…
aku adalah jasad ruhmu
fayakun kunmu
Polemik tersebut bahkan tidak beranjak dari hal yang itu-itu juga, yaitu pro dan
Untuk menyamakan persepsi tentang sastra sufi, perlu dijelaskan apa yang
dimaksud dengan sastra sufi dalam tulisan ini. Sastra sufi dianggap sebagai karya
sastra yang memiliki kriteria dan identitas yang lebih spesifik dibandingkan
dengan istilah sastra religius atau sastra Islam. Sastra religius dianggap terlalu
luas dan longgar untuk segala karya sastra yang sesuai dengan nilai-nilai dan
ajaran keagamaan tertentu. Setiap karya sastra dapat diidentifikasi sebagai sastra
religius sejauh karya sastra tersebut, minimal, tidak bertentangan dengan nilai-
nilai religiusitas. Sementara istilah sastra Islam hingga kini belum memberikan
kriteria yang definitif berkaitan dengan sejumlah keharusan yang dapat diterapkan
untuk mengidentifikasi sebuah karya sastra, seperti apakah penulisnya harus orang
keselarasannya dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan
sejumlah kriteria yang cukup jelas apa yang dimaksud dengan sastra sufi.
Secara umum, sebuah karya sastra baru dianggap memenuhi penyebutan sastra
sufi jika karya itu terutama dan pertama adalah karya sastra yang mempersoalkan
prinsip Tauhid (prinsip keesaan Tuhan), prinsip ke-Ada-an Tuhan, prinsip fana-
baka, prinsip penetrasi Tuhan dan kehendak bebas manusia, serta derivasi yang
karya tidak mengandung prinsip-prinsip tersebut, maka karya itu tidak termasuk
sastra sufi. Dari konsep ini dapat diambil simpulan bahwa sastra sufi dipastikan
berdimensi religius Islami, namun tidak berarti sastra religius otomatis sastra sufi.
Prinsip tauhid sangat penting karena merupakan landasan utama dalam memahami
penegakan Tauhid adalah monoteisme yang keras dan tidak mengenal kompromi.
Dengan kata lain, Tauhid adalah proses pembebasan manusia dari segala sesuatu
yang lebih rendah dari Tuhan, atau proses pembebasan manusia dari belenggu
tuhan-tuhan.
Schimmel (1986) mengatakan bahwa untuk setiap wilayah geografis dan
karyanya yang terkenal itu itu, Schimmel bergerak secara internal atas wacana-
wacana tasawuf itu sendiri. Oleh karena itu diikuti beberapa gagasan yang
hakiki memobilisasi tiga unsur makna, yaitu kodrat Tuhan, kodrat manusia, dan
kebajikan ruhani, yang hanya dengan itu maka terlaksananya Tuhan menjadi
mungkin, dan hanya dengan itu maka manusia dapat menyiapkan diri menjadi
Dengan demikian, sufisme dapat dilihat sebagai “wadah” suatu ide pemikiran
praktik sufisme adalah sebuah ide dalam melihat dan memahami alam semesta
dan manusia, sampai seberapa jauh peranan Tuhan di muka bumi, dan sampai
kemanusiaan berupa karya arsitektur, kesenian, dan sastra. Pada gilirannya, hal-
Dari catatan tersebut dapat dijelaskan seberapa jauh hubungan praktik sufisme dan
sastra. Sejauh yang diketahui, banyak praktik dan gagasan sufistik ditulis dalam
bentuk sastra. Hal ini dimungkinkan karena sufisme merupakan dimensi terdalam
dan tertinggi dari kesadaran hati dan pikiran sehingga praktik kesastraan
sufismenya ke dalam bentuk puisi dan atau prosa (Madjid, 1989). Itu pula
sebabnya banyak pemikiran sufistik hadir dalam karya sastra. Tidak tertutup
Sastra sufi dalam tataran nilai bukan saja sebagai wacana gerakan kesastraan,
tetapi lebih luas dari itu merupakan wacana gerakan sosial, politik, dan di atas
konteks tersebut, sastra sebagai salah satu praktik sosial politik dan ideologis,
dapat dipahami bahwa praktik tersebut pada dasarnya tidak bebas dari
berbagai kepentingan dan ideologiu lain yang saling berebut pengaruh, bukan saja
Dapat dikatakan bahwa sebagai wacana sejauh ini sufisme dianggap kandungan
terdalam ajaran Islam. Dengan demikian, berbicara mengenai sastra sufi pada
tingkat tertentu toidak dapat dilepaskan dari wacana keislaman secara umum.
sastra, khususnya puisi. Tradisi karya sastra sufi di Indonesia dipengaruhi oleh
dua pemikir sufi, yaitu Ibn Arabi, pembawa sufisme dengan orientasi filosofis dan
tersebut dalam dua tipe, yaitu Mistik Kepribadian (Mysticism of Personality) dan
of Personality) adalah suatu aliran mistik yang menekankan aspek personal bagi
manusia dan Tuhan. Paham ini menekankan hubungan manusia dan Tuhan
sebagai hubungan antara makhluk (kawula) dan Khalik (Tuhan). Paham ini
percaya bahwa creatio ex nihilo (tuhan menciptakan alam dari kehampaan
menjadi ada, alam merupakan sesuatu yang baru). Paham ini bisa pula disebut
perbedaan yang esensial antara manusia sebagai makhluk dan Tuhan sebagai
Khalik. Tuhan dipandang sebagai Zat yang transenden mengatasi alam semesta.
mistisisme Islam yang memandang Tuhan sebagai realitas yang absolut dan tidak
yang serba Ilahi. Dalam tataran yang lebih ekstrem, paham ini bahkan
mengatakan bahwa Tuhan adalah transenden dan imanen sekaligus. Tuhan bukan
saja transenden, mengatasi manusia dan alam semesta, tetepi juga bersemayam
tentang hakikat keberadaan Tuhan, hakikat Rahman dan Rahim, ataupun hakikat
Arraniri menganggap ajaran yang menyamakan Zat Tuhan sama dengan alam
semesta, atau alam semesta merupakan emanasi Tuhan, adalah sesat (lebih
tradisional Jawa, kedua tradisi tersebut terafiliasi dalam sufisme filosofis. Shihab
sufisme di Indonesia, berafiliasi dan didominasi oleh sufisme suni. Hal ini
berdasarkan pada asumsi bahwa peran penting proses Islamisasi Jawa adalah
Doktrin sufisme suni adalah Khalik dan makhluk bukan sesuatu yang dapat
menjadi satu. Sufisme suni lebih menekankan pada aspek transendensi Tuhan.
Tuhan mengatasi (bukan di luar atau di dalam) segala sesuatunya. Posisi manusia
sederajat dan sama saja karena segala sesuatunya ada dalam kendali Tuhan.
Ajaran ini menyakini bahwa pada dasarnya pemimpin dan rakyat adalah dua
fungsi entitas yang berbeda yang tidak dapat disamakan (Dhofier, 1984:143).
Konsep ini berbeda dengan doktrin wahdatul wujud yang meyakini bahwa Tuhan
dan manusia yang fana pada dasarnya mengalami persatuan. Doktrin wahdatul
wujud menekankan aspek imanensi Tuhan, Tuhan dapat hadir dan “menjadi”
dalam manusia. Doktrin ini sebagian besar menjadi osmosis dengan mistisisme
Jawa sehingga sering disebut sebagai Islam Abangan. Salah satu pengarang
Indonesia yang karya-karyanya mengintegrasikan doktrin sufisme suni adalah
Mustofa Bisri (Gus Mus) ada baiknya kita lihat bagaimana pandangan Gus Mus
Irawan pada 5 Agustus 2004, K.H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) menyampaikan
pendapatnya mengenai seni bagi kaum sufi. Mustofa Bisri mengemukakan bahwa
seni bagi kaum sufi adalah untuk Tuhan. Sufi itu pendekatannya adalah
keindahan, adalah cinta. Seperti kisah Rabi’ah al Adwiyah, dia tidak peduli pada
apa pun kecuali pada Allah Jadi, apapun yang dia ekspresikan hanya untuk Allah,
tidak untuk siapa-siapa. Sedangkan bagi orang awam, seni itu untuk manusia, dan
mengekspresikan cinta kasih itu kepada Tuhan. Berbeda dengan ulama fiqh,
mereka melihat Tuhan dengan pendekatan khouf (takut). Hal ini akan
Allah, dan tidak melakukan kemungkaran karena cinta pada Allah, perilakunya
akan kelihatan lebih bebas dari pada mereka yang beribadah dan tidak melakukan
kemungkaran karena takut pada Allah. Sebab, jika orang itu hanya mau dijajah
oleh Allah, maka ia akan menjadi orang yang sangat bebas, sehingga ia kreatif.
Menurut Gus Mus kebebasan seseorang itu akan berhenti ketika berbenturan
dengan kebebasan orang lain. Kebebasan dibatasi juga oleh kebebasan. Jadi
telinganya sendiri dan membeli radio dengan uangnya sendiri. Namun, orang lain
juga bebas beristirahat, bebas untuk tidak mendengarkan apa pun. Maka dalam
berkesenian. Konsep Gus Mus dalam berkesenian tetap la ilaha illaallah. Hal ini
bukan berarti dalam mengekspresikan seni ia tidak bebas dan masih terikat oleh
berkesenian. Hal ini terbukti dari tidak ada sesuatupun yang mengikatnya.
Artinya, ia tidak peduli apakah puisinya disebut sebagai puisi kritik sosial, religius
atau apa pun. Dalam melukis pun, ia tidak terikat dengan bentuk khat, apakah itu
diwani dan sebagainya. Masyarakat bebas untuk menilai, menyukai atau tidak
tidak ada seorang pun yang bisa melarang kebebasannya. Dan setiap orang harus
dapat menjadi khalifah atas karyanya, sebab itu merupakan kunci dari
kemerdekaan sesungguhnya. Hal ini bukan berarti art to art (seni untuk seni),
Dalam kesempatan yang sama, Mustofa Bisri mengatakan bahwa dalam menilai
sastra sebagai sastra religius atau tidak dapat ditinjau melalui dua pendekatan.
Pertama, dengan melihat karyanya, menurutnya karya sastra yang Islami adalah
karya yang tidak berbicara semau-maunya. Di akhir surat Syu’ara ada istitsna
katsiraw wantasharu min ba’di ma dhulimu. Yang dimaksud tidak sesat adalah
berbicara tentang kuda saja, atau ceweq saja, soal macam-macam yang tidak
ketahuan kepentingannya pada manusia, itu dikecam oleh Tuhan. Kedua, dengan
melihat pekerjanya. Kalau dilihat dari penyairnya, jika penyair itu muslim,
seharusnya karya yang dihasilkan religius. Muslim yang sejati adalah segala
sesuatu yang dilakukan harus selalu Islami, tanpa harus diniati untuk menuliskan
yang islami, sebab Islam itu fitrah. Namun, jika kita tidak tahu siapa penyairnya,
kita bisa melihat karyanya. Misal, sebelum Rendra masuk Islam, dia sudah
tidak dipengaruhi apa-apa, seorang penyair yang nonmuslim pun akan meulis
secara Islami, sebab itu merupakan fitrah. Karena karya cipta itu mengerahkan
seluruh cipta karsa, semua akan keluar secara otomatis sebagai identitasnya.
Persaksian
aku bersaksi
tiada kekasih
kecuali kau
aku bersaksi
hanya kepadamu
kasihku,
hanya kepadamu
(Bisri, 2000:65)
Mencermati konsep berkesenian Gus Mus, seperti yang telah terurai di atas, dapat
dikatakan bahwa Gus Mus termasuk salah satu penyair di Indonesia yang konsep
berkeseniannya mengikuti kaum sufi dalam menyikapi seni, terlepas dari rasa
suka atau tidak sukanya ia disebut sebagai penyair religius atau penyair sufi.
Secara umum, sebuah karya sastra baru dianggap memenuhi penyebutan sastra
sufi jika karya itu terutama dan pertama adalah karya sastra yang mempersoalkan
Tuhan dan kehendak bebas manusia, serta derivasi yang berkaitan dengan prinsip-
prinsip tersebut. Karya-karya Gus Mus memenuhi kriteria penyebutan sastra sufi
di atas. Untuk memperkuat pernyataan tersebut, bisa dilihat dari beberapa karya
Gus Mus yang senantiasa mengintegrasikan wacana dan tradisi sufisme dengan
SAJAK CINTA
….
Dalam kutipan di atas, pada beberapa kalimat mengesankan adanya penyatuan diri
antara Tuhan dan manusia. Hal ini dapat dilihat dari kalimat /Aku adalah ombak
samuderamu/, /aku adalah wangi bungamu/, /aku adalah kicau burungmu/, /aku
adalah titik-titik hurufmu/ , /aku adalah sinar silau panas/ /dan bayang-bayang
hangat mentarimu/, /aku adalah jasad ruhmu/. Beberapa kalimat tersebut
menunjukkan bahwa antara aku dan Tuhan merupakan satu kesatuan yang sama,
sebab ombak merupakan wujud (gerak) dari samudera, wangi merupakan bau dari
pembentuk struktur dari huruf, jasad merupakan bentuk perwujudan (verbal) dari
ruh (yang ghoib). Namun, akhir sajak tersebut merupakan kunci yang
manusia”). Dengan demikian, frasa ini menunjukkan dua entitas yang berbeda
antara Tuhan dan manusia, sebab Tuhanlah yang menciptakan manusia, dan
manusia ada karena Tuhan. Sajak di atas diakhiri dengan penegasan dua entitas
yang berbeda antara aku dan kau, antara manusia dan Tuhan, melalui frasa /aku
adalah a-k-u/ /k-a-u/ /mu/. Kata “aku” dan “kau” merupakan dua kata yang terdiri
dari tiga huruf yang sama. Pada awalnya seolah-olah merupakan satu entitas yang
sehingga menghasilkan dua kata yang berbeda, “a-k-u” dan “k-a-u”, dua entitas
yang berbeda. Dengan demikian, frasa /aku adalah a-k-u/ /k-a-u/ /mu/
mengindikasikan bahwa sesungguhnya aku adalah aku, bukan kau, tetapi aku
Ittihad
dan senyummu
menghentikan jarak dan waktu
penyatuan. Yang dimaksud menyatu dalam hal ini bukanlah penyatuan antara
manusia dan Tuhan dalam bentuk fisik, tetapi dalam bentuk batin. “Ittihad”
berasal dari kata “tauhid” yang artinya “satu”. Tauhid bukanlah “men-satu-kan”
Tuhan, atau “menyatu” dengan Tuhan, sebab Tuhan adalah satu dengan
menuju Allah). Hal ini diindikasikan melalui frasa /lalu atas izinku/ /kita pun
“usaha” manusia, atau proses perjalanan manusia untuk menyatu (mendekat) pada
Nya sebagaimana tertulis dalam frasa /lalu atas izinmu/ /kita pun bertemu/.
***
bahkan kujenguk surga
kulihat kerendahanhati sang maha penguasa
ketika meminta pendapat hamba-hambanya
dan keberanian mereka
menyatakan pendapat apa adanya
menjelang penciptaan bapa kita:
apakah paduka hendak mencipta
malapetaka di dunia?
***
ada rahasia yang tak pernah terbuka
ada tanya yang terus memburu jawabnya:
kenapa ia tetap menciptakannya?
kenapa lalu semua diminta menghormatinya?
atau ah, apa hak kita bertanya?
***
sebelumnya, seperti kemudian juga,
kulihat iblis bermain-main seenaknya
di rongga-rongga tanah liat berbentuk manusia
ada ruang kosong dimana-mana, katanya
aku dari api bisa
selalu keluar-masuk ke dalamnya
aku dari api, tanah liat ini bisa
kubikin buta-bisu-tuli-kaku selamanya
aku dari api, bisa kubakar apa saja
wahai, alangkah congkak lagaknya!
Tapi kemudian tuhan meniupkan cahya
memenuhi tiap-tiap rongga yang ada
tanah liat pun bergerak bernyawa
hidup dan merdeka!
***
***
cahaya membetot diriku
dan akhirnya kulihat langit
dari langit meluncur kilau basmalah
kilau hamdalah
maka
dari ba-basmalah
dan ha-hamdalah
kupasang tiang alif
kusiapkan kayuh laam
kukembangkan layar miim
dan kulayari laut firmanmu
yang aduhai luas dan agung
***
kini aku siap mengarungi
bahkan urat nadiku sendiri
hingga daerah paling angker
dalam diriku
***
1416 (Bisri, 1996:70-72).
“Fragmen” berarti cuplikan atau petikan (sebuah cerita, lakon, dan sebagainya),
dalam konteks ini “Fragmen” yang dipakai sebagai judul sajak dapat diartikan
yang dipaparkan tidak disajikan secara utuh (menyeluruh), namun hanya bersifat
fragmentaris belaka. Hal ini seperti yang dikemukakan Mustofa Bisri dalam
merupakan petikan dari sebuah sajak yang sampai sekarang belum -dan entah
telah terjadi, yaitu peristiwa akan diciptakannya manusia. Dalam bait ini
telah mengetahui segalanya (baik yang belum terjadi, sedang terjadi, maupun
yang telah terjadi), sehingga sebenarnya ia tidak perlu meminta pendapat hamba-
hambaNya. Tetapi, dalam hal ini (seperti diekspresikan dalam sajak di atas) Ia
di atas merupakan sebuah kritik bagi manusia, bagi para penguasa yang seringkali
sombong dan merasa tidak perlu meminta pendapat orang lain (bawahannya) juga
Bait kedua dari sajak di atas mengekspresikan bahwa sampai saat ini ada rahasia
manusia, Allah tetap menciptakan manusia sesuai rencana semula, bahkan setelah
dunia?.
Realitas mengenai tetap diciptakannya manusia dan makhluk lain diminta untuk
tidak akan terjawab dan menjadi rahasia. Hal ini seperti tersebut dalam Surat Al-
Baqarah ayat 30 yang artinya: “Ia berkata: “Sesungguhnya Aku amat mengetahui
apa yang kamu tidak ketahui”. Dengan jawaban itu, menurut Hamka (1982:162)
bahwasanya pendapat dan ilmu mereka tidaklah seluas dan sejauh pengetahuan
Allah. Bukannya Allah memungkiri bahwa kerusakan akan timbul dan darah pun
akan tertumpah tetapi ada maksud lain yang lebih jauh dari hal itu, sehingga
darah hanyalah satu tingkat perjalanan hidup saja di dalam menuju kesempurnaan.
Berdasarkan penjajaran dan pembacaan dua teks (teks puisi dan teks Al-Qur’an)
terbuat dari tanah. Sebelum manusia berada di bumi (Adam saat masih berada di
surga) sampai saat ini, iblis telah menunjukkan bahwa ia dapat bermain-main
seenaknya, hal ini mengiaskan bahwa iblis dapat dengan mudah dan
terutama pada saat manusia dalam keadaan kosong. Iblis yang merasa terbuat dari
kosong, dapat membuat manusia menjadi seperti orang buta, bisu, tuli, dan kaku
selamanya, serta dapat membakar apa saja. Kenyataan ini menunjukkan sifat iblis
manusia dapat hidup secara merdeka, tidak merasa tertekan oleh sesuatupun,
termasuk iblis.
untuk menghormati manusia karena ia merasa lebih mulia. Sejak saat itu, sampai
seenaknya, maksudnya dengan berbagai cara dan segala tipu dayanya. Hal ini
tersirat dalam baris pertama dan kedua dalam bait ketiga “sebelumnya, seperti
merupakan kalimat yang bersifat hipogramatik, karena mengacu pada Surat Al-
A’raf ayat 17 yang artinya: “Kemudian, aku akan datangi mereka dari hadapan
mereka dan dari belakang mereka, dan dari kanan mereka, dan dari kiri mereka;
dan tidak akan Engkau dapati kebanyakan dari mereka itu berterima-kasih”.
Bait keempat sajak “Fragmen” berisi tentang proses pencarian kebenaran dalam
(mencoba untuk mencari jati diri): “aku mencoba menyelam”. Dalam proses
panas api: “tapi tiba-tiba pusaran gelombang panas api”, “mencoba menyedotku”.
Pusaran gelombang panas api ini mengiaskan godaan-godaan setan yang setiap
saat selalu berusaha untuk menariknya ke dunia yang menyesatkan. Si aku jadi
terombang-ambing dalam keadaan yang pengap dan gelap, yaitu keadaan yang
untuk mencari petunjuk yang dapat menerangi jalan hidupnya, yang dikiaskan
melalui: “maka kucari cahaya”. Tanda cahaya dalam hal ini mengiaskan tentang
petunjuk yang dapat menerangi sesuatu. Si aku merasa belum mantap dan ingin
Samudra dalam hal ini melambangkan sumber dari segala sumber petunjuk.
Dalam rangka memantapkan diri untuk mendapatkan suatu pengalaman hidup,
sehingga tidak lagi merasa mengambang si aku ingin berlayar lebih dahulu,
Realitas yang diekspresikan dalam bait keempat ini mengingatkan pembaca akan
suatu proses kehidupan yang biasa dialami oleh setiap manusia dalam proses
pencarian jati dirinya. Dalam proses ini selalu ada setan yang berusaha untuk
menjerumuskan ke arah kesesatan, serta ada hati kecil yang berusaha untuk tetap
Bait kelima berisi suatu kutipan mengenai proses menemukan pegangan hidup. Si
aku telah menemukan pegangan hidup, hal ini tersirat dari “cahaya membetot
diriku”. Tanda cahaya menyiratkan suatu petunjuk yang membetot, menarik kuat-
kuat, diriku. Hal ini berarti si aku telah menemukan petunjuk, sampai si aku
(masa depan). Harapan yang terbentang akan dapat teraih, hal ini tersirat dalam
yang berwujud Al-Qur’an. Hal ini tersirat dari penyebutan dalam teks puisi
Quran. Menurut Ibnu Abbas (dalam Hamka, 1992:31), ketiga huruf itu adalah
isyarat kepada tiga nama: Alif untuk nama Allah; Laam untuk Jibril, dan Miim
untuk Muhammad. Tanda “kupasang tiang alif” berarti menegakkan ajaran Allah,
lautan). Kayuh tersebut bentuknya seperti huruf laam, dan laam berkonotasi pada
Bait keenam ini merupakan pernyataan si aku lirik yang telah siap menghadapi
Urat nadi dalam konteks ini mengiaskan tentang hidup mati si aku, sedangkan
daerah paling angker dalam diriku mengiaskan tentang ego si aku. Akhir sajak ini
perjalanan menuju Tuhan. Tuhan, salah satu makna filosofisnya adalah yang
Tiada Lain
…
karena dalam hidupku
hanya ada kau
tiada lain
akulah kau
tiada lain
tiada lain.
Adawiyah berikut.
wacana sufisme tentang cinta illahiah yang pernah disampaikan oleh Rabi’ah al-
Adawiyah. Hampir semua sajak daam kumpulan puisi itu berbicara tentang cinta
illahiah, cinta pada apapun yang senantiasa muncul karena Allah, bukan karena
kekuatan cinta pada Allah bisa mengalahkan nafsu yang secara lahiriah ada dalam
setiap diri manusia. Di dunia ini tiada yang satu selain Alah yang satu, tiada
lainnya. Demikian pula tiada yang paling benar, selain Allah yang Maha Benar.
lain, kebenaran bisa bersifat relatif meskipun hakikatnya, hanya ada satu
kepalsuan, kesesatan dan kesalahan. Sudah sewajarnya jika tiap manusia saling
mengingatkan inti nilai kebenaran yang kadang tertutupi oleh tindakannya sendiri.
Beberapa sajak Gus Mus yang menyuarakan realitas nilai kebenaran diantaranya
sebagai berikut.
RUBAIYAT RUMPUT
berisi kebenaran dimetaforkan sebagai embun yang muncul setiap pagi, membawa
pun keindahannya akan tetap terpancar. Demikian pula halnya dengan kebenaran
yang selalu memancar meskipun “angin jahat” selalu “membuatnya sirna”. Sajak
menegakkan kebenaran dalam setiap sendi kehidupan. Jika dunia telah menjadi
yang sangat rumit dan penuh kemunafikan, kebenaranlah yang akan selalu
dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Kebenaran yang muncul dari orang-
orang yang tertindas lebih berpretensi untuk jujur daripada kebenaran yang
Melalui sajak satu barisnya berikut, Gus Mus mengekspresikan realitas kebenaran
hakiki.
Tertutup cahaya
1990
(Bisri, 1993:56)
Varian “Tertutup cahaya” dapat dibaca sebagai “tertutup (dari) cahaya” atau juga
“tertutup (oleh) cahaya”. Tertutup (dari) cahaya berarti tidak mendapatkan cahaya
sedikitpun. Hal ini mengimplisitkan situasi yang gelap. Gelap merupakan judul
awal sajak di atas sebelum diganti menjadi “Buta”. Cahaya dalam varian di atas
melambangkan kebenaran. Seseorang yang tidak pernah mendapatkan kebenaran
dalam hidupnya maka ia akan senantiasa berada di kegelapan (jalan yang salah).
menyilaukan mata sehingga menjadi buta. Hal ini sejalan dengan judul sajak di
atas. Seseorang yang telah berada di jalan yang benar, dan merasa dia paling
benar sehingga takabur, maka orang tersebut sama halnya dengan orang yang buta
(tidak dapat membedakan yang baik dan yang buruk). Seseorang yang tertutup
(dari) ataupun (oleh) kebenaran pada hakikatnya sama dengan buta, karena ia
Berkaitan dengan hal di atas, maka dalam proses pencarian kebenaran hendaknya
selalu tetap waspada. Hal ini diekspresikan Gus Mus melalui sajak berikut.
TAKDIM
….
Puisi boleh jadi berjasad kata
Tapi belum tentu makna
Yang kau tangkap adalah ruhnya.
(Bisri, 1995:9).
manusia. Frasa-frasa /Puisi boleh jadi berjasad kata/ /Tapi belum tentu makna/
dibalik kata-kata tersebut, tetapi yang lebih penting adalah mencari hakikat
kebenaran dibalik makna yang didapatkan. Untuk mendapatkan “ruh” yang
diekspresikan dalam kata-kata yang telah dimaknai tersebut, artinya tidak sekedar
tergantung pada teks puisi tetapi juga menghubungkan dengan aspek luar yang
dibicarakan.
Sajak di atas selain membawa pesan kewaspadaan, juga mengajak pembaca untuk
selalu melakukan perenungan agar dapat menangkap “ruh” dari “puisi kehidupan”
adalah pesan atau apa yang disampaikan. Realitas kebenaran yang disampaikan
manusia yang mendarah daging, bukan malaikat, dan juga bukan iblis. Melalui
wacana dan tradisi sufisme. Gus Mus dapat meyakinkan pembaca bahwa sufisme
sufisme tokohnya. Wacana sufisme yang dihembuskan melalui cerpen ini adalah
direpresentasikan sebagai tokoh yang “weruh sak durunge winareh”, tokoh yang
bisa membaca tanda-tanda tiba-tiba berubah tidak lagi mau membaca tanda-tanda.
Hal ini disebabkan oleh pertemuannya dengan seseorang yang disebut sebagai
Kiai Tawakkal, yang pada awalnya di keningnya ia baca tanda yang berbunyi
“Ahli Neraka”. Kiai Tawakkal adalah seorang kiai yang mempunyai nama lain
Mbah Jogo. Sebagai seorang kiai ia juga mempunyai kebiasaan yang disebut
(tempat mesum) di malam hari. Hal ini yang membuat Gus Jakfar yakin akan
merupakan hasil dari pandangan kalbu yang bening. Selain itu, neraka dan sorga
neraka atau sorga. Tidak ada jaminan bahwa amalan seorang kiai akan
mata sebagai sampah masyarakat pasti masuk neraka. Seseorang yang berbuat
baik karena ia ingin dipandang baik olehnya, karena ingin berdekat-dekat dengan-
Nya, tetapi tidak berhak menuntut balasan kebaikan yang telah dilakukannya.
Seseorang yang mendapat kelebihan berupa anugerah, seperti dapat membaca
membesarkan diri sendiri dan takabur. Wacana sufi dalam cerpen ini dihadirkan
melalui sikap tokoh, khususnya tokoh Kiai Tawakkal dan Gus Jakfar. Amanah
yang disampaikan adalah kebenaran hanya milik Allah, sesuatu yang nampak
secara fisik atau berupa tanda-tanda belum tentu benar manusia dalam
“membaca”nya. Benar atau baik menurut manusia belum tentu benar atau baik
Wacana sufisme juga hadir dalam cerpen “Lukisan Kaligrafi” (Bisri, 2003: 62-
melukis “dari dalam” juga lukisan itu laku dengan harga 10.000 US Dollar, dan
tidak muncul saat difoto. Ustadz Bachri semula berniat melukis lafal Allah, tetapi
karena saat menulis huruf Alif letak tulisannya persis di tengah-tengah kanvas,
maka ia tak melanjutkan, dan oleh temannya lukisan tersebut diberi judul “Alifmu
adalah Allah (yang diindikasikan dengan huruf Alif dalam lukisan) berada di
mana-mana, sehingga jika Allah berkehendak maka segala sesuatu yang tidak
bisa menjadi keajaiban. Secara kebetulan Hardi melihat tulisan di rajah hingga
menawari Ustadz Bachri ikut pameran lukisan, secara kebetulan tulisan alif yang
yang pandai berorasi dan pandai mengarang cerita memberi judul lukisan itu “
Alifmu Tegak Dimana-Mana”, dan secara kebetulan dua warna yang tersisa
adalah warna putih dan silver sehingga mengakibatkan lukisan alif tersebut tidak
nampak saat difoto. Tidak nampaknya lukisan kaligrafi yang difoto tersebut
tersebut membuat cerpen ini lebih realis, dan tidak berbau takhayul.
Fenomena wacana dan tradisi sufisme dalam karya-karya Gus Mus menjadi
menarik karena ia muncul dari sebuah obsesi kreatif yang otentik, berakar pada
lubuk batinnya sendiri dan mencari idiom estetik yang berkembang dalam
cerpen-cerpen Gus Mus tidak terperangkap dalam dunia magis yang mengarah
pada “takhayul”, tetapi lebih bermuara pada mata hati dan tetap memelihara ruh
Wacana dan tradisi sufisme yang dimobilisasi dalam karya-karya Gus Mus adalah
terhadap pemaknaan konsep ahad dan wahid. Setiap makhluk, setiap manusia
dalam perspektif wacana dan tradisi sufisme, Gus Mus berusaha memahami,
yang inheren dalam ketasawufan seperti yang dijanjikan Allah Swt. Untuk itu,
…
Ya Allah ya Tuhanku
AmpunanMu lebih kuharapkan
dari pada amalku
RahmatMu lebih luas
dari pada dosaku
Ya Allah ya Tuhanku
Bila aku tak pantas
mencapai rahmatMu
RahmatMu pantas mencapaiku
Karena rahmatMu mencapai apa saja
Dan aku termasuk apa saja
Ya Arhamarrahimin!
Asfari dan Otto Sukatno CR. 2005. Mahabbah Cinta Rabi’ah al-Adawiyah.
Yogyakarta: Logung Pustaka.
Daudy, Ahmad. 1983. Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nurudin Ar-
Raniri. Jakarta: Rajawali Pers.
Hadi W.M., Abdul. 1985. Sastra Sufi Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Nasr, Sayyid Husein. 1980. Living Sufism. London: Mandala Books Unwin
Paperbacks.
Nicholson, R.A. 1987. Tasawuf Menguak Cinta Ilahiah. Jakarta: Rajawali Pers.
Salam, Aprinus. 2004. Oposisi Sastra Sufi. Yogyakarta: LKiS.
Schimmel, A. 1986. Dimensi Mistik dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.