh laam, berarti Allah menyampaikan kebenaran

dengan firmannya yang disampaikan pada Muhammad melalui Jibril;

“kukembangkan layar miim, berarti mengembangkan/ menyebarkan ajaran Allah,

dalam hal ini yang mengembangkan adalah Muhammad. Dengan berbekal

petunjuk tersebut, aku lirik berusaha memahami firman-firman Allah yang

sungguh luas maknanya dan agung ajarannya.

Bait keenam ini merupakan pernyataan si aku lirik yang telah siap menghadapi

kehidupan dengan berbekal petunjuk/ pedoman hidup yang telah didapatkannya.

Urat nadi dalam konteks ini mengiaskan tentang hidup mati si aku, sedangkan
daerah paling angker dalam diriku mengiaskan tentang ego si aku. Akhir sajak ini

mengungkapkan tentang kesiapan si aku dalam mengarungi kehidupannya. Si aku

rela menyerahkan hidup-matinya, serta siap mengorbankan egonya guna

menegakkan kebenaran dalam kehidupannya.

Puisi “Fragmen” di atas mengekspresikan kesadaran wahid, yaitu proses

perjalanan menuju Tuhan. Tuhan, salah satu makna filosofisnya adalah yang

dinomorsatukan. Setiap makhluk, setiap manusia adalah ahad-ahad yang

menempuh perjalanan menuju Wahid dengan metode tauhid, yaitu

menomorsatukan Tuhan di setiap langkah hidupnya. Hal ini sebagaimana

diekspresikan dalam sajak berikut.

Tiada Lain


karena dalam hidupku
hanya ada kau
tiada lain
akulah kau
tiada lain

karena dalam hidupku


hanya ada aku
tiada lain
kaulah aku
tiada lain

tiada lain.

Rembang, April 2001 (Bisri, 2002:47-48)

Kutipan di atas mengekspresikan penomorsatuan Tuhan dalam setiap langkah

kehidupan. Penomorsatuan Tuhan dalam setiap langkah kehidupan merupakan


wujud cinta illahiah sebagaimana kutipan syair tokoh sufi perempuan Rabi’ah al-

Adawiyah berikut.

Aku mengabdi kepada Tuhan


Bukan karena takut neraka…
Bukan pula karena mengharap masuk surga…
Tetapi aku mengabdi, karena cintaku pada-Nya

(Asfari dan Otto Sukatno, 2005:140).

Dalam kumpulan puisi Sajak-Sajak Cinta: Gandrung, Gus Mus mengekspresikan

wacana sufisme tentang cinta illahiah yang pernah disampaikan oleh Rabi’ah al-

Adawiyah. Hampir semua sajak daam kumpulan puisi itu berbicara tentang cinta

illahiah, cinta pada apapun yang senantiasa muncul karena Allah, bukan karena

yang lain. Frasa-frasa /Aku mengiri/ /kepada persahabatan suci/ /hamba-hamba

Allah/ /Rabiah dan Hasan Basri/ /Bagaimana mereka bercengkerama/ /tanpa

membatalkan puasa/ dalam sajak “Aku Mengiri” mengekspresikan bahwa

kekuatan cinta pada Allah bisa mengalahkan nafsu yang secara lahiriah ada dalam

setiap diri manusia. Di dunia ini tiada yang satu selain Alah yang satu, tiada

lainnya. Demikian pula tiada yang paling benar, selain Allah yang Maha Benar.

Kebenaran merupakan lawan dari kesalahan, kesesatan, dan kepalsuan. Menurut

Spinoza, kebenaran mempunyai standar sendiri (Bagus, 1996:412). Dengan kata

lain, kebenaran bisa bersifat relatif meskipun hakikatnya, hanya ada satu

kebenaran mutlak yaitu kebenaran Ilahiah. Kebenaran merupakan nilai yang

seharusnya dijunjung tinggi dalam kehidupan. Namun, karena kebenaran berada

dalam tataran konsep, maka penerapannya dalam kehidupan cenderung subyektif,


tergantung pada interpretasi masing-masing pelakunya. Pada akhirnya kebenaran

selalu “memunculkan diri” untuk memancarkan cahanya menerangi setiap

kepalsuan, kesesatan dan kesalahan. Sudah sewajarnya jika tiap manusia saling

mengingatkan inti nilai kebenaran yang kadang tertutupi oleh tindakannya sendiri.

Beberapa sajak Gus Mus yang menyuarakan realitas nilai kebenaran diantaranya

sebagai berikut.

RUBAIYAT RUMPUT

Langit dan laut saksinya


Aku sudah mengikat janji dengan mentari
Akan mengumpulkan embun-embun setiap pagi
Dari pelupuk rumput-rumput yang merana.

Langit dan laut saksinya


Sudah kami kumpulkan sebisa kami
Butir-butir mutiara setiap hari
Angin jahatlah yang terus membuatnya sirna.

1415 (Bisri, 1995:47).

Sajak di atas mengekspresikan mengenai semangat untuk terus memperjuangkan

kebenaran. Larik “akan mengumpulkan embun-embun setiap pagi”, “Dari

pelupuk rumput-rumput yang merana” mengandung pengertian bahwa si aku lirik

akan terus berusaha mengumpulkan kemurnian kebenaran yang terpancar dari

kesengsaraan dan penderitaan orang-orang tertindas. Kemurnian nurani yang

berisi kebenaran dimetaforkan sebagai embun yang muncul setiap pagi, membawa

kesegaran ke sekelilingnya. Sedangkan rumput-rumput yang merana merupakan

metafor dari manusia-manusia yang tertindas oleh ganasnya peradaban dunia.


Dalam sajak di atas, kebenaran selain dimetaforkan melalui kata “embun”juga

dimetaforkan melalui kata “mutiara”. Mutiara, seandainya terpendam lumpur,

pun keindahannya akan tetap terpancar. Demikian pula halnya dengan kebenaran

yang selalu memancar meskipun “angin jahat” selalu “membuatnya sirna”. Sajak

di atas mempunyai tendensi yang cukup besar dalam mengekspresikan pentingnya

menegakkan kebenaran dalam setiap sendi kehidupan. Jika dunia telah menjadi

yang sangat rumit dan penuh kemunafikan, kebenaranlah yang akan selalu

menuntun manusia mencapai ketenangan dan kebahagiaan hidup, baik untuk

dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Kebenaran yang muncul dari orang-

orang yang tertindas lebih berpretensi untuk jujur daripada kebenaran yang

muncul dari orang-orang yang memegang kekuasaan karena kebenaran yang

demikian mempunyai kemungkinan untuk dimanipulasi.

Melalui sajak satu barisnya berikut, Gus Mus mengekspresikan realitas kebenaran

hakiki.

BUTA (semula GELAP)

Tertutup cahaya

1990
(Bisri, 1993:56)

Varian “Tertutup cahaya” dapat dibaca sebagai “tertutup (dari) cahaya” atau juga

“tertutup (oleh) cahaya”. Tertutup (dari) cahaya berarti tidak mendapatkan cahaya

sedikitpun. Hal ini mengimplisitkan situasi yang gelap. Gelap merupakan judul

awal sajak di atas sebelum diganti menjadi “Buta”. Cahaya dalam varian di atas
melambangkan kebenaran. Seseorang yang tidak pernah mendapatkan kebenaran

dalam hidupnya maka ia akan senantiasa berada di kegelapan (jalan yang salah).

Tertutup (oleh) cahaya berarti memperoleh cahaya yang berlebihan sampai

menyilaukan mata sehingga menjadi buta. Hal ini sejalan dengan judul sajak di

atas. Seseorang yang telah berada di jalan yang benar, dan merasa dia paling

benar sehingga takabur, maka orang tersebut sama halnya dengan orang yang buta

(tidak dapat membedakan yang baik dan yang buruk). Seseorang yang tertutup

(dari) ataupun (oleh) kebenaran pada hakikatnya sama dengan buta, karena ia

tidak mampu membedakan antara yang benar dan yang salah.

Berkaitan dengan hal di atas, maka dalam proses pencarian kebenaran hendaknya

selalu tetap waspada. Hal ini diekspresikan Gus Mus melalui sajak berikut.

TAKDIM

….
Puisi boleh jadi berjasad kata
Tapi belum tentu makna
Yang kau tangkap adalah ruhnya.

(Bisri, 1995:9).

Sajak di atas mengekspresikan realitas mengenai kebenaran yang disampaikan

melalui kata-kata. Kata-kata atau bahasa merupakan bagian dari kehidupan

manusia. Frasa-frasa /Puisi boleh jadi berjasad kata/ /Tapi belum tentu makna/

/Yang kau tangkap adalah ruhnya/ mengekspresikan bahwa puisi disusun

berdasarkan kata-kata, dan untuk memahaminya tidak sekedar mencari makna

dibalik kata-kata tersebut, tetapi yang lebih penting adalah mencari hakikat
kebenaran dibalik makna yang didapatkan. Untuk mendapatkan “ruh” yang

dimaksud dalam sajak di atas diperlukan pemahaman tentang hal-hal yang

diekspresikan dalam kata-kata yang telah dimaknai tersebut, artinya tidak sekedar

tergantung pada teks puisi tetapi juga menghubungkan dengan aspek luar yang

dibicarakan.

Sajak di atas selain membawa pesan kewaspadaan, juga mengajak pembaca untuk

selalu melakukan perenungan agar dapat menangkap “ruh” dari “puisi kehidupan”

dan tidak terpedaya oleh kepalsuan-kepalsuan. Dalam mencari hakekat

kebenaran, jangan melihat siapa yang menyampaikan kata-kata, namun harus

dilihat hakikat dibalik makna yang disampaikannya, sehingga yang dipentingkan

adalah pesan atau apa yang disampaikan. Realitas kebenaran yang disampaikan

dalam sajak-sajak Gus Mus selain menumbuhkan semangat untuk senantiasa

memperjuangkan kebenaran juga memberikan peringatan agar berhati-hati dalam

rangka pencarian kebenaran.

Dalam menulis cerpen, Gus Mus tidak melambungkan imajinasi ke dalam

absurdisme atau surealisme. Tokoh-tokoh dalam cerpennya dihadirkan sebagai

manusia yang mendarah daging, bukan malaikat, dan juga bukan iblis. Melalui

cerpen-cerpennya Gus Mus membaurkan realitas dan imajinasi dan menghadirkan

wacana dan tradisi sufisme. Gus Mus dapat meyakinkan pembaca bahwa sufisme

bukanlah suatu narasi absurd, melainkan sebuah pencerahan yang berpendar

dalam religiusitas kaum santri.


Cerpennya yang berjudul “Gus Jakfar” (Bisri, 2003:1-12) menghadirkan kearifan

sufisme tokohnya. Wacana sufisme yang dihembuskan melalui cerpen ini adalah

“kebenaran mutlak adalah kebenaran ilahiah”. Tokoh Gus Jakfar yang

direpresentasikan sebagai tokoh yang “weruh sak durunge winareh”, tokoh yang

bisa membaca tanda-tanda tiba-tiba berubah tidak lagi mau membaca tanda-tanda.

Hal ini disebabkan oleh pertemuannya dengan seseorang yang disebut sebagai

Kiai Tawakkal, yang pada awalnya di keningnya ia baca tanda yang berbunyi

“Ahli Neraka”. Kiai Tawakkal adalah seorang kiai yang mempunyai nama lain

Mbah Jogo. Sebagai seorang kiai ia juga mempunyai kebiasaan yang disebut

sebagai lelana brata, yaitu mengunjungi warung-warung yang berkonotasi negatif

(tempat mesum) di malam hari. Hal ini yang membuat Gus Jakfar yakin akan

kebenaran tanda-tanda yang dibaca di kening Kiai Tawakkal tersebut. Namun, ia

kemudian tersadarkan oleh tegur Kiai Tawakkal yang mengetahui kalau ia

mempunyai kelebihan membaca tanda-tanda dan ia membuntuti dirinya untuk

meyakinkan kebenaran tanda-tanda yang dibacanya tersebut. Pertemuan tersebut

menyadarkan dirinya, bahwa segala sesuatu yang dilihat manusia bukan

merupakan hasil dari pandangan kalbu yang bening. Selain itu, neraka dan sorga

adalah milik Allah, sehingga terserah Allah mau memasukkan hambanya ke

neraka atau sorga. Tidak ada jaminan bahwa amalan seorang kiai akan

mengantarkannya ke sorga, atau orang-orang yang selama ini dipandang sebelah

mata sebagai sampah masyarakat pasti masuk neraka. Seseorang yang berbuat

baik karena ia ingin dipandang baik olehnya, karena ingin berdekat-dekat dengan-

Nya, tetapi tidak berhak menuntut balasan kebaikan yang telah dilakukannya.
Seseorang yang mendapat kelebihan berupa anugerah, seperti dapat membaca

tanda-tanda, hendaklah berhati-hati, karena hal tersebut akan cenderung

membesarkan diri sendiri dan takabur. Wacana sufi dalam cerpen ini dihadirkan

melalui sikap tokoh, khususnya tokoh Kiai Tawakkal dan Gus Jakfar. Amanah

yang disampaikan adalah kebenaran hanya milik Allah, sesuatu yang nampak

secara fisik atau berupa tanda-tanda belum tentu benar manusia dalam

“membaca”nya. Benar atau baik menurut manusia belum tentu benar atau baik

menurut Allah, demikian pula sebaliknya. Oleh karenanya manusia harus

senantiasa bertawakkal pada Allah dalam setiap gerak kehidupannya.

Wacana sufisme juga hadir dalam cerpen “Lukisan Kaligrafi” (Bisri, 2003: 62-

71). Cerpen tersebut mengisahkan sebuah lukisan Ustadz Bachri yang

menggemparkan, karena selain sebagai pelukis pemula yang dinilai berhasil

melukis “dari dalam” juga lukisan itu laku dengan harga 10.000 US Dollar, dan

tidak muncul saat difoto. Ustadz Bachri semula berniat melukis lafal Allah, tetapi

karena saat menulis huruf Alif letak tulisannya persis di tengah-tengah kanvas,

maka ia tak melanjutkan, dan oleh temannya lukisan tersebut diberi judul “Alifmu

Tegak Dimana-Mana”. Amanah yang hendak disampaikan melalui cerpen ini

adalah Allah (yang diindikasikan dengan huruf Alif dalam lukisan) berada di

mana-mana, sehingga jika Allah berkehendak maka segala sesuatu yang tidak

mungkin akan terwujudkan. Wacana tersebut dihadirkan melalui narasi yang

seolah-olah “kebetulan” Hanya karena kehendak Allahlah maka aspek kebetulan

bisa menjadi keajaiban. Secara kebetulan Hardi melihat tulisan di rajah hingga
menawari Ustadz Bachri ikut pameran lukisan, secara kebetulan tulisan alif yang

digoreskan Ustadz Bachri untuk mengawali tulisan Allah letaknya persis di

tengah-tengah kanvas, sehingga tidak jadi dilanjutkan, secara kebetulan Hardi

yang pandai berorasi dan pandai mengarang cerita memberi judul lukisan itu “

Alifmu Tegak Dimana-Mana”, dan secara kebetulan dua warna yang tersisa

adalah warna putih dan silver sehingga mengakibatkan lukisan alif tersebut tidak

nampak saat difoto. Tidak nampaknya lukisan kaligrafi yang difoto tersebut

menyebabkan munculnya kesan magis, namun adanya penjelasan tentang hal

tersebut membuat cerpen ini lebih realis, dan tidak berbau takhayul.

Fenomena wacana dan tradisi sufisme dalam karya-karya Gus Mus menjadi

menarik karena ia muncul dari sebuah obsesi kreatif yang otentik, berakar pada

tradisi kehidupan sehari-harinya. Ia melakukan eksplorasi narasi dan imaji dari

lubuk batinnya sendiri dan mencari idiom estetik yang berkembang dalam

atmosfer keulamaannya. Cara bertuturnya yang tidak mengada-ada, apa adanya

menjadi warna dan style penulisan Gus Mus.

Mistisisme yang memancar dalam cerpen-cerpen Gus Mus berbeda dengan

cerpen-cerpen spiritualismenya Danarto. Wacana sufisme yang dihadirkan dalam

cerpen-cerpen Gus Mus tidak terperangkap dalam dunia magis yang mengarah

pada “takhayul”, tetapi lebih bermuara pada mata hati dan tetap memelihara ruh

syariat dan kaidah-kaidah keagamaan.


Penutup

Wacana dan tradisi sufisme yang dimobilisasi dalam karya-karya Gus Mus adalah

sebagai berikut. Pertama, dimensi ketauhidan menjadi landasan bagi pemahaman

terhadap pemaknaan konsep ahad dan wahid. Setiap makhluk, setiap manusia

adalah ahad-ahad yang menempuh perjalanan menuju wahid dengan metode

tauhid, yaitu menomorsatukan Tuhan di setiap langkah kehidupannya. Kedua,

dalam perspektif wacana dan tradisi sufisme, Gus Mus berusaha memahami,

mendekati, dan memaknai secara kreatif dan aktual berbagai persoalan

ketidakadilan, penindasan, cinta, dan sebagainya dengan terus-menerus

ber”proses” dan “menjadi” menuju “keabadian hakiki”. Dengan keyakinan ini ia

mencoba mengajak manusia untuk memperjuangkan dan memobilisasi nilai-nilai

yang inheren dalam ketasawufan seperti yang dijanjikan Allah Swt. Untuk itu,

Gus Mus pun mengajak kita berdoa:


Ya Allah ya Tuhanku
AmpunanMu lebih kuharapkan
dari pada amalku
RahmatMu lebih luas
dari pada dosaku
Ya Allah ya Tuhanku
Bila aku tak pantas
mencapai rahmatMu
RahmatMu pantas mencapaiku
Karena rahmatMu mencapai apa saja
Dan aku termasuk apa saja
Ya Arhamarrahimin!

1415 (Bisri, 1996:73).

IDA NURUL CHASANAH


Dosen Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya
DAFTAR PUSTAKA

Arberry, A.J. 1985. Pasang Surut Aliran Tasawuf. Bandung: Mizan.

Asfari dan Otto Sukatno CR. 2005. Mahabbah Cinta Rabi’ah al-Adawiyah.
Yogyakarta: Logung Pustaka.

Bagus, Lorens. 1999. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bisri, Mustofa. 1993. Tadarus. Yogyakarta: Prima Pustaka.

___________. 1995. Rubaiyat Angin dan Rumput. Jakarta: Kerjasama Majalah


Humor dan Matra Multi Media.

___________. 1996. Wekwekwek: Sajak-Sajak Bumi Langit. Surabaya: Risalah


Gusti.

___________. 2000. Sajak-Sajak Cinta: Gandrung. Rembang: Yayasan Al-


Ibriz.

___________. 2002. Negeri Daging. Yogyakarta: Bentang.

___________. 2003. Lukisan Kaligrafi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Daudy, Ahmad. 1983. Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nurudin Ar-
Raniri. Jakarta: Rajawali Pers.

Dhofier, Zamakhsyari. 1984. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup


Kyai. Jakarta: LP3ES.

Geerzt, Clilffort. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.


Jakarta: Pustaka Jaya.

Hadi W.M., Abdul. 1985. Sastra Sufi Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Hamka. 1992. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Madjid, Nurcholish. 1985. “Tasawuf dan Pesantren” dalam Dawam Rahardjo


(ed.). Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES.

Nasr, Sayyid Husein. 1980. Living Sufism. London: Mandala Books Unwin
Paperbacks.

Nicholson, R.A. 1987. Tasawuf Menguak Cinta Ilahiah. Jakarta: Rajawali Pers.
Salam, Aprinus. 2004. Oposisi Sastra Sufi. Yogyakarta: LKiS.
Schimmel, A. 1986. Dimensi Mistik dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Anda mungkin juga menyukai